Sejarah singkat perguruan Reti Ati
Nama Reti Ati artinya adalah “ngerteni ati” atau “memahami maksud serta tujuan hatinya secara sadar”, sedangkan kata “Reti Ati” itu sendiri kepanjangannya adalah “resiking ati anjalari titising karep” dengan kebersihan atau kesucian hati, akan memudahkan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan symbol atau lambing Perguruan Reti Ati, memiliki arti dan makna tersendiri. Hari ulang tahun Perguruan Pencak Silat Reti Ati secara organisasi berdiri pada tanggal 21 Mei 1977, 37 tahun yang lalu. Namun secara keilmuan, ilmu Reti Ati sudah ada sejak 80 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1927 ketika Den Mas Nardi atau Romo Nardi menyerap ilmu tersebut. Pada waku itu Den Mas Nardi (RM Sunardi Suryodiprojo) bersama Den Pono (R. Mangkupujono) dan R. Murkilat Sidik menimba ilmu, berguru pada R. Djayusman di kampong Pajeksan untuk mendalami serta menyera ilmu Reti Ati tersebut. Den mas Nardi serta Den Pono, dua dari ketiga murid dari R. Djayusman, demi mengemban tugas serta menghormati pesan seorang guru tergugah hatinya dan bersepakat untuk mendirikan perguruan bela diri disamping untuk mengembangkan kemampuan diri, juga untuk menggalang para remaja agar bersatu dengan tujuan utama berusaha untuk melawan para penjajah, maka berdirilah perguruan dengan nama PH (Persatuan Hati) yang dalam bahasa Jawa berarti “manunggaling ati atau manunggaling karep” atau kemauan yang sama dan sejalan. Tepatnya pada tahun 1930 perguruan PH ini berdiri, dengan susunan pengurus yang sangat sederhana, Ketua : Den Pono dan Wakil : Den mas Nardi. Pada saat itu, tepatnya adalah masa penjajahan Jepang, masa-masa penderitaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Disaat itu juga, ada Sembilan pesilat remaja yang tergerak hatinya untuk mendirikan perkumpulan dengan nama GAPEMA (Gabungan Pencak Mataram) dengan tujuan melawan penjajah yang menghuni Tanah Air Indonesia yang dicintainya. Kesembilan remaja tersebut adalah:
1. Bp. Broto Sutaryo dari perguruan BIMA
2. Bp. Ki Muh Jumali dari Persatuan Pencak Taman Siswa
3. Bp. Harimurti (ndoro Harimurti) Tedjokusuman dari perguruan Krisnamurti
4. Bp. Abdullah dari PK (Pencak Kesehatan)
5. Bp. R. Sukirman dari RKB (Rahasia Kekuatan Badan)
6. Bp. Alip Purwowarsono dari Perguruan SHO (Setia Hati Organisasi)
7. Bp. Suwarno dari perguruan SHT (Setia Hati Terate)
8. Bp. R. Mangkupujono (Den Pono) dari perguruan PH (Persatuan Hati)
9. Bp. RM. Sunardi Suryodiprojo (Den Mas Nardi) dari perguruan TH (Tunggal Hati) yang sekarang menjadi perguruan RA (Reti Ati)
Dengan berjalannya waktu, Den mas Nardi berperakarsa untuk mengembangkan tata bela diri Pencak Silat agar jangan sampai susut ataupun punah dengan mendirikan perguruan baru dengan seijin Den Pono dengan nama TH (Tunggal Hati) yang dalam bahasa Jawa memiliki arti yang sama dengan PH (Persatuan Hati) yaitu “manunggaling ati atau manunggaling karep” atau kemauan yang sama dan sejalan. Dengan berdirinya perguruan TH ini bukan berarti terjadinya perpatahan di tubuh perguruan Persatuan Hati, namun lebih tepatnya bermultiplikasi. Perguruan Tunggal Hati ini berdiri pada tanggal 11 Juli 1951, keanggotaannya dibagi menjadi dua:
1. Anggota TH untuk para dewasa.
2. Anggota THa untuk anak-anak di bawah umur 12 tahun.
Pada masa itu, Den Mas Nardi yang lebih dikenal dengan panggilan Romo Nardi sedang menjabat juga di IPSI DIY sebagai bagian tekhnik. Beliau berkesempatan melatih di beberapa tempat seperti, Kodim Yogyakarta, AURI Adi Sucipto, BRIMOB, Polisi, CPM, serta Polisi Perintis di wilayah Yogyakarta serta menyebar luas sampai Ponorogo. Di kalangan teman-teman PH, Romo Nardi sering diceritakan sebagai pendekar yang menguasai ilmu pernapasan tingkat tinggi. Ketika muda, beliau diceritakan pernah mematahkan tiang gawang sepak bola dengan sekali pukul, padahal ketika itu tiang gawang dibuat dari kayu yang sangat kuat. Romo Nardi adalah seorang pendekar silat yang memang terkenal dengan kesaktiaannya yang luar biasa. Mendengar kesaktian Romo Nardi, ada seorang ahli silat dan ahli dalam olah batin bernama Ki Syuhadak, pini sepuh di Piyungan, datang ke Brontokusuman menemui Romo Nardi dengan maksud ingin mencoba ilmunya Romo Nardi dengan cara yang unik, hanya tidur berdampingan semalam, Ki Syuhadak mengakui bahwa Romo Nardi betul-betul mempunyai ilmu yang tinggi dan mulai saat itu pula, Romo Nardi dianggap bukan hanya sebagai sahabatnya namun lebih daripada itu sebagai saudaranya. Perguruan Tunggal Hati dibawah asuhan Romo Nardi pada saat itu telah melahirkan beberapa pendekar, diantaranya:
1. Bp. Drs. Subandi
2. Bp. NH. Soedirjo
3. Bp. R. Hadi Suryanto
Namun sejak tahun 1957, perguruan TH mengalami kemunduran, tidak ada lagi kegiatan apapun. Kesemuanya itu dikarenakan beberapa pengurusnya terpaksa berpindah jauh untuk memenuhi kewajiban sebagai guru atau ada tugas lainnya demi hidup keluarganya dan tugas tersebut tidak mungkin dirangkap lagi di perguruan. Melihat perguruan TH yang terbengkalai atau tak terurus, R. Hadi Suryanto (lebih dikenal sebagai Mas Yanto) tegelitik hatinya untuk mencoba membangun serta membangkitkan kembali dengan mendirikan perguruan TH periode ke-2. Maka berdirilah perguruan TH periode ke-2 ini pada pertengahan februari 1962 dibawah asuhan mas yanto dengan bimbingan ayahandanya, Romo Nardi. Di samping mendapatkan bimbingan dari Romo Nardi, berupa ilmu pernapasan seperti halnya pernapasan penyerapan tenaga banyu, geni, angin melalui beberapa tahap jenis pernapasan, juga tentang pernapasan matahari, stroom dan pernapasan khusus, serta pengenalan atas pemomong diri kita, “sedulur papat limo pancer”. Sedulur papat limo pancer ini merupakan saudara kita yang selalu berkenan membantu kita dalam segala hal jika kita mau memeteri nya. Bopo Angkoso, Ibu Pertiwi, Kakang Kawah, Adi Ari-ari, Sedulur Kang krumat lan Sedulur Kang urakrumat, yang mana kita juga harus selalu ingat terhadap siapa kita harus menyembah, dari mana kita berasal, serta ada dimana kita ini berpijak. Mas yanto sebagai pelatih utama pada saat itu, juga mendapat tuntunan dan bimbingan dari para sesepuh persilatan diantaranya:
1. Den Pono dari PH
2. Bp. Sugiman (pak Giman) dari PH
3. Bp. Ki Syuhadak (seorang pini sepuh di Piyungan) di samping ahli silat juga ahli olah batin
Dari semua pelajaran yang diterima dari para sesepuh tersebut serta dari ayahandanya, kemudian disaring dan diambil maknanya yang akhirnya dengan segala usaha dan ketekunannya dapat ditemukan suatu cara pengumpulan tenaga yang dibangkitkan dari kemampuan pada diri kita sendiri masing-masing yang hanya dilandasi rasa keheningan serta kehendak yang mantap dan kemampuan daya piker untuk memerintahkan tersalurnya tenaga inti tubuh ke tempat bagian tubuh yang kita kehendaki. Dan dari persamaan gerak, tenaga inti dan pikiran, begitulah terciptanya suatu tenaga yang mampu untuk mematahkan benda keras. Pada masa itu, hampir semua perguruan belum mengenal bagaimana cara untuk melakukan suatu cara untuk mematahkan/memecahkan benda keras dengan tangan kosong. Semua perguruan hanya khusus mempelajari olah bela diri, berdasarkan tenaga wadag, belum mengenal istilah karate. Demonstrasi pemecahan benda keras yang pertama kali dilakukan dengan cara yang masih sangat sederhana oleh mas Yanto di halaman rumah Brontokusumas, bertepatan dengan selamatan berdirinya TH periode ke-2. Di perguruan TH periode ke-2 ini, telah lahir pendekar muda pada saat itu, seperti:
1. R. Sukomartoyo (mas Suko)
2. Purwoto (mas Pung)
3. Budi Santoso (mas Budi)
4. R. Guntur Merdeka (mas Guntur)
Bersamaan dengan bergulirnya waktu, perguruan TH periode ke-2 inipun telah bermultiplikasi dengan berdirinya perguruan seperti:
1. TH Merpati Putih pada tahun 1963
2. RA (Reti Ati) pada tahun 1977
3. THS – THM (Tunggal Hati Seminari – Tunggal Hati Maria) pada tahun 1985
1. TH Merpati Putih berdiri pada tahun 1963
Kata TH ini adalah singkatan dari kata Tunggal Hati, atas restu dari Romo Nardi, Mas Suko, Mas pung, dan Mas Budi mendirikan perguruan TH Merpati Putih pada tahun 1963. Peresmiannya diadakan di Gedung BTN Yogyakarta yang dihadiri oleh:
1. Mayor Sulaiman (Ketua IPSI DIY saat itu)
2. Romo Nardi sebagai Guru Besarnya yang pada saat itu juga Romo Nardi menjabat bagian tekhnik di IPSI DIY
Selain peragaan demonstrasi pemecahan benda keras, juga ada acara khusus yaitu pengalungan bunga kepada Romo Nardi sebagai tanda pengakuan mereka bahwa Romo Nardi adalah Guru serta Guru Besar TH Merpati Putih. Tetapi kemudian kata TH ditinggalkannya atau dihilangkannya dan hanya memakai nama Merpati Putih tanpa kata TH di depannya sampai sekarang ini.
2. Perguruan THS – THM.
Dalam perjalanannya, Mas Sukomartoyo (Romo Hadiwijoyo) mundur dari Merpati Putih karena perbedaan visi dan misi. Waktupun terus bergulir Romo Hadi bersama mas Lilik Subianto dan beberapa siswa seminari Mertoyudan Magelang kurang lebih sebanyak 8 siswa, suwan Romo Nardi untuk memohon restu akan mendirikan perguruan disamping itu kepada mas Guntur mereka datang untuk diajari memainkan trisula. Kemudian tepatny pada tahun 1985, perguruan tersebut berdiri yang diberi nama perguruan THS – THM (Tunggal Hati Seminari – Tunggal Hati Maria) dibawah asuhan Mas Sukomartoyo (Romo Hadiwijoyo). Sampai saat ini Mas Sukomartoyo (Romo Hadiwijoyo) tetap mengakui bahwa Romo Nardi adalah guru dan Guru Besar THS – THM.
3. Awal berdirinya Perguruan Pencak Silat Reti Ati
Begitu melihat TH periode ke-2 cukup lama padam, tidak ada kegiatan lagi, Mas Guntur tergerak hatinya untuk menghidupkan kembali kegiatan seni bela diri pencak silat warisan budaya bangsa Indonesia ini. Mas Guntur bersama adiknya Mas Nugroho (R. Brigadir Nugroho Atmojo) berinisiatif mengajak para pemuda Brontokusuman berlatih pencak silat, ternyata ajakan tersebut disambut baik bahkan mereka sangat antusias. Maka pada awal tahun 1977 datanglah beberapa pendekar ke rumah Mas Yanto di Sleman, mereka adalah:
1. R. Guntur Merdeka Tingkat Pendekar
2. R. Sukodanarto tingkat Pendekar Muda
3. R. Brigadir Nugroho Atmojo tingkat Pendekar Muda
4. Dan disertai beberapa pesilat lainnya, 7 kader pelatih dan 3 pembantu pelatih
Dalam hal ini membicarakan kemungkinan dibenahi kembali persilatan yang sudah lama padam ini. Dan setelah diketemukan kesepakatan, maka direncanakan untuk mendirikan perguruan pencak silat lagi. Rencana tersebut mendapat restu dari room Nardi, bahkan romo Nardi telah memutuskan bahwa jabatan pelatih utama di dalam tugasnya sebagai guru di perguruan diberikan kepada Mas Guntur sebagai pewaris tunggal perguruan yang telah dinilai mampu serta dipercaya oleh beliau untuk mengelolanya. Pada saat itu, berkumpul lah para pendekar dan para pini sepuh perguruan dan setelah diadakan persepakatan, maka didirikannya suatu perguruan pencak silat dengan nama Reti Ati, tepatnya pada tanggal 21 Mei 1977. Berdirinya perguruan tersebut hanya dibuka dengan acara tumpengan yang sangat sederhana. Sebagai acara pokok adalah pemotongan tumpeng serta penyerahan baju perguruan dari Romo Nardi kepada pelatih utama R. Guntur Merdeka untuk menjalankan tugas sebagai guru di perguruan pencak silat Reti Ati, dilengkapi dengan surat pengangkatan beserta surat mandatnya. Pada kesempatan itu pula, Romo Nardi telah memberikan jabatan wakil pelatih utama kepada R. Brigadir Nugroho Atmojo, adik dari Mas Guntur, untuk menjalankan tugas membantu semua tugas-tugas guru/pelatih utama di perguruan pencak silat Reti Ati yang dilengkapi pula dengan surat pengangkatn beserta surat mandatnya. Pada saat yang bersamaan, dibentuk pula pengurus perguruan Reti Ati yang pertama kali yang terdiri dari para pendiri perguruan, dengan susunan seperti dibawah ini:
1. RM. Sunardi Suryodiprojo (tk Pendekar Besar) Guru Besar
2. R. Atmowiyoto (tk pendekar) Sesepuh
3. Lekol. MH Soedirjo (tk pendekar) Pelindung
4. Drs. Subandi (tk Pendekar) Penasehat
5. R. Hadisuryanto (tk Pendekar) Pembina
6. R. Guntur Merdeka (tk Pendekar) Guru/Pelatih Utama
7. R. Sukodanarto (tk Pendekar Muda) Ketua Umum
8. R. Brigadir Nugroho Atmojo (tk Pendekar Muda) Wakil Pelatih Utama
Mas Guntur sebagai pelatih utama di dalam tugasnya sebagai guru di perguruan Reti Ati yang juga menjabat sebagai salah satu dari Dewan Pelatih Daerah IPSI DIY, disamping telah menyerap ilmu serta mendapatkan bimbingan langsung dari ayahandanya Romo Nardi (Guru Besar Perguruan) dan petunuk-petunjuk serta saran-saran dari kakaknya Mas Yanto (Pembina Perguruan), juga mendapatkan tuntunan serta tambahan bekal dari beberapa sesepuh persilatan berupa tata olah bela diri dari:
1. Bp. R. Atmowiryoto ( sesepuh perguruan Reti Ati)
2. Bp. Darsono (Mbah Dar) seorang pendekar yang mumpuni, sahabat Romo Nardi di kampong Nyutran dari perguruan PEKSI aliran dari perguruan SH
3. Bp. Wijihartani dari perguruan Perisai Sakti Mataram, dari kampong Beji Jagalan, beliau sering suwan menemui Romo Nardi yang telah dianggapnya sebagai bapaknya sendiri. (Perguruan Perisai Sakti Mataram salah satu perguruan yang tidak masuk sebagai anggota IPSI namun masuk anggota PPSI pada saat itu)
Sedangkan tuntunan serta tambahan bekal dalam hal olah batin, didapatkan dari:
1. Bp. Ki Syuhadak (Mbah Hadak) seorang pini sepuh di Piyungan
2. Pangeran Suryo Kusumo (seorang Pangeran yang sangat mumpuni dalam olah batin dari Surakarta-Solo) yang sempat tinggal di rumah Romo Nardi selama 3 bulan.
Di samping itu mas Guntur sering juga mengadakan try out ataupun sparring partner dengan perguruan lain untuk melatih kemampuannya.
Perguruan Reti Ati yang mas Guntur asuh telah mendapat kesempatan pula melatih di beberapa tempat, diantaranya:
1. KOPASANDA grup II kandang Menjangan Kartosuro pada tahun 1978
2. Kodim Klaten dan juga Kodim Sleman pada tahun 1982
Bahkan sampai saat ini perguruan Reti Ati telah mempunyai beberapa cabang. Dengan bekal yang telah dimilikinya, Mas Guntur didalam menunaikan tugasnya menggembleng murid-muridnya lebih mantap lagi, sehingga pada saat itu para melahirkan para pendekar muda yang baru seperti:
1. Widiantoro
2. Benni Guritno
3. Yoseph Wijokongko
4. Suwarto
5. Herri Teguh Priono Hadi
6. Usman Ismail
7. Budiarto
Di samping itu beberapa Kader Pelatih seperti:
1. Bambang Darmaji
2. Hadi Suwarjo
3. Adik Supardiman
Serta Pembantu Pelatih:
1. Indrayadi
2. Entong Sutarto
3. Abdul Sholeh
4. I Nyoman Pradnya Putra
5. Widagdo Mulyono Petrus
6. Nur Cahyo
Di samping itu para atlet pesilat dari perguruan Reti Ati pun telah beberapa kali menjuarai pertandingan-pertandingan yang diadakan oleh IPSI, baik ditingkat daerah maupun tingkat nasional. Atlet-atlet tersebut diantaranya:
1. Indaryadi
2. Abdul Soleh
3. Widagdo Mulyono Petrus
4. Nanang Dwi Prastyono
Di perguruan Reti Ati ada 10 tingkat, mulai dari tingkat 1 sampai dengan tingkat 10. Dan si etiap tingakt disesuaikan dengan kurikulum serta metode latihan pada tingkatnya. Di Reti Ati Pencak dan Silat dibedakan menjadi 2 bagian yang terpisah:
1. Pencak Olahraga
Di dalam Pencak olahraga ini lebih banyak menggunakan gerak atau langkah alias mencak-mencak (kalau dalam pewayangan digambarkan seperti Buto Cakil), sedangkan bentuk serangannya jika mengenai lawan, akibatnya tidak begitu fatal. Pencak olahraga ini mulai kita berikan dari anak-anak (RA Kids) sampai orang dewasa dan khususnya bagi para atlet silat, agar dapat digunaka dalam event-event resmi IPSI, baik tingkat daerah maupun nasional.
2. Silat Bela diri
Di dalam silat bela diri kita tidak perlu banyak gerak ataupun langkah (kalau dalam pewayangan digambarkan sebagai Arjuna) cukup menggunakan pancer, baik pancer atas, pancer tengah ataupun pancer bawah. Bersifat defensive menunggu serangan dari lawan, kemudian membalas serangan dengan serangan yang sesuai dengan sasarannya. Silat bela diri ini, kami berikan pada tingkat-tingkat tertentu dan secara khusus kami berikan untuk para aparat keamanan, TNI, dan POLRI guna menghadapi para penjajah juga musuh Negara. Dikarenakan silat bela diri ini cukup berbahaya, walaupun dengan sedikit tenaga, akibatnya bisa fatal. Di silat bela diri ini akan kami tunjukkan tempat-tempat rahasia kelemahan badan disertai dengan bentuk-bentuk serangannya yang tepat dengan sasarannya (titik lemahnya).
Materi latihan yang diberikan di Reti Ati, diantaranya:
1. Macam-macam bentuk Kuda-Kuda, pukulan, tendangan, elakan, tangkisan, tangkapan, serta langkah.
2. Gerak langkah kombinasi serta jurus.
3. Tekhnik bantingan serta tekhnik menjatuhkan tanpa bantingan.
4. Krepen/kuncian mati dan juga pelepasannya.
5. Pancer atas, pancer tengah serta pancer bawah.
6. Permainan senjata.
7. Olah pernapasan dengan tingkat pernapasan yang berbeda-beda. Hasil dari olah pernapasan tersebut diantaranya dapat dipergunakan untuk demonstrasi pemecahan benda keras (pernapasan tingkat dasar). Pernapasan ini diserap dari tenaga banyu, geni, angin yang hasilnya lebih cepat namun tidak langgeng.
Olah pernapasan di Reti Ati kini hanya menggunakan unsur banyu dan angin tanpa unsur api lagi di tingkat dasar yang hasilnya lebih lamban namun tetap langgeng, dikarenakan unsur api tersebut membuat siswa cepat mudah tersinggung dan marah. Unsur api ini hanya diajarkan di tingkat pernapasan yang lebih tinggi, ketika siswa dapat lebih menahan dan mengatur emosi. Di tingkat pernapasan yang lebih tinggi ini, dapat menghasilkan talenta penyembuhan, pengiriman sugesti, kontak batin, peka dalam segala hal, serta hal-hal yang tak terduga yang bisa kita alami. Di Reti Ati pada tingkat dasar, jika dapat memecahkan benda keras akan mendapatkan badge “Wing Pemecahan” yang terdiri dari 3 tingkat.
4 Kevakuman dan Bangkitnya Reti Ati
Seiring dengan berjalannya waktu, perguruan Reti Ati pun mengalami kevakuman, tidak ada lagi latihan pencak silat di Brontokusuman dikarenakan sebagian besar para pelatihnya berpindah jauh ke luar kota, bekerja memenuhi tugasnya dan tidak mungkin lagi merangkap lagi di perguruan. Pada tahun 1987, Mas Guntur berpindah ke Jakarta. Mendengar bahwa Mas Guntur berpindah ke Jakarta, Mas Sukomartoyo (Romo Hadi) beserta beberapa murid THS mencari mas Guntur namun tidak pernah bertemu (padahal tempat latihan THS tidak jauh dari tempat mas Guntur bekerja). Setelah 26 tahun tidak bertemu, Romo Hadi dan Mas Guntur akhirnya bertemu di kediaman Mas Guntur di Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Mereka sempat bertemu juga dengan Mas pung (Purwoto) setelah 45 tahun tidak bertemu. Menurut istilah mas Suko (Romo Hadi), Mas Pung, Mas Budi, Mas Guntur dan Mas Suko sendiri adalah “sedulur tunggal sepetarangan” yang masing-masing memiliki usia yang sepantaran. Berkumpulnya atau bersatunya lagi dua dari empat “dulur tunggal sepetarangan” atau saudara seangkatan ini antara Mas Guntur dengan Mas Suko, istilah Mas Guntur “Bersatunya kembali dua saudara satu darah” atau “manunggaling eko ludiro”. Mulai saat itu Mas Guntur dengan Romo Hadi serta beberapa murid THS Jakarta sering mengadakan pertemuan dan tetap terjalin baik sampai saat ini.
Kevakuman yang dialami perguruan Reti Ati bertahun-tahun telah berakhir sesuai dengan waktunya Tuhan, Reti Ati kini telah bangkit. Kebangkitan Perguruan Reti Ati ini atas prakarsa Mas Yoyok Sulistyo beserta rekan-rekan Reti Ati khususnya yang berdomisili di Yogyakarta yang saya tidak bisa sebutkan satu persatu. Dengan berkumpulnya kembali seluruh kader pelatih, pendekar muda, serta pendekar di perguruan Reti Ati ini, saya memberikan apresiasi kepada mas Yoyok yang telah berhasil ngumpulake balung pisah bagi sesama anggota di tubuh perguruan Reti Ati.