Forum Sahabat Silat

Bahasa Indonesia => Silat Diskusi Umum => Cerita Silat => Topic started by: Antara on 27/02/2011 11:02

Title: Ikan keluar dari Air
Post by: Antara on 27/02/2011 11:02
Perjalanan, yang belakangan ini mendominasi kehidupan saya, adalah tempat di mana seseorang bisa menjadi sangat kesepian. Bukan saja karena terpisah dari istri dan anak-anak untuk waktu lama, tapi ternyata memang ada orang-orang tertentu yang memang belum mumpuni untuk bisa menikmati perjalanan, salah satunya saya.

Sebuah kasus kesepian yang saya alami beberapa waktu lalu,

Di bandara di manapun, biasanya saya memilih untuk menghuni ruang tunggu umum, di mana saya bisa menemukan orang-orang yang kelas ekonominya setara dengan saya, yaitu orang-orang dekil kusam dari kampung yang entah bagaimana bisa memanfaatkan penerbangan murah, para pekerja yang bau keringat, para eksekutif kelas bawah yang menenteng tas kerja sebesar gaban, para turis bule kere yang membawa ransel seperti tentara mau perang,  dan orang-orang berpenampilan seperti saya sendiri, seragam kerja lapangan lengan panjang, celana jeans belel, sepatu safety yang berat dan besar, tampang terbakar matahari dari separuh kening ke bawah dan sebuah kardus indomie berikat tali rafia yang berisi oleh-oleh untuk keluarga di rumah (biasanya berbagai jenis kerupuk).

Sayangnya, dalam beberapa kesempatan saya tidak bepergian sendirian… dan demi mengikuti saran istri untuk mengurangi watak anti sosial yang sudah saya idap sejak kandungan, saya mengikuti kolega yang berkeras ingin menikmati fasilitas di executive lounge. Demikianlah, sedikit menahan malu karena kartu kredit saya tidak qualified untuk masuk ke ruangan tersebut, dan terpaksa meminta diundang oleh kartu kredit kolega-kolega saya yang limit-nya lebih tinggi, saya-pun masuk terbata-bata melangkahkan kaki ke dunia eksekutif tinggi tersebut.

Hanya untuk duduk terpojok di sudut ruangan…

Rupanya para eksekutif sukses sudah sangat menginternalisasi citra mereka yang lekat dengan rokok ekslusif, seperti yang sering saya lihat di TV. Jadilah ruangan dilarang merokok tersebut dipenuhi asap kecuali sebuah sudut kecil di ujung. Di situlah saya duduk.

Sambil malu-malu mencicipi hidangan penuh gula dan kolesterol, saya berusaha sekuat tenaga untuk terlihat serius mengikuti percakapan yang terjadi di sekitar saya. Biasanya seputar saham yang naik turun, forex yang menguntungkan, CEO yang naik daun, perusahaan yang merger, dan segala macam peristiwa lainnya. Tidak satupun yang saya pahami sih, tapi tentu saja saya tetap berusaha keras. Toh, saran istri hukumnya wajib diusahakan. Dia seorang psikolog sementara saya Cuma seorang psikopat.

Saat yang paling saya tunggu-tunggu adalah kalau pembicaraan sudah masuk ke ranah hobby. Nah, setidaknya ada kesempatan bagi saya untuk bicara.

“So what is your handicap?”

Dulu saya sempat terbengong-bengong dengan pertanyaan ini. Apa saya tampak seperti orang cacat?

Belakangan baru saya paham bahwa yang dimaksud adalah tingkat keterampilan dalam permainan golf. Lagi-lagi saya cuma bisa mengeluarkan seringai bego khas orang Indonesia sambil geleng-geleng kepala. “I don’t have any handicap, sorry.”

Sambil mengucapkan penyesalan itu, ingatan saya melayang ke beberapa tahun lalu ketika saya diajak driving di sebuah tempat golf di Pondok Indah –demi untuk meningkatkan taraf pergaulan saya-, dan hampir saja kepala saya terhantam tongkat golf yang diayunkan orang… hampir saja saya membawa handicap permanen di kepala. Sejak itu saya memutuskan untuk tetap bergelut di olahraga yang kurang berbahaya seperti silat.

“Oh, you don’t do golf?”

“No, sorry,” hampir saja kalimat pendek itu saya tambahkan dengan bersemangat “but I do golok, you know”, untungnya saya ingat kerutan alis istri saya, jadi niat itu saya batalkan. Istri saya berpesan untuk tidak mendominasi pembicaraan, jadilah pendengar yang baik. Hargai orang lain, jangan maunya menang sendiri.

“So, what do you do for fun?”

“Well,” tangan saya serabutan sambil kepala saya mencari-cari kalimat yang pas untuk menggambarkan pencak silat.

“Ah, you do Tennis.”

Grekk… Tangan saya berhenti di udara, mulut agak ternganga. Rupanya isyarat tangan saya dianggapnya menggambarkan olahraga tennis.

“err… not really. But I did bulutangkis.”

“bulu.. what?”

Foolish… mereka mana ngerti bulutangkis…

“Badminton,” teman saya yang satu lagi datang menolong.

“Yea,” saya menyambung dengan ekspresi orang sakit perut. “I was juara kecamatan for Badminton”

Semua orang mengangguk-angguk sambil menyeruput minuman masing-masing… jelas berusaha untuk terlihat sopan meski dalam hati mereka bertanya-tanya “ngapain orang ini di sini?”

Saya menggigit tepian cangkir teh… pura-pura ikut minum. Tidak sadar bahwa semua orang melihat bahwa cangkir saya kosong.

Sambil mengecilkan badan lebih jauh masuk ke dalam sofa, saya melirik ke luar. Di ruang tunggu sana ada beberapa orang yang dari pakaiannya kelihatan sekali bahwa mereka datang dari kampung.

Saya membayangkan duduk di sana bersama mereka, ngobrol-ngobrol soal anak, istri, sawah, musim, dan lumpur. Siapa tau, mungkin mereka bisa nyambung kalau diajak berbincang soal silat.
Title: Re: Ikan keluar dari Air
Post by: Taufan on 27/02/2011 12:09

Sambil mengecilkan badan lebih jauh masuk ke dalam sofa, saya melirik ke luar. Di ruang tunggu sana ada beberapa orang yang dari pakaiannya kelihatan sekali bahwa mereka datang dari kampung.

Saya membayangkan duduk di sana bersama mereka, ngobrol-ngobrol soal anak, istri, sawah, musim, dan lumpur. Siapa tau, mungkin mereka bisa nyambung kalau diajak berbincang soal silat.

Huahaha ini dia yg namanya hyperbolic ironic... wan kawan sudah pernah liat bodynya om Antara khan?  [lucu] [lucu] [lucu] [run]

Bektuleptop... yah begitulah citra silat yang tertanam kuat di kalangan masyarakat, harus kita akui itu  :'(

Trus gimana dong... dang ding dong?  :-\
Apakah kita juga harus larut dalam penilaian miring tsb dan turut memarjinalkan diri?

Pernyataan Bapak Pencak Silat Indonesia, Babe Eddie M Nalapraya, pada Seminar Pencak Silat di kampus UI yg baru lalu, menjadi sangat relevan dan harus menjadi paradigma bagi kita2 yang katanya mencintai silat: " PESILAT ITU HARUS RENDAH HATI, TAPI JANGAN PERNAH RENDAH DIRI!!!"

Wassalam,
TP
Title: Re: Ikan keluar dari Air
Post by: Suprapto on 27/02/2011 20:48
Setuju bung Taufan.

Kebanggaan dan rasa percaya diri memilih menjadi pesilat/pembina pencaksilat harus dimulai dari diri sendiri.
Bagaimana orang lain menghargai, kalau pesilatnya sendiri kurang pede.

Misal, "my sport is Indonesian Traditional  self defence, pencaksilat" biasanya setelah bengong, dia akan tanya lebih lanjut.
Atau ganti tanya, apa aktivitas sosial budaya dia agar hidup tidak "kering" diperbudak pekerjaan. Kalau ganti dia mulai geleng2 kepala, kita terus nyerocos mengenai aspek2 penting budaya pencaksilat, sehingga kita memilihnya. Atau tanya tentang beladiri khas negaranya.
Intinya pembicaraan kita arahkan pada hal yang kita kuasai. Bisa masuk dari aspek kesehatan, beladiri atau seni budaya dan prestasi.

Rasa bangga/percaya diri dijaga, agar orang tertarik, bukan jelous (jangan sampai "ngewak ewakke").
Kita bisa pakai pernak pernik kecil bertema pencaksilat. Misal kaos high end bertema silat dengan gambar/tulisan kecil yang tidak vulgar. Atau pakai kaos event cabang pencaksilat yang bagus, misal event SEAGAMES, Cultural sport Asian Games, festival martial art dsb. Atau gantungan kunci bertema silat yang digantung di backpack atau tas jinjing/tas kabin. Bisa juga stiker sllat.

Tentu masih banyak lagi trik2nya.
Sekali lagi harus percaya diri bahwa pilihan ini bagus, memiliki nilai tambah yang tinggi, luhur, sehat, membuat balance fisik dan mental, dan berbudaya, dan bisa membeladiri, dan bisa menolong orang lain, dan komunitasnya mendunia, dan sebagainya dan seterusnya.....

Silahkan para sohib menambahkan. Meski kita tahu ini pancingan gaya hiperbola dari bung  Antara, tapi memang minderwaardigheidskomplex (hehehe) ini adalah masalah nyata yang harus diatasi bersama.

Salam.