Makasih mas gogi, saya jadi tergugah untuk share (maaf kalau sudah baca)
karena memang dari perguruan ini banyak atlit nasional dihasilkan. Pembakuan tehnik dan methodanya memang agak mirip Perguruan asal madura Pamur. Lambangnya pun khas modernisasi juga sama...padi dan kapas.
Perguruan Silat Bakti NegaraSitus Resmi (http://www.baktinegara.com/about_us.indotext.html)"Bakti Negara" merupakan sebuah lembaga pendidikan tempat berguru pencak silat dengan empat (4) materi pendidikan, meliputi :
Olahraga, membentuk kemampuan mempraktekkan teknik - teknik pencak silat yang bernilai olahraga bagi kepentingan memelihara kesehatan jasmani atau untuk mencapai prestasi keolahragaan.
Beladiri, membentuk kemampuan / kemahiran teknik beladiri.
Seni, membentuk keterampilan keindahan gerak pencak silat.
Mental Spiritual, bertujuan untuk memperkuat kemampuan mengendalikan diri.
"Bakti Negara" sebagai sebuah sistem ditujukan untuk melatih cipta, rasa dan karsa, sehingga mampu mengembangkan jati diri manusia sebagai mahkluk Tuhan berlandaskan Tri Hita Karana, dan tidak dipergunakan untuk menghancurkan seorang lawan, tetapi digunakan sebagai alat untuk pengembangan dan penyempurnaan diri.
"Bakti Negara" secara resmi didirikan pada tanggal 31 Januari 1955 di Banjar Kaliungu Kaja, Denpasar, Bali oleh empat (4) orang pendekar veteran pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, mereka adalah : pendekar Anak Agung Rai Tokir, I Bagus Made Rai Keplag, Anak Agung Meranggi, Sri Empu Dwi Tantra, dan Ida Bagus Oka Dewangkara dipercayai sebagai pengurus "Bakti Negara" untuk pertama kalinya.
Pada tahun 1968 diwarnai dengan proses kematangan dari para pendekar muda "Bakti Negara". Periode ini merupakan masa transisi dari generai tua kepada generasi muda, utamanya I Bagus Alit Dira dibantu oleh I Made Mangkling, I Wayan Tambir, I Bagus Made Suenda, I Made Wirasana, I Made Dana, I Made Mariatha, Suhaemi, Anak Agung Ngurah Manik Astawa serta pendekar lainnya, berupaya keras mengembangkan "Bakti Negara". Untuk mendukung pengembangan "Bakti Negara", Lembaga Dewan Pendekar "Bakti Negara" memberikan mandat kepada I Bagus Alit Dira dibantu oleh para pendekar lainnya guna memformulasikan teknik - teknik yang dikuasai oleh para pendiri dalam jurus - jurus dasar "Bakti Negara", mengadopsi dan mengakomodasikan seni kebudayaan serta nilai - nilai religius yang hidup di Bali sebagai pedoman hidup. Menyatu dalam gaya baru yang unik dengan berbagai kuda - kuda serta berbagai gerakan seni, senjata dan gerakan beladiri yang mengekpresikan seni kebudayaan Bali, seperti tari Barong, Oleg, Baris Tumbak, Gebug Ende serta yang lainnya. Melalui standarisasi dan proses akulturasi "Bakti Negara" telah menjadi bagian integral dari Banjar atau organisasi sosial kemasyarakatan desa (seka) serta telah memasuki lembaga pendidikan (sekolah). "Bakti Negara" telah dipelajari oleh banyak orang dsri berbagi status, jenis kelamin, usia yang berbeda. Perkembangan "Bakti Negara" dari waktu ke waktu sangat mengembirakan baik dari segi kuantitas maupun kualitas, telah berkembang diseluruh wilayah Bali, beberapa daerah di Indonesia seperti NTB dan NTT, juga dibeberapa negara lain serta telah melahirkan banyak pesilat yang mampu berprestasi di kancah nasional maupun internasional.
---------------------------------------------
Seni Pencak Silat Bakti NegaraBy O’ong Maryono (
http://silatindonesia.com/2009/08/seni-pencak-silat-bakti-negara/)
On January 31, 1955 more than 100 pendekars and gurus from all over Bali held the first pencak silat congress in Bali under the leading of Pendekar Ida Bagus Oka Dewangkara, Pendekar Ida Bagus Oka Pahadewa, Pendekar Bagus Made Rai Keplak, Pendekar Anak Agung Rai Tokir, Pendekar Anak Agung Meranggi, and Pendekar Sri Empu Dwi Tantre. The aim of this congress was to reflect on the role of Balinese pencak silat after the indipendence from the Dutch and to consolidate cooperation among the various pendekars. After the Congress a number of perguruans were established among others Bakti Setia Budi, Perguruan Pencak Silat Tridarma and Perguruan Pencak Silat Bakti Barat.
The pendekars mentioned above and Cokorda Bagus Sayoga from the upper (aristocratic) castes founded the Persatuan Seni Pencak Silat Bakti Negara. According to Pendekar Sri Empu Dwi Tantre ‘Bakti’ which in common language usually means devotion/loyalty has a precise mystical meaning as abbreviation of: B = Bawa (aura); AK = aksara (Balinese alfabet composed of the syllabus ha, na, ca, ra, kha, da’, tha, sya, wha, lha, pha, dha, dja, ja, na, ma, gha, ba, tha, ngha, symbolizing the life cycle, from life to death to life again); TI = Tunggal Ika (cosmological unity between macrocosmos and microcosmos which can be achieved by an individual through proper behavior and observance of the many taboos forbidding to kill God’s creatures, to be arrogant, angry, jelous, or rebellious; to discriminate and deceive others and to gamble. This behavior in Balinese is called yiame’n niame brate’ ). The same with ‘Negara’ which in common language means country but in mystical terms means kekuasaan or power. In other words, Bakti Negara which can be easily translated as Devotion/Loyalty to the Country has also a deeper meaning of reaching unity of an individual with the macrocosmos by living according to (Balinese) Hinduist teachings. The first ketua (chairperson) pendekar of Bakti Negara was Anak Agung Rai Tokir, who died in 1967 and was replaced by Bagus Made Rai Keplak, who died in 1977. From then until now his son, Dewa Bagus Alit Dira, has been the ketua pendekar .
He improved the organization and established a hierarchy of belt levels, starting from red (with one, two or three stripes), blue (with one, two or thee stripes), yellow, purple, black, and ending with white (all these colours have also symbolic meanings, too complex to explain here). In 1982, Dewa Bagus Alit Dira was successful in integrating the various techniques used in Bakti Negara, namely Cimande, Cikalong, Cikaret, Melayu and Bugis in various series of movements which followed Balinese music and were given Balinese names. This collection of jurus, called kumpulan jurus Maya Buana, has become the standard technique of Bakti Negara. For those of you that understand Indonesian, below you can find some of the most common techniques:
Teknik Jangkar: kuda, kodok, kendung, silang, kembang, tunggal.
Posisi: jujur, seliwah
Jurus Batu: jujur, menghadang jalan, pohon tumbang, memaku jagad, genta mengalun, tundukan, sodokan, patukan, paduan hati, guntingan.
Jurus tapak: tapak mendatar, tebangan, tebasan, gibas, cucut, memetik buah, dua jari, menyembah Syiwa, bendungan, jepitan kepiting, teratai mengembang, teratai tertutup.
Through this standardization process Bakti Negara can easily expand in society within the typical Balinese system of banjar(hamlet/neighbourhood): The Banjar is closely involved in most aspects of a person’s life, virtually from the time of birth until his spirit finally departs from this earth (Kim Streatfield, Fertility Decline in a Traditional Society; The Case of Bali, 1986:17). In almost every banjar in Bali there is a Bakti Negara branch which is supported with contribution from the hamlet’s funds. Because of this interconnection with the Banjar system, and his closeness to Hinduism and Balinese tradition, Bakti Negara is firmly rooted in Balinese society. The Balineses acknowledge pencak silat Bakti Negara as part as their local culture.
This feeling of communal property has fostered the development of Bakti Negara. Bakti Negara atlets have often become national and international champions, among others I Wayan Mudra, I Wayan Wirawan, I Made Wahyuni, and Kadek Sudane. Bakti Negara nowadays is one of the richest perguruan in Indonesia, with its own padepokan (Padepokan Niyala Mandala Bakti Negara in the banjar Batu Makaem, Ubung Kajen, Denpasar) and temples, permanent financial resources from the Bakti Negara Foundation and through an extended network of Balinese aristocrats, and political support from the provincial government.
Motto: Hindu agamaku, Bakti Negara pencak silatku (Hinduism is my religion and Bakti Negara is my pencak silat)