+-

Video Silat


Shoutbox

30/12/2023 22:12 anaknaga: Mudik ke Forum ini.
Mampir dulu di penghujung 2023..
07/11/2021 17:43 santri kinasih: Holaaaaas
10/02/2021 10:29 anaknaga: Salam Silat..
Semoga Sadulur sekalian sehat semua di Masa Pandemi Covid-19. semoga olah raga dan rasa dapat meningkatkan daya tahan tubuh kita. hampur 5 tahun tidak ada yang memberikan komen disini.
23/12/2019 08:32 anaknaga: Tidak bisa masuk thread. dah lama tidak nengok perkembangan forum ini.
salam perguruan dan padepokan silat seluruh nusantara.
02/07/2019 18:01 Putra Petir: Akhirnya masuk jua... wkwkwk
13/12/2016 10:49 Taufan: Yuk ke Festival Kampung Silat Jampang 17-18 Desember 2016!!!
20/09/2016 16:45 Dolly Maylissa: kangen diskusi disini
View Shout History

Recent Topics

Berita Duka: Alamsyah bin H Mursyid Bustomi by luri
10/07/2022 09:14

PPS Betako Merpati Putih by acepilot
14/08/2020 10:06

Minta Do`a dan bimbingan para suhu dan sesepuh silat :D. SANDEKALA by zvprakozo
10/04/2019 18:34

On our book: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
13/03/2017 14:37

Siaran Radio ttg. Musik Pencak Silat di Stasiun "BR-Klassik / Musik der Welt" by Ilmu Padi
12/01/2017 16:19

Tentang buku kami: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
17/10/2016 20:27

Hoby Miara Jin by anaknaga
19/09/2016 04:50

TALKSHOW SILAT - Silat Untuk Kehidupan by luri
22/06/2016 08:11

Thi Khi I Beng by aki sija
17/08/2015 06:19

[BUKUTAMU] by devil
09/06/2015 21:51

Daftar Aliran dan Perguruan di Indonesia by devil
01/06/2015 14:01

SILAT BERDO'A SELAMAT by devil
01/06/2015 13:59

Persilatan Jurus Lima (Sabandar) by Marsudi Eko
14/05/2015 19:36

Kebugaran Merpati Putih by mpcrb
22/04/2015 16:16

PAWAI JAMBORE PENCAK 2015 by luri
20/04/2015 16:20

SilatIndonesia.Com

Author Topic: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)  (Read 67525 times)

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #165 on: 02/09/2008 12:23 »
Apakah itu nasib buruk Tan Tay Seng?
Kalau benar begitu keadaannya sekarang, kasihan.
Tapi bagaimana ihwal yang sesungguhnya?
Ceng Ho sendiri berkata: sulit dipercaya.
Ci Liang pun berkata: mustahil.
Lantas di mana sebenarnya Tan Tay Seng?
Dan di mana pula sebenarnya Ling Ling?
Orang tua Ling Ling membuka usaha minuman yang tampaknya lebih maju ketimbang yang sebelumnya di Negeri Campa. Dan Ling Ling yang mengelola semuanya.

Tan Tay Seng mewujudkan rindunya yang lama ingin melihat Borobudur dan oleh karena itu dia sudah pergi ke sana. Dengan bekal kepercayaan dia tahu benar kemampuannya untuk
hidup di sana.

***


Borobudur dibungkus kabut ketika Tan Tay Seng tiba di sana. Berhari-hari dia berjalan seorang diri ke sana. Kendatipun sukar yang membuatnya susah, dia paksa kakinya berjalan mencapai tujuan. Nama Borobudur, betapapun, telah merangsang semangatnya. Apalagi di saat hatinya diombang-ambingkan oleh cinta yang tidak tersambung. Belum lagi rintangan-rintangan yang mengaral jalannya menuju ke Borobudur. Tiga-empat kali dia diadang begal dan garong yang hendak merampas barang bawaannya. Terpaksa dia berkelahi menunjukkan hukum: hanya yang kuat yang berhak hidup. Tapi di luar dugaannya, orang-orang yang berhasil dikalahkannya itu terus mengikuti dari belakang, bukan sebagai kawanan yang mengintai, melainkan orang-orang yang mengaguminya dan kemudian meminta dia mengajar ilmu kelahinya.


***

 
Gambaran Borobudur yang muncul dalam angannya dari cerita sang ayah yang diperoleh dari bacaan ternyata tidak sama dengan kenyataannya. Maka, ketika dia kagum melihat kenyataannya, dia pun merasa lebih kecil dari usianya. Sejak kecil ayahnya telah sering menceritakan tentang seorang sarjana Buddha, namanya Hwi-Ming, yang menetap di sekitar Borobudur, mengajar tentang kebenaran Buddha, dhamma *), bagi keluarga Kerajaan Syailendra. Yang membuatnya penasaran selama itu, sehingga hatinya benar-benar tertawan pada Borobudur, adalah melihat dengan mata sendiri keindahan candi yang diceritakan ayahnya itu. Dia ingat betul kata ayahnya, padahal ayahnya pun hanya membaca dari pewartaan Hwi-Ming bahwa Borobudur merupakan keajaiban luar biasa, suatu hasil kebudayaan paling tinggi yang pernah disumbangkan pemeluk agama Buddha kepada dunia. Kini dia telah melihatnya.  Dengan berjalan kaki dari Simongan lewat Panjangan ke Gunungpati - demikian jika saja Wang Jing Hong ingat - Tan Tay Seng berangkat ke Ungaran di selatan, dan terus lagi ke selatan, berpuluh-puluh kilometer di jalan belukar, licin, berbatu, terkadang dengan kalakanji yang mengotori jubahnya, akhirnya tibalah di Borobudur, tempat yang selama itu telah muncul dalam puisi-puisi yang dinyanyikannya. Di sinilah Tan Tay Seng yang sebenarnya. Di sinilah dia bersukacita menyatu dengan alam. Di sini pula dia makin memahami akan kebesaran Tuhan, yaitu Tuhan dalam pengertian Buddha yang menunjukkan pada hubungan: kebuddhaan selaku ketuhanan. Dengannya dia belajar melihat dirinya dan alam sebagai kenyataan insani di atas kenyataan alami yang sejati. Siapa nyana dengan ini dia dapat menjadi manusia sejati pula seperti dalam ajaran Buddha: "tidak mudah terlahir sebagai manusia yang hidup dalam ketakkekalan dan mendengar kasunyatan. **) Dalam terlempar seorang diri atas mau sendiri seperti sekarang Tan Tay Seng makin mampu merenung. Dia menempati sebuah rumah bambu yang dibangunnya sendiri di pinggir sungai, di atas tanah yang diizinkan oleh Tritama, bupati di situ. Tritama sangat terkesan padanya, pada perangainya, serta pada bakatnya yang terampil memainkan alat-alat musik khas Cina antara yang digesek, 'teh-yan'; yang dipetik, 'p'i-p'a' yang mirip lute, dan 'ch'in' yang mirip siter; kemudian yang ditiup, 'hsuan' dan 'siau-ling' yang merupakan peta suling, dan 'sheng' bentuk organ yang ditiup pula. Dia membuatnya sendiri dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di alam sekitarnya.

*****



***


Alih-alih Tan Tay Seng sekarang mengganti haluan dalam hidupnya. Bagai seorang pertama saja laiknya, dia menyepi di pinggir sungai itu, seakan khalwat di tengah kesunyian, hidup sendiri namun tetap bukan sebatang kara. Nanti begal dan garong yang telah dikalahkannya itu akan datang ke tempatnya ini, meminta diajarkan ilmu silat, dan karenanya tempatnya pun menjadi seperti roda yang berputar dengan semangat. Padahal, jika Tan Tay Seng mesti berkata apa adanya, dan itu berarti berkata jujur, sebetulnya selain alasan yang sudah disebut di muka, alasan lain, yakni alasan yang tak pernah diutarakannya dengan terbuka, adalah dia cukup merana ditolak cintanya oleh Ling Ling. Itu bukti juga betapa sering lelaki yang jantan pun menjadi rapuh oleh cintanya pada perempuan. Namun, walaupun Tan Tay Seng tidak pernah menyinggung masalah hatinya, kira-kira Tritama, yang telah kenyang makan asam-garam, dapat menduga-duga keadaan hati Tan Tay Seng itu. Itu sebabnya, pada suatu sore, sambil menunggu terbenamnya matahari di barat, Tritama berkelakar dengan Tan Tay Seng. Katanya, ''Apa kau patah hati?'' Tan Tay Seng pandai menutup keadaan dirinya. Dia tertawa terbahak-bahak, seakan sedang memasang zirah untuk menghadapi serangan senjata mematikan. Yang sejatinya, dia nyinyir sendiri terhadap hatinya. ''Patah hati?'' ujar Tan Tay Seng dengan nada memegah-megah diri. ''Tak usah ya. Itu terlalu cengeng. Hatiku bukan terbuat dari adonan ragi singkong. Lagi pula, dunia bukan hanya didiami oleh satu saja perempuan.'' Tritama ikut tertawa juga. Tapi tawanya mengandung arah ralat untuk membuat Tan Tay Seng bangun. Katanya, ''Ya, betul. Tapi jangan lupa bahwa harus selalu ada satu dulu perempuan yang mengawali pengalaman lelaki untuk mengenal, menghayati, dan memahami perikejantanannya. Setelah satu perempuan itu, barulah boleh lelaki bicara dua atau tiga, dan bahkan berlanjut sampai dua ratus atau tiga ratus perempuan yang menjadi koleksi istriistrinya.'' Tan Tay Seng terkinjat. Lalu dia termangu. ''Anda berbicara seperti seorang pemborong,'' katanya. ''Memangnya ada berapa istri yang menjadi koleksi Anda itu?'' Tritama yang ketawa terbahak. ''Baru dua ratus sembilan puluh sembilan.'' ''Dua ratus sembilan puluh sembilan?'' tanya Tan Tay Seng. ''Ya,'' jawat Tritama, ''tinggal satu saja jumlahnya akan menjadi tiga ratus. Tapi, ini yang ingin saya buktikan bahwa angka satu untuk menjadikannya menjadi tiga ratus, ternyata tidak gampang juga. Sebab, mengambil perempuan untuk dijadikan 'penekan' dalam rangka mewujudkan 'penakan', semata-mata bukan didasarkan pada 'mau' semata-mata, tapi lebih dulu 'sreg'. Ini pengetahuan dari orang yang berpengalaman, bukan dari orang berpengetahuan yang hendak bicara pengalaman.'' ''Apa bedanya itu?'' ''Teori dibuat berdasarkan praktik.''
Tan Tay Seng mengangguk. Pikirannya tidak teduh. Penasarannya mengusik. ''Lantas, semua yang dua ratus sembilan puluh sembilan itu dipakai semua?'' tanyanya.
''Tentu saja,'' jawab Tritama.
''Jadi berapa anak Anda semuanya?''
''Saya belum pernah menghitung. Biasanya perempuan yang pandai menghitung. Lelaki malas menghitung.''
Tan Tay Seng menganga. Pasti dia tidak bisa memahami jalan pikiran dan sikap hidup Tritama. Meskipun begitu dia merasa tidak perlu kaget pada kenyataan ini.



***


Sekarang, jika Tan Tay Seng yang sebenarnya ada di sekitar Borobudur, lantas siapa gerangan Tan Tay Seng yang dilaporkan sebagai orang sipil dari pelayaran muhibah Ceng Ho yang berbuat onar di bagian kota? Sudah pasti ada seseorang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Siapa pun boleh menyangka-nyangka bahwa ada seseorang yang mengetahui betul akan kepergian Tan Tay Seng ke Borobudur untuk membumi di sana, lantas orang ini pun menyamar dengan sengaja memakai nama Tan Tay Seng. Apakah ini suatu tindakan iseng, ataukah sesuatu yang disengaja? Tidak jelas. Siapa pula sebenarnya orang itu, tidak jelas! Untuk sementara, Ceng Ho sendiri pun belum menyuruh orang menyelidikinya. Dia juga tidak berkata bahwa buah yang busuk akan jatuh dengan sendirinya. Padahal dia tahu betul bahwa pengalaman-pengalaman insani ditimba dari hukum alam belaka.  Tapi ada kalimat Ceng Ho di dalam rapat yang diterima orang-orang sebagai kias. Yang diucapkannya adalah peribahasa ''Ya tzu ch'ih huang lien, sui k'u pu neng yan''. Artinya, ''Jika seorang dungu memakan tanaman yang pahit (huang lien), dia tak cakap menerangkan kepahitannya.''

****


***


Justru Dang Zhua yang curiga, jangan-jangan orang yang mengaku bernama Tan Tay Seng itu adalah Hua Xiong. Karena itu, pada suatu malam dia datang ke bagian sungai di tengah kota - kini bagian Petudungan - di rumah makan milik orang tua Ling Ling. Kala itu malam agak mendung pertanda sebentar lagi hujan. Di situ dia duduk di bagian yang tersembunyi, di pojok ruang, menikmati minum yang boleh menghangatkan tubuh. Apa nama minuman yang dapat menghangatkan badan tapi bukan arak yang memabukkan? Orang Cina sudah mengenalnya ribuan tahun yang lalu: wedang jahe. Di sudut itulah Dang Zhua menikmati minuman jahenya. Percakapannya dengan pemilik rumah makan, jadi bukan sekadar rumah minum seperti yang dipunyai keluarga Ling Ling di Negeri Campa sana, dimulai dengan banyak basa-basi, dan hari itu terasa dengaren. Padahal, yang sebetulnya diharapkan Dang Zhua adalah jawaban atau kecurigaannya, yaitu keterangan dari orang tua Ling Ling bahwa orang yang menyebut dirinya Tan Tay Seng itu adalah Hua Xiong. Tapi basa-basi yang diaturnya, yang dalamnya ada pancingan-pancingan, ternyata tidak berhasil membuka tudung
rahasia yang diharapkannya. Sebab, ketika dia mengucapkan nama itu, nama Tan Tay Seng, Ling Ling langsung mematikan omongannya. ''Sebaiknya jangan sebut nama itu di sini,'' kata Ling Ling. Maaf,'' kata Dang Zhua dan hampir saja merasa kehilangan cara untuk melanjutkan percakapan. Tapi kemudian dengan cepat dia memperoleh cara menyambungkannya. Katanya, ''Sumpah kualat disambar geledek, saya tidak tahu apa yang terjadi. Bukankah...?''
''Jangan teruskan,'' kata Ling Ling menyentak sambil meninggalkan meja di depan Dang Zhua yang baru ditaruhnya secangkir ronde, wedang jahe dengan onde-onde merah-putih-hijau.
Dang Zhua menoleh ke arah ibu Ling Ling. Kepalanya bergerak dengan kerut di dahi yang kira-kira berarti: ada apa ini? Lantas ibu Ling Ling menghampiri Dang Zhua.
''Dia memang tidak suka mendengar nama itu,'' kata sang ibu.
''Tapi bukankah mereka saling suka?''
''Ya, tapi Ling Ling berpikir terlalu maju. Dia ingin orang yang menyukainya tidak lagi bermain-main dengan perempuan yang lain.''
''Memangnya apa yang terjadi?''
''Tan Tay Seng sering ke rumah bordil di ujung sungai sana.''
Dang Zhua mengangguk-angguk mengerti. Pertanyaan yang melingkar dalam pikirannya tentang seseorang yang dicurigainya, agaknya mulai membawa langkahnya untuk mendapatkan jawabannya.
Dia putuskan untuk pergi ke rumah bordil di ujung sungai itu.

***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #166 on: 02/09/2008 12:31 »
Rumah bordil di ujung sungai yang dimaksud bukanlah rumah dalam pengertian yang layak. Atapnya dari alang-alang, tiang-tiangnya dari bambu, dindingnya dari gedek, dan lantainya tanah tak berlapis semen. Berhubung rumah yang layak tidak beratap alang-alang, bertiang bambu, berdinding gedek, berlantai tanah, maka sebutlah dengan tepat rumah bordil ini adalah sebuah gubuk. Yang berkuasa atas gubuk itu adalah seorang jaruman setengah baya yang bercakap carut, segala najis yang mampet di comberan merupakan hiasan dalam bahasa tuturnya sehari-hari. Jika dia kaget, tiada soal kagetnya lantaran senang atau lantaran sedih, pasti saja dia akan memekik kata 'eh kont*l'. Tak banyak orang peduli bahwa ini disebabkan semata oleh gangguan saraf dan kejiwaan yang terjadi dari konflik dan represi, yang membuat antara naluri dan kecenderungan menyatakan diri dalam pelbagai gejala, terulang-ulang menurut yang telah terbingkai di mulutnya. Namun, salah satu hal yang mestinya menarik, khususnya menurut para garong, adalah melihat mulutnya ketika dia tertawa: seluruh gigi depannya, atas dan bawah, terbuat dari emas murni. Sayang, biasanya tidak ada garong yang tergoda merampoknya. Sebab, banyak orang gentar melihat keadaan tubuhnya. Badannya gemuk sekali, melebihi batas ukuran perempuan tambun yang lumrah. Pantatnya saja melebar mencapai lingkar dua depa. Jika dia berjalan, langkahnya lamban nian, bagai itik pulang petang. Orang biasa memanggil mucikari ini dengan nama dari kata yang biasa dia pekik-pekikkan dalam senang atau pun sedih, yaitu: Yu Kont*l. Padahal nama yang diberi oleh orang tuanya dengan upacara bubur merah-putih adalah: Juminah.


***


Mengenai mata pencahariannya, mesti dikatakan bahwa hanya ada dua bilik dalam gubuk maksiat Juminah. Ketika Dang Zhua datang ke situ, masih ada lima orang lelaki peminat mesum yang duduk menunggu giliran selesainya dua lelaki yang berada di dalam dua bilik itu. Mereka yang menunggu itu duduk di bangku luar gubuk sambil mengunyah-ngunyah kacang-goreng yang disediakan Juminah dalam mangkok-mangkok tanah liat. Walaupun sundal yang tersedia di gubuk milik Juminah ada tujuh orang, hanya dua orang di antara mereka yang menjadi favorit para pesuka mesum. Salah seorang di antara yang dua itu adalah yang dipanggil Rah. Di luar kelaziman dari rata-rata keadaan kulit orang pesisir yang banyak berwarna legam karena gigitan matahari yang lebih leluasa di sini, Rah terbilang ''putih''. Juminah berkata bahwa ''putih''-nya Rah sebab perintahnya yang dipatuhi untuk saban hari melulur kulit dengan mangir yang bercampur aduk antara kunyit, bengkuang, melati, dan dupa. Ditambah ramuan tertentu yang dipuji-pujinya, berupa bubuk yang dileleti di bagian organ dagangannya, maka tak heran nama Rah sangat populer di kalangan pesuka maksiat.

***


Padahal tempat pesuka maksiat mencari kesenangan di Semarang waktu itu - atau dalam istilah Semarang sekarang: tempat orang melakukan royal - cukup banyak. Hanya sekitar seratus meter dari gubuk milik Juminah, yaitu di dekat jembatan gelugu -sekarang Jembatan Pekojan - ada bordil yang lebih tua dengan personel sundal yang pada musim paceklik bisa mencapai dua lusin, tapi bordil ini jarang diminati imigran dari Cina. Alasan yang didengar oleh Dang Zhua dari mulut salah seorang pelanggan di gubuk Juminah, yang mencerocos leluasa seperti rem blong, seraya mengunyah-ngunyah kacang goreng, adalah, ''Lonte yang sudah dipakai orang Koja itu rata-rata jebol, longgar-longgar, tidak enak.'' Dan, setelah itu orang-orang yang mendengar, menanggapi omongannya dengan cerita tentang nama-nama buah: terong, ketimun, pisang raja, dan seterusnya. Semua nama buah yang mereka ucapkan dengan ketawa timbul dari pikiran-pikiran yang sangat remeh, dihubungkan dengan buah yang mereka kenal betul, yaitu buah zakar. Itulah, memang, dunia lelaki, mulut lelaki, otak lelaki, di rumah-rumah bordil.

 
***


Tentang Rah, lelaki yang sedang menunggu di bangku luar seraya memain-mainkan mulut mengunyah kacang gorengnya itu berkata dengan harapan orang memujinya. ''Kalau bicara soal Rah, saya yang paling tahu.''
''Bagaimana?'' tanya Dang Zhua.
''Rah itu ciamik sekali,'' katanya.
''Ciamik bagaimana?''
''Untuk membandingkannya, lihat saja ayam alas atau bunga hutan. Ayam alas lebih gurih daripada ayam piaraan, bunga hutan lebih wangi daripada bunga kebun. Pokoknya siapa yang pernah main dengan Rah merasa sama untungnya seperti Shan Yu*) mendapatkan Wang Zhao Jun.''**)
''Ah, itu berlebih-lebihan. Itu kelewatan.''
''Percayalah saya,'' kata orang itu menandas. ''Kenyataannya memang begitu. Rah itu pulen, gurih, singset.''
Dang Zhua pun mendadak mendapat gagasan melancung. Dia manfaatkan omongan orang itu dengan membuat pancingan. Katanya, ''Apa itu yang menyebabkan Tan Tay Seng tergila-gila pada Rah?''
''Ah, semua orang tergila-gila pada Rah.''
Dang Zhua memancing lagi. Dan berlagak sok tahu. Maksudnya supaya dengan begitu orang yang memuji Rah tersebut agak keranjingan geram. Katanya, ''Tapi Tan Tay Seng malah akan membikinnya jadi bininya.''
''Ah, Tan Tay Seng itu mulut besar. Masih baru di sini tapi lagaknya sudah seperti Hou-Tei.***) Kalau sudah kena batunya, baru dia tahu rasa.''
Dang Zhua merasa berhasil memancing. ''Tunggu,'' katanya mendapat gagasan baru. ''Apa Anda yang bernama Ping Lok?''
''Bukan,'' sahut orang itu dengan segera dan dengan tidak ramah. ''Saya Hian Bing. Semua orang tahu. Saya sudah sepuluh tahun di sini.''

Dang Zhua berlagak karib. ''O, ya, betul,'' katanya. Tak urung dengan lagak karib seperti ini dia memancing kiamat kecil-kecilan bagi orang yang mengaku bernama Hian Bing itu. ''Nama Anda memang disebut-sebut oleh Tan Tay Seng.''
''Apa?'' tanya Hian Bing seperti tidak percaya.
''Ya, betul, saya baru ingat,'' kata Dang Zhua.
''Memangnya apa yang dia katakan?'' tanya Hian Bing penasaran.
''Maaf,'' kata Dang Zhua membuat wajahnya seperti sedih.
''Ada apa?'' tanya Hian Bing.
''Tan Tay Seng kelihatannya kurang menghormati Anda.''
''Apa?''
''Ya, saya yakin.''
''Bagaimana Anda bisa menyimpulkan begitu?''
''Dari kata-katanya sendiri.''
''Apa yang dia katakan?''
''Wah, menusuk sekali. Wajar jika Anda harus marah.''
''Betulkah?''
''Betul. Dia bilang Anda hanya seekor celurut busuk yang merangkak di kaki Rah.''
Bukan kepalang naik pitamnya Hian Bing. Dia bangkit dari bangku, membanting kacang goreng di tangannya, berteriak liar seperti serigala lapar.
''Setan keparat! Akan kupatahkan batang lehernya sekarang juga!''
Lalu dia melesat ke dalam gubuk. Di depan dua bilik gedek itu dia berteriak sampai urat-urat
lehernya keluar. Teriakannya itu adalah teriakan menantang.
''Hei, kalian yang di dalam. Kalau salah satu di antara kalian Tan Tay Seng, cepat keluar ke sini, biar kupatahkan batang lehermu!''
Dang Zhua senang. Dia berpikir, alangkah mudah menghasut Hian Bing. Tapi sekaligus dengan berpikir begitu dia mulai juga menaksir-naksir bahwa Hian Bing bukan termasuk seseorang yang punya kemampuan berhitung dalam berkelahi. Sebab, orang yang cepat marah, dan marahnya disertai dengan bengak-bengok seperti ini niscaya dapat diukur kemampuannya membela diri. Biasanya, demikian yang diketahui Dang Zhua sebagai seseorang yang biasa berada di dalam lembah bayang-bayang dunia bengkok, orang yang
marah berteriak-teriak sebenarnya tergolong pribadi yang keropos.
Tapi bukan itu tujuan Dang Zhua memanas-manasi Hian Bing. Tujuan utamanya, memang,  mencari jawaban akan siapa orang yang telah memakai nama Tan Tay Seng itu. Keterangan tentang orang itu setidaknya sudah direkamnya dalam ingatan melalui pernyataan Hian Bing  yang mengatakan Tan Tay Seng itu orang baru di sini. Berarti memang benar, orang yang memakai nama Tan Tay Seng adalah seseorang dari orang-orang sipil di kapal-kapal rombongan Ceng Ho yang turun di Semarang dan menjadi imigran di sini.
Dalam hati Dang Zhua berkata dengan yakin, ''Mudah-mudahan kau Hua Xiong bedebah.
Sepandai-pandaimu melompat seperti tupai, kau tidak akan bisa menipu beruk.''


***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #167 on: 02/09/2008 12:38 »
Bagaimana cara Dang Zhua membuktikan kecurigaannya itu?
Selama tiga hari berturut-turut dia datang ke gubuk mesum milik Juminah dan nongkrong di situ menunggu Tan Tay Seng palsu yang diyakininya adalah Hua Xiong. Tapi selama itu orang yang dicurigainya itu tidak kunjung hadir.
Dang Zhua dapat menunggu dengan sabar. Yang tidak tenang, dan tiap malam pula datang ke gubuk milik Juminah untuk bertemu Tan Tay Seng palsu itu, adalah Hian Bing. Saban malam, jika dia datang ke gubuk mesum Juminah, pasti pertanyaannya sama kepada sang mucikari, ''Tan Tay Seng datang?''

Dan jawab Juminah dengan jengkel, ''Yang ditanya selalu Tan Tay Seng. La mbok yang ditanya bidadariku. Kacang gorengku dimakan, tapi kacang-kacangku yang lain tidak disentuh.''


***


Sekarang, bagaimana Dang Zhua tahu bahwa Tan Tay Seng palsu memang benar-benar Hua Xiong?
Keterangan yang satu bahwa dia adalah orang baru di Semarang sudah direkamnya dalam ingatan. Tapi, bukankah orang sipil yang turun di Semarang lumayan banyak? Apa ciri Tan Tay Seng palsu yang dapat meyakinkan diri Dang Zhua bahwa orang itu adalah Hua Xiong?
Dang Zhua harus memancing kembali. Ini mengasyikkan. Pada malam ketiga hadir di gubuk mesum Juminah itu, dia berpura-pura menyesal seandainya nama Tan Tay Seng yang disebutnya ternyata tidak sama dengan Tan Tay Seng yang dimaksud Hian Bing.
''Tapi, mungkin saya salah,'' kata Dang Zhua. ''Apa Tan Tay Seng yang saya sebut itu sama dengan Tan Tay Seng yang Anda maksudkan?''
Hian Bing masa bodoh. ''Sama atau tidak sama, dia harus merasakan bagaimana aku patahkan lehernya,'' katanya.
''Maksudku gini,'' kata Dang Zhua. ''Apakah Tan Tay Seng yang Anda maksudkan itu adalah Tan Tay Seng yang bermulut lebar?''
''Ya, memang dia,'' kata Hian Bing. ''Mulutnya bukan mulut, melainkan congor babi.''
''Kalau ketawa mulutnya sampai ke kuping?'' tanya Dang Zhua.
''Ya. Tidak ada manusia yang lebih jelek dari dia.''
Dang Zhua mengangguk. Sekarang dia yakin, Tan Tay Seng palsu tak lain tak bukan adalah Hua Xiong belaka.


***


Lantas, di mana gerangan Hua Xiong?
Dia tidak tinggal dalam sebuah rumah dengan perasaan tenang dan merdeka.
Walaupun tinggal dalam sebuah rumah, yaitu rumah yang disewanya dengan kelicikannya,  dia tidaklah tinggal di situ sebagaimana orang-orang yang bebas leluasa. Karena dia merasa bersalah, yang tepat adalah: dia bersembunyi di rumah itu. Rumah tempatnya bersembunyi itu terletak di bagian pinggiran permukiman, di tempat yang banyak beceknya, dan di sekitarnya tumbuh pohon-pohon turi - belakangan setelah ramai seratus tahun kemudian bernama
Karangturi. Dalam persembunyian di rumah itu, dia merancang-rancang untuk pergi ke barat, ke tempat Ceng Ho pernah memenggal kekuatan sihir yang menjelmakan siluman ular Boleh dikata Hua Xiong mujur sebab sampai sejauh ini belum terpergok oleh Dang Zhua di gubuk mesum Juminah itu. Beruntung karena selama hampir tiga pekan, ketika Dang Zhua bolak-balik datang ke situ, Hua Xiong tidak pernah datang ke situ. Ketika pada suatu malam, yaitu malam ini, dia datang ke gubuk mesum itu, Juminah menarik tangannya supaya keluar.
"Lebih baik kamu pulang saja," kata Juminah.
Hua Xiong bingung tapi cepat tanggap. "Ada apa?"
"Di dalam ada Hian Bing," kata Juminah. "Dia bakal mematahkan batang lehermu."
Hua Xiong terkinjat. Dia tatap wajah Juminah dalam gelap hanya sentir yang berjarak dua meter, digantung di gubuknya itu dan semprongnya terbungkus kain merah.
"Kenapa dia mau patahkan leherku?" tanya Hua Xiong.
"Tidak tahu," jawab Juminah. "Tapi dia selalu bilang begitu."
Hua Xiong diam sebentar. Kemudian dia memperoleh gagasan tertentu. Dia bertanya, "Sekarang di mana orang yang mau mematahkan leherku itu?"

"Di bilik kedua," kata Juminah. "Tapi jangan ganggu dia."
Namun Hua Xiong tidak mengindahkan itu. Dia mengeluarkan pedangnya. Lalu dia masuk ke bilik yang disebut Juminah.

***

Di dalam bilik itu Hian Bing sedang melakukan tarian binatang buas. Dia menganggap dirinya singa, dan Rah yang berada di bawahnya adalah kambing. Dia merasa terhibur melihat Rah mendesah-desah kemudian menjerit-jerit.

Tak lama kemudian Hua Xiong masuk ke situ, mengejutkan Hian Bing.
"Apa betul kamu mau mematahkan leherku?" kata Hua Xiong seraya menghunuskan pedangnya itu di wajah Hian Bing yang berada dalam posisi menungging.
Bukan buatan kagetnya Hian Bing. Dia mencolot sambil menghardik, "Bangsat kamu, Tan Tay Seng!"
Tapi bersamaan dengan kagetnya yang membuatnya hilang tanda-tanda nafsunya, dia kaget lagi untuk hal yang lain, yaitu karena pedang di tangan Hua Xiong itu telah tertikam ke dalam perutnya.
"Kamu yang bangsat!" kata Hua Xiong menekan lebih kuat pedangnya ke dalam tubuh Hian Bing.
Rah menjerit melihat ini. Dia melesat keluar dengan telanjang bulat.
Hian Bing berusaha berdiri, dan dia tidak yakin kakinya cukup kuat untuk melakukan itu.
Ketika dia mencoba berdiri dalam cara yang tidak mudah, bersamaan dengan itu Hua Xiong menarik pedangnya, tapi kemudian menikamkan kembali ke leher Hian Bing.
Hian Bing pun tumbang. Tampaknya kurang meyakinkan bahwa dia masih bisa hidup.
Melihat keadaannya yang sekarat, buru-buru Hua Xiong keluar, melarikan diri. Tinggal Juminah, Rah, dan sundal-sundal yang lain menjerit ngeri di situ.


***

Besoknya tersiar kabar di mana-mana tentang peristiwa pembunuhan di gubuk mesum Juminah. Kabar itu masuk juga ke dalam rumah makan milik Ling Ling. Seseorang bercerita seakan-akan menyaksikan adegan yang dituturkan ini. Katanya, "Hian Bing masih menggenjot-genjot, lantas Tan Tay Seng meloncat ke arahnya, sing, menikamkan pedangnya, cus, masuk langsung ke perut Hian Bing, plek, mati!" Seseorang lainnya yang mendengar cerita itu lantas bertanya, "Hei, coba terangkan dulu, apa maksudnya sing, cus, dan plek dalam ceritamu itu." Yang ditanya lantas menjawab gampang-gampangan, "Sing itu bunyi loncatannya, cus itu bunyi tikaman pedang yang masuk ke dalam perut, plek itu bunyi jatuhnya tubuhnya ke lantai." Wajah Ling Ling memerah mendengar cerita itu. Dia berpaling lantas masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan di dalam? Apabila di dalam nanti wajahnya mengencang mewakili perasaan marah, atau gusar, atau kecewa, barangkali dengan begitu
boleh ditafsir bahwa dia peduli pada Tan Tay Seng. Untuk hal-hal tertentu peduli bisa juga ditafsir sebagai suatu kecenderungan tersembunyi yang mengarah ke rasa senang. Benarkah begitu? Hanya Ling Ling yang tahu.
***
Yang sama sekali tidak diketahui Ling Ling adalah nama Tan Tay Seng yang disebut-sebut orang selama ini sebagai pesuka maksiat di gubuk Juminah itu adalah bukan lelaki yang pernah menyatakan cintanya kepadanya. Namun, apa mau dikata, selalu terjadi dalam kehidupan manusia, bahwa orang lebih kerap percaya pada gunjingan atau hal-ihwal yang tidak dilihatnya sendiri. Harus dikatakan bahwa Ling Ling termasuk orang yang menjadi korban gunjingan. Oleh gunjingan itu maka sekian bulan lampau dia telah mengusir Tan Tay Seng - Tan Tay Seng asli - sehingga Tan Tay Seng yang serius mencintainya itu terpaksa pergi berkelana, meninggalkan Semarang dan membumi di Borobudur. Andai saja nanti tersingkap hal yang sebenarnya, pasti orang pertama yang kecele adalah Ling Ling. Tapi bagaimana dia harus menyatakan menyesalnya, dan entah di mana Tan Tay Seng. Kalakian maka Ling Ling pun tercenung. Dengan duduk diam sejenak di dalam, dia mengilas balik peristiwa-peristiwa masa lampau yang baru saja berlalu. Mungkin dia terlalu letih hari itu. Tiga bulan setelah mukim di Semarang, dan bekerja siang dan malam di rumah makan milik orang tuanya, khususnya meramu minuman yang merupakan keahliannya, memang membuatnya tidak santai

******
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #168 on: 02/09/2008 12:45 »
Sekian bulan lalu ketika rumah makannya ramai, dan badannya amat letih, datang dua orang lelaki yang baru saja selesai bermesum di gubuk Juminah. Salah seorang di antara kedua orang itu adalah imigran yang sudah lama di Semarang. Dia tak lain adalah Hian Bing. Dia berceloteh dengan suara keras tentang sundal di gubuk Juminah yang baru dipakainya.
"Wah, tidak tahu, barangnya ditaruh apa, sampai seretnya seperti itu," kata Hian Bing.
"Bayangkan saja, orang baru itu, Tan Tay Seng, sampai empat kali."
"Empat kali bagaimana?" tanya sahabatnya.
"Empat kali permainan," kata Hian Bing keras-keras.
Dan bukan kepalang geramnya Ling Ling mendengar itu.


***

Besoknya -dan ini terjadi tiga bulan lalu - ketika Tan Tay Seng yang benar, yaitu Tan Tay  Seng yang menyatakan cintanya kepada Ling Ling sejak masih di Negeri Campa, datang ke rumah makan miliknya yang cepat sekali dikenal di Semarang ini, Ling Ling langsung menghardik, mengusirnya.

"Pergi kamu dari sini," kata Ling Ling.
Tan Tay Seng terbingung, terbengong, tak paham. "Ada apa ini Ling?" tanyanya.
Bukan menjawab dengan kata, Ling Ling menanggap dengan mengayunkan tangan, menampar muka Tan Tay Seng. "Dasar kutu loncat," kata Ling Ling.
Tan Tay Seng berusaha memahami yang tidak dipahaminya ini, menarik lengan Ling Ling karena Ling Ling akan masuk ke dalam dan memohon. "Tunggu, Ling," katanya.
Ling Ling jengkel. Dia menyampluk tangan Tan Tay Seng yang menarik lengannya itu.
"Jangan pegang-pegang," katanya. "Aku benci kamu."
Tan Tay Seng meloncat mendului Ling Ling lantas berdiri di hadapannya, memohon dengan sungguh. "Tolong katakan Ling. Ada apa sebenarnya?"
Walaupun Tan Tay Seng telah berlaku demikian jujur untuk mendapat jawaban atas tindakan Ling Ling yang alih-alih aneh begini, tetap tidak berhasil. Ling Ling telah benar-benar termakan oleh gunjing yang melahirkan butarepan di otak, di hati, di jiwa, di raga.


***


Setelah itu, masih beberapa kali, tanpa lelah Tan Tay Seng datang menemui Ling Ling, bertanya akan perubahan sikap Ling Ling yangdemikian mendadak, tapi sepanjang itu Ling Ling menutup diri, membungkus diri dengan benci.... Itu sebabnya, dalam keadaan hati yang nyaris terkecundang, Tan Tay Seng berangkat ke selatan, ke Borobudur, yang kebetulan telah lama pula dirindukannya. Sebelum berangkat ke sana - andai saja Wang Jing Hong mengingatnya -Tan Tay Seng berpamit dengan kata-kata tersusun rapi, "Aku berangkat ke selatan, karena dia yang telah merampas kedamaian jiwa, menggantinya dengan peperangan yang enggan berhenti. Siapa tahu dalam kebingungan memijak bumi aku pungut bibit-bibit kemenangan hati..."

***


Kini Tan Tay Seng mengenang.
Ling Ling pun baru saja beranjang ke masa kemarin.
Dua-duanya hanya mengingat rangkaian yang demikian terbatas.
Justru Dang Zhua, yang selama itu menyebalkan, tapi sang waktu yang perkasa gerangan dapat mengubah perangai, adalah orang yang menemukan jawaban ganjil dari rangkaian peristiwa-peristiwa itu.

***


Dang Zhua datang menemui Ceng Ho di Simongan. Sore itu Ceng Ho sedang duduk menyaksikan dengan hormat - sebagai sikap sehari-harinya yang sangat toleran terhadap pelbagai keyakinan yang  dianut oleh anak buahnya - akan arahan-arahan pendeta Kong Hu Cu yang menerangkan kepada umatnya tentang bagaimana melestarikan isyarat sembahyang yang benar. Sebagian dari umat yang meriung di hadapan pendeta itu adalah pribumi yang telah diperistri oleh imigran dari Cina tersebut. Kepada mereka, mesti diajarkan sendi-sendi keyakinan dari peradaban Cina yang telah tua itu. "Mengapa kita perlu mengenal dengan betul tata cara sembahang kita?" kata sang pendeta kepada umatnya. "Sebab, melakukan sembahyang secara salah dapat berarti menyepelekan kesucian Tuhan. Tata cara sembahyang kita ini sudah dibakukan sejak seribu sembilan ratus tahun yang lalu, yaitu sejak zaman Chun Chiu*), pada masa hidup nabi kita sendiri, Konghucu. Mula-mula saya ingin tekankan, jangan karena melihat sembahyang itu pelik, maka sembahyang itu dianggap beban. Betapapun sembahyang itu suatu suka cita." Dang Zhua memberi tabik dengan anggukan kepala kepada pendeta itu yang segera pula melihatnya. Lalu Dang Zhua berjalan mendekati Ceng Ho. Dia duduk di dekatnya. Maunya dia bisa berkata langsung akan apa yang diketahuinya, tapi dia melihat Ceng Ho masih memberikan apresiasi kepada pendeta itu menanamkan pengetahuan. ''Kita harus memberi hormat pula kepada tiga unsur alam di mana kita hidup,'' katanya. ''Ketiga unsur itu adalah sang empunya langit atau Thian Kwan, sang empunya bumi atau Tee Kwan, dan sang empunya air atau Cui Kwan. Ketiga unsur ini kita sebut sebagai Sam kwan tay tee. ''Dalam melakukan sembahyang kepada Thie Kong atau para leluhur, kita melakukannya dengan sam kwi atau tiga kali berlutut, dan kiu gio atau sembilan kali menyembah. Ingat, ketika kita melakukannya dengan memegang hio, haruslah tangan kanan kita ditutup dengan tangan kiri. Seperti begini.''
Dan pendeta itu melakukannya, memegang hio, menggerakkannya dari batas pusar ke atas dan berhenti pas di muka dada.


***


Setelah itu, Ceng Ho menoleh kepada Dang Zhua yang berada di dekatnya, di tempat yang atas mau Dang Zhua berada di bawah letak duduk Ceng Ho.
''Ada yang hendak Anda katakan?'' tanya Ceng Ho kepada Dang Zhua.
''Ya, Sam Po Kong,'' jawab Dang Zhua. ''Laporan yang didapat Wang Jing Hong itu ada benarnya tapi ada juga tidak benarnya.''
''Apa maksudnya itu?'' tanya Ceng Ho.
''Benar, ada keonaran dari orang sipil yang sudah mukim di sini. Namun tidak benar bahwa orang yang disebut-sebut sebagai Tan Tay Seng adalah pelakunya,'' kata Dang Zhua.
''Apa dengan begitu Anda sudah mendapat jawaban yang sebenarnya siapa orang yang  dimaksud itu?'' tanya Ceng Ho.
''Sudah, Sam Po Kong,'' jawab Dang Zhua.
''Siapa?''
''Hua Xiong.''
''Sudah dapat ditebak,'' Ceng Ho berdiri. ''Kita harus bertindak.''


***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #169 on: 02/09/2008 12:50 »
Ceng Ho pun membuat rapat kecil di Simongan. Yang hadir terbatas. Ada Wang Jing Hong, ada Ci Liang, dan perwira lain, termasuk tentu saja Dang Zhua.
''Memang benar, ada orang sipil yang ikut dalam pelayaran dan telah menetap di kota, yang membuat onar di tempat mesum,'' kata Ceng Ho membuka pertemuan. ''Orang itu bukan Tan Tay Seng, melainkan seseorang yang saya ingin supaya dia dapat segera ditangkap.''
''Siapa?'' tanya Wang Jing Hong.
''Biar Dang Zhua yang menyampaikan kepada kita,'' kata Ceng Ho sambil mempersilakan Dang Zhua bicara.
''Tan Tay Seng sudah lama tidak berada di Semarang,'' kata Dang Zhua. ''Dia mengembara ke selatan.''
Wang Jing Hong tersentak di tempatnya duduk. Ingatannya kembali dengan segar. Dia kaget.
''Astaga,'' kata Wang Jing Hong. ''Memang betul. Saya hampir lupa. Tan Tay Seng berpamitan pada saya sebelum dia berangkat.''
Namun wajahnya mengerut. Dalam dirinya berlangsung pertanyaan yang tak terjawab.
''Lantas, siapa Tan Tay Seng yang dilaporkan oleh Bun Hau itu?''
''Kita pasti tidak menyangka,'' kata Dang Zhua. ''Dia Hua Xiong.''
Semua ternganga. Mulut mereka seakan mengucapkan nama itu dengan rasa tidak percaya.

''Keonaran yang dia lakukan bahkan di luar dugaan akal sehat kita,'' kata Dang Zhua. ''Tiga malam lalu malah dia membunuh seseorang di rumah bordil.''
''Apa?'' Wang Jing Hong berseru.
''Membuat keonaran di rumah bordil menunjukkan dirinya sudah benar-benar bejat,'' kata Ceng Ho.
''Tunggu,'' kata Wang Jing Hong. ''Jangan-jangan ini laporan yang tidak benar juga. Siapa yang melapor pada Anda.''
''Saya yang melapor pada kita,'' jawab Dang Zhua.
''Apa itu maksudnya?'' tanya Ci Liang.
''Artinya sederhana, saya yang menyelidik, dan saya mendapatkan jawaban itu di tempat kejadian,'' jawab Dang Zhua.
''Karena itu, saya minta sebelum berlayar tiga bulan lagi, harus sudah ditangkap itu lengkanas yang memalukan, perewa yang merusak citra.''
Dang Zhua menunjukkan jari. Katanya dengan memohon, ''Izinkan saya melakukannya. Saya sanggup melakukan dengan kedua tangan saya ini.''
''Silakan,'' kata Ceng Ho.


***


Masalahnya, bagaimana cara menguntit Hua Xiong sekarang? Setelah Hua Xiong membunuh Hian Bing di gubuk mesum milik Juminah, hanya ada dua kemungkinan yang akan dilakukan Hua Xiong. Dia takut mendatangi tempat itu. Atau justru dia makin berani. Ternyata ini bukan urusan takut atau berani bahwa Hua Xiong mengambil keputusan meninggalkan Semarang. Sejak kemarin-kemarin dia sudah membayangkan Cirebon. Persoalan kapan Hua Xiong meninggalkan Semarang ke Cirebon, atau ke mana pun, yang olehnya membuat dia luput dari jerat yang dipasang untuknya, adalah memilih dan menentukan waktu yang tepat sesuai dengan hitungan-hitungan tuahnya. Sementara itu waktu bergerak dengan perkasanya. Acapkali dalam keperkasaan gerak sang waktu ada perubahanperubahan yang terbit bersamanya, sehingga mau tak mau manusia mesti menyesuaikan diri dengannya. Jamaklah kiranya bila pilihan waktu yang sudah ditentukan oleh Hua Xiong untuk meninggalkan Semarang, terpaksa ditimbang ulang karena waktu yang bergerak perkasa tersebut.


***


Kurang dua bulan sebelum jatuh Sin-Cia - kira-kira jatuh pada ujung Desember menurut tarikh Masehi - hujan deras tumpah di atas Semarang, menggenang bagian kota yang datar. (Percayalah, Semarang sebagai 'kota' sudah terbangun secara alami sejak lebih 200 tahun lalu sebelum Ceng Ho menginjakkan kaki di Simongan: sebagai bandar yang bebas dan tidak terjangkau oleh kekuasaan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur. Sebagian penduduknya, di luar pribumi Jawa, adalah puak, suku, dan bangsa luar yang berbaur di sini, antara lain Melayu, Koja, dan tentu saja Cina. Banyak orang Cina yang menjadi cikal-bakal Semarang merupakan tentara-tentara yang melarikan diri dari tugasnya di Jawa Timur, baik dari masa pemerintahan Kertanegara maupun Raden Wijaya. Karena hujan deras itu yang menggenang sebagian besar dataran rendah Semarang ini, katakanlah mengubah rencana-rencana orang. Di antara orang yang terpaksa menyesuaikan diri dengan keperkasaan sang waktu, yang membuat Semarang menjadi bagai sebuah danau, tentulah Hua Xiong. Perewa dan lengkinas ini pun menunda niatannya berangkat ke barat. Bagi Ling Ling, tidak cepatnya Hua Xiong meninggalkan Semarang, adalah suatu berkah. Sebab, nanti bilamana Hua Xiong benar-benar tertangkap - dan percayalah pula bahwa itu tidak mudah bagi seekor belut - kemudian tersingkap bahwa Hua Xiong yang memakai nama Tan Tay Seng di gubuk mesum Juminah, niscaya hal itu akan membangun kembali kepercayaan Ling Ling. Namun kiranya tidak dapat diingkar pula, dalam keperkasaan sang waktu yang setia pada perubahan-perubahan dalam bergeraknya, di situ bukan hanya satu orang saja yang bisa berubah menyesuaikan diri terhadap kodratnya. Jika satu orang boleh berubah, jangan dikira orang lain tidak bisa pula berubah. Jadi, apa artinya itu? Saksikan saja perubahan fiil dalam berubahnya waktu.


***

"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #170 on: 02/09/2008 12:59 »
Di Borobudur sana, Tan Tay Seng menjadi seorang yang dianggap suhu. Begal dan garong yang dahulu berusaha merampoknya, kini telah menjadi cantrik-cantriknya yang sangat patuh. Tiap sore dia mengajarkan jurus-jurus silat. Tritama pun senang. Sebab dengan begitu, dia memperoleh aset keamanan bagi wilayahnya.

***

Pada suatu siang Tritama menyuruh orang menjemput Tan Tan Seng ke rumahnya untuk berangkat ke timur daya - sekarang bernama Kalibarang - menemui salah seorang istrinya di situ. Istri Tritama yang disebut ini memiliki anak semata wayang, putri berusia 15 tahun. Terus terang Tritama ingin menjodohkan Tan Tay Seng dengan Caya, putrinya yang dia lupa namanya. Alasannya Tritama yang dikatakannya sebelum berangkat ke sana, ''Saya ingin kamu benarbenar menjadi bagian dari keluarga saya.'' Tan Tay Seng yang belum menyimak arah percakapan Tritama lantas berkata semadyanya, ''Selama ini saya sudah merasakan perlakukan itu.'' ''Bukan itu maksud saya,'' kata Tritama melempangkan pikirannya itu. ''Saya ingin kamu kawin dengan putri saya.'' Tan Tay Seng tersentak. ''Apa?'' ''Ya, saya bersungguh-sungguh,'' kata Tritama. ''Tidak baik seorang lelaki hidup sebatang kara. Kamu harus punya mitra dalam hidup ini supaya kamu bisa tenang pergi tidur dan tenang juga pada bangun paginya.'' Tan Tay Seng mencoba berkelit, namun Tritama tahu bahwa pernyataannya berikut ini tidak diawasi oleh ketulusan, yaitu akal sehat dan hati waras: ''Saya sedang memutuskan untuk menjauhi rangsangan-rangsangan duniawi yang dibiaskan oleh perempuan.'' Maka tertawalah Tritama terbahak-bahak. ''Mana mungkin itu?'' katanya. ''Tikus-tikus hutan pun bisa ketawa mendengar umukmu tu.'' Tan Tay Seng bertahan. ''Saya akan berusaha,'' katanya. ''Hidup saya sudah jauh dari kenyataan akan adanya perempuan. Saya harus bisa menjauhi perempuan. Sebab, betapa sering dunia lelaki kacau balau karena perempuan.'' ''Salah besar,'' kata Tritama dengan suara tandas. ''Lebih kacau lagi dunia lelaki bila di dalam kenyataannya tidak ada perempuan-perempuan.'' Toh Tan Tay Seng cenderung bersikukuh. ''Saya bisa,'' katanya. ''Omong kosong,'' kata Tritama. ''Buktinya, lihat saja relief Borobudur yang di kiri itu. Betapa Buddha tetap duduk di sila dengan tangan kanan memegang lutut dan tangan kiri di bawah pusar *) tidak tergoda sedikit pun atas tarian genderang dari anak-anak perempuan Mara.'' Tritama tertawa terbahak-bahak lagi, lebih keras dari yang tadi. ''Itu Buddha, bukan Tan Tay Seng,'' kata dia. ''Sudahlah, jangan perdaya mata saya. Saya melihat dengan jelas, dalam darahmu ada gairah asmara, nafsu berahi, dan cinta kasih. Dan yakinlah, yang namanya gairah asmara, nafsu berahi, dan cinta kasih adalah sepenuhnya persoalan lelaki yang sama sekali tidak mungkin menjadi nyata dan dibenarkan tanpa ada unsur perempuan di dalam hidupnya. Nah, apa tanggapanmu?'' Tan Tay Seng icak-icak tak terpengaruh. Tapi dia tidak punya kata-kata yang pas mewakili keharusannya menanggapi bicara Tritama. Pernyataan paling jujur dan terucapkan secara intuitif serta merta lepas dari mulutnya. ''Entahlah,'' katanya. Lagi-lagi Tritawa tertawa. ''Saya senang mendengar tanggapanmu itu. Dengan begitu kamu sudah meragukan kepercayaan dirimu. Bagus, bagus, bagus.''


***


Akhirnya, berangkatlah juga Tan Tay Seng dengan Tritama menuju ke rumah istri sang bupati, yaitu istri ke-127. Istrinya itu kira-kira berumur lebih muda tiga-puluh tahun. Dan tidak seperti orang desa umumnya, istrinya itu tergolong yang rajin bersolek, mewangi-wangi diri, mengurai rambutnya sampai sepanjang lutut.
Kepada istrinya -yang menyambutnya dengan cara lazim sebagaimana umumnya wanita-wanita di pedalaman terhadap suaminya yang berkuasa- berkata Tritama kepadanya tanpa tedeng aling-aling, ''Saya ingin kawinkan anakmu dengan orang Cina ini.''
Istrinya mengangguk patuh. ''Sekersanya,'' katanya.
''Nah, panggil anakmu itu,'' kata Tritama.
Istri yang ke-127 itu membungkuk di lantai, berkata antara kerelaan dan kebanggaan, ''Dia anakmu juga.''
''Ya, aku tahu. Aku tidak lupa. Yang aku lupa namanya.''
Namanya Caya.''
''Bukan Ndari?''
''Ndari itu anakmu dengan istrimu yang di rumah depan sana.''
''Oh.'' Tritama menoleh pelan-pelan ke arah sana. ''Ya, sudah, sekarang panggil Caya cepat.''
Istrinya menggelesot mundur dan kemudian berdiri di pintu lantas menghilang di situ.

***

Caya sedang berada di bawah pohon randu, memungut-mungut buahnya dan mengeluarkan kapuknya, mengumpulkannya di dalam bakul besar. Dia menghentikan kerjanya itu karena ibunya memanggilnya dari jauh lalu menarik tangannya supaya pulang ke rumah.
''Cepat pulang,'' kata sang ibu. ''Kau akan dijodohkan oleh ayahmu.'' Caya pun berdiri. Ternyata pada usia 15 ini keadaannya linggayuran. Tidak seperti kebanyakan gadis desa lain yang nyaris katai.

***

Setiba di rumah sang ibu menyeka-nyeka wajah Caya lalu memupurnya dengan serbuk dari tepung beras bercampur putik bunga-bunga kering.
Sambil mendandani Caya, ibunya berkata grusa-grusu, ''Ayahmu dadakan begini. Ujuk-ujuk datang tanpa bilang-bilang.''
Caya tak berkata apa-apa. Dia hanya diam, pasrah tapi juga degdegan.
Selesai merias wajah Caya, ibunya mengambil sehelai kelamkari, melingkar-lingkarkan di tubuh atas putrinya itu sebagai penutup payudara yang sebetulnya belum lagi mencapai bentuk final. Setelah itu dituntunnya Caya keluar, menemui Tritama, mempertemukan Tan Tay Seng.

Caya melipat kakinya di atas lantai, menunduk kepala tapi tidak menutup wajahnya.
''Nah, ini putri saya,'' kata Tritama. ''Seperti saya katakan, lelaki memutuskan kawin dengan perempuan, bukan semata-mata karena mau, melainkan juga sreg.''

Tan Tay Seng tersenyum memandang wajah Caya.
Dan lanjut Tritama, ''Sreg itu dimulai dari mata. Dari mata turun ke hati.
Dari hati menjadi mau. Setelah kulina, lahirlah tresna. Nah, betapa eloknya hidup ini.''
Tan Tay Seng tersenyum menghayat dirinya.
Bila tersenyum yang terakhir ini berarti ada perkembangan tertentu dalam kemampuannya menghayati peristiwa-peristiwa insani dalam jiwanya-raganya-rohnya, maka sangkakanlah itu sebagai suatu keniscayaan alami dari fitrah manusia menghadapi sang waktu yang terus bergerak dengan perkasa menyisakan perubahan-perubahan.


***


Perubahan mencolok terlihat pada Jawahir.
Pada bulan keempat singgahnya Ceng Ho di Semarang, Jawahir datang mencurahkan isi hatinya.
''Terus terang, Sam Po Kong, saya terkesan dengan ajaran Islam yang Anda ajarkan,'' kata Jawahir. ''Namun terus terang juga, saya merasakan Islam ini ageman *) yang indah pada esok hari, atas agama saya, kejawen, yang nyata pada kemarin hari.''
"Anda tidak perlu risau," kata Ceng Ho. "Tiap-tiap insan secara pribadi memiliki perbedaan-perbedaan alat driya yang membuat sikap batinnya tidak sama. Ada orang yang mengganti keyakinan lantaran mukjizat. Ada juga orang yang berkembang setahap demi setahap."
"Mukjizat?" tanya Jawahir.
"Karena suara ilahi yang berkunjung dan langsung mukim dalam nuraninya."
"Lalu bagaimana saya yang tertarik pada ageman Anda, tapi tetap melakoni agama lama saya?"
"Walaupun mukjizat itu sesuatu yang ajaib, jangan sama sekali mengharapkannya sebagai perbuatan sama seperti sulap atau sihir. Mukjizat adalah peristiwa dalam kehidupan insani
lantaran campur tangan istimewa ilahi."
"Apakah Anda melihat ada mukjizat dalam hidup saya?"
"Saya bisa menerima hal-hal biasa juga sebagai suatu karunia ilahi."
"Bagaimana maksudnya?"
"Begitu Anda berkata tertarik pada agama saya, saya melihat diri saya sebagai berkah bagi Anda. Mudah-mudahan Anda bisa melihat bahwa berkah ini karunia ilahi yang telah membuat Anda tertarik pada ageman saya."

"Jika saya mengundang Anda untuk menyaksikan kesenian saya sebagai piranti ageman saya, apakah Anda tidak keberatan?"
"Tentu saja tidak. Selama ini saya menjadi guru di sini. Seorang guru yang baik harus mampu belajar dari kebudayaan orang lain. Saya senang bisa menimba pengetahuan dari leluhur Anda."
Tersungging senyum di kulum.
"Sungguhkah?"
Terangguk kepala di leher.

***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #171 on: 02/09/2008 14:04 »
Kesenian yang menjadi piranti ageman dimaksud oleh Jawahir adalah wayang. Dia menggelar wayang di tanah datar depan gua di Simongan - dan sejak itu menjadi salah satu tradisi yang bersinambung hingga sekarang di situ. Pergelaran wayang itu dilangsungkan besar-besaran sepekan, karena Jawahir bersyukur usianya telah 60 tahun. Karena pergelaran itu sepekan penuh, dengan setiap malam mengganti-ganti cerita yang dipetik dari Ramayana dan Mahabarata, tak heran daerah datar di depan gua di Simongan itu menjadi ramai seperti saat Ceng Ho menyambut Lebaran di situ. Orang-orang dari kota, di seberang sungai sana, di tempat-tempat yang sekarang menjadi Kalisari, Randusari, Bubakan, Jurnatan, Petudungan, Pandean, Karangturi, Wotgandul, Jagalan, Peterongan, Petolongan numplek di sini menyaksikan pergelaran itu. Sudah tentu keramaian yang hebat itu masih akan terkalahkan dengan keramaian pada hari-hari akhir sebelum Ceng Ho meninggalkan Semarang, yaitu pada hari sukacita saat orang-orang Cina yang telah membumi di Semarang mengucapkan kata-kata yang populer sekarang: Gong Xi Fat Coi. Namun melalui keramaian pertunjukan wayang kulit itu - suatu hasil kesenian khas Jawa yang mesti dianggap paling dibya dan tidak ada kembarannya di dunia, terpadu dan laras antara sastra pada cerita, senirupa pada sosok-sosok wayang, musik pada pengiringan aksentuasi, dan teater pada representasi keseluruhan karya- Ceng Ho menyimak sesuatu darinya yang sementara direnungkannya. Pada Jawahir, saat malam ketiga pertunjukan itu, Ceng Ho berkata, "Saya menyimak sesuatu yang luar biasa dari wayang kulit. Saya yakin, pada saatnya nanti, syiar Islam dapat memanfaatkan kesenian ini. Dan, mungkin mesti dicoba menciptakan tokoh-tokoh baru, di luar tokoh-tokoh yang khas Hindu, menjadi tokoh-tokoh yang munasabah dengan keperluan syiar, terutama yang dalamnya memiliki bobot kias."


***


Dalam keramaian itu, saat orang-orang berbaur antara yang menonton dan yang hanya wirawiri di tengah jajaran orang-orang berdagang jajanan pisang goreng, nagasari, lemper, kacang rebus, kue moho, untir-untir, bapao, lumpia, dan wedang, ada seseorang yang tadinya berniat ke situ juga. Setidaknya pada malam kelima, malam yang paling ramai, orang yang disebut itu sudah tiba di sana dan sudah pula melirak-lirik perempuan-perempuan yang berdatangan oleh pelbagai alasan. Namun orang yang disebut ini mundur lagi dan menghilang di kegelapan. Tak jadi memasuki daerah itu. Padahal, bila saja dia mau meneruskan langkah, masuk ke dalam keramaian itu untuk alasannya, niscaya banyak orang tidak mengenalnya. Setelah hidup berbulan-bulan sebagai burun, dan dia tahu betul akan hal itu, badannya kelihatan susut, agak kurus, pipi cekung, dan usianya melorot pula menjadi lebih tua 10 tahun dari umur sebenarnya. Jadi, siapa orang yang mau mencoba-coba tapi kemudian mundur lagi dari daerah pertunjukan itu? Tak salah! Dia Hua Xiong! Dia angkat kaki. Mundur. Berjalan bukan dengan mata di depan tapi belakang. Dan berbeda dengan orang lain yang berjalan mundur dengan langkah pendek-pendek, sebaliknya dia karena keputusan mendadak untuk tidak jadi masuk ke dalam keramaian kerumunan, lantas mengangkat langkahnya panjang-panjang. Dalam mundur begini dia tidak melihat ada seorang perempuan di belakangnya. Hua Xiong menabraknya. Perempuan itu jatuh. Terdengar isak. Awal perkenalan.

***


Oleh perkenalan itu jua membuat Hua Xiong semakin bertetap hati untuk lekas-lekas pergi dari sekitar situ, mengajak perempuan itu dengan tanpa rayuan yang berbelit. Kini mereka, dia dan perempuan itu, sudah berada di dalam kempang yang didayung oleh pemiliknya, lelaki bersarung dengan wajah pating-cruwil oleh kutil-kutil. Jika kempang itu goyang ataupun oleng niscaya itu disebabkan oleh kerajinan tangan yang dilakukan Hua Xiong dan ditanggapi dengan gerinjing geli oleh perempuan itu. Si empunya kempang purapura tidak melihat. Setelah meluncur lebih satu kilo meter di utara, barulah Hua Xiong bertanya, "Siapa namamu?" Sambil menutup pelan-pelan kain yang membungkus dadanya, perempuan itu menjawab cengis-cengis dan ragu. "Nama saya jelek," Kerajinan tangan Hua Xiong tetap berlanjut. Dengan itu dia mengulang pertanyaannya,
memandang dengan mata yang empik. "Siapa?"
Pelan suara perempuan itu. "Crebek," katanya.

"Namamu Crebek?"
"Ya."
"Apa itu artinya?"
"Itu artinya: segala-segala dimakan."
"O?"
Lalu ada keharuan kecil yang mungkin dapat menjadi besar di wajah Crebek. "Tapi itu dulu," katanya.
"Memangnya sekarang kenapa?"
Jawaban tidak mengalir. Keharuan kecil sedang memasuki keharuan besar. Mulanya ada cairan di matanya.
Tumben perhatian Hua Xiong terbawa ke situ. Dia mengulang pertanyaan tadi. "Memangnya sekarang kenapa?"
Kini airmata yang meleleh di pipi Crebek disertai dengan bunyi isak di hidung. Katanya tersendat-sendat, "Sekarang hidup saya berubah."
"Ada apa?"
"Sekarang tidak ada lagi yang kasih makan saya. Saya tidak bisa makan segala."
"Kenapa begitu?"
"Yang ngingu saya sudah membuang saya."
"Membuang kamu?"
Keharuan besar telah tiba di puncak. Crebek menangis. Pertanyaan Hua Xiong tidak terjawab.
Awat-awat menahan diri karena tangis itu, Hua Xiong menepuk-nepuk lengan Crebek.

Maunya membujuk. Bukan cuma hendak menenangkan. Dan baru besok dia sendiri merasa aneh.
Aneh, sebab dalam waktu demikian singkat, hatinya, tanpa bekerja sama dengan otaknya, telah memutuskan suatu tawaran yang berkesan kanaah.
"Kalau begitu, saya akan mengingu kamu," kata Hua Xiong. "Kamu tinggal bersama saya."
Mata Crebek semakin basah.


***

Apakah Hua Xiong benar-benar terpanggil untuk menolong perempuan itu? Rasanya tidak. Dia baru berhitung untung-rugi. Ketika pertama dia melihat Crebek: matanya, bibirnya, pendek kata wajahnya secara menyeluruh, maka pikiran Hua Xiong langsung berangkat ke atas ranjang. Serta merta dia membayangkan kesenangan-kesenangan besar dengan pengeluaran-pengeluaran kecil. Dalam pikirannya yang asli kerang-keroh ini dia membayangkan: dengan mengingu Crebek maka tidak ada lagi kewajibannya membayar ketentuan tarif bermaksiat - atau dalam bahasa Semarang sekarang: melakukan royal - seperti jika dia bertamu di gubuk mesum Juminah. Dengan mengambil Crebek, membawa ke tempat tinggalnya, kini dan seterusnya Hua Xiong telah memiliki seseorang yang sewaktu-waktu dapat diajak kolaborasi - dalam kedudukan tuan dengan budak - untuk membunyi-bunyikan ranjang reyot di rumah sewaannya. Malam itu pun, malam pertama Hua Xiong berkenalan dengan Crebek, dan dibawanya Crebek di rumah sewaannya di bagian kota, langsung dimanfaatkannya berulang-ulang, dan sempat-sempatnya pula menghitungnya berapa kali, sampai pagi, sampai dia dan Crebek merasa letih dan letoi, lantas terbaring sama-sama seperti dua ekor swike yang baru dikuliti.  Itulah hidup! Ada yang memperoleh kenikmatan dalam kesia-siaan, ada pula yang mengabaikan kesia-siaan dalam kenikmatan. Barangkali Hua Xiong pernah mendengar, tapi dia tidak lagi mengingat pepatah ini: "Shan o pu pao, shih hou wei tao," artinya "Jika kebaikan dan kejahatan tidak terbalas, itu disebabkan oleh waktunya yang belum lagi tiba."


***


Alhasil bolehlah dicari ikhtibar untuk mengurai pasal nasib orang-seorang. Bahwa, ya, Hua Xiong memang waspada.
Tapi, ya, dia sungguh tidak waskita.
Dia mengira pertemuannya dengan Crebek adalah seratus persen kebetulan. Dia teperdaya. Maka siap-siaplah dia masuk ke dalam wilayah wasatwaha.*)
Yang tahu duduk pasal yang sebenarnya hanya Dang Zhua. Sebab Dang Zhua jua yang mengatur rekayasa ini.


***

Setelah dua hari Crebek berada di dalam rumah sewaan yang ditempati Hua Xiong, kini dia terlihat berjalan cepat-cepat di pinggir kali, menuju ke restoran milik keluarga Ling Ling.
Dia berdiri sejenak melonggokkan kepala ke dalam. Bilamana matanya telah melihat orang yang duduk di pojok, masuklah dia menemui orang itu.
"Mana upahnya, Dang Zhua?" kata Crebek kepada orang itu.
Orang itu, Dang Zhua, mengeluarkan keping-keping perak untuk Crebek.
Katanya, "Bikin dia betul-betul jatuh cinta padamu."
"Percayalah, tidak ada kiat yang lebih hebat dalam membuat lelaki kesengsem dan kedanan  selain daripada sari rapet ramuan leluhur," kata Crebek. "Dia memang jatuh cinta."
"Apa dia sudah bilang begitu?"
"Ya, setiap kali dia mau mencapai neneragra." **)
"Baguslah."
"Dia itu sudah berumur, mestinya sudah berpengalaman, tapi ternyata masih goblok, kasar, grusa-grusu."
"Makanya ajar dia."
"Memang."

***

Masih sore hari Hua Xiong sudah edan lagi.
Maka kata Crebek, "Begini ini harus sesuai dengan irama."
"Begini bagaimana?" tanya Hua Xiong.
"Makanya, ayo, saya ajari," kata Crebek dan dia pun telentang di bawah Hua Xiong. "Nah, begini ini, dalam leluri saya disebut abhyasa widhi. ***) Nanti kalau jadi anak, anaknya
cerdas dan penuh asih. Bagi wanita, ini adalah lambang kepatuhannya."

Lalu Crebek mengubah lagi posisi. Dia tengkurap sambil memumbulkan bokongnya.
"Nah, lakukan," katanya. "Ini, dalam ajaran leluri kami disebut namas widhi. ****) Dengan  ini disimpulkan isyarat kerelaan wanita untuk mengabdi."
Lalu Crebek mengubah lagi posisi. Dia berbaring miring dan berhadapan dengan kaki saling silang.
"Lakukan lagi," katanya sambil membantu. "Posisi ini disebut nikata widhi. *****) Dengan begini wanita membuktikan kesetiaannya."
Hua Xiong gregetan. "Sudah teruskan dulu sampai selesai. Setelah itu mau posisi duduk atau  berdiri, terserah."
Tapi Crebek malah meloncat dari ranjang. Katanya, "Aku lupa sesuatu."
"Apa?"
"Aku lupa membakar kemenyan. Ini termasuk adat kami juga."
Dan dia pun membakar kemenyan. Sebentar saja bau ruang ini terasa magis. Di luar pun gelap. Matahari sedang pamit kepada siang. Bayang-bayang gelap bergayut ranting-ranting pohonan. Berahi semakin menyala dalam malam.
Setelah itu Hua Xiong menarik lengan Crebek untuk lekas-lekas kembali ke atas ranjang. Crebek bertahan namun mengendorkan otot. "Harus ada keindahan dalam melakukan ini,"
kata Crebek. "Karena kemenyan sudah dipasang, dan mulai sekarang kita harus menciptakan keindahan, pertama, sesuai adat kami, harus diucapkan terlebih dulu kata-kata Awighnam astu
namas siddham. Maksudnya supaya tidak diganggu."
Dasar Hua Xiong, sebagaimana kata Crebek kepada Dang Zhua, berperangai kasar, grusa-grusu, dan goblok untuk hal demikian, berkatalah dia dengan mulut carut, "Alah, lonte yang lain tidak sampai jelimet begini."
"Apa katamu?"
Hua Xiong seperti menyesal. "Tidak apa-apa, Aku cuma asbun-asbun saja."
Namun Crebek pandai bermain pura-pura. Mula-mula dia termangu. Lalu menerawang.
Sebentar saja airmata meleleh. Dilengkapi pula dengan suara isak tangis. Dia yakin Hua Xiong akan terharu padanya. Dia bermain bagus sesuai pesan Dang Zhua.
Benar juga, Hua Xiong terharu.
Crebek melirik. Dia berdiri. Dia berjalan ke pintu.
Hua Xiong memburu. Menarik tangan Crebek. ''Mau ke mana?''
''Aku mau pulang saja,'' kata Crebek menyeka-nyeka air matanya.
''Lo? Kenapa?''
''Aku sudah rela berkorban tapi kau tidak percaya.''
''Tunggu.''
''Aku bingung. Pengorbanan apa yang harus aku lakukan buatmu supaya kau benar-benar tulus mau mengingu aku. Aku takut. Aku putus asa. Kau sama seperti...''
Hua Xiong merangkul Crebek. ''Tidak.''
Crebek lebih menghebatkan lagi tangisnya. ''Ya, sudah. Masuk lagi kembali. Aku minta maaf.''
Berkokok sukma Crebek.


***

"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #172 on: 02/09/2008 14:09 »
Siangnya, besok, Crebek menceritakan perkembangan ini kepada Dang Zhua sambil membuka tangan, menagih upahnya.


***

Kemudian pada malamnya, di Simongan, ketika kelekatu terbang ke lampun lantas mati, Dang Zhua menceritakan pula perkembangan ini kepada Ceng Ho.
''Ikan sudah terpukat,'' kata Dang Zhua. ''Tinggal menarik saja pukatnya maka ikannya kelepar-kelepar.''
''Tapi ceritakan bagaimana Anda menjalankan siasat itu?'' tanya Ceng Ho dengan sikap menghargai.

''Qiau shi lian huan,''*) ujar Dang Zhua. ''Apalagi dia murid saya. Sepanjang-panjang akal orang yang belajar, tidak akan lebih panjang dari akal orang yang mengajar.''

Ceng Ho mencipta senyum di pipi. Tanpa kata.

''Terus terang saya ke gubuk mesum Juminah. Seandainya saya tidak ke sana, saya tidak tahu perkembangan. Malam itu Hua Xiong ke sana. Dia berceloteh. Setengah mabuk. Dia bilang, dia akan pergi ke Simongan menyaksikan keramaian di hari yang kelima.''

''Nekat juga,'' kata Wang Jing Hong.

''Kita akan segera tahu kenapa dia nekat,'' kata Ceng Ho. Lalu dia menyuruh Dang Zhua meneruskan. ''Lantas?''
''Maka saya tunggu dia di sana dengan menyiapkan Crebek,'' kata Dang Zhua.

''Dan dia teperdaya?'' tanya Wang Jing Hong.
''Sama sekali dia tidak tahu,'' jawab Dang Zhua. ''Saya menguntit dia untuk mengetahui tempat tinggalnya.''
''Jadi Anda sudah tahu tempat tinggalnya?'' tanya Ceng Ho.
''Ya,'' jawab Dang Zhua. ''Seperti saya katakan, tinggal menarik saja pukatnya maka ikannya akan kelepar-kelepar.''
''Kalau begitu siapkan pasukan untuk menangkapnya,'' kata Ceng Ho.
Dang Zhua menyatukan dua telapak tangannya dan mengarahkannya kepada Ceng Ho.
Pintanya, ''Maaf, Sam Po Kong. Sekiranya boleh, saya ingin melaksanakan tugas ini sebagai masalah saya dengan dia.''
''Apa Anda yakin dapat menanganinya sendiri?'' tanya Ceng Ho.
''Positif,'' jawab Dang Zhua.
''Baiklah.''


***


Hua Xiong tidak menduga, bahwa ini harinya-di pagi nan mendung, tatkala langit menjadi abu-abu di utara dan hitam di selatan-dia akan menjadi ikan yang kelepar-kelepar di dalam pukat Dang Zhua. Sejak fajar belum menyingsing, kala pendar pertama sinar matahari masih ditawan malam, Dang Zhua telah menunggu di luar rumah tempat tinggal Hua Xiong. Dia tahu matahari takkan muncul. Langit ditutupi awan hujan. Dari bagian kota yang masih belukar terdengar nyaring suara kokok kasintu mengawali pagi yang tidak cerah. Yakin bahwa Hua Xiong sudah tidur melalui lambaian sehelai guntingan lokcuan yang disandikan oleh Crebek lewat jendela yang setengah terbuka, maka bergegaslah Dang Zhua ke rumah sewaan Hua Xiong itu. Dia buka penuh jendela itu. Dari situ dia panjat dan kemudian masuk ke dalam. Hua Xiong memang sudah tidur. Atau katakanlah lebih kena: masih tidur. Dang Zhua berteriak membangunkannya. ''Bangun kamu, Hua Xiong!'' Hua Xiong kekan. Dia terloncat dari tempat tidurnya. Bukan alang kepalang kacaunya perasaannya melihat Dang Zhua di hadapannya. Ada gusar, ada bimbang, ada gamang, ada takut, ada kecewa. ''Kau datang hendak membunuhku?'' tanya Hua Xiong. ''Salah,'' kata Dang Zhua. ''Kalau aku mau membunuhmu, sudah aku lakukan selagi kau masih tidur. Tidak sobat. Aku membangunkan kau dari tidurmu, memberi kesempatan bagimu untuk tidak langsung menjadikan kau sebagai ikan yang kelepar-kelepar di dalam pukat. Aku ingin mengajar kau berkelahi sebagai jantan. Setelah itu aku akan menghajar kau karena tindakanmu yang banci.'' Kepala Hua Xiong berasap oleh api yang membakar hatinya mendengar hinaan Dang Zhua. Di bawah kendali naluri belaka, tanpa perhitungan yang pandai, Hua Xiong meloncat, menerjang, dan menyerang Dang Zhua. Dengan tidak siap seperti itu, hanya karena tak mampu menyeimbangkan antara hati dan akal, Hua Xiong telah membuat tubuhnya hanya sebagai benda mati yang dialungkan sembarangan.
Akibatnya Hua Xiong pun menjadi bulan-bulanan di hadapan Dang Zhua. Memang dia berusaha mati-matian mengirimkan tangannya ke badan Dang Zhua, tapi lantaran rasa percaya dirinya tidak cukup kuat, berhubung ingatannya diganggu pula oleh kesadaran akan keterbatasan diri, maka usaha itu sia-sia. Bagaimana pula dia harus membalas pukulanpukulan Dang Zhua. Padahal, sekadar menangkaskan alat-alat tubuhnya untuk menangkis saja tidak sanggup dilakukannya. Pukulan dengan tangan dan kaki yang dilakukan Dang Zhua itu membuat Hua Xiong benarbenar keok, babak-belur, hilang tenaga, dan tumbang seperti arca.


***

"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #173 on: 02/09/2008 14:14 »
Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi ledakan amat sangat keras, mengguncangkan rumah, mengagetkan manusia. Bunyi itu disusul lagi oleh bunyi kedua. Mungkin itu guruh paling memekakkan telinga yang pernah didengar sejak kapal Ceng Ho disauhkan di tengah laut sana. Setelah bunyi ketiga dan dibarengi pula oleh halilintar memanjang di barat, hujan deras pun bagai ditumpahkan dari langit hitam, butir-butirnya terasa seperti pecahan-pecahan kerikil yang ditembakkan ke badan.


***


Demikian hujan itu mengena Dang Zhua dan Hua Xiong.
Dang Zhua menyeret Hua Xiong dari dalam rumah sewaannya. Sulit menyeret di jalanan tidak berlapis batu sebagaimana layaknya jalan-jalan yang terbilang bagus pada masa itu.
Jalanan yang ditempuh Dang Zhua untuk menuju ke tempat perhentian di depan sana, seluruhnya tanah yang menjadi amat licin pada saat hujan.
Dengan menyeret Hua Xiong di bawah hujan, tak disangka Dang Zhua, air yang dingin itu dapat menjadi obat perangsang sadar bagi Hua Xiong.
Badannya yang lemah berangsur memulih. Paling tidak, pikirannya bagai disegarkan.
Dang Zhua terus menyeret.
Bila sebentar lagi dia berhenti, maka dia memutuskan untuk singgah sebentar di rumah makan yang kurang seratus meter di depan sana, rumah makan yang menyediakan ronde, rumah makan yang dilayani oleh Ling Ling.


***


Ada beberapa orang yang berteduh di situ sambil menikmati minuman. Ini kedai yang cepat populer, walaupun baru tiga bulan lebih usianya, lantaran minuman arak buatan Ling Ling yang ahlinya. Ketika Dang Zhua masuk ke dalamnya sambil menyeret Hua Xiong, mereka yang duduk di dalam rumah makan ini, termasuk pemiliknya, tercengang. Dang Zhua mengempaskan Hua Xiong di lantai sehingga tubuhnya tergeletak. Di antara orang-orang dalam rumah makan itu, tampaknya ada seseorang yang segera mengenali Hua Xiong: mengenalnya karena nama yang dipakainya selama ini di gubuk mesum Juminah. "Tan Tay Seng?" kata orang itu terheran. Suaranya tidak seberapa keras, tapi lantaran dia berada di dekat Ling Ling, yang disebut mendengarnya dengan jelas. Ling Ling menoleh kepadanya. "Apa kamu bilang?" "Kenapa? Apa aku salah berkata? Aku kenal tampangnya. Dia itu jagoan tengik. Dia yang bunuh Hian Bing gara-gara satu orang lonte di bordil Yu Kont*l. Namanya Tan Tay Seng."
"Apa? Jangan sembarang kamu!" Ling Ling melotot antara tidak percaya, geram, dan kecewa.
Sekilas ingatannya terbawa mundur ke belakang. Demikian jelah, jelas, jernih tapi serta merta membuat hatinya kusut, kusam, kusti. Suaranya mendakwa, "Kamu pasti salah."
"Saya tidak salah," kata orang itu.
"Apa kamu kira saya tidak kenal orang itu?"
"Mungkin saja," kata orang itu ngotot namun juga gelinggaman melihat Hua Xiong di lantai. "Dia Tan Tay Seng. Dan saya melihat sendiri, dia yang membunuh Hian Bing."
"Tidak," kata Ling Ling. "Kamu salah."
Dang Zhua tertawa. Dia maju. "Kalian berdua salah tapi juga benar," katanya. "Orang ini memang Hua Xiong, tapi dia menyamar, memakai nama Tan Tay Seng di bordil Yu Kont*l.
Nah, tolong buatkan aku wedang ronde, Ling."


***


Ling Ling tertegun beberapa saat. Mulutnya kecumik. Bibirnya bilabial. Ingatan yang tadi terbawa mundur dengan kencang ke belakang, kini memacunya untuk melihat dengan lebih terang akan mutu perasaannya, pikirannya, hatinya, akalnya. Dia bimbang: jangan-jangan hanya karena percaya pada gunjingan dan desas-desus dari gubuk mesum Juminah, dahulu itu dia telah bertindak terlalu cepat terhadap Tan Tay Seng yang asli.

Jantungnya berdentang lebih kencang. Mungkin sama kuat dengan guruh gemuruh yang masih berlangsung dengan hujan yang amat lebat di luar. Dia terkesiap lantas menggeleng kepala setelah Dang Zhua memanggil namanya.

"Ling, mana wedang rondenya?" kata Dang Zhua.
Ling Ling pun masuk ke dalam, membuatkan wedang untuk Dang Zhua.
Dang Zhua duduk dengan santai dikerumuni orang-orang yang penasaran dan bertanya kepadanya tentang Hua Xiong yang tergeletak di lantai.
''Akan dibawa ke mana dia?'' tanya seseorang.
Sebelum Dang Zhua menjawab, seseorang yang lain telah bertanya pula, ''Dan, akan diapakan dia?''
Seseorang yang lain berkata seakan-akan dia tahu benar dan dengan nada bertanya pula, ''Yang jelas, dia akan dihukum kan?''



***


Dang Zhua termasuk tangkas dan gesit. Namun satu hal kelemahannya, dia terlalu percaya diri sehingga membuka peluang dalam dirinya untuk mengabaikan kepercayaan diri orang lain. Dia kira, dan katakanlah itu satu-satunya yang dia ketahui, Hua Xiong sudah babak belur dan karenanya tidak mungkin ada peluang baginya untuk menjadi manusia selain kerbau yang dicucuk hidung lantas manut. Dang Zhua keliru. Rasa percaya diri yang tidak disertai dengan pengetahuan akan pengalaman dan pengetahuan akan kemungkinan-kemungkinan lain yang niscaya dalam kehidupan manusia - dari mutu yang paling kerbau, paling keledai, atau paling kambing congek sekalipun - adalah rasa percaya diri yang tidak cendayam. Rasa percaya diri yang cendayam semestinya disertai dengan kemauan alami yang tidak berhenti berlaku waspada. Dalam hal ini, Dang Zhua tidak waspada akan pengalaman sekian bulan lalu, bagaimana Hua Xiong meloncat dari kapal dan berenang dengan cekatan ke perahu nelayan yang membawanya ke tanah tepi dan bebas. Dang Zhua tidak waspada, bahwa Hua Xiong sangat cekatan di air. Sementara, oleh air hujan yang telah menguyupkan tubuhnya, kini Hua Xiong benar-benar tersegarkan, tubuh dan pikirannya. Sebentar lagi, di luar dugaan orang-orang, Hua Xiong akan melakukan kejutan. Dan apabila dia berhasil, orang-orang itu, khususnya Dang Zhua akan menyesal, mengumpat, dan menyesali dirinya.


***


Sementara kilat, guruh, dan hujan lebat masih berjalan seperti tadi. Tidak ada tanda-tanda hujan akan reda. Pagi yang semestinya cerah, terasa seperti malam. Hujan lebat itu pun telah menggenangi beberapa bagian kota. Sungai di depan rumah makan Ling Ling pun dari tadi telah banjir. Beberapa gubuk di sana telah juga hanyut dibawa ke muara. Siapa tahu gubuk mesum Juminah sebentar lagi hanyut pula.

***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #174 on: 02/09/2008 14:50 »
Ketika Dang Zhua dikerumuni orang-orang di dalam rumah makan Ling Ling, dan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan, dia merasa menjadi orang penting. Hanya sekejap, dalam tidak waspada, Dang Zhua telah melakukan kesalahan yang membuat dirinya menyesal sepanjang hidupnya. Hua Xiong berdiri dengan tegar. Dia melesat ke luar. Ling Ling yang lebih dulu melihat. Ling Ling berteriak. ''Hua Xiong kabur!'' Semua terperanjat. Dang Zhua bangkit dari kursinya. Dia mengejar. Namun dia tidak dapat mewujudkan keinginannya. Hua Xiong meloncat ke sungai yang banjir itu. Dia berenang di situ mengikuti irama air yang mengalir kencang. Artinya, dia mengenal dan mengetahui betul sifat-sifat air. Dengan berenang menghanyutkan diri, berarti dia tidak membutuhkan tenaga besar seperti bila dia melawan arus. Sekian puluh meter di depan sana, masih dalam jarak pandang yang jelas dari letak rumah makan Ling Ling, Hua Xiong menepi di seberang. Dia berdiri sesaat di sana, memandang ke arah Dang Zhua tegak tak berdaya di depan rumah makan itu. Sebelum berlari pergi menyelamatkan diri, Hua Xiong mengejek pada Dang Zhua. Dia melambai-lambakan tangan, menyuruh Dang Zhua meloncat dan mencebur ke sungai lantas berenang mengejarnya. ''Ke sinilah Dang Zhua.''

***

Betapa gondok Dang Zhua.
Dia menarik napas dan cepat-cepat mengembus ulang. Di tepi sungai depan rumah makan Ling Ling, dia berdiri kaku menahan marah dan menyesal dan saling bertubrukan di dalam hatinya. Mulutnya terlipat ke dalam. Tak seorang pun tahu, ketika dia berdiri kaku dan dongkol tak berdaya di pinggir sungai itu, dia mengumpat-umpat pada dirinya sendiri, ''Oh, kalau saja aku bisa berenang....''
Namun apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur.
Sulit baginya untuk mengatakan ini ke Ceng Ho nanti.


***

Dan ketika Dang Zhua merasa sulit, Ling Ling pun bingung di dalam rumah makannya. Dia celam-celum di situ. Tampaknya ada penyesalan di hatinya. Mungkin juga wirang pada dirinya sendiri.
Kemudian dia duduk. Akan tetapi dia merasa pantatnya tidak melekat di balai-balai.
Pikirannya menerawang jauh ke belakang. Penggalan-penggalan masa lalu berbaris-baris dalam ingatannya.
Tak sadar ada cairan keluar dari kelopak matanya. Cairan itu meleleh di pipinya, mengalir sampai ke ujung bibirnya. Apakah cairan itu terasa asin, sadarlah dia bahwa keharuan baru
saja menerpa dinding hatinya.
Dia teringat wajah Tan Tay Seng. Dia jengkel pada dirinya, sebab dia menggumam sesuatu yang selama ini telah dihapus dari ingatannya.
''Kau betul-betul tupai, Tan Tay Seng,'' kata dia.


***


Tan Tay Seng melompat.
Dia sedang memberi contoh tentang bagaimana memukul serangan musuh dengan menggunakan kaki. Di sekelilingnya duduk sila murid-muridnya, para begal dan garong yang kini sadar dan benar-benar mau dibina menjadi pendekar.
Tempat latihan silat Tan Tay Seng terletak tak jauh dari pondoknya di pinggir sungai, Progo, di latar depan Candi Pawon dari arah selatan. Tidak ada atap yang melindunginya dan murid-
muridnya dari hujan yang mengguyur bumi. Di tengah tanah datar mereka berlatih melompat, membiarkan tubuh mereka dikuyupkan hujan. Semua melakukannya dengan tertib. Tak ayal, murid yang tertib boleh disimpulkan sebagai keberhasilan pembinaan yang dilakukan oleh gurunya.
Salah seorang di antara murid-murid yang kini berjumlah 50 orang adalah Wage, lahir 18 tahun lalu di Bener, desa kecil barat Borobudur. Pada waktunya yang tepat nanti pasti Tan Tay Seng akan menunjuknya menjadi asisten. Tan Tay Seng menyukainya, sebab Wage
sangat tanggap, cerdas, cergas, dan rajin pula.
Pada akhir latihan, selalu Wage memekik, meniru beruk. Orang menyukainya juga sebab selain beruk, dia bisa meniru suara-suara binatang lain dan membunyikan dengan persis, antara lain meringkik seperti kuda, mengaum seperti macan, mendengkur seperti celeng, mendesis seperti ular, mengembik seperti domba, dan meleter seperti bebek.


***

Pada malam harinya mereka berbincang-bincang di bawah atap, sebuah bangunan terbuka, artinya tanpa dinding dengan tiang-tiang dari bambu, bukan dari jati trajumas atau uger-uger, lalu atapnya bukan genteng tapi alang-alang.

Hujan sudah berhenti pada malam hari ketika mereka meriung di bangunan itu. Walau tiada hujan, air di sungai terdengar deras mengalir ke selatan. Derunya seakan memberi semangat untuk hidup, mendobrak gerbang yang menutup hati dari kesunyian.
Tan Tay Seng mengutarakan itu kepada murid-muridnya. Dia mengatakannya dengan puisi.
''Apa kalian mengerti jiwa yang tersembunyi dalam sajakku?'' kata Tan Tay Seng, memandang sekeliling, memandang dalam samar-samar pelita yang dipasang di tengah-tengah.
''Tembangkan dulu,'' kata Wage. ''Siapa nyana sajak yang jujur akan menyingkap rahasia jiwa.''
Tan Tay Seng tertawa kecil memandang Wage, kemudian menyusun kata-kata yang digapainya dari ilham:

''Berkali-kali sudah di perjalananku Aku bersila abhaya-mudra*) atas mauku Mengatakan tiada gentar pada sukmaku Atas sepi yang menirai di hari esokku Tapi rajawali patah sayap merupa kodratku''. Semua murid saling pandang. Mungkin mereka dapat meraba, tapi mereka tidak dapat berkata.
''Nah, coba katakan, apakah kalian dapat menangkap jiwa yang tersembunyi yang aku maksudkan itu?'' kata Tan Tay Seng. ''Katakanlah. Dalam memahami makna yang tersembunyi di balik susunan kata-kata, kalian harus menggunakan tenaga rasa.''
Wage mengacung. Katanya, ''Jiwa Anda sedang berkelana.''
Tan Tay Seng tertawa mendengar itu. ''Berkelana? Berkelana ke mana?''
Selugunya Wage menjawab, ''Kian kemari.''
''Kenapa begitu?'' tanya Tan Tay Seng.
''Kelihatannya jiwa Anda sedang mencari yang hilang,'' kata Wage.
''Apa itu?'' tanya Tan Tay Seng pula.
''Cinta,'' kata Wage. ''Manusia yang tidak punya cinta, seperti hari yang kehilangan waktu.''
Tan Tay Seng tertawa terbahak-bahak. Dia senang sekali. Dan, dia suka pada keluguan Wage.
''Memang betul,'' katanya. ''Justru itu, kita perlu berbincang-bincang di luar pelajaran kita atas masalah yang baru disebutkan oleh Wage. Saya ingin dengar pendapat kalian. Sekarang kalian adalah saudara-saudara saya. Begitu saya berdiri di pusat bumi Jawa ini, tubuh-roh-jiwa saya telah menyatu dengannya. Katakanlah, sebagai saudara yang terbit dan tenggelam di pusat bumi Jawa ini, apakah kalian setuju pada arah kata Wage?''
Mereka semua mengangguk.

''Begini, dulurku, Bupati Tritama menjodohkan anaknya dengan saya. Apakah ini kabar baik atau kabar buruk buat kalian?''

Serempak, dan itu mengejutkan Tan Tay Seng, murid-muridnya menyambut riang ria dengan tepuk tangan.
"Apa maksudnya itu?" tanya Tan Tay Seng. "Kalian belum menyatakannya dengan kata-kata."
"Itu bagus," kata Wage. "Kawin saja, suhu."
Dan semuanya mendukung. "Ya, betul," kata mereka.
Seseorang, yang belum pernah disebut namanya, yang kepalanya seakan menempel kaku di atas kedua punggungnya, sebab lehernya yang terlalu pendek, barangkali hanya empat sentimeter, berkata dengan tanpa perubahan mimik, "Saya yang jadi panitia."
Orang-orang memanggil namanya Bronjong.*)
Maka Tan Tay Seng tertawa padanya. "Betul, Jong?"
Dan Bronjong bermegah diri, memukul dadanya. "Bronjong," katanya dalam nada yang hendak menularkan konfidensi yang ada di hati.


***



Tampaknya Tan Tay Seng mesti memasuki gerbang itu: gerbang di mana seseorang akan menjadi suami dan seseorang lainnya akan menjadi istri di bawah upacara-upacara tertentu. Jika Tan Tay Seng kawin, semakin kuat alasannya untuk tidak lagi meninggalkan bumi yang telah dipilihnya ini. Dan itu artinya dia tidak akan lagi bertemu dengan Ling Ling yang dulu mengusirnya dengan marah dan benci. Padahal, sementara itu, kini sedang terjadi perubahan di dalam hati Ling Ling. Jika hendak dikatakan menyesal, memang begitulah sejatinya hati Ling Ling setelah dia mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Lantas apa yang akan dilakukan Ling Ling? Padahal dia tak tahu. Masih tetap entah.

***

Ling Ling hanya melamun. Tumpukan masa lalu seperti sebuah buku terbuka yang tak ingin dibaca. Melamun dan membayangkan Tan Tay Seng agaknya menggondel langkah batinnya.
Betapa repot.
Lebih-lebih, nanti, jika dia menyadari, melalui apa yang mungkin dilihatnya dengan mata kepala, betapa waktu bisa bikin orang berubah bersama angin bersama matahari bersama bulan....

Karuan kerja sehari-harinya di rumah makannya yang menghadap ke sungai itu - yang kira-kira sekarang berada di sekitar Gang Lombok - hampir boleh dikata tidak tenang, tidak laras
tidak seimbang tidak-tidak: jika bukan kerjanya kesusu-susu bisa juga lamban seperti bekicot.
Yang bisa menyimpulkan dengan terang perubahan pada Ling Ling dengan memperhatikan gerak-geriknya adalah ibunya.

Maka pada suatu malam, setelah rumah makannya tutup, ketika keadaan tidak seimbang itu telah menggejala dalam lima hari, ibunya menyapa, bertanya dalam prihatin dan penasaran.
"Ada apa kamu, Ling?" tanya ibunya.
Ibunya duduk di hadapan Ling Ling.
Ling Ling menundukkan kepala.
Tangan ibunya memegang tangan Ling Ling. "Pasti ada sesuatu," katanya.
Ling Ling menarik pelan tangannya. Pura-pura tidak mengerti akan apa yang dikatakan ibunya. "Sesuatu apa?" tanya dia.
"Kau kelihatan tidak tenang," kata ibunya.
"Ah." Ling Ling mengelak. "Tidak."
Ibunya memegang lagi tangan Ling Ling. "Bicaralah pada Ibu," katanya mendayu, berharap.
"Tidak ada apa-apa, percayalah," kata Ling Ling bertahan pada tak terbukanya.
Dan, justru karena melihat kemauan bertahan Ling Ling itu, ibunya menandas dengan yakin.
Katanya, "Tapi demi sikapmu itu, terlihat sesuatu yang membuatmu seperti seorang yang semakin tidak merdeka. Kau biarkan gembok mengatup mulutmu. Tidak mungkin tidak ada apa-apanya. Nah, katakanlah, Nak."
Ling Ling pun diam. Dia hanyut dalam asal-usul waktu Tiada kata, tiada bicara, hanya waktu itu semata. Dan, manakala mulutnya diam di dalam waktu yang bergerak, tak disadarinya disitu terbangun segala kemungkinan.
Salah satu kemungkinan yang tak bisa dihalau Ling Ling saat ini adalah rahasia haru. Haru yang datang menduduki hatinya telah membuat kelopak matanya mengeluarkan air mata.
Dia seka air mata itu. Ibunya percaya pada kesimpulan yang tadi sudah terpusatkan dalam daya nalarnya. Maka, ditariknya tangan Ling Ling di atas meja dan digenggamnya dengan kedua telapak tangannya.
"Nak, kalau kau rasa tidak mau bicara dengan Ibu, kau boleh bicara dengan Sam Po Kong,"
kata ibunya. Lalu, "Apakah kau berpikir begitu?"
Ling Ling tetap diam. Dia tundukkan kepala. Pasti pikirannya menerawang kian-kemari, menerobos dinding-dinding bening sang waktu, mencari tempat tenggeran bagi jiwanya. Namun, betapa wujudnya lebih kelabu daripada kabut di pegunungan. Dalam diam Ling Ling itu ibunya mengelus tangan putrinya, mengetahui benar kesulitannya yang terahasia. Katanya lembut, "Kalau memang kau berpikir begitu, pergilah ke Simongan."
"Apa alasannya?"
"Crebek yang mengatakan pengetahuan ini kepada saya: Tresna jalaran kulina."*)
"Apa maksudnya itu?"
"Ini memang hanya sekadar peribahasa. Tapi ternyata di baliknya mengandung pengertian-pengertian ching-chih **) dasar kemanusiaan dewasa. Bahwa dengan berulang kalimelakukan persetubuhan dengan pasangan yang sama, dan dalamnya diperoleh kenikmatan-kenikmatan lahir, berangsur menjadi terbiasa dengannya, dan yang terbiasa ini kemudian menimbulkan rasa memiliki, mempengaruhi keadaan batin, lalu setelah itu akan kacau keseimbangan batiniah itu jika tiba-tiba keterbiasaan lahirlah itu putus. "Saya yakin, Hua Xiong sedang bingung, tidak seimbang, kalang-kabat, kacau-balau, karena tubuh yang membuatnya terbiasa pada kenikmatan-kenikmatan lahiriah itu sekarang tidak ada lagi bersamanya." Baik Ceng Ho maupun Wang Jing Hong sama-sama menyerap.

Mereka memandang dalam dalam ke wajah Dang Zhua. Wang Jing Hong mencamkan. Ceng Ho menyelia. Dang Zhua sendiri merasa seperti pandai. Setelah itu Wang Jing Hong yang lebih dulu bertanya. "Sekarang di mana Crebek itu?" Jawab Dang Zhua tanpa zan dan tanpa syak, "Nanti saya akan tanya pada Lurah Jawahir. Dari dia 'barang' itu. Dia pun punya banyak koleksi 'barang' seperti itu yang terlatih bermain seni pura-pura." Ceng Ho memotong omongan. Tampaknya dia tidak tertarik atau juga tidak hirau akan materi percakapan yang diacu Dang Zhua. Katanya sambil oraksila, "Yang saya inginkan, tangkap kembali itu Hua Xiong. Ini perintah. Dan, karena ini perintah, maka saya pinta disiapkan satu pasukan khusus, berpakaian sipil, menyebar di Semarang sana." Dang Zhua terpaku di tempat duduknya. Bagaimana pun dia masih berambisi, dan membuktikannya kepada Ceng Ho, bahwa dia bisa menangkap Hua Xiong dengan kedua tangannya sendiri. Sudah teguh hatinya untuk tidak patuh lagi pada Liu Ta Xia: orang yang menyelundupkannya di pelayaran besar ini.


***


Hanya beberapa menit saja setelah Ceng Ho memutuskan itu, tibalah Ling Ling di seberang Simongan. Tak lain yang diinginkan Ling Ling, sang sioca, adalah menemui Ceng Ho, sang tayjin, untuk meminta nasihat-nasihatnya. Ling Ling menggunakan kereta dari bagian kota ke ujung Lemahgempal untuk kemudian menyeberang sungai di bawahnya dengan menggunakan rakit yang didorong dengan galah bambu. Sebelum menyeberang, di ujung Lemahgempal itu, terbentang sawah yang luas sampai di batas Kalisari. Untuk turun ke sungai, yang tanahnya liat dan licin, Ling Ling memegang tiang selayun-selayun yang mengitari tanah sawah. Apabila tiang itu melengung karena berat badan Ling Ling, maka selayun-selayun itu pun mengencang dan membunyikan pula gemerincing, lantas burung-burung pipit dan gelatik yang sedang mencuri padi di situ, terbang ramai-ramai, menjauh, ke pohon besar, tapi tak lama kemudian kembali lagi ke sawah itu.


***


Tekad di hati yang menyinar bagai fajar yang membuat Ling Ling berangkat seorang diri ke Simongan. Ada puisi yang tidak terwujud dalam rangkai kata, tapi terbangun dalam anganan esok hari, yang mentakhlik sukmanya, kalbunya, sanubarinya, menjadi nyanyian pengharpaan: nyanyian nurani yang mengimbau-imbau dirinya untuk merdeka dari kesunyian, kesendirian, kesebatangkaraan. Tercenung dia di atas rakit itu. Ekawicara berlangsung di dalam hatinya. Burung-burung yang tadi terbang ke pohon kini kembali lagi ke sawah. "Oh, aku adalah pohon. Berdiri kokoh menantang matahari yang membias sinar di kitar langit di atas, tapi tak tahu di mana akarku menembusi kelam di lapis bumi di bawah." Kini dia melihat, tpai tidak memperhatikan gerak tangan tukang rakit yang mendorong-dorongkan galahnya di air sungai, dari pinggir timur ke pinggir barat.
"Ah, seandainya aku tidak usah jadi pohon, pasti lebih elok menjadi bunga;"Kemarin aku bunga, setangkai, yang semerbak;
"Tapi aku sudah halau kumbang yang setia menyapa harumku; "Sekarang aku ingin meralat langkah, kembali ke kemarin, namun aku diragukan akalku;"Mestinya di atas sungai ini aku hanyutkan prahara, memindahkan kesalahan dari tempatnya yang lama di darat, ke samudra tempatnya yang tetap..."


Dan Ling Ling tersadar dari lamunan karena sapaan tukang rakit itu.
"Nanti yuk-e kembali ke Semarang siang apa sore?" tanyanya.
"Kenapa?"
"Sebentar lagi sungai ini bakal banjir besar. Mangkanya, kalau yuk-e baru pulang sore, tidak mungkin bisa menyeberang."
"Bagaimana kamu tahu kalau nanti akan ada banjir besar?"
''Itu lo,'' kata tukang rakit itu seraya menunjuk dengan jempolnya ke arah selatan. ''Gunung Ungaran di kidul sana sudah ditutupi selimut hitam.''
Ling Ling pun memandang ke arah jempol tukang rakit itu. ''Maksudmu?''
''Kalau Ungaran ditutupi selimut hitam, itu artinya di sana sedang hujan lebat. Air dari sana akan membandang ke sini, di sungai ini.''
''Oh?'' Ling Ling mengangguk. Di luar rencana dia kepalang bertetap hati. Katanya dengan suara yang lebih jelas terdengar di kupingnya sendiri, ''Ya, sudah. Kalau perlu menginap saja di depan gua Simongan itu.''
Burung-burung pipit dan gelatik beterbangan lagi di atas rakit. Di pohon besar di seberang, di tempat rakit sekarang telah menepi, terdengar pula kicau silampukau.
Ling Ling memberi upah kepada tukang rakit itu. Dan dia berjalan kaki ke gua Simongan.

***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #175 on: 02/09/2008 14:55 »
Di dekat gua Simongan tampak dari jauh Wang Jing Hong sedang menguti-ngutikan jarinya di depan kandang burung jalak balinya itu seraya bersiul-siul, menyuruh burung-burungnya itu berkicau.
''Ayo, berkicaulah,'' kata Wang Jing Hong. ''Jangan malu-malu begini. Kalian adalah burung-burung paling indah dan paling pandai.''
Lalu pembantunya, yang setia, lugu, tapi acap berpenampilan pandir, mengawasi dengan cengenges, kemudian menimbrung di belakang Wang Jing Hong. Katanya, ''Mestinya dipisah
dulu, yuk-e.''
''Apa?'' Wang Jing Hong menoleh dan memandang dengan sikap selingar terhadap pembantunya itu. Ketika dia bertanya begini, dalam pikirannya berlangsung kemauan untuk peduli.
''Benar, yuk-e,'' kata pembantu itu sambil melangkah maju dengan menggulung sarungnya.
''Kalau burung ocehan dikurung bareng seperti ini, sulit ngocehnya.''
Wang Jing Hong seperti tersium. Dalam tidak berkata apa-apa, hanya memandang wajah pembantunya itu Wang Jing Hong sedang membenarkan omongannya.
Karena Wang Jing Hong hanya diam, maka pembantunya yang lugu itu, bicara panjang seperti mengoceh, dan merasa diri paling pintar tentang burung.
''Pengetahuan ini saya peroleh dari kakek saya di Ungaran,'' katanya. ''Burung yang dikurung sendiri cepat ngoceh, sebab sebetulnya ngocehnya itu berarti, dalam bahasa burung, adalah
menjerit-jerit minta kebebasan. Ini bukan hanya jenis yang ngoceh seperti ciung, anis, cikrak, cinenen, sikatan, cabai, dan lain-lain, tapi juga jenis yang manggung seperti perkutut, tekukur, dederuk, uncal, pergam, punai.''
Wang Jing Hong terbengong. ''Kok kamu mengerti?''

''La, iya, kan kata saya tadi, kakek saya di Ungaran sana itu pakar. Dari kecil saya sudah biasa main burung.''
''Begitu?''
''Benar, yuk-e. Kalau yuk-e mau, nanti saya buatkan sangkar untuk burung yang satu itu.''
''Tapi menurut Ratu Bali, burung ini tidak bisa hidup sendiri.''
''Lo, puguh karena sendiri, maka burung ini mau mengoceh.''
Wang Jing Hong merengut. Dia sedang melintaskan dua pendapat di dalam pikirannya. Dia duduk.


***

Dari depan sana muncul sang sioca. Ling Ling berjalan tergopoh-gopoh ke arah Wang Jing Hong. Dia seka keringat yang mengucur di wajah dengan ujung bajunya yang terbuat dari bahan lokcuan, sementara awan hitam tebal di Ungaran sana sedang melaju ke utara dan anginnya yang basah mulai menyentuh Simongan. Kini Simongan pun menjadi abu-abu. Tiada lagi burung-burung pipit dan gelatik yang mencari makan di sawah. Sebentar lagi warna abu-abu ini berubah pula menjadi hitam seperti di Ungaran.


***


Di depan rumah, yang terletak di selatan gua, Wang Jing Hong masih duduk memandang ke depan. Dia segera berdiri dari kursinya itu karena melihat sosok perempuan yang berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya.

''Ling Ling?'' katanya, membuka tangan, tersenyum, dan menunggu.
Ling Ling pun mempercepat langkahnya. Di depan Wang Jing Hong dia menekuk kaki,memberi hormat dengan cara yang sangat santun.
''Salam,'' kata Ling Ling.
''Berdirilah,'' kata Wang Jing Hong ramah. ''Rasanya sudah seribu tahun kita tidak jumpa.''
''Ya,'' kata Ling Ling tersipu, menahan rahasia yang tengah berlangsung di hati, dan yang telah membuatnya ke sini. ''Tapi peribahasa itu tidak mukim dalam diri saya.''
''Peribahasa yang mana?''
''Tsai chia chi'ien jih hao.''*)
''Kenapa?''
''Itulah alasan yang membuat saya ke sini. Satu hari dalam hidup saya sekarang terasa seperti seribu bulan dalam pemerintahan Gao Yang.**) Saya ingin minta nasihat Sam Po Kong.''

"Soal nasihat, pasti Sam Po Kong akan memberikan itu sebaik-baiknya," kata Wang Jing
Hong. "Susul saja ke atas. Beliau baru saja pulang ke atas. Cepat. Mumpung belum hujan. Sebentar lagi hujan deras akan turun di sini."

"Ya, ya," jawab Ling Ling bergopoh.

***

Ling Ling pun mundur beberapa langkah sambil menundukkan kepala, kemudian bergerak maju hendak ke bukit yang ditunjuk Wang Jing Hong. Tapi dia terhenti pada langkah yang kesekian belas di arah utara, sebab angin yang basah lagi kencang dari Ungaran itu mendadak berubah menjadi hujan yang lebat nian. Hujan jatuh bersamaan dengan guruh yang meledak dahsyat, membuat Ling Ling tergetar badan, gemetar, dan gentar.

Apa boleh buat, terpaksa Ling Ling memutar badan, kembali lagi ke pondok Wang Jing Hong. Larinya kembali ke pondok Wang Jing Hong memang hanya sekian belas meter, tapi hujan yang begitu lebat, telah dengan cepat menguyupkan badannya. Di bangku bambu yang panjang di dalam pondok itu Ling Ling menggigil. Bibirnya bergerakgerak. Tangannya tersedekap ***
Wang Jing Hong mengambil jubah dan selimut dari dalam dan memberikannya ke Ling Ling.
"Tidak ada jubah khusus perempuan di sini. Tapi ini bisa menolongmu. Salin sana."
Ling Ling mengambil jubah dan selimut yang diberikan Wang Jing Hong, lantas masuk ke dalam, mengganti pakaiannya yang basah kuyup itu. Lumayan, pikirnya.
Pembantu Wang Jing Hong tertawa melihat itu. Kebetulan, dia pun berpikir sama seperti kata yang diucapkan Ling Ling di dalam hati. Sambil masuk ke dalam, dan terus ke belakang, ke dapur, dia berkata sambil mengacungkan jari jempolnya, "Lumayan."


***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #176 on: 02/09/2008 15:01 »
Di belakang, di dapur, pembantu Wang Jing Hong itu membuat api di tungku. Tungkunya termasuk juga "lumayan" besar. Tingginya kira-kira setengah meter dan lebarnya kira-kira 40 sentimeter. Potongan-potongan kayu yang dipasang di situ 'lumayan' banyak. Dan jika orang mau duduk di depannya, di jarak yang kira-kira satu setengah meter, "lumayan" untuk bisa memanaskan badan. Pembantu Wang Jing Hong mengatakan itu kepada Ling Ling. "Kalau yuk-e menggigil dingin, duduk saja di depan tungku." "Ya, itu betul juga," kata Wang Jing Hong mendukung gagasan pembantunya. Pembantunya itu mengambil pakaian Ling Ling yang basah lantas meremas, mengeluarkan airnya, lalu menggantungnya di atas tungku itu. Sambil melakukan itu, dan Ling Ling melihatnya, pembantu itu berkata tanpa beban. "Ini juga lumayan." "Tapi...," ujar Ling Ling terputus, sebab pembantu itu segera memegang tangannya seakan menyuruhnya untuk tidak usah melanjutkan kalimat itu. "Ya memang, baju basah yang dikeringkan di atas tungku, pasti baunya seperti bandeng asap," kata pembantu itu. "Tapi, ya lumayan tinimbang basah sampai besok lantas baunya seperti udang terasi."
 

***

Toh Ling Ling harus menunggu sampai besok di pondok milik Wang Jing Hong ini, tertidur di bangku panjang dari bambu yang terletak di bagian depan. Dan, kendatipun hujan yang lebat ini telah berhenti pada tengah malam, dan hari menjadi cerah di keesokan paginya, tetap saja Ling Ling tak bisa segera pulang ke rumahnya di bagian kota sana, sebab sungai di depan gua itu kini banjir besar. Segala macam benda, yang mati atawa yang hidup, dari selatan dihanyutkannya ke utara: pohon, rumah, ternak, dan juga manusia. Baru pada sore harinya air di sungai ini mulai surut. Tapi tukang rakit, satu-satunya orang yang mengerjakan jasa perhubungan ini dengan imbalan ala kadar, tetap tidak berani menyeberangkan rakitnya dari tepi yang satu ke tepi yang lain. Dia memilih berbaring santai di gubuknya di antara sawah pada bagian Lemahgempal

***


Ling Ling baru bertemu dengan Ceng Ho pada pagi harinya. Dia menemui Ceng Ho di atas perbukitan Simongan itu dengan pakaian pinjaman Wang Jing Hong. Mendaki ke atas bukit itu, dengan pakaian yang longgar begini, dan tanah yang liat oleh bekas hujan, tidaklah mudah. Siapa pun, dan dengan alas kaki apa pun yang dipakai untuk mendaki bukit, pasti terkendala.
Tanah liat yang diinjak akan melengket di alas kaki, makin lama makin tebal, sehingga menyulitkan langkah.
Ling Ling baru tiba di atas bukit setelah terpeleset di tanah liat itu empat kali. Ketika dia tiba di atas, di tempat pembangunan rumah-rumah kayu dan bambu untuk Ceng Ho, perwira-
perwiranya, ahli-ahlinya dari pelbagai bidang, serta rohaniwan-rohaniwannya yang Buddha, Kong Hu Cu, dan Tao, maka orang yang ingin ditemuinya itu, Ceng Ho, sedang berdiri memandang ke bawah. Di tempatnya berdiri ini terlihat sebagian dataran rendah dan Laut Jawa di utara, Gunung Ungaran di selatan yang tampak dekat, dan Gunung Muria di utara- timur-laut yang tampak jauh.

Ling Ling mendekati Ceng Ho. Napasnya terengah-engah. Sebelum dia menyapa Ceng Ho dari belakang, mengira bahwa Ceng Ho tidak tahu akan kehadirannya di situ, dia tertegun dan selingar karena tanpa menoleh pun Ceng Ho telah menyebut namanya dengan sangat terang.
''Ling Ling, di hatimu ada emas, tapi kau pakai tembaga untuk menghias kepalamu,'' kata Ceng Ho.
 
Ling Ling melangkah cepat, mencium tangan Ceng Ho. ''Katakanlah, Sam Po Kong, ikhtiar apa yang harus aku lakukan untuk mengembalikan keluhuran dalam jiwaku.''

''Cinta,'' kata Ceng Ho. ''Bangunlah itu dalam sukmamu. Bangunlah istana cinta di atas batu gunung yang kukuh dalam semua musim, bukan di atas pasir pantai yang rawan dalam musim puting-beliung. Ciptakan halwa-telinga atasnya yang memanjangkan jarak hidup.''

''Justru itu, Sam Po Kong, aku ke sini meminta nasihatmu, sebab oleh cinta aku menjadi piatu, menjadi fakir, menjadi yang tersia-sia.''
''Tidak. Kau salah. Cinta tidak mungkin menyengsarakan manusia. Sebab cinta datang dari Tuhan.''
''Tapi aku terbakar oleh cinta.''
''Cinta pun bukan api.''
''Buktinya aku panas.''
''Itu benci.''
''Ya, aku pernah marah.''
''Aku tahu. Kau terhasut.''
''Sekarang aku menyesal. Apa yang harus aku perbuat?''
''Kau harus menemukan kembali cintamu itu.''
''Bagaimana caranya? Bahkan sampai sekarang aku ragu, jangan-jangan aku belum menemukan diriku.''
''Jika begitu taruh cintamu itu di dalam dirimu.''
''Bagaimana aku melakukannya? Bukankah cinta tidak lahir dari gagasan, tapi dari wujud yang masuk ke hati melalui mata? Sementara itu, di mana wujud itu, yang dapat dilihat oleh
mata, telah lama hilang dari indraku.''
''Bila persoalannya hanya mata, bukan hati, percayalah: cinta sejati tidak pernah hilang. Jika pun cinta hilang di mata, mestilah hati mencarinya.''
''Jadi apa nasihat Sam Po Kong?''
''Aku sudah mengatakannya dari tadi. Kau harus mencarinya.''
''Di mana?''
''Di Borobudur.''
''Itu tidak mungkin. Tidak mungkin perempuan yang mencari lelaki. Ini sama seperti rumput yang mencari kuda.'' ''Kalau begitu, memang benar, yang ada di dalam hatimu bukan cinta, tapi benci. Hanya benci yang membuat hati manusia panas, menyala, terbakar. Cinta sejati bertiang pemaaf,beratap welas asih, berdinding lemah lembut, berlantai nurani bersih, berpintu panjang sabar, berjendela eling ke Tuhan.'' Ling Ling terdiam. Agaknya hatinya sedang berkata: tidak mau tersesat dalam pikiran-pikiran yang dibuatnya di bawah hitung-hitungan akan harga diri, gengsi, nilai-nilai moral yang meleluri dari kesalahan-kesalahan masa lalu.
***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #177 on: 02/09/2008 15:06 »
Ceng Ho hanya mengatakan supaya Ling Ling mencari cintanya di Borobudur, tapi tidak menawarkan untuk pergi ke sana dengan seorang atau dua orang atau berapa pun orang yang bisa menemaninya ke selatan sana. Adalah Wang Jing Hong yang mengatakan itu.
''Seorang gadis tidak mungkin berangkat seorang diri ke Borobudur,'' kata Wang Jing Hong.
''Jika kau mau ditemani ke sana, bisa diatur orang-orang yang kebetulan ingin juga ke sana.''
''Memangnya siapa yang ingin ke sana?''
''Ada lima orang. Mereka semua penganut Buddha yang taat.''
''Jika begitu saya titip salam saja melalui mereka.''
''Lo, kau tidak berminat berangkat ke sana?''
''Saya khawatir kalau-kalau sang waktu sama-sama mengubah jalan pikiran manusia.''
''Apa maksudmu?''
''Siapa tahu bukan cuma saya yang berubah, tapi termasuk dia juga. Sekarang saya berubah karena ada kenyataan yang menyadarkan kesalahan saya. Namun bagaimana bila dia juga berubah untuk tidak peduli pada kenyataan berubahnya saya? Jika sampai terjadi perubahan yang saling membentur atas dua kenyataan, dan masing-masing pihak harus membuang perai dengan tergesa-gesa untuk menghadapi perubahan itu, siapa yang dapat menjamin ketenangan hati untuk tampil wajar? Tidak ada. Jadi, daripada saya harus terpaksa membuang perai dengan tergesa-gesa menghadapi perubahan kenyataan, lebih baik saya tetap saja tinggal di
Semarang. Kalau betul jodoh di tangan Tuhan, biarlah yang terjadi, akan terjadi menurut kodratnya.''



***


Memang lima orang yang akan berangkat ke selatan, ke Borobudur, pusatnya Jawa. Kelima orang itu dipimpin oleh Li Kiu Gi.
Sebelum berangkat, Wang Jing Hong berpesan ke mereka. Katanya, ''Jika kalian bisa menempuh perjalanan ke sana lebih cepat, supaya kalian dapat kembali ke Semarang sebelum Sin-Cia, itu lebih baik. Sebab sesuai dengan rencana, kita akan mengangkat sauh, meninggalkan Semarang tiga minggu setelah Sin-Cia.''
''Sekarang Sin-Cia masih kurang dua bulan,'' kata Kiu Gi. 
''Ya, betul. Syukur-syukur kalau kalian bisa ajak Tan Tay Seng ke sini, merayakan Sin Cia di Semarang. Kita sudah kangen mendengar dia menyanyikan sajak-sajaknya.''
''Kami akan usahakan.''
''Bagus.''


***


Ketika lima orang di bawah Kiu Gi berangkat ke Borobudur, ada lima orang juga yang sejak sepekan lalu menjalankan tugas mereka untuk menangkap Hua Xiong di Semarang. Lima orang yang disebut terakhir ini dipimpin langsung oleh Ci Liang, perwira yang cekatan dan berpengalaman itu.

Tapi, sejatinya, walaupun pengalaman Ci Liang sudah teruji dan dia pun terpuji untuk hal itu, rupanya tidak gampang menjerat tikus yang berhasil lolos dari perangkapnya. Tikus yang pernah lolos dari perangkapnya, tidak mungkin mau masuk kembali ke dalam perangkap yang sama. Demikian naluri Hua Xiong. 
Dia menjadi amat awas. Hanya satu hal yang kelihatannya terabai dari ingatannya, adalah bahwa sepandai-pandai tupai melompat, pada harinya yang nahas akan tergelincir juga.
Kedengarannya pepatah itu mengarahkan ke malapetaka Hua Xiong pada waktu-waktu yang singkat.
Apakah dengan begitu jalan takdir Hua Xiong sama seperti tupai?
Kalau benar begitu simpainya habislah cerita dia.
Tentu dia tidak boleh cepat-cepat habis. Apalagi habis dengan mudah. Dia masih akan hidup panjang. Setan melindunginya. Bukankah dia masih harus pindah ke Cirebon dan mengatur
kubu-kubu setan di sana?


***


Sekarang Hua Xiong tinggal di daerah nelayan. Memang betul dia merindukan Crebek. Dan Crebek pun sudah dipasang di tempat yang dapat memancing Hua Xiong. Namun Hua Xiong tak gampang diperdaya.
Selain itu, sakitnya di sekujur tubuh akibat pukulan-pukulan Dang Zhua belum lagi sembuh. Dia dirawat oleh nelayan yang dulu menepikannya dari laut ke darat.
Nelayan itu, Tukiran, seperti orang tersihir. Dia melakukan segala hal yang diminta Hua Xiong. Malah Hua Xiong bukan hanya meminta, tapi memerintah, dan nelayan itu melakukannya dengan patuh dan senang.

***

Yang tak pernah diduga siapa pun, termasuk Ceng Ho dan Wang Jing Hong - yang tinggal di Simongan selama bulan-bulan terakhir ini - adalah keberanian Hua Xiong yang bercampur aduk dengan kenekatan dan kepetualangannya, mendekati kapal induk yang disauhkan di tengah laut sana. Pada suatu malam, ketika hujan turun lebat seperti biasa pada musimnya, Hua Xiong beperahu bersama Tukiran ke kapal induk yang disauhkan di tengah laut sana. Dia ke sana hanya karena suatu benda miliknya yang tersimpan di kamarnya - kamar yang tidak mungkin ditempatinya lagi. Dari perahu kecil sejenis kempang dia melemparkan tali kelandara di tiang andang-andang. Dengan kelandara itu dia memanjat ke atas kapal induk. Dia melakukan dengan mulus. Tak seorang pun melihat. Sebab, tak seorang pun yang berjaga di sana pada malam larut begini. Maka dengan leluasa pula dia mengendap ke kamar. Dia tahu pula Dang Zhua tidak berada di situ. Karena itu dengan santai dia mendorong pintu dan masuk ke dalam. Dia tarik peti ukir yang terletak di pojok. Di bawah peti itu tertempel di bagian yang tak diketahui orang dua buah meterai emas bercap Liu Ta Xia: satu miliknya satu lagi milik Dang Zhua. Lekas-lekas dia masukkan itu ke dalam pakaiannya lalu keluar meninggalkan kamar. Sebelum itu dia ambil tinta, menguas dengan pit di kakinya sampai kakinya hitam, lantas diinjaknya bantal milik Dang Zhua. Kelak, ketika Dang Zhua datang ke kapal, dia pasti akan marah besar, karena merasa telah dipermainkan Hua Xiong. Maunya, setelah masuk ke dalam kamar, bekas ruang khusus baginya dan masih tetap menjadi ruang khusus bagi Dang Zhua, dia akan ke bawah, menemui Chen Tsu I, tapi dia mengurungkan kemauan itu. Dia langsung ke tali tempat dia tadi memanjat ke sini. Dengan tangkas dia meluncur ke bawah, naik ke perahu Tukiran, dan kembali ke darat.


***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #178 on: 02/09/2008 15:10 »
Benar, empat hari kemudian, Dang Zhua ke kapal, dan bukan kepalang marahnya. Dia berteriak sambil menendang bantal yang dikotori kaki Hua Xiong. ''Bajingan kamu Hua Xiong!'' Dia lemas dan terbaring di tempat tidurnya. Sumpah serapah menyertai lemasnya. Walau begitu, dia menyimpan kejadian ini sebagai rahasia. Jika dia menceritakan ini kepada Ceng Ho, dia tahu, dirinya akan menjadi sangat terhina. Bagaimanapun, dalam menyimpan ini sebagai rahasia, dalam hatinya tetap berkembang tekad dan harapan untuk dapat kembali menangkap Hua Xiong, lalu membuat perhitunganperhitungan yang lebih terperinci tentang segala hal yang telah membuat dirinya terhina demikian rupa. ''Kamu harus membayar mahal untuk semua ini,  Ya, Dang Zhua bisa bicara sebebasnya, setegasnya, sepandainya tentang dirinya, bahwa dia sanggup menangkap kembali Hua Xiong dan menghajarnya habis-habisan, tapi dalam sadarnya dia ragu sebab dia sendiri tidak tahu di mana sebenarnya Hua Xiong? Ya, siapa pula yang menyangka bahwa Hua Xiong sekarang tinggal di rumah Tukiran di daerah utara yang kumuh, tempat perkampungan nelayan yang rumahnya tak beraturan, menyesuaikan diri dengan irama yang galib dari nyanyian kehidupan dari orang-orang yang keras? Ya, dua manusia bekas sahabat, yang kini berbeda lantaran interesnya yang tidak sama, samasama membangun keberhasilan dan kesenangan dalam pikirannya, tak soal di mana ia mulai berlayar dan di mana ia mulai berlabuh. Ya, dalam pikirannya orang berkhayal akan perkara-perkara tersembunyi, tapi dalam kasatmata orang menginsafi akan ketelanjangan-ketelanjangannya. Ya, hidup adalah misteri tentang mengulur batas ajal yang sudah pasti di depan sana, dan orang berpacu ke situ sebagai pelomba untuk meraih kemenangan yang sementara.


***


Dang Zhua mampir ke rumah makan milik Ling Ling. Malam. Gerimis. Penuh orang.
Bila demikian, maka sudah dapat dibayangkan, berapa laba yang diperoleh orang tua Ling Ling dari rumah makannya yang baru tiga bulan lebih berdiri di kota ini. Pasti, sebentar lagi mereka akan menjadi kaya di sini.
Akhir pekan silam ayah Ling Ling memasang tulisan bertuah di dua dinding rumah makannya itu.
Di dinding kiri adalah ujar-ujaran dari Lao Tse:
XV\/ /\
Bacanya: Cai huo you yu, shi wei kua dao. Maksudnya: Orang yang terendam dalam kekayaan berlebihan adalah pemimpin garong.
Lalu, di dinding sebelah kanan terpajang tulisan dari ujar-ujaran yang terkenal dari Kong Hu
Cu:
ZVX\/ /\
Bacanya: Jun zi zhi cai, qu zhi you dao. Shen si you ming, fu gui zai tian. Maksudnya:
Kekayaan haruslah diraih dengan cara jujur, sebab keuntungan dan kerugian seseorang sudah tersurat di dalam takdirnya.

***

Di bawah tulisan yang satu itu - suratan dari seorang pemimpin besar bangsa yang sangat memengaruhi moral orang-orang Cina di dunia - tampak Ci Liang bersama dua orang bawahannya sedang duduk menghabiskan makanan.
Maunya Dang Zhua menghampirinya dan duduk di dekatnya, tapi semua bangku terisi.
Karena itu, Dang Zhua berdiri menunggu di dekat pintu, memperhatikan siapa-siapa dari orang banyak itu yang sudah selesai makan atau minum dan akan meninggalkan rumah makan
ini.
Melihat Dang Zhua berdiri menunggu di dekat pintu itu, Ling Ling pun masuk ke dalam, mengambil sebuah bangku kecil yang pas-pasan untuk diduduki satu orang berukuran kurus, dan memberikannya ke Dang Zhua.
"Silakan duduk," kata Ling Ling seraya menaruh bangku kecil itu di depan Dang Zhua. "Mau pesan apa?"
"Terima kasih," kata Dang Zhua. "Kau manis sekali."
"Tidak usah merayu," kata Ling Ling sambil berjalan, tapi kemudian berbalik kembali, "Mau makan atau minum?"
"Ramuan arakmu yang hebat itu," kata Dang Zhua menganja-anjakan. "Seperti yang dulu di Qui-Nho itu."
Ling Ling menyungging senyum, menanggap dengan ramah, menjawab dengan manis, "Ya,
tapi ini bukan Qui-Nho. Ini Semarang."
"Lagian, aku memang sudah tidak minum arak lagi." Dang Zhua duduk kembali. "Jadi, bikinkan minuman yang seperti kemarin-kemarin itu."
"Wedang jahe?"
"Betul sekali."


***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #179 on: 02/09/2008 15:12 »
Di sebelah kanan sana, Ci Liang selesai makan, berdiri dari duduknya, siap hendak meninggalkan rumah makan. Dia bayar. Dia keluar. Kedua bawahannya - yang satu amat penting disebut secara khusus namanya, Kwik Ek Gi, orang yang sudah beberapa kali disebut-sebut oleh Ceng Ho sebagai satu-satunya penganut ajaran A-Lu-Fen - mengikutinya dari belakang. Di pintu, sebelum keluar ke jalan, Dang Zhua berdiri pula dari duduknya, bergeser ke pintu itu, memandang Ci Liang, memberi isyarat tertentu dengan tubuhnya, menaikkan bahu, membuka telapak tangan. "Tidak ada tanda-tanda," kata Dang Zhua ke Ci Liang. Ci Liang berhenti. "Keyakinan tidak selalu harus didukung oleh tanda-tanda," katanya dengan wajah datar. "Tahu kenapa begitu? Sebab, ada orang yang memilih mati supaya orang lain gagal menjadi pahlawan. Ada juga orang yang mencari jalan untuk menjadi pahlawan dengan lebih dulu melampaui jalan sebagai pengkhianat. Ada lagi orang yang bergaris gagah mengalahkan musuh demi takhta Kerajaan Ming dan tidak hirau pada orang-orang yang mau atau tidak mengakuinya sebagai pahlawan. Namun, yang paling banyak di dunia sinting ini adalah orang mabuk yang menjadi pahlawan kesiangan." Dang Zhua termangu, terbungkam, dan merasa matanya seakan-akan dilaburi asap. Dia bertanya dalam hati: Apakah Ci Liang sudah tahu tentang kaki Hua Xiong yang gupak tinta di atas bantal miliknya yang selama hari-hari terakhir ini dirahasiakannya? Sekarang dia menjawab: tidak. Besok dia menjawab: entah. Lusa dia menjawab: ya.
Tulat, tubin, dan seterusnya, dia tak punya jawaban apa-apa.
Yang dia ketahui, Ci Liang itu cerdas, pemberani, dan sangat taat pada kepercayaannya, namun juga tidak karib dengannya.
"Tapi semua hal memerlukan kemampuan berimajinasi," kata Dang Zhua di dalam hati. "Aku memiliki itu juga."

Lalu dia kembali masuk ke dalam rumah makan, menghirup minuman panas dari mangkuk keramik putih berbunga biru dari model yang paling khas Ming.


***


Di luar sana, di jalanan tanah yang ada onak-durinya, sekeluar Ci Liang dan Ek Gi bersama seorang lainnya dari rumah makan Ling Ling, berlangsung pertanyaan di dalam hati tentang Dang Zhua.
Awalnya karena Ek Gi seperti ragu, bertanya kepada Ci Liang sambil berjalan di situ bergegas-gegas, dan digonggongi anjing buduk penuh kepinjal.
"Kelihatannya Anda tidak percaya pada Dang Zhua," kata Ek Gi.
Ci Liang tertawa. Dia terus berjalan.
Ek Gi penasaran. "Apakah saya salah menyimpulkan?" tanyanya.
"Melihat Dang Zhua seperti melihat sosok di dalam kabut," jawab Ci Liang.
"Nyata tapi tidak jelas?"
Ci Liang memperlambat langkah. "Begini," katanya, "sebetulnya dia sudah berubah. Walau begitu, saya selalu berpendapat, bahwa pengetahuan tidak dibentuk dari pakaian yang membungkus sosok, melainkan dari sisik yang terurai dari sosok yang terbuka. Penghargaan semestinya tumbuh dari penglihatan."
"Saya mengerti," kata Ek Gi, "kabut berarti abu-abu."
"Betul. Dan itu merupakan tanda tanya."
"Seperti puisi?"
"Bagi puisi: abu-abu itu memang bisa merupakan kekuatan dari wujud keindahan yang lahir dari dorongan keindahan. Tapi, dalam politik: abu-abu bisa berarti suatu sikap dari warna emosional yang tidak jelas melawan atau menyetujui tindakan-tindakan tertentu, pandangan-pandangan tertentu, bahkan pribadi-pribadi orang tertentu. Jadi, layaklah kalau saya menaruh kesangsian di hati, jangan-jangan perubahan dalam penampilan Dang Zhua itu mengarah ke situ. Mungkin saja saya salah. Kalau saya salah, saya harus meralat. Nah, bagaimana pendapatmu sendiri?"
"Mungkin pendapat saya juga keliru. Tapi saya melihat kemauannya yang kuat untuk menjadi
jujur."
"Mudah-mudahan."
Mereka berjalan terus. Matahari ada di atas. Tapi sekali-dua dilewati awan sehingga bumi di bawah tidak terik seperti di musim kemarau.
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

 

Powered by EzPortal