Forum Sahabat Silat

Bahasa Indonesia => Silat Diskusi Umum => Cerita Silat => Topic started by: Putra Petir on 15/08/2008 16:53

Title: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 15/08/2008 16:53
SAM PO KONG (buyankaba.com)
(http://sahabatsilat.com/forum/index.php?action=dlattach;topic=754.0;attach=400;image)
(Cerita ini diprosakan dari bentuk aslinya sebagai skenario film yang dirancang oleh Rumah Produksi Annzora Ideacitra Semarang)


SETELAH berjam-jam melaju di jalanan panjang yang lumayan meletihkan, akhirnya bus carteran yang membawa anak-anak sekolah dari kawasan Grogol, Jakarta Barat, tiba di Simongan, Semarang. Bus itu berhenti di halaman muka kelenteng Sam Po Kong. Seorang lelaki berambut panjang, yang oleh anak-anak sekolah itu dijuluki Tukcer, singkatan Tukang Cerita, adalah guru sejarah yang memimpin rombongan itu.

Dia berhenti di bangunan pertama di mulut kelenteng. "Nah, anak-anak, inilah kelenteng Sam Po Kong. Kalian boleh terkejut. Tapi aku minta kalian percaya pada ceritaku, bahwa tempat ini dipercaya banyak orang dari abad ke abad sebagai makam bahariwan Muslim, Ceng Ho. Dia diutus oleh Kaisar Ming ke sini dan dalam pelayaran yang terakhir, kapalnya karam di sini, dan selanjutnya wafat di sini," kata Tukcer. Anak-anak itu melihat ke sana ke mari, kemudian duduk bersila mengelilingi Tukcer. "Tokoh Ceng Ho, yang sering juga disebut dengan banyak nama,

<bersambung>
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 15/08/2008 16:56
misalnya Sam Po Tay Jin, Sam Pao Toa Ren, dan lain-lain, termasuk yang paling populer Sam Po Kong, ini harus diakui, sangat unik," kata Tukcer. Seorang anak yang dari tadi menggigit-gigit permen karet menepuk lutut sang Tukcer. Tampaknya dia yang paling berminat mengetahui cerita tentang Ceng Ho yang Sam Po Kong itu. Sambil menepuk lutut Tukcer, dia berkata, "Uniknya bagaimana, Pak Tukcer?" "Begini," kata Tukcer, menghela nafas terlebih dulu, lalu mengembusnya. "Ceritaku tentang Sam Po Kong ini berbeda dari sejarah yang ditulis oleh beberapa ahli sejarah, baik yang ahli sejarah Belanda, Prancis, maupun Cina. Oleh sebab itu, kalau kalian ingin mengetahui ceritaku tentang Sam Po Kong, pertama, aku minta kalian harus berpihak dulu pada kebenaran yang aku tawarkan.

Menurut penelitian sejarah yang paling akhir, Ceng Ho tidak pernah ke Semarang. Padahal menurut sumber sejarah yang lain, disebut dengan jelas bahwa Ceng Hong pernah memimpin salat Jumat di sini. Nah, itulah uniknya." Anak yang bertanya tadi, kembali bertanya, "Yang sebenarnya bagaimana, Pak Tukcer?" Tukcer tertawa pendek. Katanya, "Cerita sejarah tidak ada yang disebut paling benar. Sebab, semua cerita sejarah dibuat berdasarkan kemauan untuk membuat orang percaya pada kebenaran yang hendak diacu. Makanya, bisa juga dibilang, sebuah cerita sejarah, bagi pihak
yang tidak percaya, dianggap tidak benar. 

Yang penting dari sikap kalian sekarang terhadap cerita yang aku tawarkan ini, adalah percaya bahwa sebuah cerita sejarah harus selalu berpihak. Cerita sejarah tidak sama seperti buku telepon di mana semua nama dihadirkan dengan kedudukan sama penting. Dalam cerita sejarah, ada nama yang baik, ada juga nama yang jahat, dan banyak pula nama yang harus hilang sebab dianggap tidak penting menentukan bagan: bagan dalam prosa disebut "plot" bagan dalam film diejawantahkan melalui konsep "gambar bergerak."

"Tunggu, Pak Tukcer," kata anak yang paling serius menguping cerita sang Tukcer.

"Sekarang kalau menurut Pak Tukcer, Ceng Ho ini nama yang baik atau jahat?"

Lagi Tukcer tertawa pendek.

Tapi dia menjawab dengan sikap yang sangat madya. "O, sudah tentu, menurutku, dalam plus-minusnya-sebab manusia sejati tidak bisa terus-menerus plus dan tidak bisa pula terus-menerus minus-harus dibilang manusia Ceng Ho itu sangat luar biasa. Ini termasuk cara generasi penerus memberi apresiasi kepada cerita-cerita sejarah.
 
Yaitu, harus dikatakan: Ceng Ho itu sakti, cerdik-cendekia, bijak-bestari, kemudian jangan lupa dia pendekar dan dia kasim. Kalau tidak begitu, mana mungkin Zhu Di, kaisar Ming, memilihnya untuk memimpin ekspedisi pelayaran ke sini demi kebesaran Dinasti Ming."

Dan, Tukcer menutupkan mata, mengajak anak-anak sekolah itu membayangkan Ceng Ho.

Dan, hadirlah gambaran-gambaran hidup dalam imajinasi mereka, mundur sekian abad,
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 15/08/2008 17:00
dimulai dari tahun 1400-an nun di negeri Cina sana. 

***
Malam itu Ceng Ho sedang sujud di Masjid Jing Jue di Nan Jing menunaikan salat isya. Sebagai keluarga muslim taat, Ceng Ho yang putra Mi Jin berjuluk Ma Ha Ji atau Haji Ma, tak pernah mengabaikan salat. Kini, ketika dia sedang melakukan salat di masjid, tak dia ketahui dua pasang mata dari luar masjid sedang mengintai, disuruh oleh seseorang yang belum diketahui. Maka tanpa beban, dan tanpa menaruh curiga, walaupun itu tidak berarti dengannya ia kehilangan kewaspadaan, seusai sembahyang Ceng Ho leluasa keluar dari masjid, berjalan di tengah gelap menuju pulang. Sekonyong-konyong ia terjaga. Dua orang yang tadi mengintai itu kini berada di depan jalannya, di bagian yang amat pekat, karena malam tiada berbintang, mengadang di situ dan siap menyerang Ceng Ho dengan pedang-pedang terhunus. Ceng Ho segera waspada, menghitung gerakan yang paling kecil sekalipun, untuk menghadapi orang-orang yang tidak dikenalnya itu. Matanya tajam. Dia menunggu. Dia mungkin mengira bahwa tidak mungkin hanya dua orang itu saja yang berada di sekitar jalanan gelap ini. Pasti ada orang-orang lain. Dan, sangkanya tidak meleset. Memang masih ada orang-orang lain yang sudah menghunus pedang mereka, yang akan mengeroyok Ceng Ho. Tiga orang muncul berbarengan di belakang Ceng Ho. Tak berapa lama, hanya hitungan detik, setelah kaki-kaki mereka benar-benar merasa tegak di tanah, serempak dari arahnya masing-masing mereka menyerang Ceng Ho. Dengan tangan kosong,
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 15/08/2008 17:01
berhubung Ceng Ho baru pergi ke rumah ibadah, ditangkisnya serangan tikus-tikus itu. Dan, memang, karena orang-orang itu hanya pendekar kelas tikus got, satu persatu mereka berhasil dikalahkan oleh Ceng Ho. Satu per satu Ceng Ho menangkap dan menotok tak berkutik. Salah seorang berusaha lari. Melihat yang empat keok, tewas mengenaskan dan konyol, maka yang satu terakhir ini cepat-cepat mengambil langkah seribu: berlari. Tapi Ceng Ho meloncat seperti terbang, kedua kaki terangkat dari bumi, kemudian di jarak yang jauh di depan, di muka orang itu, Ceng Ho berdiri mengadang. Dengan sekali bergerak, yaitu melalui perhitungan jitu, Ceng Ho berhasil pula menangkap tikus got yang satu ini. Dengan suatu
keterampilan yang alih-alih Ceng Ho memutar tangan orang itu, siap hendak mematahkannya.
Orang itu berteriak ketakutan, meminta ampun, putus asa.
''Ampun, Tuan, ampun,'' katanya gemetar, setengah menangis setengah menyembah. ''Jangan
bunuh aku, Tuan Ceng Ho.''
Ceng Ho tak melepaskan. ''Siapa kalian?''
''Kami bukan siapa-siapa,'' jawab orang itu.
Ceng Ho menariknya. ''Dari mana kamu tahu namaku?''
''Kami hanya disuruh.''
''Siapa yang menyuruhmu.''
''Kami sendiri tidak kenal orangnya.''
''Bohong!'' Ceng Ho membentak, mengencangkan tangannya.
Orang itu mengaduh-aduh. ''Betul, Tuang Ceng Ho. Betul, Ampuni aku.''
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 15/08/2008 17:12
''Baik,'' kata Ceng Ho menghempas, dan orang itu berpelanting ke tanah.
''Kalau begitu, bilang, siapa nama orang yang menyuruh kalian.''
Orang itu kelihatan sangat ketakutan, merinding, namun juga mencoba tulus dalam keadaan yang tidak menguntungkan ini.

Dia komat-kamit hendak mengatakan sesuatu, memandang kekiri ke kanan yang gelita karena malam kian merangkak.

Tiba-tiba, dalam, keadaan seperti bingung, tanpa diketahui siapa pun, sebuah senjata pipih dan kecil, terbang dari kegelapan, langsung mengena leher orang itu. Sekejap saja orang itu
mati terkulai di tanah.

Ceng Ho terkesiap. Jengkel. Geregetan. Dia memandang ke kanan, ke bagian yang gelap sangat, tapi yang menurut nalarnya merupakan tempat dilemparkannya senjata pipih yang mematikan itu. Dia berteriak keras, nyaring, mengumpat ke arah itu.

''Hei, setan!'' katanya. ''Siap kamu?! Keluar kamu dari situ.''

Tiada jawaban. Tiada tanda-tanda akan kemungkinan seseorang yang berjiwa jantan mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.


                             ***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Jali Jengki on 15/08/2008 17:15
Ane tau nih, skenario asli ditulis Remy Silado yak...?

Lanjuuut celtanya Kak Seto....!

Tabe'..Jali
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 15/08/2008 17:15
Beberapa saat kemudian, Wan San masuk tergopoh-gopoh ke sebuah rumah.

Siapa Wan San?

Dialah orang yang melemparkan senjata hebat itu. Dia datang menemui tuannya: tuan yang mengupahnya melakukan pekerjaan tak jantan. Tuannya itu Dang Zhua. Sang tuan sedang duduk menunggu berita dengan perasaan tidak tenang. Di hadapannya duduk pula Hua Xiong.

Begitu Wan San masuk, Dang Zhua berdiri. Kelihatan sekali keadaan dirinya yang tak sabar menunggu jawaban Wan San. Kata pertama yang diucapkannya adalah keinginannya untuk memperoleh jawaban yang menyenangkan.

''Berhasil?'' tanya Dan Zhua.

Wan San sulit menjawab. Kalaupun dia tidak menjawab yang benar berikut ini, Dang Zhua dapat menduganya. Katanya, ''Maaf. Mereka tidak berhasil.''

Dang Zhua geram. ''Apa maksudmu mereka tidak berhasil? Katakan!''
''Ya,'' jawab Wan San dengan sulit,

namun terucapkan pula dengan jelas. ''Mereka tidak berhasil menyingkirkan Ceng Ho.''

Dang Zhua menghardik keras. ''Gila!'' katanya. ''Mereka itu lima orang. Ditambah dengan kamu, seluruhnya setengah lusin. Mana bisa enam orang kalah hanya oleh satu orang.''
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 15/08/2008 17:18
Wan San pelegak-peleguk. Dia mengakui kenyataan ini dengan sangat pahit. ''Tapi Ceng Ho memang sakti.''


Dang Zhua menjadi kampungan. Dia meludah. ''Cuh! Kalian pendekar apa? Bagaimana mungkin enam orang pendekar kalah pada satu orang thay chien *) dari Yuan Nan?'' 

Didorongnyan dada Wan San. ''Pendekar macam apa kalian? Benar-benar gila. Apa yang harus aku katakan pada Menteri Liu?''

Dengan kepercayaan diri yang tidak terlalu utuh, Wan San coba menyakinkan sesuatu yang sebetulnya dia sendiri tak yakin. Katanya,

''Tidak perlu pesimistis, Tuan. Kalau saya berkata tidak berhasil, itu tidaklah otomatis berarti gagal''. Masih ada besok yang lebih baik. Saya bersumpah, besok, dengan melipatgandakan pendekar yang lebih tangguh, saya jamin thay chien dari Yun Nan itu akan lewat, selesai, habis.'' ''Tidak bisa,'' kata Dang Zhua.

''Besok pagi kaisar akan mengumumkan keputusannya untuk menugaskan Ceng Ho sebagai laksamana yang akan memimpin misi pelayaran muhibah ke negeri-negeri selatan, Campa, Jawa, dan terus ke India, Arab.''

Seraya membungkuk dengan sikap sembah dan takzim Wan San berkata, ''Kalau begitu, saya atur sekarang juga, Tuan. Tuan akan mendengar kabar langsung dari mulut saya sebelum matahari terbit pagi nanti.'' Dang Zhua melemparkan pandangan kepada Hua Xiong, lalu berdiri berkacak pinggang di muka Wan San. Suaranya menumpul.

 Katanya. ''Apa kamu yakin?'' ''Yakin, Tuan Dang Zhua,'' jawab Wan San. ''Saya bertaruh mati untuk tuan kalau saya gagal.''
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 15/08/2008 17:39
''Kalau begitu, cepat, laksanakan,'' kata Dang Zhua.
''Baik, Tuan,'' kata Wan San, memberi hormat kepada Dang Zhua dan Hua Xiong.

Wan San meninggalkan rumah Dang Zhua, melaksanakan perintah itu. Hua Xiong pergi ke rumah Menteri Liu yang tadi sudah disebut oleh Dang Zhua.

Malam makin malam. Yang disebut Menteri Liu, tak lain dan tak bukan adalah Liu Ta Xia, menteri ekonomi dan keuangan dalam pemerintahan Zhu Di, sang kaisar. Liu Ta Xia tampak tegang.

Ketegangannya terlihat pada sikapnya yang mondar-mandir di ruangan besar rumahnya. Melihat itu Hua Xiong menenangkannya, berlaku sok arif, dan hal itu sebetulnya tidak pas untuk manusia sekelas cecunguk.

''Tenanglah, Tuan Menteri,'' kata Hua Xiong. ''Sebentar lagi Dang Xhua akan hadir di sini memberikan laporan keberhasilan pendekar-pendekar upahannya. Mereka itu orang-orang yang paling canggih bergerak dalam gelap, menjalankan tugas menghentikan manusia dari kodratnya.'' Liu Ta Xia menarik baju Hua Xiong.

''Jangan berkicau. Buktikan lebih dulu.'' ''Percayalah, Tuan Menteri,'' kata Hua Xiong. Liu Ta Xia mengempaskan Hua Xiong.

''Kamu harus tahu, ini masalah besar: masalah yang menyangkut ribuan manusia, termasuk aku, kamu, dan seluruh negeri akan terkena batu akibat anggaran belanja negara yang terisap dan kebobolan demi ambisi kaisar yang tidak jelas. Supaya ambisi itu padam, sumbunya, Ceng Ho harus dihabiskan. Kamu mengerti?'' Hua Xiong menghormat.

''Tenanglah, Tuan Menteri.'' ''Jangan asal buka mulut kamu,'' kata Liu Ta Xia. ''Apa yang membuatmu yakin?'' ''Maaf, Tuan Menteri,'' kata Hua Xiong. ''Dang Xhua tidak mungkin keliru memilih ular. Dia sendiri pandai menjadi tikus.''

Lalu, sekonyong-konyong terdengar seseorang membuka pintu. Kedua orang, baik menteri maupun Hua Xiong serta-merta menoleh ke pintu itu. Di situ muncul Dang Zhua tergopohgopoh. Keringat berbintik di dahinya.

Dia berdiri bingung. Liu Ta Xia melihat sesuatu yang mungkin membuat hatinya tawar. Maka dia maju mendekati Dang Xhua, menjejalkan pertanyaan yang menunjukkan keinginannya untuk memperoleh jawaban yang semoga menggirangkan hati. Dia tarik baju Dang Xhua.

''Jangan bilang tugasmu gagal,'' kata Liu Ta Xia.
''Dari sikapmu yang persis seperti tikus basah, sudah kelihatan gambaran sial, cialat. Ayo, katakan.'' Dang Xhua berusaha menegakkan benang basah. Kalimatnya tidak lancar mengalir dari mulutnya. Katanya, ''Bukan gagal, Tuan Menteri. Ini hanya persoalan waktu. Dalam banyak waktu, ada satu waktu di mana keberhasilan masih tertunda.'' Liu Ta Xia menarik baju Dang Xhua. Dia menekan.

''Tidak usah berbelit,'' kata dia. ''Berbicara yang sebenarnya. Apa yang terjadi?''

''Maaf, Tuan Meteri. Seperti yang baru saya katakan, malam yang sedang berjalan ini keberhasilan belum tercapai. Tapi, malam ini belum mendekati pagi. Malam ini masih malam. Percayalah, Tuan Menteri, sebelum matahari terbit di ujung malam, ular yang melaksanakan perintah rahasia ini akan menyelesaikan tugasnya dengan sukses. Sebelum fajar, Wan San sudah akan mengabarkan kepada kita tentang kematian Ceng Ho.'' Liu Ta Xia memandang nanar ke wajah Dang Zhua. Ada asap di kepalanya yang membuatnya gusar. Sementara di hatinya kelihatannya ada magma yang terus-menerus hendak melanda siapa saja yang dianggapnya musuh. Benih-benih pikiran dan perasaan yang membuat Liu Ta Xia menjadi begini, asalnya semata karena dia tidak setuju gagasan sang kaisar, Zhu Di, mengutus pelayaran muhibah ke selatan dan terus ke timur yang dipimpin oleh Ceng Ho. Selalu dia berkata di belakang sang kaisar:

''Kalau benar Zhu Di hanya bermaksud mengutus Ceng Ho ke negeri selatan sebagai utusan muhibah, mengapa negara harus mengeluarkan anggaran begini besar, membuat 208 kapal, armada, dan orang bersenjata 28.000 orang, dan dana pelayaran untuk 7 kali mengarungi laut dari Laut Cina Selatan sampai ke Jawa?''

Karena tak setuju pada gagasan Kaisar Ming itu, Liu Ta Xia diam-diam melakukan gerakan rahasia untuk menyingkirkan Ceng Ho. Dia berpikir, kalau Ceng Ho yang selama ini sangat dipercaya oleh Zhu Di mati, selesailah gagasan sang kaisar untuk melaksanakan misi muhibah yang aneh itu. Dia memercayakan tugas gelapnya itu kepada Dang Zhua dan Hua Xiong, sebab kedua orang ini adalah abdi-abdi yang bekerja padanya dengan kepatuhan yang melebihi batas absurd.
 

***

Demikianlah Wan San yang dipercaya oleh Dang Zhua dan Hua Xiong, kini, di malam yang merangkak menuju larut, telah berhasil mengumpulkan pendekar-pendekar bayaran, sejumlah dua belas orang, berangkat ke rumah Ceng Ho untuk melaksanakan tugas rahasia itu. Kedua belas orang itu mengendap-endap di dalam gelap.

Mereka membagi diri dalam empat kelompok, muncul ke situ dari arah utara, selatan, barat, timur. Wan San terbang dengan gesit ke atas atap. Dia satu-satunya di antara semuanya yang mengenakan tutup hitam di mukanya. Mereka mengintai. Mata Wan San tak berkedip melihat ke bawah, ke ruang tidur Ceng Ho. Di situ Ceng Ho tidur tak nyenyak, memikir-mikir tentang serangan hampir tiga jam yang lalu. Dia curiga, jangan-jangan salah seorang yang melarikan diri tadi itu akan kembali lagi.

Pikiran ini yang membuatnya tak nyenyak begini. Selalu, ketika pikirannya tak tenang, tidurnya pun menjadi terganggu. Dalam keadaan begitu, dia merasakan sesuatu. Bunyi yang tak bergetar di atas atap rumahnya cukup terekam dalam telinganya. Keruan dia terjaga. Matanya terbuka lebar. Dia pun segera waspada. Dia bangkit dari tempat tidurnya. Berjalan ke depan. Dia terkejut, walaupun ini tidak berarti dia terguncang, sebab ternyata sudah ada empat orang di dalam rumahnya. Keempat orang itu langsung menyerangnya dengan pedang-pedangnya. Mula-mula Ceng Ho menangkis hanya dengan menggunakan tangan kosong. Dan, dia memang sangat piawai melakukan itu, sehingga keempat orang itu merasa tak percaya diri selain mata-mata naluri untuk membunuh belaka. Tetapi kemudian muncul lagi empat orang ke dalam serambi dan menyerang Ceng Ho dengan sangat liar. Akhirnya, menanggapi dengan perbuatan dan perhitungan, Ceng Ho pun mengambil pedang, lalu melayani kedelapan orang itu.

Perkelahian pun berlangsung seru.

Namun sudah suratan kedelapan orang pendekar bayaran itu tumbang, tewas, satu per satu tergeletak sia-sia di lantai. Empat orang yang tersisa yang tergolong lebih cekatan dan lebih sangar menyerang Ceng Ho dan menggiring ke halaman. Agak lama perkelahian di luar ini. Sebab keempat orang terakhir, dengan satu orang yang menutup muka sebagai pemimpin, berkelahi dengan ilmu tinggi. Sungguhpun begitu akhirnya mereka semua kalah oleh Ceng Ho. Satu per satu pula keempat pendekar tangguh itu dikalahkan Ceng Ho. Mereka tumbang di tanah. Kini tinggal satu orang yang menutup muka tersebut. Dengan kelincahan yang hebat Wan San membuat Ceng Ho terpesona pada kemampuannya berkelahi dengan pedang.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Aguswin on 17/08/2008 16:31
[youtube=425,350]http://www.youtube.com/watch?v=k6Ftajuaneo[/youtube]

Infonya sih, film ini ditayangkan sebagai serial TV sebanyak 30 episode di Metro TV (versi Bahasa Indonesia) mulai malam minggu tanggal 9 Agustus 2008 hingga akhir Maret 2009. Versi bahasa Mandarin akan ditayangkan CCTV 4 China, dan versi bahasa Thai akan ditayangkan TV 3 Bangkok.

=====

Copy paste dari http://yusril.ihzamahendra.com/2008/02/06/preview-episode-i-film-laksamana-cheng-ho/

Proses pembuatan film drama kolosal Laksamana Cheng Ho atau Admiral Zheng He, kini telah mendekati tahap akhir. Film yang semula dirancang untuk 26 episode, dalam perjalanannya berkembang menjadi sekitar 30-32 episode, dengan masa tayang selama 50 menit setiap episodenya. Pengambilan gambar sebagian besar telah dilakukan di Thailand dan China. Pengambilan gambar sesi terakhir untuk lebih kurang 20 persen dari seluruh proses pengambilan gambar akan dilakukan pada bulan Februari ini juga di Jakarta dan Jawa Barat. Insya Allah, kalau tak ada aral melintang, film kolosal ini akan ditayangkan pada akhir bulan Maret yang akan datang, di salah satu stasiun televisi nasional kita. Bersamaan dengan itu, DVD film ini dengan pilihan bahasa dan subtitle juga akan memasuki pasar di berbagai negara.

Film drama kolosal Laksamana Cheng Ho ini adalah film cerita yang pertama diproduksi, setelah sebelumnya CCTV 4 China membuat film dokumenter mengenai armada Cheng Ho. Film ini dikerjakan bersama oleh Kantana Ltd, perusahaan film terkemuka Thailand, PT Jupiter Global Film dari Indonesia dan Heng Dian Movie Corporation dari China. Para aktor dan aktris film ini berasal dari Thailand, Indonesia, China, Vietnam, Kamboja dan Malaysia. Skenario film ditulis dalam enam bahasa, untuk kemudian disulihbahasakan ke berbagai bahasa di mana film kolosal ini ditayangkan. Selain ditayangkan di Indonesia, dalam waktu berdekatan, film ini juga akan ditayangkan oleh tevelisi China, Thailand, Malaysia, Singapore, Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Turki. Negara-negara Timur Tengah, kabarnya juga berminat untuk menayangkan kisah laksamana beragama Islam dari Dinasti Ming pada awal abad ke 15 ini.

Armada Cheng Ho dikenal sebagai armada laut terbesar yang pernah ada sebelum kita memasuki era modern. Armada itu terdiri atas 320 kapal, dengan 28.000 prajurit angkatan laut, dan sekitar 5000 awak kapal. Armada itu mengontrol lautan mulai dari Mogadishu di Afrika sampai ke Philipina dan Taiwan di Lautan Pasifik.

Laksamana Cheng Ho, selain berperan besar dalam membangun kejayaan Dinasti Ming, juga berperan besar dalam membangun persahabatan dan kerjasama antarabangsa di kawasan Asia dan Afrika. Armadanya aktif melerai berbagai konflik di berbagai kawasan, mengamankan alur pelayaran internasional dari ancaman bajak laut, dan membangun kerjasama pertanian, perdagangan, kebudayaan serta memberikan bantuan teknis militer dan pertahanan kepada berbagai negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Kerajaan Champa (Vietnam), Suvarnabhumi (Thailand), Melaka (Malaysia) dan Majapahit serta wilayah eks Kerajaan Sriwijaya (Indonesia).

Kepada rekan-rekan yang ingin menyaksikan preview episode pertama film Laksamana Cheng Ho, dapat menggunakan fasilitas upload video dari Youtube. Resolusi yang lebih baik dapat didownload dari link ini. Format Youtube menggunakan default format .flv sedangkan video yang pada link diatas menggunakan format .mov (Quick Time Format) yang dapat dibuka menggunakan VLC yang tersedia baik untuk sistem operasi Windows maupun Linux. Saya mohon maaf jika proses uploadnya akan memakan waktu yang agak panjang, tergantung pada kemampuan komputer masing-masing. Kalau diklik langsung di layar tampilan, mungkin hasilnya kurang memuaskan karena terputus-putus. Tepi semuanya, sekali lagi, tergantung pada kemampuan komputer masing-masing. Kami sedang memperbaiki penampilannya agar tayangannya lebih nyaman untuk dinikmati. Untuk itu sekali lagi, saya mohon maaf.

Akhirnya, saya ucapkan selamat menyaksikan….

Oleh Yusril Ihza Mahendra — February 6th, 2008
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Aguswin on 17/08/2008 16:55
Pas ke Gramedia, gak sengaja liat buku ini. Iseng-iseng aku beli. Aku sama sekali gak hobi baca novel. Tapi karena ada tokoh Cheng Ho yang disebut di covernya, iseng-iseng aku beli. Awalnya sih gak semangat ngebacanya, lama-lama semakin tertarik untuk melanjutkan ke halama -halaman berikutnya, hingga emosi dan perasaan ikut terlarut dalam jalan cerita buku ini. Aneh juga bagi seorang yang nggak gemar baca buku cerita kayak aku gini. :D

(http://www.mizan.com/viewimage.php?id=7182) (http://images.awanalbana.multiply.com/image/29/photos/upload/1200x1200/ROnDjgoKCk8AAG4lUy41/TASARO-Samita.jpg?et=pxf0u%2CczXsrDh0pHfM98vg&nmid=0)

=====

Copy paste dari http://yulian.firdaus.or.id/2005/02/23/tasaro-samita-bintang-berpijar-di-langit-majapahit/

Samita - Bintang Berpijar di Langit Majapahit

Tasaro adalah nama pena Taufik Saptoto Rohadi. Ia menulis cerita setebal hampir 500 halaman dalam setting jelang runtuhnya Mahapahit di bawah pimpinan Wikramawardhana. “Samita — Bintang Berpijar di Langit Majapahit” ia beri judul yang dirilis November tahun lalu oleh penerbit DAR! Mizan, Bandung. Buku ini menggabungkan sisi sejarah awal runtuhnya Majapahit, cerita silat seperti Kho Ping Hoo, deskripsi ajaran Islam yang dibawa Laksamana Cheng Ho serta cerita cinta melalui dialog dan pemikiran.

Membaca cerita Samita ini seperti langsung membuka halaman tengah karya Remy Sylado “Sam Po Kong”. Dimulakan dengan tibanya perjalanan Laksamana Cheng Ho ke Simongan (Semarang) untuk mengobati saudaranya Wang Jing Hong yang terkena cacar air. Juen Sui, Sien Feng dan Hui Sing adalah murid-murid yang sudah dianggap anak oleh Cheng Ho. Armada Kekaisaran Ming dari Cina ini dipimpin Cheng Ho untuk mengadakan misi persahabatan ke seluruh negeri di wilayah Majapahit.

Berikutnya fokus cerita berada pada Hui Sing yang kelak menamakan diri Samita dan menetap sementara di Simongan setelah sebelumnya berkunjung ke pusat pemerintahan Majapahit di Mojokerto. Morat-maritnya pemerintahan Majapahit membuat Hui Sing bersahabat dengan anak Ki Legowo, Ramya, yang bertemu sejak berlabuh untuk mencari tempat penyembuhan Wang Jing Hong yang juga bertepatan dengan datangnya pasukan dari Blambangan yang dipimpin oleh Turonggo Petak yang hendak menumpas mereka yang dianggap lawan dalam melicinkan jalannya ke jabatan maha patih Majapahit, hingga akhirnya Ki Legowo terbunuh.

Armada meneruskan perjalanan ke Surabaya dan Mojokerto sekaligus untuk membicarakan terbunuhnya ratusan prajurit Cheng Ho di Simongan. Rombongan disambut langsung oleh Sad Respati, kepala Bhayangkari Majapahit. Hui Sing pun berkenalan dengan Anindita, yang kelak menjadi istrinya Sad Respati.

Selama di ibukota terjadi kegegeran pembunuhan seorang Rakyan Rangga yang akhirnya Sad Respati naik jabatan. Kejadian tersebut disaksikan langsung oleh Hui Sing yang sempat ikut mengejar pelakunya, hingga akhirnya Hui Sing memutuskan turun kembali ke tanah Jawa di Simongan, tidak ikut armada yang bergerak ke Palembang dan kembali ke Cina.

Berganti nama menjadi Samita, Ramya, Sad Respati dan Anindita menjadi tokoh inti perjalanan cerita berikutnya sebagai jawaban kenapa Hui Sing tinggal di Jawa, apa kisah Ramya berikutnya serta apa keterlibatan Sad Respati dan Anindita dalam konspirasi di dalam tubuh pemerintahan Majapahit.

Islam dan ajaran Hanacaraka menjadi fokus utama Tasaro dalam menggambarkan dua tokoh utama Samita dan Sad Respati, selain menggambarkan perkembangan masuknya Islam di pesisir utara Jawa terutama di Semarang, Tuban dan Gresik, serta cerita silat yang membuat pembaca membayangkan perkelahian dan jurus-jurus sakti ilmu kanuragan.

Cukup menghibur untuk anda yang suka cerita silat dan cerita sejarah Nusantara.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 19/08/2008 12:24
ini komik mau ane terusin apa gak? nanti ane pulang nih....
baru mau nulis/nyadur komik dipotong melulu.... ~X(


ps : daripada jadi pendekar utak atik thread org mendingan nulis komik biar postingannya banyak hehehehehhehe
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Dodol Buluk on 19/08/2008 12:58
 :D :D....@Mas Aguswin...jgn diganggu tuh Mas...orangnya begitu..kalo diganggu ntar lupa posting awalnya apaan ...hehehehehe [lucu]

D'Boels
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Jali Jengki on 19/08/2008 13:15
iye, bener Bang debul...kalo Jeger (Jelema Gering)...kalo lupa minum obat suka kumat, apelagi kalo rante keadaan kagak kekonci...susah dah...
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Dodol Buluk on 19/08/2008 13:35
Demi melestarikan kebudayaan bangsa yg telah dirintis oleh pak sarkem, maka dengan ini ane berikeun Obat GRP untuk Kang Sarkem  [top]

D'Boels
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Jali Jengki on 19/08/2008 13:37
...Idem...cuman kalo ane amal jariah aje buat Kang Sarkem... [lucu]
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 19/08/2008 15:20
tuh ane lupa dech terusinnya.... laksamana cengho ketemu siapa lagi ya?  :-\ cengho ketemu ceng go apa ceng dem...ancurrr dah.. ~X(
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Aguswin on 19/08/2008 16:01
ini komik mau ane terusin apa gak? nanti ane pulang nih....
baru mau nulis/nyadur komik dipotong melulu.... ~X(


ps : daripada jadi pendekar utak atik thread org mendingan nulis komik biar postingannya banyak hehehehehhehe

Meneketehe kalo situ sedang nulis komik, kan situ kagak bilang-bilang kalo lagi bikin komik. :D
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Dodol Buluk on 19/08/2008 16:07
 [lucu] [lucu]

ibarat kate kalo dipesenin beliin garem (baca:garam) eh pas tengah jalan kesandung akar puunan...eh malah dibeliin parem Kocok tuh... :w

D'Boels
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 10:31
--terusin--

Namun harus sekali lagi dikatakan, pendekar hebat pada giliran terakhir ini harus juga mengakui keunggulan Ceng Ho. Dia harus mengaku bukan dengan kata-kata, melainkan menerima kekalahan yang tak sempat terucapkan. Dia tidak bisa berkata apa-apa, sebab di ujung perkelahian itu pedang Ceng Ho telah menebas perut dan dia pun mati konyol di situ. Apabila ingin bicara, dia bicara sebelum mengembuskan nafas terakhir.
Mula-mula Ceng Ho memotong kain hitam yang menutup mukanya dengan ujung pedang yang tajam dan lancip.

Begitu kain tersingkap, Ceng Ho terkejut memandang muka orang itu. Wan San?'' desisnya, hampir tak percaya.

''Apa maksudmu hendak membunuhku?'' Wan San menceracau.
''Terkutuk kamu oleh Dewi Penguasa Langit Barat dan Langit Timur: Xi Wang Mu dan Dong Wang Gong."

''Siapa yang menyuruhmu?'' tanya Ceng Ho.

''Jangan harap rahasia ini kamu ketahui,'' ucap Wan San ketus, menyeringai sehingga gigigiginya tampak seperti gigi hewan pemangsa.

''Rahasia ini akan kubawa bersama kematianku.'' Dan, dia balikkan arah pedang dan menikam perut dalam-dalam. Ceng Ho termangu. Apa boleh buat. Rahasia itu tetap rahasia.


***


Dang Zhua dan Hua Xiong pasti kecele.
Tetapi mereka juga tegang. Setidaknya Liu Ta Xia akan mendamprat mereka sebab Wan San tidak muncul sampai fajar menyingsing di ufuk yang sama dengan kemarin.

Dang Zhua dan Hua Xiong menunggu di depan rumah Liu Ta Xia dengan gugup dari menit ke menit. Begitu matahari menerangi bumi, berangsur-angsur mereka yakin telah terjadi sesuatu di luar rencana. Risiko paling buruk pun sudah terlintas sebagai gambar aneh dalam pikiran mereka.

Ketika ufuk timur mengabu-abu, Liu Ta Xia mondar-mandir di serambi besarnya, lantas menuding Dang Zhua dan Hua Xiong di kursi mereka. Katanya antara cemas dan geram,

''Sebentar lagi matahari keluar di sana. Lantas apa yang mau kalian katakan sekarang? Mana
berita tentang keberhasilan orang kalian?''
''Maaf, Tuan Menteri,'' ujar Dang Zhua. Hanya itu yang sempat terkatakan lewat mulutnya.

Liu Ta Xia kini tampak lebih cemas daripada tadi. Katanya, ''Lima pukul waktu setelah matahari keluar, Kaisar akan memberikan sabda tentang Ceng Ho yang akan memimpin pelayaran muhibah yang memboroskan keuangan negara.''

Dang Zhua memberanikan diri memberikan saran, ''Setidaknya lima jam cukup untuk merancang gagasan baru, Tuan Menteri.'' Liu Ta Xia marah.

Lancang!'' katanya, ''Jangan bermain-main dengan waktu. Hukum alam atas hadir atau tersingkir sangat ditentukan oleh kemampuan manusia memanfaatkan waktu.''
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 10:34
Hua Xiong lebih tegas keberaniannya memberikan pendapat pada sang menteri.
Katanya, ''Tenanglah, Tuan Menteri. Sudah saya katakan Dang Zhua tidak mungkin salah memilih ular.
Ular yang mengemban tugas rahasia ini pasti berhasil. Cepat atau lambat kita akan masuk ke dalam waktu yang membuat kita memikirkan tindakan selanjutnya.''

''Wan San ular yang tidak terlacak,'' kata Dang Zhua. ''Dia pasti memegang rahasia.''

''Kenapa kamu bilang begitu?''
''Sebab, waktu memang sangat perkasa, Tuan Menteri. Siapa tahu sang waktu menghendaki lain.''

Liu Ta Xia berteriak. Dia marah betul. Dia tahu apa yang sedang dipikirkan Dang Zhua. ''Jangan main-main kamu!'' katanya. ''Fajar sudah menyingsing. Apa kamu mau bilang ularmu itu gagal?''

''Kalau ular gagal, setidaknya tikus masih tetap sanggup bermain pada malam gelap?''

''Besok masih ada malam, Tuan Menteri,'' kata Dang Zhua. ''Tikus tidak pernah berhenti bermain dalam gelap. Tikus pun sanggup bermain di comberan sekalipun. Akulah tikus, Tuan Menteri.''

Liu Ta Xia cemberut. Sulit bagi dia menerima berita buruk yang mungkin saja datang sekejap lagi.
 
Sang waktu jua yang akan menjawab.


***

Dang Zhua, Hua Xiong, dan Liu Ta Xia tinggal menunggu waktu itu. Berita yang menggemparkan. Dan, mereka tidak tahu Ceng Ho yang membuat itu. Apa yang diperbuat Ceng Ho? Tadi, ketika malam masih hitam, sehabis mengalahkan dan mematikan semua begundal yang diupah Dang Zhua dan Hua Xiong, Ceng Ho menyeret dan membawa semua mayat mereka ke jalanan menuju ke pasar dan memberdirikan mayat-mayat itu di sana. Seluruh mayat berjumlah 18 sosok. Mereka adalah orang-orang yang mati di jalanan menuju ke rumah Ceng Ho dari perjalanan sehabis salat isya tadi dan yang mati di dalam rumah dan halaman rumahnya. Mayat-mayat itu dia buat seperti orang-orang yang berdiri bersandar di tembok. Setelah melakukan itu, Ceng Ho kembali melanjutkan tidur.


***

Kini, di pagi hari, terjadi kegemparan. Mulut sambung-menyambung dari jalanan ke pasar sampai ke rumah Liu Ta Xia, memberitakan tentang mayat-mayat tersandar di tembok  jalan
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 10:54
menuju ke pasar. Pembantu-pembantu di rumah Liu Ta Xia pun gaduh menggunjingkan mayat-mayat itu.
Pada waktu itu Liu Ta Xia baru saja hendak tertidur karena letih melek sampai fajar. Dua orang dekatnya, Dang Zhua dan Hua Xiong, malah sudah tertidur di kursi depan serambi rumah Liu Ta Xia. Mendengar kegaduhan itu Liu Ta Xia terjaga.

''Ada apa itu?'' tanya dia ke pembantu rumahnya.
''Orang-orang di pasar geger, Tuan Menteri.''
''Kenapa?'' tanya Liu Ta Xia. 
''Ada delapan belas mayat diberdirikan di tembok jalan menuju pasar, Tuan Menteri.''
"Apa katamu?''
"Saya tidak bohong, Tuan Menteri. Saya pun baru dari sana, melihat dengan mata kepala sendiri.''

Liu Ta Xia berteriak marah, ''Sudah, diam!''

Dan dia berputar-putar dalam serambi. Saat melihat Dang Zhua dan Hua Xiong masih tertidur di kursi, dia mengambil seember air, lalu membanjurkan ke muka Dang Zhua dan Hua Xiong.

Keduanya terbangun, kaget, dan akhirnya melompat. Kata Liu Ta Xia dengan geram, ''Kalian semua cuma burung-burung hwa-mei, berkicau tanpa bukti.''


***

Antara percaya dan penasaran, akhirnya Liu Ta Xia berjalan cepat ke jalanan yang menuju ke pasar tersebut. Dang Zhua dan Hua Xiong mengikuti juga. Sebagai orang besar, menteri, keruan dia mendapat hormat dari orang-orang yang berpapasan dengannya. Setelah tiba di
tempat kedelapaan belas mayat yang diberdirikan di tembok itu, wajah Liu Ta Xia berubah dari merah ke putih. Dia menarik baju Dang Zhua, tetapi kemudian melepaskan kembali, menyadari kalau-kalau orang akan memperhatikan tindakannya. Meski mengendurkan tangan, tidak surut panas hatinya terhadap Dang Zhua.
 
''Huh, tikus macam apa kamu ini?'' kata Liu Ta Xia. ''Pandir, tolol, dungu. Jangan pula kamu mengaku ularmu itu cerdik.''

Dang Zhua tak membantah. Dia menundukkan kepala sebagai orang yang kalah, rugi, dan sial. Begitu juga Hua Xiong.

''Sekarang terserah nasib,'' kata Liu Ta Xia, ''kalian hanya tikus-tikus got yang buruk.''

Liu Ta Xia berputar badan. Dengan jengkel, menyesal, dan kemarahan yang kian besar, dia langsung berjalan meninggalkan tempat itu. Dang Zhua dan Hua Xiong mengikuti dari belakang. Baru saja berapa belas meter Liu Ta Xia melangkah, dari arah depan muncul Ceng
Ho. Keduanya sama-sama terkesiap.

''Ceng Ho?'' kata Liu Ta Xia menyapa lebih dulu.
''Selamat pagi, Tuan Menteri,'' kata Ceng Ho ramah.
''Kamu baru datang untuk melihat ini?'' tanya Liu Ta Xia.
''Ya. Maaf, Tuan Menteri,'' jawab Ceng Ho, ''kelihatannya Tuan Menteri datang lebih pagi daripada saya.''

''Coba periksa siapa mereka itu?''
''Baik Tuan Menteri, akan saya lakukan.''Ceng Ho maju.

Liu Ta Xia membalik memandang Ceng Ho. ''Kelihatannya mereka orang-orang Man-Cu.''

''Dari mana Tuan tahu?''
Liu Ta Xia agak kagok. Dia seperti orang buta mencari-cari pegangan. Katanya, ''Saya hanya menduga-duga.''

Liu Ta Xia berlalu. Ceng Ho memandang dari belakang. Dari wajah Ceng Ho terlihat sesuatu yang mengusutkan pikiran. Dia tidak menaruh curiga apa-apa terhadap Liu Ta Xia, walaupun dia tahu betul menteri itu tidak pernah mendukung gagasan Kaisar untuk mengutus misi muhibah ke selatan.


***


Mau tak mau pemajangan mayat-mayat di tembok jalanan menuju ke pasar telah menjadi
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 11:22
gunjingan dan topik percakapan yang tak henti-henti. Pergunjingan itu terjadi pula di sebuah rumah minum yang ramai di kota. 

Dua orang duduk dengan dua cangkir ciu sedang asyik bertutur. 
''Hanya orang yang betul-betul sakti yang mampu membunuh delapan belas orang lantas memasang mayat-mayat itu di tembok seperti patung-patung penjaga kota,'' kata seseorang yang arif. Dia bernama Tan Tay Seng, penyair musafir yang selalu membawa tehyan.*)

''Kira-kira siapa ya?'' kata yang seorang.
''Mungkin Ceng Ho,'' kata Tan Tay Seng.
''Apa urusannya?''
''Siapa tahu orang-orang itu mau menjajal kesaktiannya.''
''Kenapa begitu?''
''Ya, entah,'' jawab Tan Tay Seng, ''tapi, katakanlah itu seperti hukum pasar. Mereka menjual, Ceng Ho membeli. Dan karena yang menjual tidak punya pengetahuan berdagang, mereka langsung gulung tikar.''

''Kenapa kamu mengira yang melakukan itu Ceng Ho?''
''Aku tidak bilang, 'aku yakin.' Tadi aku bilang, 'mungkin ' Ceng Ho.''
''Kalau memang itu mungkin Ceng Ho, lantas apa alasan dia membeli yang dijual?''
''Siapa tahu ada permainan tingkat tinggi di baliknya. Dagang eceran menghasilkan pukulan kecil. Delepan belas orang sekaligus yang mati menunjukkan ini perdagangan dengan modal besar. Aku tidak peduli siapa yang bermain. Buatku keadaan ini menarik. Itu saja.''

Lantas Tan Tay Seng meneguk isi cangkirnya. Gila juga. Pagi baru saja berawal, tapi dia
sudah meneguk ciu. Besok lusa orang akan mengetahui bahwa dia pemuda yang tidak bisa
disepelekan. Dia termasuk cempiang yang tangguh.

***
Tan Tay Seng pun melangkah santai. Dia melihat ke arah istana Ming. Itulah lambang kebesaran Cina pada masa depan. Dia hanya memandang sekilas. Mungkin dia tahu, mungkin juga tidak, sebentar lagi Zhua Di, sang kaisar, akan mengumumkan gagasannya untuk mengirimkan misi muhibah ke selatan. Menteri-menteri akan hadir di sana. Semuanya. Di mana Liu Ta Xia menjelang jam-jam pengumuman yang akan dilakukan Zhua Di? Liu Ta Xia berada di suatu tempat tersembunyi. Di sana ada salah seorang istri raja. Kedengarannya Liu Ta Xia sedang merayu, atau mungkin juga memengaruhi pikiran sang permaisuri. ''Begini, Tuan Putri,'' kata Liu Ta Xia. ''Aku hanya khawatir. Keputusan Kaisar yang diumumkan nanti adalah gagasan yang tidak masuk akal. Selain merupakan pemborosan, keuntungannya sama sekali tidak terbayang. Di samping itu, alasan misi muhibah terlalu mengada-ada. Kalau betul itu misi muhibah, kenapa di dalam pelayaran itu dianggarkan 27.800
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 13:16
tentara? Baik tentara yang sudah ada maupun tentara-tentara milisi. Siapa yang percaya itu?'' ''Apa boleh buat, Menteri Liu,'' kata sang permaisuri.

***

Ya, sudah. Apa boleh buat? Liu Ta Xia terpaksa pergi dengan berat kaki ke tempat sang kaisar akan mengumumkan gagasan itu. Dia duduk di sebelah kanan, berhadapan dengan Ceng Ho yang berada di sebelah kiri. Setelah semua berada di balairung barulah Zhua Di datang. Dia kemudian duduk di kursi kebesaran.

"Perhatikanlah sekeliling ini, Ceng Ho," kata sang kaisar, Zhua Di.
"Aku juga meminta semua yang hadir di sini memperhatikan Ceng Ho. Hari ini aku akan bersabda kepada semua yang hadir, suka atau tidak suka mendengarkan keputusanku mengangkat Ceng Ho selaku Sam Po Kong untuk memimpin pelayaran muhibah ke selatan.  "

Muhibah ini sangat penting bagi Negeri Cina. Sebab dengan tindakan ini orang di seluruh dunia akan memandang Tiong Kok sebagai pusat negeri dan mengenang Dinasti Ming sebagai lambang peradaban paling tinggi dan kebudayaan paling dibya. Citra Tiong Kok dan Dinasti Ming akan sangat ditentukan oleh kemampuan Ceng Ho memimpin pelayaran muhibah. Saya minta semua memberi hormat kepada Sam Po Kong." Semua memberi hormat kepada Ceng Ho.

"Sekarang kita ingin mendengar apa kata Ceng Ho," kata Zhu Di seraya mengangkat tangan kanan, menyuruh Ceng Ho bicara. Ceng Ho memberi hormat khusus kepada Zhua Di.

Dia berkata dengan sangat takzim, "Hamba patuh, Paduka Kaisar. Hamba sudah mengabdi dengan patuh dan setia kepada Dinasti Ming sejak hamba muda belia, sejak pemerintahan ayahanda Paduka, Zhua Yuan Zhang, hingga pemerintahan Paduka. Hamba, putra Ma Ha Zhi, orang Yun Nan, yang ketika itu bernama Ma He, sudah menjadi sida-sida bagi Ming. Hamba pun sudah berperang demi Paduka untuk mengalahkan bala tentara Zhu Yun Wen di Nan Jing. Maka, daulat Paduka Zhua Di yang bijak bestari, sekarang pun hamba tetap patuh dan setia kepada segala keputusan Paduka."

 "Aku senang mendengar itu, Ceng Ho," kata Zhu Di. "Semua yang hadir di sini sekarang perlu tahu, ada banyak tugas harus dikerjakan Sam Po Kong. Aku akan memerincinya sekarang." Jeda sejenak. Zhu Di melihat semua yang berada di balairung. "Begini... walaupun yang akan aku sebut pertama dan kedua berikut bukan prioritas utama, keduanya harus diingat Ceng Ho sebagai tanggung jawab yang penting." "Hamba siap mendengar dan melaksanakan, Paduka Kaisar," kata Ceng Ho merukuk di hadapan Zhu Di. "Pertama, mencari dan menangkap raja terguling Zhu Yun Wen yang mungkin melarikan diri ke Campa atau mungkin juga ke Siam. Kedua, menangkap juga bajak laut Cina, Cheng Chi Yi, yang sekarang mengangkat diri menjadi raja di Palembang."

"Daulat Paduka, insya Allah demi pertolongan-Nya, hamba berjanji di hadapan Paduka Kaisar yang bijak bestari untuk melaksanakan amanat ini demi kejayaan Ming dan kebesaran Tiong Kok," kata Ceng Ho. "Setelah itu hamba sekarang siap mendengarkan prioritas utama apa yang harus hamba laksanakan." “Baik," kata Zhua Di. "Prioritas utama Sam Po Kong dalam pelayaran ke selatan sebagai misi muhibah adalah menjalin hubungan persaudaraan dengan negeri-negeri berpenduduk muslim, terutama dengan orang-orang Cina yang menjadi mubalig di tanah Jawa. Harus ditekankan, mereka semua adalah saudara-saudara kita.

Setelah itu jangan lupa menjalin hubungan karib dengan masyarakatnya, membuka jaringan perdagangan di bawah pedoman saling menguntungkan dalam persaudaraan yang tulus. Karena itu jika ada anggota kita dalam ekspedisi yang menyimpang dan tidak berjalan di atas alur kebijakan ini, sebagai pemimpin kau punya hak bertindak, menindak, bahkan menghukum."

 "Daulat Paduka, insya Allah hamba laksanakan perintah Paduka Kaisar," kata Ceng Ho.

"Negara menganggarkan dana untuk ekspedisi ini tujuh kali pulang-pergi pelayaran, 208 unit kapal serta 28.000 awak. Kau pun punya hak menyeleksi orang-orang yang akan berlayar. Jangan bawa orang yang tidak sepaham dengan gagasan ini," kata Zhua Di. Di tempatnya Liu Ta Xia melengos dengan mulut melengkung ke bawah. Itu dia buat sebagai ganti menggeleng yang hampir dilakukannya. Dan, kendati melengos, tidak menarik perhatian seperti seandainya dia menggeleng, Zhu Di dapat menangkap isyarat tertentu yang tumbuh di bawah hati kecil Liu Ta Xia.  Karena itu berkatalah Zhua Di dengan memandang tajam ke arah Liu Ta Xia.

"Kelihatannya Menteri Ekonomi dan Keuangan Liu Ta Xia hendak berkata sesuatu. Apakah dugaanku tidak salah, Liu Ta Xia?" Liu Ta Xia berperangah. Kekagetannya membuat kagok. Selintas dia tampak seperti orang yang baru tergelincir. Kata-katanya terpatah, tapi dia cepat menguasai diri. "Tidak Paduka." Zhua Di sekadar memberi telinga. Pertanyaan berikut bukan menguji, melainkan barangkali memancing. Katanya, "Apa maksud Anda, 'Tidak'? Apakah itu berarti: aku tidak salah menduga? Atau, apakah itu berarti: Anda tidak hendak berkata apa-apa?" Liu Ta Xia menjadi culun bukan atas kemauannya, melainkan penemuan diri yang tak lepas dari sekadar mengenal naluri bersejarah dari kodratnya sebagai orang bawahan Kaisar.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 13:31
Katanya dengan kesungguhan tidak terencana, "Apa pun Paduka Kaisar. Aku memang tidak hendak berkata apa-apa."

 "Baguslah," kata Zhua Di.

Kejadian itu semula tidak diwasangkai Ceng Ho. Sekeluar dari balairung dan ketika berjalan di sudut istana bersama Wang Jing Hong, Ceng Ho bahkan tidak menyadari sesuatu yang mencurigakan. Wang Jing Hong yang membangkitkan kewaspadaannya.

"Apakah Anda menangkap kesan tertentu dalam sikap Menteri Liu Ta Xia tadi?'' tanya Wang Jing Hong.

"Katakan,'' kata Ceng Ho. "Apa yang kaulihat?'' "Aku kira Kaisar cukup jeli melihat sehingga bertanya begitu kepada Liu Ta Xia.'' Ceng Ho meyakinkan dirinya sesuatu yang sebetulnya tidak beralasan untuk bersikap begitu. Katanya datar, "Memang bagitu gaya Kaisar.''

 "Tidak,'' kata Wang Jing Hong menyangah Ceng Ho. "Percayalah,'' kata Ceng Ho mencoba meyakinkan dengan sedapat mungkin agar Wang Jing Hong percaya.

"Aku sudah ikut dia sejak umur 12 tahun, sejak aku dikasimkan. Maka aku tahu betul gayanya.'' "Ya, mungkin juga aku keliru,'' kata Wang Jing Hong tak kekurangan rasa percaya diri. "Tapi menurutku, sikap Liu Ta Xia yang menggeleng kepala dan melengos, menyembunyikan air muka di bawah Kaisar, adalah bukti telah berlangsung perasaan yang menunjukkan ketidaksukaannya.''

Ceng Ho menalar sejenak. "Itu jamak,'' kata dia, mengantar pikiran yang tetap hendak mengatakan dirinya lebih mengenal perangai sang kaisar, dan bahwa sebagai menteri yang mengurus ekonomi dan keuangan, Liu Ta Xia wajar menjadi bengitu.

Katanya, "Kalau sampai Liu Ta Xia menjerit pun, itu wajar. Dia menteri ekonomi dan keuangan. Dia kewalahan menghitung-hitung anggaran menyangkut gagasan besar sang kaisar.

"Menurutku bukan hanya itu,'' kata Wang Jing Hong bersikeras. "Kelihatannya ada yang Liu Ta Xia sembunyikan. Ketika dia berkata tidak hendak berkata apa-apa, di dalam sebetulnya tersembunyi dengan rapi apa-apa yang tidak terucapkan oleh mulut.''

 "Ah, jangan berprasangka buruk,'' kata Ceng Ho dengan nada yang mengarahkan Wang Jing Hong agar bersikap madya. "Kau tahu prasangka buruk dengan gampang membuat kebebasan berpikir kita mundur 100 tahun.'' Ceng Ho menghentikan langkah. Dia tengadah ke langit. Matahari merangkak ke sore hari.
***
Menjelang malam, ketika sore tinggal kerangka, Liu Ta Xia duduk dengan perasaan kalah.
Dua orang terpercayanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, berada di kitaran.
Jengkel sekali hati Liu Ta Xia ketika dengan suara dengki berkata kepada kedua orangnya itu,
"Kayaknya Kaisar sudah disihir oleh tay-jin *) dari Yun-Nan itu. Sekarang aku tidak punya
cara lain yang dapat menyingkirkan Ceng Ho.''
Dang Zhua menunduk. Kesopanannya berlebihan. "Bolehkah aku bertanya, Tuan Menteri?''
"Apa pertanyaanmu?'' tanya Liu Ta Xia.
"Yang betul mana: apakah Tuan Menteri tidak suka pada gagasan Kaisar untuk membentuk
ekspedisi mahal itu ataukah Tuan Menteri tidak suka secara khusus pada Ceng Ho?''
Kedua-duanya,'' jawab Liu Ta Xia. "kalian tidak perlu tanya alasannya. Tapi kalau kalian
ingin tahu hal sebenarnya, jawabnya karena pertama, dia tay-jin dan kedua dia bukan Xu Xian
Jiao. Sementara itu, karena ternyata dia memang sakti, aku harus berpikir menemukan siasat
baru. Dan aku akan memberikan kesempatan sekali lagi kepada tikus got macam kalian
beraksi.''
"Kami siap melakukan apa saja pada Ceng Ho demi Tuan Menteri,'' kata Dang Zhua.
"Yang penting aku baru saja memutuskan untuk memulai peperangan hari ini juga. Tugas
kalian adalah membuat gunjingan-gunjingan jelek tentang Ceng Ho, terutama tentang
pelayaran muhibah itu. Boleh jadi aku pun akan mengupayakan kalian masuk sebagai peserta
istimewa dalam pelayaran itu.''
Hua Xiong menundukkan kepala, menyatakan antara hormat dan suka ceria. Katanya seperti

diucapkan Dang Zhua, "Kami siap melakukan apa saja demi Tuan Menteri.'' "Begini,'' kata Liu Ta Xia, berpikir sejenak, dan dengan begitu terjadi jeda, lalu menemukan gagasan lancung yang membuatnya atoh bagai rajawali di angkasa menempuh puting beliung. "Dalam gunjingan itu, yang kalian lakukan di sembarang kesempatan, katakan ekspedisi yang menyertakan 27.800 orang, yang dibulatkan menjadi 28.000 orang, itu semata-mata untuk mencari 'cap kerajaan' yang dicuri seekor gajah putih. Siapa pun yang mendengarkan gunjingan kalian harus dibikin percaya bahwa ekspedisi itu konyol. Besok, pada masa datang, orang akan bingung meneliti sejarah bahwa kebesaran Ming dilingkupi oleh gagasan konyol gajah putih yang bisa mencuri cap kerajaan.'' Dang Zhua dan Hua Xiong tersenyum. Kepatuhan sering membuat orang tampil dungu. Secara bersamaan kedua orang dekat Liu Ta Xia itu berkata, "Kami siap melakukan semuanya demi Tuan Menteri.''
***
Maka sesuai dengan harapan Liu Ta Xia, mulailah Dang Zhua dan Hua Xiong kasak-kusuk di pelbagai tempat di mana orang mudah termakan dusta. Pada malam hari keduanya pergi ke rumah minum Lin. Tulisannya: Artinya: tetangga. Terlihat dari jauh. Lin bukan sekadar rumah minum biasa. Di bagian depan memang tertata meja-kursi untuk orang yang ingin minum. Tetapi di bagian belakang ada beberapa kamar dengan perempuanperempuan sundal berdandan menor siap ditumpaki. Jadi, Lin menyediakan minuman dan pelacur. Katakanlah Lin adalah rumah bordil. Sebagai rumah bordil, Lin termasuk berkelas. Ke situlah Dang Zhua dan Hua Xiong pergi. Mereka duduk di bagian tengah. Ada orang lain lagi di sekitar mereka. Sambil duduk di kursi Dan Zhua dan Hua Xiong berpenampilan seakan-akan murung. Pengelola Lin yang telah kenal benar pada Dang Zhua dan Hua Xiong menghampiri dan bertanya, "Tumben kalian kelihatan murung. Ada apa?" "Aku pusing memikirkan negara," kata Dang Zhua. "Masa pelayaran Ceng Ho ke selatan semata-mata untuk mencari cap kerajaan yang dicuri seekor
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 15:54
gajah putih." Semua yang berada di bagian depan rumah bordil Lin serta merta mengarahkan mata mereka ke Dang Zhua. Ada yang tersenyum.
Ada pula yang merengut. "Maka daripada pusing minumlah sampai mabuk," kata pengelola Lin.  Lalu dia menundukkan kepala sedikit ke arah muka Dang Zhua dan berkata dengan suara dikecilkan.

"Aku punya barang baru dari utara. Ada lima orang. Tinggal pilih. Umurnya sama-sama baru 15 tahunan. Mereka benar-benar akan menghibur orang yang pusing." "O, Dang Zhua malah ingin dihibur sundal yang berumur 90 tahun," kata Hua Xiong. "Apa kamu punya stok yang 90 tahun?" Pengelola Lin tertawa kecut.  "Gila," katanya. "Tidak," kata Hua Xiong.

 "Ini serius. Dang Zhua pusing. Dia ingin mati juga melalui neneknenek 90 tahunan." Pengelola Lin membuka sedikit bagian atas pakaiannya sehingga payudaranya mengintip.

Katanya, "Kenapa harus mati kalau bisa menikmati hiburan dari tubuh perempuan. Hiburan akan membikin orang bersemangat hidup."

"O, Encik belum tahu ceritanya ya?" kata Dang Zhua. Pengelola Lin menggelengkan kepala. "Belum. Ada apa?"

"Begini ceritanya, Cik," kata Dang Zhua. "Kakak Hua Xiong berumur 28 tahun. Tiga bulan lalu dia kawin dengan perempuan tua berumur 90 tahun yang kaya raya. Dia berharap setelah kawin sebulan dengan nenek 90 tahun itu, sang nenek mati dan kekayaannya otomatis menjadi miliknya. Ternyata, setelah sebulan kawin, kakak Hua Xiong yang baru 28 tahun itu yang kedapatan mati. Tahu kenapa, Cik?"
"Tidak," jawab yang ditanya.
"Menurut hasil pemeriksaan sin-seh, orang muda 28 tahun itu mati lantaran keracunan
mengonsumsi susu yang kedaluwarsa," kata Dang Zhua.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 16:02
"Apa?"
"Ya, Cik," kata Dang Zhua. "Begitulah nasib. Pasti orang muda itu keranjingan banget
mengisap-ngisap susu nenek-nenek."
"Gila."
"Memang gila. Tetapi kalau Encik punya stok 90 tahun, sekali lagi, aku ingin jajal."

"Ah, sudahlah," kata Hua Xiong. "Sekarang antar saya ke barang baru yang katamu 15 tahunan."

Hua Xiong berdiri dari kursi. Pengelola Lin berjalan di depan, masuk ke dalam.

***

Ketika Hua Xiong masuk ke dalam, Dang Zhua menghabiskan dulu arak yang dapat
memabukkan. Dia memegang cawan sambil tertawa-tawa liar di situ. Setelah itu dia masuk pula ke dalam, ke kamar paling belakang. 

Dia langsung meloncat dengan gaya orang-ombak, menjatuhkan diri ke ranjang, tengkurap disitu. Perempuan sundal yang berada di ranjang itu terkejut dan sedikit terguncang. Maklum, gadis itu anak orang miskin yang dijual untuk menjadi pelacur: suatu hal yang lazim terjadi sejak zaman Han

Begitu menjatuhkan diri ke atas ranjang, Dang Zhua tidak hanya tengkurap atau terlentang.
Tapi dia segera melakukan kerajinan tangan: menggerayangi perempuan muda itu. 

Oleh nasib yang tidak menguntungkan belaka, bukan atas maunya, perempuan itu terpaksa menerima ini sebagai suatu kodrat yang semoga tidaklah kekal. Katakanlah, perempuan muda yang masih belasan tahun usianya itu menanggapi dengan dingin. Hal itu membangkitkan  celoteh seenaknya di mulut Dang Zhua.

"Hei, kenapa kamu seperti mayat?" kata Dang Zhua. "Dingin kembaran es. Tidak ada gairah, tidak ada kehidupan."

"Maaf, Tuan," kata perempuan itu ragu.
"Kenapa?" tanya Dang Zhua. "Kamu masih baru?"
"Ya, Tuan."
"Baru apa? Baru cebok?"
Perempuan itu diam. Tiada kata dari mulutnya.

Dang Zhua merangkul dengan cara sumerowak, menjatuhkan diri ke atas ranjang dan menindihnya.

Perempuan itu memucat. Tak lama kemudian dia menangis tanpa suara. Hanya luh cair keluar dari kelopak matanya. Tampaknya dia terpukul.

Keadaan itu malah membuat Dang Zhua keranjingan. Katanya seraya mengguncang-guncang tubuh perempuan itu, "Hei, jangan menangis. Kenapa kamu menangis? Apa kamu tidak tahu siapa saya? Saya ini johan, jagoan, cempiang yang akan ikut dalam misi muhibah Ceng Ho ke selatan untuk memburu cap kerajaan yang dicuri dan dibawa lari seekor gajah putih. Lihat mukaku ini. Namaku Dang Zhua."

Perempuan itu bengong. Bukan tenang, dia malah merinding seperti kedinginan.
Karena itu Dang Zhua jengkel, ''Alah, menangis melulu kamu.''
Perempuan itu tengkurap. Tubuhnya sengal-sengul menahan isak.

''Huh, menjengkelkan. Seperti anak anjing,'' kata Dang Zhua sambil bangkit dan pergimeninggalkan kamar.

Sang pengelola Lin seperti heran melihat Dang Zhua. Katanya dengan senyum nakal, ''Kok cepat sekali?''

Dang Zhua geram. Dia menyemprot dengan kata bernada ketus. ''Huh, barang barumu itu patung bernafas.''

''Kenapa?'' tanya pengelola Lin.

''Menjengkelkan,'' sahut Dang Zhua singkat. Dia duduk kembali di kursi yang tadi di bagian depan rumah bordil merangkap rumah minum ini.

''Menjengkelkan kenapa?'' tanya pengelola Lin dengan niat yang biasa dilakukan orang seprofesi dengannya, yang harus membuat tamu tidak kapok. ''Apa perlu gadis lain?''

''Tidak,'' sahut Dang Zhua. ''Barang barumu yang itu keburu membuat seleraku buyar.''

''Kalau begitu, ganti dengan yang lain. Sebentar lagi yang di kamar tiga selesai. Nama julukannya T'o. *) Pasti dia akan membuat malam makin panjang.''

''Persetan,'' kata Dang Zhua. ''Sudah, jangan berdiri di situ seperti patung. Tuangkan lagi arak buatku.''

''Baik. Baik,'' kata sang pengelola Lin.

Dia berputar hendak ke samping, ke tempat tataan minuman, dan bersamaan dengan itu cempiang yang sudah banyak teruji keunggulannya, yaitu orang Hok Kian yang musafir,
penyair dan pegesek teh-yan, Tan Tay Seng, masuk pula ke sini. Dia langsung duduk di pojok. Beberapa pasang mata langsung melihatnya.
Pengelola Lin mendatanginya. Dia memberi senyum yang klise dan bertanya dengan menggerak-gerakkan tangan, ''Anda orang baru di sini?''

Tan Tay Seng hanya memandang muka pengelola Lin tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Namun dia memberi senyum yang diterjemahkan sebagai kata pembenaran.

''Mau coba anggurku?'' tanya pengelola Lin. 

''Yang paling memabukkan,'' jawab Tan Tay Seng.

''Tentu,'' jawab pengelola Lin. ''Aku bisa melakukannya, mencampuri sari anggur paling anggur yang lebih memabukkan daripada anggur Ti Hsi **) sekalipun.''

''Bagus,'' kata Tan Tay Seng.

''Dan, kalau Anda perlu mengendurkan saraf, kami punya stok gadis-gadis belasan tahun dari utara. Masih baru.''

Tan Tay Seng tertawa terbahak-bahak sehingga semua mata melihatnya, termasuk Dang Zhua.
 
''Baiklah,'' kata Tan Tay Seng. ''Aku membutuhkan perempuan dan anggur yang sanggup melahirkan ilham dari air mata dan mabuk, diantarkan ke gapura rindu dan dendam pada ketagihan atas nama cinta yang berpadu dusta.''

''O ya, pasti, pasti,'' kata pengelola Lin. ''Keduanya bakal Anda peroleh di sini. Kalaupun ada dusta di sini, kami menjualnya dengan kesungguhan. Yang penting Anda senang, kami pun
senang.''

Sedikit-sedikit Dang Zhua melirik ke arah Tan Tay Seng. Yang dilirik pun menyadari itu.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 16:05
Di mejanya Dang Zhua telah menghabiskan beberapa cawan arak sehingga badannya bagai orang-ombak. Manakala Hua Xiong keluar dari kamar, dilihatnya Dang Zhua telah tak sadarkan diri di meja depannya. Di situ Dang Zhua tertidur dengan kepala basah.

Hua Xiong menggugahnya

''Dang Zhua, bangun.''

Dang Zhua seperti melindur, ''Kenapa?''

''Ayo kita pulang,'' kata Hua Xiong.

Kepala Dang Zhua terasa berat. ''Apa kamu sudah selesai?''

''Sudah. Ayolah.'' Hua Xiong membantu memberdirikan.

''Bagaimana rasanya?'' Dang Zhua bertahan di kursinya.

''Rasanya sama seperti semua perempuan. Cuma ini bedanya, dia masih perawan.''

Mata Dang Zhua nanar. Seakan ada pengalaman baru yang menyengat kesadarannya. ''Apa kamu bilang?''

''Ya, aku bilang, yang baru aku pakai itu masih perawan,'' kata Hua Xiong.
''Apa? Apa telingaku tidak salah mendengar?''

''Ya, telingamu tidak salah mendengar,'' kata Hua Xiong. ''Gadis itu dijual bapaknya ke Lin sebab bapaknya dililit utang.''
''Ha-ha-ha. Berarti kamu baru saja menjadi guru?''

''Apa maksudmu?''
''Ya. Kamu terpaksa mengajar anak ingusan untuk memasukkan belut ke dalam gua persembunyiannya.''

''Ayo, sudahlah. Kita pulang,'' kata Hua Xiong menarik dan membopong keluar.

Malam sudah sangat larut. Sebentar lagi subuh.


***

Pada waktu subuh Ceng Ho berjalan bergegas-gegas menuju ke suatu tempat. Sambil berjalan cepat, sayup-sayup terdengar dari arah barat, ke tempat tujuannya itu, sipongang suara muazin mengimbaukan salat, ''Ashshalatu khairu minannaum...'' Ceng masuk ke dalam masjid itu, bersembahyang di situ. Kali ini tidak ada lagi mata yang mengintai.

***

Meskipun yang mengintai tidak ada lagi seperti kemarin, bukan berarti orang yang menginginkan dia celaka sudah berhenti melakukan kejahatan. Siang nanti, ketika orang mulai bekerja merampungkan kapal-kapal, khususnya kapal besar yang akan digunakan Ceng Ho, terlihat bagaimana Dang Zhua dan Hua Xiong datang ke rumah Liu Ta Xia dan langsung duduk di situ. Tak lama kemudian tampak pula Liu Ta Xia dengan segala kelebihan dan kekurangan dikatakan kelebihan karena dia cerdik dan sewaktu-waktu, seperti sekarang, menjadi licik; dan dikatakan kekurangan karena dia

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 16:12
kadung menaruh rasa percaya kepada dua orang yang sebetulnya bodoh - datang dan duduk di hadapan Dang Zhua dan Hua Xiong.

"Seperti kataku kemarin, aku akan berupaya memasukkan kalian ke dalam rombongan misi muhibah Ceng Ho," kata Liu Ta Xia dengan sangat bangga.

"Tapi, kupikir, siasat ini tidak sederhana bagi orang seperti tikus got macam kalian." Dang Zhua dan Hua Xiong saling pandang dengan wajah lugu dan cenderung dungu.

"Tapi, kalau kalian berada dalam ekspedisi Ceng Ho itu, kalian harus memiliki keahlian khusus. Sekarang aku ingin bertanya pada kalian berdua: apa interes kalian selain menjadi maling?"

 "Ah, Tuan Menteri bercanda," kata Dang Zhua. "Sudah pasti interes semua lelaki di dunia adalah perempuan. Rekreasi yang paling menyenangkan: payudara besar, pinggul besar, tapi pinggang kecil, gua kecil, singset."

 "Tadi malam aku mendapatkan itu, Tuan Menteri," kata Hua Xiong.

"Otak kalian memang dari dulu cuma sebatas puser ke bawah," kata Liu Ta Xia. "Kalau kalian tidak punya keahlian khas, kalian tidak mungkin bisa berkomunikasi dengan Ceng Ho, dan itu berarti mubazir mengupayakan kalian masuk dalam ekspedisi pimpinan Ceng Ho."

"Tidak, Tuan Menteri, percayalah kami bisa diandalkan," kata Dang Zhua.

"Mana mungkin?" kata Liu Ta Xia. "Apa kalian tidak tahu, Ceng Ho itu tay-jin?" "Apa masalahnya, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong.

"Kalian doyan perempuan. Mana mungkin kalian berkomunikasi secara akrab dengan tay jin?" "Apa ruginya kalau terjadi jarak dengan Ceng Ho?" tanya Hua Xiong.

"Tolol," kata Liu Ta Xia. "Bagaimana kalian mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan kalau kalian tidak dekat. Jangan lupa ilmu Sun Tzu?" Dang Zhua yang bertanya sekarang, "Jadi apa yang harus kami lakukan?" Liu Ta

Xia tak segera menjawab. "Aku sedang berpikir." "Begini, Tuan Menteri Liu," kata Hua Xiong hendak bermegah-megah mengilas balik masa kanaknya. "Sewaktu anak-anak aku sudah terampil menghafal seluruh isi kitab suci Ko Ong Kuan Si Im Keng. Apakah ini boleh dianggap sebagai keahlian khusus?"

Liu Ta Xia berpikir, "Tunggu," kata dia. "Biarkan aku berpikir dulu."

Sambil membiarkan Liu Ta Xia berpikir, mengerutkan kening, membayang-bayang sesuatu yang menguntungkan, berkata Hua Xiong dengan lebih memegahkan diri,

"Aku malah masih menghafal dengan lancar sampai sekarang, bukan saja kitab Buddha, melainkan juga Tao dan Kong Hu Cu." Liu Ta Xia memandang tajam ke muka Hua Xiong. Dengan pandangan yang tidak berkedip, maka dalamnya ada perasaan ragu yang kemudian menjadi tidak percaya pada pernyataan Hua Xiong itu. Karena itu, berkata Liu Ta Xia dengan nada menekan,

"Betul begitu?" Hua Xiong plegak-pleguk. Ini meyakinkan bahwa dia hanya berbual.

Katanya, "Setidaknya itu cita-citaku, Tuan Menteri." "Cocotmu!" kata Liu Ta Xia. "Tapi, saya tidak dusta, Menteri Liu," kata Dang Zhua. "Kalau soal hafal-menghafal saya sangat teruji. Sebagai penganut Zu Xian Jiao, bukan hanya kitab Ko Ong Kuan Si Im Keng yang aku hafal, melainkan juga Dao De Jiang." "O, ya," kata Liu Ta Xia dengan ceria. "Kalau begitu aku sudah menemukan jawaban dalam pikiranku. Tepat sekali, ya, aku akan masukkan kalian berdua dalam ekspedisi itu, menyamar di sana sebagai penasihat spiritual Buddha dan Tao." Dang Zhua dan Hua Xiong saling berpandang, bertanya sesuatu yang tidak terucapkan.

Melihat itu Liu Ta Xia bertanya. "Kenapa? Kalian tidak sanggup?" "Bukan, Tuan Menteri," kata Dang Zhua dan Hua Xiong bersamaan. "Bukankah Ceng Ho itu muslim, Tuan Menteri?" lanjut Dang Zhua.

"Jangan potong omonganku," kata Liu Ta Xia. "Dengar baik-baik, supaya kalian tidak bertanya-tanya terus. Ceng Ho memang muslim, dan sebagai muslim dia masih berhubungan darah dengan Suo Fei Er, atau nama Arabnya: Sayidinia Syafii. Suo Fei Er itu menyerahkan diri kepada Kaisar Song pada 400 tahun yang lalu.

Tapi kalian tidak usah pusing. Di dalam ekspedisi itu, orang Islamnya hanya dihitung dengan jari. Jumlah terbesarnya tetap adalah yang memuja Jing Tian Zun Zu. Karenanya, kalian bukan orang asing di kapal itu. Kalian harus cerdik melebihi ular, tapi kalian tetap harus mampu menjaga penampilan melebihi ketulusan merpati. Kalian mengerti?" Kedua-duanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, menjawab serempak dan yakin, "Mengerti." "Dan, yang paling utama, jaga rahasia ini," kata Liu Ta Xia sangat serius. "Segala macam musibah dan hal-hal buruk dalam pelayaran itu nanti harus kalian yang merekayasa. Kalian harus bisa membuat catatan-catatan jelek dari ekspedisi yang pertama ini agar tidak ada lagi lanjutan ekspedisi kedua sampai ketujuh. Kalian mengerti?" Kedua-duanya, Dang Zhua dan Hua Xiong, secara bersamaan sekali lagi mengucapkan kata yang tadi sudah mereka ucapkan, ''Mengerti.'' ''Bagus,'' kata Liu Ta Xia.

''Ini yang aku sebut sebagai suatu permainan takdir.Bertarung boleh kalah, tapi bergumul harus selalu menang. Kalian mengerti?''
Sekali lagi, kedua orang kepercayaan Liu Ta Xia, Dang Zhua dan Hua Xiong, menjawab,
''Mengerti.''
Liu Ta Xia puas. Dia senang membayangkan keberhasilan. Sikap tak setujunya pada gagasan
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 16:23
pelayaran yang dipimpin Ceng Ho berubah menjadi sikap tak suka kepada Ceng Ho.


***

Hebatnya Liu Ta Xia, di belakang Ceng Ho bisa mengekspresi sikap tak suka menjadi dengki yang beralasan. Tapi di depan Ceng Ho, apalagi ketika Ceng Ho berada bersama-sama dengan Zhu Di, dia dapat berlaku santun, bahkan menghargai dengan sikap yang hampir dapat dibilang tidak masuk akal. Suatu siang Zhu Di mengajak menteri-menteri, termasuk tentu saja Liu Ta Xia, melihat-lihat pengerjaan kapal paling besar yang akan digunakan Ceng Ho.

 Dalam melihat-lihat kapal itu Ceng Ho memperkenalkan juga nakhoda yang dipilih sebagai penanggung jawab navigasi, Wang Jing Hong. Di suatu ruang tengah dalam perut kapal mereka berhenti, sebab Zhu Di tertarik melihat sesuatu yang tampak tak lazim sebagaimana bentuk fisik kapal umumnya. ''Kenapa di bagian ini tidak dibuat lepas saja supaya luas dan jembar?'' tanya Zhu Di. ''Memang di bagian ini dirancang sebagai susunan ruang-ruang, Paduka,'' jawab Ceng Ho. ''Ini untuk membuat kerangkanya menjadi lebih kuat, lebih kukuh, lebih pegas.'' ''Seberapa kuat?'' tanya Zhu Di.

''Kalau sampai terbentur karang, setelah diempas badai misalnya, dan taruhlah sebagian badannya ada yang rusak atau bahkan hancur, dengan bentuk kerangka seperti ini kapal tidak mungkin tenggelam.'' Zhu Di berdecak. ''Apa yang membuatmu yakin?'' Liu Ta Xia juga menunjukkan sikap mengagumi. ''Pasti sudah diuji coba,'' katanya. ''Ini memang bukan soal keyakinan, Paduka Kaisar,''
kata Ceng Ho.

''Ini berdasarkan percobaan-percobaan dan pengalaman. Paduka Kaisar tahu, ayah hamba, Ma Ha Zhi, sudah berkali-kali berlayar ke barat lewat selatan sampai ke jazirah Arab.'' Liu Ta Xia mencoba mengusik. Tadi dia menunjukkan sikap mengagumi, sekarang dia menguji.

''Dulu, apakah ayah Anda juga memulai pelayaran dari utara sini?''

''Memang tidak,'' kata Ceng Ho. ''Beliau berlayar melalui Yun Nan.'' ''Anda tahu, mengapa aku bertanya begitu?'' tanya Liu Ta Xia. ''Sebab, aku hanya ingin mengingatkan, medan di Laut Cina Selatan dari utara sini, dari Nan Jing, konon tidak sama.''

 ''Anda memang betul, Tuan Menteri,'' kata Ceng Ho. ''Tapi insya Allah, berkat restu Kaisar, kami akan sanggup mengatasi segala aral melintang.'' Dan Ceng Ho menepuk bahu Wang Jing Hong. ''Wang Jing Hong adalah mitra kami yang paling bisa dipercaya. Bukankah dari ajaran ayahanda Paduka Kaisar kami belajar bahwa dalam semua pekerjaan harus ada mitra yang sehati. Mitra yang sejati adalah mitra yang sehati.''

''Kau betul sekali, Ceng Ho,'' kata Zhu Di. Dan dia berjalan ke bagian buritan, diikuti semuanya. Sambil berjalan ke situ, dia berkata, ''Mitra yang paling benar dalam semua usaha yang berisiko tinggi, sebagaimana tugasmu sekarang, adalah mereka yang memiliki rasa percaya yang sama, walaupun dalam kemampuan berpikir yang berbeda.''

Di tengah sana dia berhenti lagi karena merasa percakapan ini harus didengar dengan serius.
''Ingat, Ceng Ho, kau memimpin bukan saja militer dalam misi muhibah ini nanti, melainkan juga sipil. Militer sudah punya disiplin. Gampang diatur. Sipil yang sulit diatur. Sipil yang sudah menjadi kerumunan selalu menjadi sama seperti kawanan serigala. Soalnya mereka tidak punya disiplin yang sama seperti militer. Makanya dengan kapal ini kau harus memimpin mereka mewakili

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 16:30
kebesaran Tiong Kok dan kejayaan Ming.'' ''Daulat Paduka Kaisar.''
***
Zhu Di benar-benar hanya memercayai Ceng Ho. Apa yang baru dikatakan masih akan diingat-ingat dalam kalimat yang berbeda pada hari-hari mendatang. Pada suatu hari Zhu Di berdiri di sebelah Ceng Ho, menyaksikan latihan militer di sebuah lapangan. Mereka berada di bagian yang agak tinggi, sebuah podium yang dari atasnya dapat melihat seluruh bagian lapangan.

 Sambil menyaksikan orang-orang yang berlatih berperang itu, berkata Zhu Di, ''Yang jangan sampai kaulupakan, ekspedisi kita ini harus dilihat sebagai perluasan perdagangan di satu pihak sekaligus kerja sama kebudayaan di lain pihak. Tapi kau harus juga bisa mengatasi secara militer segala macam hambatan yang mengacaukan serta melecehkan Tiong Kok dan Ming. Jangan sampai berharap surga lantas yang didapat neraka.'' ''Ya, Paduka, saya akan camkan itu,'' kata Ceng Ho. ''Tentara kita ini bisa diandalkan. Mereka akan saya gembleng, bukan hanya di darat, melainkan juga di laut.'' ''Lantas bagaimana dengan orang-orang sipil yang bisa ikut dalam pelayaranmu itu?'' tanya Zhu Di.

''Dari mereka, walaupun mereka sama seperti kawanan hewan yang tak bisa diatur, toh diharapkan kemampuan dagang mereka membuka peluang bisnis dengan negara-negara di selatan.''

''Ya, Paduka,'' kata Ceng Ho.

''Pendaftaran untuk orang-orang sipil yang mau berniaga di Jawa akan dimulai besok.''


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 17:04
Kertas-kertas pengumuman bagi khalayak yang berminat melakukan hubungan dagang di Jawa telah dipasang di tempat-tempat ramai. Salah satu ditempelkan juga di dinding rumah minum merangkap rumah bordil Lin. Di dalam sana tampak orang-orang yang biasa berlangganan di sini. Termasuk, orang-orang yang sekadar numpang lewat untuk mencari hiburan. Di antara orang-orang yang beraneka ragam kemauan itu terlihat juga Dang Zhua dan Hua Xiong di meja tengah dan Tan Tay Seng di pojok ruang. Tampaknya Tan Tay Seng sedang menikmati mabuknya. Dalam mabuk begitu malah kreativitasnya mengalir.

Dia berpuisi di situ dan menyanyikannya dengan menggesek-gesek teh-yan. Melihat kelakuannya yang eksentrik, tampak sikap tak suka di wajah Dang Zhua.

''Tambah lagi ciunya,'' kata Tan Tay Seng sambil mengangkat cawan.

''Oh, aku sedang menikmati kembaraku ke selatan, ke Borobudur, mengukir huang-mei-tiau di langitnya, menikmati butir-butir emas yang mengubah butir-butir pada di sawah. Ayo, tuangkan ciu, kuukirkan harum bunga selatan dalam nyanyianku pada hari esok.''

Orang-orang melihatnya sebagai orang mabuk saja jengkel dan nyinyir, terkecuali Dang Zhua dan Huan Xiong yang tampak gusar. Tan Tay Seng tak peduli. Dia telah lupa diri. Walau begitu, dalam keadaan begini dia bisa menyanyi, mengiringi nyanyiannya dengan teh-yan.

''Yang kasim dari Yun Nan negari Akan menjadi orang besar sejati Dikenang nama di sejarah bahari Sebagai Sam Po Kong nan bestari.'' Begitu dia menyanyi. Dan dia menyanyi dengan acuh tak acuh, tak peduli apa ada atau tidak yang menyukainya. Nanti, sebentar lagi, dia akan mengetahui bahwa ada orang yang terganggu mendengar nyanyian orang mabuk. Orang yang tak suka mendengar nyanyian Tan Tay Seng itu adalah Dang Zhua.
Dang Zhua menghardik Tan Tay Seng. ''Hei, pemabuk, hentikan suara kentutmu. Alat musikmu itu pun terdengar seperti gergaji tumpul.'' Tan Tay Seng tidak menggubris. Malah jika dia perlu menanggapi Dang Zhua, dia akan menggunakan kata-kata yang mungkin membuat Dang Zhua naik pitam.

 ''Hei, apa pedulimu?'' kata Tan Tay Seng. ''Mulut, mulutku sendiri; suara, suaraku sendiri, kok bolehnya situ yang usil.'' Lalu dia berseru kepada pengelola Lin.

''Ayo, Cik, tuangkan lagi ciu buatku, mumpung sendi-sendi dalam tubuhku masih bergairah, wahai dewa mabuk, mabuki aku, biar aku terbang menemui dewa langit utara Xuan Tian Shang Ti*) dan memberi salam tabik dengan bunga-bunga kepada dewa penguasa langit selatan Wu Fu Da Di. **) Dengar, kupingkanlah nyanyianku.''

Dan Tan Tay Seng menyanyi lagi dengan acuh, menggesek-gesekkan teh-yan dengan terampil. ''Ceng Ho yang memimpin pelayaran Meninggalkan Tiong Kok ke selatan Untuk mencari itu cap kerajaan Yang dicuri gajah putih sialan.''

Baik Dang Zhua maupun Hua Xiong, apalagi orang-orang lain, di rumah minum dan rumah bordil Lin terkesiap mendengar nyanyian Tan Tay Seng. Bagi Dang Zhua, nyanyian Tan Tay Seng itu merupakan kejutan: betapa gunjingan yang disebarkannya telah ditampa orang banyak, setidaknya satu, Tan Tay Seng. Namun, sungguhpun Dang Zhua dan Hua Xiong sama-sama terkesiap mendengar nyanyian Tan Tay Seng, kemarahan yang telah berada di hatinya tak hendak dia perintahkan untuk surut. Adalah Hua Xiong yang lebih dulu tak kuasa menahan emosi. Dia menyerang Tan Tay Seng karena jawaban Tan Tay Seng tadi yang mengatakannya usil.

Dia tidak menduga sama sekali Tan Tay Seng selain seorang penyair dan penyanyi adalah juga pendekar yang hebat. Maka, ketika Dang Zhua menyerang Tan Tay Seng tanpa memperhitungkan kemungkinan ditangkis dan dibalas, dia pun terlambat. Tidak ada pujian buat orang yang keliru bertindak lantaran salah berhitung. Tangkisan Tan Tay Seng betapapun telah membuat keseimbangan pikirannya terganggu. Dang Zhua menyerang lagi. Tan Tay Seng lebih siap. Dengan gerakangerakan amat lincah dan cepat, hanya dalam waktu sangat singkat, Dang Zhua sudah keok seperti ayam jago yang terlempar oleh taji lawan.

Melihat Dang Shua kalah, Hua Xiong pun geram dan menyerang Tan Tay Seng dari samping. Terjadi pukul-memukul. Tetapi itu tidak berimbang. Sudah jelas kentara Tan Tay Seng bukan anak muda sembarangan. Dia betul-betul seorang cempiang. Dengan kedua tangan dia berhasil melumpuhkan Hua Xiong. Bersama dengan Dang Zhua, keduanya tergeletak seperti ikan hiu di atas meja lelang pasar ikan, tiada lagi sima yang boleh dibanggakan. Di atas kedua orang kepercayaan Liu Ta Xia itu Tan Tay Seng berdiri berkacak pinggang, menawar tantangan bagi siapa pun yang mau menerjang lagi. "Masih ada yang penasaran?" kata Tan Tay Seng. "Kalau ada yang berminat, aku pun masih bersemangat. Mumpung mabuk, dan dalam mabuk aku dikawal oleh tiga puluh enam panglima langit, San Shi Liu Guan Jiang. Lalu Tan Tay Seng mengambil cawan, mengarahkan itu ke pengelola Lin. "Ya, tambah lagi ciunya. Tambah satu, tambah dua, tambah tiga, dan aku ingin tidur di sebuah dusta, mimpi bersama tiga klangenan T'ang , antara Tu Fu, Li Tai Po, Ts'en, Ts'an, Pu Chu Yi, Li Shang Yin.... Tampaknya semua orang yang berada di situ memilih bersikap tidak bermusuhan. Itu sikap yang aman, memang. Tan Tay Seng menjadi tokoh yang melahirkan bisik-bisik. Orang akan berbisik tentang dia jika melihatnya berjalan di tempat ramai.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 17:10
Untung, orang tidak berbisikbisik tentang kejelekannya, tetapi tentang ketangguhan dan kepiawaiannya berkelahi.


***

Demikian juga terjadi pada pagi itu. Menjelang tengah hari Tan Tay Seng kelihatan berjalan di jalanan menuju ke pasar. Di tembok yang pernah diberdirikan mayat-mayat itu terlihat plakat kerajaan dipasang oleh petugas kerajaan. Setelah plakat itu terpasang, orang-orang berkumpul membacanya. Ada seseorang yang lantas menceletuk setelah membaca plakat itu.

Katanya, "Apa-apaan ini? Dicari orang-orang sipil yang kuat dan punya pengetahuan tertentu untuk dikembangkan di negeri-negeri selatan." Seseorang yang lain malah mencibir menanggapi.

"Huh, untuk mati konyol di Laut Selatan bersama tay-cin dari Yun Nan. Kurang kerjaan?" Orang yang berdiri di samping tampaknya tidak senang mendengar pernyataan itu. Dia menuding dan menghardik.

"He, Bung, jangan sembarang buka bacot kamu. Jangan menghina Ceng Ho." Bukan undur dari sikapnya membuka mulut tadi, orang ini malah mengucapkan kata-kata bernada menantang. Katanya dengan ketus, "Memangnya siapa yang melarang aku kalau aku ingin buka bacot seperti ini."

"Tapi jangan bawa-bawa Yun Nan. Aku juga orang Yun Nan.

" Bukan kendur, malah orang yang kepalang berbicara keras itu makin menunjukkan sikap siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi. Dengan berani dia berkata, "Memangnya kenapa kalau kau ingin bilang Ceng Ho itu Yun Nan, dan aku tidak percaya pada Yun Nan." Sekonyong-konyong tangan orang yang marah itu bergerak ke arah muka yang satunya. Tangan itu mengena bagian tubuh yang diharapkan oleh yang memukul itu. Yang terkena pukul lantas menjawab. Dan begitu keduanya siap memasang kuda-kuda untuk siapa yang lebih dulu punya peluang mengalahkan, syahdan Tan Tay Seng bertindak, berdiri di tengahtengah, melerai.

"Sudah! Jangan berkelahi," kata Tan Tay Seng. Walau begitu kedua orang yang berselisih pandangan itu tak berhasil diteduhkan. Yang kiri meloncat, menyerang yang kanan. Tan Tay Seng berteriak, "He, jangan berkelahi kataku, hei.

" Namun tetap saja kedua orang itu berkelahi, tak mau mendengar teriakan Tan Tay Seng. Yang disebut ini mengentakkan kaki, memperagakan perasaan jengkelnya.

"Ya, sudah, berkelahilah kalian," kata Tan Tay Seng.

"Biar aku memainkan teh-yan." Tak cuma ngak-ngik-nguk, dia malah menyanyi:

Aku berhenti terbang di langit Nan Jing Bertengger di pohon atas Sungai Liu Ja Menyaksikan dua ekor pendekar kecowak Yang bertikai tentang tay-jin dari Yun Nan Tay-jin dari Yunan diberi tugas oleh Kaisar Memburu sampai ke Campa atau ke tanah Siam Menangkap seekor gajah putih pencuri Yang telah melarikan cap kerajaan Ming."

Orang-orang yang berada di situ tertarik melihatnya. Mereka pun ramai melendong, berkerumun, mengitari Tan Tay Seng. Sementara itu Tan Tay Seng dengan naif sekali, seperti seorang anak kecil yang bermain-main dengan dunianya, tidak peduli apakah ada atau tidak orang yang menyaksikan. Salah seorang di antara kerumunan itu bertanya kepada Tan Tan Tay Seng, "He, Bung, dari mana kamu tahu cerita seekor gajah putih melarikan cap Kerajaan Ming?"

Dengan santai Tan Tay Seng menjawab, ''Ilham seorang penyair bisa lahir di rumah bordil. Apa kalian tidak suka?'' Ada yang berdiri di depan kerumunan itu melempar sekeping uang, dan sambil melakukan itu, dia pun berkata, ''Nyanyikan lagi, ayo.'' ''Terima kasih,''kata Tan Tay Seng. Dia buka topinya lantas mengarahkan ke kerumunan itu,
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 17:15
mengharapkan sawer.

''Aku akan nyanyikan lebih seru lagi.'' Orang-orang itu pun memberikan sawer. Yang lain berbisik-bisik. Setelah itu Tan Tay Seng berlakon. Kali ini dia membuat orang-orang itu terkesima. Dia menyanyi, bermain teh-yan, tapi juga melakukan gerakan-gerakan silat yang cekatan. Nyanyian yang dia peragakan merupakan kisah yang sangat populer di Cina sejad abad ke-2 Masehi, yaitu tentang dua orang wanita yang memperebutkan seorang bayi - kisah yang ditulis di Feng Shu T'ung oleh Ying Shao - mirip cerita Nabi Sulaiman dalam sumber Perjanjian Lama Nasrani. Yang dinyanyikan Tan Tay Seng benar-benar merupakan tontonan teater seorang diri. Untuk peran wanita, dia menyanyikan dengan membuat suara seperti suara perempuan, dan untuk peran Huang Pa, tokoh menteri kepala yang juga sangat terkenal dalam periode Sam Kok, dia membuat suaranya geros dengan perwatakan amat berwibawa. Orang-orang yang menyaksikan terhibur. Mereka berbisik-bisik sebagai cara lain untuk memuji dia.


***


Lain lagi dari Dang Zhua dan Hua Xiong. Mereka melaporkan dengan dengki kepada Liu Ta Xia bahwa mereka dikalahkan oleh seorang Hok Kian yang menggesek teh-yan dan menyanyi seenaknya. Kata Dang Zhua sambil menunduk-nunduk,

''Memang, dalam berkelahi dia telah mengalahkan kami, Tuan Menteri. Tapi, yang penting, dia sudah termakan oleh gunjingan yang kami sebarkan melalui rumah bordil.''

''Apa?'' Liu Ta Xia belum menangkap arah bicara Dang Zhua.
''Tidak salah, Tuan Menteri,'' kata Dang Zhua. ''Dia pasti mendapat ilham nyanyiannya tentang gajah putih yang mencuri cap Kerajaan Ming itu melalui rumah bordil Lin.'' Selintas tampak rasa termegahkan di wajah Liu Ta Xia. ''Kalian tahu, siapa dia?'' tanya sang menteri sambil duduk. ''Tidak jelas latar belakangnya, Tuan Menteri,'' jawab Dang Zhua, melirik kepada Xua Xiong, meminta dengan gerakan tertentu supaya Hua Xiong yang memberi keterangan kepada sang menteri. Maka kata Hua Xiong dengan cepat, namun dengan nada yang menunjukkan keraguan dan mencari pembenaran terhadap diri sendiri, ''Yang jelas, dia pasti orang Fu Kien, entah Hok Kian entah Hok Cia.'' ''Dungu,''kata Liu Ta Xia agak kecewa. ''Kenapa kalian tidak mencari tahu?'' Dang Zhua serta merta menawarkan inisiatif yang terlambat, katanya, ''Apa perlu kami selidiki siapa dia?'' Liu Ta Xia berdiri dari kursinya.

''Huh, tidak perlu.'' ''Kenapa, Tuan Menteri?'' tanya Hua Xiong. ''Aku baru saja menyimpulkan itu tidak perlu. Sebab, mendengar cerita kalian itu, aku menyimpulkan dia hanya seorang penyair pelagu yang setengah matang.'' Baik Dang Zhua maupun Hua Xiong tertawa, dan tawa mereka sebetulnya tidak lahir dari emosi tertentu, tetapi dari cara paling terhitung untuk menjilat.

''Aku punya rumus untuk mengalahkan penyair pelagu, dan kalian harus sanggup melaksanakan,'' kata Liu Ta Xia. ''Senjata paling ampuh dan gampang menjatuhkan para penyair pelagu atau seniman umumnya adalah uang. Terhadap uang mereka selalu berpurapura suci, seakan-akan tidak perlu. Padahal, asal pemegang kekuasaan tahu caranya, yaitu mulai dari cara mendulang sampai menyuap, seniman itu sama seperti piyik burung elang: menelan tanpa pertimbangan-pertimbangan apakah yang dibawa induknya itu racun atau bukan racun.''
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 17:21
Lagi, Dang Zhua dan Hua Xiong tertawa untuk memberi kesan bahwa mereka mendengar ucapan yang bermutu dari seorang yang mereka percayai memiliki kehebatan tertentu. Liu Ta Xia sangat menikmati cara kedua orang kepercayaannya itu menjilat kepadanya. Katakanlah, dia adalah garuda, bukan elang, yang sedang berdiri di atas gunung Kun Lun Shun sana yang bergeming oleh terpaan angin ribut.

''Jadi, orang Hok Kian itu tidak penting untuk digubris lagi, Tuan Menteri?'' tanya Hua Xiong.

Tidak segera Liu Ta Xia menjawab. Ternyata pertimbangannya tadi memiliki sayap-sayap masalah. Maka katanya setelah terpercik permenungan singkat, ''Sejauh tidak berhubungan dengan Ceng Ho memang dia tidak penting.''

''Kalau sampai terjadi hubungan?'' tanya Dang Zhua.

''Berjaga-jaga,'' jawab Liu Ta Xia singkat.


***

Apakah Ceng Ho tidak juga berjaga-jaga?

Suatu malam dia bahkan terjaga ketika sudah tidur di rumahnya. Malam itu sepi. Angin tak terdengar. Yang terdengar adalah sejenis binatang kecil yang berada di balik batu.

Karena kesunyian malam, bunyi yang paling kecil pun dapat tersaring masuk ke dalam gendang pendengaran.
Dalam tidurnya ini Ceng Ho bermimpi. Dan karena itu, sehabis mimpi berlalu, dia terjaga, duduk di ranjang sambil mengambil nafas panjang dan mengembuskannya.

Dia bermimpi didatangi ayahnya, Ma Ha Zhi. Ayahnya datang dari langit, turun dikelilingi awan, dan seakan Ceng Ho berdiri di atas bunga teratai. Anehnya di awan yang mengumpal itu, kemudian bergulung-gulung menyerupai huruf-huruf Arab antara sin, mim, fa, wau, kaf, mun, ternyata huruf-huruf itu terangkai menjadi sam po kon.

Maka bertanya Ceng Ho dengan ragu, "Engkaukah ayahku?"
Jawab yang ditanya, "Ya, akulah Ma Ha Zhi, turunan Sai Dian Chi atau Sayidina Syamsuddin dari nenek moyang Suo Fei Er atau Sayidina Syafii."

"Ada apa, ayahku?" tanya Ceng Ho. "Kenapa engkau berada di atas awan, dan aku berdiri diatas bunga teratai?"

"Dengarlah baik-baik, putraku Ma He," kata Ma Ha Zhi.
"Aku bukan hanya memberi telinga, melainkan juga hati, ayahku," sahut Ceng Ho sambil menekukkan kaki kanannya.

"Kamu harus taruh matamu di dekat telingamu, Ma He," kata Ma Ha Zhi.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 17:24
"Apakah mata dan telinga yang sudah diatur letaknya oleh Yang Khalik harus diubah lagi?" kata Ceng Ho.
 
"Jadilah arif, putraku," ujar ayahnya. "Alam tetap pada alam yang dicipta Mahapencipta. Manusia berpikir untuk memanfaatkannya. Camkan itu."

"Aku patuh."

"Sekarang, dengar dan berjaga," kata Ma Ha Zhi. "Nanti akan ada musuh di dalam selimutmu, dan kamu bahkan tidak sempat membedakan yang mana serigala dan yang mana domba.

Kamu menghadapi pekerjaan besar. Setiap pekerjaan besar ada juga risiko-risiko besar. Dan kau tidak mungkin menyelesaikan masalah besar kalau tidak melihat lebih dulu yang kecilnya. Jangan memilih orang menjadi mitramu dalam pekerjaan besarmu itu hanya karena
orang itu memberimu senyum, memasang muka manis. Betapa banyak malapetaka terjadi menuju pekerjaan besar, sebab orang terpedaya oleh senyum dan muka manis...."'

"Ya, ayahku," kata Ceng Ho.
"Katakan keras-keras," kata Ma Ha Zhi.
Dan Ceng Ho berkata keras, "Ya, ayahku!"

Saking kerasnya, Ceng Ho terkejut dan terbangun. Dia terduduk di atas ranjang. Terengah-engah. Termenung.

Isyarat apakah gerangan yang dia dapatkan dari mimpi, atau katakanlah lebih memihak: penglihatan, yang hadir dalam tidur nyenyaknya itu? Dia dapat menyimpulkan dengan mudah.
Yaitu, mimpi adalah ilham yang bukan sembarangan. Setiap mimpi tak terhindar dari kenyataan akan suatu perwujudan keinginan yang membawa seseorang terkungkung atau terbebas dari pikiran-pikirannya.


***

Hal itu yang masih terbawa, dan mungkin terus terbawa dalam fitrah Ceng Ho sepanjang hari pada keesokan harinya. Menjelang siang Ceng Ho meninggalkan rumah, berjalan bergegas ke suatu tempat. Siapa yang memperhatikan air mukanya niscaya akan menyaksikan sekelumit kegelisahaan yang tumbuh di dalam sukmanya. Dia mengambil kuda.

Dipacu kudanya. Tampaknya jarak yang akan ditempuhnya itu lumayan jauh. Di ujung jarak yang ditempuhnya, orang-orang mengharapkan dia. Dia pergi ke galangan kapal.

***

Di galangan kapal itu, sebuah kapal yang terbesar, yang akan dipakainya untuk memimpin kapal-kapal lain menuju ke selatan, sedang dikerjakan pada tahap perampungan. Di latar belakang, yang baru bersih oleh pertemuan antara laut dan langit, tampak
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 17:28
burung-burung camar yang terbang sambil mengintai mangsanya. Tapi, yang paling kentara adalah kesibukan orang yang mengerjakan pembuatan kapal itu. Dan yang lebih kentara lagi, di latar depan kapal yang bergalang itu tampak sebuah meja panjang dengan beberapa orang duduk di belakangnya. 

Ke situlah Ceng Ho datang dan berdiri memperhatikan orang-orang yang antre di depan meja itu. Orang-orang yang antre itu adalah mereka yang membaca plakat pengumuman tentang siapa di antara orang-orang sipil dengan keahlian tertentu yang ingin ikut dalam pelayaran Ceng Ho ke selatan. Semua yang mendaftar ditanya oleh petugas yang duduk di belakang meja itu. Kini giliran seseorang yang berbadan jangkung.

Petugas yang mencatat-catat di meja itu bertanya kepadanya. "Apa keahlianmu?" "Saya orang San Tung. Saya ahli di bidang tenun sutra dengan cara paling sederhana." Setelah mencatat, petugas itu berkata, "Ke sebelah." Lalu menunjuk dengan tangan kanannya ke seseorang yang tadi berdiri di belakang orang San Tung itu. "Ya, yang berikut, maju." Orang yang ditunjuk itu lantas maju, berdiri di depan meja sang petugas pencatat. Katanya, ''Nama saya Li Bun Hau dari provinsi selatan.'' ''Apa keahlianmu?'' ''Menakar walet, membudidayakan sarangnya, mencuci dan membersihkannya dengan cara paling benar. Saya bisa mengajarkan pengetahuan ini kepada bangsa-bangsa di luar Cung Kuo*), bagi bangsa Hu Huan**) di mana pun di selatan sana.'' Ceng Ho mengangguk. Petugas pencatat berkata, ''Baik. Ke sebelah.'' Yang bernama Li Bun Hau pun berpindah ke sebelah, memberi cap tangannya. Tempatnya digantikan seseorang yang antre di belakangnya. Orang yang sekarang menghadap ke petugas pencatat, berdiri di situ, sambil berkata, ''Saya Yong Gong. Asli saya dari suku Hu Pei. Ayah saya ahli gigi, kakek saya ahli gigi, bahkan kakek buyut saya ahli gigi, dan besok anak saya pun akan saya didik menjadi ahli gigi.''

''Bagus,'' kata petugas pencatat. ''Ke sebelah. Dan selanjutnya yang di belakang, maju.''

Yang maju berikut ini, kira-kira 20-an tahun. Dia memberi hormat kepada Ceng Ho yang berdiri di belakang petugas pencatat itu. Katanya, ''Saya Lu Shan. Saya sangat ahli di bidang
pengetahuan ming xiang, Feng Shui, tapi sekaligus juga An Mo.''
Petugas pencatat itu menyuruhnya beralih tempat, dan orang yang mengaku bernama Lu Shan hampir bergeser, namun berhenti diam karena Ceng Ho menyuruhnya.

''Tunggu,'' kata Ceng Ho, tertarik kepadanya. ''Dari mana orang seusia kamu mendapatkan
ilmu itu?''

''Tabik, Tuan Ceng Ho,'' katanya memberi hormat. ''Saya bertapa di Gunung Fei Feng Shan, Si Cuan.''
''Baguslah,'' kata Ceng Ho.
Dan orang yang bernama Lu Shan itu bergeser ke sebelah, lalu orang yang berdiri di belakang

- dia tak lain adalah Tan Tay Seng - maju ke depan petugas pencatat itu. Bukan seperti yang lain-lain memperkenalkan diri dan menyebut asalnya, Tan Tay Seng langsung menggesek tehyan dan menyanyikan suatu rangkaian larik-larik: Paduka Kaisar tidak salah memilih Laksamana Ceng Ho menjadi Sam Po Kong Ke selatan membawa
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Jali Jengki on 20/08/2008 17:29
K@ng Sarkem Jaka Sliwer...

Cerita'in juga dong perihal sajarenye Syekh Quro atawe Syekh Bentong nyang turun di Karawang, die pan sale satu ulame Islam nyang ngikut armadenye Cheng Ho...

Maenannye di cerita'in dong, cakep tuh maenannye...

Tabe'...Jali
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 17:33
panji-panji Ming Kebesaran Cina dipuji di dunia luar. Semua orang yang duduk di belakang meja, termasuk Ceng Ho, senang melihat Tan Tay Seng menyanyi, memainkan teh-yan, dan bergerak-gerak tertentu mirip tarian silat.

''Siapa namamu?'' tanya Ceng Ho. ''Hormat, Sam Po Kong,'' kata Tan Tay Seng sambil membungkukkan badan. ''Saya penyair penyanyi dari Fu Kien. Ayah Hok Kian, ibu Hok Cia.''

 ''O, ya, bagus,'' kata Ceng Ho. ''Kamu memang dibutuhkan di dalam kapal untuk menghibur.'' Tan Tay Seng girang. Dia menggabruk dan berlutut di hadapan Ceng Ho lalu mencium tangannya. ''Terima kasih, Sam Po Kong.''

***

Ada orang-orang yang tidak senang melihat adegan itu. Orang-orang yang dimaksud ini berdiri di arah kejauhan, sambil lalu menyaksikan kegiatan pengerjaan kapal dan pendaftaran orang-orang sipil yang berkeahlian untuk ikut dalam ekspedisi pimpinan Ceng Ho. Orang-orang itu adalah Liu Ta Xia, Dang Zhua, dan Hua Xiong.
Dengan menutup mulut karena jengkel melihat kenyataan itu, Liu Ta Xia berkata, nyaris tak terlafazkan dengan jelas,

''Apakah orang itu yang kalian maksudkan telah mengalahkan kalian.''

Bersama Dang Zhua dan Hua Xiong mengangguk, menjawab, ''Ya, Tuan Menteri.''

''Ternyata sekarang kalian melihat sendiri ada hubungan antara Ceng Ho dan dia, yang tadinya kita kira tidak penting,'' kata Liu Ta Xia.

''Apa yang harus kami lakukan?'' tanya Dang Zhua.
''Kalian pergi dulu ke rumahku. Tunggu aku di sana. Aku akan bicara dengan Ceng Ho,'' kata Liu Ta Xia.
Dang Zhua dan Hua Xiong pun pergi, menunggu di rumah Liu Tia, sementara Liu Ta Xia menghampiri Ceng Ho.

Apa yang diperkatakan Liu Ta Xia kepada Ceng Ho?

''Semua persiapan sudah dicatat?'' tanya Liu Ta Xia setelah berhadapan muka dengan Ceng Ho.

''Sejauh ini sudah, Tuan Menteri.''

''Mungkin ada yang terlupakan,'' kata kata Liu Ta Xia.

"Kalau ada yang terlupakan, saya siap dikoreksi, Tuan Menteri,"kata Ceng Ho.

"Pasti ada," kata Liu Ta Xia. "Dalam laporan belum ada bidang juru tulis yang akan mencatat setiap kegiatan pelayaran."

"O, ya, Anda betul, Tuan Menteri,"kata Ceng Ho.

"Tidak usah kuatir," kata Liu Ta Xia. "Saya sudah menyediakan itu."

"Terima kasih," kata Ceng Ho.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 20/08/2008 17:39
Liu Ta Xia senang. Dia berhasil melakukan apa yang dia pikirkan sebagai suatu siasat perang.
Maka ketika sampai di rumahnya, dan di situ telah menunggu orang-orang kepercayaannya, berkatalah dia sukacita, "Aku berhasil."

"Bagaimana, Tuan Menteri?" tanya Dang Zhua dan Hua Xiong.
"Ceng Ho lupa membawa juru tulis dalam ekspedisi itu," kata Liu Taa Xia. "Aku berhasil memasukkan kamu berdua. Kalian tidak perlu susah-susah antre seperti yang lain-lain. Aku harus bergerak cepat. Besok aku akan menghadap Kaisar untuk menaruh nama kalian sebagai juru tulis."

Dang Zhua dan Hua Xiong berpandangan. Kesukacitaan tergambar dalam sikap mereka.

"Ada dua tugas kalian," kata Liu Ta Xia. "Mencatat."

"Kami siap, Tuan Menteri," kata Dang Zhua.

"Pertama, mencatat perjalanan muhibah itu. Dan kedua, mencatat hal-hal yang negatif atas semua hal menyangkut tokoh Ceng Ho. Sejarah besok harus mempertanyakan tokoh Ceng Ho. Sejarah besok harus mempertanyakan apakah betul pelayaran itu merupakan ekspedisi muhibah atau justru ekspansi dengan cara kebudayaan."

"Maksudnya bagaimana, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong.

"Ya, orang selalu terkecoh oleh premis misi kebudayaan. Bagi Cina, misi kebudayaan bagaimanapun adalah penaklukan dengan cara santun pada negeri-negeri seberang lautan."

"Jadi, dengan menaruh kami sebagai juru tulis, apakah niatan Tuan Menteri untuk memasang kami dalam pelayaran itu sebagai penasihat spiritual telah berubah siasat?" tanya Dang Zhua.

"Padahal, selama hari-hari terakir ini aku sudah belajar lagi isi kitab suci kita," kata HuaXiong.
 
"Diam!" sentak Liu Ta Xia.

Dan keduanya pun langsung mingkem.

"Aku harus berpikir," kata Liu Ta Xia. Lalu dia tertawa, merasa telah memperoleh jawaban atas yang dipikirkannya. "Jangan tolol begitu. Kalian harus cekatan berimprovisasi."

"Jadi, sekarang kami akan menjadi juru tulis pelayaran itu, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong.

"Itu betul," kata Liu Ta Xia. "Aku harus memenangi permainan ini."


***

Maka, ketika Dang Zhua menyerang Tan Tay Seng tanpa memperhitungkan kemungkinan ditangkis dan dibalas, dia pun terlambat. Tidak ada pujian buat orang yang keliru bertindak lantaran salah berhitung
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Jali Jengki on 20/08/2008 18:11
GRP buat Kang Sarkem,...

Usaha yang tidak kenal menyerah untuk menambah jumlah postingan x-)), tetap semangat dan jangan mudah putus asa...!

Lanjuuut...

Tabe'...Jali
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Dodol Buluk on 20/08/2008 21:17
denger-denger sih neng bang Jali..die mo nandingin bang ochid buat postingan biar jadi pendekar...hehehhe..

D'Boels
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 09:20
denger-denger sih neng bang Jali..die mo nandingin bang ochid buat postingan biar jadi pendekar...hehehhe..

D'Boels


bukan mau jadi pendekar, kng D'Boels...
ane mau jadi maha guru (kata yan**ka  kata nya kalau lebih banyak lagi bisa jadi Maha Guru...hehehee -- Maha Guru Poco - Poco -)
huahahahhaha :D

Lagian, kalau cuman mau naikin status,Mas Ez*a dan Kang Lu*i mau dongkrak statusnya, asal dikasih sesajen hehehhehehhe :D

Jadi, daripada utak atik thread orang malah diomelin, mending bikin thread di komik... kalau pun ada masalah dengan sejarah.. yaah namanya aja komik (lagian cuman copy paste doang)  :w

Lagian walau ini cerita sejarah gak ada hubungannya dengan politik  (main aman), paling ada hubungannya antara Laksmana Cengho(Y*ril) dan Laksamana Sukardi hehhehehhee sama2 laksamana hehehehhe... [lucu]


--Diterusin lagi nih ya cerita laksamana cengho---
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 09:27
Tangkisan Tan Tay Seng betapapun telah membuat keseimbangan pikirannya terganggu. Dang Zhua menyerang lagi. Tan Tay Seng lebih siap. Dengan gerakangerakan amat lincah dan cepat, hanya dalam waktu sangat singkat, Dang Zhua sudah keok seperti ayam jago yang terlempar oleh taji lawan. Melihat Dang Shua kalah, Hua Xiong pun geram dan menyerang Tan Tay Seng dari samping. Terjadi pukul-memukul. Tetapi itu tidak berimbang. Sudah jelas kentara Tan Tay Seng bukan anak muda sembarangan. Dia betul-betul seorang cempiang. Dengan kedua tangan dia berhasil melumpuhkan Hua Xiong. Bersama dengan Dang Zhua, keduanya tergeletak seperti ikan hiu di atas meja lelang pasar ikan, tiada lagi sima yang boleh dibanggakan. Di atas kedua orang kepercayaan Liu Ta Xia itu Tan Tay Seng berdiri berkacak pinggang, menawar tantangan bagi siapa pun yang mau menerjang lagi. "Masih ada yang penasaran?" kata Tan Tay Seng. "Kalau ada yang berminat, aku pun masih bersemangat. Mumpung mabuk, dan dalam mabuk aku dikawal oleh tiga puluh enam panglima langit, San Shi Liu Guan Jiang. Lalu Tan Tay Seng mengambil cawan, mengarahkan itu ke pengelola Lin. "Ya, tambah lagi ciunya. Tambah satu, tambah dua, tambah tiga, dan aku ingin tidur di sebuah dusta, mimpi bersama tiga klangenan T'ang , antara Tu Fu, Li Tai Po, Ts'en, Ts'an, Pu Chu Yi, Li Shang Yin.... Tampaknya semua orang yang berada di situ memilih bersikap tidak bermusuhan. Itu sikap yang aman, memang. Tan Tay Seng menjadi tokoh yang melahirkan bisik-bisik. Orang akan berbisik tentang dia jika melihatnya berjalan di tempat ramai. Untung, orang tidak berbisikbisik tentang kejelekannya, tetapi tentang ketangguhan dan kepiawaiannya berkelahi.

***

Demikian juga terjadi pada pagi itu. Menjelang tengah hari Tan Tay Seng kelihatan berjalan di jalanan menuju ke pasar. Di tembok yang pernah diberdirikan mayat-mayat itu terlihat plakat kerajaan dipasang oleh petugas kerajaan. Setelah plakat itu terpasang, orang-orang berkumpul membacanya. Ada seseorang yang lantas menceletuk setelah membaca plakat itu.

Katanya, "Apa-apaan ini? Dicari orang-orang sipil yang kuat dan punya pengetahuan tertentu untuk dikembangkan di negeri-negeri selatan." Seseorang yang lain malah mencibir menanggapi. "Huh, untuk mati konyol di Laut Selatan bersama tay-cin dari Yun Nan. Kurang kerjaan?"

Orang yang berdiri di samping tampaknya tidak senang mendengar pernyataan itu.

Dia menuding dan menghardik. "He, Bung, jangan sembarang buka bacot kamu. Jangan menghina Ceng Ho." Bukan undur dari sikapnya membuka mulut tadi, orang ini malah mengucapkan kata-kata bernada menantang. Katanya dengan ketus, "Memangnya siapa yang melarang aku kalau aku ingin buka bacot seperti ini."

"Tapi jangan bawa-bawa Yun Nan. Aku juga orang Yun Nan." Bukan kendur, malah orang yang kepalang berbicara keras itu makin menunjukkan sikap siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi.

Dengan berani dia berkata, "Memangnya kenapa kalau kau ingin bilang Ceng Ho itu Yun Nan, dan aku tidak percaya pada Yun Nan." Sekonyong-konyong tangan orang yang marah itu bergerak ke arah muka yang satunya. Tangan itu mengena bagian tubuh yang diharapkan oleh yang memukul itu. Yang terkena pukul lantas menjawab. Dan begitu keduanya siap memasang kuda-kuda untuk siapa yang lebih dulu punya peluang mengalahkan, syahdan Tan Tay Seng bertindak, berdiri di tengahtengah, melerai.

 "Sudah! Jangan berkelahi," kata Tan Tay Seng. Walau begitu kedua orang yang berselisih pandangan itu tak berhasil diteduhkan. Yang kiri meloncat, menyerang yang kanan.

Tan Tay Seng berteriak, "He, jangan berkelahi kataku, hei." Namun tetap saja kedua orang itu berkelahi, tak mau mendengar teriakan Tan Tay Seng. Yang disebut ini mengentakkan kaki, memperagakan perasaan jengkelnya.

"Ya, sudah, berkelahilah kalian," kata Tan Tay Seng. "Biar aku memainkan teh-yan."

Tak cuma ngak-ngik-nguk, dia malah menyanyi:

Aku berhenti terbang di langit Nan Jing
Bertengger di pohon atas Sungai Liu Ja
Menyaksikan dua ekor pendekar kecowak
Yang bertikai tentang tay-jin dari Yun Nan
Tay-jin dari Yunan diberi tugas oleh Kaisar
Memburu sampai ke Campa atau ke tanah Siam
Menangkap seekor gajah putih pencuri
Yang telah melarikan cap kerajaan Ming."


 Orang-orang yang berada di situ tertarik melihatnya. Mereka pun ramai melendong, berkerumun, mengitari Tan Tay Seng. Sementara itu Tan Tay Seng dengan naif sekali, seperti seorang anak kecil yang bermain-main dengan dunianya, tidak peduli apakah ada atau tidak orang yang menyaksikan.

Salah seorang di antara kerumunan itu bertanya kepada Tan Tan Tay Seng, "He, Bung, dari mana kamu tahu cerita seekor gajah putih melarikan cap Kerajaan Ming?"

Dengan santai Tan Tay Seng menjawab, ''Ilham seorang penyair bisa lahir di rumah bordil. Apa kalian tidak suka?''

Ada yang berdiri di depan kerumunan itu melempar sekeping uang, dan sambil melakukan itu, dia pun berkata, ''Nyanyikan lagi, ayo.''

''Terima kasih,''kata Tan Tay Seng. Dia buka topinya lantas mengarahkan ke kerumunan itu, mengharapkan sawer. ''Aku akan nyanyikan lebih seru lagi.''
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 09:34
Orang-orang itu pun memberikan sawer. Yang lain berbisik-bisik. Setelah itu Tan Tay Seng berlakon. Kali ini dia membuat orang-orang itu terkesima. Dia menyanyi, bermain teh-yan, tapi juga melakukan gerakan-gerakan silat yang cekatan. Nyanyian yang dia peragakan merupakan kisah yang sangat populer di Cina sejak abad ke-2 Masehi, yaitu tentang dua orang wanita yang memperebutkan seorang bayi - kisah yang ditulis di Feng Shu T'ung oleh Ying Shao - mirip cerita Nabi Sulaiman dalam sumber Perjanjian Lama Nasrani.

Yang dinyanyikan Tan Tay Seng benar-benar merupakan tontonan teater seorang diri. Untuk peran wanita, dia menyanyikan dengan membuat suara seperti suara perempuan, dan untuk peran Huang Pa, tokoh menteri kepala yang juga sangat terkenal dalam periode Sam Kok, dia membuat suaranya geros dengan perwatakan amat berwibawa. Orang-orang yang menyaksikan terhibur. Mereka berbisik-bisik sebagai cara lain untuk memuji dia.


***


Lain lagi dari Dang Zhua dan Hua Xiong. Mereka melaporkan dengan dengki kepada Liu Ta Xia bahwa mereka dikalahkan oleh seorang Hok Kian yang menggesek teh-yan dan menyanyi seenaknya. Kata Dang Zhua sambil menunduk-nunduk, ''Memang, dalam berkelahi dia telah mengalahkan kami, Tuan Menteri. Tapi, yang penting, dia sudah termakan oleh gunjingan yang kami sebarkan melalui rumah bordil.''

''Apa?'' Liu Ta Xia belum menangkap arah bicara Dang Zhua. ''Tidak salah, Tuan Menteri,'' kata Dang Zhua.

''Dia pasti mendapat ilham nyanyiannya tentang gajah putih yang mencuri cap Kerajaan Ming itu melalui rumah bordil Lin.'' Selintas tampak rasa termegahkan di wajah Liu Ta Xia.

''Kalian tahu, siapa dia?'' tanya sang menteri sambil duduk. ''Tidak jelas latar belakangnya, Tuan Menteri,'' jawab Dang Zhua, melirik kepada Xua Xiong, meminta dengan gerakan tertentu supaya Hua Xiong yang memberi keterangan kepada sang menteri. Maka kata Hua Xiong dengan cepat, namun dengan nada yang menunjukkan keraguan dan mencari pembenaran terhadap diri sendiri,

''Yang jelas, dia pasti orang Fu Kien, entah Hok Kian entah Hok Cia.'' ''Dungu,''kata Liu Ta Xia agak kecewa.
''Kenapa kalian tidak mencari tahu?'' Zhua serta merta menawarkan inisiatif yang terlambat, katanya,
''Apa perlu kami selidiki siapa dia?'' Liu Ta Xia berdiri dari kursinya.
''Huh, tidak perlu.''
''Kenapa, Tuan Menteri?'' tanya Hua Xiong.
''Aku baru saja menyimpulkan itu tidak perlu. Sebab, mendengar cerita kalian itu, aku menyimpulkan dia hanya seorang penyair pelagu yang setengah matang.
'' Baik Dang Zhua maupun Hua Xiong tertawa, dan tawa mereka sebetulnya tidak lahir dari emosi tertentu, tetapi dari cara paling terhitung untuk menjilat.
''Aku punya rumus untuk mengalahkan penyair pelagu, dan kalian harus sanggup melaksanakan,'' kata Liu Ta Xia.
''Senjata paling ampuh dan gampang menjatuhkan para penyair pelagu atau seniman umumnya adalah uang. Terhadap uang mereka selalu berpurapura suci, seakan-akan tidak perlu. Padahal, asal pemegang kekuasaan tahu caranya, yaitu mulai dari cara mendulang sampai menyuap, seniman itu sama seperti piyik burung elang: menelan tanpa pertimbangan-pertimbangan apakah yang dibawa induknya itu racun atau bukan racun.''

Lagi, Dang Zhua dan Hua Xiong tertawa untuk memberi kesan bahwa mereka mendengar ucapan yang bermutu dari seorang yang mereka percayai memiliki kehebatan tertentu. Liu Ta Xia sangat menikmati cara kedua orang kepercayaannya itu menjilat kepadanya. Katakanlah, dia adalah garuda, bukan elang, yang sedang berdiri di atas gunung Kun Lun Shun sana yang bergeming oleh terpaan angin ribut. ''Jadi, orang Hok Kian itu tidak penting untuk digubris lagi, Tuan Menteri?'' tanya Hua Xiong. Tidak segera Liu Ta Xia menjawab. Ternyata pertimbangannya tadi memiliki sayap-sayap masalah. Maka katanya setelah terpercik permenungan singkat, ''Sejauh tidak berhubungan dengan Ceng Ho memang dia tidak penting.'' ''Kalau sampai terjadi hubungan?'' tanya Dang Zhua. ''Berjaga-jaga,'' jawab Liu Ta Xia singkat.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 09:37
Di galangan kapal itu, sebuah kapal yang terbesar, yang akan dipakainya untuk memimpin kapal-kapal lain menuju ke selatan, sedang dikerjakan pada tahap perampungan. Di latar belakang, yang baru bersih oleh pertemuan antara laut dan langit, tampak burung-burung camar yang terbang sambil mengintai mangsanya. Tapi, yang paling kentara adalah kesibukan orang yang mengerjakan pembuatan kapal itu. Dan yang lebih kentara lagi, di latar depan kapal yang bergalang itu tampak sebuah meja panjang dengan beberapa orang duduk di belakangnya.  Ke situlah Ceng Ho datang dan berdiri memperhatikan orang-orang yang antre di depan meja itu. Orang-orang yang antre itu adalah mereka yang membaca plakat pengumuman tentang siapa di antara orang-orang sipil dengan keahlian tertentu yang ingin ikut dalam pelayaran Ceng Ho ke selatan. Semua yang mendaftar ditanya oleh petugas yang duduk di belakang meja itu.
Kini giliran seseorang yang berbadan jangkung. Petugas yang mencatat-catat di meja itu
bertanya kepadanya. "Apa keahlianmu?"
"Saya orang San Tung. Saya ahli di bidang tenun sutra dengan cara paling sederhana."
Setelah mencatat, petugas itu berkata, "Ke sebelah." Lalu menunjuk dengan tangan kanannya
ke seseorang yang tadi berdiri di belakang orang San Tung itu. "Ya, yang berikut, maju."
Orang yang ditunjuk itu lantas maju, berdiri di depan meja sang petugas pencatat. Katanya,
''Nama saya Li Bun Hau dari provinsi selatan.''
''Apa keahlianmu?''
''Menakar walet, membudidayakan sarangnya, mencuci dan membersihkannya dengan cara
paling benar. Saya bisa mengajarkan pengetahuan ini kepada bangsa-bangsa di luar Cung
Kuo*), bagi bangsa Hu Huan**) di mana pun di selatan sana.''
Ceng Ho mengangguk. Petugas pencatat berkata, ''Baik. Ke sebelah.''
Yang bernama Li Bun Hau pun berpindah ke sebelah, memberi cap tangannya. Tempatnya
digantikan seseorang yang antre di belakangnya.
Orang yang sekarang menghadap ke petugas pencatat, berdiri di situ, sambil berkata, ''Saya Yong Gong. Asli saya dari suku Hu Pei. Ayah saya ahli gigi, kakek saya ahli gigi, bahkan
kakek buyut saya ahli gigi, dan besok anak saya pun akan saya didik menjadi ahli gigi.''
''Bagus,'' kata petugas pencatat. ''Ke sebelah. Dan selanjutnya yang di belakang, maju.''
Yang maju berikut ini, kira-kira 20-an tahun. Dia memberi hormat kepada Ceng Ho yang
berdiri di belakang petugas pencatat itu. Katanya, ''Saya Lu Shan. Saya sangat ahli di bidang
pengetahuan ming xiang, Feng Shui, tapi sekaligus juga An Mo.''
Petugas pencatat itu menyuruhnya beralih tempat, dan orang yang mengaku bernama Lu Shan
hampir bergeser, namun berhenti diam karena Ceng Ho menyuruhnya.
''Tunggu,'' kata Ceng Ho, tertarik kepadanya. ''Dari mana orang seusia kamu mendapatkan
ilmu itu?''
''Tabik, Tuan Ceng Ho,'' katanya memberi hormat. ''Saya bertapa di Gunung Fei Feng Shan, Si
Cuan.''
''Baguslah,'' kata Ceng Ho.
Dan orang yang bernama Lu Shan itu bergeser ke sebelah, lalu orang yang berdiri di belakang

- dia tak lain adalah Tan Tay Seng - maju ke depan petugas pencatat itu. Bukan seperti yang lain-lain memperkenalkan diri dan menyebut asalnya, Tan Tay Seng langsung menggesek tehyan dan menyanyikan suatu rangkaian larik-larik: Paduka Kaisar tidak salah memilih Laksamana Ceng Ho menjadi Sam Po Kong Ke selatan membawa panji-panji Ming Kebesaran Cina dipuji di dunia luar. Semua orang yang duduk di belakang meja, termasuk Ceng Ho, senang melihat Tan Tay Seng menyanyi, memainkan teh-yan, dan bergerak-gerak tertentu mirip tarian silat. ''Siapa namamu?'' tanya Ceng Ho. ''Hormat, Sam Po Kong,'' kata Tan Tay Seng sambil membungkukkan badan. ''Saya penyair penyanyi dari Fu Kien. Ayah Hok Kian, ibu Hok Cia.'' ''O, ya, bagus,'' kata Ceng Ho. ''Kamu memang dibutuhkan di dalam kapal untuk menghibur.'' Tan Tay Seng girang. Dia menggabruk dan berlutut di hadapan Ceng Ho lalu mencium tangannya. ''Terima kasih, Sam Po Kong.''
***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 09:48
***
Ada orang-orang yang tidak senang melihat adegan itu. Orang-orang yang dimaksud ini berdiri di arah kejauhan, sambil lalu menyaksikan kegiatan pengerjaan kapal dan pendaftaran orang-orang sipil yang berkeahlian untuk ikut dalam ekspedisi pimpinan Ceng Ho. Orang-orang itu adalah Liu Ta Xia, Dang Zhua, dan Hua Xiong.

Dengan menutup mulut karena jengkel melihat kenyataan itu, Liu Ta Xia berkata, nyaris tak terlafazkan dengan jelas, ''Apakah orang itu yang kalian maksudkan telah mengalahkan kalian.''

Bersama Dang Zhua dan Hua Xiong mengangguk, menjawab, ''Ya, Tuan Menteri.''

"Ternyata sekarang kalian melihat sendiri ada hubungan antara Ceng Ho dan dia, yang tadinya kita kira tidak penting,'' kata Liu Ta Xia.

''Apa yang harus kami lakukan?'' tanya Dang Zhua.

''Kalian pergi dulu ke rumahku. Tunggu aku di sana. Aku akan bicara dengan Ceng Ho,'' kata Liu Ta Xia.

Dang Zhua dan Hua Xiong pun pergi, menunggu di rumah Liu Tia, sementara Liu Ta Xia menghampiri Ceng Ho.

Apa yang diperkatakan Liu Ta Xia kepada Ceng Ho?

''Semua persiapan sudah dicatat?'' tanya Liu Ta Xia setelah berhadapan muka dengan Ceng Ho.

''Sejauh ini sudah, Tuan Menteri.''

''Mungkin ada yang terlupakan,'' kata kata Liu Ta Xia.

"Kalau ada yang terlupakan, saya siap dikoreksi, Tuan Menteri,"kata Ceng Ho.

"Pasti ada," kata Liu Ta Xia. "Dalam laporan belum ada bidang juru tulis yang akan mencatat setiap kegiatan pelayaran."

"O, ya, Anda betul, Tuan Menteri,"kata Ceng Ho.

"Tidak usah kuatir," kata Liu Ta Xia. "Saya sudah menyediakan itu."

"Terima kasih," kata Ceng Ho.

***

Liu Ta Xia senang. Dia berhasil melakukan apa yang dia pikirkan sebagai suatu siasat perang.
Maka ketika sampai di rumahnya, dan di situ telah menunggu orang-orang kepercayaannya,

berkatalah dia sukacita, "Aku berhasil."

"Bagaimana, Tuan Menteri?" tanya Dang Zhua dan Hua Xiong.
"Ceng Ho lupa membawa juru tulis dalam ekspedisi itu," kata Liu Taa Xia. "Aku berhasil memasukkan kamu berdua. Kalian tidak perlu susah-susah antre seperti yang lain-lain. Aku harus bergerak cepat. Besok aku akan menghadap Kaisar untuk menaruh nama kalian sebagai juru tulis."

Dang Zhua dan Hua Xiong berpandangan. Kesukacitaan tergambar dalam sikap mereka.

"Ada dua tugas kalian," kata Liu Ta Xia. "Mencatat."
 "Kami siap, Tuan Menteri," kata Dang Zhua.

"Pertama, mencatat perjalanan muhibah itu. Dan kedua, mencatat hal-hal yang negatif atas semua hal menyangkut tokoh Ceng Ho. Sejarah besok harus mempertanyakan tokoh Ceng Ho. Sejarah besok harus mempertanyakan apakah betul pelayaran itu merupakan ekspedisi muhibah atau justru ekspansi dengan cara kebudayaan."
"Maksudnya bagaimana, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong.

"Ya, orang selalu terkecoh oleh premis misi kebudayaan. Bagi Cina, misi kebudayaan bagaimanapun adalah penaklukan dengan cara santun pada negeri-negeri seberang lautan."
"Jadi, dengan menaruh kami sebagai juru tulis, apakah niatan Tuan Menteri untuk memasang
kami dalam pelayaran itu sebagai penasihat spiritual telah berubah siasat?" tanya Dang Zhua.
"Padahal, selama hari-hari terakir ini aku sudah belajar lagi isi kitab suci kita," kata Hua
Xiong.
"Diam!" sentak Liu Ta Xia.
Dan keduanya pun langsung mingkem.

"Aku harus berpikir," kata Liu Ta Xia. Lalu dia tertawa, merasa telah memperoleh jawaban atas yang dipikirkannya. "Jangan tolol begitu. Kalian harus cekatan berimprovisasi." "Jadi, sekarang kami akan menjadi juru tulis pelayaran itu, Tuan Menteri?" tanya Hua Xiong. "Itu betul," kata Liu Ta Xia. "Aku harus memenangi permainan ini."


*******




Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 10:25
Sampai di mana kepiawaian Liu Ta Xia bermain?
Siang itu dia berada di istana. Permaisuri sedang berjalan menuju ke barat. Dia berjalan
seorang diri. Di depan sana, di bagian simpangan, Liu Ta Xia menunggu dan tidak tampak.
Begitu Permaisuri tiba di situ, Liu Ta Xia nongol. Melihat Liu Ta Xia, kontan wajah Permaisuri berubah, dan dari sikapnya tampak ada perasaan tak tenang. Dia celingukan ke kiri
dan kanan, lalu menyamping ke dinding.
"Kau mengagetkan," kata Permaisuri.
"Saya harap bantuan Tuan Putri," kata Liu Ta Xia. "Masalahnya merumit."
"Jangan libatkan saya dengan urusan politik," kata Permaisuri sambil berjalan mengabaikan.
Liu Ta Xia mengejar, mempercepat langkah. "Tunggu, Permaisuri."
"Maaf," kata Permaisuri. "Saya tidak tertarik pada skandal politik." Dia cepat-cepat berlalu,
dan hilang di ujung sana.
Tinggal Liu Ta Xia terbengong sendiri di situ. Dan bersungut pada dirinya, bercakap secara
ekwicara di situ. "Perempuan selalu membingungkan. Lelaki tidak pernah bisa
memahaminya. Mereka tidak mau melibatkan diri dalam urusan politik, menganggapnya
sebagai skandal, tapi selalu memberikan peluang untuk terlibat dalam skandal cinta."
Lama Liu Ta Xia terbengong di situ. Karena itu dia terlambat hadir di balairung.

***

Di balairung semua menteri dan pembantu Kaisar yang lain telah menunggu. Kecuali, Liu Ta Xia yang belum hadir di situ. Dia harus masuk ke situ setelah Kaisar menyuruh Ceng Ho melaporkan perkembangan-perkembangan yang telah dicapai sehubungan dengan persiapan berlayar ke selatan, dan terus sampai ke barat.  ''Saya ingin mendengar langsung laporan akhir dari Ceng Ho mengenai persiapan-persiapan pelayaran,'' kata Zhu Di. ''Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar, sesuai dengan rencana, Paduka Kaisar,'' kata Ceng Ho dengan memberi hormat terlebih dulu kepada Zhu Di. ''Menurut kwa miah dan swi miah  saya dan Paduka, hari baik untuk berlayar adalah tujuh hari dari hari ini dalam tahu Yong Le ketiga. Insya Allah, pelayaran itu akan merupakan penyusuran samudra yang indah.'' Bersamaan dengan itu Liu Ta Xia masuk. Dia tak bisa menyembunyikan sifat kekagokan yang menerpanya secara tiba-tiba begini. Sesaat dia hanya berdiri di situ. Tapi di situ pula dia menundukkan kepala, menyapa sang kaisar. ''Mohon maaf, Paduka Kaisar,'' katanya. ''Sebagaimana selamanya diingatkan oleh orangorang tua dan orang-orang bijak-bestari, adalah kemampuan mengingat-ingat manusia itu selalu ada batasnya.'' ''Katakan, apa konkretnya?'' kata Zhua Di menunjuk dengan tangan kanannya. ''Begini, Paduka Kaisar,'' kata Liu Ta Xia dengan sangat teratur kalimatnya. ''Bangsa Cina adalah bangsa yang beradab sekaligus berbudaya. Kita beradab dan berbudaya sebab kita telah menulis sejarah, menyimpannya dalam perpustakaan, dan karenanya dapat dibaca orang dari generasi ke generasi sejak zaman Huang Ti.'' ''Lantas? Apa yang tersembunyi dalam kata-katamu itu,'' kata Zhu Di mendesak. ''Katakan. Semua yang berada di sini siap mendengarmu.''
''Saya sudah berkata kepada Ceng Ho bahwa dalam ekspedisi itu belum ada juru tulis khusus yang akan mencatat misi itu,'' kata Liu Ta Xia.
Zhu Di terkesima. Dia memandang tajam kepada Ceng Ho. Katanya heran, ''Apa betul begitu,
Ceng Ho?''
Ceng Ho membenarkan dengan mengangguk. ''Memang betul begitu, Paduka.''
''Tapi, Paduka Kaisar tidak perlu kuatir,'' kata Liu Ta Xia.
''Kalau memang betul begitu, saya perintahkan untuk mendudukkan Ma Huan dan Fei Xin,''
kata Zhua Di.
Cepat sekali Liu Ta Xia menanggapi. ''Tidak perlu, Paduka Kaisar. Saya sudah menjanjikan
kepada Ceng Ho dua orang yang dapat dipercaya. Yang satunya Buddha, yang satunya lagi
Tao, dan kedua-duanya sangat toleran terhadap semua agama di Cina.''
''Betul begitu, Menteri Liu?'' tanya Zhu Di meminta semacam jaminan dalam kata-kata.
''Betul sekali, Paduka Kaisar,'' sahut Liu Ta Xia.
''Kalau begitu, baguslah.'' Zhu Di tampak puas. ''Berarti semuanya sudah terakomodasi.''
Benarkah?

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 12:18
Justru Wang Jing Hong yang mengingatkan sesuatu yang hampir pula terlupakan oleh Ceng Ho. Wang Jing, orang yang dipilih Ceng Ho untuk menjadi juru mudi kapalnya-yang di Jawa nanti namanya lebih dikenal sebagai Dampo Awang--mengingatkan sesuatu yang hampir terlupakan oleh Ceng Ho, ketika mereka sedang berkuda menuju timur laut.

''Ada lagi yang kaulupakan, Ma He,'' kata Wang Jing Hong. ''Dan, hal ini mustahak sekali buat kita.''

''Soal apa itu?'' tanya Ceng Ho.

''Kita ini muslim,'' jawab Wang Jing Hong. ''Kita butuh koki khusus yang mengerti bahwa tidak semua daging halal buat kita.''

''Astaghfirullah,'' seru Ceng Ho memegang kepala dan menghentikan kudanya. ''Kau betul. Apa kau punya calon?''

Wang Jing Hong juga menghentikan kudanya. ''Calon untuk menjadi Sam Po Sui San?''

''Ya,'' sahut Ceng Ho.
''Aku rasa yang paling kena memegang pekerjaan itu, Wu Ping saja,'' kata Wang Jing Hong.
''Wu Ping itu sahabat yang menyenangkan, muda, bersemangat, dan takwa.''
''Baiklah,'' kata Ceng Ho. ''Kapan temui dia?''
''Bukannya lebih benar: dia yang menemui kita?'' tanya Wang Jing Hong.
''Tidak,'' kata Ceng Ho yakin dan tegas. ''Aku yang membutuhkan dia. Aku yang harus datang kepadanya. Aku sedang belajar menjadi pemimpin yang baik.''

Dan mereka memacu lagi kuda-kuda mereka.


***


Waktu itu Wu Ping sedang berbaring. Dia melamun di situ. Ibunya berada tak jauh dari situ.

''Ma, sebetulnya aku ingin mendaftar juga untuk menjadi awak dalam ekspedisi Ceng Ho. Tapi aku kuatir, jangan-jangan tidak diterima,'' kata Wu Ping.

Kata Ibunya, membesarkan hati Wu Ping, ''Kalau kau memang punya kelebihan, kenapa kau tidak coba?''

''Sebetulnya aku pernah mengajukan keinginanku ini kepada Wang Jing Hong, tapi kelihatannya dia tidak acuh...''
Ibunya masygul. Dia tidak mau memperlihatkan mukanya kepada Wu Ping. Tapi sebagai seorang ibu, dia harus memberi semangat kepada putranya ini.

''Semut juga tidak hanya satu kali saja menempuh jalannya untuk mencapai gula,'' kata ibunya.


***

Harapan ibunya pun ternyata tidak sia-sia. Ketika Wu Ping merasa harus berjalan lagi pagi untuk pergi mencari Wang Jing Hong, dia terkejut mendengar sapaan suara yang dikenalnya, yaitu suara Wang Jing Hong menyapa di pintu.

''Assalamu alaikum.''
''Alaikum salam,'' sahut Wu Ping dan diikuti ibunya juga, ia bergegas ke pintu. Dia buka pintu, dan dia kaget sekali.

Di depan pintu itu bukan hanya Wang Jing Hong yang berdiri, melainkan juga Ceng Ho.

Maka dia maju, mencium tangan Ceng Ho seraya membungkukkan badan.

''Masya Allah, apakah aku sedang bermimpi?'' kata Wu Ping.

''Tidak Wu Ping,'' kata Wang Jing Hong. ''Keinginanmu sudah aku sampaikan kepada Ceng Ho. Dan, kau lihat sendiri, Ceng Ho yang datang sendiri ke sini, mengajak kau ikut kerja di kapal besar menuju ke selatan.''

''Alhamdulillah,'' kata Wu Ping. Dia menghormati lagi kepada Ceng Ho. ''Terima kasih, Tuan Ceng Ho. Ini benar-benar mimpi yang menjadi kenyataan.'' Lalu dia memeluk ibunya. ''Ma, sekarang mimpiku sudah menjadi kenyataan.''

Ibu Wu Ping pun memberi takzim kepada Ceng. ''Terima kasih, Tuan Ceng Ho. Terima kasih karena anakku mendapat pekerjaan.''

''Untuk selanjutnya Wu Ping akan menjadi Sam Po Sui Su,'' kata Wang Jing Hong.

Wajah mereka semua berseri-seri.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 12:51
Sampai nanti, jatuh pada hari baik yang dimaksud Ceng Ho itu, semua orang datang berbondong melihat pelepasan kapal Ceng Ho dan kapal-kapal pengiring lainnya melaut ke timur dan ke selatan.
Ramai manusia, hiruk-pikuk, melebihi peristiwa hari raya biasa, orang-orang dari pelbagai kelas, dari pelbagai jenis, dan dengan pakaian yang beraneka ragam, sutra berwarna-warni, bersulam-sulaman dengan hiasan-hiasan yang paling populer antara naga atau burung hong.

Di antara hiruk-pikuk itu ada juga orang-orang menggelar barang dagangan, menjadikan tempat ini seperti pasar kaget. Segala macam barang, dari mainan anak, pakaian, dan pelbagai jajaran kelihatan digelar di situ. Tak terkecuali tetabuhan yang riuh.

Di langit yang biru, seperti kemarin dan kemarinnya lagi, tampak awan berarak. Di bagian yang rendah tampak pula burung-burung putih, berkaki panjang dan bertelapak ceper, bersaing mendapatkan makanan. 

Di darat, sebelum naik ke kapal, Ceng Ho bersalam-salaman dengan segenap pengantar:menteri-menteri, pejabat-pejabat tinggi kerajaan, dan akhirnya menghormati dengan cara yang sangat mulia kepada sang kaisar.

''Ingat, negeri di luar Cina adalah sahabat. Kau tidak diperintahkan untuk membuat mereka takut pada kekuatan kita, tapi membuat mereka hormat pada kekuasaan kita,'' kata Zhu Di.

''Daulat, Paduka Kaisar,'' kata Ceng Ho.
''Selamat jalan,'' kata Zhua Di.



***


Sebentar lagi kapal Ceng Ho dan kapal-kapal pengiringnya bertolak. Yang ditinggalkan melepas dengan perasaan haru. Yang meninggalkan akan melambai-lambaikan tangan sampai orang-orang yang dilambaikan itu makin lama makin tak kelihatan dan selanjutnya hanya akan kelihatan darat yang samar-samar.

Ceng Ho dan Wang Jing Hong berdiri diatas melambaikan tangan ke bawah. Di situ angin menerpa-nerpa wajahnya dan menebas-nebas pakaiannya. Waktu keberlayaran mereka sekarang sekitar pukul 16.00. Di bagian bawah, di buritan, Tan Tay Seng duduk memainkan teh-yan dan menyanyi.

Makin lama makin banyak orang yang mengerumuni, mendengarkan nyanyiannya. Boleh dikata, dia tak pernah kekurangan uang. Sebab, dalam setiap kali menyanyi, orang-orang melemparkan keping uang tanda sawer. Dan, apabila orang melemparkan yang kepadanya, dia menghentikan nyanyian untuk mengucapkan terima kasih, lalu melanjutkan lagi nyanyian itu.

Ke timur atau ke selatan layar terkembang
Menyusur laut menghadapi ombak gelombang
Tak pernah aku merasa takut ataupun gamang
Karena Sam Po Kong memimpin kapal melanglang

Di selatan barangkali tempatku memadu cinta
Cinta dibangun dengan membayangkan sukacita
Kudendangkan harapan untuk didengar semua 
Jika tak suka dendangku tutuplah telinga


Dan kapal makin menjauh dari darat. Matahari pun mulai turun di barat. Sebentar lagi malam. Di dalam gelap segala kemungkinan dapat terjadi...

Beberapa jam kemudian, setelah hari menjadi gelap dan kapal telah berada di tengah-tengah laut, Ceng Ho berdiri di palka depan. Di sebelahnya ada Wang Jing Hong dan dua orang perwira berbusana khas Ming. Walau mereka menghadap ke depan, mereka tidak melihat apa-
apa. Langit dan batas laut tidak nampak di malam yang telah utuh sebagai lawan siang.

Ketika memandang ke depan, ke gelap, kelihatannya ada yang sedang diperkirakan Ceng Ho. Dia memikirkan Dang Zhua dan Hua Xiong. Menurutnya, sebagai juru tulis yang diberikan Liu Ta Xia itu, Dang Zhua dan Hua Xiong harus siap mencatat bagian-bagian yang paling kecil pun dari pelayaran muhibah ke selatan. Pada waktu itu, walaupun kepulauan Nusantara, khususnya Sumatera, dan lebih khusus lagi Jawa, berada di selatan, orang-orang selalu menyebutnya timur.

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 13:12
Ketika memikirkan tentang juru tulis itu harus menulis terperinci tentang pelayaran ini, Ceng Ho meminta Wang Jing HOng memanggilkan Dang Zhua dan Hua Xiong untuk menemuinya di palka ini.

"Tolong panggilkan kedua juru tulis yang diberi Liu Ta Xia itu datang ke sini. Mereka harus menulis gelap pertama yang kita hadapi. Gelap selalu punya arti khusus ketika besok matahari
datang," kata Ceng Ho.

"Baik," kata Wang Jing Hong, mengangguk takzim, berputar badan, dan pergi ke tempat untuk menemukan Dang Zhua dan Hua Xiong.

Untuk ke kamar Dang Zhua dan Hua Xiong, Wang Jing Hong yang merupakan orang terdekat Ceng Ho harus melewati sebuah koridor dan turun tangga ke bawah, berhenti di kamar paling ujung. Di depannya Wang Jing Hong berdiri sambil menyebut nama kedua orang itu.

"Ya," kata Dang Zhua, membuka pintu. Dia terkesiap melihat wajah Wang Jing Hong.
"Anda?"
"Sam Po Kong meminta kalian berdua ke atas," kata Wang Jing Hong. "Sekarang."
"Baiklah," sahut Dang Zhua.
Wang Jing Hong berlalu. Kedua orang yang disiasati Liu Ta Xia sebagai juru tulis itu lantas bergegas-gegas.

"Mau apa itu Sam Po Kong?" tanya Hua Xiong.

"Apa pun maunya, jangan lupa berpenampilan sebagai orang yang menguasai kebudayaan," kata Dang Zhua. "Sebab, tugas kita menulis pelayaran ini."

"Hewan saja bisa bermain pura-pura, masa kita, menusia, tidak bisa?" kata Hua Xiong.


***

Dang Zhua dan Hua Xiong pun ke atas. Di atas sudah tampak beberapa orang perwira. Setelah Dang Zhua dan Hua Xiong berada di situ, Ceng Ho meminta mereka semua masuk ke ruang rapat di belakang tempat mereka berdiri sekarang. Mereka masuk ke situ. Di situ, di atas sebuah meja besar, terbeber sebuah peta dunia. Walaupun peta itu tidak sama dengan peta zaman sekarang, peta itu, peta zaman Ming, telah cukup jelas memerinci bagian bumi, menunjukkan bahwa orang Cina sudah dapat membuat dengan sangat teliti gambar navigasi seluruh samudra, kecuali Atlantik, yaitu menaruh Cina sebagai negara pusat-sesuai dengan perkataan Cung Kuo atau Tiong Kok yang berarti negara di tengah-tengah-dan dua benua yang mengampitnya di wilayah dua samudra besar, Pasifik di timur dan Hindia di barat, yaitu tanah tepi sekitar Amerika Utara dan Alaska sekarang dan Kanada sekarang, sampai Afrika Timur. Dalam peta yang sedang ditunjuk Ceng Ho dengan tongkat tampak jelas nama Ka-Li-Kut di pantai selatan-barat daya India, kemudian Ormuz, kini bernama Bandar Abbas di selatan Iran, lalu ke barat lagi sampai di Aden, waktu itu masih merupakan negeri Arab, kini bagian dari negara Yaman, dan di sebelat baratdaya lagi tercatat nama kota pesisir timur Afrika, Mo-Ge-Do-Xu kini Mogadishu di negara Somalia. Sambil menunjukan laut di peta itu, yaitu sekitar garis 25 derajat Lintang Utara,

berkata Ceng Ho dengan serius, "Dari bagian laut ini sampai Quit Nhon di Campa nanti, cuaca tidak bisa diramalkan dengan tepat. Sebab, angin dari barat, dari daratan Cina yang luas akan bertemu dengan angin dari timur, dari samudra yang lebih luas dari daratan."

 "Kesimpulannya?" tanya seorang perwira. "Saya tidak menyuruh Tuan-tuan menyimpulkan," kata Ceng Ho tegas.

"Saya meminta Tuan tuan bersiaga." Dan dia melirik ke arah Dang Zhua dan Hua Xiong.

"Perubahan apa pun yang terjadi, saya harap hal itu bisa dicatat dengan terperinci." Lalu Ceng Ho melihat kembali ke wajah perwira yang bertanya tadi.

"Kalau sampai terjadi sesuatu yang terduga, karena cuaca yang tidak bisa diramalkan itu, tanggung jawab Anda untuk membuat prajurit yang mendayung di bawah itu tidak boleh mengantuk."

"Kalau ada yang mengantuk buang saja ke laut, biar jadi makanan ikan," kata perwira itu. Dia bermaksud melucu, tapi tak seorang pun yang tergerak hati untuk ketawa.

"Kembali ke soal tanggung jawab juru tulis," kata Ceng Ho memangkas omongan sambil mengarahkan pandangan penuh kepada dua orang yang dimasukkan Liu Ta Xia ke sini.

"Saya ingin semua yang hadir di sini memahami betul, dan karena itu harus menghargai tugas juru tulis pelayaran, sebab hasil kerja mereka yang akan disimak orang di kemudian hari tentang kebesaran Cina dan kejayaan Ming." Semua orang memberi aplaus kepada Dang Zhua dan Hua Xiong. Dan kedua orang ini pun kelihatan besar hati, tersanjung. Ceng Ho melanjut kembali.

"Tulisan yang akan dilakukan oleh juru tulis kita mudah-mudahan dapat ditulis dengan Wen Yen *) yang indah. Saya percaya Tuan-tuan bisa." "Selama ini belum ada hal-hal penting yang dapat dicatat dengan istimewa: kecuali katakan, ini gelap pertama di tengah laut yang mungkin baru dialami oleh banyak anggota ekspedisi ini," kata Ceng HO. Dan dia ajukan pembenaran kepada Dang Zhua dan Hua Xiong. "Bagaimana Tuan-tuan?" "Betul, Sam Po KOng," kata Dang Zhua.

"Dalam catatan yang saya buat, sudah saya gambarkan tentang gelombang penuh gelora yang akan hapus begitu kapal berlabuh di tanah tepi yang hijau oleh rerumputan pengharapan..."

"Tunggu," kata Ceng Ho memotong. "Saya ingat larik-larik itu. Itu adalah bagian dari puisi Thu Fu. **) Bukankah?"

"Betul sekali, Tuan Sam Po Kong," kata Dang Zhua memuji, mengambil hati.

Di luar gelap makin gelap. Malam makin malam. Ada yang tidur. Ada yang berjaga.

Kelihatannya malam yang berlalu, berlalu dengan tenang. Cuaca yang tidak bisa diterka itu, yang biasanya menakutkan pada malam hari, tidak mengganggu pelayaran. Siang datang menurut waktunya. Pagi cerah. Langit bersih. Awan-awan putih sepeti gumpalan kapas berpindah dari satu arah ke arah yang lain.


********
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 13:39
Manakala siang pun berakhir, dan senja menghampiri, berlanjut petang, dan kemudian malam lagi, orang-orang di kapal tetap melakukan kegiatan-kegiatannya. Di ujung hari, seperti kemarin, dan juga berulang besok-lusa-tulat-tubin, Tan Tay Seng menyanyi sambil mengesek teh-yan di buritan. Ulat sutra membangun rumah dalam kepompong Tak bisa ke mana-mana karena hidup terkurung Laba-laba membangun rumah menjadikannya jaring Bebas merdeka bergerak di dalam gelap dan terang.


***


Dan bilamana gelap kembali membungkus bagian bumi pada hari kedua pelayaran, orang-orang pun, sipil dan militer, melakukan kegiatan-kegiatan mematikan keletihan.

Di sebuah kamar kelihatan beberapa orang duduk berputar, bermain ceki. Orang-orang ini adalah yang mendaftar bersama-sama ikut dalam pelayaran ini: Bun Hau yang ahli menangkar walet, Yong Gong yang ahli gigi, Lu Shan yang ahli ming-xiang, Wan Sen yang ahli
membuat sutra. Mereka bermain ceki di atas sebuah ranjang besar yang bisa ditiduri oleh sepuluh orang.

Sambil menurunkan salah satu alat cekinya, Bun Hau berkata, "Aku peling benci kalau gelap begini mendengar orang menyanyi lagu yang tidak enak."

"Tapi di luar tidak gelap," kata Yong Gong. "Sebentar lagi akan berkunjung purnama."
"Purnama?" Wan Sen kelihatan senang. "Kenapa kita tidak keluar melihatnya?"
Dan Lu Shan mendukung itu. "Ya, itu gagasan bagus. Melihat purnama naik di kaki langit dan kepala laut pasti mengesankan."
"Betul," kata Yong Gong. "Ayo, Bun Hau, kita keluar. Main cekinya kita teruskan nanti."
"Aku tidak mau," kata Bun Hau. "Di luar si sinting menyanyi lagu tai. Lecet telingaku mendengar nyanyiannya."
"Kalau perlu kita suruh dia diam," kata Wan Sen.
"Ya, ayolah," kata Yong Gong lagi.
"Ah, tidak," kata Bun Hau."Kalian saja."

Akhirnya semua yang sekamar ini keluar. Tinggal Bun Hau seorang diri.



***

Di luar, di bagian kapal sayap kanan, di tempat yang tidak ada orang lain yang berdiri di situ, tampak Dang Zhua dan Hua Xiong sedang berbicara pelan-pelan sambil sesekali melihat ke belakang atau ke samping dengan gerak-gerik antara curiga dan awas.

"Sekarang kita sudah dekat dengan Ceng Ho," kata Dang Zhua.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 13:43
Hua Xiong mengangguk. "Apa tindakan kita selanjutnya?"

"Kita harus licin lebih dari belut," kata Dang Zhua. "Itu yang diajarkan Liu Ta Xia."

"Menurut teori Sun Tzu, musuh akan gampang dikalahkan jika jaraknya sudah dekat."

"Tidak," kata Dang Zhua mengatasi pikiran Hua Xiong. "Tidak ada perintah Liu Ta Xia untuk melakukan apa-apa, apa lagi pikiran yang baru melintas di otakmu itu. Tugas kita hanya menulis laporan. Kalau kita mau berhitung betul-betul, sebenarnya kesumat kita adalah yang harus diarahkan kepada pemain teh-yan itu. Dia yang pernah membuat kita kalah."

"Baiklah," kata Hua Xiong. "Lantas apa kau sudah menulis?"

"Persetan," sahut Dang Zhua. "Yang harus kita tulis adalah kebijakan-kebijakan Sam Po Kong. Dan kebijakan-kebijakannya itu harus kita pelintirkan dalam catatan tersendiri kita."

"Tadi dia sangat senang," kata Hua Xiong. "Kelihatan dia sangat suka ketika kau mengutip sajak Thu Fu."

Dang Zhua tertawa.


***

Ketika Dang Zhua dan Hua Xiong berbincang-bincang mengenai larik-larik puisi menyangkut Ceng Ho, pada saat yang sama Ceng Ho juga berbicara dengan Wang Jing Hong mengenai larik-larik puisi menyangkut Dang Zhua dan Hua Xiong.

Sambil berdiri di sebelah Wang Jing Hong yang mengawasi asisten Wang Jing Hong memegang kemudi kapal, berkata Ceng Ho dengan dahi mengerut tapi mulut tersenyum,

"Lucu sekali juru tulis yang diberi oleh Liu Ta Xia itu."
"Kenapa?" tanya Wang Jing Hong.
"Tadi saya bilang, puisi yang disitirnya itu karya Thu Fu," kata Ceng Ho. "Padahal itu bukan karya Thu Fu. Itu karya Wei Ying Wu."*)

"Jadi, apa maksudnya itu?" tanya Wang Jing Hong. "Apa itu berarti Anda curiga kepadanya?"

Ceng Ho terjeda sesaat. Dia tertawa kecil. "Tidak. Cuma, barangkali mereka berdua tidak tahu bahwa setiap pemimpin yang berkualitas harus mampu menangkap hal-hal yang tersirat dari
lambang-lambang puisi. Dua orang itu barangkali lupa bahwa kita ini bangsa Cina.

Kebudayaan paling tua yang berawal dari bangsa Cina adalah Wen Yen di atas kertas."
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 17:27
Sementara itu, menjelang larut, pelan-pelan datang bulan yang mungkin besok akan menjadi lebih bulat sebagai purnama. Di bagian dekat sana, di sayap kanan, Lu Shan, Wan Sen, Yong Gong, dan lain-lain sedang melihat ke langit. Suara nyanyian Tan Tay Seng masih juga berlanjut. Mungkin lantaran tak sentosa diam seorang diri di kamar, Bun Hau akhirnya keluar juga, mencari teman-teman sekamar. Ketika dia melihat teman-temannya itu berada di tempat di mana suara Tan Tay Seng terdengar jelas, berkatalah dia sambil menarik baju Yong Gong, "Ayo teruskan permainan kita." "Nikmati dulu purnama," kata Lu Shan "Purnama memang selalu memberikan janji keindahan dalam hati orang yang dimabuk asmara," kata Bun Hau. "Tapi, melihat purnama dengan suara berisik dari nyanyian musafir sinting, malah membuat perasaanku berada di dalam penjara." Ketika Bun Hau berkata begitu, dia bicara sambil berjalan di dekat tempat berdiri Dang Zhua dan Hua Xiong. Karena itu begitu Bun Hau berbelok di depan sana, Dang Zhua berbisik kepada Hua Xiong. "Kita sudah ketemu seorang yang dapat menjadi perpanjangan tangan kita di kapal ini,"
katanya.
Hua Xiong tertawa dan cepat-cepat menahan tawanya. "Kalau betul, Sobat," kata dia.

***
Dan kapal terus menembusi malam. Sedikit oleng begitu kapal memasuki Laut Cina Selatan. Walaupun bulan menerangi bentangan laut, keruan terasa saja hal-hal yang mengilhami kegamangan bagi mereka yang baru kali pertama mengarungi laut. Nanti malam akan pamit lagi pada ujung wilayahnya, lalu datang wilayah baru, yaitu pagi. Matahari di timur kelihatan cepat sekali naik. Sekarang laut kelihatan seluruhnya seperti suatu jarak yang tidak berujung. Laut kelihatan sebuah bulatan datar yang di ujungnya masingmasing, inci demi inci, bertemu dengan laut. Biru di bawah, biru di atas. Beberapa jam kemudian, menjelang senja, langit berganti warna. Tidak cerah lagi, tidak biru lagi, tapi kelabu. Walau begitu, di bawah sana, di kiri-kanan kapal, tampak lumba-lumba dengan girang mengiringi kapal. Percikan-percikan membuat bagai titik-titik putih, besar dan kecil, di atas biru yang amat tua. Kapal terus membelah laut dengan kecepatan luncur yang tetap. Pendayung di perut kapal bekerja keras diaba-abai oleh seorang berbadan tegap. Antara para pendayung dan penarik layar semua di bawah koordinasi yang rapi. Begitu juga, yang sangat penting, urusan perut bagi sekian banyak orang dilakukan oleh banyak koki dengan satu koordinasi pula. Sebagian dapur selalu kelihatan ramai. Di situ para koki, yang semua dikoordinasi Wu Ping, bekerja sibuk. Ada yang bagian meracik bumbu, ada yang memotong daging, ada pula yang menjaga api di dalam tungku-tungku. Sesekali Ceng Ho memeriksa juga bagian-bagian itu, berjalan di tengah para pendayung di perut kapal apabila kapal melawan angin, atau juga berjalan di bagian dapur melihat staf koki mengerjakan tugas masing-masing. Kini, pada jam makan, ketika semua orang berkumpul di ruang makan, Ceng Ho berdiri di ujung sana bersama Wang Jing Hong, kemudian berjalan pula di antara mereka dan memperhatikan dengan selintas keadaan mereka. Di antara semua orang yang makan di ruang makan itu ada
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 17:46
lah Dang Zhua dan Hua Xiong. Keduanya duduk di sudut berhadap-hadapan. Jika mereka berbicara sesuatu, tidak ada yang bisa mendengar, sebab di ruang makan ini semua orang berbicara sesuatu, dan masing-masing tidak sama masalahnya, sehingga suara di dalam ruang makan ini pun sama ramainya dengan pasar. Suara ratus-ratus menusia yang berbicara sambil makan merupakan bunyi kokofoni yang puntang-cerenang. Sambil berjalan di tengah orang-orang itu, Ceng Ho menangkap wajah-wajah mereka yang memberi salam kepadanya, terutama Dang Zhua dan Hua Xiong. ''Ceng Ho lewat,'' kata Dang Zuha. ''Biarkan saja,'' ujar Hua Xiong. Walaupun Ceng Ho tidak mendengar apa yang diperkatakan kedua orang ini, dia dapat menangkap sikap yang kelihatan selintas dari cara Dang Zhua mengatakan kalimatnya itu kepada Hua Xiong dan jawaban yang diperkatakan Hua Xiong. Oleh karena itu, sekeluar Ceng Ho dari ruang makan ini di bagian sebelan sana, dia pun menarik lengan Wang Jing Hong, berjalan ke atas, ke bagian kemudi.


***


Di ruang kemudi, sturman wakil Wang Jing Hong sedang memegang kemudi itu dengan mata terarah ke depan. Wang Jing Hong menepuk bahunya.
''Makanlah dulu,'' katanya.
Sturman itu pun turun ke bawah, ke ruang makan, dan Wang Jing Hong sekarang memegang langsung kemudi kapal ini. Sambil memegang kemudi itu dia bertanya Wang Jing Hong kepada Ceng Ho, ''Ada apa?''

''Saya mengerti,'' kata Wang Jing Hong. ''Tampaknya Anda menaruh curiga kepada mereka.''
Ceng Ho tersenyum. Dalam senyum ini barangkali dia meralat pikiran Wang Jing Hong itu.
Maka dia berkata, ''Mungkin bukan curiga, melainkan, katakanlah ada perasaan ragu. Curiga itu tidak baik. Itu cacat kita, cacat sebagian besar orang Cina, selalu cepat curiga kepada orang lain yang belum dikenal. Saya tidak curiga. Saya hanya ragu. Kalau saya bilang saya ragu itu bisa berarti saya berpikir maju seratus langkah.''

''Baiklah,'' kata Wang Jing Hong. ''Tapi apa yang membuat Anda ragu?''

''Keraguan saya sebetulnya tidak terarah langsung kepada mereka, tapi kepada Liu Ta Xia.

Kenapa Liu Ta Xia berpikir untuk menaruh mereka di dalam ekspedisi ini sebagai juru tulis.

Sementara dalam sejarah kita, sejarah Cina, kedudukan seorang juru tulis penting sekali.
 
Mereka penting, sebab dari mereka mengalir kata-kata yang indah. Siapa yang menguasai kata dengan sendirinya menguasai budaya, menguasai adab, membuat perang dan damai.''
''Lantas, apakah Anda ragu kepada kedua orang itu karena mereka tidak menguasai kata-kata?''
''Yang mengherankan, Dang Zhua memamerkan kesalahannya pada saya.''
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 17:52
''Soal apa itu? Soal puisi Thu Fu itu?''
''Ya. Dia bahkan tidak bisa membedakan mana kata-kata Thu Fu dan mana kata-kata Wei Ying Wu. Kalau dia juru tulis yang baik, dia harus membedakan pula bukan saja Thu Fu dan Wei Ying Wu, melainkan juga Tan Pih dan Li Tai Po. Kebesaran bangsa Cina terletak dalam
bahasa sastra. Juru tulis yang tidak paham Wen Yen sangat memalukan.''

''Kalau begitu, saya akan selidiki mereka.''

''Tapi lakukan dengan tangan orang lain.''

''Saya mengerti.''


***

Dan, bilamana malam tiba, Wang Jing Hong datang ke ruang Wu Ping. Malam belum terlalu larut, tapi karena letih Wu Ping sudah tidur, dan dia tidur dengan sangat pulas. Dengkurnya mirip orang-orang tua. Dia kaget dan melompat karena cara Wang Jing Hong membangunkan juga mendadak-dadak.

''Ada apa?'' kata Wu Ping hendak berlari.

''Sudah, tenang dulu,'' kata Wang Jing Hong menarik lengan Wu Ping agar duduk kembali ditempat tidurnya. ''Dengar, Wu Ping. Ini, ada tugas kecil untukmu.''

''Tugas apa itu?'' kata Wu Ping mengucak kedua matanya dengan kedua tangan.
''Sebagai juru masak mereka tidak akan menaruh curiga padamu.''
''Mereka?'' Wu Ping memandang muka Wang Jing Hong dengan perasaan yang menunjukkan ketidakmengertian. ''Mereka siapa?''
''Begini, Wu Ping,'' kata Wang Jing Hong dengan suara agak menurun. ''Juru tulis pelayaran ini, perlu kau ketahui, adalah orang-orangnya Menteri Liu Ta Xia.''

Wu Ping memandang dengan tatapan yang masih mewakili rasa ketidakmengertian. ''Jadi, kenapa orang-orangnya menteri itu?''
''Perlu kau ketahui juga, Menteri Liu Ta Xia satu-satunya dari pemerintahan Zhua Di yang menentang keras gagasan pelayaran ke selatan ini. Tapi sekarang, justru orang-orangnya itu yang dipekerjakan dalam ekspedisi ini sebagai juru tulis. Sam Po Kong menaruh rasa ragu terhadap mereka berdua, Dang Zhua dan Hua Xiong.''

''Apa mereka tidak becus?''

''Setidaknya Sam Po Kong menganggap mereka itu bukan golongan cendekia yang memahami serat-serat Wen Yen. Padahal bobot kecendekiaan kita bangsa Cina sangat ditentukan oleh penguasaan literer Wen Yen. Kata Sam Po Kong, orang yang memiliki kepandaian merangkaikan kata adalah yang memiliki kemampuan mencipta perang dan damai.''
Wu Ping mengangguk. ''Jadi tugasku menyelidiki mereka?''
''Kurang lebih begitu. Dan terserah kau. Apakah kau perlu perpanjangan tangan, atau kau sendiri yang memainkan peranmu, silakan saja memilih jalannya.''

Wu Ping mengangguk lagi. Lalu dia menguap. ''Hanya itu?''

''Ya,'' jawab Wang Jing HOng.

Dan Wu Ping langsung selonjor. ''Kalau begitu, biar aku lanjutkan lagi tidurku.''

Malam terus merangkak.

***

Di luar ruang tidur Wu Ping masih banyak orang yang belum tidur. Termasuk Tan Tay Seng. Dia pun masih duduk di buritan memainkan teh-yan. Sementara itu, di atas tiang pengintai, dibagian itu ada sebuah kotak besar untuk dua orang berdiri untuk melihat ke depan, tampak dua kakak-beradik, Tek Ceng dan Tek Goan, menggigil dan berkali-kali menguap.

''Uh, dinginnya,'' kata Tek Ceng sambil bergerak-gerak supaya gigilnya hilang. ''Sudah dingin begini, aku ngantuk juga.''
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 18:08
Dan, kata Tek Goan, ''Tidak usah bergerak-gerak begitu, nanti kotak ini jatuh. Diam saja, sebentar lagi fajar.''
''Kalau bisa, lebih enak kita tugas di sini pada siang hari saja. Ini gara-gara kamu, meminta kita bertugas di sini malam.''
''Ah, kau bersungut saja,'' kata Tek Goan. ''Tugas siang lebih tidak enak. Di siang hari kita dibakar matahari dari pagi sampai sore.''

Dan, sambil tetap menggigil lantas menguap lagi, Tek Goan berkata, ''Betul juga.''
''Tumben kau membetulkan aku?''
''Sebab kali ini aku belum mau berdebat.''
Tek Ceng mengantuk. Dia bisa tertidur dalam keadaan berdiri di dalam kotak yang berada dibagian paling atas dari tiang pengintai itu.


***


Padahal sebentar lagi subuh. Dan setelah itu terjadi penggantian tugas atas pekerjaan masingmasing yang dilakukan semua awak kapal. Menjelang subuh, seseorang memegang gong kecil, sejenis bende tapi dengan frekuensi yang tajam lagi pecah karena bentuknya yang pipih tanpa pencoan, berjalan mengelilingi kapal, sambil mengimbau-imbau, ''Bangun! Bangun! Sudah Subuh. Yang muslim segera siap menunaikan salat. Ayo, bangun! Bangun!'' Di bagian kapal yang digunakan untuk sembahyang terdengar pula beduk ditabuh.

 (Beduk itu pula yang kemudian menjadi model beduk-beduk di pesisir utara Jawa, tersebar antara Cirebon, Semarang, Tuban, dan Surabaya, yang dijadikan sebagai peranti waktu di masjid-masjid. Model beduk itu di Cina telah dikenal sejak 2.700 tahun sebelum Masehi, sekitar zaman Huang Ti, dirancang atas titah Kaisar Tsche Teu, dan merupakan salah satu instrumen yang dimainkan bersama instrumen-instrumen lain di dalam istana, atas nada-nada khas Cina, Huang Mei Tiau.  Yaitu, susunan titilaras Hoang-Tscung, Tay-Tsu, Ku-Si, Jui-Pim, Y-Tse, dan Ou-Y, kira-kira sama dengan hukum musik Barat dalam F, G , A , B, cis, dis).

Setelah beduk ditabuh, tak lama kemudian terdengar suara nyaring muazin menyerukan umat untuk bersalat. Ceng Ho telah hadir lebih awal di ruang sembahyang di antara mukmin yang lain, yang tergolong minoritas di kapal ini dan kapal-kapal yang lain.



***

Tak lama setelah itu, manakala surya pelan-pelan memancarkan cahaya di laut, Tek Ceng dan Tek Goan turun dari atas kotak pengintainya. Mereka turun dari atas dengan bergayut pada tali-tali yang panjang dan pegas. Fajar sebentar lagi tiba.
Sebelum fajar tiba, ketika Wu Ping mengontrol para koki menyiapkan sarapan, Wang Jing Hong menemuinya. Wang Jing Hong menarik lengan Wu Ping berjalan ke atas, ke bagian kemudi, dan berbicara dengan suara tidak keras, dan bahkan sangat pelan.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 18:12
"Nanti, begitu mereka semua sarapan, laksanakan tugasmu itu," kata Wang Jing Hong. "Nah, apakah kau akan melakukan sendiri atau membutuhkan tangan yang lain."

"Aku sendiri saja," kata Wu Ping.

"Waktu untukmu cukup sekali," kata Wang Jing Hong. "Sebab, setelah sarapan, Ceng Ho akan meminta bicara dengan mereka bersama perwira-perwira yang lain. Periksa, apa betul mereka sudah menulis. Dan, apa yang mereka tulis."

"Akan aku laksanakan," kata Wu Ping.


***

Wu Ping menunggu waktu itu. Sementara itu, sehabis sarapan, semua perwira berkumpul di ruang rapat. Ceng Ho berada di tengah-tengah. Di dekatnya duduk Wang Jing Hong. Dang Zhua dan HUa Xiong masuk ke
ruang itu agak belakangan. Mereka duduk berseberangan dengan Ceng Ho.

"Begini," kata Ceng Ho memulai pertemuan ini. "Kita patut bersyukur bahwa sampai hari ini keadaan kita selamat, tidak ada gangguan cuaca, gelombang, dan sebagainya. Mudah-mudahan pelayaran kita akan terus mulus."

Lantas Ceng Ho menengok ke arah Wang Jing Hong. "Bagaimana, Wang Jing Hong?"

"Menurut ramalan cuaca, sampai tiga hari lagi kita belum memasuki garis rawan navigasi," kata Wang Jing Hong.

"Coba terangkan kepada rapat," kata Ceng Ho.

"Di garis yang saya sebutkan itu, di situ merupakan wilayah yang rawan sekali. Gelombang besar karena pertemuan angin, antara puting beliung ataupun taufan, bisa saja sewaktu-waktu terjadi. Tidak seorang pun yang dapat menerka laut di selatan ini," kata Wang Jing Hong.

"Itu artinya kita semua harus waspada," kata Ceng Ho.

"Tapi nanti, setelah wilayah rawan itu, di hari berikut kita akan tiba di tanah tepi melewati Pulau Hai-Nan, masuk ke Pelabuhan Qui-Nhon, Campa," kata Wang Jing Hong.

"Walaupun kita akan melewati wilayah rawan itu, saya harap semua dapat berserah. Menurut teori, kapal ini adalah kapal yang paling sempurna. Meskipun pecah oleh badai, teorinya kapal ini tidak akan karam. Setidaknya itu kata pembuatnya. Tapi, sekali lagi, mari berserah, dan jangan takabur. Sebagai muslim, saya hanya bersandar kepada kerahaman dan kerahiman ilahi. Allah adalah nakhoda agung saya."

Semua yang hadir dalam rapat, yang tidak semua muslim, dan bahkan sebagian besar beragama Zu Xian Jiao atau agama leluhur yang berpadu antara Tao, Buddha, dan Kong Hu Cu, mengangguk-anggukkan kepala tanda memahami dan menakzimi Ceng Ho.

***


Bersama dengan itu, di ruang Dang Zhua dan Hua Xing, tampak Wu Ping memeriksameriksa. Berlembar-lembar kertas berserak di situ. Wu Ping mengambil satu dan satunya lagi, lalu memperhatikan tulisan-tulisan di atasnya yang menggunakan kuas khusus, pit, dan menyimpulkan bahwa tulisan itu tidak bagus. "Patutlah kalau Sam Po Kong menaruh ragu terhadap kedua juru tulis ini. Tulisan mereka seperti cakar ayam. Mereka bahkan tidak menguasai Wen Yen." Wu Ping merasa puas karena bisa memperoleh bukti tentang kedua orang juru tulis itu. Salah sebuah kertas, yang berisi tulisan tangan dang Zhua, dan tulisan itu gagal, telah berbiar-biar di bawah. Wu Ping memungutnya, melipatnya, dan memasukkan di balik bajunya. Setelah itu Wu Ping keluar dari ruang Dang Zhua dan Hua Xiong itu. Dia bergegas-gegas pergi ke atas, menaiki tangga-tangga, sampai ke tempat orang-orang itu berapat. Di ruang besar untuk rapat itu Ceng Ho masih melanjutkan percakapannya kepada sidang. Wu Ping tidak masuk ke dalam. Dia hanya menunggu di luar. Di luar dia dapat mendengar isi pembicaraan Ceng Ho. Dan dia menunggu di situ sampai Ceng Ho selesai berbicara.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 18:25
Tampaknya Ceng Ho sangat berharap sesuatu yang benar-benar final dari kedudukan Dang Zhua dan Hua Xiong dalam ekspedisi besar ini.

Sebab, sambil mengarahkan pandangannya kepada Dang Zhua dan Hua Xiong, berkatalah Ceng Ho tegas, "Terus terang saya ingin suatu catatan perjalanan kita ini ditulis dengan bahasa yang indah, yang memenuhi syarat-syarat objektif We Yen. Saya ingin catatan perjalanan ini dibaca orang pada abad-abad mendatang sebagai suatu cerita yang mengasyikkan. Misalnya, bagaimana dahsyatnya Laut Cina Selatan -mudah-mudahan tidak ada masalah di situ nanti- bagaimana orang-orang di daratan Campa, Andalas, dan Jawa."

"Mudah-mudahan hal itu memuaskan Tuan," kata Dang Zhua. Kapal terus melaju ke selatan. Di depan sana langit tidak biru lagi tapi berubah menjadi abuabu. Laut di bawah pun kelihatan hitam. Sementara matahari terus pula nampak seperti bola merah silau ditutupi oleh awan. Ketika matahari terbenam, maka orang-orang bertugas malam, siap-siap menduduki tanggung jawabnya. Termasuk yang paling penting dua bersaudara yang bertugas di tiang pengintai, Tek Ceng dan Tek Goan. Kedua kakak-beradik ini sangat rukun, tapi sangat sering berdebat, lalu berujung dengan berkelahi, dan akhirnya berpeluk-pelukan rukun kembali. Sekarang Tek Ceng yang berceloteh lebih dulu.

"Membosankan sekali. Tidak ada yang dilihat, tapi kita bertugas
melihat terus. Dari hari ke hari yang kita lihat sama melulu."

"Tidak seluruhnya sama, Tek Ceng," kata Tek Goan. "Menurutku, sama," kata Tek Ceng ngotot. "Kaki langit sebelah sana sudah lebih dulu hitam daripada yang di sana." "Sana? Sana yang mana?" "Yang itu." "Maksudku, apa namanya secara mata angin." "Selatan."

 Tek Goan ketawa. "Yang itu kaubilang selatan? Goblok. Itu bukan selatan." Lalu Tek Goan menunjuk ke suatu arah yang lain, yang khusus. "Lihat. Yang selatan itu sana." "Alah, hanya beda tipis antara sana dan sana," kata Tek Ceng menyepelekan. "Di tengah laut begini orang boleh saja menunjuk dengan beda-beda tipis."

"Goblok," kata Tek Goan. "Tidak boleh begitu. Justru di laut kita harus menunjuk arah mata angin dengan persis. Kita bukan di barat. Kalau di darat kita tersesat masih ketemu dengan pohon, dan di bawah pohon kita berteduh dan memakan buahnya, dan seterusnya. Tapi di laut, tidak bisa begitu. Kesalahan yang kaukira hanya beda tipis, bisa mengakibatkan fatal, terbawa arus, mati konyol. Yang kautunjuk itu tadi namanya tenggara."

"Nah, itu kan tidak terlalu besar selisihnya," kata Tek Ceng tetap ngotot. "Tenggara itu kan beda dalam apitan antara selatan dan timur."

"Dasar goblok, ya goblok juga," kata Tek Goan. "Bagaimanapun kau tidak boleh berpikir begitu. Selatan adalah selatan. Timur adalah timur. Tenggara tidak boleh dibilang apitan selatan dan timur."


"Ah, aku hanya ingin menyatakan bahasa yang gampang dipahami awam."

"Nah, semakin goblok," kata Tek Goan. "Kita bukan awam."

Tek Ceng jengkel. "Alah, sudah, aku tidak mau berdebat dengan kau. Cuma soal kecil, soal tenggara yang jadi selatan saja kok repot begini."

"Lo? Tugas kita memang harus repot, goblok."

Tek Ceng langsung mengeplak kepala Tek Goan. "Kamu terlalu banyak mulut."

Tek Goan naik pitam. "Kenapa kaupukul aku?" Sambil berkata begitu dia pun melayangkan tinju ke muka Tek Ceng.

Kemudian Tek Ceng membalas lagi. Dan akibatnya mereka pun berkelahi di atas kotak pengintai itu. Perkelahian itu menjadi seru sekali. Akhirnya Tek Goan terkeluar dari dalam kotak dan menggelantung di tali, terayun-ayun di situ.



***


Wang Jing Hong kebetulan keluar dari bagian kemudi dan berjalan ke geladak. Sisa purnama cukup terang untuk melihat Tek Goan yang bergelantung di atas. Bukan hanya itu yang dilihatnya. Juga dilihatnya bagaimana Tek Ceng mengambil tali yang satu lantas bergayut untuk menendang Tek Goan di atas sana. Wang Jing Hong terperanjat melihat adegan di atas itu.

"Apa yang mereka lakukan di atas itu?" Kemudian Wang Jing Hong lekas-lekas masuk kembali ke ruang kemudi, bercakap dengan sturman yang sedang berdiri di belakang kemudi. "Lihat itu di atas." Sturman itu keluar lantas menengok ke atas. Katanya masygul. "Wah, risiko paling buruk bisa saja terjadi." "Cepat, beri tahu Sam Po Kong." Sturman yang disuruh oleh Wang Jing Hong itu lekas-lekas pergi ke ruang Ceng Ho. Sementara itu kedua kakak-beradik yang suka berkelahi tapi cepat juga berdamai masih berjuang untuk saling mengalahkan.

Kelihatannya si adik lebih tangkas. Setelah terayun jatuh dari tiang, dia kembali dengan gerakan aneh, memutar badan kepala di bawah, lantas dengan begitu kedua kakinya disepakkan ke dada kakaknya. Kendati yang kakak telah dua kali kena sepak, tidak juga sang kakak menghentikan perkelahian yang berbahaya itu.


***


Sturman yang disuruh Wang Jing Hong kini telah berada di depan kamar Ceng Ho. Dia mengetuk pintu sambil mengucapkan sesuatu yang mengisyaratkan adab, "Selamat sejahtera, Sam Po Kong."

Ceng Ho menyuruhnya membuka pintu. Dari dalam kamarnya dia berkata, "Dorong saja pintunya."
Sturman itu melakukan yang dikatakan Ceng Ho. "Maaf, Laksamana," katanya. 

"Ada keributan di atas tiang pengintai."

"Keributan berapa orang?" tanya Ceng Ho, tidak terkejut.

"Dua orang, Laksamana," sahut sang sturman. "Mereka yang bertugas mengintai navigasi. Mereka berkelahi di atas sana."

Seperti tak acuh, Ceng Ho berkata dalam kalimat tanya yang datar, "Lantas, apa keistimewaan dari perkelahian itu?"

"Rawan, Laksamana," jawab sturman itu. "Juru mudi Wang Jong Hong menyuruh menyampaikan ini kepada Anda."

"Supaya saya tidak mengulang-ulang bicara, hafal saja kata-kata saya ini: tidak perlu mengurus orang yang berkehali, kalau perkelahian itu menyangkut harga diri mempertahankan kebenaran."

"Jadi, apa yang harus saya katakan kepada juru mudi Wang Jing Hong, Laksamana?"

"Katakan kepadanya, biar saja orang dua itu berkelahi. Orang perlu berkelahi, memakai otot, kalau sarana otak sudah tidak bisa mewakili pertahanan kebenaran terhadap lawan. Mengerti kamu?"


"Mengerti, Laksamana."

"Kalau begitu, cepat pergi. Dan, tutup kembali pintu yang kamu buka tadi. Saya akan melanjutkan istirahat."

Sturman itu pun pergi.


***

Ternyata perkelahian kakak-beradik itu kian seru. Kini mereka telah turun di geladak. Mulamula Tek Ceng yang meluncur ke bawah. Kemudian Tek Goan meluncur pula ke bawah. Di bawah sinilah mereka melanjutkan perkelahian. Segala macam gerakan mereka peragakan. Perkelahian yang ramai di atas geladak ini membuat orang-orang yang tadinya sudah siap hendak istirahat, tidur, lantas sebagian keluar lagi dari kamar masing-masing, numpluk di geladak  menyaksikan perkelahian ini. Tan Tay Seng, yang sejak tadi menyendiri di buritan, kini datang pula ke geladak, menyaksikan perkelahian kakak dan adik itu. Di situ Tan Tay Seng duduk di tali kapal yang tergulung, memainkan teh-yan dan menyanyikan lagu yang dibuatnya dengan mudah. Apalah bedanya seorang tukang judi Atau pun seorang yang sedang kelahi Keduanya berpikir dirinya akan menang jika mereka kalah mereka akan berang. Begitu nyanyian Tan Tay Seng. Dan, adalah karena nyanyian itu pula yang membuat Dang Zhua dan Hua Xiong keluar dari kamar mereka, berdiri agak ketinggian, menyaksikan perkelahian Tek Ceng dan Tek Goan. Di tempat berdiri mereka, berkata Dang Zhua kepada Hua Xiong, "Kita bisa manfaatkan salah satu dari dua kakak-beradik itu untuk menjadi kaki tangan kita."

 "Kelihatannya kedua-duanya memiliki kadar keras kepala yang sama," kata Hua Xiong. "Kita dekati mereka di meja makan nanti." "Ya, aku dekati yang kakak, kau yang adik." Sementara itu perkelahian Tek Ceng dan Tek Goan telah merangsang orang untuk bersoraksorai, bertempik-sorak, bersuat-suit. Pada suatu gerakan Tek Goan terpelan-ting ke bagian orang-orang yang menonton. Seseorang yang terjorok oleh pelantingnya Tek Goan lantas mendorongnya ke depan. Tapi kaki Tek Goan tersepak lalu jatuh ke samping orang yang mendorong tadi. Orang ini pun marah lantas mendorong pula orang yang berdiri di sebelahnya. Orang yang terdorong ini lantas langsung memukul kepada orang yang mendorong. Terjadi senggol-senggol dengan yang lain lagi, sehingga ujungnya terjadi tawur. Ramai sekali. Di saat tawur ramai begitu, Ceng Ho turun ke situ, dan melibas satu per satu. Semua yang dilibas Ceng Ho langsung tumbang dan tergeletak di lantai. Tidak seorang pun yang sanggup berdiri setelah dilibas Ceng Ho. Tak ayal, berbicara cempiang yang paling ampuh di dalam pelayaran ini, niscaya itu adalah Ceng Ho belaka.

Setelah semua tumbang, termasuk Tek Ceng dan Tek Goan, berkatalah Ceng dengan nada perintah, "Sekarang semuanya bubar."


Orang-orang itu pun berdiri. Tek Ceng dan Tek Goan harus kembali lagi ke atas, ke kotak pengintai.

Sebelum semua pergi, Ceng Ho berkata, "Itu tadi adalah latihan. Latihan akan dilangsungkan kapan-kapan lagi."

Di atas gulungan tali Tan Tay Seng menyanyi lagi:

Siapa yang dikungkung kebodohan Pasti gampang dibakar kemarahan Kita berikan ucapan penghormatan Kepada yang menjauhi perbantahan.
Tan Tay Seng masih terus menyanyi sampai dia mengantuk dan tertidur di gulungan tali itu.

Sebentar lagi bulan kehilangan cahaya pucatnya. Dan malam berlanjut dengan angin yang menderu-deru bersamaan dengan buih-buih di depan kapal yang dibelah oleh kelajuannya.

Kembali ke pekerjaan Dang Zhua dan Hua Xiong. Apakah Ceng Ho puas dengan jawaban mereka?

''Sudah sampai setebal apa yang kalian tulis?'' tanya Ceng Ho.
''Maaf, Sam Po Kong,'' kata Hua Xiong. ''Kami baru mulai.''

Dan kata Dang Zhua menimpali dengan segera, ''Setidaknya sudah kami bikin catatan-catatan yang bersifat kerangka.''

''Kerangka?'' tanya Ceng Ho.

''Sebelum kami tulis, kami sepakat membagi bagian kami masing-masing, supaya tidak tumpang-tindih, dalam bentuk kerangka terlebih dulu. Dan, nanti setelah itu kami menulis sesuai dengan kerangka itu.''

''O, begitu?'' tanya Ceng Ho. ''Jadi, kapan kalian menulisnya?''

''Setelah pelayaran ini tuntas seluruhnya,'' kata Hua Xiong dengan tidak ragu. ''Setelah kami pulang kembali ke Cung Kuo.''

Ceng Ho mengangguk-angguk, menimbang dengan nalar, dan kemudian bisa memahami itu.

Katanya, ''Boleh saja. Itu bagus juga. Saya percaya. Tulislah itu dengan indah demi Ming.''

''Ya, demi Ming,'' ujar Dang Zhua. ''Pokoknya, di abad-abad mendatang orang tidak hanya bicara karya tulis T'ang, tapi juga Ming.''

Semua yang duduk di ruang rapat itu memberi aplaus kepada Dang Zhua. Dan Dang Zhua lantas keranjingan oleh pujian itu. Hanya orang yang tidak bisa mengukur diri yang memang tidak menyadari beratnya suatu pujian. Biar saja.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 18:28
Di saat orang memberi aplaus kepada Dang Zhua dan Hua Xiong itu, bersamaan di luar ruang rapat Wu Ping melambaikan tangan kepada Wang Jing Hong. Melihat lambaian itu Wang Jing Hong pun segera berdiri dari tempat duduknya, berjalan keluar, mendapatkan Wu Ping.

''Bagaimana?'' kata Wang Jing Hong seraya menarik lengan Wu Ping supaya berdiri bersandar di dinding luar ruang rapat itu.

''Memang betul,'' kata Wu Ping.

''Apa maksudmu?''

''Saya membawa secarik kertas.'' Wu Ping mengeluaarkan kertas itu dan menyerahkan kepada Wang Jing Hong. ''Ini. Kelihatannya orang-orang itu tidak pandai membuat huruf. Tulisan mereka seperti cakar ayam. Huruf-huruf yang mereka buat sama sekali tidak indah.''

''Coba saya lihat,'' kata wang Jing Hong mengambil kertas itu lantas menyimaknya.

''Ya, memang betul. Ini bukan tulisan orang yang berpengalaman. Ini bukan juga cakar ayam, melainkan mungkin lebih tepat dikatakan sebagai cakar congor binatang haram, babi, yang bermain-main lumpur tahi.''

Wu Ping ketawa. ''Ya, betul.''

''Nanti saya akan tunjukkan kepada Sam Po Kong,'' kata Wang Jing Hong seraya melipat kembali kertas itu lantas memasukkan ke dalam bajunya.
Dan Wang Jing Hong masuk lagi ke dalam ruang rapat itu.
Maksudnya hendak duduk kembali di kursinya tadi, tapi bersamaan dengan itu Ceng Ho berkata, ''Untuk sementara pertemuan kita selesai dulu.''



***


Semua yang ikut dalam rapat itu keluar dan kembali ke tempat masing-masing. Hanya Ceng Ho yang tetap di ruang itu, duduk, di kursinya.
Wang Jing Hong menghampirinya, duduk di sebelahnya. Katanya, ''Apa yang Anda ragukan bisa saja dibenarkan.'' Wang Jing Hong pun mengeluarkan kertas secarik itu dari dalambajunya dan membenarkannya di atas meja. ''Ini tulisan mereka.''
Ceng Ho mengambil kertas itu dalam menyimaknya. Tulisan di atas kertas itu, tak diketahui Ceng Ho apakah dibuat Dang Zhua atau Hua Xiong, berupa empat kata bersusun empat-empat:
Apa maknanya?

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 21/08/2008 18:36
Ceng Ho menyimak sambil berpikir. Susunan yang pertama adalah ''Wo''. Artinya, ''aku''.

Yang kedua bacanya ''k'o'', artinya ''tugas'' atau 'berlatih'.

Yang ketiga bacanya ''tzu'', artinya''kata yang tertulis''.

Akhirnya Ceng Ho menyimpulkan, ''Kelihatannya mereka sedang belajar.''

Lalu, kata Wang Jing Hong, ''Tapi aneh. Mereka menulis pakai apa ini? Ini bukan tulisan dengan pit.'' *)

Ceng Ho tertawa. Dia mengejek. ''Mungkin mereka menulis pakai nga-ciam.'' **)

''Apakah itu berarti Anda sedang meningkatkan keraguan Anda menjadi curiga?'' tanya Wang Jing Hong.

''Tidak,'' sahut Ceng Ho tegas. ''Jangan menunjukkan bahwa kita sudah tahu. Yang jelas kita boleh tidak percaya kepada mereka memang dipasang di sini oleh orang yang tidak setuju
pada ekspedisi ini.''


***

Besok malam, pada jam makan, tampak Dang Zhua duduk mendekati Teng Ceng, dan Hua Xiong duduk di dekat Tek Goan. Seperti bisik-bisik mereka tadi malam, mereka lakukan sekarang, memanas-manasi satu dengan lainnya. Mula-mula, di sebelah Tek Ceng, berkata Dang Zhua untuk membangkitkan dengki, "Saya mengagumi sikapmu. Memang begitu harusnya orang bersikap. Menurut saya, kalau prinsip sampai dilecehkan, memang jalan keluar untuk menyelesaikannya, ya kelahi." "Sejak kecil kami memang selalu kelahi. Badan saya lebih kecil darinya, tapi dia selalu tidak pernah menang. Walaupun dia selalu kalah, dia tidak pernah mau takluk." "Tapi sikapmu itu betul sekali. harusnya Sam Po Kong jangan memisahan dulu.

Inisiatif Sam Po Kong tadi malam terlalu terburu-buru. Benar begitu kan?" Tek Ceng mengangkat bahu. "Entah." Lain lagi yang dibicarakan Hua Xiong kepada Tek Goan. Dia memulai percakapannya dengan memuji Tek Goan. Beda dengan Dang Zhua yang memulai pujian menyangkut sikap orang yang akan dipujinya maka Hua Xiong memuji aksi Tek Goan tadi malam.

Kata Hua Xiong, "Saya lihat caramu meluncur dari tiang pengintai untuk menyerang lawanmu, memang luar biasa."

Yang dipuji tidak makan puji. Tek Goan menjawab enteng-enteng saja. "Ah, itu biasa saja."

Hua Xiong mencoba meyakinkan, dan sebetulnya dia tidak pandai berbual untuk membuat orang yakin. Katanya, "Sungguh mati, itu luar biasa."

Tek Goan hanya melirik. Tidak berkata apa-apa. Dia terus menyumpit makanan dihadapannya dan memasukkan ke mulut, mengunyah-ngunyah dengan sikap tidak hirau.

Hua Xiong terus berusaha mengakrabkan diri. "Tapi setidaknya kau belajar kungfu"

"Belajar kungfu bukan hal yang luar biasa," jawab Tek Goan, tetap pada sikap semula, tak termakan oleh pujian Hua Xiong.

"Di mana kau belajar?"

"Kami belajar bersama-sama."

"Belajar bersama-sama?"

"Ya. Lawan saya itu saudara sekandung saya. Sejak kecil kami belajar di Kuil Zhen-Zhou."

"Kalian kakak-adik?"

"Ya. Kucing dan anjing. "Tek Goan ketawa. "Dan untuk hal-hal istimewa, dalam bertahan untuk tidak mengalah, kami adalah harimau-harimau."

"Oh? Begitukah?" Hua Xiong menunjukkan dirinya kagum, tetap untuk membuat Tek Goan menjadi akrab dengannya, dan supaya dengan begitu, ingin memanfaatkannya. "Nah, kalau begitu, itu memang luaar biasa."

"Tidak juga," kata Tek Goan. Dia tetap tidak terpengaruh.
Oleh sebab itu, katakanlah untuk sementara, niatan-niatan Dang Zhua dan Hua Xiong untuk memperalat Tek Ceng dan Tek Goan tidak mendapat landasan.



***


Kapal terus meluncur ke selatan. Sejauh ini belum ada tanda-tanda khusus yang bisa dilaporkan dari tiang pengintaian. Bahwa kapal oleng, dan olengnya lumayan kuat, itu sudah sering. Dan apakala
kapal oleng begini, banyak orang yang baru pertama ini berlayar, merasa amat gamang. Barangkali besok kapal akan memasuki wilayah yang disebut Wang Jing Hong sebagai garis rawan navigasi. Di situlah kiranya kegamangan itu akan menjadi pelajaran bagi manusia, bahwa manusia mesti berserah saja kepada yang maha. Mereka yang Muslim, seperti Ceng Ho, Wang Jing Hong, dan Wu Ping berseru kepada Allah taala. Mereka yang berkepercayaan Jing Tian Zun Zu *) dan memegang agama leluhur Zu Xian Jiao**) berserah pula kepada Fo-Zhu***), Apakala kapal mulai memasuki apa yang disebut Wang Jing Hong sebagai ''garis rawan'', segenap awak bersiap-siap.

 Tampaknya untuk segala hal hanya persoalan mati di dalam hidup yang mesti dihadapi manusia sebagai kepastian, sisanya niskala. Ini bukan hanya persoalan di laut, di mana orang harus menunggu dengan sabar, dengan bimbang, dengan wasawas akan tanah tepi yang memberikan pengharapan, melainkan juga di darat di mana orang menerka-nerka akan kepastian itu.

***


Sekarang, tinggalkan sejenak hiruk pikuk di kapal, di atas laut raya yang tak pernah sepi akan rahasia, lantas longok sejenak ke darat. Di sebuah taman, di pinggir kolam, Permaisuri duduk melemparkan remah-remah bagi ikan koki warna-warni di situ. Ikan-ikan itu semoreh menangkap makanannya. Permaisuri menikmati sekali kesendirian itu.

Tapi tak lama kemudian dia terkinjat, karena dari belakang muncul sosok, menyapanya dengan keramahan yang tidak sejati. Orang yang menyapa ini Liu Ta Xia. Dia tetap seekor hewan tertentu yang memiliki kesabaran khas untuk suatu perburuan. Padahal dasarnya hanya satu: dia tidak setuju program Kaisar yang sudah berjalan, mengutus Ceng Ho ke selatan membawa armada sedemikian besar. Sapanya kepada Permaisuri membuat Permaisuri merasa terganggu.

Padahal ucapan pertama yang dikatakan Liu Ta Xia adalah, ''Maaf, Tuan Putri, seandainya ini mengganggu kesendirian Tuan Putri.'' Karena terkejut dan merasa terganggu, berkata Permaisuri dengan menggeser tubuhnya, ''Sudah kukatakan, jangan terlalu sering menemui aku di tempat terbuka. Apalagi yang kauinginkan?'' Liu Ta Xia membungkuk badan dengan sikap takzim yang berlebihan, nyaris palsu. Katanya, ''Maaf, Tuan Putri, aku hanya ingin bilang, tidak bisa tidur tadi malam.'' ''Apa?'' Permaisuri melengos sejenak lantas memandang Liu Ta Xia. Tak pelak, kata-kata Liu Ta Xia adalah pernyataan yang sangat gombal, khas lelaki. Dia memang bermaksud merayu. Katanya selanjutnya, ''Tuan Putri terus hadir di selaput jala mataku, masuk ke hatiku.'' Permaisuri mencibir walaupun ada bunga yang pelan-pelan mekar di sukmanya. Katanya membalik belakang, ''Jangan libatkan aku dalam persoalan hatimu.

Aku benci mendengar pernyataan cengeng seperti itu.'' Liu Ta Xia membuat dirinya tampil setulus mungkin. Katanya, ''Aku tidak pura-pura, Tuan Putri.'' Permaisuri tertawa. Keterbukaan yang tidak dirancang mulai nampak dalam sekejap. Kata Permaisuri,

''Kalaupun kau pura-pura, siapa yang peduli? Aku tidak peduli. Aku tidak mau peduli dengan persoalan hatimu itu.'' Dia berpindah tempat, berjalan ke samping, dan siap meninggalkan kolam itu.

''Maaf, aku akan berlalu.'' Dan dia pergi. Liu Ta Xia melengung. Tapi kemudian dia mengejar. ''Tunggu sebentar, Tuan Putri. Tunggu.'' Namun Permaisuri abaikan itu. Dia tetap berjalan, langkahnya panjang.Tinggal Liu Ta Xia berdiri bengong, berdiri kaku, berdiri dengan hati yang tawar, memandang tubuh Permaisuri dari belakang. Sambil memandang sosok Permaisuri yang akan hilang di balik pohon-pohon taman yang indah, asri, dan menyurga bagi pikiran yang sumpek, berkata Liu Ta Xia bagi pelomba yang tidak menang, ''Bagaimana caranya aku menaklukkan batu karang supaya aku dapat memanfaatkannya menjadi fondasi dari istana yang kubangun dalam akalku.'' Dengan ekawicara itu kelihatannya Liu Ta Xia hendak menjadi arif. Orang arif biasanya memahami arti keperkasaan sang waktu. Setiap orang memang ingin menjadi arif. Termasuk orang-orang bebal dan fasik sekalipun. Jamak saja gerangan pungguk merindukan bulan.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 11:55
Ekawicara yang berlangsung dalam diri Liu Ta Xia tidak berhenti di situ saja. Gaungnya masih bersipongang sehari, dua hari, tiga hari, berhari-hari. Manakala terjadi jua keterbatasan akal yang tak kunjung berhasil menjawab keperkasaan sang waktu, rahasianya hari esok, jawaban akan nasib, maka orang pun lantas membutuhkan orang lain yang dapat mengurai garis takdir. Liu Ta Xia sangat percaya pada leluri ini. Karena itu pergilah dia mencari orang lain yang dimaksudkan itu. Pembantunya menunjuk sebuah tempat sebuah nama sebuah jaminan. Bersama dengan dua orang pembantunya, Liu Ta Xia memacu kuda ke sebuah tempat di luar kota, melewati padang dan menyeberangi anak sungai lalu melampaui lagi tanah kering. Debu beterbangan mengaburkan jalanan. Ke mana mereka?


***

Tujuan mereka sebuah huma di bukit. Pada siang hari huma itu kelihatan seperti sebuah bintik merah di tengah pohonan hijau yang membelukar di sekelilingnya. Nanti, setelah dekat, setelah mendaki jalanan berbatu, orang akan melihat rumah berwarna merah ini sebagai tempat seseorang yang tidak sama dengan tempat-tempat tinggal umumnya. Pemilik huma ini kelihatannya tak hirau terhadap interior. Dalamnya kosong. Kursi kayu sudah reyot. Cahaya siang masuk ke dalam huma ini dari empat penjuru.
Liu Ta Xia ragu berdiri di depan. Pertanyaannya yang pertama kepada pembantunya itu, ''Apa betul orang ini sanggup?''
''Ya, Tuan Menteri,'' jawab pembantunya. (Harus diketahui bahwa ''pembantu'' dalam hubungan ini bukan ''babu'' atau ''jongos'. Melainkan, orang yang mengerjakan pelbagai tugas yang berhubungan dengan kedudukan Liu Ta Xia sebagai menteri.)
''Apakah dia ada di dalam?'' tanya Liu Ta Xia lagi.
''Ya, Tuan Menteri,'' jawab pembantunya itu. ''Dia tidak pernah pergi ke mana-mana.''
''Kalau begitu, katakan cepat.''
''Tuan tunggu di sini, saya masuk ke dalam.''
''Tidak. Kita masuk bersama-sama.''
Mereka masuk.

***

Ternyata yang mendiami huma ini seorang yang buta, tak dapat melihat dengan mata, tapi dengan hati, sebab dia adalah seorang cenayang, tukang nujum, paranormal, yang memilih hidup menyepi di sini dibantu oleh seorang pelayan. Dia duduk di atas kursi yang dibelakangnya berdekor lukisan yin setinggi satu setengah ukuran manusia. Di bawah kursinya ada sebuah anyaman dari serat dengan sebuah kata dalam sebuah huruf di tengah-tengahnya,
 
yaitu:

Bacanya ''nao'', artinya ''otak''.

Karena tulisan itu terpajang di bawah tempatnya duduk, orang sering menyebut dia: Nao.
Padahal nama kecilnya, sebelum dia menjadi buta, adalah Siu.
Telinganya sangat peka. Sambil duduk menggoyang-goyang badan, dia ulurkan tangan dari jauh, mempersilakan Liu Ta Xia dan kedua pembantunya duduk.
''Silakan,'' katanya. ''Dari bau debu bercampur keringat yang sampai ke hidung saya, jelas kalian datang dari jauh.''
''Betul itu, Nao,'' kata pembantu Liu Ta Xia.
''Utarakan saja,'' kata Siu. ''Dengan mata yang sama terletak di kepala saya juga punya, tapi saya tidak bisa melihat kalian. Saya melihat dengan mata batin. Dengan mata batin yang terletak dalam pikiran yang berhubungan dengan perasaan saya, saya dapat melihat dengan jelas isi hati kalian. Saya sudah melihat roh yang satu, yang duduk di tengah-tengah itu, datang dari suatu tempat penuh dengan pertikaian batin, menghampiri roh saya.'' Dia
menunjuk-nunjuk Liu Ta Xia. ''Katakan saja menurut apa adanya. Perkataan yang tersembunyi dapat membuat orang tertekan. Jika perkataan itu dibuka memang terasa berat, tapi dengannya jiwa akan menjadi bersih.''

Liu Ta Xia jadi kagok. Katanya terteguk, ''Tiba-tiba saya menjadi ragu.''

''Katakan saja,'' kata Siu. ''Ini perkara apa?''
''Soal kekuatan.''

''Kalau kekuatan itu berada di dalam diri perempuan, itu merupakan tembok yang lebih kukuh dari tembok besar Shih Huang Ti.'' *).

Liu Ta Xia mengangguk. ''Benar,'' katanya.

Dan kata Siu, ''Perempuan kadang-kadang seperti merpati, kadang-kadang seperti tekukur. Yang satu bisa diternak dan jinak, yang satunya lagi hanya didengar manggungnya di dalam kandang, dan jika kandangnya terbuka ia terbang dan tidak kembali lagi.''

''Betul,'' kata Liu Ta Xia lagi. ''Kemari-kemarin dia adalah burung merpati yang jinak, tapi sekarang dia menjadi tekukur yang liar.''
''Sebetulnya apa yang diharap dari merpati yang berubah jadi tekukur itu?''
''Menyelam dan minum air.''
Siu tersenyum, mengangguk, maklum. ''O, artinya mendapatkan cintanya dan memanfaatkan dirinya?''

Liu Ta Xia tidak berkata apa-apa. Dia melirik ke arah pembantu-pembantunya. Kata Siu lagi, ''Kalau orang berharap dapat membeli yang tidak dijual, dia harus punya modal yang tidak terbatas.''

''Apa modal yang tidak terbatas itu?''
''Kekuasaan.''
''Kekuasaan?''
''Itu yang akan menjamin orang dapat memiliki segala yang diinginkan.''

Liu Ta Xia tercenung. Setelah terjeda sesaat, dia pun berkata kerepotan, "Yang jadi soal, dia berada dalam kekuasaan yang lebih besar."

"Seberapa besar? Berbatas atau tiada berbatas?"

"Bahkan tidak terbatas."

"Ciptakan dulu kekuasaan yang lebih besar dari yang tidak terbatas itu."

"Mana mungkin? Yang memiliki kekuasaan yang tidak terbatas ini Xhu Di."

Siu angkat tangan. "Kalau begitu tangkaplah asap ukirlah langit."
Liu Ta Xia geram sekali. Asap keluar di kepala karena api membakar di hati. Dikeluarkannya pedang dari sarungnya. Dihunusnya. Dan dengan sangat cepat dia telah menikam Siu. Siu mati. Sebelum nafasnya putus, dia sempat menyumpah, "Terkutuk kamu!"

Liu Ta Xia tak peduli. Orang rakus tidak pernah pedulikan karma. Rakus terhadap makanan, selesai setelah orang kenyang, tapi rakus akan kekuasaan, tidak pernah selesai kecuali karena karma. Lihat saja karma Liu Ta Xia. Hari masih panjang. Setelah besok, masih ada lusa, tulat, tubin. Dan di dalam setiap waktu, ada bagian-bagian di mana orang menerima atau melawan terhadap imbauan yang datang melalui gaung nurani.

Sementara tinggalkan dulu Liu Ta Xia. Sebentar lagi dia akan datang ke istana, menemui Zhu Di. Tetapi Zhu Di tak hirau, sebab Zhu Di tengah menikmati klangenan.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 11:59
Malam itu Zhu Di tak suka diganggu. Dia sedang duduk setengah berbaring di atas ranjang, di ruang yang besar, menyaksikan musik dan tari-tarian. Para pemusik istana memainkan musik dengan terampil, merangsang orang yang mendengarnya bagai hidup di sebuah sudut surga. Musik Cina di zaman Ming memiliki ciri tersendiri, tercipta berdasarkan kebutuhan sang kaisar pada jam-jam langennya. Ada dua jenis zither, disebut ch'in, yang pada zaman Ming terdiri atas dua tona, yang kecil di sebut hsiao-ch'u dan yang besar disebut ta-ch'u. Untuk menghasilkan nada-nada yang berbeda dalam melodi, pemain menciptakan corak rasa-seleh dari perbedaan atas pusat-pusat tonal dan modulasi yang renggang dari satu kunci ke lain kunci, tetap dalam skala pentatonik khas Cina. Bersamaan dengan lentingan dawai-dawai zither itu, bergantian tarian diperagakan oleh perempuan-perempuan terpilih, baik bakatnya maupun wajah dan sosoknya. Tak ada yang lebih tahu akan bentuk tubuh penari-penari, kecuali sang kaisar yang pernah melihat mereka telanjang di ranjang. Demikian hiburan Kaisar. Orang sangat mengerti arti kesenangan Kaisar. Adakah orang yang lebih menikmati seks sebagai hiburan selain daripada Raja?


***


Kembali lagi ke laut. Malam sudah berjalan tiga jam. Kapal sedang memasuki garis rawan tersebut. Di kotak khusus di atas tiang pengintai, kakak-beradik Tek Ceng dan Tek Goan kelihatan tegang melihat ke depan sana, ke batas horizon yang tidak nampak sama sekali karena gelap yang perkasa. Toh keduanya tidak kekurangan cara untuk saling ngotot melihat keadaan laut dan cuaca di depan. Mulainya Tek Ceng yang berkata dengan muka tidak ramah, "Kamu jangan coba berdebat lagi. Di sebelah sana itu, selatan yang asli." "Tetap salah," kata Tek Goan. "Itu bukan selatan. Itu adalah baratdaya. Hai, lihat." Dia menunjuk ke suatu arah. "Lihat itu sana. Itu yang namanya selatan." "Ah, kamu selalu suka ngotot tentang perbedaan-perbedaan tipis melulu." "He, kamu jangan cari gara-gara lagi. Sudah kubilang, di atas laut kita tidak boleh berbicara soal perbedaan-perbedan tipis. Dampaknya malapetaka, tahu tidak?" "Sudah diam! Kamu ribut melulu. Itu lihat!" Tek Ceng menunjuk ke situ, tapi wajahnya berubah ngeri. Tek Goan juga melihat ke situ. Wajahnya sama menunjukkan rasa ngeri. Langit tampak seperti bocor. Dari hitam yang malam di arah sana tiba-tiba kelihatan cahaya putih tumpah dari langit masuk ke dalam laut. Itu halilintar yang belum pernah di lihat kakak-beradik sepanjang hidup mereka. Tek Goan menutup mata. Dia merinding. Jeritannya, "Demi Dewa Penguasa Langit Selatan Wu Fu Da Di dan Dewa Penguasa Langit Utara Xhuan Tiang Shang Di, apa gerangan yang terjadi ini?" "Ya, ampun!" seru Tek Ceng. "Kiamat!" Dia pun menutup mata ketakutan.

***

Tak lama setelah itu, setelah kakak-beradik itu menutup mata karena takut, sebuah gelombang amat dahsyat datang bergulung-gulung memukul kepala kapal. Tinggi gelombang itu melebihi tinggi kapal, sehingga harus dikatakan gelombang itu seperti menelan kapal besar ini bersama kapal-kapal lain. Keruan kapal dan kapal-kapal itu pun oleng luar biasa dan terputar. Semua orang, baik yang masih bangun maupun yang sudah tidur, sama-sama terperanjat, terkejut, takut. Serta merta orang-orang di kapal dan kapal-kapal yang bertugas pada bidangnya masingmasing sibuk dan ramai. Tidak ada satu pun orang yang kelihatan santai. Bahkan Tan Tay

Seng yang biasa tenang, kali ini tidak menyanyi atau bermain teh-yan. Semua wajah mewakili ketegangan. Dang Zhua dan Hua Xiong kelihatan takut. Bun Hau, Lu Shan, bahkan Wu Ping kelihatan takut. Apakah Wang Jing Hong dan Ceng Ho tidak takut? Di atas laut, dalam badai, dalam gelombang dahsyat, tidak ada seorang pun yang berani terhadap kehebatan alam. Termasuk Wang Jing Hong dan Ceng Ho yang telah mengenal perairan ini, mengenal dengan betul oleh pengalaman-pengalamannya melaut, khusus di wilayah yang disebutnya sebagai garis rawan, juga melihat kehebatan laut sebagai ciptaan khalikul alam sebagai suatu misteri yang menggamangkan perasaan.
***

Pendeta To dan pendeta Buddha yang sama gentarnya melihat kehebatan laut yang ''marah''
ini toh mesti menenang-nenangkan umat. Sementara suara Wang Jing Hong yang keras dan nyaring berteriak menyuruh para awak untuk cepat bertindak.
''Gulung layar,'' kata Wang Jing Hong.
Perintahnya disambungkan dari suatu mulut ke mulut lain sampai kapal terombang-ombang dipermainkan gelombang aneh di jarak yang berputar-putar di sekitar situ. Tampaknya gerak maju kapal tidak meyakinkan. Jika sudah ada perasaan seperti itu, dengan melihat kenyataan yang buruk, maka menumbuhkan suatu rasa percaya diri memang tidak gampang lagi.

Jadi, bagaimana?


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 13:40
Ceng Ho bertindak. Dengan bismillah terlebih dulu, membungkus diri dengan sikap eling, dia naik ke atas, berdiri di situ, berteriak keras-keras di antara suara-suara yang gaduh dan riuh rendah serta bunyi gemuruh badai yang gempita dan tidak terperi guruh dan halilintar.

Dengan suara keras itu Ceng Ho berharap semua bisa mendengar dan tidak panik.

''Semuanya tenang! Semuanya tenang!'' kata Ceng Ho di atas sana. ''Percayalah, kapal ini tidak akan tenggelam. Tapi semua orang harus berdoa dengan agamanya masing-masing: Tao, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam.''

Petir menghantam dan hujan turun dengan lebat.

''Berdoa kalian semua!'' seru Ceng Hong. ''Khususnya yang muslim, seperti saya, bersandarlah kepada Allah taala, Tuhan yang tunggal. Minta tolong kepada-Nya. Kita boleh takut dan gentar, tapi jangan sampai ketakutan dan kegentaran kita ini lantas melenyapkan iman kita. Semua ini sementara. Ini adalah kebesaran ilahi.''

Lalu Ceng mengepalkan tangan memukulkan udara, maksudnya memberi semangat dan takwa kepada orang-orang yang seiman dengannya.

''Allahu akbar!''

Yang Muslim menyambut seruannya.


***


Sejam kemudian baru badai itu berlalu. Kapal itu dan kapal-kapal lain meluncur meninggalkan garis rawan tersebut, terus ke arah baratdaya. Laut tenang kembali. Orang-orang yang letih, mulai mengantuk, dan akhirnya tidur. Begitu juga Ceng Ho. Di kamarnya Ceng Ho terlena, lantas pulas. Justru di dalam tidurnya ini, terbayang di matanya warna-warni itu berpusing-pusing bagai sebuah anak panah berukuran amat besar, muncul dari dasar laut menuju ke langit. Ekor cahayanya menyilaukan itu kemudian berganti-ganti warna dari hijau ke biru, ke unggu, ke merah, dan ke bening. Lantas dari sebuah titik yang tajam di langit tersebut muncul pelan dan berangsur wajah Ma Ha Zhi. Dia berdiri di tengah sana, menunjukkan tangan kepada Ceng Ho. Ceng Ho terkesima. Tanyanya,

''Ayah? Engkaukah itu?'' Dan jawab Ma Ha Zhi,
''Ya, putraku. Berdirilah dengan kaki yang tegak, Ma He. Kau tidak mungkin berdiri dengan kaki yang tegak, kalau di hatimu ada roh keraguan yang membuat jalanmu bercabang.''
''Aku tidak ragu,'' kata Ceng Ho.
''Bukankah rohmu menyertai aku?''
 ''Ketahuilah, ada roh yang bukan roh akan masuk ke dalam rohmu,'' kata Ma Ha, Zhi.
''Kau harus mengalahkannya dengan roh yang paling roh.''
''Akan aku lakukan,'' kata Ceng Ho. ''Tapi bagaimana?''

Ma Ha Zhi membalik belakang, tidak menjawab. Dia berjalan cepat di tengah awan.

Menghilang. Ceng Ho mengejar, memanggil ayahnya. Ceng Ho terengah-engah.

Ceng Ho terbangun. Dia sadar, baru saja roh ayahnya datang dalam mimpi. Dia menarik nafas dan mengembuskannya. Dia bangkit dari tempat tidur, lantas duduk di kursi. Penglihatan yang
baru berlalu itu membuat dia termenung.

"Apa maksud Ayah berkata begitu?" kata Ceng Ho seorang diri merangkai-rangkai ingatan.

Dia kembali lagi ke tempat tidur, hendak tidur. Tapi pikirannya membuat matanya tidak terpejamkan. Dia bangkit lagi dari tempat tidurnya, lantas ke luar. Di luar langit cerah seakan tidak terjadi badai hebat beberapa jam lalu.

Dia memandang ke atas. Di kotak pada tiang pengintai, dua bersaudara Tek Ceng dan Tek Goan masih setia memandang ke depan.


***

Nanti, setelah matahari tampak di timur, kakak-beradik Tek Ceng dan Tek Goan diganti oleh pengintai lain. Kapal melaju terus.
Pagi-pagi seperti selalu orang-orang makan bersama di ruang makan. Dang Zhua dan Hua Xiong biasanya datang ke ruang makan setelah ruangan penuh. Orang-orang di ruang makan rata-rata berkisah pengalaman mereka tadi malam. Ketika Dang Zhua dan Hua Xiong masuk, mereka melihat di suatu arah di mana Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, dan teman-teman sekamar duduk bersama. Mereka pun sedang berbual-bual tentang pengalaman yang mengerikan tadi malam.
Melihat Bun Hau di sana, Dang Zhua dan Hua Xiong teringat kata-kata yang mereka dengar keluar dari mulut Bun Hau tentang Tan Tay Seng.

"Mari kita duduk di sebelah Bun Hau," kata Dang Zhua. "Dia tidak suka juga pada Tan Tay Seng."

"Apa kita akan manfaatkan dia untuk perpanjangan tangan menyikat Tan Tay Seng?" tanya Hua Xiong.
"Kenapa tidak?" jawab Dang Zhua.

Maka sambil memegang mangkok makan masing-masing, Dang Zhua diikuti Hua Xiong berjalan ke arah tempat duduk Bun Hau dan teman-teman sekamarnya itu. Mereka memberi senyum yang dibuat-buat tatkala duduk di antara orang-orang muda itu.

"Badai tadi malan itu betul-betul mengerikan," kata Dang Zhua.

"Ya, betul," kata Bun Hau.

"Siapa pula yang tidak takut?" kata Hua Xiong menyambung cakap sahabatnya.

"Badai tadi malam itu bukan main-main. Tapi memang menurut juru mudi Wang Jing Hong, wilayah itu yang paling berbahaya."

"Si tukang teh-yan Tan Tay Seng yang biasa nyanyi-nyanyi gila pun tadi malam kehilangan nyali," kata Dang Zhua langsung mengarahkan hasut dan kebencian.

Buktinya Bun Hau memang kena provokasi. "Huh, dia bukan hanya hilang nyali. Dia juga hilang telurnya."

Dang Zhua dan Hua Xiong tertawa. Ini bukan tertawa yang alami. Ini tertawa untuk mengambil hati.

"Dia memang penghibur picisan," kata Hua Xiong lebih membakar.
"Lebih dari penghibur picisan, dia itu gergaji tumpul untuk dipakai menggergaji besi," kata Bun Hau. "Eman-eman telinga saya."

Dan Dang Zhua berpura-pura kaget seraya merangsang lagi kebencian Bun Hau. "Tadinya kami kira hanya kami berdua yang terganggu mendengar nyanyiannya..."

"Saya sangat terganggu," kata Bun Hau.
"Tapi dia berhasil mengambil hati Sam Po Kong," kata Hua Xiong.

"Ah, persetan," kata Bun Hayu. "Kalau dia macam-macam, saya libas dia."
"Tapi, dengar-dengar konon dia itu jagoan," kata Dang Zhua.
"Jagoan apa?" kata Bun Hau mencibir. "Saya tidak percaya sebelum menjajal. Silat yang dia mainkan dalam nyanyian itu cuma kembangan. Melihat potongannya, dia itu cuma seekor anjing hias."
Dang Zhua dan Hua Xiong seperti menabuh gong. "Ya, ya, betul itu."
"Suatu waktu, besok-besok, sebelum kapal bersandar di darat, ada baiknya dibikin dulu lupa darat."
"Bagaimana caranya itu?" tanya Dang Zhua.
"Lihat saja."


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 13:44
Lagi, pada saat makan, Wang Jing Hong menemui Wu Ping, menyuruhnya memeriksa ulangan Dang Zhua dan Hua Xiong. "Coba cari lagi informasi di kamar juru tulis itu," kata Wang Jing Hong. Karena itu Wu Ping pun segera ke kamar Dang Zhua dan Hua Xiong. Ada pula kertas yang sudah diuyel-uyel. Wu Ping mengurai ulang. Tak ada yang penting. Tulisan di atas kertas itu lagi-lagi hanya untaian huruf-huruf yang dijajar seperti yang sudah dibaca kemarin. Tapi, kemudian mata Wu Ping terarah ke sebuah peti terlukis. Itu adalah peti kayu yang sangat halus, mengilat dengan sejenis pelitur hitam, dan di empat bagiannya ada lukisan yang nyaris sama dengan lukisan Lin Ch'un -pelukis Cina yang hidup pada abad ke-12- berupa burung kuning sejenis prenjak yang hinggap di atas ranting berbunga putih. Peti itu terkunci. Wu Ping bermaksud membukanya, tapi tak bisa. Dia menarik ke atas, mendorong ke kiri, dan ke kanan, tetap peti ini tidak terbuka. ''Bagaimana caranya membuka ini?'' tanyanya dalam hati. Kemudian dia terjaga. Didengarnya di luar orang-orang lewat ke kamarnya masing-masing. ''Mereka sudah habis makan?'' kata Wu Ping dalam nada bertanya pada dirinya, hendak meyakinkan diri. ''Aku harus cepat keluar dari sini.'' Dan Wu Ping membuka pelan-pelan pintu kamar, mengeluarkan kepalanya sebatas bingkai pintu, mengintip terlebih dulu ke luar, apakah ada orang lain lagi. Setelah melihat tidak ada orang lain, dia pun cepat-cepat keluar, menarik kembali pintu kamar itu. Dia bergegas ke atas, ke ruang Wang Jing Hong. Di ujung bagian melorong, dia melihat Dang Zhua dan Hua Xiong berjalan tertawa-tawa menuju ke kamarnya. Wu Ping segera bersembunyi di belakang tangga. Sebetulnya dengan tidak usah bersembunyi juga tidak apa-apa. Sebab, kalaupun dia berpapasan dengan Dang Dang Zhua dan Hua Xiong, kedua orang ini toh tidak tahu Wu Ping baru saja keluar dari kamar mereka. Tapi, memang mau Wu Ping bersembunyi di situ.

Dengan badannya tersembunyi di balik tangga, dia bisa mendengar dengan jelas omongan kedua orang itu.

''Bun Hau tadi sudah termakan asutan kita,'' kata Hua Xiong. ''Kita sudah mendapat orang yang kita perlukan sebagai perpanjangan tangan untuk menghajar Tay Seng,'' kata Dang Zhua. ''Dia bakal kena batunya,'' kata Hua Xiong. Mereka tertawa terbahak.

***

Mereka pun masuk ke dalam kamar mereka. Begitu pintu terbuka, Hua Xiong duduk bersandar di atas ranjangnya. Dang Zhua melihat keadaan ruang dengan curiga. Matanya terarah khusus ke peti berlukis itu.

Dahinya mengerut. Dia pegang peti itu. Hua Xiong bangkit dari duduk bersandarnya. Dia juga teraliri curiga sahabatnya. ''Kira-kira siapa?''

''Entah,'' kata Dang Zhua. ''Tapi, begitu kita tahu, kita harus kirim dia langsung ke neraka. Buang ke laut.''

Hua Xiong menyangka-nyangka sembari membayang-bayang muka orang. ''Apa dia bukan Tay Seng si tukang teh-yan itu?''
Dang Zhua terbawa ke sangka-sangka Hua Xiong. ''Kenapa kau berpikir dia yang melakukan?''

''Bisikan hati,'' kata Dang Zhua. ''Dia tidak ingat siapa kita.''
''Belum tentu,'' kata Hua Xiong. ''Waktu kita berkelahi dengannya, dia tidak mabuk. Yang mabuk kita. Dan, kita yang mabuk saja bisa mengingat tampangnya, apalagi dia yang tidak mabuk.''

Dang Zhua terdiam sejenak, meresapi omongan Hua Xiong, memasukannya ke dalam nalarnya. Karena itu, setelah merenung, dia berkata sesuatu yang mengarah pada keputusan.

Katanya, ''Kalau memang benar begitu, ya, inilah waktunya buat kita bermain: memainkan lakon kita dengan memanfaatkan perpanjangan tangan kita yang jengkel kepada Tay Seng.''

''Siapa?'' tanya Hua Xiong.
''Siapa lagi kalau bukan Bun Hau.''

***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 13:54
Sudah jelas, Dang Zhua dan Hua Xiong salah sangka, salah duga, dan salah kaprah. Orang yang baru berada di kamar mereka itu sekarang sedang menuju ke ruang khusus Wang Jing Hong. Di ruang itu terlihat Ceng Ho duduk dengan tenang. Sesekali dia menjilat bibir
bawahnya dengan lidah untuk membasahinya.

Ke ruang khusus Wang Jing Hong itulah Wu Ping, orang yang baru berada di kamar Dang Zhua dan Hua Xiong itu, datang menghadap, menyatakan sesuatu melalui air mukanya yang tampak tidak bergairah.

Melihat wajah Wu Ping yang tidak menggambarkan hal yang menggembirakan, Wang Jing bertanya dalam kalimat yang bersifat menyimpulkan, ''Tidak ada hal istimewa?''

''Ya,'' sahut Wu Ping. ''Kecuali ada sebuah peti ukir yang menarik perhatian.''
''Menarik perhatian bagaimana?'' tanya Wang Jing Hong.
''Waktu saya masuk ke situ kemarin itu, saya tidak sempat melihat peti itu,'' kata Wu Ping.
''Apanya yang menarik?'' tanya Ceng Ho.

''Di dindingnya ada lukisannya: lukisan burung di ranting bunga,'' jawab Wu Ping. Tapi sekonyong-konyong dia termanggu, merasa bersalah pada diri sendiri. ''Astaga.''

''Ada apa?'' tanya Ceng Ho.
''Saya lupa menaruh peti itu di tempat yang semula,'' kata Wu Ping.
''Berarti kita menunggu perkembangan,'' kata Ceng Ho.
Waktu terus berubah.  Di atas kapal, di tengah bulatan biru yang demikian luas, yang di kakinya langit biru sesama biru bertemu, bagi yang tidak sabar, rasanya pelayaran adalah suatu permainan nasib yang menjemukan: siang dan malam dihitung jam-jamnya sebagai suatu keharusan sukarela.

Tadi siang, sekarang malam.

Apakah matahari pamit pada siang, lantaran malam mesti menggilir hari, suka atau tidak, Tan Tay Seng kembali duduk di buritan memainkan teh-yan dan menyanyi kata-kata apa saja yang muncul dalam pikirannya. Kini dia menyanyikan hal yang berhubungan dengan peristiwa tadi malam.
Badai tidak menyapa dalam datang dan pergi

Demikian ajal menghampiri manusia di bumi Kita merenung hakikat hidup di dalam sunyi Mencari rahasianya dengan meninggalkan negeri. Tan Tay Seng terus menyanyi sampai laut menghitam kembali oleh malam. Yang suka nyanyiannya mendengarkan, yang tak suka nyanyiannya tak mendengar. Yang terangsang oleh irama lantas menari-nari di seputarnya, yang lain hanya menyaksikan mereka yang menari-nari.

***


Di antara yang tetap di kamar dan nanti akan terganggu oleh hiruk pikuk orang-orang menari itu adalah Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, dan teman-teman sekamar. Mereka bermain ceki untuk selalu melenyapkan kejenuhan dan kebosanan pada laut dan pada malam. Dang Zhua dan Hua Xiong telah mengetahui, melalui percakapan mereka di ruang makan, tentang ketaksukaan Bun Hau atas nyanyian-nyanyian Tan Tau Seng. Apalagi sekarang orang-orang menari-nari di buritan.

Melihat ramainya orang-orang menyambut Tan Tay Seng, mula-mula Dang Zhua, kemudian menyusul Hua Xiong pergi ke kamar tempat Bun Hau dan teman-teman bermain ceki. Di depan pintu Dang Zhua berkata, "Kalian semua tidak ikut menari-nari di luar?"

Dan, ketika wajah-wajah mereka di dalam kamar itu kelihatan bertanya-tanya, Hua Xiong pun datang menimbrung. "Mereka semua menari, tersihir oleh huang chung*) yang dimainkan Tan Tay Seng."

"Apa?" Bun Hau menghentikan mainan cekinya. "Orang-orang tersihir oleh huang chungnya?" Bersamaan Dang Zhua dan Hua Xiong menjawab dengan semangat provokatif, "Ya!" "Lihat saja sendiri," kata Hua Xiong.

Dan mereka semua di dalam kamar itu keluar, melangkah ke buritan. Di situ, di tengah orangorang yang menari sukaria, Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, dan teman, masuk membaur. Tapi mata Bun Hau terarah terus kepada Tan Tay Seng. Dia mendekat-dekat bersama teman-temannya itu, dan ketika jaraknya dengan Tan Tay Seng sudah dekat sekali, dia mendorong tubuh Lu Shan sehingga Lu Shan menabrak Tan Tay Seng. Tan Tay Seng menyepak Lu Shan. Lu Shan terpelanting mengenai seseorang. Orang yang terkena badan Lu Shan langsung menyikut.

Hanya beberapa detik, bersamaan dengan berhentinya permainan musik Tan Tay Seng, terjadilah perkelahian di buritan kapal ini.

Perkelahian demikian seru. Semua, yang baru saja menari-nari, kini berkelahi dengan lawan yang tidak jelas, siapa lawan siapa. Terkecuali Bun Hau, yang memang mengarah sasarannya kepada Tan Tay Seng.

Dia menyerang Tan Tay Seng, dan Tan Ty Seng menangkis sembari mengirimkan balasan dengan kakinya. Kini terjadi perkelahian secara khusus antara Bun Hau dan Tan Tay Seng. Ternyata Bun Hau memiliki juga ilmu silat yang berimbang. Gerakan-gerakannya lincah dan mengejut-ngejutkan. Kelihatannya dia mengincar benda yang dipegang Tan Tay Seng.

Benda itu yang selama ini digesek-gesekan Tan Tay Seng sehingga melahirkan nada. Tan Tay Seng menyadari bahwa lawannya ini terus mengincar teh-yan-nya. Dia pun melakukan gerakan-gerakan yang mengecohkan dengan teh-yan-nya itu. Dasar Tan Tay Seng cekatan dan lucu, dalam gerakan putar, ketika dia berdiri menjauh, di situ dia menunggu serangan berikut dengan menggesekkan satu-dua nada tertentu.

Orang-orang lain yang tadi berkelahi tanpa lawan yang jelas itu berangsur berhenti, dan selanjutnya mereka menyaksikan perkelahian yang memikat dari Tan Tay Seng dan Li Bun Hau. Ternyata bukan hanya orang-orang itu yang menyaksikan perkelahian ini. Ceng Ho dan Wang Jing Hong di atas sana juga menyaksikan. Sementara di tempat yang lain, di bagian sayap kanan, dua cecungguk itu, Dang Zhua dan Hua Xiong, menyaksikan pula dengan perasaan puas.

"Kita berhasil, sahabatku," kata Dang Zhua.
"Ya, kita berhasil," kata Hua Xiong.


***

Dalam senang seperti itu, ketika perkelahian memukau orang, diam-diam Wu Ping masuk kembali ke ruangan Dang Zhua da Hua Xiong. Apa yang dia temukan?


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 14:04
Episode III

Perkelahian seru antara Bun Hau, Wan Sen, Lu Shan, Ying Gong, dan Tan Tay Seng masih berlangsung. Gaya Tan Tay Seng yang memikat, yang tak terduga-duga gerakannya, dengan sendirinya telah membuat banyak orang lebih suka menyaksikannya daripada ikut terlibat dalam tawur yang memang terbuka peluangnya. Dengan canggih Tan Tay Seng berhasil membuat mereka yang mengeroyoknya keok satu per satu. Yang terakhir Bun Hau. Di ujung perkelahian itu Tan Tay Seng mencekik dengan ujungujung jari tangan kanannya -tangan yang terlatih dan terampil menggesek teh-yan- sehingga dengan kekuatan dari batin yang terejawantahkan di tangannya itu, Bun Hau harus mengakui kebolehan Tan Tay Seng. Dia mengakui itu dengan cara yang nyaris putus asa.

''Jangan bunuh aku,'' kata Bun Hau. Tan Tay Seng mengempaskan cekikannya itu dengan sikap yang amat wira. Sambil mengempaskan,
dia berkata, ''Aku memang bukan pembunuh.''

Tan Tay Seng mengangkat teh yan dan melihatnya. Dia masygul melihat alat musiknya ini. Dalam perkelahian yang baru saja terjadi, gagang teh-yan-nya telah patah, menggelantung oleh dawai yang mengikatnya dengan bagian membran.

''Dengan musik aku menawarkan perdamaian,'' kata Tan Tay Seng. ''Musikku adalah musik perdamaian. Tapi kalau orang mengganggu musikku, maka musikku akan berubah menjadi musik peperangan....''

Gerakan lincah Tek Tay Seng sekonyong memberikan isyarat akan menyerang, sehingga Bun Hau mundur dengan kedua tangan terkunci di dada. Katanya dalam nada penyesalan,

''Jangan khawatir. Saya bisa memperbaiki teh-yan-mu itu. Saya bahkan bisa mengganti dengan membuat sendiri yang lebih bagus.''

Tan Tay Seng agak syak, tapi dia memberikan semacam apresiasi kepada Bun Hau. ''Kau bisa?'' ''Ya,'' sahut Bun Hau.


***

Dan di bagian yang agak tinggi, di tempat Dang Zhua dan Hua Xiong berdiri menyaksikan, keduanya tampak tak nyaman hati melihat perkembangan di bawah. Mereka telah menyaksikan adegan itu sejak awal, dan mereka menyaksikannya dengan tidak tenang, tegang, kecewa, dan akhirnya hilang harapan.

Dari mulut Dang Zhua pernyataan ini terucapkan, ''Tidak ada harapan.''

Dan Hua Xiong pun seperti orang yang tiba-tiba terserang lesu darah. Katanya setengah geram, ''Li Bun Hau itu cuma mulut besar.''

Dang Zhua sendiri kelihatan sangat tak bersemangat, kecuali tentu, semangat dendam yang terus berasap di hatinya. Katanya dengan gigi yang mengeretak, ''Kita tidak bisa manfaatkan dia.''

Mereka pun kembali ke ruangan mereka.


***

Jam terus berjalan. Menjelang larut malam, ketika sebagian orang telah lelap di tempat tidur masing-masing, tampak di ruang rapat beberapa orang sedang bertukar pikiran. Ada di situ beberapa panglima dan Wang Jing Hong serta Ceng Ho.


Ceng Ho yang memulai pembicaraan. Katanya, ''Sesuai dengan rencana, kalau cuaca tetap bagus seperti sekarang, sekitar tiga jam setelah fajar, kita akan membuang sauh di bandar Qui-Nho.''

Ceng menoleh kepada Wang Jing Hong. ''Betul begitu, Wang Jing Hong?''

''Betul sekali, Sam Po Kong,'' kata Wang Jing Hong.

''Di Qui-Nho kita akan merapat satu-dua hari,'' kata Ceng Ho.

''Kita merapat di Campa sesuai dengan misi kita. Ingin saya ingatkan bahwa pelayaran kita secara terbuka adalah kunjungan
muhibah dari kebesaran Ming ke negeri-negeri di luar Cung Kuo. Di Qui-Nho, sebagai bandar Campa, kita membutuhkan sejumlah hasil bumi yang diperlukan di utara. Patut kita ketahui semua bahwa hasil bumi negeri Campa yang paling penting adalah karet dan batu bara. Itu yang kita butuhkan bagi negeri kita di utara.''

''Dan bagaimana dengan raja terguling Zhu Yun Wen?'' kata Ceng Ho.
''Itu artinya kita harus menangkap dia di situ?'' tanya panglima yang satunya.

''Misi kita yang terbuka, artinya yang harus diketahui umum oleh negeri-negeri di luar Cung Kuo, memang merupakan pelayaran muhibah dengan dasar saling untung, yaitu, pertama niaga dan kedua bertukar kebudayaan, kemudian di atas pertalian yang saling untung tersebut, kita berkewajiban menunjukkan kebesaran dinasti Ming,'' kata Ceng Ho. 

Lalu dia jeda sejenak memandang keluar yang tidak tampak apa-apa selain gelap. ''Tapi, memang tidak boleh dimungkiri, tugas kita yang khusus, yang katakanlah 'tertutup', yang harus tidak diketahui umum oleh negeri-negeri di luar Cung Kuo adalah menangkap Zhu Yu Wen di Campa dan Chen Tsu Yi di Si-Li-Fo-Tsi.''
Panglima yang pertama bicara tadi kelihatannya belum pernah mendengar atau setidaknya diberi tahu mengenai nama yang baru disebut oleh Ceng Ho. Maka katanya, ''Chen Tsu Yi?''

''Dia diserter yang sekarang mengangkat diri sebagai raja di Si-Li-Fo-Tsi,'' kata Ceng Ho.

''Dia memerlukan Cina.''


***

Dua jam kemudian langit di timur mulai memerah, pertanda bahwa sebentar lagi fajar. Malam tadi yang bertugas di tiang pengintai bukan kakak-beradik Tek Ceng dan Tek Goan. Kedua kakak-beradik ini mendapat tugas itu pada giliran siang. Makanya sang kakak yang selama ini mengomel, kini merasa senang.

Setelah fajar, ketika matahari kelihatan naik pelan-pelan di garis pertemuan antara langit dan laut, Tek Ceng berteriak girang.

''Lihat itu di depan!'' kata Tek Ceng. ''Ada darat!''
''Mana?'' kata Tek Goan melihat ke arah itu.
''Itu!'' kata Tek Ceng sambil menunjuk dengan meluruskan tangannya ke arah itu.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 14:07
''Maksudku arahnya secara mata angin,'' kata Tek Goan. ''Aku bertanya, apa nama arah yang kau tunjuk itu.''

Agak ragu jawab Tek Ceng, ''Itu... eh... Barat Daya.''

Dan, ketawalah Tek Goan terpingkal-pingkal. Ketawanya membuat Tek Ceng penasaran dan jengkel.

''Kenapa ketawa?'' kata Tek Ceng dengan wajah mengerut. ''Kayak gila.''

Tek Goan memeluk Tek Ceng. ''Ha-ha-ha, kali ini kamu tidak goblok,'' kata Tek Goan.

Tersenyum wajah Tek Ceng. Hatinya tersenangkan. Katanya, ''Jadi, aku betul, itu barat daya?''
''Ya, kau betul.''
Maka berteriaklah kedua kakak-beradik ini ke bawah. ''Hai, siap semua! Darat sudah didepan.''

Secara khusus suara Tek Ceng berteriak lebih keras. ''Daratnya di arah barat daya!''


***

Tampaklah di arah sana garis laut yang dihiasi oleh lekuk-lekuk tanah darat. Bagian depan warnanya telah menghijau dan latar belakangnya masih biru, lebih biru dari langit, tanda bahwa bagian itu adalah tanah pegunungan. Di latar depan dari darat yang meyakinkan akan adanya kehidupan, juga kelihatan burung-burung pengintai ikan. Burung-burung itu tampak seperti bintik-bintik putih yang bergerak-gerak.


***


Lebih jauh ke batas air, ke tanah tepian, di darat, di bagian berkuasanya seorang syahbandar, yaitu pelabuhan, kelihatan orang-orang sibuk atas pekerjaan masing-masing. Di pelabuhan telah ada beberapa kapal yang merapat di dermaga. Semuanya kapal-kapal kecil. Waktu itu pelabuhan Qui-Nho merupakan pertemuan antara Cina Selatan dan Nusantara. Dari darat, orang-orang dipesonakan oleh kapal-kapal ekspedisi Ceng Ho yang sedang bergerak maju ke tepi. Termasuk Syahbandar terpesona melihat banyak kapal itu. Apalagi di antara kapal-kapal itu, ada sebuah yang sangat besar, yaitu kapal yang dijurumudikan oleh Wang Jing Hong.

''Luar biasa,'' kata Syahbandar, ''sebuah kapal raksasa disertai dengan pengiringpengiringnya.''
''Itulah pamer kebesaran Kerajaan Ming,'' kata Wakil Syahbandar.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 14:44
Syahbandar dan wakil serta pegawai-pegawainya di pelabuhan terus memperhatikan kapal Ceng Ho yang kian lama kian dekat ke pelabuhan. Sementara di atas kapal pun orang-orang telah sibuk dengan tugas masing-masing. Sebentar lagi sudah akan diturunkan ke laut. (Sauh dalam kapal Cina, khususnya kapal Ceng Ho, tidak sama dengan jangkar kapal Belanda. Maka jangkar yang sekarang menghias Kelenteng Sam Po Kong di Simongan, Semarang, sama sekali bukan sauh asli dari kapal Ceng Ho. Jangkar yang berada di bagian kiri gua Sam Po Kong di kelenteng itu aslinya adalah jangkar kapal Belanda yang baru ditaruh oleh seorang dengan gagasan menipu pada 1930, diangkut dari Wotgandul).

Sejam kemudian jangkar kapal Ceng Ho diturunkan. Setelah itu tali-tali pengikat kapal dikalungkan dan digulungkan dipatok-patok setinggi lebih-kurang satu depa di dermaga. Setelah kapal tertambatkan, barulah tampak Ceng Ho berdiri di tengah, siap akan turun ke darat. Ketika dia berdiri di atas kapal itu, orang-orang di darat, termasuk Syahbandar, kagum padanya dan memberi hormat.


***

Ceng Ho membalas lambaian hormat kepadanya sebelum dia dan rombongannya turun ke darat. Sikap Ceng Ho yang sangat agung terlihat hanya dalam sekejap membalas lambaian hormat. Orang besar tidak hadir dengan berbuat sesuatu yang ingin melahirkan kekaguman fisikal atas penampilannya, tapi karena jiwanya yang memang besar, rasa percaya diri yang amat luar biasa, disertai dengan kemampuan-kemampuannya yang tidak terbatas menurut ukuran awam atas pelbagai hal yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, tapi juga hubungan manusia dengan Tuhan. Nanti orang akan melihat bukti itu sebentar lagi. Sebagai muslim yang hanya bersandar kepada kerahiman dan kerahmanan Ilahi, orang besar malah semakin nyata tampil mewakili ketakwaannya. Maka salamnya pertama kepada Syahbandar ketika Ceng Ho dan rombongannya berada di darat adalah ucapan yang menunjukkan kualitas eling-nya yang luar biasa.

"As-salamu 'alaikum wa rah'matullahi wa barakatuh," kata Ceng Ho kepada Syahbandar. Dengan takzim yang alami Syahbandar pun memberi salam dengan membungkukkan badan.

Katanya, "Selamat datang di negeri Campa. Sekalian, saya undang Tuan-tuan santap malam nanti."

 
***

Hanya sebentar, bagian luar pelabuhan telah menjadi pasar yang hiruk pikuk. Transaksi antara barang-barang yang dibawa dalam kapal-kapal Ceng Ho, antara lain sutra dan keramik, dan hasil bumi. Hasil bumi Campa - yang kemudian menjadi negeri Vietnam ini - selain akan dimanfaatkan di negeri Cina, juga yang penting adalah bahan-bahan pangan yang akan dibawa dalam perjalanan ke selatan, ke Sumatera dan kemudian ke Jawa. Siapa yang menduga, di Jawa nanti, khususnya di Sunda Kelapa dan Semarang, akan menjadi tempat-tempat bersejarah bagi Wu Ping dan Wang Jing Hong. Hiruk pikuk pasar terus berlangsung sampai menjelang tengah hari, sampai Ceng Ho menunaikan salat zuhur.



***


Pada malam hari nanti Syahbandar menunggu Ceng Ho dan panglima-panglimanya, serta Wang Jing Hong, termasuk juga Dang Zhua dan Hu Xiong, untuk hadir dalam jamuan makan khusus sang penguasa Qui-Nho itu. Dalam jamuan makan itu sang tuan rumah beserta istri duduk meriung dengan banyak ha-ha-ha, tanda keramahan khas orang di bagian tenggara Asia. Sambil menikmati hidangan yang mewah - tentu saja salah satu menu yang dimasak
dengan aroma yang merangsang selera tidak dijamah Ceng Ho karena agamanya melarang berlangsung banyak cengkerama yang diliputi basa-basi dari kebiasaan khas orang-orang timur.

Bagi Syahbandar, ayah Ceng Ho, Ma Ha Zhi bukanlah orang asing. Sebab, dalam basa-basi yang cenderung dikatakan sebagai sopan santun yang artifisial dari kebanyakan orang Asia Tenggara, berkata Syahbandar sambil mengunyah-ngunyah makanan, "Saya kenal betul ayahanda Tuan Ceng Ho, Ma Ha Zhi." Ceng Ho menganggukkan kepala, memberi semacam hormat yang tak kalah mutu basabasinya.

Dia tak berkata apa-apa dalam sikap hormat ini. Maka lanjut Syahbandar, "Saya senang sekali sebab Tuan telah menggantikan kedudukan Ayahanda, Ma Ha Zhi." Ceng Ho menganggukkan kepala lagi. Kini disertai ucapan sopan santun yang tulus. "Terima kasih," ujarnya.

Kemudian topik beralih. Syahbandar yang mengalihkan. Katanya, "Setelah Qui-Nho, Tuan akan berlayar ke mana? Membawa hasil pasar kami ke utara?"

"Tidak," kata Ceng Ho. "Kami akan ke selatan terlebih dulu. Ke Si-Li-Fo-Tsi lebih dulu, kemudian ke Jawa."

"Ke bagian mana?"

"Supaya semua arah terakomodasi, barangkali kami akan lama berada di Asem Arang," kataCeng Ho.

Lalu jeda sejenak. Setelah itu, masih mengunyah-ngunyah makanan di mulutnya, Syahbandar bertanya dengan kesan yang seakan-akan tidak mustahak, "Berapa lama Tuan menyauh di Qui-Nho?"

Ceng Ho memandang dulu kedua panglimanya, lalu menjawab dengan tiada keraguan,

"Sampai kami bertemu dengan Zhu Yun Wen."

Istri Syahbandar yang kelihatan terhenti makan, seperti keselak. Ceng Ho sempat menangkap itu dengan ekor matanya. Sementara Syahbandar berusaha tampil lugu seperti orang melengung.

Kata Ceng HO kepada Syahbandar, "Kalau sekiranya Tuan dapat membantu kami, kami berhitung dengan laba yang Tuan inginkan."

Syahbandar tersenyum. Orang boleh salah taksir atas senyuman ini. Apakah yang dikatakan Ceng Ho merupakan suatu proposal yang menggiurkannya? Jika ya, berarti dia adalah orang dari pelbagai karakter yang mudah dikalahkan dengan materi. Tapi jika tidak, dia tetap harus dikatakan orang yang loba dan gelojoh terhadap materi.

Tapi di samping itu memiliki juga semacam pandangan dan pertimbangan tertentu yang berhubungan dengan berhala yang paling memabukkan, lebih dari berhala-berhala materi, yaitu kekuasaan. Siapa tahu pernah ada kesepakatan antara Zhu Yun Wen dan Syahbandar perihal berhala yang satu ini:kekuasaan.

Pada masa itu pun kedudukan Syahbandar tidak kurang adalah raja di batas laut dan darat

Dengan mengerti apa yang mesti dikatakannya setelah melihat istri Syahbandar yang tadi keselak, berkatalah Ceng Ho kepada Syahbandar,

"Apakah Tuan tahu di mana Zhu Yu Wen, raja yang terguling itu, melarikan diri ke Campa sini?"

Sangat cepat jawab Syahbandar. Dengan menjawab secara cepat begini bolehlah orang menduga bahwa dia jujur. "Saya belum pernah mendengar nama itu."

Ceng Ho mengangguk. Dia tidak kecewa. Sebab, dia dapat membaca air muka seseorang. Toh dalam mencoba berpenampilan wajar, Ceng Ho berkata, "Betulkah?"

Tampaknya Syahbandar seperti didakwa. Atas kemauan sendiri dia berkata, "Baiklah. Kalau Tuan ingin mengetahui, saya bisa meminta anak buah untuk memasang kuping. Kalau Tuan ke sini besok, pasti Tuan sudah akan memperoleh jawaban."

"Terima kasih," kata Ceng Ho.

Syahbandar tidak menduga justru dalam sikapnya itu, yaitu dalam cara menjawab pertanyaan Ceng Ho, maka Ceng Ho dengan mudah menyimpulkan bengkoknya hati Syahbandar.

Dalam perjalanan pulang dari rumah Syahbandar ke kapal di dermaga, Ceng Ho mengutarakan itu kepada kedua panglima, dan hal itu didengar Dang Zhua dan Hua Xiong yang berjalan bersama-sama di jalanan yang tidak berlampu.

"Untuk menguji ketangkasan kalian, saya ingin bertanya kepada kalian," kata Ceng Ho kepada kedua panglimanya itu.

"Apa yang kalian dapati dari omongan Syahbandar?"
"Dia dusta," kata panglima yang pertama.
"Bolah jadi dia antek Zhu Yun Wen," kata panglima yang kedua.
"Malahan kunyahan makanan yang akan ditelan istrinya itu terhenti, tersedak," kata Wang Jing Hong.

Ceng Ho pun ketawa. "Pancaindra kalian bagus," katanya menepuk bahu Wang Jing Hong.

"Oleh karena itu, pertanyaan tentang berapa lama kita akan berada di Campa, jawabnya adalah pasti: sampai dia kecele melihat kita menangkap Zhu Yun Wen, dan menyeret dia sebagai orang yang terlibat dalam perkara perlindungan terhadap penjahat negara."

Dang Zhua dan Hua Xiong yang berjalan di belakang saling mengorek badan tanpa berkata sepatah pun, kecuali memasang kuping sebaik-baiknya.

Syahbandar itu akan menyesal. Tapi ketika dia menyesal, dia sadar itu telah terlambat," kata Wang Jing Hong.

"Ketika nasi sudah menjadi bubur," kata Ceng Ho.

Kelihatannya Dang Zhua ingin menunjukkan perhatiannya berada pada pikiran dan perasaan yang sama. Oleh karena itu dia berkata, "Tadi Syahbandar itu bilang, besok kita sudah dapat mendengar beritanya."

"Saya kira Syahbandar itu mau menunjukkan kesungguhannya," sambung Hua Xiong.

Tidak ada yang menanggapi.

Semua berjalan dengan pikiran masing-masing.
Malam terus merangkak. Sunyi. Kecuali di beberapa kedai minum dekat pelabuhan. Di situ suara gelak canda dan nyanyian orang mabuk seperti mengatakan dunia tidak pernah kiamat.


***


Mendekati kapal, sipongang suara nyanyian Tan Tay Seng terdengar dibawa angin dari buritan kapal. Tan Tay Seng memilih diam di kapal. Beberapa orang pun, seperti biasa, meriung di sekitar Tan Tay Seng menikmati nyanyiannya. Kini dia tidak menyanyi dengan teh-yan. Kini dia hanya menyanyi dengan memukul-mukul bagian membran teh-yan yang rusak, menganggapnya sebagai membranofon. Manusia dicipta dengan akal dan budi Hanya hewan saja yang melulu naluri Karena teh-yan-ku patah dalam kelahi Kutabuh dia sebagai kendang pengganti. Ke buritan situ, di tempat Tan Tay Seng selalu menyanyikan sajak-sajaknya, Ceng Ho menghampiri dan menikmati sesaat nyanyian Tan Tay Seng. Setelah nyanyian itu selesai, Ceng Ho berkata kepada mereka semua di situ bahwa mereka boleh bersenang-senang ke darat.

Kata Ceng Ho, "Malam belum terlalu larut. Semua rumah minum masih buka. Kalau kalian mau bersenang-senang di darat, silakan." Semua menyambut ceria.

***


Jadi, mereka semua turun ke darat. Tak terkecuali Dang Zhua dan Hua Xiong, yang tadi bersama-sama Ceng Ho bersantap di rumah Syahbandar, turun kembali ke darat, seakan-akan hendak pergi pula ke rumah minum.

Sudah jelas Dang Zhua dan Hua Xiong tidak pergi ke rumah minum. Mereka pergi ke suatu tempat.

Yang pergi ke rumah minum - yaitu rumah minum paling ramai di dekat pelabuhan - hanya Tan Tay Seng, Li Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, Ying Gong.

Pelayan rumah minum itu adalah putri dari pemiliknya, masih sangat remaja, lumayan cantik, selanjutnya dipanggil Ling Ling, sebab rumah minum itu diberi nama Ling. Walaupun Ling Ling lahir di Campa, dia adalah juga Han Jen ) yang tetap bercakap Cia Im**) di rumahnya.

Ling Ling datang ke meja Tan Tay Seng, menanyakan apa yang hendak dipesannya. "Mau minum apa?" katanya.

"Yang memabukkan cintaku padamu," kata Tan Tay Seng sambil menepuk pinggul Ling Ling. Ling Ling mengerling. "Cinta tai kucing," katanya. Tan Tay Seng tertawa ngakak. Dia tidak tertawa oleh dorongan sukma. Dia tertawa untuk sesuatu yang kira-kira sama dengan naluri burung merak jantan menarik perhatian burung merak betina. Mungkin benar, ucapan yang berlafalkan tanpa pertimbangan dan berkesan seloroh itu mengandung kesungguhan yang dapat berkembang pada saat-saat mendatang.


***


Sementara ada seloroh dan ngakak dengan aroma minuman keras di kedai Ling, nun di rumah Syahbandar dua orang anggota ekspedisi Ceng sedang memohon untuk bertemu dengan Syahbandar. Siapa gerangan kedua orang yang dimaksud ini? Mereka tak lain adalah Dang Zhua dan Hua Xiong.

"Kami ingin bertemu dengan Syahbandar," kata Dang Zhua kepada pegawai Syahbandar.

Pegawai itu segera mengenali kedua orang ini. Katanya, "Tuan-tuan yang tadi diundang makan malam oleh Tuan Syahbandar."

"Betul sekali," kata Hua Xiong.

"Baik. Saya akan katakan kepada Tuan Syahbandar," kata pegawai Syahbandar lantas masuk ke dalam.

Sedianya Syahbandar sudah siap-siap pergi. Entah ke mana arahnya. Nanti Dang Zhua dan Hua Xiong sendiri akan mengetahui itu.

"Dua orang anggota Ceng Ho ingin bertemu lagi dengan Tuan," kata pegawai itu kepada Syahbandar.

Syahbandar berkernyit dahi. "Siapa mereka?" tanyanya.
"Yang tadi bersantap malam di sini," kata pegawai Syahbandar.
"Suruh mereka masuk," kata Syahbandar.
Pegawai itu keluar lagi, mengatakan kepada Dang Zhua dan Hua Xiong untuk masuk. Maka masuklah Dang Zhua dan Hua Xiong ke dalam. Di dalam Syahbandar sudah duduk menunggu di bawah lampu minyak dengan dua belas sumbu yang digantung di atas kepalanya.

Dang Zhua dan Hua Xiong memberi hormat kepadanya. "Salam," kata mereka.

Syahbandar mengangguk, tanpa kata, menunggu saja apa yang hendak diperkatakan oleh kedua orang tamunya ini.

"Begini," kata Dang Zhua membuka percakapan, "Kami meminta dengan sangat kepada Tuan untuk jangan memberi tahu sedikit pun tentang Zhua Yun Wen."

Syahbandar menatap tajam kepada Dang Zhua. Tetap tanpa kata dari mulutnya.

"Kalau sekiranya benar raja terguling Zhun Yun Wen berada di tanah Campa, janganlah berkata apa-apa tentangnya kepada Sam Po Kong."

Syahbandar bersadar di kursinya, tapi duduknya tidak santai.

Perhatiannya terjaga. "Tuan-tuan bicara apa ini?" katanya seperti merasa asing.

"Begini," kata Dang Zhua lagi, "perlu Tuan ketahui bahwa kami ini adalah orang-orangnya Liu Ta Xia."

"Jadi, kalau kalian orangnya orang yang kalian sebut itu, lantas apa kena-mengena antara dia dan saya?" kata Syahbandar.

"Begini, Tuan Syahbandar," kata Dang Zhua pula, "perlu Tuan ketahui lagi bahwa Liu Ta Xia, menteri keuangan dan ekonomi dalam pemerintahan Zhua Di ini, adalah sahabat kental dari menteri-menteri zaman pemerintahan Zhua Yun Men, yang dicurigai dan dianggap jahat oleh Zhu Di, dan karenanya menyerahkan kepada Sam Po Kong untuk menumpasnya."

Syahbandar berdiri dari kursinya, menuding dengan kencang kepada Dang Zhua dan Hua Xiong. "Kalian menipu!" katanya.

Dengan tenang Dang Zhua mengeluarkan dari dalam jubahnya yang dua susun, sesuatu yang pipih, dan diajukannya ke muka Syahbandar. Katanya, "Tuan lihat ini?"

Hua Xiong juga melakukannya. "Ini lambang Liu Ta Xia," katanya.
Syahbandar terpana. Mukanya seperti pelagi yang redup di latar langit yang sekonyong bening menyilaukan. Dia terdaulat untuk percaya dan dalam rasa percayanya yang terbangun berangsur-angsur ini dia pun berkata sembari senyum, "Kalian memang tikus-tikus."

Dang Zhua dan Hua Xiong tertawa. Kata Dang Zhua, "Barangkali sebab malam lebih panjang bagi kehidupan orang susah sehingga tikus lebih bertahan hidup daripada anai-anai."

"Apa pun kalian, tapi, selamat," kata Syahbandar sambil mengulurkan tangan persahabatan.

"Sebetulnya saya sedang siap-siap hendak berangkat ke puri Zhua Yun Wen. Sekalian saja bersama kalian ke sana."

Dang Zhua dan Hua Xiong berseri-seri. Seperti ada kunang-kunang di sekitar muka mereka yang bermoncong tikus itu. Bersamaan mereka berkata, "Terima kasih."


***


Lantas mereka berkuda ke puri persembunyian Zhua Yun Wen di batas luar kota ke arah timur. Hanya setengah jam perjalanan, mereka tiba di seberang hutan kecil. Di situ puri itu dibangun di atas tanah tinggi. Puri itu adalah memang puri seorang raja terguling. Raja yang terguling bagaimanapun tetap saja seorang raja karena darahnya, bukan karena kekuasaannya. Salah satu hal dari darah seorang raja -dalam hal ini raja dalam gambaran kebanyakan rakyat yang tertindas- adalah kehidupan yang mewah, foya-foya, pesta pora, dan perempuan. Perempuan dalam pikiran raja-raja dalam gambar kemaruk, gambaran semena-mena, gambaran durjana-adalah barang bernyawa belaka untuk sekadar membuang sperma.


***


Demikianlah, ketika Syahbandar bersama Dang Zhua dan Hua Xiong tiba di puri Zhua Yun Wen, sang raja terguling sedang berleha-leha di atas sebuah ranjang berukir berhiaskan warna emas, dikitari perempuan-perempuan yang semua, enam orang, telanjang.  Yang muda payudaranya kencang, yang setengah tua payudaranya klombyar-klombyor. Tapi yang tua ini kelihatannya sangat disuka Zhu Yun Wen. Barangkali dia berpendapat kelapa tua lebih banyak santan ketimbang kelapa muda. Zhua Yun Wen sedang berhibur diri dengan memain-mainkan perempuan-perempuan itu, ketika sida-sida yang berada di luar masuk, mengatakan ada beberapa orang ingin bertemu dengan sang raja terguling itu. ''Maaf, Paduka,'' katanya. ''Di luar ada Syahbandar dengan beberapa orang tamu dari utara ingin bertemu Paduka.'' Sambil melepaskan tangan dari mainannya, Zhua Yun Wen berkata, ''Tunggu sebentar.'' Dan dia bangkit dari ranjang, ranjang untuk melakukan mesum, tapi baginya ranjang untuk melepas diri dari frustrasi, lantas mengenakan jubah, jubah dadatira berhiaskan bordir benangbenang emas, dan keluar menemui tamu-tamunya itu.


***



Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 14:51
Di serambi luas di depan purinya, para tamu menunggu dengan kesenjangan yang tak terukur sekaligus keraguan tak tertimbang.
''Tuan Syahbandar?'' kata Zhua Yun Wen membuka tangan dan menguncinya kembali. ''Kalau bukan lantaran ada berita menyenangkan bagiku maka niscaya Anda tidak datang ke sini malam-malam begini merecok hiburan malamku.''

 ''Memang benar, Paduka Raja,'' sahut Syahbandar. ''Tapi, selain berita yang menyukacitakan, ada juga berita menjengkelkan.''

''Kalau begitu, uraikan kedua-duanya,'' kata Zhua Yun Wen. ''Aku tidak sabar menunggu beritamu itu. Setelah itu aku akan meneruskan hiburan malamku dengan anggur dan wanita.''

''Baik,'' kata Syahbandar.

''Tapi, sebelum Tuan uraikan itu, tolong katakan dengan singkat, siapa kedua cecunguk dibelakang Tuan itu?'' kata Zhua Yun Wen sambil menunjuk dengan tangan kiri kepada Dang Zhua dan Hua Xiong.
Dang Zhua dan Hua Xiong saling pandang sejenak lalu menekukkan kaki di hadapan Zhua Yun Wen.

Bersamaan mereka berkata, ''Ampun Paduka Raja Zhua Yun Wen.''
''Tuan-tuan ini adalah bagian dari berita menyenangkan dan menjengkelkan bagi Paduka,''kata Syahbandar.

''Kalau begitu, uraikan berita itu, menyenangkan atau menjengkelkan sama saja,'' kata Zhua Yun Wen. ''Dan, setelah itu segera pancung kedua cecunguk ini.''

Pucat pasi wajah Dang Zhua dan Hua Xiong. Dengan bersama-sama pula mereka berlutut di hadapan Zhun Yun Wen, memohon-mohon, ''Ampun Paduka Raja Zhua Yun Wen.''

Syahbandar cepat menimpali percakapan sela. Katanya, ''Seandainya Paduka Raja berkenan memberi kesempatan kepada mereka untuk bicara, pasti Paduka akan mengurungkan kebijakan yang telah Paduka sabdakan.''

''Kenapa Tuan bicara begitu?'' tanya Zhu Yun Wen.

''Mereka adalah orang-orang kepercayaan Liu Ta Xia. Mereka punya bukti-buktinya,'' kata Syahbandar.

Zhua Yun Wen terdiam, memandang lurus di bawah lampu remang di bagian depan puri ini.

''Apa betul begitu?'' katanya dalam nada tanya yang tidak cepat percaya.

''Betul Paduka,'' jawab Dang Zhua dan Hua Xiong secara bersamaan mengeluarkan buktilambang Liu Ta Xia.

Zhua Yun Wen maju, menyambar benda yang dikeluarkan Dang Zhua dan Hua Xiong, lalu memperhatikan dengan saksama, membolak-baliknya. Dalam benda yang terbuat dari logam ini terukir dengan jelas nama Liu Ta Xia. Karena itu Zhua Yun Wen plong. Dia kembalikan
benda itu kepada yang empunya seraya berkata, ''Sekarang bicara. Apa berita yang menyenangkan dan menjengkelkan itu?''

''Paduka Raja tidak salah bercuriga,'' kata Syahbandar. ''Kecurigaan Paduka selama ini tentang langkah-langkah Kaisar memang berasalan. Ceng Ho, putra Ma Ha Zhi, mencari Paduka.''

''Tay Jin itu?'' tanya Zhua Yun Wen.
''Betul, Paduka,'' kata Dang Zhua.
''Kaisar memberinya gelar Sam Po Kong,'' kata Hua Xiong.
Zhua Yun Wen mengangguk, berdiri di sebelahnya. ''Paduka bisa mengatur siasat untuk mengepung dan membantainya besok malam, dan itu akan sangat menyenangkan hati Paduka, sebab mereka akan menjadi seperti ikan-ikan yang terperangkap di dalam jala.''

Zhu Yun Wen memandang Wajah Syahbandar dengan tatapan menyelidiki. "Memangnya bagaimana perkembangannya?"tanyanya.

"Saya sudah mengundang mereka untuk datang kembali besok malam ke kediaman saya, Paduka," kata Syahbandar.

"Betulkah?"
"Ya Paduka."
"Maksud saya, apakah dia akan datang?"
"Pasti, Paduka. Walaupun dia menaruh curiga, dia tidak tahu apa-apa soal hubungan Paduka dengan saya."
"Kenapa Tuan begitu enteng menyimpulkan itu?"

"Dia memang cerdik, Paduka," kata Syahbandar, "tapi menurut pendapat saya, kecerdikan dapat dikalahkan dengan kelicikan. Di dalam dunia ular, pasti ada ular yang berbisa. Orang-orang Liu Ta Xia dapat memainkan perannya masing-masing."

"Begitu?" Dan Zhu Yun Wen memandang kepada Dang Zhua dan Huang Xiong, "apa usul kalian?"

Dang Zhua merasa terhormat oleh pertanyaan Zhu Yun Wen itu. Maka jawabannya, "Kalau Paduka ingin memotong perjalanan Sam Po Kong untuk tidak sampai di Si-Li-Fo-Tsi dan terus sampai ke Asem Arang, serbu dia di sini, biar nisannya dibuat di tanah Campa ini."

"Untuk menyerbu Sam Po Kong setidaknya harus dilakukan dengan jumlah 4 x 25 orang dari empat arah," kata Hua Xiong.

"Apakah Ceng Ho akan ditemani oleh empat orang?" tanya Zhu Yun Wen.

"Angka empat adalah kematiannya, Paduka," kata Dang Zhua.

"Tapi dia tidak datang empat orang," kata Hua Xiong. "Kami berada dalam rombongannya. Kami juru wartanya. Liu Ta Xia yang menyelundupkan kami ke dalam ekspedisi ini."

Zhu Yun Wen tertawa terbahak. "Tidak salah dugaan saya tadi. Kalian memang dua cecunguk," katanya, "baguslah. Besok saya siapkan 4 x 25 orang pendekar. Jangan khawatir. Dengan 100 orang pendekar tangguh, maka empat mayat mereka akan saya satukan di sini tanpa nisan. Kalau betul Ceng Ho cerdik, maka sayalah guru atas kelicikan. Dulu dia membantu Zhu Di dan berhasil menggulingkan saya. Sekarang saya membantu dia cepat-cepat berangkat ke neraka, bertemu dengan setan-setan."

Semuanya tertawa mengikuti tawa Zhu Yun Wen yang bercampur antara kesombongan, takabur, dan bebal.

***


Sementara itu, di kapal, ketika Dang Zhu dan Hua Xiong masih menghadap sang raja terguling, dan Tan Tay Seng, Li Bun Hau, Wan Sen, Lu Shan, dan lain-lain masih berada di kedai Ling, kembali Wu Ping memasuki kamar Dang Zhu dan Hua Xiong. Kali ini Wu Ping mendapatkan kertas bertuliskan pujian terhadap Ceng Ho. Ini adalah kertas lain dari kertas yang ditemukannya kemarin. Dia menyimak dengan bingung. "Bagaimana mungkin tulisan kedua orang ini -entah siapa di antara keduanya-yang dulu menulis dengan kaku, dan kata Ceng Ho menulis dengan tusuk gigi, kali ini kelihatan menulis dengan lumayan," kata Wu Ping, "aku tidak bisa menjawab keanehan ini. Pasti Sam Po Kong dapat menjawabnya." Maka, Wu Ping pergi ke ruang atas, ruang yang bisa dipakai untuk***
Sementara itu, di kapal, ketika Dang Zhu dan Hua Xiong masih menghadap sang raja terguling, dan Tan Tay Seng, Li Bun Hau, Wan Sen, Lu Shan, dan lain-lain masih berada di kedai Ling, kembali Wu Ping memasuki kamar Dang Zhu dan Hua Xiong. Kali ini Wu Ping mendapatkan kertas bertuliskan pujian terhadap Ceng Ho. Ini adalah kertas lain dari kertas yang ditemukannya kemarin. Dia menyimak dengan bingung. "Bagaimana mungkin tulisan kedua orang ini -entah siapa di antara keduanya-yang dulu menulis dengan kaku, dan kata Ceng Ho menulis dengan tusuk gigi, kali ini kelihatan menulis dengan lumayan," kata Wu Ping, "aku tidak bisa menjawab keanehan ini. Pasti Sam Po Kong dapat menjawabnya." Maka, Wu Ping pergi ke ruang atas, ruang yang bisa dipakai untuk pertemuan-pertemuan penting membahas perkembangan pelayaran. Tapi di sana, baik Ceng Ho maupun Wang Jing Hong, tidak terlihat. Wu Ping bertanya kepada asisten Wang Jing Hong, "Di mana Wang Jing Hong?" "Dia sudah tidur,"kata asisten Wang Jing Hong, "dia dan laksamana merasa letih." Wu Ping bicara pada dirinya sendiri, "Ya sudah. Besok saja."


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 15:00
Sekarang coba perhatikan pula apa yang terjadi di kedai Ling di malam yang terus melarut. Di dalam kedai ini kelihantanya semuanya masih jelek dengan mata terbuka lebar. Minuman yang mereka teguk sedikit demi sedikit, bukan sekaligus satu cawan, telah membuat mereka bukanya letih dan ingin tidur, melainkan seperti segar dan tidak mengantuk.

Gadis yang melayani kedai, putri satu-satunya yang memiliki kedai Ling itu, menaruhkan lagi minuman di hadapan Tan Tay Seng sambil berkata, "Awas kalau mabuk."

Tan Tay Seng ketawa. "Sedangkan di laut aku tidak mabuk, apalagi di darat," katanya, "tapi, seperti aku bilang tadi, aku mau mabuk, tapi mabuk karena cinta padamu."

"Huh!" kata Ling Ling.

"Kenapa 'huh'?" tanya Tan Tay Seng, "apakah kau tidak berminat pada tawaran cintaku?"

''Huh! Tawar-menawar hanya berlaku untuk peristiwa jual-beli saja. Cinta tidak dijual-belikan.''
''Lantas?''
''Dikasih dan diterima.''
''O ya? Kalau begitu, berikanlah, aku akan cepat menerima.''
''Pemberian hanya dilakukan kepada orang yang pantas menerima.''
''Apakah aku tidak pantas?''
''Entah.'' Ling Ling pergi.

Tan Tay Seng ketawa ngakak.

Besok malam dia akan datang lagi ke kedai Ling untuk mengantar hatinya.



***

Besok pagi, setelah mengontrol anak buah di dapur, Wu Ping menerima Wang Jing Hong. Dia membawa dua lembar kertas yang berisi sama. Berikut ini isi suratnya: ''Ini surat yang saya dapat dari kamar Dang Zhu dan Hua Xiong,'' kata Wu Ping sambil menyerahkan kertas bertuliskan kanji dengan karakter tua. Demi melihat sepintas tulisan ini Wang Jing Hong langsung merebut. Dia heran melihat surat ini. Ada kemauan kecil dalam perasaannya untuk memuji. ''Mereka memang bisa menulis,'' kata Wang Jing Hong.

''Saya yakin Sam Po Kong juga akan berpendapat begitu.''

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 15:05
Dan mereka, Wang Jing Hong dan Wu Ping, menemui Ceng Ho di ruangnya yang khusus. Waktu itu Ceng Ho membuat garis-garis tertentu di atas sebuah peta pelayaran. Dalam peta itu, peta yang dipunyai kepustakaan Cina, adalah Cina sebagai negeri merupakan pusat segala perhatian, demikian pula arti sebenarnya dari Tiongkok atau Cung Kuo. Di atas peta itu Ceng Ho membuat garis-garis putus antara kota-kota pelabuhan, mulai dari Nan-Jing, Liu-Ja, Wu-Fu Men, kemudian Qui-Nho, dan terus ke tenggara, ke Palembang, Sunda Kepala, Semarang, Tuban. Kertas-kertas peta yang dibuat Ceng Ho di atas meja kerjanya yang besar bukan hanya satu, melainkan banyak. (Ini semua yang di kemudian hari menjadi pustaka berharga tentang pewartaan pelayaran Ceng Ho dalam pelbagai buku, seperti antara lain Zheng He Xia Yang atau Pelayaran Ceng Ho ke Samudera Barat. Barat yang dimaksud di sini adalah Sri Lanka, India, sampai Arab, dan Afrika Timur, antara Mo-Ge-Do-Xu dan Ma-Lin-Di). Ke ruang kerja Ceng Ho itulah Wang Jing Hong dan Wu Ping masuk menemui sang laksamana, memberi surat yang didapat di kamar Dang Zhua dan Hua Xiong. ''Surat apa ini?'' tanya Ceng Ho melihat kertas itu ditaruh Wang JIng Hong di atas meja kerjanya.

''Aneh sekali,'' kata Wang Jing Hong.

''Ini surat yang ditemukan Wu Ping di kamar Dang Zhua dan Hua Xiong. Coba Anda baca.''

Ceng Ho mengambil kertas itu dan membaca. Katanya secepatnya menyimpulkan gaya tulisan ini,

''Ternyata mereka memang benar-benar bisa menulis.''

''Bagaimana pendapat Anda?'' tanya Wang Jing Hong. ''Ini bukan tulisan dengan nga-cim. Ini tulisan pakai pit,'' kata Ceng Ho. ''Di situ dia memuji Anda,'' kata Wu Ping. Ceng Ho tertawa kecil. Ini tidak berarti dia makan puji. Katanya, ''Bukan itu soalnya. Yang jadi soal, mereka mencoba jadi lugu.''

''Lantas, tulisan yang jelek kemarin itu siapa yang buat?'' tanya Wang Jing Hong.

Ceng Ho merengut. Dia berpikir. Tak terjawab.

Yang mencoba menjawab adalah Wu Ping. ''Mungkin ada orang di kapal ini yang menjadi murid mereka.''

''Boleh jadi juga,'' kata Ceng Ho. Kemudian Ceng Ho menyimak dengan saksama isi surat yang ditemukan Wu Ping tersebut.
Isi surat itu memang memuji Ceng Ho. Surat ini mengatakan pujian: ''Dari pengalaman yang cukup lama ikut dalam pelayaran mengarungi samudra, maka kami yakin betul atas kebijakan sang kaisar yang telah memerintah Sam Po Kong Lang mengemban tugas negara mengarungi samudra raya.''

Setelah membaca surat ini, Ceng Ho memerintah Wu Ping membawa kembali ke kamar Dang Zhua dan Hua Xiong. ''Taruh kembali ke kamar mereka,'' katanya.

''Ini bukan hanya dua,'' kata Wu Ping.
''Maksudmu?'' tanya Ceng Ho.
''Masih ada beberapa lembar yang isi suratnya sama seperti ini,'' kata Wu Ping.
''Jadi, menurutmu, apa itu artinya?'' tanya Ceng Ho.

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 15:12
''Entah,'' jawab Wu Ping. ''Mungkin mereka akan memilih mana yang lebih bagus kanjinya.''
Ceng Ho mengangguk. ''Boleh jadi.''
Dan, apakala malam tiba, kembali orang-orang yang ingin turun ke darat di Pelabuhan Qui-Nho lantas pergi minum di kedai Ling. Ke situ pula Tan Tay Seng.
Begitu Tan Tay Seng duduk di kursi kedai itu, Ling Ling datang membawa cangkir dan minuman. Tapi dia bukan menuangkan minuman itu ke dalam cangkir, melainkan bertanya dengan muka sangat bersungguh-sungguh.

''Bagaimana caranya bisa ikut berlayar ke selatan?'' tanya Ling Ling.
''Berlayar ke mana?'' tanya Tan Tay Seng pula.
''Ke Jawa,'' kata Ling Ling.
''Berlayar ke Jawa?''
''Ya.''
''Gampang.''
''Gampang bagaimana?''
''Ya, kamu naik kapal, kapal berlayar, dan kamu berada di dalam kapal yang berlayar.''
''Maksudku apa syarat-syaratnya supaya aku bisa berada di dalam kapal yang berlayar itu?''

''Gampang. Asal saja kamu mau jadi umpan untuk dimakan ikan hiu.''
''Hu, sinting. Aku bersungguh-sungguh.''
''Ah, dasar gila.'' Ling Ling jengkel. Dia pergi. Membawa kembali cangkir dan minuman itu.
''Tunggu. Tuangkan dulu minuman untukku.''

Ling Ling berbalik kembali dan menaruh cangkir itu dan menuangkan minuman ke dalamnya.
Sambil menuang minuman itu ke dalam cangkir, Tan Tay Seng bertanya, kali ini benar-benar serius.

''Memangnya kenapa kau ingin berlayar?''
''Aku sudah bosan di sini. Orang tua juga begitu. Aku ingin bekerja di seberang. Di Jawa.''
''Begitu?''
''Ya.''
''Tapi orang sipil yang ikut dalam pelayaran Ceng Ho ini harus memiliki kepandaian khusus.''
''Apa kaukira aku ini bodoh?''
''Lantas, apa kepandaianmu?''
Ling Ling duduk. ''Minuman yang kauminum itu bikinanku. Itu dari ketan hitam campur ragi.''
Tan Tay Seng meneguk minuman itu. ''Memang enak,'' katanya tulus. ''Tapi, bagaimana, kau perempuan.''

''Memangnya kenapa kalau aku perempuan?''
''Satu perempuan, apalagi perempuan seperti kamu, yang cantik, di antara serigala-serigala, bisa sangat berbahaya.''
''Menang mana serigala dengan harimau?''
''Memangnya kenapa?''
''Aku perempuan, tapi aku harimau. Siapa takut?''
Tan Tay Seng terkesiap. ''O ya?''
''Ya,'' kata Ling Ling bergairah.
''Tapi sekarang apakah harimau berada di dapur? Kalau kamu bilang kepandaianmu adalah membuat minuman....''
Ling Ling memotong, ''Semua minuman...''
''Ya, semua minuman,'' sambung Tan Tay Seng. ''Maka tempat bagi orang yang membuat minuman itu adalah dapur.''
''Itu tidak soal,'' kata Ling Ling. ''Kamu lihat sendiri, di kedai orang tuaku ini aku adalah anak merangkap babu mereka. Aku berbakti pada orang tua.''
Tan Tay Seng menatap mata Ling Ling. Dia senang melihat kesungguhan gadis ini. Selain itu agaknya benar juga lidahnya kemarin bahwa dia telah mengatakan cinta kepada Ling Ling.
''Kalau mau serius, mintalah pada Wu Ping. Dia adalah Sam Po Siu San.''*)


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 15:17
Paginya, di tengah hiruk pikuk pelabuhan, tempat banyak kapal besar dan kecil bersandar, tampak Ling Ling berjalan menenteng guci kecil tempat minuman. Dia berjalan dengan langkah terayun cepat oleh perasaan antara kepastian dan keraguan atas suatu anganan dan cita-cita. Dia naik ke kapal Ceng Ho. Di kapal dia berpapas dengan dua tiga orang. Mulanya dia tidak bertanya apa-apa. Tapi kemudian dia merasa harus bertanya. Sebab, malu bertanya sesat di jalan. ''Di mana saya bisa jumpa Sam Po Siu Sian?'' katanya kepada seseorang. Orang itu menunjuk dengan mulutnya dan jarinya. ''Terus ke sana, turun tangga, ke kiri, dan ke kanan.''


***


Di dalam ruang itu, ruang Wu Ping, yang empunya nama sebagai juru masak Sam Po Kong, sedang duduk memangku. Dia dikejutkan oleh suara perempuan yang tiba-tiba berdiri didepannya.

"Selamat pagi," kata Ling Ling.
Sambil menurunkan kaki, Wu Ping menjawab, "Ya?"
"Saya Ling Ling," kata Ling Ling ragu-ragu.
"Ya?" kata Wu Ping dengan nada sama seperti tadi. Dengan ini dia bermaksud memberikan kesempatan bagi Ling Ling menyatakan kehendaknya.

"Begini," kata Ling Ling. "Saya mau melamar untuk ikut serta dalam pelayaran menuju ke Jawa."

"Bisamu apa?"
"Semua bisa."
"Ya. Tapi apa keahlianmu?"
"Untuk yang semua bisa, saya bisa menyediakan segala hidangan dari Yunan, Hainan, dan Campa. Dan untuk keahlian, saya ini pakar dalam membuat jenis-jenis arak yang paling hebat."

Wu Ping tertawa lagi. Dia tertegun. "O, ya, siapa namamu yang kamu sebut tadi?"
"Ling Ling." Ling Ling senang, menganggap pertanyaan ini semacam pelulusan atas ajuannya. "Apa saya bisa diterima?"

"Tidak tahu. Saya kepala juru masak. Sebagai kepala juru masak saya senang saja punya staf seperti kamu."

"Berarti kau bisa memutuskan apakah saya diterima menjadi stafmu."
Wu Ping membuka tangan, tertawa ramah. "Soal keputusan, itu bukan wewenang saya."

"Tapi, katamu tadi, kau kepala juru masak."

"Memang betul," kata Wu Ping. "Malahan lebih spesifik, saya ini Sam Po Siu Sian, juru masak khusus untuk Sam Po Kong."

"Nah, kan itu lebih ciamik, lebih afdal."

"Tapi, juru masak Sam Po Kong hanya memasak untuk Sam Po Kong."
"Apa bedanya?"
"Sebetulnya di sini bukan hanya satu juru masak. Kau kan tahu, berapa ribu anggota ekspedisi. Saya juru masak khusus untuk Sam Po Kong, sebab seperti saya pun sama-sama tidak memakan daging yang haram. Sam Po Kong dan Sam Po Siu Sian hanya mengonsumsi makanan yang halal. Sementara kau, menurut pengakuanmu, kau tukang bikin minuman. Minuman keras bagi kami pun termasuk haram."

Ling Ling menaiki pinggang. "Hei, memangnya semua orang yang ada di kapal ini dan kapal-kapal lain masuk surga?"

Wu Ping terkesiap. "Apa maksudmu?"

"Kalau menurutmu arak atau minuman keras itu haram dan yang meminumnya berdosa, ya sudah biarkan saja mereka yang masuk neraka. Bukankah neraka dibuat untuk menampung mereka yang berbuat dosa dan pelanggaran. Saya yang membuat minuman kan bebas dari
beban dosa dan pelanggaran."

Wu Ping seperti terpukau. Dia bengong memandang wajah dan penampilan Ling Ling.

Katanya dengan sikap terbuka, "Omong punya omong berapa umurmu?"
Dengan bersemangat Ling Ling menjawab menurunkan tangan yang tadi di pinggang.Katanya, "Enam belas tahun."

Wu Ping tersentak. Dia ketawa senang. "Astaga? Baru enam belas tahun tapi sudah jadi ular? Bagaimana sepuluh tahun yang akan datang lagi."

Dengan tangkas dan tidak kehilangan cara untuk menanggapi senda gurau, berkatalah Ling Ling, "Sepuluh tahun lagi barang kali berubah jadi naga."

Wu Ping tertawa lagi karena hatinya terbuka. "Sudah. Begini saja. Temui langsung Sam Po Kong. Siapa tahu kau diterima."
"Terima kasih."
Ling Ling pergi.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 15:20
Dan Ling Ling berjalan di atas kapal itu menemui Ceng Ho. Saat itu Ceng Ho menyusun siasat dengan kedua perwiranya mengenai undangan kembali ke rumah Syahbandar untuk mengetahui kabar tentang Zhu Yun Wen.
"Kita tidak perlu pergi ke rumah Syahbandar itu pada malam ini," kata Ceng Ho.
"Apakah kita perlu memberi tahu kepadanya?" tanya perwira yang satu.
"Tidak perlu," sahut Ceng Ho. "Kita berbuat seolah-olah pertanyaan kemarin itu adalah pertanyaan sambil lalu."



***


Di pintu Ling Ling minta izin masuk menemui Ceng Ho. "Saya ingin bicara dengannya," kata Ling Ling. "Saya sudah mendapat petunjuk dari Sam Po Siu Sian."

Orang yang berada di pintu itu tidak mengizinkan. "Kembali saja besok," katanya. "Sam Po
Kong sedang sibuk."
Ling Ling sedikit memaksa. "Tolong."
Dan jawab orang itu, "Tidak. Tidak bisa."
Ling Ling merajuk. "Ya sudah," katanya. Dia pergi.

****

Yang diprasangkai Ceng Ho ternyata ada benarnya. Syahbandar sedang merencanakan sesuatu seandainya Ceng Ho datang malam ini untuk mendapat jawaban tentang apakah betul Zhu Yun Wen berada di Campa.
 
Apa gerangan yang dirancang Syahbandar? Dia ingin membuat Ceng Ho tak sadarkan diri.

"Apa ada orang yang bisa membuat ramuan arak untuk dalam seketika yang minum langsung mabuk dan tidak sadarkan diri?" tanya Syahbandar kepada pembantunya.

"Ada, Tuan Syahbandar," jawab pembantunya.
“Kalau ada, segera bawa dia ke sini."
"Baik, Tuan Syahbandar."
"Kalau begitu, lakukan sekarang juga."
"Baik, Tuan Syahbandar."

Dan, dua orang pembantu Syahbandar berangkat ke kedai Ling.

****
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 15:30
Di kedai Ling pembantu-pembantu Syahbandar disambut baik oleh pemilik kedai Ling, yaitu perempuan setengah baya, ibu kandung Ling Ling. Dia sangat ramah.
 
"Tuan-tuan mau minum apa?" tanya dia.
"Soal minum itu memang harus. Tapi di luar minum, kami ingin bertemu putrimu, Ling Ling."

Sang ibu, istri Cia, pemilik rumah minum itu, memandang kedua pegawai Syahbandar dengan curiga. "Apa?" katanya. "Apa dia membuat kesalahan? Anak itu memang sering tidak sadar dalam bicara dan berbuat."

"O, tidak usah takut," kata pegawai Syahbandar itu. "Dia memang tidak membuat kesalahan sekarang ini."

"Tapi dia bisa saja membuat kesalahan nanti kalau dia tidak sanggup membuat minuman yang paling enak buat Tuan Syahbandar," kata pegawai Syahbandar yang satunya. "Nah, di mana dia?"

"Dia sedang ke kapal," kata suara lelaki dari belakang, suara Cia, ayah Ling Ling.
"Ke kapal?" tanya kedua pembantu Syahbandar itu.
"Betul," kata Cia. "Dia melamar bekerja di kapal untuk bisa berlayar ke Jawa."
Kedua pegawai atau pembantu Syahbandar itu tertawa.
Yang satunya malah sedikit meremehkan. Katanya, "Mana mungkin diterima?"

"Ah, yang namanya usaha," kata ibu Ling Ling.



***


Yang mungkin buat orang lain, khususnya kedua pegawai atau pembantu Syahbandar tersebut, adalah tidak mungkin - mengingat Ling Ling masih sangat belia dan perempuan pula - lain lagi di mata Ceng Ho. 

Ceng Ho bersedia bertemu anak remaja ini. Di seputar Ceng Ho sekarang ada juga Wu Ping dan Wang Jing Hong. Mereka duduk berhadapan di sana.

Pertanyaan Ceng Ho menunjukkan bahwa dia tidak menyepelekan gadis remaja ini. Katanya dengan memandang lurus ke mata Ling Ling, "Jadi kamu berminat berlayar ke Jawa?"
"Betul, Tuan Sam Po Kong," sahut Ling Ling.
"Tidak takut melihat gelombang laut?" tanya Ceng Ho.
"Saya lahir di atas kapal, Tuan Sam Po Kong," sahut Ling Ling.
"Apa katamu?"
"Memang betul begitu," sahut Ling Ling. "Ayah Ibu datang ke Qui-Nho ketika Ibu hamil tua Saya lahir di kapal setelah berlayar lima hari dari tanah Hok Kian sana."

Ceng Ho mengangguk-angguk. "Begitu?"

Lalu Wang Jing Hong yang bertanya menyangkut bagaimana seandainya Ling Ling dibolehkan ikut ke dalam pelayaran ke selatan tersebut. Kata Wang Jing Hong, "Lantas siapa yang bertanggung jawab?"

"Tanggung jawab apa, Tuan?" tanya Ling Ling.

"Kamu perempuan," kata Ceng Ho. "Sementara itu, di kapal-kapal kami hampir semuanya, seluruhnya, adalah tentara, dan sebagai tentara mereka adalah lelaki."

Dengan santai, tapi tidak dengan kesan kurang ajar, berkata Ling Ling menjawab pertanyaan itu, "Ayah saya juga lelaki."

Ceng Ho tertawa. "Kamu tidak usah bilang, semua orang juga tahu ayahmu, dan semua ayah di dunia, adalah lelaki."

"Maksud saya," kata Ling Ling mengayun namun tidak pula kehilangan sikap kesungguhan. "Ayah saya juga menguasai cara membela kehormatan kalau kehormatan putrinya terancam."

Lagi Ceng Ho ketawa. "Apa dengan kata-kata itu kamu bermaksud juga mengajukan proposal untuk ayahmu?"

"Tidak, Tuan. Saya mewakili diri sendiri. Tapi kalau Ayah mau ikut juga dalam ekspedisi ini, biar Ayah saja yang mengajukan proposal itu."

Ketawa Ceng Ho kini lebih lebar. "Kamu memang cerdas."

"Apa itu artinya saya diizinkan ikut berlayar ke Jawa?"

Ketawa Ceng Ho yang terakhir ini adalah ketawa untuk suatu pertanyaan: boleh. Karena itu Ling Ling pun amat sukacita.



***

Sukacita hati Ling Ling itu dibawa pulang ke rumah. Dari kapal sampai ke kedai, tempat tinggalnya, dia berlari-lari ceria. Seorang anak belia yang ceria dapat dilihat dari larinya, mengangkat dan menjatuhkan kaki ke bumi: dia seperti anak menjangan yang baru menguasai rimba raya.


***


Ketika Ling Ling tiba di kedai Ling, pembantu atau pegawai Syahbandar masih duduk di sana, menunggu. Kelihatannya mereka pun sudah seperti melayang-layang karena terlalu banyak minum. Siapa pun yang suka minum-minum dengan sendirinya telah menjadi hamba minuman-minuman. Karena minuman telah merasuk tubuh kedua orang suruhan Syahbandar ini, bahkan mereka tidak dapat melihat dengan terang bahwa orang yang mereka tunggu itu, Ling Ling, telah berada di kedai ini. "Itu Ling Ling sudah pulang," kata ibunya. Kedua orang suruhan itu menoleh dengan kepala berat seperti engsel yang berkarat dan tahunan tidak terpakai. Mereka menoleh, tapi tidak ngeh.

Karena itu ibu Ling Ling memanggil putrinya datang ke meja tempat kedua pegawai Syahbandar duduk menikmati mabuknya.

"Ling, ke sini sebentar," kata ibunya.

Dan Ling Ling pun datang ke meja itu, berdiri di hadapan ibunya. "Aku berhasil," katanya.
"Berhasil diterima berlayar?" tanya ibunya.
"Ya. Aku berhasil meyakinkan," kata Ling Ling.
"Syukurlah," kata ibunya. "Tapi ini, Tuan-tuan ini diutus oleh Syahbandar untuk membuat minuman yang cepat memabukkan."
"Itu gampang sekali," sahut Ling Ling. "Mereka sekarang sudah ada di bintang-bintang."

"Yang penting siap-siap," kata ibunya.

"Aku tidak pernah tidak siap kok," kata Ling Ling.


***

Kedua pegawai Syahbandar menyampaikan kepada tuan mereka bahwa Ling Ling siap membuatkan minuman yang dahsyat, yang bisa dengan cepat, tanpa menunggu reaksi yang lama seperti biasanya, mabuk dan seterusnya seperti mati suri. Betapa sukacita hati Syahbandar mendengar laporan bawahannya itu

"Jadi, anak itu bilang dia bisa membuat ramuan itu dengan gampang?" tanya Syahbandar kepada kedua suruhannya itu.
Bersamaan mereka menjawab, "Ya, Tuan."

Dan satunya berkata secara tersendiri, "Sekarang pun anak itu sedang meramunya."
"Berapa lama dia membuat ramuan itu?" tanya Syahbandar dengan mata terbuka, tanpa kedip.

"Saya tidak bertanya itu, Tuan," jawab salah seorang di antara mereka. "Tolol!" Syahbandar mendamprat. Mulutnya yang agak mencongor seperti moncong hewan memamah biak makin jelek dari yang sudah jelek. "Pergi kembali ke rumahnya dan tanyakan itu!"
Pegawai Syahbandar itu melongo oleh dampratan Syahbandar, berdiri di hadapan tuannya seperti si begok. Dengan lugu dia bertanya, "Saya harus ke sana lagi untuk bertanya berapa
lama dia membuat ramuan minuman itu, Tuan"
"Huh!" Syahbandar geregetan. "Tolol sekali. Sekali tolol tetap saja tolol."


"Baiklah, Tuan, kami akan pergi sekarang juga," kata pegawai yang satu lagi.
"Kalian bukan hanya pergi untuk mengatakan, melainkan menunggu sampai minuman itu selesai diramu. Saya butuh untuk nanti malam, tolol."
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 15:34
Bersamaan kedua pembantu atau pegawai Syahbandar itu mengangguk sambil berkata, "Ya, Tuan."

***


Ketika kedua orang suruhan Syahbandar itu pergi ke kedai Ling, Ling Ling pun sibuk membuat minuman arak yang ditugaskan kepadanya: untuk memabukkan dengan cepat. Sambil membuat minuman itu, dia bersenandung sebagaimana biasanya dia bekerja. Jika orang lain bekerja sambil merengut, Ling Ling bekerja dengan suka ceria sambil merangkairangkaikan kata menjadi larik-larik bernada dan berirama.

Dari pohon berbuahlah anggur Dari buah dibuatlah minuman Dari minuman lahirlah peminum Siapa yang mabuk ketika meminum Menyia-nyiakan waktu untuk kerja Apa yang diharapkan dari pemabuk Selain dari cacatnya dan celanya Tapi aku bebas dari salah dan dosa Karena membuat minuman adalah fiilku Hanya yang bekerja yang berhak makan.



***


Ling Ling tak sadar di belakangnya sudah berdiri dua orang suruhan Syahbandar. Kedua orang itu menunggu sambil memperhatikan gerak-gerik Ling Ling: caranya bekerja, caranya menerima pekerjaan sebagai suatu tanggung jawab - dan untuk itu, kata dia melagu, yang penting adalah kerja itu sendiri.
Setelah mengaduk dan menggoyang-goyang di dalam bejana, dia bermaksud menuangnya ke dalam bambu-bambu. Pada saat itu jugalah orang suruhan Syahbandar menyampaikan amanat tuannya.

''Cepat, selesaikan. Kami yang akan membawa minuman itu kepada Tuan Syahbandar,'' kata seorang di antara orang suruhan Syahbandar itu.

''Tenang saja,'' kata Ling Ling.
''Berapa lama kamu menyelesaikan itu?'' tanya pegawai Syahbandar itu.

Ling Ling memarahi mereka. ''Sudah. Jangan tanya. Yang penting hasilnya.''

''Sebetulnya, yang benarnya, kami disuruh kembali ke sini untuk bertanya dan kami sudah bertanya,'' kata pegawai Syahbandar itu.
''Sekarang kan kalian sudah tahu jawabnya,'' kata Ling Ling.
''Tapi amanat lain dari Tuan Syahbandar, adalah, selain bertanya dan sudah kamu jawab, kami pun disuruh menunggu sampai hasil pekerjaanmu itu rampung dengan mujarab. Hasilnya akan kami bawa sekarang juga.''

''Jadi kalian disuruh menunggu juga,'' kata Ling Ling sambil terus bekerja.

''Ya,'' jawab mereka berdua secara berbareng.

''Kalau kalian disuruh menunggu juga, ya sudah, tunggu saja. Tidak perlu bertanya. Bertanya yang berulang-ulang bisa membuat orang mengganggap kalian tolol.''

Dengan lugu tapi sekaligus juga jujur kedua orang itu membenarkan.
Salah seorang di antara mereka mengaku. ''Ya, memang, Tuan Syahbandar pun mengatakan kami ini tolol.''

Ling Ling, yang masih sangat belia ini, memang cergas dan cerdas menyimpulkan mutu kepala kedua orang itu. Dia maklum saja. Maka dia merasa tidak perlu bicara.

***
Setelah senja, baru minuman itu benar-benar beraroma. Matahari terbenam di balik tanah berbukit, tapi sinarnya melembayungkan riak-riak air laut di timur. Burung-burung bergerombol terbang ke barat. Sebentar langit di arah itu memerah, pudar, dan kemudian gelap.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 15:37
Pada saat malam baru saja merangkak, Ceng Ho merasa perlu mengatur siasat baru lagi untuk bertemu Syahbandar. Dia katakan itu kepada kedua perwiranya di ruang khusus untuk rapat. ''Kita jadikan saja pergi ke rumah Syahbandar,'' kata Ceng Ho. ''Kalian semua siap? Ci Liang dan Cun An?''

Kedua perwira itu - yang seumur-umur baru disebut namanya dengan cara begini oleh Ceng Ho -mengangguk bersama-sama, menyepakati kebijakan Ceng Ho.

***

Demikianlah akhirnya Ceng Ho bersama lima orang, termasuk tentu saja Dang Zhua dan Hua Xiong, turun dari kapal di pendahuluan malam, berangkat dengan berjalan kaki ke rumah Syahbandar hanya sekitar 3 kilometer.

Siapa yang memiliki ilmu ming-xiang, niscaya dapat melihat dengan jelas wajah-wajah Dang Xhua dan Hua Xiong yang mirip topeng tertentu untuk peran-peran yang tidak bisa dipercaya.

Wajah mereka yang asli merupakan topeng yang lebih meyakinkan untuk peran-peran buruk perilaku. Mereka berjalan di belakang Ceng Ho dan kedua perwira, Cun An dan Ci Liang, serta Wang Jing Hong.
Sambil berjalan dengan langkah yang panjang, tapi bicara dengan suara dipelankan, berkatalah Wang Jing Hong kepada Ceng Ho. ''Saya curiga.''

''Sama,'' kata Ceng Ho.

''Tapi, apakah kita akan mendapat jawaban yang memuaskan tentang Zhu Yun Wen?'' tanya Wang Jing Hong.

''Memuaskan atau tidak, kita harus mendapat jawaban tentang dia,'' kata Ceng Ho. Yang
penting, kita bukan keledai. Kita harus waspada.''
''Saya mendapat firasat tidak bagus,'' kata Wang Jing Hong. 
''Saya bahkan sudah siap menghadapi segala kemungkinan darurat. Di situlah hidup.''

****
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 15:44
Beberapa saat kemudian mereka pun tiba di rumah Syahbandar. Tuan rumah yang berkuasa di Pelabuhan Qui-Nho ini menyambut tamu-tamunya dengan keramahan yang tak lazim. Ada kegugupan, ketegangan, dan gambaran kesenangan yang tersamar di wajah Syahbandar. Ceng Ho bukan tidak melihat itu. Ceng Ho dapat segera melihat itu. Sambil membungkukkan badan melebihi keramahan kemarin, Syahbandar berkata, ''Beritanya pasti menyukacitakan Tuan. Mari silakan duduk.'' ''Terima kasih,'' kata Ceng Ho. Dan Ceng Ho pun duduk di kursi yang diarahkan Syahbandar. Demikian juga yang lain-lain. Dengan memasang dua tangan di dada sebagaimana biasa dilakukan orang di Campa untuk memberi takzim kepada orang yang patut dihormati, Syahbandar berkata untuk membangkitkan rasa sukacita sekaligus simpati bahwa dia telah berhasil, ''Sebagaimana sudah saya janjikan, nama yang Tuan tanyakan pada saya kemarin itu Tuan dapatkan jawabannya hari ini.'' Tawaran akan kesukacitaan itu membuat Ceng Ho seperti tegak duduk di atas kursinya. Katanya, ''Jadi sudah ada jawabannya tentang Zhu Yun Wen.'' ''Betul, Tuan,'' kata Syahbandar. ''Dia adalah raja terguling di utara yang memang bersembunyi di Campa.'' ''Terima kasih atas jasa Tuan itu,'' kata Ceng Ho. ''Sama-sama,'' kata Syahbandar. ''Sama-sama.'' Dan Syahbandar menepukkan tangan ke arah dalam, menyuruh pelayannya membawakan minuman. Pelayan Syahbandar pun dengan segera dan tanggap datang ke situ membawa cawan-cawan minuman lantas menaruh di atas meja. Syahbandar mengambil salah satu cawan dan mengarahkan kepada tamu-tamunya itu. ''Mari, silakan minum. Kita harus bersulang dulu demi keberhasilan Sam Po Kong. Semoga misi Sam Po Kong di semua negeri akan sukses pula.''


Semuanya, mulai dari Ceng Ho, kemudian Wang Jing Hong, Cun An, Ci Liang, dan Dang Zhun dan Hua Xiong, bersamaan mengangkat cawan masing-masing untuk isyarat sulang. Syahbandar menaikkan cawannya.

Katanya, ''Demi keselamatan semua.'' Semua pun mengucapkan kata-kata itu, ''Demi keselamatan semua.'' Tapi Ceng Ho menurunkan kembali cawannya, tidak menaruhnya di mulutnya, melihat terlebih dulu dengan ekor matanya kepada Syahbandar. Ceng Ho mengganti cawannya dengan cawan yang dipegang Syahbandar. ''Maaf,'' katanya sambil mengambil cawan di tangan Syahbandar, memberikan cawan yang berada di tangannya kepada sang tuan rumah. ''Nah, mari kita minum.'' Syahbandar terkesiap namun tak bisa menghindar. Dia meneguk saja minuman itu. Diamdiam dia merasa syukur, sebab yang diduganya bahwa Ceng Ho tidak percaya padanya dan akan mengganti cawannya, ternyata betul. Sebab, justru cawan yang dipegangnya itu adalah cawan yang berisi minuman ramuan Ling Ling yang sangat memabukkan, membuat orang yang minum langsung tak sadarkan diri. Dan, bagaimana Ceng Ho? Apakah dia akan meneguk minuman dari cawan yang baru diambilnya dari Syahbandar? Ceng Ho cerdik. Dia pura-pura memasukkan minuman itu ke mulutnya. Tapi segera setelah itu dia berbatuk-batuk, sehingga isi cawan yang baru masuk sedikit di mulutnya, lantas disemburnya keluar. ''Maaf, saya lupa,''

katanya. ''Rasa senang memang sering membuat orang terlupa sesaat.'' Syahbandar pun pura-pura masygul. ''Ada apa, Tuan?'' ''Maaf, saya lupa. Kami menganggap minuman ini termasuk barang haram dalam kepercayaan kami.'' Syahbandar bingung. Bersamaan dengan itu, pengikutnya, termasuk Dang Zhua dan Hua Xiong, termasuk Cun An dan Ci Liang, kecuali Wang Jing Hong, sama-sama tumbang dan tergeletak di lantai. Hal itu dengan sendirinya membuat Ceng Ho gampang sekali menyergap Syahbandar. Begitu Ceng Ho menyergap Syahbandar, serta merta pembantu-pembantunya atau pegawaipegawainya yang merupakan laskar-laskar terlatih datang memasuki ruangan, siap menyerang Ceng Ho dan Wang Jing Hong, dua di antara anggota ekspedisi yang tidak meminum minuman yang memabukkan itu. Dalam sekejap terjadilah perkelahian seru. Selalu perkelahian terjadi karena satu menyerang satunya dan satunya tidak ingin menyamakan harkat manusia sebagai hewan atau batu. Mulanya Syahbandar mengira dan karena itu berharap begundal-begundalnya dapat mengalahkan hanya dua orang, yaitu Ceng Ho dan Wang Jing Hong. Tapi ternyata sepuluh orang begundal itu satu demi satu tumbang dikalahkan dengan tangan kosong Ceng Ho. Begitu orang yang terakhir dikalahkan, tumbang dengan sia-siapa di lantai, Syahbandar menyadari kesulitan dirinya.

Dia pun cepat-cepat mundur hendak pergi. Namun Ceng Ho segera memburu dan menangkap leher bajunya. ''Kenapa buru-buru pergi, Tuan Syahbandar?'' kata Ceng Ho. ''Maaf, Tuan Sam Po Kong,'' kata Syahbandar dengan wajah pucat. ''O, ya?'' kata Ceng Ho pura-pura tidak paham. Maksudnya sekadar hendak mengayun perasaan Syahbandar yang kadung tidak menentu antara gagal dan tak berdaya. ''Kalau Anda mau mengucapkan maaf, ucapkanlah itu kepada Zhu Yun Wen saja. Katakan kepadanya bahwa Anda tidak berhasil memperdaya saya.''

Lagi Syahbandar mengucapkan kata-kata yang sama, ''Maaf, Tuan Sam Po Kong.'' Ceng Ho mengempaskan Syahbandar dengan mendorongnya di dadanya. Syahbandar pun terpelanting. Kata Ceng Ho. ''Tidak usah bilang maaf. Maaf yang terlalu sering diucapkan, tanpa memahami maknanya, hanya akan menjadi basa-basi yang mubazir.''

Syahbandar menjadi seperti dungu. ''Iya, Tuan Sam Po Kong,'' katanya sambil berdiri.
Ceng Ho maju dan menangkapnya kembali, bukan di bagian leher bajunya, tapi langsung lehernya. Dia mencekik leher Syahbandar dan menyandarkan ke dinding. Katanya dengan nada ancam, ''Sekarang katakan yang sebenarnya di mana ngumpetnya Zhu Yun Wen?''

Syahbandar makin gentar. Orang yang gentar adalah orang yang takut terhadap kematian. Dia mengira Ceng Ho akan melakukannya segera.
''Baik, Tuan Sam Po Kong, baik,'' kata Syahbandar, ''saya akan antar Tuan ke sana.''



***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 15:51
Ceng Ho memaksa Syahbandar untuk mengantarkannya sekarang juga ke sana.
Tapi Ceng Ho mengkhawatirkan keadaan perwiranya serta juru tulisnya yang masih tergeletak di lantai.

''Berapa lama lagi mereka siuman?'' tanya Ceng Ho.
''Tidak lama, Tuan.''
Karenanya Ceng Ho memutuskan untuk menunggu beberapa saat sampai orang-orangnya siuman. Dia memutuskan untuk berangkat ke tempat sembunyi Zhu Yun Wen malam ini juga.

Dan manakala mereka semua siuman, berangkatlah mereka semua ke puri sembunyian Zhu Yun Wen.

***


Di purinya itu, seperti biasa, Zhu Yun Wen dikelilingi oleh perempuan-perempuan, telanjang dan setengah telanjang. Dia tahu bahwa Syhabandar akan datang sekarang. 

Maka sambil mengangkat cawannya, Zhu Yun Wen berkata kepada semua yang berada disekitarnya, ''Mari minum. Hari ini adalah hari bersenang-senang. Sebentar lagi Syahbandar akan membawa musuhku ke sini. Dia akan menari-nari di sini di bawah irama cambuk.''
Semua senang. Semua keranjingan.

''Coba, peragakan bagaimana kamu mencambuk,'' kata Zhu Yun Wen kepada algojonya.

Dan, algojonya itu memecut-mecutkan cambuknya di tengah orang-orang di dalam balirung puri. Caranya memecut-mecut itu seperti seekor bajing yang lincah berjungkir-balik di situ.
Semua melihatnya dengan senang, sementara Zhu Yun Wen membayangkan kemenangannya dalam keterasingannya.



***


Begitulah, orang-orang yang sedang dirasani itu, kini sedang menuju ke puri tempat persembunyian Zhu Yun Wen. Mereka semua tujuh orang: Ceng Ho, Wang Jing Hong, Dang Zhua, Hua Xiong, Cun An, dan Ci Liang, serta Syahbandar sendiri. Kaki-kaki kuda yang mereka tumpaki itu berderap-derap leluasa dan liar padahal jalanan ke sana gelap. Setelah melintasi bagian belukar, sampailah mereka ke tempat tujuan.... Seseorang di depan puri, yang bertugas di situ, cepat-cepat memberi aba-aba kepada seseorang lainnya yang berdiri di bagian muka balairung, dan orang yang terakhir disebut ini lantas masuk ke dalam, ke balairung, tempat Zhu Yun Wen bersuka-suka. Dia memberi hormat dengan duduk bersila di hadapan Zhu Yun Wen. Katanya, ''Tuan Raja, Syahbandar dan tamunya sudah berada di luar.'' Zhu Yun Wen berdiri dari kursinya. Tegang badannya namun senang hatinya. Katanya, ''Pasti dia membawa orang yang menari-nari oleh cambukan algojo di balairung ini. Suruh mereka masuk saja.'' ''Baik, Tuan Raja,'' kata penjaga itu. Dan dia keluar. 
Ikut juga keluar algojo yang memegang cambuk itu. Tampaknya dia tak sabar hendak memeperagakan kebolehannya, memecut sambil meloncat-loncat seperti tupai. Pasti dia akan kecele. Malahan bukan hanya dia seorang diri yang kecele. Termasuk Zhu Yun Wen sendiri yang akan terkejut, terperanjat, terkesima. 


***


Di kursinya yang besar, kursi yang dibayangkannya sebagai kursi yang akan membuatnya kembali berkuasa, Zhu Yun Wen menunggu masuknya Syahbandar. Dalam gambarannya Syahbandar dan begundal-begundalnya akan mencampakkan Ceng Ho serta anak buahnya di bawah kakinya.

Gambarannya itu sesuai dengan kenyataan. Syahbandar mendorong tubuh Ceng Ho ke lantai.

Dan Ceng Ho jatuh di situ seperti seorang budak. Padahal itu semuanya hanya pura-pura.

Ceng Ho yang menyuruh Syahbandar melakukan itu kepadanya.
Zhu Yun Wen pun terkecoh. Dia hampiri Ceng Ho yang tersungkur di lantai. Lantas dia menginjak badan Ceng Ho di lantai itu, sambil ketawa keras, mirip monyet tertentu.

''Terima kasih, Syahbandar,'' kata Zhu Yun Wen. ''Kamu sudah membawa musuhku ini ke sini. Ayo, semua tepuk tangan.''
Dan semua orang di situ pun memberi tepuk tangan.
Lalu Zhu Yun Wen berputar, mengganti kakinya yang satu menginjak badan Ceng Ho. 

Katanya, ''Dia inilah yang menggulingkan aku dari singgasanaku atas perintah pamanku. Sekarang aku ingin menonton bagaimana dia terguling-guling dicambuk algojoku, sebelum aku pancung dia dan mati konyol di sini. Ayo, mainkan musik.''

Orang-orang yang diperintah lantas memainkan musik. Tak lama kemudian si algojo berjalan ke tengah balairung mulai memecut-mecutkan udara. Dia pun meloncat-loncat meniru
kegesitan tupai sehingga orang-orang yang berada di situ menyaksikan dengan senang, merasa terhibur.

Ceng Ho bersama orangnya tetap pura-pura tergeletak karena mabuk di lantai.

''Syahbandar,'' kata Zhu Yun Wen, ''Berapa lama mereka mabuk tidak sadarkan diri?''

Syahbandar tak percaya diri. Dia menjawab dengan kalimat yang tidak lancar, plegak-pleguk, dan terpilah-pilah. Katanya, ''Cu, cu, cu-kup, la-ma, eh, Pap-pa-paduka Raja.''

Jawaban yang tak lancar itu membuat Zhu Yun Wen berprasangka: mengapa Syahbandar alih-alih begini. Tapi dia bertanya juga, ''Berapa jarak 'cukup' yang kamu maksudkan itu?''
Syahbandar waham terhadap dirinya. Dia takut dustanya mengakibatkan dua pihak -Ceng Ho dan Zhu Yun Wen -menghabisinya dalam pertarungan yang dipastikannya akan berlangsung
dalam waktu dekat di muka.

Tapi, sekadar berkutat dengan waktu, Syahbandar menjawab, ''Mereka sudah tidak sadar diri sejak kami bawa ke sini.''
Zhu Yun Wen berputar-putar di atas lantai memperhatikan tubuh-tubuh yang tergeletak di bawah. ''Bagus,'' katanya. ''Kalau begitu kita akan cambuk mereka sampai mereka siuman lagi.''
Algojo pun membunyikan cambuk. Dengan begitu dia hendak berkata bahwa dia siap melakukannya sekarang juga.
Lalu kata Zhu Yun Wen kepada algojo itu. ''Ya mainkanlah tarian cambukmu kepada bedebah ini.''

Dan algojo itu pun melakukan dengan congkak apa yang dia pikir bahwa dialah yang paling menentukan nasib orang. Sekali pecut, pecut itu pun berdetas, langsung mengena Ceng Ho.
Kemudian pecut kedua mengena Wang Jing Hong. Dan selanjutnya berurut kepada semua orang Ceng Ho, yaitu dua perwira, termasuk dua juru tulisnya yang palsu itu.
Namun pada cambukan berikut, algojo itu kaget, dan semua yang berada di balirung itu kaget,

sebab sekonyong Ceng Ho berdiri, menangkap ujung cambuk yang baru berdetas di tubuhnya itu, lalu menariknya dengan kuat, dengan ketangguhan tak terimbangi, sehingga algojo itu terseret ke arah Ceng Ho dan terpelanting di hadapannya. Segera laskar-laskar puri yang seluruhnya pelarian dari utara yang dilatih menjadi tentara yang setia pada Zhu Yun Wen bersiap siaga menghadapi perkembangan ini. Begitu mereka maju hendak menyerang Ceng Ho, dua perwira Ceng Ho bersama kepala juru mudinya, yaitu Ci Liang dan Cun An serta Wang Jing Hong, lekas-lekas pula bangkit dari keadaan mereka yang pura-pura mabuk itu, dan siap menghadapi serangan. Hanya dua orang anggota ekspedisi Ceng Ho, yaitu Dang Zhua dan Hua Xiong, yang tidak terlibat perkelahian itu.

Dalam sekejap balairung berubah menjadi pentas pertarungan sengit. Karena laskar-laskar Zhu Yun Wen menggunakan senjata, kedua orang perwira Ceng Ho, terkecuali Ceng Ho, sama-sama bertarung dengan pedang. Pertarungan dengan pedang itu berlangsung seru. Tentu sebagai cempiang sejati, Ceng Ho sanggup mengalahkan laskar-laskar Zhu Yun Wen itu. Mereka adalah laskar-laskar yang lebih banyak tampil sebagai sok jagoan ketimbang jagoan sejati. Laskar-laskar itu dengan cepat - karena hanya sombong dan bersemangat kardus mengira diri mereka paling perkasa - dikirim satu per satu oleh Ceng Ho ke wilayah yang bukan dunia kasatmata, yaitu menyatu daging dengan tanah: menjadi marhum...... Melihat kenyataan yang tak menyukacitakan hati, lekas-lekas Zhu Yun Wen lari tunggang langgang, masuk ke dalam purinya.
***
Memangnya hendak ke mana Zhu Yun Wen pada malam larut yang gelap dan dingin begini? Entah. Dia tak bisa menggunakan nalar lagi. Yang bekerja dalam dirinya sekarang hanyalah naluri ingin hidup semata-mata. Dan ketika dia masuk ke dalam puri untuk melarikan diri karena takut kepada Ceng Ho, dia telah merasa dirinya, tanpa dia perincikan perasaan itu dengan kata-kata, sebagai tikus. Ketika melarikan diri ke dalam, dia tak sadar pula telah menubruk dan menginjak beberapa orang perempuan di dalam balairung yang tadi menghadiri pesta-poranya dengan tidak berbusana. Di dalam Zhu Yun Wen bersembunyi di balik tirai, sebagai tikus yang merasa yakin akan menemukan azabnya....

******
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 16:00
Bersembunyi di balik tirai itu tak membuatnya aman. Maka sambil berpikir untung-untungan, dia berlari lagi ke belakang bangunan puri. Di situ ada sebuah taman kecil. Ada kolam di tengah-tengah, serta kandang-kandang, seperti kebun binatang, di mana di sangkarnya banyak burung jenis berkicau, termasuk binatang-binatang berkaki empat yang buas: seekor harimau, seekor serigala, dan lain-lain. Zhu Yun Wen bingung beberapa saat di taman itu. Akhirnya oleh keputusan naluri pula dia cepat menyemplung ke dalam kolam. Di kolam itu tumbuh jenis rumput tinggi yang berongga. Maka dicabutnya batang rumput berongga itu, lantas dia membenamkan diri ke dalam air, menggunakan batang berongga itu sebagai alat bernafas. Dia selipkan batang itu ke dalam mulutnya, dan ujungnya menghirup udara di atas. Menurut dugaannya, dia akan selamat di situ. Dan memang dia selamat untuk sementara. Ceng Ho dan kedua perwiranya datang ke situ. Mereka mencari di setiap tumbuhan taman yang membelukar. Tak menemukan. Mereka tidak secergas Ceng Ho. Yang disebut ini segera melihat air di dalam kolam itu bergerak-gerak. Maka dia berhenti di depan kolam itu. Dia berpikir. Dan akhirnya dia menyimpulkan pasti Zhu Yun Wen baru saja menyemplung ke dalam kolam itu.

Maka berkatalah Ceng Ho dengan suara keras, "Keluarlah dari dalam kolam, Zhu Yun Wen." Cun An dan Ci Liang serta Wang Jing Hong segera berdiri mengelilingi kolam. Berjaga. Kata Ceng Ho lagi,

"Keluarlah, ayo. Sangat tidak terhormat kalau Tuan mati ditikam di dalam kolam. Kalau Tuan mati ditikam di dalam kolam ini, Tuan menista martabat Tuan sebagai Raja Cina. Apakah Tuan ingin mati terhina sebagai hewan buruan? Keluarlah!" Secepat itu Zhun Yun Wen muncul dari dalam air. Dia berdiri di situ. Muncrat serapah dari mulutnya. Katanya, "Kamu memang jahanam, Ceng Ho!" Sebaliknya Ceng Ho memberinya salam. Katanya, "Selamat malam, Tuan Raja." Zhu Yun Wen tidak hirau. Dia naik dari kolam itu. Kepercayaan baru, yaitu kepercayaan sebagai seorang ksatria yang tidak sudi dikalahkan, membuat Zhu Yun Wen siap menghadapi Ceng Ho, apa pun hasilnya.

"Kamu jangan terlalu percaya diri, Ceng Ho," kata Zhu Yun Wen. Dengan santun dan samadya Ceng Ho menjawab, "Tentu saja, Tuan Raja." Kini Zhu Yun Wen telah berada di luar kolam, berdiri dengan kepercayaan baru yang membuatnya tegar.

Katanya dengan berani, "Kalau kamu kira kamu bisa mengalahkan aku seperti pernah kamu lakukan, kamu mengisap jempol." "Kebetulan saya tidak mengira begitu," kata Ceng Ho. "Anda tahu, Zhu Di memberi kepercayaan kepada saya untuk bertindak atas nama kerajaan. Dulu beliau memberikan kepercayaan kepada saya untuk menggulingkan pemerintahan yang korup, pemerintahan Anda, yang marak oleh mesum. Dan sekarang beliau memberikan kepercayaan pula kepada saya untuk menangkap Anda." Zhu Yun Wen tertawa bahak. Tawanya seakan hendak menyaingi guruh musim hujan. "Tidak gampang berbuat seperti yang kamu bayangkan, Ceng Ho." "Saya bukan orang yang pandai membayang-bayang," kata Ceng Ho.

"Saya orang praktis. Saya berbuat berdasarkan apa yang saya yakini benar. Dan apa yang saya yakini setidaknya tumbuh dari pengalaman yang ditempa oleh waktu." "Sombong," kata Zhu Yun Wen. "Buktikan dulu." "Saya terima, Tuan," sahut Ceng Ho. "Kita akan buktikan bersama-sama." "Setuju. Kita harus membuktikannya sekarang," kata Zhu Yun Wen sambil mencabut pedang yang tersandang di pinggangnya. Zhu Yun Wen pun meloncat, menyerang Ceng Ho. Ceng Ho pun menghindar, menangkis Zhu Yun Wen. Setelah itu terjadilah serang-menyerang, tangkis-menangkis. Kedua perwira CengHo hendak ikut menyerang dari dua arah berbeda, tapi segera Ceng Ho melarang mereka. "Biarkan saya yang menghadapinya," kata Ceng Ho seraya menunggu sejenak serangan Zhu Yun Wen. "Beliau menaruh dendam khusus kepada saya. Maka biarkan beliau melampiaskan itu secara sendiri pula." Zhu Yun Wen tertawa lagi. Barangkali itu cara dia mengejek, mempermainkan konsentrasi dan urat saraf Ceng Ho.

Padahal di balik itu semua, di dasar paling tidak teguh dari pendiriannya, sebetulnya Zhu Yun Wen sedang berusaha dengan sia-sia menegakkan konfidensinya. Dia setengah percaya saat ini yang akan berubah menjadi percaya bulat, dia toh akan kalah dalam adu anggar ini. Dan memang betul, setelah adu pedang yang tidak seimbang, akhirnya Zhu Yun Wen tergelincir dan jatuh terjerembap. Bersamaan dengan itu pedang Ceng Ho dengan sangat cepat telah menempel di leher Zhu Yun Wen yang putus asa,

"Bunuhlah." Ceng Ho diam sesaat, memandang dengan keksatriaan tulen. "Tidak," katanya. "Perintah Kaisar Zhu Di, Anda harus dibawa kembali ke Cina."

Zhu Yun Wen mengembuskan nafas yang tadi ditahannya.
"Urus beliau," kata Ceng Ho kepada kedua perwiranya.

Dan Ci Liang dan Cun An pun membekuk Zhu Yun Wen. Dengan begitu putuslah sudah kebiasaan pesta-pora dan kemesuman di negeri orang.


***


Apa boleh buat, Zhu Yun Wen harus menerima takdirnya, digiring dengan tangan terikat melewati balairung, tempat dia baru saja berpesta-pora, disaksikan orang-orangnya. Di antara orang-orang itu, di dekat pintu paling besar, berdiri juga orang yang gagal mengemban tugas, Syahbandar.

Di tempatnya berdiri ketika Zhu Yun Wen lewat dalam keadaan konyol, Syahbandar menundukkan kepala. Katanya, "Maafkan saya, Tuan Raja."

Zhu Yun Wen bahkan tidak melirik.
Dia telah menjadi tikus basah.

***

Setelah itu kuda-kuda bergerak, dipacu kencang dari puri tempat diam Zhu Yun Wen ke pelabuhan. Zhu Yun Wen berada satu kuda dengan Ceng Ho. Dia dilungkarkan di depan, dan Ceng Ho memegang tali sais. Bunyi kaki-kaki kuda seperti gemuruh kecil dan panjang di belantara.

***


Ketika kuda-kuda itu melewati kedai Ling, orang-orang di dalam melihat keluar, tapi tak melihat dengan jelas sebab gelap. Di antara orang-orang yang berada di kedai itu ada juga Tan Tay Seng yang baru saja meneguk minumannya.

Tanpa menengok keluar, Tan Tay Seng berkata dengan acuh tak acuh namun yakin, "Itu sudah pasti."

Orang-orang melihat kepadanya, bertanya-tanya dalam hati. Tetapi mereka tidak bertanya lewat mulut, apa gerangan yang diperkatakan Tan Tay Seng tentang "yang pasti itu"?

Ayah Ling yang masih melayani di situ, yang kebetulan duduk berhadapan dengan Tan Tay Seng, bertanya, "Pasti apanya?"

"Ceng Ho yang Sam Po Kong pasti berhasil menangkap Zhu Yun Wen," kata Tan Tay Seng.
"Apa katamu?" tanya ayah Ling.
"Ah, itu tidak penting buatmu," jawab Tan Tay Seng. "Yang penting buat kita sekarang, aku ingin menyanyikan lagu untuk keberhasilan Sam Po Kong menangkap Zhu Yun Wen."


Ketika Tan Tay Seng berkata begitu, dia melihat ada sebuah pei-pa *) digantung di dinding.
Maka dia berdiri dan bertanya pada ayah Ling, "Boleh aku pinjam itu?"
Ayah Ling melihat dulu pei-pa itu. "Kalau kau bisa memainkannya, kau bahkan boleh membeli dengan murah."

"Betul?" tanya Tan Tay Seng.
"Betul," jawab ayah Ling dan mengambilkan pei-pa itu, memberikannya kepada Tan Tay Seng.

Tan Tay Seng menerimanya, dan memetik-metiknya untuk sekadar mengakrabkan diri dengan instrumen itu. Ada dawai yang didengarnya tidak laras, dilaraskannya. Setelah itu dia memainkannya. Sambil memainkan dia mengarang larik-larik sajak yang muncul tiba-tiba
dalam ilhamnya.

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 16:04
Ikan yang berenang di dalam balong Jangan ditangkap dengan tangan kosong Pakai jala supaya semuanya terborong Senanglah hati bagai ditabuh gong Tapi senang jangan lahirkan sombong Zhu Yun Wen sombong ditawan Sam Po Kong.


***

Cun An dan Ci Liang menggiring Zhu Yun Wen, meniti jembatan yang terbentang antara kapal dan darat, masuk ke dalam, ke suatu ruangan khusus - ruangan dengan terali-terali yang memang sengaja dirancang dan dibangun untuk menangkap dua orang yang akan dibawa nanti ke hadapan Zhu Di, yaitu Zhu Yun Wen dan Chen Tsu I. Di dalam ruangan berterali itulah Zhu Yun Wen disekap dengan segala kekalahannya. Dia tidak bisa melihat apa-apa, sebab ruangan ini gelap, bukan hanya pada malam hari seperti sekarang, melainkan juga pada siang hari, besok, lusa, tulat, tubin. Hanya nasib baik yang dapat membuatnya bebas. Dan barangkali harus ada lebih... Ya, dan barangkali harus ada lebih dari hanya pengkhianat yang akan menyusup ke situ. Adakah penghianat dalam ekspedisi ini? Jawabnya: pasti ada.


***


Sebelum itu, perhatikanlah lebih dulu apa yang terjadi di sebuah kamar. Agar Anda cepat mengingat tentang kamar ini, baiklah disebut kamar ini berada di ujung. Yang menempati tak lain tak bukan Dang Zhua dan Hua Xiong. Mereka bicara pelan-pelan di situ, nyaris seperti berbisik-bisik, dan sesekali melihat ke arah pintu.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Hua Xiong. "Keadaannya sekarang telah terbuka."

"Jangan terlalu kreatif," kata Dang Zhua. "Kita jalankan saja apa yang sudah ditetapkan Menteri Liu Ta Xia. Keberadaan kita harus tetap tidak terbaca. Keteledoran kita yang lalu, menaruh kertas secara sembarangan, sehingga kertas-kertas itu 'dicuri' dan membuat siapa pun yang 'mencuri' itu menilai-nilai kemampuan kita, tidak boleh terulang lagi."

"Ah, kalau ada yang mau 'mencuri' lagi kertas-kertas di sini toh kita sudah punya orang yang dapat menulis dengan bagus," kata Hua Xiong.

"Sst, itu juga harus terjaga rahasianya. Menurutkan Cang itu tidak berpendirian. Bisa saja dia ngoceh-ngoceh, dan dalam tidak sadar dia bilang menulis surat yang kita pesan kepadanya."

"Gampang mengurus orang yang tidak berpendirian. Asalkan uang untuknya cukup, dia gampang dibikin seperti kerbau."

"Sst, jangan keras-keras."

Hua Xiong menutup mulut dengan tangannya. "Lantas sekarang, bagaimana?" tanya Hua Xiong dengan suara dipelankan benar. "Di mana kita bebaskan Zhu Yun Wen?"

"Kita tunggu sampai kita tiba di Asem Arang."*)

"Lo? Kan kita masih akan singgah di Si-Li-Fo-Tsi."


"Sst."

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 16:08
Pada pagi harinya Ceng Ho datang ke ruang tahanan berterali tempat Zhu Yun Wen mendekam. Walaupun ruang ini sangat kukuh, keruan ada juga penjaga yang bertugas di depan. Kebetulan yang bertugas menjaga tertawan Zhu Yun Wen di pagi pertama setelah dia ditangkap dan disekap di kapal ini adalah Cang, bintara yang disebut Dang Zhua tadi malam sebagai "orang yang tidak berpendirian".

Siapa sebetulnya Cang?


Untuk sementara, katakan saja dia menurut apa yang sudah dikatakan Dang Zhua. Kini dia bertugas menjaga di depan sel Zhu Yun Wen. Dia memberi hormat kepada Ceng Ho yang datang ke situ.

Ceng Ho memandang ke dalam, melihat Zhu Yun Wen masih tidur dengan kedua kaki terbelenggu rantai. Tanpa membangunkannya, Zhu Yun Wen bangun sendiri, menyadari ada Ceng Ho di luar selnya itu. Begitu membuka mata, dia langsung menyerapah pada Ceng Ho.

"Terkutuk kamu, Ceng Ho!" katanya. "Apa-apaan ini? Aku ditawan seperti binatang. Tidak sopan! Tidak tahu adat."

"Maaf, Tuan Raja," kata Ceng Ho. "Kekuasaan memang sering mengabaikan sopan santun dan adat-istiadat. Bukankah ketika Anda berkuasa, Anda melakukan itu juga terhadap Zhu Di?"

"Dasar sinting. Tempat apa ini? Kapal terkutuk. Kandang babi.
Setan keparat!" kata Zhu Yun Wen tak menentu.

"Maaf, Tuan Raja," kata Ceng Ho dengan tenang. "Segera setelah kapal mengangkat sauh, baru rantai itu akan dilepaskan, dan Tuan boleh menikmati keleluasaan di sel ini. Sel ini memang tidak sama dengan puri Tuan di darat sini. Tapi percayalah, kapal ini dirancang sesuai dengan kebutuhan. Di dalam ruang yang Tuan tempati ini ada ranjang yang enak, kakus, dan meja makan yang lumayan. Semoga Tuan betah di sini sampai kita kembali ke Cina."

Di ujung kalimat panjang itu, Ceng Ho pun meninggalkan tempat itu. Itu membuat Zhu Yun Wen berteriak geram dan getir.

"Hei, Ceng Ho! Ke sini kamu!"

Ceng Ho berhenti sejenak, lalu kembali ke depan sel itu, memandang Zhu Yun Wen, membuka diri. "Ya? Ada apa, Tuan?"

"Kapan kapal ini kembali ke Cina?"

"Sabar, Tuan," kata Ceng Ho. "Mungkin satu tahunan lagi."
"Apa?"
"Ya, Tuan. Kapal ini akan berlayar dulu ke Si-Li-Fo-Tsi sebelum menyauh dalam jangka yang lebih panjang di Jawa. Saya ditugaskan mencari seorang 'benalu' di Palembang."

"Apa? Siapa?"

"Mungkin dia teman Anda juga, Tuan," kata Ceng Ho tersenyum. "Nah, selamat pagi."

Ceng Ho berlalu.



***


Menjelang siang Ceng Ho membuat rapat lagi di ruang khusus rapat. Yang hadir adalah mereka yang biasa duduk di situ untuk berembuk mengenai pelbagai hal di bawah keputusan Ceng Ho. Semua perwira, termasuk tentu saja kepala juru mudi Wang Jing Hong, serta Dang Zhua dan Hua Xiong hadir dalam pertemuan ini. ''Tugas kita di sini sudah selesai,'' kata Ceng Ho. ''Besok malam kita melanjutkan pelayaran ke selatan, ke Si-Li-Fo-Tsi, dan terus ke Jawa.'


***


Dan sauh pun diangkat. Kapal-kapal bertolak pada malam hari meninggalkan Pelabuhan Qui-Nho, menyusur ke selatan, melewati batas luar tanah Campa, terus ke selatan lagi, di batas luar semenanjung tanah Melayu, melampaui banyak pulau, sampai akhirnya

singgah di Belitung dan Bangka sebelum memasuki sungai Musi, ke Palembang.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 22/08/2008 16:12
Ketika kapal berada di tengah gelap, pada hari keempat setelah meninggalkan Qui-Nho, pada malam yang larut, bersamaan dengan gelombang yang membuat kapal oleng, Dhang Zhua dan Hua Xiong mengendap-endap menuju ke ruang tahanan Zhu Yun Wen. Setelah berada di lantai tempat tahanan itu, Hua Xiong dan Dang Zhua membagi tugas: Hua Xiong menjaga di bagian pojok tempat orang berlalu, dan Dang Zhua yang datang ke tahanan Zhu Yun Wen.

''Beri tanda siul kalau ada orang datang,'' kata Dang Zhua kepada Hua Xiong.

''Baik,'' jawab Hua Xiong.

Lalu Dang Zhua pun berjalan ke sel khusus Zhu Yun Wen. Di depan sel itu dia memanggil Zhu Yun Wen.

''Paduka,'' katanya. ''Apakah Paduka sudah tidur?''

Bukan menjawab pertanyaan yang diajukan Dang Zhua, sebaliknya Zhu Yun Wen meloncat ke pintu terali, berdiri, mencoba melihat dengan sulit, karena gelap, siapa yang memanggil ini. Dan, walaupun sudah dekat sekali, berbatas terali tersebut, Zhu Yun Wen tak mengenali.

''Siapa kamu?'' tanya Zhu Yun Wen.
''Apa Paduka sudah lupa?'' kata Dang Zhua balik bertanya.
''Siapa?'' tanya Zhu Yun Wen lagi.
''Saya orangnya Liu Ta Xia.''
''Mau apa kamu?''
''Sabarlah, Paduka. Kami sedang mencari cara untuk membebaskan Paduka. Mudah-mudahan setiba kapal ini di Palembang.''


***

Di malam itu juga, ketika Ceng Ho terlelap sejenak, dia didatangi roh ayahnya dalam mimpinya. Selalu ayahnya datang dalam cara seperti ini. Dan apakala ayahnya, Ma Ha Zhi, datang kepadanya, pasti ayahnya mengingatkan sesuatu atau lebih dari satu hal yang sering terlupakan dalam tindakan Ceng Ho.


Dalam mimpi kali ini, Ma Ha Zhi, ayahnya, muncul dari dalam air lantas mengawang di udara. Setelah diam di udara dibungkus awan gemawan, berkatalah ayahnya, ''Apakah kau sudah dengar kata-kataku yang lalu, Ma He?''

''Aku selalu mendengar kata-katamu, Ayah,'' jawab Ceng Ho, ''Bukan hanya yang lalu, melainkan yang kini dan yang kelak.''

''Baiklah,'' kata Ma Ha Zhi, sang ayah. ''Sekarang buka telinga, mata, dan hati.''

''Aku sudah terbuka, Ayah,'' kata Ceng Ho. ''Katakanlah.''

''Sudah tersurat dalam takdir semua yang johan bahwa seorang johan mesti berkeringat sampai keringatnya tidak lagi terbuat dari bahan air.''

''Lantas apa?''
''Api, Putraku.''
''Api?''
''Ya. Api yang dapat menyucikan jiwa. Sering kali jiwamu masih terkalahkan oleh pertimbangan hati. Padahal hati selalu tidak tetap, seperti air dari gunung, mengalir ke laut lewat sungai. Bagaimanapun kau lelaki. Jangan sampai keringat menetes dari matamu. Sebab keringat yang menetes dari mata, namanya tangis, dan tangis selalu berhubungan dengan haru. Berdirilah, dan ingat, perang mempertahankan kebenaran itu mulia.''

''Ya, Ayahku.''

Roh Ma Ha Zhi pun sirna. Ceng Ho terbangun. Sebentar lagi subuh.
Kapal tetap melaju....


Setelah hari-hari berlalu di atas kapal, siang meninggalkan siang, malam meninggalkan
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 25/08/2008 12:42
malam, silih berganti dalam keperkasaan sang waktu yang tak tertandingi, akhirnya kapal memasuki muara Sungai Musi, menuju ke Palembang, pusat Si-Li-Fo-Tsi.
Tapi, tunggu sebentar. Dengarkan Tukang Cerita yang bercerita kepada anak-anak muridnya di Kelenteng Sam Po Kong, Simongan, Semarang.
Kata Tukang Cerita, ''Kalian boleh percaya, boleh juga tidak, Si-Li-Fo-Tsi adalah Sriwijaya, dan Sriwijaya itu Palembang. Besok lusa jika ada sanggahan bahwa Sriwijaya bukan di Palembang, melainkan di Muang Thai, anggap saja kesepakatan kita tentang cerita sejarah harus berpihak, masih tetap berdiri di atas pandangan itu.''

Maka bertanya murid yang paling suka bertanya itu, ''Jadi, sekarang kita harus percaya saja Sriwijaya berada di Palembang?''
''Ya,'' jawab Tukang Cerita. "Dan, ke Palembanglah tujuan Sam Po Kong saat ini. Dia ke sana sebab mendapat tugas menangkap Chen, bekas hulubalang yang bertualang dan mengangkat diri sebagai raja di Palembang.''

''Ceritanya bagaimana?'' tanya murid itu lagi.
''Dengarkan saja.''

Dan Tukang Cerita pun bercerita lagi.



******

Malam belum terlalu larut. Rapat dipimpin Ceng Ho di ruang yang biasa itu selesai sembahyang. Semua perwira hadir dalam rapat ini. Tak terkecuali Wang Jing Hong. Yang dibincangkan adalah langkah-langkah yang harus diambil jika kapal ini tiba di Palembang, di wilayah kekuasaan Chen Tsu I. Tapi, sebelum tiba di wilayah itu, kapal masih akan menempuh sisa arus Laut Cina Selatan yang sering tak bisa diduga. Karena itu, ketika Ceng Ho mengarahkan rapat tentang tujuan yang harus dilakukan dengan tertib dan rapi di Palembang, dia juga berbicara tentang cuaca. Kata Ceng Ho, ''Jadi, kalau tidak ada gangguan cuaca, insya Allah, setelah dua belas hari nanti, kita akan memasuki Palembang, ke wilayah kekuasaan raja gila - raja yang memalukan kekaisaran Cina - yang merupakan tugas kita yang penting bagi negara.'' ''Bagaimana sebetulnya gambaran pribadi Chen?'' tanya Ci Liang.

''Apakah dia masih menganggap dirinya jenderal?''

''Bagaimanapun keadaannya sekarang, tidak jelas. Tapi bagaimanapun perkembangannya, yang jelas kita harus mulai dengan pendekatan. Sebab, bagaimanapun kenyataannya, satu hal yang jangan sampai terabaikan adalah pengetahuan kita yang harus sama-sama dicamkan dan dipegang bahwa Chen Tsu I bukanlah pribadi sembarangan. Dia telah mengangkat diri sebagai raja, dan memelihara feodalisme yang unik di negeri seberang, di luar Cung Kuo, dan hal itu harus dipandang sebagai sesuatu yang tidak sederhana.''

''Kita belum tahu kekuatan militernya,'' kata Cun An.
''Sudah jelas kekuatannya harus kita perhitungkan. Kekuatan fisik sudah pasti. Tapi apakah itu sama dengan gambaran kita tentang militer yang resmi - mengingat bahwa dia aslinya militer, desertir - itu yang akan kita ketahui nanti. Dengan mengetahui itu, kita melakukan adaptasi dengannya.'' Cun An merasa perlu mengingatkan armada yang dikomandokannya. Katanya, ''Tapi, dengan armada kita yang besar, yang kita bawa ini, sebetulnya tidak ada masalah serius untuk membangun pendekatan dan adaptasi dengannya.'' ''Tidak,'' sanggah Ceng Ho. ''Jangan terlalu yakin pada apa yang kita punya. Chen Tsu I adalah bekas tentara paling lihai dalam semua siasat perang. Di samping itu, kekuatannya sekarang tidak terbaca oleh kita.''
''Kekuatan macam apa misalnya?'' tanya Ci Liang dengan nada menguji.
''Begini,'' kata Ceng Ho, ''Yang harus kita ingat terus di selatan nanti, mulai di Palembang dan seterusnya di Jawa, pada saat kita berhadapan dengan raja-raja di sana -seperti juga Adipati Uy Lo Tik di Tuban - adalah bahwa kekuatan yang tidak terbaca itu sesungguhnya tersembunyi dalam jati dirinya. Yaitu, rasa percaya diri menjadi dorongan untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan perbuatan baik dan perbuatan jahat. Justru yang tidak terbaca lewat kecerdasan harus kita baca lewat perasaan.'' Tampaknya kedua perwira itu mencoba dengan pelik menyelami pikiran Ceng Ho. Yang tidak tampak mau berpelik-pelik berpikir di situ mungkin hanya Dang Zhua dan Hua Xiong. Dua orang yang disebut ini sejak tadi hanya saling lirik.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 25/08/2008 12:45
Pada malam yang sama ini pula, tampak di buritan Tan Tay Seng memegang pei-pa, memetiknya di bawah terang bulan. Dia tidak menyanyi malam ini. Dia hanya memetik pei-pa itu. Dan kelihatannya sedang mencari-cari ilham dengan alat petik itu. Atau barangkali dia sedang melamun.

Pada saat seperti itu, tatkala hanya buih-buih air di bawah dan angin di atas menebas-nebas layar, Ling Ling - yang memang diterima untuk ikut berlayar ke tujuannya, Jawa, atau
bilanglah lebih pasti lagi: Semarang - pelan-pelan berjalan menghampiri Tan Tay Seng dari belakang.

Kata Ling Ling di belakang Tan Tay Seng yang membuatnya kaget, ''Bukan begitu bermain pei-pa dengan bagus.''

''Hu, kau?'' kata Tan Tay Seng. ''Memangnya kau bisa bermain lebih bagus?''
''Lo? Apa kau lupa, pei-pa itu kan milik ayahku.''
''O ya?'' Tan Tay Seng tersenyum kalah. ''Kalau begitu coba kau mainkan dengan bagus.

Sementara kaumainkan, aku akan buat puisi tentang kau, bulan, bumi.''

Ling Ling menerima pei-pa yang diberikan Tan Tay Seng kepadanya, lalu memainkannya.

Memang betul, Ling Ling sangat cekatan, lincah menarikan jari-jemarinya di atas dawai-dawai pei-pa itu.

''Tadi aku kira kau hanya berbual,'' kata Tan Tay Seng.
''Bual? Kenapa bual?'' tanya Ling Ling.
''Sebab kau pelayan kedai, tukang bikin minum.''
''Begok,'' kata Ling Ling mencibir. ''Aku bukan pelayan seperti yang kauduga. Aku pemilik kedai itu.''
''Kau aneh.''
''Anehnya kenapa?''
''Kau sudah bekerja, sudah punya kedai, tapi kautinggalkan kedai itu.''
''Kau terlalu sederhana. Buktinya kau sendiri sekarang sedang berlayar ke Jawa. Buat apa kau berlayar ke Jawa?''
''Aku akan ciptakan ladang kerja di sana.''
''Kalau kau bisa begitu, kenapa aku tidak?'' kata Ling Ling mengkritik Tan Tay Seng. ''Aku juga punya cita-cita.''
Tan Tay Seng ceria. ''Kita memang senasib sepenanggungan.''
Ling Ling tidak hirau. Katanya, ''Sudah. Nyanyikan puisimu itu. Aku sudah menunggu puisimu dari tadi.''
''Baiklah,'' kata Tan Tay Seng, dan dia pun langsung mencipta puisinya itu lalu melagukannya,

Aku berdiri di bumi melihat bulan Bulan yang bulat bagai wajah perawan Perawan di depanku membuat keranjingan Telah sering cinta padanya kunyatakan


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 25/08/2008 12:48
Ketika di laut Tan Tay Seng menyatakan cinta, di darat ada Tan yang lain, yang akan menderita oleh benci. Raja Chen Tsu I, atau dalam sebutan Hok Kian, juga adalah Tan, tidak peduli pada cinta. Sebagai raja lalim, yang karenanya harus ditangkap oleh Ceng Ho untuk dibawa kehadapan Kaisar Ming, menjalankan kekuasaannya di Palembang dengan kebencian. Raja ini bukan hanya memerintah dengan menindas pribumi yang berbeda ras dengannya, tapi juga terhadap orang-orang Cina sendiri di perantauan yang satu ras dengannya. Pada suatu sore dia memerintah perwiranya untuk mengeksekusi seorang petani miskin yang juga bermarga Tan, hanya dengan alasan menunda-nunda membayar pajak tanah yang digunakan Tan sebagai ladang di antara batas Palembang dan Plaju -di wilayah yang sangat banyak monyetnya, di mana pada kemudian hari berdiri sebuah keramat yang disebut Kramat Bagus Kuning.*) Di tempat itu jugalah Raja Chen memerintah tentaranya mengeksekusi Tan dengan cara memenggalnya.

''Berhubung dia selalu menunda-nunda, dan hal itu sama artinya dengan melecehkan kekuasaanku, pancung dia di pinggir sungai biar disaksikan oleh monyet-monyet Plaju,'' kata Chen Tsu I sambil duduk mengembangkan tangan di atas kursi singgasananya, seperti burung merak yang pamer keindahannya. Perwiranya, yang masih berhubungan darah dengannya, lantas menundukkan badan, memberi hormat.

Katanya, ''Kami akan melaksanakan perintah Paduka.''
''Laksanakan segera.''
''Baik, Paduka.''
''Sekarang juga.''
''Baik, Paduka.''


***

Maka berangkatlah sepuluh orang tentara Chen Tsu I ke daerah Plaju, ke rumah petani miskin yang juga bermarga Tan -lengkapnya
Maka berangkatlah sepuluh orang tentara Chen Tsu I ke daerah Plaju, ke rumah petani miskin yang juga bermarga Tan -lengkapnya Tan Tat Hian yang beristrikan pribumi, orang Melayudi dekat Plaju. Tan Tat Hian adalah orang Cina yang sudah lama tinggal di Plaju-Palembang. Kakeknya sudah tinggal di Palembang jauh hari sebelum Chen Tsu I mengangkat diri sebagai raja di situ. Sebagai petani, yang menggarap tanah yang diklaim sebagai milik raja, Tan Tat Hian kurang beruntung. Hidupnya boleh dikata miskin sangat. Dia hidup di situ bersama kedua orang anaknya. Dan justru karena istrinya pribumi, dia dikarunia anak-anak yang sosoknya bagus: kulit tetap kuning tapi mata tidak terlalu sipit sebagaimana lazimnya orang Cina -yang disebut dalam istilah populer: berlipit sipit Monggolid (Belandanya Mongolsche plooi)- yang sulung lelaki berumur 18 tahun, yang bungsu perempuan 16 tahun. Keluarga Tan ini tinggal di sebuah rumah papan, rumah khas Palembang, yang berbentuk panggung. Tapi tidak seperti rumah-rumah panggung yang lazim di sepanjang Musi, rumah milik Tan ini lebih pendek. Balok-balok tiangnya adalah batang pohon yang utuh, masih gelondongan, dan tingginya hanya sebatas leher anak bungsunya. Di kolongnya dipelihara babi-babi, bebek-bebek, ayam-ayam. Dan, karena rumah ini terpencil, tidak ada tetangga di sekitarnya, sunyi kecuali suara-suara unggas di pohon, maka bunyi kaki-kaki kuda yang dipacu kencang menuju ke arah rumah Tan Tat Hian, langsung terdengar di dalam. Orang-orang di dalam rumah itu serta merta terjaga, bertanya-tanya, dan setidaknya yakin bahwa yang datang ini pastilah tentara-tentara raja.


***

Kesepuluh orang tentara Chen Tsu I itu langsung melayangkan panah-panah berapi ke rumah Tan Tat Hian pada jarak yang tidak lebih dari 100 meter. Makin lama makin dekat, sampai akhirnya api-api dari batang obor dengan gampang dilemparkan ke atas atap rumah Tan Tat Hian. Segera atap yang terbuat dari rumbia yang telah kering dan bertahun-tahun menjadi pelindung rumah petani miskin itu terbakar dan menyala dengan bebas. Tan dan keluarganya cepat-cepat keluar dari rumahnya itu, hendak menyelamatkan diri. Mula-mula yang keluar istrinya. Istrinya berlari menuruni anak-anak tangga. Namun sebelum kakinya tiba di bumi, di tanah, sebuah anak panah lepas dari busur tentara Chen Tsu I, melesat dengan tepat dan bersarang di tubuhnya. Istri petani miskin itu tumbang dan jatuh terguling di tangga sampai ke tanah. Tan Tat Hian pun keluar pada giliran berikut. Begitu melihat istrinya sudah tergeletak di tanah dan berusaha hendak berdiri, dia pun meloncat ke bawah, menolong istrinya itu. Tapi apa boleh buat, istrinya tidak tertolong. Anak panah yang terbang dari busurnya seperti anak-anak panah yang lain, semua beracun. Hanya beberapa menit saja, korban yang tertikam anak panah itu akan mati oleh racunnya. Anak sulungnya yang lelaki, melihat ibunya meninggal lantas marah, dan mengambil parang hendak menyerang ke arah salah seorang tentara. Tapi karena kemarahan yang tak terkendali, dia tidak dapat berhitung dengan baik atas segala kemungkinan yang akan terjadi atas dirinya. Karena itu, begitu dia kalap hendak menyerang seorang tentara yang terdekat darinya, maka dari arah belakang tentara yang lain menombak dengan lembing bermata tiga. Besi-besi tajam itu dengan kuat menembus lehernya. Dia kelepar-kelepar di tanah lantas mati sia-sia di situ. Adiknya, perempuan belia itu, berusaha berlari dan entah ke mana dia hendak berlari. Dengan mudah dikejar oleh tentara berkuda, dan menariknya dengan kasar ke atas kuda. Setelah itu, Tan Tat Hian yang baru akan berdiri dari mayat istrinya dicambuk oleh tentara lainnya lagi. Dia terputar-putar di tanah oleh cambukan itu. Ketika dia kehilangan tenaga dan pingsan barulah tentara itu membawanya, menaikkan ke atas kuda dengan dilungkarkan seperti terhadap celeng. Jadi, tentara-tentara itu kini membawa dua orang, ayah dan putri, ke istana Chen Tsu I. Mereka memacu kuda-kuda mereka meninggalkan rumah yang sebentar lagi akan hangus dan rata dengan tanah.

 
***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 25/08/2008 12:55
Di istananya, Chen Tsu I sedang berbaring di atas ranjang merah berukir warna keemasan. Empat orang perempuan tawanan asmaranya - artinya perempuan-perempuan yang diingu semata-mata lantaran manfaat, bukan martabat, yaitu untuk sewaktu-waktu dipanjati atau ditumpaki - tampak sedang memijat-mijatnya di sekujur tubuhnya. Salah seorang tentara yang tadi menerima perintah itu, masuk dengan memberi sujud terlebih dulu mengatakan bahwa petani miskin itu sudah berada di sini. ''Lapor, Paduka Raja,'' katanya. ''Tan Tat Hian sudah kami tangkap dan kami bawa ke sini.'' Chen Tsu I geram, merasa direcoki. ''Tidak perlu melapor lagi. Eksekusi dia di tempat kalian menangkapnya. Tapi umumkan kepada semua orang supaya mereka tahu dan melihat bahwa siapa pun di tanah kekuasaanku yang berani-beraninya mengingkar bayar pajak, harus mati konyol seperti dia.'' ''Baik, Paduka Raja.''
''Sudah,'' kata Chen Tsu I tak sabar. ''Laksanakan segera.'' ''Baik Paduka Raja, akan segera kami laksanakan.'' Chen Tsu I gembira.

Dia yakin betul akan kekuasaannya, bahwa kekuasaan selalu tidak sepi keharusannya dengan kekerasan-kekerasan. Kekuasaan yang tidak pernah disadari olehnya dan oleh siapapun yang kepalang mencintainya adalah lebih dari sekadar madat. Madat hanya membuat orang ketagihan dengan merusak tubuh. Tapi kekuasaan adalah madat yang merusak tubuh banyak orang.


***


Sesuai dengan perintah Chen Tsu I, maka tentara-tentaranya mengumumkan kepada rakyat di Palembang bahwa hari yang sudah ditentukan -tiga hari dari hari ini - dilaksanakan eksekusi terhadap Tan Tat Hian di pinggir Sungai Musi di daerah dekat Plaju, di bekas tanahyang dulu ada rumahnya. Banyak orang berbondong ke situ menyaksikan peristiwa itu. Dengan menyaksikan peristiwa itu memang betul, rakyat semakin takut kepada Chen Tsu I. Chen Tsu I oleh kekuasaannya itu tidak pernah merasa takut kepada siapa pun. Juga terhadap Ceng Ho. Dan itulah yang menarik. Ceng Ho harus menunggu tiga atau empat hari, jika cuaca bagus akan tiba di Sumatra Selatan, memasuki Sungai Musi yang sangat besar itu, menyusuri dari timur ke barat. Untuk memasuki pedalaman Sumatera Selatan, Ceng Ho tidak menggunakan kapal paling besar, yang biasa dijadikannya kapal pusat, kapal yang memiliki penjaranya: satu untuk Zhu Yun Wen dan satu lagi untuk Chen Tsu I. Ke dalam pedalaman tempat Chen Tsu I berkuasa, Ceng Ho harus memutuskan pilihan untuk menunjuk kapal yang mana, yaitu kapal-kapal kecil yang berlayar bersamanya sebagai rombongan kapal yang berbendera Ming, yang akan masuk ke dalam sana. Karena itu ketika pada hari ketiga mereka tiba di muara Sungai Musi, sebelum memasuki pedalaman tempat istana Chen Tsu I berdiri, Ceng Ho membuat rapat. Kali ini semua nakhoda dari kapal-kapal yang bersamanya ikut dalam rapat, disertai perwira masing-masing. Semua kapal itu berdekatan di muara Musi. Dan setiap nakhoda dan perwira dari kapal-kapal itu berada di kapal inti, kapal paling besar, tempat Ceng Ho memimpin pelayaran. Semua duduk menunggu keputusan Ceng Ho di ruang rapat tersebut. Semua menghormati Ceng Ho sebagai Sam Po Kong. "Untuk memasuki pusat Si-Li-Fo-Tsi, saya membutuhkan kapal kecil. Yang paling kecil di antara kapal-kapal kita dan sekurangnya 20 orang saja tentara dengan pakaian sipil dikomandoi Ci Liang dan Cun An," kata Ceng Ho. "Kapan kita masuk?" tanya Ci Liang. "Besok, begitu matahari muncul di belakang kita," jawab Ceng Ho. "Apa kita tidak lebih baik sedia payung sebelum hujan?" tanya Cun An. "Itu sudah pasti," jawab Ceng Ho. "Tapi jangan lupa, kita datang dengan tema berdamai. Sudah saya katakan, terhadap Chen Tsu I kita harus arif, jangan gegabah, mula-mula pendekatan, dan dalam pendekatan itu kita melakukannya seperti air sungai yang mengalir dari gunung ke laut, mengadaptasi diri dengan keadaan alam: tidak menabrak bukit yang menghalang, tapi mencari bagian-bagian yang paling mudah dilampaui." Mendengar itu Dang Zhua dan Hua Xiong seakan-akan memusatkan pikiran dan berkomatkamit seperti menghafal-hafal untuk dapat menuliskan dalam laporan sebagai juru tulis pelayaran. Padahal, di balik itu mereka berpikir ganda. Dan pikiran itulah yang akan mereka cakapkan di kamar mereka di ujung.


***

Setelah gelap, dan malam makin larut mendekati subuh, Dang Zhua dan Hua Xiong masih mencari-cari jalan keluar atas pikiran yang sudah timbul dalam benak masing-masing.
"Begitu mereka masuk ke pedalaman, turun ke darat, pasti mereka sibuk, dan karena itu mereka pusatkan perhatian ke siasat menangkap Chen Tsu I. Pada saat itulah kita beri minuman buatan Ling Ling ke penjaga sel yang bertugas. Dia mabuk, dan kita ambil kunci sel, membukanya, dan mengeluarkan Zhu Yun Wen, lepas di Palembang."

"Tidak mungkin."
"Kenapa tidak mungkin?"
"Bukankah kita juru tulis?"
"Lantas kenapa kalau kita juru tulis?"
"Kita harus ikut dalam pelayaran ke pedalaman. Bukankah kita yang bertugas menulis segala kegiatan Ceng Ho?"

Dang Zhua berpikir sejenak. Dia tidak kehabisan pikiran.
"Kita dua orang," kata Dang Zhua. "Saya punya gagasan hebat."
"Bagaimana?"
"Besok kau pura-pura sakit. Jadi, aku yang ke darat. Dan, kau yang mengeluarkan Zhu Yun Wen."
"Boleh juga," kata Hua Xiong. "Tapi bagaimana kalau sin-she Kim San memeriksa, mau mengobati, dan ternyata dia bilang aku tidak sakit?"
"Percayalah, sin-she tidak akan melakukan pekerjaan yang menjelimet seperti itu," jawab
Dang Zhua. "Di samping itu, Kim San pun pasti akan ikut ke darat."
"Kau yakin?"
"Sepenuhnya."
"Baguslah." Hua Xiong tertawa membayangkan kemenangan.


***


Pada malam yang telah larut itu pula Dang Zhua dan Hua Xiong mengendap-endap ke bagian sel Zhu Yun Wen. Petugas jaga di depan sel itu kelihatan tegak di atas bangku. Rupanya cuma badannya yang tegak. Dia tidak menjaga di situ. Dari jarak dua puluh meter sudah terdengar dengkurnya, persis babi bunting jenis bokek. Karena itu tidak sulit bagi Dang Zhua dan Hua Xiong melangkahinya. Di depan sel itu Hua Xiong melemparkan cangkir ke dalamnya, dan cangkir itu pecah. Zhu Yun Wen terbangun, langsung ke pintu sel. "Siapa?" tanya Zhu Yun Wen. Suara Hua Xiong yang menjawab dengan bisik-bisik, "Kami, Hua Xiong dan Dang Zhua." "Kenapa?" "Ada berita bagus," kata Hua Xiong. "Pagi nanti mereka masuk ke darat. Paduka siap-siap saja. Kami akan bebaskan Paduka." Dang Zhua terkejut. Hua Xiong terkejut. Petugas juga mengorok dengan cara mengguncangkan iman. Sambil menggeliat ke kanan, dia mendengkur panjang menurut dinamika crescendo: makin tinggi makin keras, dan di akhir dengkurnya dia seperti berkumurkumur, lantas meludah. Keruan Dang Zhua dan Hua Xiong terbirit-birit. Padahal, petugas jaga itu tidak bangun. Dia hanya bermimpi seru. Barangkali bermimpi disumpeli bakpao atau lunpia. Sebab, dia tukang makan. Maka badannya gembur dan tambun. Dan orang yang gembur dan tambun biasanya gampang tidur, ngantukan, dan sekali tertidur seperti batu bernafas.


***


Besok paginya semua yang akan masuk ke darat lewat sungai besar itu telah siap-siap. Ceng Ho pun sudah pindah ke kapal kecil diikuti perwira-perwiranya, termasuk Wang Jing Hong dan Wu Ping. "Kalau tidak ada rintangan, insya Allah kita tiba di pusat kerajaan pada sore hari menjelang magrib," kata Ceng Ho begitu berada di kapal kecil itu, berdiri di hadapan perwira-perwira dan laskarnya. "Dan, sekali lagi, jangan lupa, pendekatan kita terhadap Chen Tsu I adalah muhibah. Apa semua sudah siap?" Deng Zhua mengunjuk jari, mendekati Ceng Ho. Katanya dengan hormat tapi dengan hati palsu, "Sayang sekali, Hua Xiong tidak dapat ikut ke darat." Ceng Ho menatap muka Dang Zhua dengan perasaan semadya, mencoba memahami apa yang akan dikatakan Dang Zhua. Katanya, "Apa yang terjadi?" "Entah kenapa, dia terserang gangguan perut," kata Dang Zhua. "Keracunan?" tanya Ceng Ho. Dang Zhua agak gelagapan. Dia tahu, ketika harus berbohong jangan sampai kebohongan itu menjadi masalah tersendiri, dan oleh sebab itu dia harus berpikir cepat untuk memberi alasan yang nalar. Maka katanya, "Kelihatannya hanya gangguan kecil, berak-berak, mencret, dan mules." "Apa?" tanya Ceng Ho, tampak wajahnya menjadi serius. "Harus segera diobati." Menyadari kemungkinan yang menerbitkan masalah, dengan cepat pula Dang Zhua menemukan dusta baru. Katanya, "Menurut pendapat Hua Xiong, sakit seperti itu sudah biasa menyerangnya kalau dia gugup." "Oh?" kata Ceng Ho mengendur. "Jadi, tidak serius?" "Ya, betul, Sam Po Kong," kata Dang Zhua. Dan, yang tidak diduga Dang Zhua, akhirnya Ceng Ho berkata dengan tegas, "Kalau memang tidak serius, ya sudah, ikut saja ke darat." Dang Zhua kaget. Tapi dia tidak punya hak menolak dan tidak punya cara pula mengarangngarang dusta. Dia terbengong dengan wajah pucat, datar, dan kaku seperti tembok Han. Sementara itu Ceng Ho pun langsung menyuruh Dang Zhua kembali ke kapal inti, menjemput Hua Xiong. Katanya, "Cepat jemput dia, suruh segera ikut. Kapal ini akan segera masuk." Apa mau dikata, Dang Zhua akhirnya manut. "Baik, Sam Po Kong," katanya, dan dia pun kembali ke kapal inti tersebut.

 
***


Di kamar ujung, kamar mereka berdua: Dang Zhua dan Hua Xiong, segera terucapkan maki-maki dan sumpah serapah. Begitu masuk ke dalam kamar di mana Hua Xiong berpura-pura berbaring, berkata Dang Zhua jengkel dan putus asa sebagai orang yang kalah, "Setan alas!
Rencana kita semua berantakan."

"Apa katamu?" tanya Hua Xiong penasaran.
"Ya, semua gagal," jawab Dang Zhua.
"Gagal?" tanya Hua Xiong dengan wajah menyesal namun juga geram. "Gagal bagaimana maksudmu?"
Dang Zhua tak hirau. "Sudahlah, jangan banyak tanya," katanya tidak berdaya sekaligus
sumpek. "Siap-siap saja, cepat, Sam Po Kong menyuruhmu harus ikut."
"Lo?" Hua Xiong mencoba bertahan diri dan bertahan harga, berdalih, sembari jengkel
memandang wajah Dang Zhua. "Apa kau tidak bilang, saya sakit?"
"Huh!" kata Dang Zhua. "Sudah." Dia jengkel pula. "Semua rencana sudah saya bilangkan.
Tapi semuanya tidak berhasil. Gagal." Dang Zhua pun melangkah ke pintu, tidak peduli.
Sambil keluar dari kamar dia berkata, "Ayo, cepat. Jangan banyak bicara lagi. Mereka akan
segera berangkat."

Hua Xiong tidak senang, tapi terpaksa berdiri juga dari duduknya. Katanya bersungut, "Goblok!"

***

Kapal yang agak kecil itu, yang akan berlayar ke pedalaman itu, hampir siap memasuki muara. Orang-orang sebagian masih kelihatan sibuk membawa barang-barang dagang ke Palembang, barang-barang dari Cina yang banyak diperlukan orang di negeri-negeri Nusantara: sutra, keramik, dan obat-obatan. Cara orang-orang mengangkut barang-barang itu dari kapal satu ke kapal lain untuk dimasukkan ke kapal yang akan berlayar ke dalam pedalaman lewat sungai, kelihatan terampil sekali. Barang-barang itu rata-rata dikemas dalam bungkusan sebesar enam puluh sentimeter, dialungkan dari satu orang ke lain orang dalam jarak dua-dua meteran. Mereka bekerja dengan cepat sekali. Tidak ada yang meleset. Sambil mengalungkan barang-barang itu -yang akan dibawa ke pasar belantik di Palembang nanti- orang-orang itu membuat hitungan dengan melagukannya. Selintas terdengar nyanyian itu seperti lagu kerja.

Yo, ayo, yang satu alungkan ke bawah Yo, ayo, yang dua alungkan ke bawah Yo, ayo, yang tiga alungkan ke bawah Yo, ayo, yang empat alungkan ke bawah Sudah biasa yang di atas jatuh ke bawah Yang kepalang di bawah tetap di bawah Banting tulang dalam kerja itu lumrah Yang nasibnya buruk terpaksa pasrah


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 25/08/2008 13:00
Setelah siap semua, berangkatlah kapal itu ke pedalaman Sumatra Selatan melalui Sungai Musi ke Palembang. Ceng Ho berdiri di depan disertai perwira-perwiranya. Sepanjang sungai, selewat muara, sampai ke pedalaman, di kiri dan kanan adalah hutan tropis yang perawan. Di suatu bagian tampak kera-kera bergelantungan, lalu di bagian lain ada juga harimau di batang yang besar sedang diam, dan di atas dahan yang menjorok ke atas sungai tampak juga ular besar yang sedang melingkar, kemudian di ranting satu dan ran-ting laina berjenis-jenis burung berkicau leluasa. Jika Tan Tay Seng ikut dalam kapal ini niscaya dia akan menyanyikan puisi tentang hutan, peri hukum alam yang berlaku dengan pasti: yang kuat memakan yang lemah. Hampir setengah hari kapal ini menyusur ke arah hulu, menuju pusat Kerajaan Chen Tsu I. Menjelang dua puluh kilometer dari kerajaannya itu, tentara-tentara Chen Tsu I sudah ditempatkan di pos masing-masing pada jarak satu kilometeran. Kegiatan tiap-tiap pos adalah memberikan informasi ke pos yang satunya, terus, tahap demi tahap sampai mendekati istana. Mereka mengirimkan informasi itu melalui anak panah. Jika anak panahnya berwarna putih maka dengannya dimaksudkan ada kapal biasa-biasa yang sedang menuju ke hulu. Tapi jika anak panahnya berwarna merah, maka dengannya berarti ada kapal yang istimewa sedang menuju ke wilayah Kerajaan Chen Tsu I. Di pos pertama itulah petugas pos mengirimkan anak panah merah ke pos yang berikut, dan dari yang kedua melanjutkan ketiga, keempat, dan seterusnya. Jadi, ketika kapal yang ditumpangi Ceng Ho masih berada dua kilometer dari istana, orang di dalam istana telah mengetahui kedatangannya. Menteri Penerangan yang menyampaikan itu kepada Raja Chen Tsu I.
Ketika menteri menyampaikan tentang adanya sebuah kapal istimewa tengah memasuki wilayah kerajaan, Chen Tsu I sedang makan siang. Jika raja makan siang maka segala macam menu ada di atas meja. Makanan kesayangannya adalah babi guling. Seekor babi kecil, lengkap dengan congornya, ditaruh di atas baki kayu yang diletakkan pas di hadapannya.

Kelakuan Chen Tsu I di meja makan termasuk aneh. Tidak seorang pun berani mengatakan bahwa raja ini mengidap semacam sakit jiwa. Paling tidak kelainan jiwa dalam menerjemahkan arti kekuasaan. Ketika dia mengunyah-ngunyah daging putih kemerahan itu, dua orang perempuan pelayan bersila di bawahnya, memijat-mijat kakinya. Sementara, oleh semangatnya memakan daging, dengan mulut berbunyi-bunyi seperti angin ribut, keringatnya mengucur di dahi, pipi, dan leher, terus ke bawah badan. Itu artinya, ada dua lagi perempuan pelayan yang berdiri di sebelah kiri dan kanannya, mengipas-ngipas dengan kipas besar berlukiskan burung hong ke
badannya.

Tidak ada orang lain yang makan bersamanya di meja yang panjang, yang semestinya memuat empat puluh orang. Di meja itu dia makan seorang diri. Untuk menghadapinya di meja makan ini, menterinya harus berdiri setelah berlutut di ujung ekor meja - dia di kepala
meja - sambil menundukkan kepala.

Kata menterinya itu, ''Maaf, Paduka. Kami membawa berita yang belum jelas.''

Muka Chen Tsu I langsung cemberut sambil tetap mengunyah-ngunyah.
Katanya, ''Kalau berita itu belum jelas, kenapa kamu sudah mengganggu makanku?''
''Sebab tidak detail yang sampai kepada kami tentang sebuah kapal yang sedang menuju ke sini. Tapi yang jelas kapal itu tergolong lebih istimewa dari yang istimewa.''

''Apa maksudmu?''
''Di anak panah yang merah diikatkan juga pita merah.''
Chen Tsu I tidak peduli. ''Ya, sudah. Urus saja mereka,'' katanya.
''Baik, Paduka,'' kata sang menteri. Dia mundur, namun tidak segera pergi. Dia berhenti,
''Tapi, Paduka...''
''Apa lagi?'' kata Raja jengkel. ''Sudah, keluar sana.''
''Baik, Paduka. Tapi maksud saya, bagaimana kalau kapal istimewa itu dari utara, dari Negeri Cina, utusan Ming untuk menagih upeti yang tidak pernah Paduka gubris?''
''Persetan!'' teriak Chen Tsu I.
Sambil berteriak tak dapat menahan rasa jengkel karena makannya terganggu, Chen Tsu I melempar daging babi di tangannya ke arah menterinya itu. Tak kena. Daging itu jatuh ke ujung ruang. Di situ anjing kesayangannya sejak tadi duduk memperhatikan. Begitu daging
itu jatuh di lantai, anjing itu pun melompat mengambil dan emakannya. Maka, sang raja dan sang anjing lantas sama-sama makan babi.


***


Kapal Ceng Ho terus ke barat. Ceng Ho pun masih berada di bagian depan, duduk di kursi,dikitari perwira-perwira berbusana sipil, makin lama makin mendekat ke pusat kerajaan. Satu-
dua perahu nelayan mulai tampak ketika kapal telah mendekati dermaga khusus kerajaan.

Dari atas kapal ini Ceng Ho dapat melihat di dermaga itu orang-orang penting kerajaan berdiri menunggu masuknya kapal.
''Kelihatannya Chen Tsu I tahu siapa kita ini,'' kata Wang Jing Hong.
''Chen Tsu I memang bukan orang bodoh. Dia juga bukan orang pandai. Yang benar, dia adalah orang cerdik,'' kata Ci Liang.
''Mungkin,'' kata Ceng Ho. ''Tapi kalau tingkat kecerdikan seseorang sama dengan ular, orang itu bukan cerdik lagi, melainkan licik. Maka dalam pendekatan yang paling mesra pun, yang artinya tidak melahirkan prasangka jarak, kita harus terus waspada.''

Tumben-tumbennya Dang Zhua memberi tangggapan. Dan, tak ayal, tanggapannya adalah tanggapan cari muka, suatu cara yang diperolehnya dengan tanpa persiapan karena perasaannya dirundung judek.
''Itu betul sekali,'' katanya.
Yang alih-alih itu keruan membuat Ceng Ho melirik kepadanya.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 25/08/2008 13:05
Sementara itu di darat, di dermaga, di antara mereka yang menunggu merapatnya kapal Ceng Ho ini, kelihatan berdiri di sana menteri yang baru dilempari daging babi itu, diapit dua tentara, salah satu adalah yang paling kejam, yang merupakan tangan kanan Chen Tsu I untuk mengeksekusi rakyat yang tidak membayar pajak. Melihat kapal Ceng Ho mendekat ke dermaga, berkatalah dia kepada menteri itu, ''Saya membayangkan sutra yang baru membungkus badan. Tidak salah lagi, ini kapal dagang Cina yang saya tunggu-tunggu. Siapa nakhodanya?'' ''Siapa pun nakhodanya, dia adalah tempat kita bertanya,'' kata Menteri Penerangan. ''Pasti dia akan membawa cerita yang baru buat kita.'' *) ''Pasti,'' kata si kejam itu. ''Dan, pasti Raja pun senang mendengar ceritanya.'' ''Raja baru saja geram pada saya,'' kata sang menteri. Si kejam tertawa terbahak. ''Kalau penguasa tidak geram, itu bukan penguasa. Di mana-mana kekuasaan bikin penguasa tegang, gandrung marah-marah, penuh rasa curiga. Biasa. Sebagai saudara Raja, kita harus mendukung saja. Yang penting hidup kita senang, semua kebutuhan, lahir dan batin, terpenuhi.'' Catatan: *) Pada zaman itu, sampai tahun 1800-an, nakhoda dari Cina sangat dihormati, karena nakhoda tergolong sebagai cerdik pandai yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang pelbagai hal, dan karena itu nakhoda sering dijamu dari satu rumah ke rumah orang kaya lainnya. Di situ dia menceritakan segalanya. Sang menteri ketawa. Dia tidak bilang apa-apa. Diam bisa berarti emas, bisa juga berarti gemas.


***

Kapal pun mendekat ke dermaga. Rupanya kapal tidak bisa merapat dengan mudah. Kuli-kuli di pelabuhan kelihatan sibuk. Mereka semua bertelanjang baju. Warna kulit mereka kelihatan seperti kayu jati yang divernis, mengilat oleh keringat dan sengatan matahari. Mereka berdiri seperti sebuah barisan di sepanjang dermaga, memegang galah-galah bambu untuk menjaga supaya kapal tidak menabrak kayu dan papan dermaga. Setelah kapal mendekat, tidak merapat sauh pun di turunkan, dan orang-orang di kapal membentangkan jembatan ke dermaga. Di atas kapal itu Ceng Ho dan semua awaknya berbusana sipil, tapi diketahui sebaga para saudagar, turun ke darat. Orang-orang dari kerajaan Chen Tsu I, menteri, dan tentara yang menunggu di dermaga menyambut saudagar-saudagar dari Cina, yang tak lain tak bukan adalah Sam Po Kong beserta anggota ekspedisi utusan Kaisar Ming. Mereka harus menyembunyikan dulu siapa mereka sebenarnya. Untuk sementara, pada saat pertama turun ke bumi yang disebut-sebut sebagai negeri Si-Li-Fo-Tsi ini, mereka cukup dianggap sebagai saudagar-saudagar yang datang untuk berniaga. Sambutan orang-orang Chen Tsu I kali ini boleh dibilang ceria, sebab kapal yang sudah menyauh di muka dermaga tergolong kapal besar - walaupun dalam rombongan pelayaran muhibah Ceng Ho kapal ini justru yang paling kecil - yaitu jenis jung yang didesain khusus.


***

Sang menteri yang juga bermarga Chen atau Tan, sama seperti panglima yang kejam itu, menyambut Ceng Ho dengan hangat. Sebagaimana seisi kerajaan yang bercakap bahasa Hok Kian, demikian juga sambutan ini berlangsung dengan bahasa yang sama-sama terpakai oleh orang-orang Cina perantauan sejak zaman Han ke Tang yang lampau. Tapi sebagai muslim, Ceng Ho memilih kata-kata sejahtera dalam bahasa Arab. Katanya,
"Assalamu 'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh."
Dan sang menteri, dengan sopan santun yang lazim di kalangan orang Cina, menguncikan tangan di dada seraya menggoyang-goyangkannya, lantas berkata, "Selamat datang di Tanah
Palembang ini."
"Terima kasih," kata Ceng Ho. "Kami datang untuk berdagang."
Panglima, si kejam itu, membuka tangan dengan keramahan semu. Katanya, "Palembang terbuka. Silakan buka pasar di sini. Tapi, apa persembahan cendera mata dari Tuan untuk Baginda Chen Tsu I?"
"Bukan hanya kepada Baginda, melainkan juga kepada Tuan-tuan sudah kami siapkan," kata
Ceng Ho. "Kepada semua jajaran menteri dan panglima, kami siapkan sutra dan guci paling
eksklusif dari tangan-tangan yang diberkati bakat istimewa."
"Kalau begitu, kami amat merasa terhormat seandainya Baginda berkenan menerima kami,"
kata Ceng Ho.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 14:29
"Kami akan atur itu," kata Menteri Penerangan.
"Terima kasih," kata Ceng Ho.

***
Sore itu menteri dan panglima menghadap Raja Chne Tsu I, melaporkan tentang kapal dagang Cina yang sudah membuang sauh di dermaga. Sedang apa sang raja ketika pembesarnya itu datang menghadap? Raja gelok ini sedang memancing ikan emas di kolam belakang istananya. Seperti selalu, gundik-gundiknya mengitarinya, memijat-mijatnya, mengipasngipasnya, atau mengelap keringatnya. Dia baru saja berhasil mengail ikan emasnya itu. Begitu ikan itu terkail, Chen Tsu I mengeluselus kepala ikan itu, dan berbicara kepadanya. "Ah, kau masih tolol saja seperti kemarin," kata Chen Tsu I. "Kemarin, waktu kau terkail, aku sudah bilang, jangan tergoda pada makanan di ujung kailku, lantas aku lepaskan kau. Tapi sekarang, kau terkail lagi seperti kemarin. Oh, alangkah tololnya kau, hai ikan emas. Tapi aku suka kau. Sebentar lagi kau akan aku lepaskan. Kau memberiku ilham tentang pelajaran dasar mempermainkan nasib. Betapapun kau licin, dan tidak mudah ditangkap dengan tangan kosong, kau toh tidak bisa menahan diri terhadap umpan yang menggiurkanmu. Justru oleh itu jugalah kau menjadi korbanku." Chen Tsu I tertawa terbahak-bahak. Gundik yang berada paling dekat dengannya dirangkulnya lantas digigitnya payudaranya. Gundiknya itu menjerit ganjen. "Ayo, jawab, bukankah apa yang baru aku katakan itu, betul semua?" katanya bermegahmegah diri. Semua gundiknya, yang ada di sekitarnya, adalah perempuan-perempuan yang pada masa itu belum memahami makna harkat, serta merta diam, dan diam berarti membenarkan. Chen Tsu I tertawa lagi lantas melepaskan ikan yang baru terkail itu.  ''Nah, berenanglah lagi di kolamku,'' katanya. ''Hari ini kau baru saja menerima rahmatku.'' Hanya beberapa saat setelah itu, panglima dan menterinya datang menghadap. Walaupun panglima, si kejam itu, dan sang menteri adalah masih saudara Raja, yaitu yang bersen Chen atau Tan, mereka sujud tatkala tiba di kolam itu. Tapi sebelum menyatakan kepada Chen Tsu I tentang kapal dagang yang menyauh itu, mereka berdebat dulu siapa di antara mereka yang menyampaikan berita itu.
''Harus aku yang menyampaikan berita itu,'' kata Panglima. ''Aku panglima angkatan bersenjata.''
''Tidak bisa,'' kata sang menteri. ''Urusan informasi dan komunikasi tugasku.''
''Ya, tapi ini menyangkut keamanan dan ketertiban. Kalau bukan bidangku, mana mungkin kapal itu tiba di sini dengan selamat, tidak diganggu perompak.''

''Kau boleh saja berkata begitu. Tapi yang jelas urusan informasi dan komunikasi adalah tugasku.''

''Tapi kau tidak pandai menyampaikan informasi. Kata-kata yang kaurangkai menjadi kalimat selalu centang-perenang, sehingga maknanya kabur.''
''Lo? Tugas menteri penerangan memang begitu. Aku mengejawantahkan sesuai dengan petunjuk Baginda.''
''Alah, sudahlah. Pokoknya aku yang harus menyampaikan. Nanti, kalau kau salah lagi
menyampaikan, sebab kalimatmu kabur, bisa-bisa Baginda melemparmu dengan ikan emas.''
Sang menteri bermuka masam. ''Ya, sudah. Katakan saja.''
Namun, sebelum sang panglima berkata sepatah kata pun, Chen Tsu I mendului.
''Kalian seperti monyet,'' kata Chen Tsu I. ''Kalau mau bicara, bicaralah cepat. Jangan cuma garuk-garuk begitu. Garuk kepala, garuk lancau, tidak tegas.''
Bersamaan dengan habisnya kata-kata terakhir, pancing yang dipegang Chen Tsu I bergerak-gerak tanda ada ikan baru terkail lagi. Dia pun menariknya dan ikan itu sekarang dipegangnya.
''Begini, Paduka,'' kata si tentara kejam itu. ''Sebuah kapal dagang dari Cina sudah menyauh.
Nakhodanya ingin memberi upeti kepada Paduka antara guci dan dododira sutra.''
Sesingkat kata terakhir yang diucapkan panglimanya itu, Chen Tsu I pun langsung melempar ikan emas yang ada ditangannya ke arah si kejam. Kena pas di mulutnya.
Sambil melempar ikan emas itu, Chen Tsu I berkata keras dalam nada marah, ''Kenapa kamu yang memberi laporan? Untuk apa aku punya menteri penerangan kalau panglima angkatan bersenjata yang buka mulut?''
Sang menteri pun langsung mendapat angin. Dia berlutut, sujud, kemudian berdiri. ''Ampun, Paduka.''
''Sudah, katakan saja,'' kata Chen Tsu I.
''Ya, Paduka. Kapan kira-kira Paduka berkenan menerima mereka?''
''Apa mereka dari Cina?''
''Benar, Paduka.''
''Kalau mereka membawa putri Cina, mereka boleh bertemu denganku malam ini juga. Aku siapkan jamuan khusus buat juru mudi dan nakhodanya.''
''Kami akan tanyakan sekarang juga pada nakhodanya, Paduka.''
Chen Tsu I senang. ''Laksanakan segera.''
''Baik, Paduka.''
Dan mereka pun pergi.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 14:33
Apa yang dikatakan Chen Tsu I, tidak kurang tidak lebih disampaikan kembali kepada Ceng Ho. Sang menteri yang menyampaikan itu di dalam kapal. Dia memanggil Ceng Ho sebagai nakhoda. Dan kendatipun dia menyampaikan isyarat Chen Tsu I persis seperti yang diucapkan, tak urung sikapnya hormat kepada Ceng Ho. Untuk seorang menteri dari kerajaan yang aneh dan raja yang aneh pula, sikap sang menteri boleh dikata istimewa. ''Begini, Tuan Nakhoda,'' katanya sambil berdiri. ''Urusan membuka pasar sama sekali tidak ada masalah. Raja pun senang sekali. Tapi urusan menemui Raja, Raja siap membuat jamuan
khusus buat Tuan dan awak kapal Tuan, malam ini juga, asal Tuan bisa mengantarkan
kepadanya seorang putri Cina.''
Ceng Ho terdiam sesaat. Berpikir. Setelah itu, dengan menjaga keramahan, dia berkata,
''Sayang sekali di kapal kami tidak ada perempuan.''
''Kalau begitu Paduka Raja baru bersedia bertemu Tuan esok malam.''
''Tidak apa-apa. Itu lebih dari cukup. Kami merasa sangat terhormat.''
''Terima kasih, begitu saja,'' kata sang menteri. ''Kami mohon diri.''
''Terima kasih,'' Ceng Ho mengantar tamunya sampai ke jembatan penyeberangan.
Tampaknya Wang Jing Hong punya gagasan...
Manakala utusan Chen Tsu I baru saja meninggalkan kapal, berkata Wang Jing Hong kepada Ceng Ho, ''Di kapal besar, di muara, ada juga seorang putri, Sam Po Kong.''
Ceng Ho berkerut dahi. ''Yang mana?''
''Apa Anda lupa?'' tanya Wang Jing Hong. Dan dia menjawabnya sendiri. ''Ling Ling dari Qui-Nho.''
''O, ya.''
''Apa perlu kita kembali ke muara, menjemputnya?''
''Tidak.''
''Kenapa?''
''Saya sudah berkata seperti yang saya katakan tadi: di kapal kita tidak ada perempuan. Jangan sampai ada ralat dalam cara kita berbicara. Sekali perkataan tidak sama dengan kenyataan, maka dalamnya akan lancung martabat dalam ujian.''


***

Aneh bin ajaib - demikian selalu terjadi bagi seorang raja gelok seperti Chen Tsu I - bahwa sebelum matahari condong ke barat, ujuk-ujuk dia berubah. Dia panggil menterinya dan panglimanya untuk menghadap padanya.

''Saya setuju,'' kata Chen Tsu I sambil mengelus-elus kucing dan anjingnya. Kucing di tangan kiri, anjing di tangan kanan, dan gundik-gundiknya di seputar dirinya. ''Sampaikan kepada
nakhoda kapal itu, saya siap ditemui malam ini juga.''
Semua terperanjat. Tapi tidak menganggap ini aneh. Mereka tahu betul perangai raja mereka.

''Baik, Paduka, kami akan sampaikan itu sekarang juga,'' kata sang menteri.
''Laksanakan, cepat.''
''Daulat, Paduka.''
''Sekalian, katakan kepada juru masak untuk menyiapkan santapan malam yang istimewa:
babi guling, babi hong, babi kecap, babi kuluyuk, pokoknya babi-babi, babi serwa sekalian babi.''
''Daulat, Paduka.''


***

Mau tak mau orang-orang Chen Tsu I harus lekas-lekas pergi kembali ke dermaga, naik ke kapal Ceng Ho, menemui sang laksamana yang disangka nakhoda kapal dagang biasa.
''Saya mohon maaf,'' kata sang menteri. ''Baginda Raja baru saja memutuskan untuk berkenan menerima kunjungan Tuan ke dalam istananya malam ini juga.''
''Malam ini juga?'' Ceng Ho terheran.
''Betul, Tuan Nakhoda, malam ini juga,'' jawab sang menteri.
Panglimanya, si tentara kejam itu, menguatkan. Katanya, ''Paduka Raja berkenan menjamu makan Tuan dan awak kapal dengan menu istimewa.''

''Terima kasih,'' kata Ceng Ho. ''Kami akan datang sepuluh orang saja. Sepuluh dengan saya.'' ''Baik.'' Sang menteri memberi hormat. ''Kami akan sampaikan kepada Baginda.''


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 14:42
Begitu utusan Chen Tsu I itu pergi, kembali Wang Jing Hong berkata sesuatu kepada Ceng Ho. Katanya, ''Raja macam apa Chen Tsu I ini? Tadi omong merah, sekarang omong kuning.''
''Itu namanya: bagai air di daun talas,'' kata Ceng Ho. ''Justru perangai itu yang menarik buat kita. Perangai itulah yang membuat Kaisar Zhu Di berminat sekali pada kepalanya.''
''Sekarang bagaimana caranya kita menangkap dia?'' tanya Wang Jing Hong.
''Kita tidak boleh kesusu, Jing Hong,'' kata Ceng Ho memelankan suara. ''Kalau kita kesusu memikirkan menangkap dia, bisa-bisa kita keduluan yang mereka tangkap. Tenanglah. Jangan lupa kita hadir di sini sebagai saudagar-saudagar.''
Sekarang, tinggal tunggu malam.



***


Sebelum itu, baik pihak Chen Tsu I maupun pihak Ceng Ho sama-sama sibuk. Yang raja sibuk mempersiapkan diri untuk menjadi tuan rumah, yang laksamana sibuk mempersiapkan diri untuk menjadi tamu. Tampaknya pihak Ceng Ho yang harus siap benar menghadapi Chens Tsu I. Upeti telah disiapkan bukan saja untuk sang raja gelok itu melainkan juga untuk menteri-menteri dan panglima angkatan bersenjatanya.  Sebuah guci yang sangat besar, setinggi satu meter delapan puluh sentimeter dipersiapkan sebagai upeti kepada raja. Guci ini sangat istimewa. Lukisan di dinding guci itu pun luar biasa sekali detailnya. Selain lukisan khas Cina, pemandangan gunung dan perahu di sungai, di dinding guci itu pun tertera sebuah ujar-ajaran dari sendi moral Cina yang paling tua, yaitu Tao Teh Cing, dalam huruf-huruf Cina yang indah. Kata-kata itu antara lain: ''Orang yang hatinya bersih dengan sendirinya tiada bercela, karena cela baginya adalah cela, dan ia menghindari cela.'' Untuk membawa guci ini di hadapan raja, diperlukan sebuah kereta khusus, seorang yang menariknya, dua orang yang menjaganya agar tak jatuh. Chen Tsu I menyambut rombongan Ceng Ho dengan upeti-upeti dan cendramata baginya dan bagi menteri dan pembesar-pembesarnya. Ada dua belas orang rombongan Ceng Ho, yaitu selain perwira-perwiranya, juru mudi, dan dua juru tulis palsu itu. Kedua orang dari rombongan Ceng Ho, yang sebenarnya adalah perwira-perwiranya yang mengenakan busana sipil, yaitu Cun An dan Ci Liang, mengangkat dengan sangat hati-hati guci besar itu, dan menaruh di balairung, di muka Chen Tsu I yang duduk di sebuah kursi ukir berlukiskan bunga-bunga dari tiram mutiara. Setelah guci besar itu ditaruh di situ, Ceng Ho berkata dengan hormat kepada Chen Tsu I, ''Ini adalah persembahan kami kepada Baginda. Semoga Tuan Raja berkenan menerima.'' Ci Liang pun membuka tudung kain yang menutup keseluruhan guci dan semu ayang berada di balairung terpesona melihat guci besar ini. Chen Tsu I berdiri dari kursinya, kagum, lantas mendatangi guci itu, katanya, ''Luar biasa.'' ''Ini memang merupakan guci terbesar yang kami bawa khusus buat Baginda,'' kata Ceng Ho. Sambil mengelus-elus guci itu, Chen Tsu I berkata lagi, ''Baru pertama saya melihat guci yang lebih tinggi dari tubuh saya.'' ''Guci ini dibuat oleh perajin yang biasa dipesan oleh Kaisar,'' kata Ceng Ho. Chen Tsu I menggeleng-gelengkan kepala karena kagumnya. ''Luar biasa,'' katanya lagi. ''Di zaman Yung Lo memang perajin-perajin guci mendapat perhatian khusus untuk mengembangkannya,'' kata Ceng Ho. ''Diharapkan, nanti sejarah akan menulis secara khusus mengenai tradisi ini, Baginda.'' Kemudian guci-guci yang berukuran lebih kecil dipersembahkan juga kepada pembesarpembesar Chen Tsu I. Tampaknya semua senang menerima itu. Menteri perdagangan, satusatunya menteri di kerajaan Chen Tsu I ini yang nanti berbisik-bisik kepada Ceng Ho ketika dia duduk di sebelahnya di acara pertunjukan.
 

***


Sebelum bersantap malam, dilangsungkan terlebih dulu sebuah pertunjukan tari di balairung itu. Musik yang dimainkan untuk mengiringi tarian di istana Chen Tsu I ini tergolong unik karena serba berpadu-paduan. Ada beberapa instrumen yang tampaknya sudah menjadi waditra khas Palembang sejak dua ratus tahun yang lalu, konon dibawa ke Sumatra Selatan ini dari Jawa pada zaman 'penjajahan' Gajah Mada, yaitu bentuk bonang dan bende. Tapi alat gesek dan alat petik serta gong yang ada dalam susunan niyaganya merupakan waditrawaditra khas Cina yang sudah membumi di situ sejak zaman Tang. Pertunjukan tari itu dimulai dari delapan orang gadis yang meliuk-liuk menerjemahkan irama yang dimainkan oleh nayaga. Satu demi satu gadis yang menari itu masuk ke lantai balairung, sampai akhirnya tinggal satu orang saja yang masih menari di situ. Gadis yang menari terakhir ini sebetulnya bukan penari yang bagus, tapi dia menari di situ dengan wagu sebab dia akan menjadi bulan-bulanan Chen Tsu I.  Gadis yang masih menari meliuk-liukkan tubuhnya dengan irama yang kurang begitu pas, adalah putri petani Tan Tat Hian yang kini telah menjadi tawanan seks Chen Tsu I. Di saat menonton tarian yang wagu itulah menteri perdagangan membisiki Ceng Ho di sebelahnya. ''Tuan boleh buka pasar mulai dari pagi sampai sore hari. Pajaknya yang Tuan bayar hanya sampai siang hari saja. Tapi, sepersepuluh dari perolehan Tuan pada siang sampai sore, itu merupakan bagian saya. Apakah itu cukup jelas bagi Tuan?'' Ceng Ho tertawa untuk memberi kesan keramahan dan pengertian. Katanya, ''Jelas sekali, Tuan Menteri.''

 
***


Melihat menterinya berbisik-bisik dengan Ceng Ho, Chen Tsu I memanggil Ceng Ho. Keruan sang menteri merasa waswas. Apakah Chen Tsu I akan memarahinya? Ternyata tidak. Setelah Ceng Ho datang ke dekatnya, duduk di bawah singgasananya, Chen Tsu I menunjuk dengan gaya yang sangat percaya diri sebagai raja yang tak kan tergulingkan. Sambil menunjuk putri Tan Tat Hian yang masih menari dengan sulit di tengah-tengah balairung, berkata Chen Tsu I dalam kalimat tanya kepada Ceng Ho, ''Apakah Tuan berminat kepadanya?'' Ceng Ho agak kaget. Dia pura-pura tidak paham. Katanya, ''Maksud Baginda bagaimana?'' ''Ah, Tuan berpura-pura,'' kata Chen Tsu I sok ramah. ''Tuan adalah nakhoda. Semua pelaut memiliki pemeo yang sama: 'perempuan di setiap pelabuhan'. Perempuan adalah penghibur paling menyenangkan, paling gurih paling lezat. Bahkan tidak bisa diganti oleh bagi guling sekalipun. Bukankah begitu?'' Tampaknya Ceng Ho terkagok. Namun dia mesti menjawab pertanyaan yang gelok ini. Maka jawabnya dengan sikap merendah disertai keramahan yang terjaga, ''Ya. Semua memang begitu, Baginda, tapi mungkin saya satu-satunya yang berbeda.'' Chen Tsu I tertawa terbahak-bahak dan karena itu semua orang di balairung serta merta melihat ke arahnya. Apabila Chen Tsu I tertawa geli seperti itu, dia mewajibkan sentana, menteri, dan panglimanya harus tertawa bersamanya.

"Ajaib sekali. Ada pelaut yang tidak doyan perempuan," kata Chen Tsu I.  Dang Zhua segera memanfaatkan itu. Kebetulan Dang Zhua duduk di sebelah Panglima Tan, tentara Chen Tsu I yang kejam itu. Dia menceletuk seorang diri, tapi berharap panglima di
sebelahnya mendengar celetukannya.

"Terang saja nakhoda kita tidak doyan perempuan. Dia dikebiri kok," kata Dang Zhua.

Benar juga pikiran Dang Zhua. Panglima Tan mendengar celetukannya. Malahan panglima ini bertanya dengan bersungguh-sungguh kepada Dang Zhua.

"Nakhoda kalian dikebiri?" tanyanya.
"Ya, betul, Panglima," jawab Dang Zhua.
"Bagaimana bisa begitu?"
"Karena sebetulnya Sam Po Kong adalah tay-jin dari Kaisar Zhu Di."
"Apa?"
"Ini rahasia. Jangan katakan kepada siapa-siapa."
Mata sang panglima membulat di balik kelopaknya yang sipit dengan ujung luar yang menaik.
Dia memang tidak berkata apa-apa sekarang. Tapi pasti dia tidak akan memegang rahasia ini.
Dang Zhua pun tidak bermaksud menganggap ini benar-benar rahasia.
Kalau begitu, bilakah kepala angkatan bersenjata ini akan membuka rahasia kepada rajanya,

Chen Tsu I?

Pasti, nanti.


***


Sekarang, setelah menyaksikan tarian yang tidak istimewa itu, Chen Tsu I mempersilakan tamu-tamunya ini, Ceng Ho dan anggotanya, pindah ke ruang makan di sebelah ba-lairung.
Meja makan di ruang ini terdiri atas beberapa meja bundar yang sudah tertata makanan diatasnya. Khusus untuk meja makan Chen Tsu I di mana duduk bersamanya Ceng Ho dan Wang Jing Hong serta menteri-menteri kerajaan Chen Tsu I. Pas di hadapan Chen Tsu I
ditaruh seekor babi guling kesukaannya.

"Silakan," kata Chen Tsu I kepada Ceng Ho.
"Terima kasih, Baginda," kata Ceng Ho. "Kami kebetulan tidak memakan daging ini."
Chen Tsu I tertawa. "Kenapa?" tanyanya. "Takut karena cerita tentang cacing pita?"
"Bukan, Baginda."
"Lantas kenapa?"
"Mohon maaf, Baginda. Kami dilarang memakan daging babi."
"Dilarang? Siapa yang berani melarang? Ini istanaku. Tidak ada satu pun yang berhak melarang tamu-tamuku makan daging kesukaanku."
"Memang bukan setan yang melarang kami memakan daging bagi. Justru Allah, Tuhan kami, yang melarang kami memakan daging babi."
"Apa?" Chen Tsu I tertawa terbahak-bahak, lebih bahak dari tawanya tadi di balairung, dan dalam tawa ini terlihat benar sikapnya hendak melecehkan. "Luar biasa sekali. Apakah Tuhanmu berani melarangmu di istanaku ini?"

Yang geram mendengar pelecehan itu justru Wang Jing Hong yang duduk di sebelah Ceng Ho.
 
"Baginda...!" kata Wang Jing Hong.

Kata-kata yang hendak diucapkan Wang Jing Hong terputus sebab Ceng Ho menendang kakinya di bawah meja. Begitu Wang Jing Hong melihat ke arah Ceng Ho, Ceng Ho pun memberi isyarat lewat matanya, yang segera dipahami Wang Jing Hong bahwa jangan bertindak apa-apa Ceng Ho yang menguraikan dengan tenang. "Saya mohon maaf kalau ini mengganggu kesenangan Baginda. Silakanlah Baginda menyantap, tapi kami mohon Baginda menghormati kami yang tidak menyantap daging yang Baginda suka."

Dengan seenaknya Chen Tsu I berkata, "Kalau aku mengatakan bahwa kalian menghinaku karena menolak makan bersamaku, apa kalian tetap tidak mau makan bersamaku?"

"Kami tetap menerima undangan makan Baginda, dan kami siap makan bersama Baginda. Tapi sekali lagi kami tidak memakan daging babi."

"Kalau aku suruh kalian harus makan bersamaku, sebab jika tidak, itu artinya kalian menghinaku, apakah kalian tetap tidak makan daging babiku?"
"Tidak, Baginda."
"Itu artinya kalian melecehkanku."
"Tidak, Baginda. Kami menghormati Baginda."
"Kalau kalian menghormatiku, kalian harus makan daging babiku."
Segenap orang di dalam ruang makan ini memandang dengan tegang ke arah meja makan Chen Tsu I. Panglima Tan pun telah berdiri dari kursi dan kini tegak di belakang Ceng Ho memegang senjatanya. Suatu keadaan darurat yang membuat perwira-perwira Ceng Ho
bersiap-siap kelihatannya akan segera timbul lebih cepat dari dugaan mereka.

Sungguhpun begitu Ceng Ho tetap bersikap tenang. Setelah melirik dengan ekor matanya ke belakang dan mengetahui Panglima Tan telah berdiri di belakangnya, Ceng Ho berkata dengan sangat santun, ''Maaf, Baginda, untuk satu hal ini, tolonglah, jangan paksa kami.''
''Aku yang berkuasa di sini. Aku berkuasa atas kata-kataku. Siapa yang berani melawan kata-kataku berarti melawan kekuasaanku, dan itu artinya telah memilih jalan kematiannya.''
''Kalau memang begitu keputusan Baginda, kami memilih jalan Allah.''
''Apa maksudnya itu?''
''Kami terpaksa memilih melawan kata-kata Baginda.''


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 14:46
Secepat kata-kata itu terucapkan oleh Ceng Ho, secepat itu pula Panglima Tan telah menaruh pedangnya di leher Ceng Ho. ''Perintahkanlah, Baginda, pedangku siap memisahkan kepala dari badan pembangkang ini.'' Tapi di luar sangkaan panglima itu, Ceng Ho mendorong kakinya sedemikian rupa sehingga kursinya rebah ke belakang dan dengan begitu kepalanya di bawah dan kakinya di atas. Dengan kaki itu pula dia menangkap pedang sang panglima lalu melemparkan ke atas dan jatuh di atas meja tertancap persis ke babi guling di muka Chen Tsu I. Setelah itu Ceng Ho berdiri. Beberapa tentara Chen Tsu I segera berhamburan di ruang makan ini,
siap menyergap Ceng Ho. Maka perwira-perwira Ceng Ho pun yang seluruhnya berpakaian sipil sebagai pedagang serta merta bersiaga pula. Begitu tentara-tentara Chen Tsu I menyerang Ceng Ho, perwiraperwira Ceng Ho dengan di depannya Ci Liang dan Cun An langsung pula mengadang. ''Tangkap hidup-hidup!'' kata panglima itu kepada anak buahnya. ''Dia bukan saudagar tulen. Dia adalah Sam Po Tay Jin.'' Maka terjadilah perkelahian seru hendak menangkap Ceng Ho. Tentara-tentara Chen Tsu I itu membuat lingkaran, sedangkan Ceng Ho dan perwira-perwiranya yang tidak bersenjata didesak ke tengah, seperti anjing-anjing yang menyalak dan menggonggong celeng-celeng di hutan. Dang Zhua dan Hua Xiong pura-pura masuk juga ke dalam lingkaran itu, bergabung dalam rombongan Ceng Ho yang terkepung. Sebetulnya, dalam membuat posisi seperti terkepung seperti ini, Ceng Ho hanya mempermudah untuk membaca kekuatan dan kemudian bertindak untuk menangkis serangan tentara-tentara itu. Seorang tentara yang berada paling depan, yang menerjemahkan perintah sang panglima untuk menangkap Ceng Ho, dengan sangat bernafsu meloncat ke arah sasarannya. Dia
mengira sasarannya hanyalah sebuah patung. Begitu menyerang dengan nafsu berapi-api, dia tak tahu dengan begitu telah melakukan ketololan yang membuatnya terlambat menyesal.

Dengan sigap Ceng Ho membaringkan badannya ke lantai sehingga dengan begitu kembali kaki Ceng Ho dengan mengagumkan menangkap lewat cara menjepit kaki tentara itu, membuat tentara itu tumbang seperti batang tertentu. Tapi sebelum tentara itu jatuh ke lantai,
Ceng Ho menarik tangannya sehingga tangannya tertekuk ke depan dan dengan begitu tentara itu jatuh ke lantai dengan ujung pedangnya menikam diri sendiri. Darah pertama bergelimang di lantai ruang makan itu.

Perwira-perwira Ceng Ho, Cun An dan Ci Liang serta yang lain juga, mula-mula menangkis, sekadar menangkis serangan tentara-tentara Chen Tsu I. Tetapi oleh kegesitan dan keterampilan berkelahi dengan mudah mereka memanfaatkan kemarahan dan nafsu untuk memainkan pemeo ''senjata makan tuan''. Tentara-tentara Chen Tsu I satu demi satu tumbang oleh senjata mereka masing-masing dalam menyerang perwira-perwira Ceng Ho. Dengan begitu darah kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya bergelimang di lantai ruang makan itu.

Kini Ci Liang dan Cun An berada di kiri-kanan Chen Tsu I. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan, Chen Tsu I berteriak panik,

''Berhenti!''

Namun bersamaan dengan teriakan Chen Tsu I yang panik itu, Ceng Ho memanfaatkan kelengahan Panglima Tan, menangkap, dan mencekiknya.
''Baiklah,'' kata Ceng Ho. ''Kita hentikan.''
''Ini memang kesalahan Panglima,'' kata Chen Tsu I. ''Dia terlalu kreatif menerjemahkan apa yang baru saya pikirkan. Mari kita mulai dari awal lagi.''
''Sebaiknya memang begitu,'' kata Ceng Ho. ''Tapi keburu selera kami sudah padam.''
Chen Tsu I cengengesan, bersikap merayu, namun juga palsu sekali. Katanya, ''Kalau itu
menyangkut daging babi, saya dapat menyingkirkan sekarang juga dari meja makan ini.''
''Maaf, bukan hanya itu.''
''Lantas apa?''
''Lebih baik kami minta diri saja.''
Keramahan Chen Tsu I tampak dibuat-buat. "Tidak. Janganlah begitu. Ini hanya soal kecil. Ini soal salah prosedur saja. Memang panglimaku sering salah tafsir akan apa yang tersirat. Nah, diamlah. Tidak pernah raja setulus ini. Saya mohon."
"Terima kasih," kata Ceng Ho. "Saya hormati ketulusan Baginda. Tapi, dengan tulus juga kami mohon diri."
Tampak penyesalan yang tidak sejati di wajah Chen Tsu I, dan Ceng Ho dapat membaca itu. Kata Chen Tsu I, "Saya merasa sangat menyesal."
"Lupakan," kata Ceng Ho.
Ceng Ho berjalan mundur, diikuti anggota-anggota ekspedisinya, termasuk tentu saja Dang Zhua dan Hua Xiong. Mereka keluar, pulang ke kapal.



***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Dodol Buluk on 26/08/2008 14:47
haaddeeeeuuuhhhhhhh,,,,.....lieur euy bacana... ;D

D'Boels
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 14:52
Sekeluar Ceng Ho dan anggota ekspedisinya dari istana Chen Tsu I, berteriaklah Chen Tsu I dengan kesal.
"Goblok! Goblok! Goblok!"
Semua diam memandang Chen Tsu I. Mereka takut. Mereka adalah cecunguk-cecunguk yang menjadi bodoh di hadapan raja gelok seperti Chen Tsu I.
Chen Tsu I pun meremak busana Panglima Tan dan meludahi muka tentaranya itu. "Cuh!"

Dia menampar pula muka tentaranya yang kejam ini. "Panglima macam apa kamu ini? Penampilan sok gagah, tapi tidak punya nyali, tidak punya lancau, banci."

Dan, dasar raja gelok, masih dalam marah menyerapah seperti itu, Chen Tsu I lirak-lirik ke arah babi guling di mejanya yang telah tertancap pedang itu. Dia cabut pedang itu lalu memotong-motongnya. Orang-orang mengira dia akan mengambil paha babi itu dilemparkan ke anjingnya yang tidur melingkar di situ. Ternyata, masih dalam keadaan marah, dia menggigit daging babi itu dan memakannya, tidak soal apakah gempa bumi akan melanda istananya sekalipun. Sambil memakan, dia berteriak marah lagi. Kali ini kepada semua orang yang berada di ruangan itu. "Kenapa hanya melihat? Ayo, semua makan!" Maka semua pun makan. Mereka makan dengan lahap. Mereka bahkan tidak terganggu oleh mayat-mayat yang bergelimpangan di ruang makan itu.

***
Sementara itu, dalam perjalanan ke kapal, Ceng Ho terus berpikir-pikir, dari mana Panglima Tan bisa menyebut namanya ketika tentara yang kejam itu berteriak memberi perintah kepada bawahannya. Terekam dengan jelas dalam ingatan Ceng Ho apa yang dikatakan Panglima Tan. Tentara itu tadi berkata, "Tangkap hidup-hidup. Dia bukan saudagar tulen. Dia adalah Sam Po Tay Jin." Karena pikiran itu terus menyertai jalannya ke kapal, setiba di kapal Ceng Ho meminta semua yang ikut bersamanya ke istana Chen Tsu I berkumpul di ruang nakhoda di atas. Ceng Ho langsung mengutarakan rasa penasarannya itu. Katanya, "Begini. Ada sesuatu yang aneh di istana Chen Tsu I." Dang Zhua langsung merasa ke mana arah omongan Ceng Ho tersebut. Dia tercenung, berpikir keras untuk memperoleh kata-kata yang dapat dijadikan alasan yang masuk akal. Dia menunggu apa yang akan dikatakan Ceng Ho. Sambil menunggu, dia telah menemukan jawaban. "Anehnya, kenapa panglimanya Chen Tsu I sudah mengetahui latar belakang saya." "Sebetulnya dia hanya menduga-duga," kata Dang Zhua. "Menduga-duga?" "Ya. Dia memancing-mancing saya. Dua bulan lalu ada kapal dari utara yang singgah berdagang di sini. Nakhodanya yang memberitakan tentang sebuah ekspedisi besar utusan Kaisar akan dilaksamanai Sam Po Kong. Nama Tuan sudah populer sebagai cempiang yang berkelahi dengan tangan kosong. Barangkali mengalami sendiri tangkisan Tuan tadi, dia berkata begitu." Ceng Ho diam sejenak. Setelah itu, "Apa benar begitu?" "Saya kira begitu," kata Dang Zhua meyakinkan. Untuk sementara barangkali Ceng Ho dapat menerima dengan nalar. Dia menganggukangguk.


***


Di istana, pada waktu yang sama, setelah semua makan kenyang, Chen Tsu I memanggil Panglima Tan.
"Sekarang, menurut pendapatmu, apa yang harus kita lakukan kepada mereka?" tanya Chen Tsu I.
"Terlebih dulu kita harus tahu mereka bukanlah saudagar asli," jawab Panglima Tan. "Ma He, atau Ceng Ho, atau Sam Po Kong, adalah laksamana kepercayaan Zhu Di."
"Dari mana kamu simpulkan keterangan itu?" kata Chen Tsu I.
"Ini akurat, Baginda," kata Panglima Tan. "Juru tulisnya yang mengatakan itu."

Chen Tsu I terdiam. Jeda sejenak. Dia menerawang. Seakan pikirannya bagai seekor merpati yang terbang berputar-putar di atas cuaca buruk untuk mencari pagupon di bawahnya sebagai
tempatnya bertengger. Apabila pikirannya itu menemukan jawaban yang dicari, berkatalah dia dengan senang, kini bagai ayam jantan yang berkokok perlente di hadapan lawannya. ''Ya, sekarang aku mengerti.''

Panglima Tan diam pula, menunggu dengan hasrat ingin tahu, kira-kira apa gerangan yang hendak dikatakan Chen Tsu I selanjutnya setelah dia berpenampilan sebagai ayam jago. Dia
memandang Chen Tsu I dengan wajah serius.

''Berarti nakhoda itu ada hubungannya dengan nakhoda muslim dari Yun Nan yang terkenal itu,'' kata Chen Tsu I. ''Ya, aku ingat sekarang. Tidak salah lagi. Nakhoda itu bernama Ma Ha
Zhi.''

''Benar, Baginda,'' kata Panglima Tan. ''Dan Sam Po Tay Jin ini putranya.''

Chen Tsu I berpikir-pikir. Dalam senangnya dia masih bertanya, sekadar menaruh pembenaran dalam kemauan untuk berpikir benar. Katanya, ''Apa benar begitu?''

Panglima Tan meyakinkannya. ''Juru tulisnya yang berkata begitu, Baginda.''

Chen Tsu I berpikir-pikir lagi. Tampaknya ada sesuatu dalam pikirannya yang membuat hatinya syak. Katanya, ''Tapi kamu bilang, juru tulisnya juga berkata dia seorang tay-jin.''

''Ya, memang betul begitu, Baginda. Juru tulisnya yang berkata begitu.''

Berkerut dahi Chen Tsu I. ''Mana mungkin. Bukankah itu mustahil?''
''Kenapa mustahil, Baginda?''
''Ya. Tidak mungkin seorang muslim menjadi tay-jin.''
''Sam Po Kong sudah dikebiri sejak berumur 12 tahun, Baginda.''
''Apa?''
''Ya, Baginda. Dia dipungut dengan cara ditawan oleh ayah sang kaisar pada usia 12 tahun. Di
usia itulah dia dikebiri untuk dijadikan kasim.''
Chen Tsu I manggut-manggut. ''Itu masuk akal.''
''Itu keterangan dari juru tulisnya, Baginda.''
Chen Tsu I tertawa. Dia tertawa seperti penyakitnya yang biasa: tertawa terbahak-bahak.
Setelah itu dia berkata dengan girang, ''Sekarang aku sudah mendapat gagasan istimewa.''
''Apa itu, Baginda?''
''Kamu harus atur siasat, menangkap dia. Pasti dia datang ke sini dengan udang di balik batu.''
''Nanti dia akan mengaku setelah kita tangkap dan memaksanya bicara.''
''Kalau begitu, atur semua. Dan ingat, yang namanya siasat adalah permainan. Setiap permainan harus selalu mengandung unsur rekreasi, menghibur, santai. Jangan sampai timbul
syakwasangka.''
''Saya akan mengatur dengan rapi, Baginda.''
''Laksanakan cepat.''


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 14:54
Pada pagi harinya, setelah Ceng Ho membuka pasar di pinggir Sungai Musi, dan pasar itu ramai, datanglah Panglima Tan ke situ menemui Ceng Ho. Dia datang bersama beberapa orang tentara lain.
Percakapan tidak langsung ke maksud dan tujuan. Panglima Tan memanfaatkan basa-basi.
Ibarat menimang bayi, supaya bayi terlelap, demikian basa-basi yang dimanfaatkan Panglima Tan. Ceng Ho dengan lentur sengaja masuk ke dalam basa-basi itu. Dengan masuk ke dalam
percakapan basa-basi, tidaklah berarti Ceng Ho kehilangan kewaspadaan. Ceng Ho tetap waspada memperhatikan penampilan Panglima Tan. Mula-mula Panglima Tan berbasa-basi yang lazim. Katanya, ''Selamat pagi, Encik Nakhoda.''
''Selamat pagi, Panglima.''
''Cuaca pagi ini bagus sekali.''
''Ya, benar, cuaca pagi ini memang bagus sekali.''

''Syukurlah,'' kata Panglima Tan memandang sekeliling yang ramai itu. ''Kalau bukan karena cuaca bagus, tempat ini kumuh. Pada musim hujan tempat ini berbecek, lumpur dari bagian hulu sungai selalu menggenang dan menumpuk di sini.'' ''O ya?'' kata Ceng Ho beragak-agak. ''Tapi kami membawa ahli hong-sui. Dia menunjuk tempat ini membawa hoki.'' Panglima Tan tersenyum menunjukkan sikap takzim. ''Luar biasa sekali. Hong-sui memang kepercayaan
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 14:57
Cina yang paling luar biasa.'' ''Saya tidak melihatnya dari kepercayaan,'' kata Ceng Ho dengan serta merta. ''Bagi saya hong-sui adalah ilmu pengetahuan alami; pengetahuan yang dicatat dengan teliti dari abad ke abad berdasarkan peristiwa, kejadian, dan pengalaman orang seorang atau kelompok yang melakukan antara lain aktivitas niaga sebagai bagian dari aktivitas sosial.'' ''Jadi bukan sekadar kepercayaan?'' ''Ya,'' sahut Ceng Ho. ''Ia juga ilmu pengetahuan alami.'' Panglima Tan mengangguk-angguk, melihat lagi ke sekeliling pasar yang ramai itu. Dalam bersikap begitu sebetulnya dia tidak mencamkan omongan Ceng Ho, sebab sepanjang omongan Ceng Ho itu pikirannya dikucak pertimbangan-pertimbangan kalimat apa yang mesti dia lakukan dalam mengejawantahkan perintah rajanya, Chen Tsu I, untuk menjerat Ceng Ho. Maka bertalian dengan ujung kalimat Ceng Ho yang baru terucapkan, Panglima Tan pun memperoleh kunci untuk mengalihkan basa-basi ke maksud dan tujuannya menemui Ceng Ho. ''Nah, begini, Encik Nakhoda, sehubungan dengan aktivitas sosial tersebut, Baginda Chen Tsu I berniat meminta maaf sedalamnya kepada Anda mengenai peristiwa tadi malam itu,'' kata Panglima Tan. ''O? Saya sudah melupakan itu. Bukankah itu hanya kesalahan prosedur dari kekeliruan menafsir perintah?'' ''Ya, memang betul,'' kata Panglima Tan. ''Maka dalam meluruskan keadaan yang kepalang terganggu tadi malam itu, Baginda bermaksud menjamu sekali lagi bagi segenap rombongan Encik Nakhoda dengan menu istimewa yang tidak mengandung daging-daging terlarang dalam keyakinan Anda.'' Ceng Ho menanggapi dengan semadyanya. ''Apakah begitu?'' ''Ya, Encik Nakhoda. Raja sangat menyesal. Raja tidak ingin merusak hubungan yang sudah terjalin dengan baik sejak awal pertemuan. Bukankah berniaga adalah hubungan berkelanjutan? Raja ingin hubungan ini tidak putus. Itu sebabnya dengan sangat hormat Raja mengundang makan lagi seraya benar-benar melupakan salah pengertian yang terjadi kemarin malam.'' ''Saya menghargai undangan Baginda,'' kata Ceng Ho. ''Atas nama Raja, saya mengucapkan terima kasih,'' kata Panglima Tan. Sedianya Panglima Tan dan tentaranya akan bergerak meninggalkan pasar, tapi dia berhenti lagi karena Ceng Ho memintanya mengingat. Kata Ceng Ho, ''Agar benar-benar tidak terjadi lagi salah pengertian, selain daging babi, kami juga mengharamkan minuman keras.'' ''Sekali lagi terima kasih,'' kata Panglima Tan sangat sopan dan semestinya sangat berkesan. ''Sampai besok malam.'' Terkesankah Ceng Ho? Siapa pun dapat terkecoh. Terutama Panglima Tan.


***


Dengan bangga Panglima Tan melapor kepada rajanya, Chen Tsu I, seperti selalu: tiada hari tanpa wanita, sedang berleha-leha di tamannya di belakang istana.

Siang ini, alih-alih Chen Tsu I sedang melukis dengan tinta cina di atas kertas. Salah satu di antara kegilaan Chen Tsu I adalah juga hasratnya yang keras dan ngotot untuk dipuji para sentana sebgai seorang yang dapat melukis. Untuk satu hal ini, barangkali Chen Tsu I berbakat, hanya kurang dipupuk, dan agaknya pupuk yang paling pas untuknya adalah tahi babi. Saat dia melukis di atas kertas, wanita-wanita di sekelilingnya mencoba menarik perhatian dengan memijat-mijat, siapa yang paling terampil dan menyenangkan. Wanita-wanita itu telah menjadi seperti mesin penghibur bagi Chen Tsu I. Dan dia bisa menagih kepuasan di mana pun dia suka. Termasuk di taman ini. Karena itu ketika Panglima Tan hadir di situ, yang disebut sebagai tentara paling kejam ini agak kagok. ''Ampun, Baginda,'' kata Panglima Tan. ''Sudah,'' kata Chen Tsu I. ''Tidak usah kagok. Nonton saja sebentar. Ini adegan harimau menerkam domba.'' Panglima Tan menundukkan kepala. ''Saya hanya melapor, Baginda, semua berjalan mulus. Dia sepakat datang besok malam. Sam Po Tay Jin kelihatan senang sekali.'' ''Ya sudah,'' kata Chen Tsu I. ''Sekarang laksanakan perangkapmu. Jangan sampai meleset.'' ''Baik, Paduka.''


***


Pada saat Panglima Tan merasa senang, mengira Ceng Ho dapat diperdaya, menjelang sore, sehabis sembahyang, kembali Ceng Ho mengumpulkan perwira-perwira dan menyatakan tentang undangan Chen Tsu I pada besok malam.
''Percayalah, Tuan-tuan, undangan Chen Tsu I, yang katanya sebagai niat memperbaiki hubungan yang kepalang rusak tadi malam, pasti suatu jebakan,'' kata Ceng Ho.
''Jadi, apakah mungkin ini akan menjadi pertempuran?'' tanya Ci Liang.
''Setiap kemungkinan akan selalu terbuka,'' kata Ceng Ho.
''Apakah tidak sebaiknya kita ke muara, mengambil bala tentara kita?'' tanya Cun An.
Untuk mengantisipasi hal itu, boleh,'' kata Ceng Ho. ''Saya minta Cun An berangkat ke muara. Siapkan dua ratus orang tentara. Kalau sampai lusa pagi saya tidak pulang, berarti saya
menjadi tawanan.''
''Baiklah,'' kata Cun An.
''Bergegaslah.''
Dang Zhua dan Hua Xiong yang berada di dalam pertemuan itu saling memandang penuh muslihat. Di luar nanti, ketika mereka berjalan meninggalkan ruang rapat, Hua Xiong membisik kepada Cang Zhua, "Apa yang harus kita lakukan?"
"Kita harus tetap menjadi benalu," jawab Dang Zhua. "Itu tugas yang dipercayakan Li Ta Xia kepada kita."



***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 15:21
Besok pagi pasar yang digelar di pinggir sungai semakin ramai. Orang-orang di Palembang mendapatkan apa yang dibawa kapal Ceng Ho dari Cina dan Ceng Ho juga mendapatkan apa yang diperlukan nanti di Cina. Pada saat hiruk pikuk pasar, dan orang-orang lebih cenderung memperhatikan diri sendiri, Dang Zhua diam-diam berangkat seoerang diri menuju ke istana. Tentara yang menjaga gerbang menahannya. Dengan kepandaian - yang baginya sama artinya dengan kelicikan -Dang Zhua pun menyatakan diri sebagai orang penting yang mengatasnamakan Ceng Ho minta bertemu Panglima Tan. Dengan sendirinya Panglima Tan menyambutnya dengan terbuka. Bukankah dia merasa telah memperoleh banyak keterangan berguna dari Dang Zhua tentang Sam Po Tay Jin itu?

Panglima Tan langsung percaya kepada Dang Zhua. Ketika dia menerima Dang Zhua, dari jauh dia berkata, "Kalau bukan karena berita penting, Tuan tidak datang mencari saya."
"Memang betul, Panglima," sahut Dang Zhua.
"Katakanlah. Telinga saya sudah terbuka lebar."
"Hati-hati pada jamuan makan besok malam," kata Dang Zhua.
"Memangnya ada apa?" tanya Panglima Tan.
"Sam Po Tay Jin telah mempersiapkan tentaranya," kata Dang Zhua.
"Memangnya dia membawa tentara? Di mana tentaranya?"
"Di muara, Panglima."
"Di muara? Berapa besar kekuatan tentaranya?"
"Mungkin lebih dari yang Panglima punya."
Panglima Tan agak berang. "Omong kosong!" katanya keras seraya berdiri tegang. "Tidak mungkin."
"Saya tidak bohong, Panglima."
"Betul?"
"Betul, Panglima."
"Lantas, keuntungan apa yang kamu minta dari kami?"
"Terserah Panglima. Apa pun yang Tuan berikan dan berapa pun nilai yang Tuan hargakan, saya terima."

"Baiklah," kata Panglima Tan. "Menurut pendapatmu, kalau sampai terjadi kontak senjata, berapa personel dari pihak kami untuk memberangus tentara Sam Po Kong?"

"Maaf, Panglima," kata Dang Zhua. "Tentara-tentara Sam Po Kong termasuk maju. Sam Po Kong memiliki tentara sangat banyak. Tapi dalam teori perang, dia mengacu pada sumber daya manusia yang terampil. Baginya bukan kuantitas, melainkan kualitas."
Panglima Tan berang. Dia menuding Dang Zhua dengan suara keras. "Apa maumu sebenarnya? Memeras?"
Dang Zhua pun menundukkan kepala, soja, dan memasang muka tulus di wajahnya. "Ampun, Panglima. Telinga saya mendengar bahwa Sam Po Kong memerintah perwiranya Cun An untuk menyiapkan dua ratus orang tentara."
"Itu artinya dia benar-benar mempersiapkan perang? Kalau dia mempersiapkan dua ratus, lihat saja, saya akan mempersiapkan dua ribu orang."
Dang Zhua memuji Panglima Tan dengan sikapnya yang memang sangat terlatih untuk mengambil muka. Katanya, "Tuan bijaksana sekali. Dengan begitu kemungkinan tentara Sam Po Kong bakalan keok."
Panglima Tan tertawa membayangkan sukses. Lalu dia lemparkan sekeping-dua keping emas kepada Dang Zhua. Sambil melempar kepingan emas, dan ditangkap oleh Dang Zhua, berkata
Panglima Tan dengan tiada senyum sama sekali, "Kalau kamu bohong, kepalamu lebih dulu yang akan saya cari."
Dang Zhua soja lagi. "Kalau saya bohong, bahkan dewa-dewa pun akan mencari kepala saya, Panglima."


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 15:43
Begitu menerima perintah dari Ceng Ho untuk berangkat ke muara, ke kapal-kapal ekspedisi Ming yang menunggu di sana, Cun An berlayar seorang diri dengan menggunakan sekoci dari kapal yang tidak terlalu besar ini. Dengan segera, dalam gerak cepat, Cun An telah menghitung dua ratus tentara yang akan berlayar ke pedalaman. Mereka semua memanfaatkan sekoci-sekoci dari kapal masing-masing untuk berlayar ke Palembang. Mereka bergerak pada malam hari. Dengan begitu penjaga-penjaga di pos-pos tertentu yang biasa mengirimkan berita dengan melepaskan anak panah dari busur tidak mengetahui pasukan yang dua ratus itu. Jika pun di pos tempat penjaga-penjaga itu mengirimkan berita ke dalam itu ada, mereka tidak pernah melihat ada sekoci-sekoci masuk ke dalam. Tentara-tentara Sam Po Kong itu sudah turun sebelum tiba di pos pertama. Di belukar yang gelap mereka menunggu sampai siang nanti.


***


Pada siang harinya, ketika pada malamnya nanti Ceng Ho akan hadir memenuhi undangan Chen Tsu I, Panglima Tan telah mempersiapkan perangkap yang paling rapi. Ada sebuah jaring yang amat besar terpasang di atas meja makan. Dengan bangga Panglima Tan
memamerkan pekerjaan itu kepada Chen Tsu I ketika Chen Tsu I datang memeriksa.
"Jadi, begini, Baginda, begitu Sam Po Tay Jin itu duduk di sini menikmati santapan, jaring diatas itu akan turun langsung memerangkapnya," kata Panglima Tan.
"Dia duduk di mana?" tanya Chen Tsu I.
"Di sini, Paduka," kata Panglima Tan menunjuk kursi yang akan diduduki Ceng Ho.
"Lantas, saya duduk di mana?" tanya Chen Tsu I pula dengan wajah mengerut.
"Paduka di sebelah sini," kata Panglima Tan menunjuk kursi yang berada di dekat kursi yang tadi dikatakannya sebagai tempat duduk Ceng Ho.
"Lo? Kamu memang tolol. Asli tolol," kata Chen Tsu. "Kalau jaring itu jatuh ke meja ini, itu artinya termasuk saya akan terjaring oleh perangkap tololmu itu."

Panglima Tan terbengong. Dia tak bisa bilang apa-apa. Sebelum dia mencoba membuka mulut, memberi alasan yang tidak masuk akal, Chen Tsu I telah menamparnya.
"Tolol!" kata Chen Tsu I. "Sekali otak udang, tetap saja otak udang. Ayo cepat, bongkar jaring tololmu itu. Pakai otakmu yang betul dan pasang di tempat yang tidak mencelakakan rajamu."
"Baik, Paduka."
"Laksanakan, cepat."


***


Akhirnya Panglima Tan menyuruh orang untuk memindahkan jaring itu di balairung. Seingat dia, pada malam perjamuan yang lalu, diselenggarakan terlebih dulu acara tarian di balairung ini, dan di ruangan ini Ceng Ho duduk berseberangan, agak jauh, dari kursi kebesaran Chen Tsu I. Di atasnya itulah jaring itu dipasang, disamarkan dengan hisan-hiasan lain berupa tulisan-tulisan kaligrafi di atas kain-kain berwarna merah. Setelah itu Chen Tsu I datang lagi memeriksa pekerjaan Panglima Tan. Kali ini Chen Tsu I tertawa terbahak-bahak seperti penyakitnya yang mendarah-daging: tidak lucu tetap tertawa. Sambil tertawa dia menepuk-nepuk bahu Panglima Tan. Tepukannya sangat keras, sehingga tepukan ini lebih tepat dikatakan sebagai jotosan daripada tepukan. "Kali ini kamu betul-betul tidak tolol lagi," kata Chen Tsu I sambil menjotos-jotos bahu Panglima Tan. "Jadi, nanti ketika Sam Po Tay Jin terlena oleh tari-tarian, segera turunkan jaringmu itu. Selanjutnya kita akan menonton tari-tarian di dalam jaring: tarian hewan buruan yang terkena perangkap." Merasa dipuji, Panglima Tan pun berbual karena senang. Katanya, "Seperti monyet dikasih baju." Dan Chen Tsu I tertawa lagi terbahak-bahak seperti kemarin dan besok.

 
***



Selesai memasang perangkat di balairung, menjelang tengah hari, di saat pasar masih berlangsung, Panglima Tan pergi menemui Ceng Ho. Dia pergi bersama-sama dengan tentaranya yang biasa. Kali ini tidak ada lagi basa-basi. Dia langsung mengutarakan maksud
dan tujuan.

"Ini untuk sekadar mengingatkan Encik Nakhoda," kata Panglima. "Nanti malam, jangan lupa. Raja berkenan menjamu Tuan."
"Ya, kami tidak lupa," kata Ceng Ho.
"Berhubung undangan ini sangat terbatas, kami ingin tahu, berapa orang yang akan datang bersama-sama dengan Encik?" tanya Panglima Tan.
Sambil mengingat-ingat, Ceng Ho menjawab, "Agaknya cuma sembilan."
Panglima Tan berkerut dahi. "Kemarin sepuluh orang."
Agak tersendat juga jawaban Ceng Ho. Dia ingat, bahwa Cun An telah berangkat ke muara.

"Ya," katanya. "Tapi nanti malam saya pilih hanya sembilan."
"Baiklah," kata Panglima Tan. "Jadi, hanya sembilan."

Ya," jawab Ceng Ho dengan pasti dan tegas.

***
Kelihatannya Panglima Tan yang paling sibuk. Sebagai saudara Chen Tsu I dia mengabdi kepada saudaranya itu sampai batas yang paling absurd. Sepulang dari menemui Ceng Ho dia pun pergi menemui perempuan-perempuan yang akan bertugas sebagai penari. Kepada putri Tan Tat Hian dia mewanti-wanti untuk melakukan tarian dengan sempurna. "Kamu tahu artinya tarian yang sempurna?" kata Panglima Tan kepadanya. "Itu artinya kamu harus membuka kutangmu, mengeluarkan payudaramu, dan membuat tamu-tamu raja terpesona. Walaupun dia adalah tay-jin, toh kodrat lelakinya masih tersisa. Paham?" Yang diajak bicara ini menundukkan kepala. Tidak berkata ya, tidak pula berkata tidak. Diamnya menunjukkan ketidakberkuasaan untuk berpendapat.


***

Kelihatannya Panglima Tan yang paling sibuk. Sebagai saudara Chen Tsu I dia mengabdi kepada saudaranya itu sampai batas yang paling absurd. Sepulang dari menemui Ceng Ho dia pun pergi menemui perempuan-perempuan yang akan bertugas sebagai penari. Kepada putri Tan Tat Hian dia mewanti-wanti untuk melakukan tarian dengan sempurna. "Kamu tahu artinya tarian yang sempurna?" kata Panglima Tan kepadanya. "Itu artinya kamu harus membuka kutangmu, mengeluarkan payudaramu, dan membuat tamu-tamu raja terpesona. Walaupun dia adalah tay-jin, toh kodrat lelakinya masih tersisa. Paham?" Yang diajak bicara ini menundukkan kepala. Tidak berkata ya, tidak pula berkata tidak. Diamnya menunjukkan ketidakberkuasaan untuk berpendapat.


***


Malamnya semua orang di istana kelihatan tidak wajar. Khususnya mereka yang berada di balairung. Alih-alih di balairung ini, tidak seperti kemarin, pada malam ini dihias berlebihan oleh pelbagai koleksi keramik - yang dalam pikiran Chen Tsu I merupakan barang-barang yang bahkan belum pernah dilihat oleh Ceng Ho di Cina - berasal dari masa lampau, dari tahun 250 sebelum Masehi pada masa Ch'in, tahun 200 sebelum Masehi di zaman Han, zaman Sam Kok, zaman Enam Dinasti, sampai zaman Sung. Entah dari mana Chen Tsu I mendapatkan itu semua. Untuk mengambil hati Ceng Ho, di antara keramik-keramik dari pelbagai masa itu, tidak terkecuali hadiah Ceng Ho berupa guci paling besar yang baru diperoleh tiga hari lalu, ditaruhnya juga di balairung yang juga dipakai sebagai tempat penyelenggaraan pertunjukan tari sebelum makan malam di ruang sebelah. Memasuki istana, para menteri dan panglima yang mengatur balairung ini berdiri di muka, menyambut Ceng Ho dan rombongannya yang hanya delapan orang itu. Ini berbeda dari malam lalu. Jika malam lalu para tamu, yaitu Ceng Ho dan rombongan telah lebih dulu duduk di kursi masing-masing lantas para pemain musik memainkan musiknya dan penari keluar ke tengah-tengah, malam ini musik sudah dimainkan dan penari pun sudah menari di tengah balairung ketika Ceng Ho dan rombongan masuk. Suasana pun terasa lebih lanjut sebab lampu-lampu yang menerangi balairung adalah pelita-pelita dengan minyak kelapa yang remang-remang. Karena keadaannya yang tidak terang itu, layaklah jika siapa pun yang memasuki balairung ini -termasuk Ceng Ho dan rombongan tidak melihat bahwa di atas kursi-kursi yang disiapkan untuk Ceng Ho dan rombongan telah dipasangi jaring. Ditambah dengan penari-penari yang telah menari di tengah sana ketika Ceng Ho dan rombongan memasuki balairung itu. Liuk-liuk tubuh penari-penari itu, disertai dengan putri Tan Tat Hian yang sengaja dibukakan bagian dadanya, telah memancing perhatian tersendiri ke arah itu. "Jarmi, silakan duduk," kata Panglima Tan. Sang panglima pun mengantar Ceng Ho tempat yang akan menjadi jerat baginya. Di depan sana Chen Tsu I sudah duduk di singgasananya. "Raja sudah menunggu," kata Panglima Tan lagi sambil menunjuk ke arah singgasana sang raja gelok. Sambil berjalan ke kursi, diantar oleh Panglima Tan, Ceng Ho memberi hormat kepada Chen Tsu I. Dan, begitu Ceng Ho telah duduk diiringi oleh segenap rombongannya, berdirilah Chen Tsu I dari kursi singgasananya. "Untuk memeriahkan suasana indah, tarikan tarian yang paling indah," kata Chen Tsu I sambil menunjukkan tangannya ke tengah balairung tempat para penari masih meliuk-liukkan tubuh mereka. Mula-mula muncul seorang lelaki Keling, badan hitam legam, bertelanjang dada, hanya membungkus tubuhnya yang bawah dengan kain tipis, meloncat ke tengah penari-penari perempuan sambil memegang obor dari bambu. Dia bergoyang-goyang di tengah-tengah, di antara penari-penari perempuan itu, seraya seakan-akan membakar dirinya dengan obor itu. Tontonan itu memang menarik di mata semua anggota rombongan Ceng Ho. Bahkan Ceng Ho terlena melihat orang hitam legam itu. Di dalam ruang yang remang, hanya giginya yang kelihatan jelas, bersinar terkena cahaya obor. Dan, justru oleh daya pikat dari si hitam itu maka perangkap yang disediakan oleh Panglima Tan telah berfungsi menurut rencananya. Sebuah jaring yang tersamar oleh hiasan kertas sekonyong jatuh dari atas memerangkap Ceng Ho dan kedelapan anggota rombongannya. Delapan orang anggota rombongan itu dengan sendirinya termasuk Dang Zhua dan Hua Xiong. Begitu jaring itu memerangkap mereka, Dang Zhua dan Hua Xiong yang kelihatan panik, berteriak-teriak dan memaki. Padahal, mereka berdua hanya bermain sandiwara belaka. Nanti setelah semua ditangkap satu per satu, dimasukkan ke dalam kerangkeng, barulah Dang Zhua dan Hua Xiong merasa plong, sebab mereka dilepas dan dijamu secara khusus.


***

Ceng Ho ditahan secara tersendiri. Yang lain ditahan di dalam tahanan yang sama. Khusus untuk Ceng Ho, di dalam ruang bawah tanah yang pengap dan baunya busuk. Dia disiksa pada sebuah roda besar, dengan dua orang algojo berbadan tegap berkulit hitam legam, sama kelingnya dengan lelaki yang menari dengan obor di balairung tadi. Algojo yang satu memutar-mutarkan roda tempat Ceng Ho diikat dengan rantai, dan algojo yang satunya lagi memecut-mecutkan cambuk di tubuhnya. Panglima Tan berdiri di hadapannya. Chen Tsu I menyaksikan dari anak tangga. Raja gelok itu meloncat-loncat girang setiap kali pecut dicambukkan ke tubuh Ceng Ho. "Nah, katakan yang sebenarnya. Kamu pasti membawa tentara untuk memerangi kami," kata Panglima Tan.  ''Kenapa Anda berpikir kami mau memerangi? Perang mungkin terjadi bila angkatan bersenjata kerajaan Anda kuat. Kekuatan yang paling mendasar bagi sebuah angkatan bersenjata bukan hanya fisikal, melainkan juga mental. Dan, mana mungkin angkatan bersenjata Anda dapat diandalkan, sedangkan raja Anda bobrok?''
Panglima Tan marah. Dia pukul dengan tangan kiri, dia pukul dengan tangan kanan, dia sepak dengan kaki kanan, dia sepak dengan kaki kiri, lalu mencabut pedangnya, mengarahkan ke leher Ceng Ho. Chen Tsu I sejak tadi berdiri loncat-loncat pethakilan di tangga serta merta berteriak kepada Panglima Tan. ''Jangan dulu,'' kata Chen Tsu I sambil turun dari tangga itu berjalan dengan sombong ke depan roda penyiksaan. Setelah berdiri di hadapan Ceng Ho, Chen Tsu I mengambil pedang yang dipegang Panglima Tan dan mengarahkannya ke leher Ceng Ho. ''Berani-berani kamu menghinaku. Aku raja -Tan Co Gi atau Chen Zhu Yi: orang Chao-Zhou asli dari Guang-Dong - yang dihormati di seluruh bekas Kerajaan Si-Li-Fo-Ci. Kota ini, Kiu Kiang *), adalah milikku.'' ''Anda keliru. Kota ini milik orang Palembang,'' kata Ceng Ho. ''Anda hanya perampok. Dulu perompak, sekarang perampok.'' ''Kurang ajar,'' kata Chen Tsu I geram. Pedang Panglima Tan itu ditempelkannya di leher Ceng Ho. ''Saya bunuh kamu sekarang juga. Mampus!'' ''Anda memang hanya seorang pembunuh keji. Anda hanya berani pada orang-orang yang tidak berdaya.'' Panglima Tan mencari muka, tapi kelihatannya dia tidak mendapat muka. Dia tampar muka Ceng Ho. Lalu katanya kepada Chen Tsu I, ''Bunuh saja dia, Paduka.'' ''Tidak,'' kata Chen Tsu I tegas dan langsung. ''Kelihatannya dia mau mengujiku. Lepaskan dia.'' Panglima Tan seperti tidak percaya. ''Paduka...?'' ''Laksanakan saja! Cepat!'' perintah Chen Tsu I. Panglima Tan pun melakukan perintah rajanya. Dua orang Keling yang tadi bertugas memutar roda dan mencambuk Ceng Ho segera melaksanakan perintah Chen Tsu I. Mereka membuka rantai yang membelenggu tubuh Ceng Ho di atas roda besar itu. Setelah itu, kedua orang Keling itu mengempaskan Ceng Ho ke bawah kaki Chen Tsu I. ''Berdiri!'' ujar Chen Tsu I. Sebelum kedua kaki Ceng Ho tegak di lantai ruang bawah tanah, dengan cepat Chen Tsu I menerjang, mengayunkan pedang di tangannya itu ke arah Ceng Ho. Walaupun kaki Ceng Ho belum tegak berdiri, tidaklah berarti dia kurang keperkasaan untuk menghindar dari ayunan pedang Chen Tsu I. Dia menghindar dengan menjatuhkan badan dan menggulingkan badannya itu ke samping, dan pada akhir gerakan gulingnya itu dengan cepat pula dia memberdayakan tubuhnya untuk berdiri. Chen Tsu I terkesiap melihat kecepatan Ceng Ho. Walau begitu dia mengejek sambil tetap memegang erat pedang untuk mencari peluang menebas Ceng Ho. ''Ooo... gerakanmu cepat juga,'' ucap Chen Tsu I mengejek. ''Tapi percayalah, sepandai-pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga di tangan harimau.'' ''Jangan terpalu percaya diri,'' kata Ceng Ho. ''Rasa percaya diri bukan hanya karena hati, melainkan harus juga ditunjang keterampilan kaki dan tangan. Anda tidak memiliki itu, Tsu I. Bila Anda gagal, tidak ada yang memuji Anda. Bahkan Panglima Anda menjadi orang pertama yang menghina Anda.'' ''Kurang ajar!'' Chen Tsu I menerjang dengan garang, ganas, geram. Tempat pedangnya diharapkan mengena sasaran, ternyata membelah angin, dan dengan begitu dia kehilangan keseimbangan badan, terputar dengan sia-sia ke arah samping. Sementara itu dalam loncatan menghindar yang demikian tak terbaca, kini Ceng Ho telah berada di belakang Chen Tsu I. Oleh keadaan yang tak terduga itu, betapapun telah membuat rasa percaya diri Chen Tsu I agak terganggu. Jika pada gerakan berikut dia menghunuskan pedang untuk menghantam Ceng Ho, gerakan itu semata-mata tumbuh dari naluri untuk membunuh saja.
Sampai pada gerakan-gerakan terakhir Ceng Ho masih sekadar menghindar tanpa membalas. Namun dengan cara begini telah cukup membuat Chen Tsu I jengkel dan karena itu badannya cepat letih saking jengkelnya. Kendati begitu tak lepas jua sikap melecehkan Chen Tsu I atas gerakan-gerakan menghindarnya. Katanya, ''Boleh saja kamu menari-nari begitu seperti monyet. Tapi lihat saja, kamu bakal menyesal sebab kamu akan mati konyol di sini seperti tentara-tentaramu akan mati konyol di luar sana.'' ''Kita akan sama-sama melihat, Tsu I,'' ujar Ceng Ho. Sambil berkata begitu, di luar sangkaan Chen Tsu I, tubuh Ceng Ho telah berpindah seperti terbang, dan ujung kakinya menendang kepala Chen Tsu I. Bukan alang kepalang kagetnya Chen Tsu I. Tapi dia telat kaget. Sebab, ketika belum kaget, kaki Ceng Ho yang sangat kuat menendang kepalanya itu telah membuat dia oleng dan dia pun tergelincir, jatuh. Setan! kata Chen Tsu I, berang, dan berdiri. Dia menghunus kembali. Sekarang kamu betulbetul harus mati. Kamu akan mati seperti tentara-tentaramu di luar.  Tidak, Tsu I, kata Ceng Ho. Justru kamu yang akan mati, seperti tentara-tentaramu akan mati juga di luar.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 15:45
Bagaimana sebenarnya keadaan di luar? Memang benar Panglima Tan telah mengerahkan tentara ke tempat yang diduga akan menjadi tempat mendarat tentara dari luar. Tentara Chen Tsu I memang menguasai sekali daerah tempat tentara-tentara Ceng Ho yang dikomandoi Cun An turun. Mereka menguasai daerah itu, sebab mereka sebetulnya para perompak dan bajak laut yang dijadikan militer oleh Chen Tsu I. Tak disangka oleh Cun An bahwa tentara-tentara perompak Chen Tsu I dengan jumlah yang tak terhitung menyerang dari arah timur, yang berarti dari arah belakang tentara-tentara Ceng Ho. Sebagai perompak, tentara-tentara Chen Tsu I itu menguasai perang di laut. Tapi sebagai perompak yang mengandalkan pedang untuk jarak dekat, mereka tidak menguasai perlengkapan senjata untuk menangkis serangan atau balasan dari jarak jauh. Memang mereka bisa memanah, tapi mereka bukan pemanah. Kemampuan mereka memanah sebatas memberi informasi dari satu pos ke pos lain jika ada kapal yang memasuki Sungai Musi. Dan panah yang dimanfaatkan sebagai pengirim berita, sebagai peranti informasi, seperti selamanya informasi dari yang berkuasa terhadap yang terkuasa pun, bisa berubahubah demi kekuasaan. Maka demikian keterampilan menggunakan senjata untuk jarak jauh ini kurang dapat dipercaya di tangan tentara-tentara Chen Tsu I. Sekadar melepaskan anak panah dari busur, tentara-tentara garong itu memang bisa. Tapi apakah itu terbidik, itu tidak pernah diurus. Tentara-tentara Chen Tsu I itu bukan sebuah lembaga yang memiliki disiplin berlatih. Ketika mereka berperang, kemauan untuk berperang semata-mata didasari kemauan mengalahkan. Adapun bagaimana asas mengalahkan tidak dipersiapkan dengan latihanlatihan khusus. Padahal, sementara itu tentara-tentara yang dibawa Ceng Ho dalam alasan misi perdamaian utusan Zhu Di tersebut adalah tentara-tentara asli, terlembaga, dari suatu kekaisaran besar yang telah teruji, terampil dalam menggunakan pelbagai senjata, baik di laut maupun apalagi di darat. Jadi, walaupun tentara-tentara Chen Tsu I yang telah menguasai wilayah itu, dan menyerang tentara Ceng Ho dari arah belakang, tidaklah berarti tak terjadi pertempuran istimewa, yang membuktikan keampuhan tentara-tentara Cina. Memang betul, jumlah tentara Chen Tsu I yang menyerang dari timur ini tidaklah kecil.
Mereka banyak sekali. Tapi itu pun tidak berarti bahwa jumlah yang banyak dengan sendirinya dapat memenangi pertempuran. Chen Tsu I yang menaruh kepercayaan penuh penataan angkatan bersenjatanya kepada saudaranya, Panglima Tan, hanya bersandar pada kepercayaan tentang kuantitas dan tidak pernah berpikir tentang kualitas. Pikiran Ceng Ho untuk menata militernya berdasarkan kualitas - kendatipun dalam alasan misi muhibahnya dia membawa serta 27.800 orang tentara yang artinya bukan misi muhibah,melainkan invasi termasuk pikiran yang sangat maju. Hanya dengan dua ratus orang yang bertempur di pinggir Sungai Musi itu, tentara-tentara Chen Tsu I yang banyak itu makin lama kian berkurang, mampus dengan sia-sia di situ. Hanya dalam pertempuran tiga jam, kalahlah tentara-tentara Chen Tsu I, lari terbirit-birit, kabur tunggang langgang.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 15:46
Maka dengan pasti, dua ratus orang tentara Ceng Ho, tanpa cedera atau luka barang sedikit pun, maju ke istana. Pos-pos penjagaan di pinggir sungai yang biasa bertugas mengirimkan berita melalui panah masing-masing telah dipanah juga oleh tentara-tentara Ceng Ho, dan semua telah menjadi bekas manusia di pos-posnya. Di depan istana mereka menembak ke benteng yang di atasnya dijagai pula oleh tentaratentara bersenjata. Pertempuran di situ pun terjadi. Mula-mula kekuatan benteng istana kelihatan kukuh oleh penjagaan tentara Chen Tsu I yang siap di sana. Beberapa orang tentara Ceng Ho terluka, tertancapi anak panah yang ditembakkan dari atas benteng. Setelah itu, sebuah batu berapi ditembakkan tentara-tentara Ceng Ho, mengena atap depan bangunan istana. Bunyinya cukup kuat mengguncang bangunan itu. Apinya pun pelan-pelan membakar bangunan itu. Tentara yang berada di atas benteng itu melihat ke bawah dan terkejut pada pandangan yang alih-alih ini. Sebuah batu berapi ditembakkan lagi. Kini menghancurkan bagian muka benteng. Wajah tentara yang berada di atas benteng itu langsung berubah cemas. Tiada pilihan, dia mesti meninggalkan posnya, turun ke bawah, ke ruang bawah tanah tempat tahanan dan penyiksaan terhadap para tawanan, mencari panglimanya, dan melaporkan tentang gempuran itu. Dia berlari-lari ke situ.


***


Di situ Chen Tsu I dengan yakin, kendati dengan kesadaran dirinya menjadi permainan Ceng Ho, bahwa dia harus memenggal Ceng Ho. Di bawah tangan sendiri Chen Tsu I menyadari tak bisa mengalahkan Ceng Ho. Akhirnya dia perintahkan Panglima Tan dan kedua algojo Keling itu menyerang dari tiga arah. Mula-mula si Keling yang tadi mencambuk-cambuk itu berhasil memegang lengan kanan Ceng Ho. Begitu tangan Ceng Ho terpegang seperti itu, Keling yang satunya lagi, yang tadi memutarmutar roda penyiksaan, berhasil pula menangkap lengan kiri Ceng Ho. Untuk sementara, dengan mengandalkan sosok tubuh berotot, dan hitam mengilat sebagai kesan sekilas bahwa mereka kuat, kedua algojo Keling telah merasa yakin berhasil menangkap Ceng Ho, dan akan segera membelenggu lagi di roda penyiksaan itu. Ceng Ho sengaja melenturkan tubuh dengan mengendurkan otot-ototnya sehingga badannya dengan mudah diseret kedua algojo Keling itu untuk dibawa kembali ke roda penyiksaan tersebut. Rupanya kedua algojo Keling itu terkecoh, kecele. Begitu badan Ceng Ho telah terbawa ke roda penyiksaan, sebelum tangan si Keling berhasil meraih rantai untuk membelenggu, di luar dugaan Ceng Ho membalikkan badan dengan memutar kaki sehingga kakinya sekilas berada di atas, lalu dengan begitu kakinya menegas kaki si Keling. Kekuatan dari batin menyertai tendangan luarnya, membuat si Keling merasa seperti dialiri barang panas tertentu ke tubuhnya, dan dia goyah untuk selanjutnya tersungkur. Sebelum terpikir untuk berbuat sesuatu sebagai gerakan improvisasi, si Keling yang satunya lagi telah terkena bogem kanan Ceng Ho. Keling yang satu ini pun tersungkur. Dia kelihatan kerepotan. Dia memegang mulutnya karena bogem Ceng HO, dan ketika dia tersungkur, mulutnya masih menubruk tembok kukuh di situ. Melihat itu Chen Tsu I bingung. Matanya jelalatan seperti burung bulbul.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 15:49
Di saat itulah tentara yang tadi menjaga posnya di atas benteng datang ke sini tergopoh-gopoh memberitakan apa yang terjadi di depan benteng. ''Panglima!'' katanya terengah-engah karena berlari lintang pukang seperti hewan tertentu. ''Benteng kita diserang tentara Cina.'' Rupanya tentara itu tidak tahu Chen Tsu I berada di ruang tawanan ini. ''Apa katamu?'' tanya Chen Tsu I antara kecewa dan khawatir. Tentara yang baru saja berlari lintang pukang ini terpaksa mengubah penampilan takutnya lagi terhadap rajanya. Katanya dengan badan menunduk-nunduk, ''Betul, Paduka. Ampun, Paduka Raja. Memang begitulah keadaannya. Kita diserang oleh tentara Cina. Mereka sudah menghancurkan bagian depan istana.'' ''Astaga!'' Kini giliran Chen Tsu I yang harus berlari. Buru-buru dia meninggalkan ruang tawanan di bawah tanah ini. Ceng Ho bermaksud mengejarnya. Tapi Panglima Tan menghalanginya. Mula-mula dia menghalang dengan pedang yang dilemparkan begitu saja oleh Chen Tsu I. Untuk itu hilang beberapa menit yang menguntungkan bagi Chen Tsu I melarikan diri, bersembunyi ke tempat yang tak mudah ditemukan. Tapi pedang itu akhirnya lepas juga dari tangan Panglima Tan. Akibatnya dia harus menghalang Ceng Ho dengan tangan tak bersenjata. Terjadi perkelahian yang seru. Rupanya Panglima Tan memiliki juga ilmu berkelahi yang lumayan. Dia bisa mengimbangi gerakan-gerakan lebar dari Ceng Ho. Sekali tangan kanannya mengena juga ke rahang Ceng Ho. Tapi itu setelah berkali-kali tangannya itu memukul angin. Pada suatu kesempatan Ceng Ho berhasil meloncat ke tangga-tangga yang menghubungkan ruang bawah tanah ini ke atas, ke jalan yang dilewati Chen Tsu I tadi untuk melarikan diri. Di situlah, tak diketahui Ceng Ho, ada senjata yang segera dimanfaatkan Panglima Tan. Begitu Ceng Ho menginjak anak-anak tangga itu, sebuah jaring turun pula dari atasnya, ditekan tombolnya dari bawah oleh Panglima Tan, langsung memerangkap Ceng Ho. Lagi, dan lagilagi Ceng Ho terjerat oleh jaring Panglima Tan. Panglima Tan pun memerintah kedua algojo Keling itu menangkap lagi Ceng Ho dan mengikat kembali di roda penyiksaan. ''Taruh kembali tay-jin ini ke roda itu,'' kata Panglima Tan. Sementara kedua algojo Keling itu mencoba dengan tidak mudah menjalankan perintah Panglima Tan untuk mengikat kembali Ceng Ho di roda penyiksaan itu. Pada saat itu juga Panglima Tan telah melarikan diri, meninggalkan penjara bawah tanah ini dan menutup pintu batu yang samar dengan dinding batu, sehingga nanti, dalam beberapa menit tentara-tentara Ceng Ho berada di situ, tidak menemukan jalan ke bawah. Kedua algojo Keling itu akhirnya kalah sia-sia di tangan Ceng Ho. Kemampuan berkelahi algojo itu semata-mata mengandalkan otot-otot yang besar, mengilat oleh keringat yang membasahi sekujur tubuh, dan sama sekali tidak disertai dengan ilmu tertentu untuk
menggerakkan alat-alat tubuhnya.
Dengan mengalahkan kedua algojo Keling itu, katakanlah, Ceng Ho dapat segera meninggalkan penjara bawah tanah ini, mengejar Chen Tsu I dan panglimanya itu.
Dapatkah Ceng Ho melakukan itu dengan mudah?
Ternyata tak mudah. Pintu batu yang menghubungi ruang bawah tanah ini dengan pelbagai lekuk di lantai atas, dibangun dengan sangat rahasia, sehingga tidak mudah bagi siapa pun,
kecuali tentara-tentara Chen Tsu I yang mengenal jalan rahasia ke bawah melalui tembok batu.

***


DI mana Chen Tsu I sekarang? Dia telah bersembunyi di suatu tempat yang lebih rahasia lagi, di belakang istananya, di sebuah ruang luas dengan segala macam kekayaan yang dibajaknya atas kapal-kapal Cina yang berlayar di sekitar wilayah Asia Tenggara. Untuk mencapai ruang sembunyian ini orang harus melewati terlebih dulu serokan yang bau sekali tempat mengalir kotoran-kotoran dari jamban istana ke Sungai Musi. Kemudian pintu yang menuju ke ruang bawah tanah itu masih disamarkan pula oleh tumbuhan-tumbuhan belukar yang membuatnya pekat. Bagaimana caranya tentara-tentara Ceng Ho menemukan Chen Tsu I? Tidaklah mudah. Hal itu terjadi melalui interogasi yang ketat terhadap Panglima Tan. Panglima Tan? Ya. Dia.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 16:01
DIA, Panglima Tan, memang berhasil melarikan diri, meninggalkan Ceng Ho dikerjai kedua algojo Keling itu - dia setengah percaya kedua algojo Keling itu sanggup melaksanakan perintahnya. Tetapi sebelum dia keluar dari istana untuk menyusul Chen Tsu I di ruang
rahasia yang satu, tentara-tentara Ceng Ho telah berada di dalam istana. Dengan segera tentara-tentara Ceng Ho menangkapnya.
Sekarang terletak di tangannya bagaimana membebaskan dua orang: Chen Tsu I dan Ceng Ho. Kedua-duanya tidak diketahui tentara-tentara Ceng Ho.
Perwira Cun An langsung yang menangkap Panglima Tan. Mulanya dia, Panglima Tan, berusaha melawan, dan karena itu terjadi pertarungan khusus antara dia dan Perwira Cun An, tapi pertarungan ini pun tidak berimbang. Perwira Cun An termasuk cempiang yang tangguh
dan perkasa pula. Tampaknya tenaga Panglima Tan untuk bertahan makin lama kian berkurang. Pada suatu gerakan dia melakukan kesalahan perhitungan, membuat kakinya terkilir, dan selanjutnya dia jatuh. Pedang Perwira Cun An dengan cepat telah berada di
lehernya.

Gentarkah Panglima Tan?
Dia malah tertawa. Katanya, ''Kalau saya mati, kalian tidak akan bertemu Sam Po Kong.''
Perwira Cun An menarik pedangnya. Dia terkesiap. ''Berdiri, cepat,'' katanya.
''Rupanya kita harus berunding,'' kata Panglima Tan dengan tertawa mengejek. ''Mari, silakan.''
Panglima Tan berjalan di depan, menuju ke balairung, dan Perwira Cun An beserta tentara-tentaranya mengikuti dari belakang. Di situ, walaupun Panglima Tan mempersilakan duduk, Perwira Cun An tidak duduk.
''Di mana mereka semua?'' tanya Cun An.
''Mudah sekali,'' jawab Panglima Tan. ''Tenang saja.''
''Tidak,'' kata Cun An. ''Jangan main-main. Di mana Sam Po Kong dan Wang Jing Hong dan lain-lain.''
''Di sinilah letak arti penting perundingan,'' kata Panglima Tan dengan santai sekali.
''Tidak,'' kata Cun An menekankan. ''Tidak ada perundingan dengan penyamun di sarangnya.''
Panglima Tan tertawa terkekeh meniru gaya rajanya yang adalah saudaranya. ''Perlu Tuan ketahui, ada pepatah yang berlaku di kalangan penyamun. Bahwa jika ya penyamun adalah orang jahat, percayalah, di antara penyamun yang jahat pasti ada juga penyamun baik. Kamilah yang baik itu.''
"Terlalu bertele-tele," kata Cun An. "Katakan yang singkat saja. Apa maumu."
"Rupanya Tuan tidak mengerti irama," kata Panglima Tan tak acuh. "Saya menawarkan perundingan, bukan saresehan. Di utara, Tuan boleh memaksa, sebab di sana saya hanya menjadi rakyat dari sebuah negara tengah-tengah. Tapi di sini, selatan, tidak sama. Ini
Kerajaan Tan Co Gi. Tan Co Gi tidak pernah takluk baik pada dewa maupun setan, apalagi cuma Kaisar Ming."
Dengan cepat, tak diduga Panglima Tan, pedang Cun An sudah terayun dari luar ke dalam, tepat mengena kuping Panglima Tan, dan kuping itu meninggalkan kepala Panglima Tan, jatuh ke lantai balairung.
Panglima Tan berteriak sakit bersamaan dengan keterkejutannya karena kecepatan pedang Cun An memotong telinganya.
"Au!" teriak Panglima Tan sembari memegang telinga yang daunnya telah jatuh di lantai.
"Gila."
"Jangan asal jeplak," kata Cun An. "Bisa saja nanti mulutmu yang saya potong seperti itu.
Seenaknya kamu menghina Kaisar?"
Panglima Tan bungkam. Dia tidak mau membuka mulut. Dia tidak juga peduli darah di telinganya meleleh di pipinya.
"Sekali lagi saya bertanya, di mana mereka semua: Sam Po Kong, Wang Jing Hong, dan lain-lain?"
Panglima Tan tetap diam. Dia pun tidak mau melihat muka Cun An. Karena itu Cun An geram, menaruh pedangnya kembali ke leher Panglima Tan.

"Tidak mau menjawab?" kata Cun An.
"Saya mengajukan perundingan, Tuan tidak mau. Ya sudah bunuh saja saya, selesai, habis perkara."
Gertak sambal Panglima Tan berhasil membuat Cun An kendur.
"Baiklah," kata Cun An akhirnya. "Apa tawaranmu?"
"Atas nama Raja, Tan Co Gi, saya minta, jangan ganggu kedaulatan kami," kata Panglima Tan. "Atas nama Raja, hormati kedaulatan Kerajaan Ku-Kang."
"Sudah terbukti, kerajaan ini hanyalah sarang penyamun," kata Cun An.
"Kenapa Tuan berpikir sederhana? Setiap raja adalah juga pemeras: pemeras kekuasaan, pemeras pajak, pemeras kebebasan, dan seterusnya. Perbedaan antara penjahat dan pejabat hanya terletak pada huruf dan lafal. Selebihnya sama."

Cun An tercenung sebentar, kelihatannya menyerap omongan penyamun ini untuk disari-sarikan, tapi setelah itu dengan tak sabar berkata, "Sudah saya bilang jangan bertele-tele. Katakan saja tawaranmu itu."
"Baiklah," kata Panglima Tan. "Kalau tawaran yang sudah saya sampaikan tadi bisa diterima, kita berunding untuk tawaran selanjutnya."
"Katakan saja," kata Cun An.
"Apa betul Tuan ingin delapan orang yang kami tawan itu dibebaskan?"
Cun An jengkel, tapi tak berdaya dipermainkan oleh pertanyaan konyol Panglima Tan. Maka dia berkata menahan jengkel, "Tunjukkan sekarang juga."

Seperti tak peduli Panglima Tan melemparkan perkataan inti yang dia jadikan kunci. Katanya, "Dalam perundingan selalu ada persyaratan-persyaratan."

"Baiklah," kata Cun An. "Apa persyaratanmu?"
"Tunggu," kata Panglima Tan. "Apa persyaratan yang tadi sudah disepakati?"
"Soal apa?"
"Bahwa ini adalah Kerajaan Ku-Kang. Rajanya adalah Tan Co Gi. Apa ini disepakati?"

Cun An tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya bertanya hal lain. "Persyaratan lain?"
"Tarik mundur pasukan yang Tuan pimpin," kata Panglima Tan.
"Bukan saya yang memimpin," kata Cun An. "Yang memimpin Sam Po Kong."
"Buktinya pasukan di sekitar sini di bawah komando Anda," kata Panglima Tan. "Tinggal tentukan saja keputusan, menarik mundur pasukan ini, atau delapan orang itu mati segera di kerajaan ini."
Cun An agak bingung. Tapi dia pikir harus melakukan sesuatu yang bijak dan tepat. Acap kali yang tepat belum tentu bijak, dan yang bijak belum tentu pula tepat. Dia harus melakukan keduanya sekarang.

"Nah, bagaimana?" tanya Panglima Tan merasa berada dalam posisi menang.

Akhirnya Cun An mesti memutuskan secara bijak dan tepat. Katanya tak ragu, '"Baiklah, Pasukan kami mundur seratus orang."
"Memang berapa jumlahnya. Kalau tidak salah, dua ratus orang. Benarkah?"
"Benar," jawab Cun An dalam sikap tiada pilihan. "Berapa orang tentara yang Anda ingin tarik mundur?"
"Duaratus-duaratusnya," jawab Panglima Tan.
"Itu mustahil."
"Kenapa mustahil."
"Penyamun selalu curang."
"Kami penjahat yang telah menjadi pejabat. Kami memegang kesepakatan."
"Apa jaminannya?"
"Tuan lihat, telinga saya yang satu masih ada di kepala ini. Kalau saya melanggar, potong lagi telinga saya yang satu ini. Bahkan kalau masih tidak cukup, potong sekaligus kepala saya.
Nah, bagaimana? Cukup meyakinkan?"
Cun An sekali lagi harus memutuskan sesuatu yang tidak mudah. Namun dia percaya dan yakin, jika keputusan ini dijalankan, bersama delapan orang - di luar Dang Zhua dan Hua Xiong - dia dapat mengatasi masalah yang mungkin timbul di depan.
''Baiklah,'' kata Cun An. ''Sepakat.''
Panglima Tan senang. ''Anda cerdas,'' katanya. ''Saya tinggal menunggu pelaksanaannya.''


***

Cun An mengatur tentaranya untuk kembali ke muara. Di hadapan prajurit-prajurit itu, yang berkumpul di halaman luar istana, Cun An berdiri di sebuah tanah tinggi, memberi pengumuman kepada mereka. Di sebelahnya tampak juga berdiri Panglima Tan dan beberapa orang menteri. Sebelum itu Panglima Tan telah memberi bingkai kalimat kepada Cun An, apa yang mesti disampaikannya, dan untuk itu Cun An terpaksa menerima arahan Panglima Tan. Dalam hal ini ternyata Panglima Tan cerdik juga. Dia berkata kepada Cun An, ''Anda harus mengatakan kepada prajurit-prajurit Anda bahwa kami ini adalah kerajaan selatan dari orang-orang sebangsa.'' Karena itu, ketika Cun An memberi pengumuman kepada prajurit-prajuritnya untuk kembali ke muara, arahan Panglima Tan itulah yang dia katakan. Kata Cun An, ''Panglima angkatan bersenjata Kerajaan Ku Kang ini telah meminta kita semua menghormati kedaulatan kerajaan ini sebagai kerajaan dari orang-orang sebangsa, Han dan Tang, yang telah memilih menetap di luar Cung Kuo.'' Mereka pun bertempik sorak.


***

Pada saat prajurit-prajurit Ceng Ho itu menaiki sekoci masing-masing untuk kembali ke muara, ada seseorang yang baru turun dari biduk setelah berniaga ke hulu, di Semeteh, Muaralakitan, Sugiwara, Babat, Sekayu. Orang ini sudah lama tinggal di Palembang. Dia pun berasal dari Cina. Namanya Sih Jin King. Namanya akan menjadi penting dalam sejarah Palembang di kemudian hari justru karena apa yang dia lakukan saat ini. Sih Jin King telah lama menaruh rasa kecewa dan marah kepada Chen Tsu I. Sebelum Chen Tsu I mengangkat diri sebagai Raja Palembang dengan tentara-tentara yang sebagian besar adalah penyamun, bajak laut, perompak, perampok, Sih Jin King menjadi wakil dari seorang pemimpin Cina di bekas Kerajaan Sriwijaya, Liang Dao Ming. Ketika Liang Dao Ming dipanggil pulang oleh Kaisar Ming, Sih Jin King yang menjabat pemimpin masyarakat Cina di Sumatera Selatan. Chen Tsu I tidak suka, lantas menyingkirkannya. Bukan pulang ke Jawa, di mana Sih Jin King mula-mula mukim dan memiliki jabatan khusus dari Kerajaan Man-Ze-Bo-Yi, dia tetap diam di Palembang, berniaga dari muara sampai ke hulu. Tiga hari lalu, ketika Ceng Ho kali pertama membuka pasar di Palembang, Sih Jin King masih berada di hulu Musi, berniaga di sana. Saat tiba di Pelabuhan Jiu-Gang, dia melihat dengan heran mengapa ada tentara-tentara Cina yang sedang meninggalkan Palembang. Pikirannya yang tangkas dan tidak pernah percaya kepada Chen Tsu I dengan cepat menyimpulkan pasti mereka sudah terkena muslihat Panglima Tan, orang terpercaya Chen Tsu I. Dia ingin berkata sesuatu kepada komandan yang baru menyuruh prajurit-prajurit itu pergi. Tetapi dia menyadari itu tidak mungkin. Sebab Cun An, komandan tentara-tentara itu, sedang diapit Panglima Tan dan menteri-menteri dari si raja gelok Chen Tsu I. Jika dia menerobos, misalnya, untuk berbicara dengan Cun An, hal itu sama saja artinya dengan mengantarkan mayatnya ke seorang bajingan. Bukankah itu tidak menarik? Maka Sih Jin King menahan diri. Dia yakin pada saat yang tepat akan berbicara, dan bicaranya itu pula yang menentukan harkatnya di kemudian hari. Untuk sementara, mungkin seperempat jam, setengah jam, atau sekian jam, dia mesti menunggu dengan sabar. Kesabaran telah menjadi bagian kepribadiannya selama ini. Sungai Musi telah mengajarkan banyak hal kepadanya. Bukankah perjalanan niaganya yang memakan waktu berhari-hari di sungai itu -mulai dari Palembang sampai Sekayu yang di selatannya hanya terbentang berhektar-hektar rawa-rawa dan hutan belukar dengan hewan-hewan pemangsa yang sewaktu-waktu menguji pemeo "hanya yang kuat berhak hidup"-telah membuat pribadinya benar-benar tahan uji, tahan banting, tahan segala. Malahan, bukan hanya Sungai Musi yang biasa ditembusinya untuk membawa niaganya, tapi juga termasuk anak-anak sungai besar itu, antara Komering jika dia hendak ke Kayuagung, Ogan jika dia hendak ke Baturaja, dan Lamatang jika dia hendak ke Muaraenim. Kepada putrinya, yang diberi nama Nyai Gede Pinatih, yang sering diajak ke pedalaman, Sih Jin King berkata, "Siasat apa pula yang sedang dijalankan oleh perampok itu." Pinatih yang tangkas dan bisa berkelahi dengan lincah melihat tajam ke arah pejabat-pejabat Chen Tsu I itu. "Kenapa Ayah tidak mengatakan kepada mereka agar jangan pergi?" "Tenanglah, Putriku," kata Sih Jin King, "setiap hal di kolong langit ada waktunya. Jangan memanfaatkan waktu hanya karena waktu tidak menunggu. Kita harus arif untuk masuk di dalam waktu, bergerak bersama-sama dengan waktu, dan kemudian menentukan waktu yang paling waktu untuk memperoleh hasil yang kita harapkan. Pahamkah kau?" "Paham, Ayah."


***


Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 16:05
Ayah dan anak ini pun melewati rumah makan di tepi sungai itu. Di dalamnya banyak orang bercakap-cakap tentang sesuatu yang menarik. Sekadar mampir untuk memesan minum sebelum pulang, Sih Jin King masuk ke dalam, dan masuk juga ke percakapan orang ramai itu.
"Ada apa?" kata Sih Jin King.
"Baru saja terjadi pertempuran di sini. Tentara-tentara Cina menggempur Istana Tan Co Gi, dan bagian depan istana sudah hancur."
"Lantas?"
"Baru saja terjadi perundingan."
"Apa kau tahu isi perundingannya?"
"Ah, tidak ada yang tahu. Tahu-tahu tentara-tentara Cina itu pulang dengan senang hati. Tapi konon ada tay jin dari Cina yang masih berada di dalam istana."
"Berarti, itu tawanan. Saya harus berikhtiar."
Sih Jin King lekas-lekas keluar rumah makan itu, berkata terlebih dulu kepada putrinya supaya pulang saja, sebab dia akan menyusul ke muara, menemui dua ratus tentara yang hendak pulang ke kapal.
"Kamu pulang saja," kata Sih Jin King, "ayah akan menyusul mereka."
"Tapi Ayah baru saja berkata tentang sabar terhadap waktu," kata Pinatin.
"Yah,"kata Sih Jin King, "Ayah memang selalu mengajarimu tentang bagaimana memanfaatkan waktu. Menurut perasaan Ayah, inilah waktu untuk berikhtiar mencari teman, dan bersama dengan teman menghadapi waktu. Nah, pulanglah."



***


Empat orang pendayung disuruh Sih Jing King untuk mendayung kuat-kuat biduk yang dinaikinya untuk menuju ke timur lantas ke utara, ke muara Sungai Musi, di Tanjung Carat.
Dengan susah payah akhirnya biduk itu dapat menyusul sekoci-sekoci tentara Ceng Ho sebelum mereka tiba di tanah gempuran Upang.
"Berhenti dulu," kata Sih Jing KIng.
Semua tentara Ceng Ho itu heran belihat Sih Jin King. Salah seorang yang berpangkat lebih tinggi di antara semua prajurit mendekati biduk Sih Jin King.
"Ada apa?" tanyanya.
"Apakah Tuan-tuan akan pulang?"
"Ya, kami akan pulang ke kapal."
"Jangan-jangan Tuan-tuan semua diperdaya oleh Tan Co Gi."
"Tidak mungkin. Siapa Anda?"
"Saya Sih Jin King. Sebetulnya, sayalah pemimpin yang diangkat untuk memimpin masyarakat Cina di Palembang. Sebelum menduduki tempat itu, dan disinggkirkan oleh Tan Co Gi, saya adalah utusan Majapahit untuk mengurus umat di wilayah Sriwijaya ini."
"Berarti Anda seorang pemeluk Tao?"
"Bukan. Tadinya saya Buddha, tapi sekarang Islam. Walau begitu saya masih tetap setia kepada Kerajaan Majapahit."
"Mana mungkin begitu?"
"Mungkin saja. Sayalah buktinya."
"Baiklah. Sekarang apa yang Anda harapkan?"
"Jangan sampai terbit penyesalan. Kembali saja lagi ke Jiu-Gang. Saya dengar ada tawanan yang berada di Istana Tan Co Gi."
"Memang betul. San Po Kong berada di sana."
"Nah, bukan ini suatu kecerobohan, memercayai penyamun?"
"Jadi, apa saran Anda?"
''Mungkin sudah terlambat. Tapi pasti tidak sia-sia. Kembalikan ke Jiu-Gang, dan beri pengajaran yang tuntas kepada Tan Co Gi itu.''
Kedua ratus tentara yang telah berada di tengah-tengah di tanah gempuran Upang ini -jadi separo perjalanan air ke Palembang dan separo perjalanan air lagi ke muara di Tanjung Carat-berhasil diyakinkan Sih Jin King untuk kembali lagi ke Pelabuhan Jiu-Gang.


***


Pada saat itu Panglima Tan telah mengeluarkan tawanan, delapan orang menghadap ke
hadapan Chen Tsu I. Raja gelok ini pun sudah keluar pula dari tempat persembunyian.
Mula-mula Panglima Tan datang ke tempat sembunyi sang raja gelok, mengatakan bahwa
keadaan sudah aman.
''Semua tentaranya berhasil saya perdaya. Mereka sudah kembali ke laut,'' kata Panglima Tan.
''Sekarang apa?''
''Paduka dipersilakan duduk di singgasana di balairung sebab saya akan membawa tawanan
kita itu ke situ
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 16:38
''Baiklah. Kamu bekerja dengan bagus.''
''Mereka akan saya bawa dalam keadaan terikat, Paduka.''
''Laksanakan, cepat!''
''Baik, Paduka.''


***

Panglima Tan keluar sebentar, menemui Cun An. Katanya kepada Cun An, ''Tuan diminta menunggu di balairung. Raja sebentar lagi akan ke situ.'' ''Di mana mereka semua?'' tanya Cun An dengan curiga. ''Mereka siapa?'' tanya Panglima Tan pura-pura lugu. ''Sam Po Kong, Ong Keng Hong,*) dan lain-lain.'' ''O, sabarlah. Mereka akan aman-aman. Seperti Anda, mereka dijamu kembali oleh raja kami Tan Co Gi. Nah, silakan duduk.'' Cun An memandang ke kiri dan kanan, kemudian ke atas, dan setelah itu, dalam keadaan berprasangka, dia duduk di kursi yang ditunjuk Panglima Tan. Tak lama setelah itu muncul tentara bersusun-susun di balairung. Kini yakinlah Cun An bahwa prasangkanya yang baru menguasai dirinya memang beralasan. Mengalir rasa penyesalan di hatinya. Tapi dia tahu, penyesalan itu sudah terlambat.  Chen Tsu I diserta perempuan-perempuan tawanan asmaranya juga hadir di situ. Semua tentara yang telah berdiri bersusun-susun di situ menundukkan kepala dan badan ketika Chen Tsu I berjalan ke singgasananya. Sambil duduk di kursi kerajaannya yang mewah itu, Chen Tsu I menunjukkan jarinya kepada Panglima Tan, katanya, ''Mana tikus-tikus Ming itu?'' ''Akan saya bawa sekarang juga, Paduka,'' kata Panglima Tan, lantas berjalan ke samping memberi tepuk tangan satu kali ke arah luar dari mana nanti masuk lima orang yang terbelenggu. Bukan alang kepalang kaget Cun An. Lima orang yang terbelenggu itu adalah termasuk Wang Jing Hong. Serta merta timbul pertanyaan dalam benak: Di mana Ceng Ho? Di mana pula Dang Zhua dan Hua Xiong? Melihat keadaan itu, bukan main berang Cun An. Dia meloncat dari kursinya, mendapatkan Panglima Tan.

''Kamu menipu!'' kata Cun An.
''Di dalam dunia binatang, demikian yang kami pelajari dari hutan belantara di sekitar sini, berlaku pemeo: siapa bertaring dialah yang berhak hidup. Sebetulnya saya hanya mempraktikkan hukum alam. Tidak istilah menipu bagi yang bertaring. Kalau Anda cerdik, Andalah yang menipu saya. Tapi, ternyata Anda memang tidak cerdik.''

Serta merta Cun An mengeluarkan pedang dan menghunuskan ke arah Panglima Tan. Panglima Tan pun menyambut hunusan itu dengan sabetan pedang ke arah Cun An. Setelah itu, apalagi jika bukan adu tanding memperagakan kemampuan berpedang. Tentara-tentara
Chen Tsu I segera akan masuk pula ke dalam untuk mengeroyok Cun An, tapi Chen Tsu I mengangkat tangan kanannya.

''Biarkan mereka berdua menunjukkan siapa di antara mereka yang punya lancau,'' katanya.

Pada saat pertarungan berlangsung seru, Dang Zhua dan Hua Xiong diempaskan pula ke situ.
Tapi mereka diempaskan dengan cara bohong-bohongan. Kedua tangan mereka hanya diikat dengan tali yang tidak kukuh. Dan Zhua yang meminta kepada algojo hitam untuk mengikat tangannya dan tangan Hua Xiong lantas mengempaskan ke situ.
Ketika Dang Zhua dan Hua Xiong diempaskan ke situ, Panglima Tan melihat kepada mereka, dan dengan begitu matanya agak terbagi pandangan. Cun An memanfaatkan itu dengan cepat. 
Dengan gerakan membelakang Cun An berhasil menyambar bagian atas tubuh Panglima Tan.
Dengan rapi pedangnya mendesing ke kuping Panglima Tan. Hanya dalam beberapa detik kuping yang satu ini jatuh pula ke lantai balairung. 
Alangkah marah Panglima Tan karena kupingnya yang satu ini tanggal pula oleh pedang Cun An. Dia berteriak keras seperti harimau luka dan menyerang dengan ganas kepada Cun An. Si raja gelok semestinya iba melibat panglima angkatan bersenjatanya kehilangan dua telinga.

Tetapi sebaliknya dia malah tertawa terkekeh-kekeh di singgasana.
"Hei, kamu seperti ikan belida,"*) katanya. Tampaknya dia merasa geli. Walau begitu, dia segera memerintah tentaranya yang berdiri di situ untuk menangkap Cun An. "Kalahkan dia secepatnya!"
Dan dua puluh orang tentara Chen Tsu I yang seluruhnya bekas garong dan masih setia juga sebagai bajak laut itu dengan segera maju serempak ke tengah balairung, mengepung Cun An.
Satu-dua serangan terarah ke tubuh Cun An. Chen Tsu I senang melihatnya.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 16:56
Tapi sekonyong sebuah batu berapi mengguncang balairung. Semua terkejut. Hanya satu detik setelah guncangan pertama, datang lagi guncangan kedua. Kali ini bagian atas balairung meretak-retak dan keping-keping genting dan bebatuan mengotori balairung. Orang-orang yang semula hanya terkejut, kini terguncang, waswas, dan berhamburan keluar. Sebelum mereka benar-benar keluar di atas genting telah tembus ke bawah mematahkan kayu-kayu penyanggah, melantak di atas lantai balairung. Yang perempuan menjerit, yang laki panik, termasuk Chen Tsu I. Chen Tsu I meloncat dari kursi kebesarannya. Berlari. Ke mana? Tak tahu juga.


***

Di luar sana para prajurit Ceng Ho menyerbu benteng istana, mendobrak gerbang, dan masuk ke dalam. Mereka bergerak sangat cepat. Tentara-tentara garong yang mencoba membuat pertahanan di depan berjatuhan satu per satu. Demikian juga yang menjaga sekeliling balairung tumbang juga satu per satu. Mereka memang banyak, tapi tidak terlatih. Berbeda dari prajurit-prajurit bawahan Ceng Ho. Dengan cepat tentara-tentara Ceng Ho memasuki balairung, melepaskan belenggu yang mengingkat Wang Jing Hong, dan lain-lain, kemudian mengejar Chen Tsu I yang berusaha lagi melarikan diri ke tempat sembunyian di belakang istana di seberang serokan kotor dan busuk itu. Sama sekali Chen Tsu I tidak menyangka jalan ke situ telah dijaga tentara-tentara Sam Po Kong, dan yang menunjuk jalan ke situ adalah Sih Jin King. Betapa kaget Chen Tsu I melihat Sih Jin King di situ. "Mau lari ke mana kamu, Co Gi?" kata Sih Jin King. Wajah Chen Tsu I memucat. Tapi tidak mau mundur. Dia keluarkan pedang, lantas siap menghadapi Sih Jin King. "Siapa bilang saya lari?" kata Chen Tsu I dengan pongah. "Saya ke sini sebab tahu kamu ke sini." "Apakah kamu tidak menyadari hari ini adalah hari akhirmu di sini?" "Bukan tentara Ming yang menentukan hari-hariku. Apalagi cuma seekor tikur sekelas kamu. Sekali aku menjadi raja, itu untuk selamanya." "Siapa kiramu dirimu itu? Malaikat?" "Ya. Aku melaikat yang akan membuatmu menjadi bekas manusia." Chen Tsu I pun menyerang, mengarahkan pedang ke muka Sih Jin King. Sih Jin King menangkis, berputar, dan kemudian memberikan serangan balasan. "Gerakanmu terlalu lamban, Co Gi. Badanmu terlalu gemuk, penuh lemak babi. Sebentar lagi kamu menjadi babi sungguhan." "Persetan dengan kamu," kata Chen Tsu I, menyerang lagi dengan pedang itu ke muka Sih Jin King, dan luput. Malah oleh gerakan yang menghabiskan tenaga itu, badannya teroleng karena kesimbangannya terganggu, dan keadaan itu dimanfaatkan dengan baik oleh Sih Jin King. Kaki kanan Sih Jin King membentur lutut Chen Tsu I membuat Chen Tsu I tak dapat menjaga keseimbangan badannya dan selanjutnya Chen Tsu I pun jatuh ke tanah. Sih Jin King meloncat ke arahnya, menaruh ujung pedang di perut raja gelok ini. "Matilah kamu!" kata Sih Jin King. "Belum!" kata Chen Tsu I, memutar pantat sambil memukul pedang Sih Jin King dengan pedang, lalu buru-buru berdiri. Setelah berdiri dengan sombong Chen Tsu I berkata, "Justru kamu yang harus mati di bawah tanganku." "Mari sama-sama kita uji, Babi Gemuk," kata Sih Jin King Chen Tsu I menyerang dengan garang.  Sih Jin King menangkis dengan tangkas. Sih Jin King sengaja hanya menangkis-nangkis sebab hendak membawa Chen Tsu I ke serokan busuk itu. Begitu Chen Tsu I berada dekat serokan itu Sih Jin King meloncat ke seberang. Chen Tsu I menyusul. Tapi badannya yang berat oleh lemak itu membuatnya kandas. Dia jatuh ke serokan busuk itu. Serokan itu lumayan dalam. Seluruhnya merupakan saluran tahi yang mengalir ke sungai. Dalamnya setinggi badan Chen Tsu I. Karena itu, ketika Chen Tsu I jatuh ke situ, air kotoran dalam serokan pas berada di hidungnya. Artinya, mulutnya membenam ke dalam air bertahi itu. Di situ Chen Tsu I kelepar-kelepar ingin naik. Itu sulit, sebab air bertahi itu licin. ''Apa kataku, sebentar lagi kamu menjadi babi sungguhan dan sekarang sudah terbukti,'' kata Sih Jing King. ''Selesailah harimu, Co Gi.'' Tentara-tentara Ceng Ho telah berdatangan ke situ. Termasuk Panglima Tan, dalam keadaan terbekuk, diikat tangan dan kakinya, datang ke situ. ''Nah, lihat, mereka sudah datang untuk menyelesaikan harimu,'' kata Sih Jin King. ''Karena kamu menghina Kaisar Ming, sudah dapat saya bayangkan mereka akan membawamu ke Cina untuk digantung atau dipancung.'' Wang Jing Hong memerintah orang-orangnya, ''Keluarkan dia dari situ dan bawa ke sungai.'' Dua orang tentara Ceng Ho menyeret Chen Tsu I ke sungai dalam keadaan terikat. Rakyat menyaksikan dengan senang: bahwa seorang perampok yang mengangkat diri sebagai raja telah berakhir. Mimpi buruk mereka selama ini sedang berlalu. Setiba di pinggir sungai, di atas dermaga, tentara Ceng Ho menendang pantat Chen Tsu I, dan raja gelok ini jatuh dengan kepala terlebih dahulu tercebur ke dalam air. Ikan-ikan kecil yang berada di situ kaget lantas buyar, tapi kemudian menghampiri kembali untuk memakan kotoran-kotoran yang melengket di pakaian Chen Tsu I. Air sungai itu segera membersihkannya dari semua kotoran yang tadi melengket di pakaian dan badannya. Sementara rakyat yang menyaksikan itu bertepuk tangan kegirangan.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 17:09
Kini Panglima Tan diseret kembali ke istana, disuruh menunjuk di mana tempat Ceng Ho dipenjarakan. Wang Jing Hong yang menyeretnya ke situ. Dari tempat dia diseret, di belakang istana yang merupakan bagian depan dari ruang sembuyi Chen Tsu I itu, berulang kali Panglima Tan meminta-minta ampun.
Dia tidak seperti satu jam yang lalu. Kini dia telah benar-benar terkalahkan tubuh dan jiwanya.
''Tolong, Tuan Juru Mudi, saya ini hanya orang bodoh yang diperdaya Co Gi,'' kata Panglima Tan.
Cun An yang berjalan di sebelah Wang Jing HOng lantas menutuk kepala Panglima Tan.
Katanya, ''Huh, dasar muka dua, lidah bercabang.''

''Sungguh mati, Tuan,'' kata Panglima Tan. ''Jadikanlah saya sebagai budak. Itu memang pantas buat saya. Tapi jangan bawa saya ke Cina.''
''Kami memang tidak akan membawamu,'' kata Wang Jing Hong.
''Lalu, apa yang akan terjadi pada diri saya?'' tanya Panglima Tan dengan membayangkan kematian yang tidak terhormat.
''Bayangkan saja hal paling tidak terhormat untukmu,'' kata Wang Jing Hong.
Panglima Tan berlutut di hadapan Wang Jing Hong. Katanya, ''Saya tidak sanggup membayangkan itu.''
''Kalau begitu, hayati saja nanti,'' kata Wang Jing Hong.


***

Di istana telah berdiri sekitar empat ratus perempuan yang selama ini menjadi tunggangan Chen Tsu I. Mereka menunggu apa yang akan terjadi dalam menit-menit berjalan. Di depan mereka Wang Jing Hong menarik tali yang mengikat badan Panglima Tan, supaya yang
disebut ini berhenti.
''Nah, kamu ingin jawab akan nasibmu?'' tanya Wang Jing Hong. Lalu kepada perempuan-perempuan itu dia berkata, ''Hai wanita-wanita, kalian pasti kenal siapa lelaki malang ini. Menurut pendapat kalian, nasib apa yang paling baik baginya?''
Seorang perempuan yang paling muda, yang tak lain putri Tan Tat Hian itu, tergopoh-gopoh maju dan meludahi muka Panglima Tan. ''Kapok kamu!'' katanya.
Wang Jing Hong terkesan. Bertanya dia kepada gadis yang diingatnya dua hari lalu menari di balairung, ''Kamu benci kepadanya?''
''Dia pembunuh ibuku dan saudaraku,'' katanya.
''Jadi, hukuman apa yang kamu harapkan?''
''Pancung dia di tengah Musi, biar dagingnya menjadi santapan ikan-ikan.''
Wang Jing Hong menarik lagi tali yang mengikat Panglima Tan. Katanya, ''Nah, kamu dengar bukan? Salah seorang dari rakyat di sini menghendaki kamu tidak dibawa ke Cina seperti rajamu.''

Muka Panglima Tan makin pucat. Dia makin percaya harinya pun akan segera selesai.

Ditambah pula, setelah putri Tan Tat Hian meludahnya, perempuan-perempuan yang empat ratusan itu serempat melemparnya. Karena itu buru-buru Wang Jing Hong mlarikannya ke dalam.

''Lekas, tunjukkan, di mana jalan ke penjara tempat Sam Pok Kong disekap.''

Seperti tikus basah Panglima Tan berjalan di depan menuju ke ruang rahasia di bawah tanah tempat Ceng Ho berada. Di situ Ceng Ho telah bebas dari segala belenggu. Tapi dia tidak bisa keluar - juga kedua algojo Keling itu - sebab untuk bisa keluar dari sini, pintunya yang tersamar dengan susunan batu-batu kali harus dibuka dari luar.
Panglima Tan melakukannya. Wang Jing Hong memperhatikan.
Dengan mencabut obor yang tergelang di dinding batu-batu kali yang tersusun itu, terbukalah pintu rahasia yang terhubung ke bawah. Wang Jing Hong cepat-cepat turun ke bawah, sementara tentara-tentaranya menjaga Panglima Tan.

''Semua sudah beres,'' kata Wang Jing Hong kepada Ceng Ho yang telah berdiri di anak tangga yang menghubungkan ke pintu rahasia itu.
''Di mana Tan Co Gi?'' tanya Ceng Ho.
''Sudah dibawa ke kapal,'' jawab Wang Jing Hong

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 17:15
Ceng Ho keluar. Kedua orang Keling itu juga keluar, dan langsung ditangkap tentara-tentara Ceng Ho. Selanjutnya mereka semua meninggalkan bagian ini ke atas. Ternyata di atas, di bagian balairung yang harus dilewati sebelum mereka keluar meninggalkan istana, empat ratusan perempuan yang tadi dihalau itu kini menunggu di situ dengan wajah yang sekonyong berubah dari sehari-hari patuh menjadi sangar dan berani. Begitu melihat kembali Panglima Tan terikat tangan dan kakinya berjalan memasuki balairung sebelum keluar lagi di depan sana, serempak mereka mendekati dengan berteriakteriak seperti kerasukan. ''Tunggu dulu,'' kata Wang Jing Hong mengangkat tangan untuk menghalau mereka. ''Tidak,'' kata salah seorang perempuan yang maju ke depan, yaitu putri Tan Tan Hian, yang tampaknya lebih berani di antara yang lain. ''Saya minta, serahkan dia kepada kami. Dia berurusan dengan kami.'' Ratusan perempuan itu pun serta merta memekik-mekik gempita mendukungnya. ''Ya, betul, serahkan saja dia kepada kami.'' ''Sebentar,'' kata Wang Jing Hong. ''Saya akan bertanya dulu kepada pemimpin kami.'' Dan Wang Jing Hong pun bertanya kepada Ceng Ho. ''Bagaimana Sam Po Kong?''

***

Sebelum menjawab, Ceng Ho melihat keluar. Di luar terdengar hiruk pikuk rakyat yang datang memasuki istana karena gerbangnya telah jebol. Mereka berteriak-teriak meminta Chen Tsu I atau Chen Zhu Yi atau Tan Co Gi dihukum. Yang berada di depan mereka adalah Sin Jin Kiang. Maka Ceng Ho pun melangkah ke luar, melewati balairung yang dipenuhi perempuanperempuan yang selama ini dijadikan budak nafsu Chen Tsu I. Ceng Ho berjalan ke depan dengan sangat tenang dan sangat percaya diri. Wibawanya yang alami, yang katakanlah sebagai karunia ilahi, membuat orang seperti terpukau, terdiam, dan selanjutnya memperhatikan dengan serius. ''Rakyat Palembang!'' seru Ceng Ho. Semua menyambut dengan gegap gempita, bersorak sorai, bertempik sorak, riuh rendah.
''Hidup!''
''Hidup!''
''Saya Ceng Ho. Atas nama Kerajaan Ming di Cina saya meminta maaf sebab ketenangan rakyat di sini terganggu oleh kedatangan kami. Sebetulnya kami tidak bermaksud membuat kekacauan seperti ini. Kami datang dari Cina untuk ke selatan dan terus ke barat, dalam
rangka misi muhibah, memperkenalkan pemerintahan Ming yang sekarang berkuasa. Yang ingin kami sampaikan bahwa kami membutuhkan kerja sama yang baik antara negara kami dan negara-negara tetangga. Semua negara tetangga adalah saudara kami. Sebagai negeri Sriwijaya yang telah tumbang, kami ingin tetap bekerja sama dengan negeri ini. Sayang sekali, Raja Palembang tidak mau bekerja sama. Tan Co Gi malah menyerang kami. Dan,
sudah tentu, karena kami diserang, kami terpaksa harus membela diri. Kami berjanji, setelah keadaan aman, keadaan pulih seperti zaman Sriwijaya, kami ingin tetap bekerja sama dengan negeri ini. Mengapa kami perlu bekerja sama? Sebab kami membutuhkan Palembang.''

Rakyat kembali bersorak. Sementara itu tentara-tentara Chen Tsu I, menteri-menterinya, dan khususnya Panglima Tan, tampak murung membayangkan azab dan aib yang segera akan mereka alami di hadapan rakyat Palembang.

Wang Jing Hong pun berdiri di sebelah Ceng Ho. Katanya, ''Sekarang, adakah yang ingin disampaikan oleh wakil rakyat Palembang kepada kami?''
Sih Jin King mengangkat tangan, lalu berdiri pula di sebelah Ceng Ho. Katanya, ''Pertama-tama, terima kasih kami ucapkan kepada yang kami kagumi, Tuan Ceng Ho, yang datang kesini dengan kebesaran negara dan Raja Cina yang kami hormati...''
Kembali rakyat menyambut dengan sorak sorai bergembira.
''Terus terang, apa yang dilakukan tentara Kerajaan Cina, yang dipimpin Tuan Ceng Ho, bukanlah suatu kekacauan. Justru apa yang dilakukan oleh tentara-tentara Cina hari ini adalah menumpas kekacauan-kekacauan yang selama ini dilakukan Tan Co Gi dan antek-anteknya itu. Tan Co Gi bukanlah Raja Palembang.''

"Kalaupun terhadap dirinya orang, khususnya antek-anteknya itu, menyebut sebagai raja, yang tepat adalah 'raja garong". Kami, rakyat Palembang, merasa syukur kini 'raja garong'sudah ditawan di dalam kapal Tuan Ceng Ho. Kami berharap, setelah Tan Co Gi dibawa ke Cina, untuk selamanya Palembang akan menjadi negeri bekas Sriwijaya yang jaya kembali."

Dia memberi hormat kepada Ceng Ho dengan menekukkan kaki secara ksatria. "Terima kasih, Tuan Ceng Ho."

Dan rakyat mengelu-elu dengan senang.

"Baiklah," kata Ceng Ho kepada rakyat. "Sekarang apa yang kalian ingin kami perbuat terhadap begundal-begundal Tan Co Gi ini?"
Beberapa saat ada jeda. Tapi setelah itu putri Tan Tan Hian mengacung dengan berani, bukti dendamnya yang telah terendap sekian lama terhadap Panglima Tan.
"Izinkan kami mengeksekusi Panglima Tan," katanya.
Ceng Ho terkesan padanya. Sekadar memberi peluang untuk membuatnya mengeluarkan isi hatinya, Ceng Ho bertanya, "Kenapa kau begitu bersemangat?"

"Otak kejahatan memang ada dalam tengkorak kepala Tan Co Gi. Tapi pelaksana atas seluruh kejahatan berada di tangan bedebah ini," katanya sambil meludahi muka Panglima Tan.
Lagi Ceng Ho bertanya untuk memberi peluang kepada gadis itu memuncratkan kata-kata dendamnya. "Memangnya kejahatan seperti apa yang sudah dia lakukan?"
"Terlalu banyak, Tuan," katanya. "Tuan lihat ratusan perempuan ini?"
"Ya," kata Ceng Ho.
"Mereka semua, kami, korban yang lebih dulu dia perkosa, dengan membunuh ayah dan ibu kami, lalu kemudian memberikan kami kepada Tan Co Gi sebagai tawanan-tawanan bodoh, patung yang bernapas."
"Jadi kalau sekarang kami serahkan Panglima Tan kepada kalian, kira-kira apa yang kalian lakukan?" tanya Ceng Ho.

"Dia baru kehilangan dua telinga," jawab putri Tan Tat Hian itu sambil menonjok hidung Panglima Tan. "Kami ingin menghilangkan juga kedua tangannya dan kedua kakinya. Tapi kalau kedua tangan dan kedua kakinya langsung hilang, dia tidak merasakan sakit hati dari 400 orang perempuan yang menjadi korbannya." "Jadi, apa yang kaubayangkan?" tanya Ceng Ho. "Kami tidak akan membayangkan. Kami akan melaksanakan langsung. Dalam rangka membuatnya merasakan sakit hati kami, sebelum kedua tangan dan kedua kakinya kami pisahkan dari badannya, kami akan menghilangkan satu demi satu jari-jari tangannya dari kelingking sampai jempol, seluruhnya sepuluh jari, dan melanjutkan menghilangkan pula jarijari kakinya dari kelingking sampai jempol, seluruhnya sepuluh jari juga. Setelah itu kami akan potong juga barangnya. Barang itu sebetulnya menjadi ilham dari seluruh kejahatannya." Ceng Ho bergidik. "Demi Tuhan, saya sulit membayangkan itu semua," katanya. Bersamaan dengan itu perempuan-perempuan korban kejahatan yang berjumlah 400 orang itu lantas mengeroyok Panglima Tan, menyeretnya keluar dan membuatnya sebagai bulanbulanan. Kelihatannya mereka akan melakukan apa yang baru dikatakan putri Tan Tat Hian itu. Baik Ceng Ho, Wang Jing Hong, maupun perwira-perwira dan prajurit-prajuritnya tidak hadir dalam eksekusi yang dilakukan perempuan-perempuan itu.  Juga apa yang dilakukan Sih Jin King terhadap begundal-begundal Chen Tsu I yang dijadikan menteri-menterinya itu tidak dilihat Ceng Ho beserta rombongannya.

*****
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 17:23
Nanti menjelang senja, sebelum kapal Ceng Ho bergerak menuju utara, ke muara, ke Tanjung Carat di mana kapal-kapal yang lain, termasuk kapal induk, yaitu kapal yang terbesar di antara kapal-kapal yang berlayar bersamanya, Sih Jin King datang menemuinya. Siapa sebenarnya Sih Jin King akan diketahui Ceng Ho dalam bincang-bincang menjelang senja nanti. Sih Jin King datang ke kapal Ceng Ho bersama dengan putrinya, Pi-Na-Tih, dan beberapa orang Cina perantauan yang telah lama mukim di Palembang.
Berceritalah Sih Jin King kepada Ceng Ho tentang mengapa dia berada di Palembang.

Katanya, "Sebenarnya saya ini utusan Kerajaan Majapahit di Jawa. Saya ditugaskan mengurus orang-orang Cina di sini yang masuk Islam setelah runtuhnya Sriwijaya."

"Memangnya apa agama Anda?" tanya Ceng Ho.
"Saya ini muslim, Tuan," jawab Sih Jin King. "Saya tetap tunduk kepada Kerajaan
Majapahit."
"Benarkah?" tanya Wang Jing Hong seperti ragu.
"Benar, Tuan," jawab Sih Jin King tiada ragu.
"Sejak kapan Anda di sini mewakili Kerajaan Majapahit?"
"Setelah Majapahit berhasil mengalahkan Sriwijaya dan Sriwijaya takluk kepada Majapahit."
Ceng Ho yang bertanya sekarang. "Tadi Anda bilang, Anda ke sini untuk mengurus orang-orang Cina yang beragama Islam?"
"Benar," jawab Sih Jin King.
Wang Jing Hong lagi yang bertanya. Dan dia tetap kelihatan ragu. '"Bagaimana mungkin?" kata dia.
"Kenapa tidak mungkin?" jawab Sih Jin King. "Sudah saya katakan tadi, saya ini muslim.
Saya menganut Qing Zheng*) sejati."

Ceng Ho terkesan. Dia tersenyum dan mengangguk-angguk tapi tidak berkata apa-apa.
Wang Jing Hong saja yang kelihatannya masih ragu. Dalam keraguannya itu dia berkata,
"Bukankah Majapahit kerajaan kafir, rajanya menyembah patung, menyembah berhala?"
"Jadi kenapa, Tuan?" tanya Sih Jin King. "Aneh, karena saya tunduk pada Kerajaan Majapahit yang rajanya kafir?"

Wang Jing Hong agak kagok. Tapi dia menjawab, "Ya..." "Apa bedanya saya dari Tuan?" kata Sih Jin King dengan kalimat tanya yang tegas. "Bukankah Kaisar Ming juga bukan muslim tapi memberi kepercayaan kepada orang-orang muslim untuk melaksanakan misi muhibahnya ini?" Wang Jing Hong termangu. Dia tidak berkata apa-apa. Tapi dengan diamnya itu dia menilik dirinya sendiri, menguji kebenaran yang ada dalam kata-kata Sih Jin King. Ceng Ho berkata dengan cerdas. Dia menepuk bahu Sih Jing King seraya berkata, "Anda betul, saudaraku. Kita memang orang-orang yang berakal dan beradab. Keharuman kita dalam menunjukkan kebenaran ilahi adalah ibarat bunga melati. Bunga melati boleh saja diganti namanya dengan apa saja, tapi tetap warnanya putih dan harumnya tetap pula semerbak wangi. Demikian juga kita pun adalah intan di antara batu-batu. Intan tetap intan walaupun intan berada di tengah-tengah yang haram sekalipun. Percayalah, saudaraku, begitu kami tiba di Cina, aku akan mengusulkan kepada Kaisar Ming untuk mengangkat Anda sebagai Xuan Wei Shi dan menjadi raja yang sah di sini." "Terima kasih," kata Sih Jin King dengan sangat hormat kepada Ceng Ho. Sambil berkata begitu, dia mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya dan diberikannya kepada Ceng Ho. "Ini adalah cap Tan Co Gi yang telah digunakannya untuk menjalankan tirani di sini." Ceng Ho mengambil cap itu, sebuah peranti kekuasaan yang terbuat dari perunggu, lantas memperhatikannya. Sambil membolak-balik cap itu -cap yang biasa digunakan raja-raja masa lampau untuk menunjukkan kekuasaannya- Ceng Ho bergumam untuk dirinya sendiri, tapi ternyata didengar juga oleh orang-orang di dekatnya, "Dia sudah tamat...." Buru-buru Sih Jin King berkata, "Tapi dia ular berbisa." "Saya paham," kata Ceng Ho. "Ular berbisa hanya akan hilang bisanya jika kepalanya sudah berpisah dari badannya." "Justru itu, Tuan Ceng Ho," kata Sih Jin King. "Saya datang ke sini antara lain untuk mengatakan hal itu juga. Karena kepala Tan Co Gi belum lepas dari badannya, berarti dia masih memiliki 'bisa' melalui begundal-begundalnya." "Tidak perlu dikhawatirkan lagi," kata Wang Jing Hong, "begundalnya yang paling berbisa pun sudah selesai oleh perempuan-perempuan yang dendam kepadanya." "Sebentar, Tuan," kata Sih Jin King menimpal langsung dengan tak tenang, "ini yang tadi saya katakan, bahwa Tan Co Gi masih memiliki 'bisa' yang berbahaya. Panglima Tan berhasil lepas dari kepungan perempuan-perempuan itu." "Apa?" Ceng Ho dan Wang Jing Hong sama-sama terperanjat mengucapkan kata ini. "Ya, Tuan," kata Sih Jin King, "perempuan-perempuan itu hanya memiliki marah, tapi tidak memiliki kemampuan untuk mengalahkan bedebah itu. Panglima Tan berhasil mengeluarkan pedangnya, dan dia sempat membunuh dua puluh perempuan yang mengeroyoknya, lalu kabur, mungkin menghimpun kembali tentaranya." "Astaga!" Ceng Ho kaget. Tapi dia pun segera menimbang-nimbang hal yang harus dia lakukan untuk menghadapi kemungkinan paling buruk yang boleh jadi akan berlangsung dalam waktu-waktu mendatang; jika bukan jam mungkin saja menit... Wang Jing Hong yang bertanya hal itu. "Kira-kira akan terjadi hal yang di luar dugaan?" tanyanya. "Itu sangat mungkin terjadi, Tuan," jawab Sih Jin King.

***

Belum lagi bergerak dari berdirinya di ruang kemudi, sekonyong sebuah batu besar ditembakkan dari arah belakang kapal, sehingga kapal pun guncang luar biasa. Semua yang berada di kapal, yang sebagian telah bersantai-santai, terperanjat pula. Mereka berlari-lari ke geladak. Bersamaan dengan itu kembali batu besar ditembakkan lagi ke buritan.
Ketika telah keluar dari dalam dan berdiri di geladak, mereka melihat sekitar sepuluh kapal berada di belakang, yang berarti berdatangan dari arah barat. Ceng Ho pun secepatnya memerintah awak kapal mendayung kapal ke utara menuju ke muara. Khusus Cun An dan Ci Liang lagi dia suruh membawa Chen Tsu I di dalam sekoci untuk dilarikan ke kapal induk di muara, dan mengambil lagi bala bantuan untuk menghadapi pertempuran di sungai. Cun An dan Ci Liang segera melakukan itu. Mereka menutup tubuh Chen Tsu I dengan kain dan memasukkannya ke dalam sekoci. Chen Tsu I mengejek ketika Ci Liang dan Cun An melakukan itu kepadanya. "Ternyata kalian kaget juga. Tidak menduga Raja Palembang memiliki bala tentara yang setia kepada rajanya." Cun An menampar muka Chen Tsu I. "Sudah, jangan banyak bacot. Masih untung telingamu tidak saya potong seperti panglimamu yang goblok itu." "Panglimaku goblok?" kata Chen Tsu I tertawa. "Dia memang goblok. Tapi setidaknya kalian semua akan dibikin bingung saat ini. Bingung sebab kalian akan digempur seperti celeng yang dikepung anjing-anjing." "Ya, yang mengepung dan akan hancur itu memang anjing-anjing," kata Ci Liang lantas menggampar lagi mulut Chen Tsu I. Setelah itu mereka membungkus Chen Tsu I dengan kain lalu melemparkannya, seperti melemparkan hewan buruan tertentu, ke sekoci. Lantas dengan empat orang yang kekar dan kuat, meluncurkan sekoci itu ke utara, sementara anak-anak panah terbang meninggalkan busur masing-masing baik dari kapal-kapal yang dikomandoi Panglima Tan maupun dari satu kapal yang dikomandoi langsung oleh Ceng Ho. Sebuah anak panah dari kapal Ceng Ho yang ujungnya berapi baru saja menyalakan salah satu kapal yang berada di paling depan dari sepuluh kapal yang mengepung kapal Ceng Ho. Layar kapal itu segera terbakar ke bawah ditiup angin Sungai Musi yang kebetulan mengembus kencang. Dengan terbakarnya kapal itu perhatian tentara-tentara Chen Tsu I yang dipimpin Panglima Tan lantas terarah ke situ. Itu berarti pelarian Ci Liang dan Cun An membawa Chen Tsu I ke muara, ke kapal induk, terabaikan, dan sekoci itu dapat leluasa didayung ke muara. Keempat pendayung yang kekar-kekar dan kuat-kuat mendayung seperti kesurupan, sehingga dengan cepat, walaupun tak dihitung waktu, dan pertempuran masih terus berlangsung, telah tiba di kapal induk. Di muara sana Ci Liang dan Cun An menyiapkan lagi tentara-tentaranya dengan salah satu kapal kecil lain untuk segera masuk ke pedalaman, ke selatan, didayung dengan sekuat tenaga oleh puluhan pendayung. Selain kapal yang satu ini, juga ikut beberapa sekoci masing-masing dengan tentaranya. Nanti, di tempat yang kemarin tentara-tentara yang dua ratus itu turun dan memasuki Palembang lewat pinggir sungai, akan memanfaatkan lagi sekoci-sekoci itu, dan ramai-ramai pergi ke daerah pertempuran. Walaupun kapal Ceng Ho dikepung demikian rupa, mengingat tentara-tentara Chen Tsu bukan tentara yang terlatih sebagaimana galibnya militer, selain bahwa latar belakang mereka yang semua maling, garong, perompak, perampok, bajak laut, sulit bagi mereka mendekati kapal Ceng Ho. Mereka hanya berteriak-teriak seperti siamang di kapal mereka karena batubatu yang mereka tembakkan belakangan ini hanya jatuh sia-sia ke dalam sungai. Itu terjadi karena jarak mereka dan kapal Ceng Ho tidak cukup efektif untuk kelenturan batang yang melayangkan batu-batu tersebut. Kapal-kapal mereka tidak berani mendekat, sebab panahpanah yang terbang ke arah kapal mereka bersamaan dengan arah embusan angin ke barat, ke arah mereka. Sementara itu, setelah kapal yang satu terbakar, anak panah berapi yang lain baru saja menyalakan kapal mereka yang satu lagi. Keruan, di antara perasaan marah, semangat membantai, dan ragu-ragu, tentara-tentara garong itu berteriak dan memekik-mekik. Yang geram Panglima Tan. Berdiri di salah satu kapal yang berada paling belakang - jadi bukan di depan - Panglima Tan memaki-maki, mengumpat-umpat, dan menyumpah serapah. "Kalian tolol semua. Hai, itu, kapal yang di depan, maju lagi mendekati mereka lantas tembak!"
Seorang bawahan yang jengkel oleh umpatan-umpatan Panglima Tan lantas nekat membalas dengan kata-kata pedas kepada atasannya. "Kenapa Anda tidak memimpin saja di depan, Panglima?" "Kurang ajar kamu," kata Panglima Tan marah. Dia mengeluarkan pedang lantas menikam bawahannya itu.  Kala pertempuran berlangsung sengit di sungai, sekoci yang membawa Chen Tsu I, dikawal oleh Cun An dan Ci Liang telah sampai di kapal induk. Juru tulis palsu Hua Kiong kelihatan sibuk mencatat-catat. Sementara juru tulis palsu lainnya, Dang Zhua tetap berada dalam kapal tempat Ceng Ho memimpin pertempuran itu. Nanti Cun Am kembali ke dalam bersama-sama dengan bala bantuan, lantas Ci Liang menyusul pula dengan tentara-tentara yang lain. Cun An membawa dua ratus lagi orang tentara ke dalam, ke tempat pertempuran, dan mereka bergerak dengan cepat ke sana, sementara Ci Liang masih mengurus Chen Tsu I masuk ke dalam selnya, sel yang masih baru, yang belum pernah dipakai, tapi tetap sel yang gelap dan karenanya memberi kesan mengerikan buat seseorang yang kadung manja dengan segala kemewahan di bawah kekuasaannya yang tidak terbatas dan gila-gilaan. Setiba di kapal induk, Ci Liang menyepak, menajong, dan menjoroki Chen Tsu I ke dalam selnya itu. Sel Chen Tsu I berada di sebelah sel Zhu Yun Wen. Oleh sepakan Ci Liang maka Chen Tsu I jatuh terjerembab, mulut mencium lantai. Maka memekiklah Chen Tsu I dengan keras. Marahnya membuat dia dengan enteng mengucapkan nama-nama binatang. Termasuk hewan yang paling disukainya sebagai menu hari-hari istimewa: babi. "Hai, kalian semua babi!" serapahnya. "Keluarkan aku dari sini." "Diam!" kata Ci Liang. Bukannya diam, malah Chen Tsu I mencerocos seperti hewan pengicau. "He! Kalian tidak akan bisa memenangkan armada Chen Zhu Yi di daerah kekuasaannya." Lagi Ci Liang membentak. "Diam!" "Lihat saja, sebentar lagi kapal kalian yang sudah rusak itu akan menjadi rongsokan di bawah Sungai Musi, dan pemimpin kalian sebentar lagi bakal mampus di situ." "Sudah kubilang: diam!" kata Ci Liang menggampar mulut Chen Tsu I. Raja gelok itu malah ketawa. Katanya, "Jangan terlalu percaya diri. Kerajaanku masih punya tujuh belas kapal dengan tentara-tentara yang setia berperang demi Chen Thzu Yi sampai titik darah penghabisan. Kalian harus tahu, aku di sini, orang Chao Zhou asli, selain sebagai raja, juga dianggap dewa dan malaikat." "Huh!" kata Cia Liang lantas menggamparnya lebih kuat dari tadi, sehingga raja gelok ini pun terpelanting di lantai.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 17:38
Ketika Ci Liang sibuk mengurus si raja gelok, bersama dengan prajurit-prajuritnya, di luar sel Hua Xiong tengak-tenguk tapi dengan mata yang liar. Sesekali dia melangkah satu-dua ke sebelah sel tempat Chen Tsu I ini sampai ke depan sel tempat Zhu Yun Wen ditawan. Apabila Zhu Yun Wen akhirnya berdiri di pintu terali untuk melihat apa yang terjadi di luar, di gang, sambil memasang kuping baik-baik untuk mendengar celoteh Chen Tsu I di sebelah yang tidak diketahuinya, maka Hua Xiong memberi isyarat tangan, menggaruk telinganya dan memasang jari telunjuknya di bibir. Tiada seorang pun yang memperhatikan itu. Semua sibuk. Setelah itu Hua Xiong kembali ke kamarnya. Di sana dia mengunci diri, berbaring sambil berpikir. Jadi, ketika Ci Liang kembali ke medan pertempuran di pedalaman, di sekitar pelabuhan Jiu-Kang bersama dengan dua ratus pula prajuritnya, Hua Xiong tetap berbaring di kamarnya. Setelah dia tahu sekoci-sekoci dengan dua ratus prajurit yang dikomandoi Ci Liang itu telah jauh, maka lekas-lekas dia berdiri dari baringnya, membuka pintu kamar, lantas pergi ke bagian sel di bawah. Dia berjalan santai ke situ. Dia tahu, semua orang sibuk memusatkan perhatian kepada seluruhnya enam ratus orang tentara yang sudah turun ke sungai dan bertempur di depan pelabuhan besar bekas kerajaan Sriwijaya. Memang, tidak ada yang memperhatikan dia.


***

Di depan sel, antara sel Zhu Yun Wen dan Chen Tsu I, hanya seorang yang berjaga di situ.  Hua Xiong bersenyum-senyum kepadanya ketika dia mendekati prajurit itu.

Masih sekitar sepuluh atau lima belas langkah sebelum berhadapan dengan penjaga itu, Hua Xiong telah berkata sambil berjalan ke situ, "Catatan saya ada yang tertinggal di dalam sel Tan Co Gi."

Dengan lugu, karena tidak menaruh wasangka apa-apa, penjaga itu berkata, "Tapi hati-hati kalau Anda mau masuk ke dalam. Bisa-bisa bajingan itu menyergap Anda."
"Bukankah dia sudah dirantai?" kata Hua Xiong sambil mengarahkan kepalanya di antara terali-terali pintu sel.
"Ya, benar," kata penjaga itu, ikut juga melihat ke dalam.
Dan karena penjaga itu melihat ke dalam, Hua Xiong berkata, "Apa ada catatan saya di situ?"
"Di dalam gelap. Tidak kelihatan," kata penjaga itu sementara Hua Xiong mengincar kunci yang tergantung di pinggangnya.
"Seingat saya, kertas itu saya taruh di sebelah kiri," kata Hua Xiong.
Tanpa berprasangka apa-apa penjaga itu memasukkan setengah kepalanya-tak bisa seutuh kepala sebab terali-terali di pintu sel sangat rapat-mencari-cari dengan matanya, apakah ada warna kertas di ruang yang remang mendekati gelap.
"Tidak kelihatan apa-apa," kata penjaga itu.
"Kalau begitu, biarkan saya masuk, mengambil sendiri," kata Hua Xiong.
"Berani?" tanya penjaga itu.
"Ah, seperti kata saya, dia kan sudah dirantai," kata Hua Xiong.
"Kalau Anda berani, ya, saya bukakan," kata penjaga itu lantas membuka ikatan di pinggangnya yang menggantung kunci sel itu-bukan hanya satu sel, tapi dua, termasuk kunci untuk sel Zhu Yun Wen.
"Kebetulan sekali," kata Hua Xiong di dalam hati, dan dengan pelan-pelan dia mengeluarkan pedang pendek dari balik jubahnya. Dengan leluasa dia menikam penjaga itu. Cepat sekali.
Setelah tikaman pertama yang membuat penjaga itu kaget tapi terlambat untuk menyesal, Hua Xiong telah mencabut tikaman dengan pedangnya itu dan menikam lagi untuk yang kedua.
Penjaga itu mengumpat. "Setan, kamu," katanya sambil jatuh ke lantai.

Hua Xiong sekali lagi menikamnya. Seluruhnya enam tikaman di bagian-bagian tubuh yang rawan. Akhirnya penjaga itu mati di situ.
Hua Xiong pun mengambil kunci di tangan penjaga itu lantas lekas-lekas membuka pintu sel Zhu Yun Wen. Kata Hua Xiong, "Cepat lari, mumpung mereka semua sedang berkonsentrasi pada pertempuran di Jiu-Kang."

"Terima kasih," kata Zhu Yun Wen. Dia lalu bergegas pergi. Sebelum itu dia sempat berkata sambil berlari, "Salam saya buat Liu Ta Xia."


***

Bagaimana Zhu Yun Wen meloloskan diri dari kapal induk ini, dengan terjun ke laut, dan berenang ke tepian, tiada seorang pun yang melihat?
Zhu Yun Wen membuka seluruh pakaian. Dia tidak meloncat dari kapal induk ini. Dengan tali yang mengikat jangkar dia meluncur di situ ke bawah, berenang sejauh sekitar enam puluh meter ke Tanjung Carat yang hijau pekat oleh bakau. Jika nasibnya baik, barangkali Zhu Yun Wen dapat hidup beberapa lama di sekitar situ. Tapi memang Zhu Yun Wen tak lama di situ. Nanti dia akan menemukan kapal yang membawanya ke seberang, ke Pulau Bangka di timurnya. Dan itu bukan sekarang. Itu terjadi setelah dia berada di hutan bakau dan hutan rawa, membungkus badan seperti suku-suku primitif yang sekali-dua dijumpainya, yaitu suku Kubu. Bersama suku Kubu itulah Zhu Yun Wen hidup sebagai orang primitif sebelum dia berhasil menyeberang ke Pulau Bangka. Cerita tentang Zhu Yun Wen di Pulau Bangka nanti akan menjadi cerita yang tidak masuk akal, namun menarik, dan mungkin juga mengibakan. Nanti dia hanya akan menjadi orang yang tidak penting lagi, selain sebagai manusia di antara manusia-manusia yang banyak, yang rata-rata berasal juga dari Cina selatan.


***

 
Setelah Zhu Yun Wen melarikan diri ke darat, Hua Xiong bekerja keras mengurus dirinya sendiri. Dia seret penjaga yang baru ditikamnya itu, masuk ke dalam sel bekas Zhu Yun Wen. Dia bersihkan darah yang mengotori lantai, membuang kain pembersih itu ke laut, lalu dia masuk pula ke dalam sel bekas Zhu Yun Wen bersama-sama dengan mayat penjaga itu. Dia mengunci diri di dalam sel ini lantas membuang kuncinya jauh-jauh ke gang depan sel itu. Dengan demikian dia akan menjawab bahwa Zhu Yun Wen yang membunuh penjaga itu lantas memenjarakannya di dalam sini. Suatu akal-akalan yang termasuk hebat.... Setelah itu, dia berbaring, dan akhirnya tertidur. Bisa-bisanya dia berlaku tenang seperti itu. Kalau tidak lantaran bakatnya sebagai ular, maka mana mungkin dia bisa melakukan ini dengan sederhana.


***

Lalu bagaimana pertempuran di depan pelabuhan Jiu-Kang? Dua ratus tentara yang dikomandoi oleh Cun An sudah bertempur dari tadi. Beberapa saat kemudian datang pula dua ratus prajurit yang dikomandoi oleh Cia Liang. Tentu saja dari jumlah seluruhnya enam ratus orang tentara yang bertempur dengan tujuh belas kapal yang penuh dengan tentara maling, tidak selamanya berjumlah enam ratus. Dalam pertempuran singkat ini-yang artinya akan selesai menjelang malam nanti-toh tak sedikit pula tentara Ceng Ho yang terkena panah-panah tentara Chen Tsu I yang dipimpin oleh Panglima Tan. Tapi, memang tentara-tentara garong pimpinan Panglima Tan itu lebih banyak yang mati konyol. Juga karena kapal-kapalnya makin lama makin berkurang. Ujungnya membuat Panglima Tan harus berpikir untuk bukan mundur tapi melarikan diri.  Sebentar lagi tampang Panglima Tan akan berubah sebagai hewan buruan yang maju mati mundur mati. Prajurit-prajurit yang dikomandoi Cun An dan Ci Liang menyapu tentaratentara garong itu. Yang sisa, termasuk Panglima Tan, memang mesti kabur. Maka Cun An pun mengejarnya. Dia suruh pendayungnya menambah tenaga di sungai ini. Mereka maju dengan perhitungan yang tidak diduga oleh tentara-tentara garong Chen Tsu I.  Sambil maju mereka menembakkan panah-panah yang meyakinkan arah jatuhnya. Dengannya mereka mesti bersyukur kepada angin yang telah membantu terbangnya anak-anak panah mereka. Sebentar ada tentara-tentara garong yang dikomandoi oleh Panglima Tan tidak yakin hidup leluasa di bekas perairan yang pernah mereka kuasai dengan lalimnya. Panah-panah berapi yang dilepaskan oleh tentara-tentara Ceng Ho dengan segera membakar kapal-kapal tentara-tentara Chen Tsu I yang lain. Dalam sekian jam peperangan yang tidak berimbang ini, sepuluh kapal angkatan perompak Chen Tsu I telah terbakar di sungai Musi.
Tentara-tentara Chen Tsu I, termasuk panglima kodok itu, terjun ke sungai menghindar api yang membakar kapal-kapal mereka yang sepuluh.  Sisa tujuh kapal lainnya yang mencoba melarikan diri ke barat, di mana Panglima Tan lekaslekas naik ke salah satunya, akhirnya terkejar juga sebelum kapal itu berbelok ke kiri menuju ke selatan ke rute menuju Muaraenim di pedalaman. Sekoci-sekoci yang mengejar kapal yang dipakai Panglima Tan itu dikomandoi oleh Cun An. Secara langsung dia merasa berkepentingan terhadap Panglima Tan.


***


Dan ketika sedang terjadi pertempuran yang hebat di sungai komando panglima kodok tersebut telah kehilangan rasa percaya diri, dan karenanya jika mereka mesti membalas memanah, mereka melakukannya dengan sia-sia membuang piranti perangnya. Malahan setelah tentara-tentara Ceng Ho yang dikomandoi Cun An berhasil naik ke kapal Panglima Tan, tentara-tentara yang tersisa di situ bukannya bertahan dalam pemeo ''sampai titik daerah penghabisan'', melainkan ramai-ramai melompat ke sungai dan berenang ke tepian. Panglima Tan bingung melihat anak buahnya, bawahannya, prajurit garongnya. Dia berlari ke belakang, ke buritan, maunya ikut meloncat juga ke sungai untuk menghindar dari tangkapan tentara-tentara Ceng Ho. Tapi sebelum gagasan itu matang dalam kepalanya, dia terkejut. Di hadapannya telah berdiri Cun An dengan pedang terarah ke dadanya. ''Mau ikut melarikan diri juga bersama perompak-perompak binaanmu itu?'' kata Cun An. ''Tidak,'' kata Panglima Tan dengan keyakinan yang dia bangun di atas naluri kalah. ''Sekarang kita duel satu lawan satu.'' ''Apa yang membuatmu yakin hendak berduel satu lawan satu, padahal rasa percaya dirimu sudah ambruk. Demi nama Sam Po Kong, kamu satu lusin lawan aku satu orang, mari kita tuntaskan, atau kalau tidak menyerahlah dengan terhormat.'' ''Persetan dengan Sam Po Kong-mu. Kau pikir siapa aku bersedia menyerah padamu. Bukan cuma kamu yang orang Cina. Aku juga orang Cina. Tidak ada dalam darahku naluri menyerah pada sesama orang Cina di negeri perantauan ini,'' kata Panglima Tan. ''Kalau begitu kamu tanggung sendiri bacot gedemu itu,'' kata Cun An dan langsung meloncat dengan pedang terhunus. ''Kayaknya kita berdua yang harus menanggung bersama-sama. Sebab, kamu pun terlalu sok percaya diri dan sebentar lagi kamu menyesal karena kamu keliru,'' kata Panglima Tan seraya menangkis dan menghindar. Kini mereka saling mengintip celah untuk menyerang. Mereka bergerak seperti jarum jam yang berputar pada jarak yang sama. Mula-mula mereka bergerak ke kiri. Di akhir gerakan memutar, Panglima Tan maju untuk menguji dan menggertak agar muncul gerakan menanggap. Cun An menanggapi itu dengan bergerak ke kanan. Setelah itu mereka berputar lagi seperti jarum jam, sama-sama bergerak ke kanan dalam jarak yang sama. Tapi pada gerakan berikut Panglima Tan terkecoh. Cun An memberi umpan gerakan ke kanan lagi, tapi dengan cepat dia meloncat dari arah kiri, menebaskan pedangnya ke arah Panglima Tan. Gerakan yang diperhitungkan dengan matang dari latihan-latihan yang tertib kiranya yang membuat Cun An berhasil dengan bagus mengayunkan pedangnya ke rambut Panglima Tan. Rambutnya yang terjerungkau itu serta-merta terpangkas oleh pedang Cun An. ''Nah, lihatlah,'' kata Cun An. ''Tidak lama lagi pedangku akan membuatmu gundul.'' Panglima Tan menghindar dan tetap awas. Pada saat telapak kakinya berpindah, rupanya dia melakukan sekaligus sabetan dengan pedangnya itu ke arah lengan kanan Cun An. Kebetulan sabetan pedangnya itu menyobek pakaian Cun An dan mencederai kulit lengannya. Cun An kaget. Panglima Tan tertawa.

''Itu satu,'' kata Panglima Tan sambil menyabetkan lagi pedangnya itu dari arah yang berlawanan lantas mengena pula di lengan kiri Cun An. ''Itu dua,'' katanya pula.
Cukup sampai di situ,'' kata Cun An. ''Sekarang rasakan balasanku.''
''Ya, ayo, kita rasakan bersama,'' kata Panglima Tan menangkis-nangkis.

Panglima Tan termundur-mundur sambil menangkis-nangkis sebab serangan Cun An, yang merasa dilecehkan, demikian gencar dan bertubi. Cun An lincah sekali melakukan serangannya itu. 
Kelincahannya dalam bergerak, tak terbaca gerakannya, hampir seperti tupai di dahan-dahan.
Badannya meringan tapi pukulan pedangnya memberat. 
Setiap kali pedangnya mengarah ke Panglima Tan, Panglima Tan menangkis, terlihat betapa doyongnya tubuh Panglima Tan untuk menahan kekuatan Cun An.
Di depan sana, setelah termundur-mundur dari buritan ke kepala kapal, pedang Panglima Tan terlepas dari tangannya dan pedang itu jatuh ke sungai. Badan Panglima Tan pun tersandar dipagar. 

Wajahnya pucat. Pedang Cun An sudah berada di depan lehernya.

''Masih mau membacot lagi?'' kata Cun An.

Panglima Tan tak menjawab.
Setelah itu Cun An memerintah prajuritnya membekuk Panglima Tan. Kata Cun An, ''Bekuk dia. Dia akan menemani rajanya ke Cina.''
Dan prajurit-prajurit Ceng Ho pun segera membekuk Panglima Tan. Panglima Tan berhenti berkoar.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 17:44
Dengan kaki dan tangan terikat Panglima Tan dibawa ke hadapan Ceng Ho. Dia menjadi seperti tikus basah di hadapan Ceng Ho. Dia melungkar di geladak tempat Ceng Ho berdiri. ''Jadi kamu yang membuat keonaran ini?'' kata Ceng Ho kepada Panglima Tan yang berada di bawah kakinya. Panglima Tan tidak menjawab. Kepalanya tertunduk. Dan karena kepalanya tertunduk tidak menjawab, Wang Jing Hong mendangakkan kepala Panglima Tan supaya melihat kepada Ceng Ho. ''Jawablah pertanyaan itu,'' kata Wang Jing Hong. Panglima Tan hanya menunduk lagi. Dia memang bukan tentara sejati. Dia hanya seorang garong belaka. Jika dia tentara yang asli, mestinya dia harus bersikap ksatria, tidak takut, tidak seperti tikus basah begini. Karena dia hanya garong, bajak, yang sudah lama memegang senjata, dan sekarang tertangkap, maka dia tidak beda seperti pencuri-pencuri umumnya: mentalnya mental kardus. ''Sayang sekali,'' kata Ceng Ho. ''Mestinya tidak begini ujungnya. Sebetulnya, kami datang untuk kunjungan muhibah, berniaga. Tapi, ya, nasi sudah jadi bubur. Kalian menyerang, kami membela diri. Lihat, kapal ini rusak. Padahal kami sudah siap meninggalkan Jiu-Kang *) menuju Man-Zhe-Bo-Yi **) di timur. Karena perbuatanmu, maka kamu pun harus dibawa bersama rajamu untuk bertanggung jawab kepada Kaisar Ming.'' Terasa gelap menutup mata Panglima Tan. Dia yakin tidak ada lagi hari depan baginya dan bagi saudaranya yang selama itu telah berkuasa penuh dan ditakuti di antero Sumatera Selatan, antara Pulau Lingga sampai Pulau Bangka dan sepanjang Sungai Musi dari hulu sampai hilir. Tentara-tentaranya pun, yang kebetulan tidak mati dalam pertempuran, telah melarikan diri ke dusun, ke hutan, ke tempat yang jauh dari sungai, bersembunyi di sana. Akhirnya dia mengambil keputusan bunuh diri!


***

Karena keadaan berubah, tidak berjalan seperti yang diduga, maka terpaksa harus ada kebijakan baru yang mesti diputuskan oleh Ceng Ho.
Sampai malam kapal-kapal Ceng Ho belum meninggalkan pelabuhan menuju ke muara.

Masih ada persoalan baru yang harus diatasinya. Persoalannya bukan semata-mata karena kapal yang satu ini rusak oleh dua batu yang jatuh di bagian belakang dan tengahnya, tapi juga memberi pertolongan kepada prajuritnya yang luka, serta mengatur langkah-langkah ke depan dengan orang yang dianggapnya berjasa, yaitu Sih Jin King.
 
Bersama dengan perwira-perwiranya, yaitu Ci Liang dan Cun An, serta Wang Jing Hong, Ceng Ho mengatur apa yang mesti dilakukan Sih Jin King mulai besok.

''Hari ini Palembang sudah aman, dan keamanan daerah ini, sampai Bangka dan Lingga adalah tanggung jawab Sih Jin King,'' kata Ceng Ho memandang kepada Sih Jin King. ''Nah, sanggupkah Sih Jin King mengemban tanggung jawab ini?''
''Insya Allah,'' kata Sih Jin King.
Ceng Ho senang mendengar jawaban Sih Jin King. Demikian dia berkata kepada Sih Jin King, ''Saya senang pada Anda. Saya menaruh hormat kepada Anda"
''Tanpa bantuan Anda, saya tidak berarti apa-apa,'' kata Sih Jin King merendah diri.
Ceng Ho mengartikan pernyataan itu sebagai permohonan untuk membantunya. Maka kata
Ceng Ho, ''Jangan kuatir. Saya akan memerintah Cun An untuk membantu Anda di sini.''
Tampaknya Sih Jin King senang pula. Tak urung dia bertanya agar yakin, "Bagaimana, Sam
Po Kong?"
"Ya, saya baru memutuskan, atas nama Kaisar Ming, menugaskan Cun An melatih angkatan
bersenjata Anda," kata Ceng Ho seraya memandang pula kepada Cun An. "Sebuah
pemerintahan yang berwibawa harus memiliki angkatan bersenjata yang andal di darat dan di
air."
"Terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya," kata Sih Jin King. "Sebagai
perantau Cina, saya taat kepada Kaisar Cina yang berkuasa."

***

Keputusan Ceng Ho itu akan disampaikannya juga ke prajurit lain di kapal-kapal yang menunggu di muara. Besok paginya dilangsungkan lebih dulu rapat dengan perwira-perwira lain di kapal induk, kapal yang dikemudikan langsung oleh Wang Jing Hong. Sebelum rapat dimulai, perlu diketahui Cun An akan tinggal di Palembang membantu Sih Jin King untuk memulihkan negeri sekaligus menata angkatan bersenjatanya. Dari mulut Ceng Ho, sebelum rapat dimulai, telah dikatakan melalui Wang Jing Hong, ada perubahan jadwal pelayaran karena keadaan yang mengharuskannya bertindak jitu. "Kelihatannya kita tidak meneruskan pelayaran ke Jawa, ke Sunda Kelapa, Caruban, Asem Arang, dan Majapahit," kata Yang Jing Hong. "Lo, kenapa?" tanya Ci Liang. "Ya, itulah, kita melangsungkan rapat ini untuk dapat mendengar secara langsung dari Sam Po Kong mengenai perubahan jadwal pelayaran kita." Tak lama setelah itu Ceng Ho hadir. Sebelum duduk di kursinya, dia berkata, "Saya yakin semua yang berkumpul di sini sudah mendengar bisik-bisik bahwa jadwal pelayaran kita berubah. Kita tidak jadi ke selatan, ke Jawa, tapi kembali ke utara membawa dua tawanan kita; Zhu Yun Wen dan Chen Tsu I." Ceng Ho memandang semua yang hadir, lantas melihat ada bagian kursi yang kosong. "Lo, mana juru tulis kita? Suruh cepat ke sini sekarang." Wu Ping, juru masak khusus Ceng Ho dan karena itu disebut Sam Po Sui Su, artinya juru masak Sam Po, yang hadir di situ berdiri dari kursinya. "Biar saya yang memanggilkan," katanya. Dan dia pergi.


***


Wu Ping telah sering masuk-keluar ke kamar khusus Dang Zhua dan Hua Xiong, jadi dia tidak dapat merasa asing di kamar itu. Dia mengetuk pintu, pintu tidak dibuka. Dia mengetuk lebih keras, pintu tetap dibuka. Akhirnya dia membuka. Tidak ada siapa-siapa. Dia lekas-lekas naik ke atas, ke ruang rapat, mengatakan apa yang baru dilihatnya. Dengan lugu, karena tanpa wasangka apa-apa, dia berkata kepada Ceng Ho di ruang rapat itu, "Mereka tidak ada, Sam Po Kong." Ceng Ho agak kecewa oleh jawaban Wu Ping. Tanyanya dalam nada tawar hati, "Kau cari di mana?" "Di kamar mereka, Sam Po Kong." "Kalau tidak ada di kamar, ya cari di mana saja. Kapal ini kan bukan perahu. Kapal ini besar. Harus cari sampai ketemu. Mereka tahu bahwa kita harus melangsungkan rapat setiap kali kita menyiapkan diri untuk berlayar." "Baik, Sam Po Kong," kata Wu Ping dan keluar lagi bergopoh-gopoh. Dia naik ke atas, lantas turun lagi ke bawah, di beberapa kerumunan dia bertanya, dan semua tidak melihat Dang Zhua dan Hua Xiong. Dia pun termangu. Dia berhenti sebentar di pagar kapal, berpikir, menimbang-nimbang, dan bersoal-soal antara dirinya dan dirinya. Tiba-tiba, setelah itu dia mendapat gagasan untuk turun lagi ke bawah, ke bagian sel tempat Zhu Yun Wen ditawan. Di situ, Zhu Yun Wen di tempat yang tidak berubah sejak dia ditawan, dan di sebelahnya sel yang baru ditempati kemarin oleh Chen Tsu I. Ke situ agak gelap, sebab lampu yang biasa menyala di dekat penjaga yang menjaga sel Zhu Yun Yen Wen telah padam. Dia maju ke situ. Dia dorong pintu terali tempat Chen Tsu I ditawan. Tak terbuka. Dan dia bisa melihat, walau dalam gelap, sosok tubuh Chen Tsu I di dalam sel itu. Bukan hanya itu, Chen Tsu I bahkan maju mendekati pintu terali, memaki dan meludah. "Mau apa mengintip-intip, anjing Sam Po?" kata Chen Tsu I. Wu Ping segera melesat ke sebelah. Dia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya tadi atas pintu terali sel Chen Tsu I. Dia dorong pintu terali itu. Tak terbuka juga. Tapi dari dalam terdengar suara erang. "Tolong..." Wu Ping berhenti. Menunggu. Penasaran.  Di belakang sana, di kelokan yang menghubungi lorong bertangga, ada seseorang yang mengintai dengan tegang. Orang yang mengintai tak lain adalah Dang Zhua. Siapa pula yang menyangka permainan licik ini. Dang Zhua menunggu sampai matanya yakin melihat dalam keremangan bahwa Wu Ping telah teperdaya oleh Hua Xiong. Setelah itu dia akan buru -buru naik ke atas, dengan meyakinkan berpenampilan seperti orang yang letih mencari - cari, masuk ke dalam ruang rapat di mana semua orang sudah menunggu. Sebelum masuk ke dalam ruang rapat itu, masih di pintu saja Dang Zhua sudah menunjukkan sikap sebagai seseorang yang teledor. Katanya, "Saya mohon maaf karena terlambat." Ceng Ho tidak menanggapi pernyataan maaf itu, sebaliknya menyuruh Deng Zhua untuk segera duduk saja. "Cepat duduk," katanya. "Di mana Hua Xiong." "Itulah soalnya, Sam Po Kong, saya terlambat sebab saya mencari-cari dia di mana-mana dan tidak ketemu. Saya khawatir, jangan-jangan dia masih di sungai."
Tidak mungkin," kata Ci Liang. "Tadi dia mencatat di sel untuk Chen Tsu I."
Ceng Ho menengok ke arah Ci Liang. "Anda yakin?"
"Ya, Sam Po Kong," jawab Ci Liang.
"Ya, sudah, kita mulai saja," kata Ceng Ho. "Siapa tahu Wu Ping akan membawanya sebentarlagi."


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 17:59
Di depan sel bekas Zhu Yun Wen itu Wu Ping berdiri dengan mata terbuka lebar, selebar mata orang Cina umumnya yang dikaruniai bentuk mata sipit yang untuk hal-hal tertentu dapat dipandang sebagai keindahan tersendiri. Dengan membuka mata begitu, sekaligus Wu Ping membuka juga kupingnya.
Lagi, suara dari dalam itu memintanya tolong. Malah orang yang belum diketahuinya siapa itu, menyebut namanya. "Tolonglah saya, Sam Po Sui Su."
Kemudian orang itu, Hua Xiong, sang juru tulis palsu dengan bakat akting juga yang luar biasa kini mendapat ke pintu terali dengan berjalan terpincang-pincang. Kemampuannya berpura begitu amat meyakinkan, sehingga Wu Ping teperdaya, atau paling tidak percaya pada akting Hua Xiong.

"Siapa?" tanya Wu Ping menyadari suara orang yang baru menyebut namanya itu bukanlah Zhu Yun Wen.

Hua Xiong pun berdiri dengan gerakan yang menunjukkan betapa sakit badannya. "Saya, Sam Po Sui Su," kata Hua Xiong dengan wajah memelas. "Tolong, keluarkan saya dari sini."
Wu Ping memandang wajah Hua Xiong dengan sungguh. Serta merta dia mengenalinya.

"Astaga," serunya kaget. "Kenapa Anda bisa berada di situ?"
"Tadi saya kembali ke bawah sini, karena kertas catatan saya tertinggal di sebelah. Ketika saya masih melihat-lihat ke dalam, di sel yang sebelah itu, tiba-tiba saya dipukul dari
belakang oleh seseorang..."
"Siapa orang itu?"
"Entah. Karena saya dipukul dari belakang, otomatis saya tidak tahu, sebab saya tidak bisa
melihat. Tahu-tahu saya dipukul, dan tahu-tahu saya tidak sadarkan diri. Saya baru sadar baru-baru ini setelah saya berada di dalam sini. Ada mayat seseorang di dalam sini."
"Apa? Siapa?"
"Ya, betul. Sumpah, Sam Po Sui SU. Bulu roma saya sampai berdiri dan saya pun bergidik. Tadi mayat itu menumpuk di atas tubuh saya."

"Tunggu," kata Wu Ping. "Biar saya lapor kepada Sam Po Kong di atas."

Wu Ping bergegas pergi, Hua Xiong memanggilnya.
"Tunggu, Sam Po Sui Su," kata Hua Xiong.
Wu Ping berputar bingung. "Apa mayat itu Zhu Yun Wen?"
"Kelihatannya bukan, Sam Po Sui Su," jawab Hua Xiong tak kalah menunjukkan model kebingungan yang sama.
"Ya, sudah, akan saya katakan kepada Sam Po Kong," kata Wu Ping, melesat ke atas.
Tak urung Hua Xiong memanggil-manggil, "Sam Po Sui Su, tolong bukakan pintu sel ini."

Dengan mendengar nada yang diucapkan Hua Xiong dalam berteriaknya memanggil Wu Ping, cukup meyakinkan dia panik. Padahal, setelah Wu Ping hilang di kelokan lorong untuk
kemudian naik di tangga-tangga yang menghubungi lantai atas, berdirilah Hua Xiong dengan
tegak lalu tersenyum bangga. Bukan hanya itu. Beberapa detik kemudian dia pethakilan
seperti ayam jago menang berlaga.
"Kapok kalian," katanya. Dia duduk di atas mayat hasil karyanya itu.



***

Sementara itu, Wu Ping terengah-engah masuk ke dalam ruang rapat. Dia menghentikan larinya pas di hadapan Ceng Ho. Katanya, "Gila. Benar-benar gila."

Semua terheran. Semua tidak membayangkan apa yang akan dikatakan Wu Ping ini.

Ceng Ho yang bertanya, "Gila apanya?"

"Ini seperti sulap, tapi bukan sulap. Seperti sihir tapi bukan sihir. Ini nyata tapi seperti tidak nyata," kata Wu Ping.
"Sudah," kata Ceng Ho. "Katakan saja. Apa maksudmu dengan gila?"
"Ya, Sam Po Kong, saya melihat dengan mata kepala sendiri, mendengar dengan kuping sendiri, bahwa anu, itu, sel di bawah itu sudah berganti."

Dang Zhua senang. Dia memperhatikan semua orang yang tampak terbingungkan oleh keterangan Wu Ping yang belum sampai pada makna sebenarnya. Dia yakin, orang-orang ini, khususnya Ceng Ho bakal terperanjat sekaligus geram apabila dia nanti mendengar dari mulut
Wu Ping apa yang sampai kini masih belum terucapkan dengan mudah oleh mulut Wu Ping.

"Sudah, jangan bertele-tele, Wu Ping," kata Wang Jing Hong. "Katakan, apa maksudmu sel dibawah itu sudah berganti?"
"Ya, memang betul begitu, Wang Jing Hong," sahut Wu Ping masih tak mudah menyatakannya. "Sel itu memang sudah berganti."
"Katakan yang jelas," kata Ceng Ho setengah menghardik.
Wu Ping seperti tersentak. "Iya, sel tempat Zhu Yun Wen itu sudah berganti orang."
"Berganti orang?" Ceng Ho berdiri dari kursinya. "Apa maksudnya sel tempat Zhu Yun Wen itu sudah berganti orang?"

"Ya, Sam Po Kong. Yang berada di dalam sel itu bukan Zhu Yun Wen tapi Hua Xiong."
"Apa?" kata Ceng Ho terperanjat bercampur geram.
"Ya, sumpah, Sam Po Kong, saya melihat sendiri. Yang berada di dalam sel itu Hua Xiong. Dan bersama dia di dalam ada mayat yang entah siapa."

Akhirnya Ceng Ho mengucapkan juga perkataan yang tadi diucapkan oleh Wu Ping. "Gila!"
Dan sambil berkata begitu Ceng Ho pun cepat-cepat meninggalkan ruang rapat, langsung ke bawah, ke sel, diikuti yang lain.
Juga Dang Zhua ikut bersama yang lain-lain ke bawah, ke sel yang dimaksud. Sambil berjalan bersama-sama dengan yang lain ke situ, tak putus-putus Dang Zhua mengulang kalimat untuk meyakinkan orang-orang itu tentang Hua Xiong.
"Pantesan, sudah saya cari di mana-mana tidak ketemu. Ternyata Hua Xiong berada di dalam sel. Tapi bagaimana sampai bisa begitu ya?"



***


Setiba Ceng Ho di depan sel bekas Zhu Yun Wen, kembali Hua Xiong melakukan akting. Melihat Ceng Ho berdiri di depan sel itu Hua Xiong langsung menangis tersedu-sedu.
"Ampuni saya, Sam Po Kong," kata Hua Xiong.
Ceng Ho tidak bertanya apa-apa, sebaliknya langsung memerintah Ci Liang untuk membuka sel itu. "Keluarkan dia, cepat," kata Ceng Ho.
Wang Jing Hong kebetulan menginjak kunci sel itu yang berada di lantai gang. Maka dipungutnya kunci itu. Katanya, "Ini dia kuncinya."
Ci Liang mengambil kunci itu lantas membuka pintu terali besi yang mengurung Hua Xiong.
Sel terbuka. Hua Xiong tetap menangis. Ci Liang, Wang Jing Hong bergegas masuk ke dalam sel itu. Ci Liang menyeret mayat penjaga itu keluar dan menaruh di hadapan Ceng Ho. Lalu Ceng Ho pun memeriksa mayat itu, melihat-lihat bekas-bekas tikaman di tubuh prajurit penjaga yang malang itu. Dia berdecak menggeleng kepala.
Setelah itu berkata Ceng Ho dengan suara tegas namun tidak keras, "Satukan segera jasadnya dengan bumi. Di bumi mana pun, manusia adalah bagian darinya."

***

Ci Liang segera mengambil mayat prajurit penjaga itu, menyuruh prajuritnya itu untuk membungkus dengan kain, memanggil dua orang pendeta agama Cina, yaitu agama sinkretisme Tao-Buddha-Konfusius, untuk mendoakannya sebelum mayat itu dilepaskan secara militer: diluncurkan ke dalam laut. Pendeta yang dimaksud itu, Kim Pek Hong, Buddhis, dan Tio Tian Su, Taois, tegak di depan mayat, mengarahkan dirinya kepada Tian *), nama Tuhan, atau dewa tertinggi yang mempribadi menurut struktur hierarkis dunia tembus ruang dalam kepercayaan Cina. Dalam kepercayaan itu - yang dipandang oleh Ceng Ho sebagai kenyataan di luar dirinya sebagai pemegang agama Qing Zheng, dan dengannya dia bersikap toleran, terhadap Zu Xian Jiao **), sehingga baik bawahan maupun atasannya, dalam hal ini sang kaisar menaruh hormat kepadanya -adalah manusia menerima karunia Tian lewat Te. Ceng Ho berdiri memperhatikan pendeta itu menyeru Tian dengan bersandar kepada Te, kekuatan yang dimiliki para dewa Cina, yaitu kekuatan yang suci, sekaligus kekuatan yang ambivalen, seperti terungkap dalam ajaran primordial Cina sebagaimana dilukiskan dalam gambar lambang ying-yang ***), yaitu mutu kebaikan yang tiada terperi sekaligus mutu amarah yang tiada tepermanai. Sambil berdiri tegak pendeta itu mengucapkan kata-kata hafalan yang mengandung isyarat kesalehan. Katanya, ''Tian yang agung melihat segala hal dengan terang bagai sinar matahari, dan mengetahui engkau atas segala kembara yang engkau lakukan di bumi ini.'' *) Di depan sana, berdiri berhadap-hadapan dengan pendeta itu, Dang Zhua dan Hua Xiong bersikap tenang, merasa senang, berpikir menang. Selama upacara, sampai nati sambutan akhir dari Ceng Ho, kedua juru tulis palsu ini berdiri berdekatan di tempat itu dan sesekali saling menjawil satu dan yang lain. Setelah upacara doa menurut agama rakyat Cina itu, Ceng Ho memberikan sambutan akhir kepada mayat yang akan dilepaskan ke bumi melalui air laut di bawahnya. ''Kita semua harus merasa tertimpa rugi atas hilangnya Zhu Yun Wen. Dengan lepasnya Zhu Yun Wen, kita menjadi seperti pelari lomba yang telah menang tapi tidak memperoleh penghargaan, sebab tiba-tiba diumumkan pertandingan tidak sah dan pertandingan akan ditunda sampai tahun depan. Bagaimanapun halnya, kita patut merasakan sial kita hari ini sebagai suatu pelajaran yang menyakitkan. Prajurit penjaga ini, yang sebentar lagi kita kebumikan ke laut, walaupun harus dikatakan prajurit yang bodoh, sebab dia gampang teperdaya, tetap harus dikatakan sebagai prajurit yang telah menjalankan tugas sebagaimana seharusnya. Memang kita makin mengerti, sebagaimana sejak awal kita sudah mengerti, bahwa menjadi tentara, sebagai pengemban tugas negara, hanya ada dua rumus yang berlaku: membunuh atau dibunuh. Atau setidaknya, mendahului atau didahului.

Dengan peristiwa sial ini, mulai hari ini kita harus benar-benar ketat menjaga siapa saja yang mencoba mendekati sel di bawah. Sebab, siapa tahu ada pengkhianat di antara kita yang mencari untung dengan cara keji.'' Pada bagian sambutan ini wajah Dang Zhua dan Hua Xiong menegang. Mereka terdiri tegak. Tidak saling menjawil lagi seperti tadi. Ceng Ho meneruskan sambutan. Katanya,

''Mulai hari ini juga harus ada sepuluh orang prajurit yang menjaga sepanjang gang tempat sel penahanan Chen Tsu I.'' Ceng Ho jeda sejenak. Setelah itu lanjutnya, ''Dan, di luar rencana, pengumuman yang semestinya sudah saya nyatakan kemarin akan saya kemukakan sekarang. Yaitu, pelayaran kita untuk ke timur, ke Jawa, Bali, dan Sulawesi mungkin kita tunda dulu. Mungkin nanti kita angkat sauh untuk berlayar kembali ke utara, pulang ke Cina.'' Kendati sebagian orang telah mengetahui itu melalui bisik-bisik, tak urung pengumuman yang baru dinyatakan Ceng Ho membuat orang-orang menanggap dengan pelbagai ekspresi: ada yang biasa-biasa, ada yang kecewa, ada yang senang.... Ceng Ho meneruskan sambutan, ''Tapi untuk segala kemungkinan itu, saya akan berunding dengan Wang Jing Hong. Saya memang laksamana yang memimpin pelayaran ini, tapi Wang Jing Hong kepala juru mudi. Saya harus bertanya kepadanya. Bergantung pada dia.''

***


Sejam kemudian beberapa orang dari kapal induk menemui Wang Jing Hong, juru mudi utama pelayaran ini. Di antara orang-orang itu ada juga Tan Tay Seng, Bun Hau, Ling Ling dan lain-lain, sekitar tiga puluh orang. Mereka meminta melalui Wang Jing Hong agar dapat
disampaikan kepada Ceng Ho, yaitu kalimat yang diucapkan Tan Tay Seng, ''Seandainya boleh gerangan kami tetap tinggal di Palembang dan nanti dari sini kami meneruskan pelayaran ke Jawa.''

''Saya akan sampaikan usul itu kepada Sam Po Kong,'' kata Wang Jing Hong memahami keinginan mereka. ''Saya bisa mengerti keinginan kalian.''
''Soalnya, saya tidak ingin kembali lagi ke tempat yang pernah saya tinggalkan,'' kata Ling Ling, satu-satunya perempuan yang berani menyatakan pendapat.
''Apa kalian semua berpendapat sama dengan Ling Ling?'' tanya Wang Jing Hong.
Serempak mereka menjawab, ''Ya.''
''Di samping itu, saya benar-benar ingin menyatu dengan roh pendahulu kita yang telah membumi di Borobudur,'' kata Tan Tay Seng.
Wang Jing Hong tertarik pada pernyataan Tan Tay Seng. ''O, ya, bagaimana itu?''
''Ya, hatiku sudah tertambat di Borobudur karena jasa Hui Ming.'' **)''Tapi, bukankah I Tsing ***) punya jasa atas Palembang?'' kata Wang Jing Hong dalam nada bertanya.

''Ya, itulah, Ong King Hong, aku memang akan diam beberapa lama di Palembang sebelum ke Mangkang ****) untuk meneruskan ke Magelang.''
''Baiklah kalau begitu,'' kata Wang Jing Hong. ''Saya akan sampaikan usul kalian ini kepada Sam Po Kong sekarang juga.''
"Terima kasih," kata mereka serempak.



***


Wang Jing Hong pun menemui Ceng Ho di atas, di ruang khususnya, ketika Ceng Ho duduk dengan mata terpejam. Rupanya dia letih dan tertidur. Dalam tidur singkat seperti ini toh Ceng Ho sempat melihat dalam dirinya kedatangan roh ayahnya melalui awan putih.
Dalam mimpinya ini Ma Ha Zhi berkata kepadanya, "Ma He,ketahuilah, rohku selalu menyertaimu. Apa yang baru kaukatakan tadi di dalam upacara melepaskan prajurit yang menjaga sel Zhu Yun Wen itu adalah kata-kataku yang masuk dalam pikiranmu...."

"Soal apa itu, Ayah?" tanya Ceng Ho.
"Bahwa betul memang ada pengkhianat di dalam kapalmu."
"Siapa dia, Ayah?"
"Bukan 'dia', Sebab 'dia' hanya untuk satu orang. Pengkhianat di dalam kapalmu ini lebih dari satu. Maka bukan 'dia', melainkan 'mereka'."
"Ya. Siapa mereka, Ayah?"

"Nanti kau akan mengetahui dengan sendirinya."
Dan sekonyong awan putih yang datang bersama-sama sosok ayah Ceng Ho itu lantas membungkusnya dan membawanya ke atas, hilang di langit.

Ceng Ho terbangun. Dia terengah-engah. Dia melihat dirinya berada di kursi. Lalu dia melihat Wang Jing Hong. Yang disebut terakhir ini tampak kagok.

***

Wang Jing Hong mundur, melangkahkan kakinya ke belakang, hendak keluar dari ruang ini. "Maaf, Sam Po Kong," katanya.
"Sudahlah, tidak apa-apa," kata Ceng Ho.
"Saya mengganggu tidur Anda," kata Wang Jing Hong.
"Tidak," kata Ceng Ho. Ke sini, ayo, duduk di sini."
Wang Jing Hong maju. Dia duduk di kursi sebelah Ceng Ho.
"Apa ada perkembangan lain?" tanya Ceng Ho.
"Ya, Sam Po Kong," jawab Wang Jing Hong, "bagaimana tentang orang-orang sipil yang telah mendaftar untuk ikut pelayaran ini dan bertujuan ke Jawa, Bali, atau Sulawesi? Apa mereka juga harus ikut berlayar kembali ke Cina?"
Ceng Ho segera menangkap dengan cerdas akan apa yang ada dalam pikiran Wang Jing Hong. Katanya, "Kelihatannya mereka baru saja meminta saran darimu."

"Ya, memang betul, Sam Po Kong," jawab Wang Jing Hong, "mereka baru saja bertanya pada saya."
Ceng Ho berpikir sejenak dengan menatap tajam ke arah wajah Wang Jing Hong. Setelah yang dipikirkannya itu ditemukan jawabannya, berkatalah Ceng Ho dengan memberikan kesempatan dan peluang bagi Wang Jing Hong untuk berpikir yang tepat dan baik.
"Menurutmu sendiri bagaimana? Pasti kan sudah punya jawabannya. Katakanlah."
"Tan May Seng, pemusik dan penyair eksentrik itu baru saja berkata, dia tidak keberatan jika turun saja di Palembang. Nanti dengan kapal yang lain dia meneruskan pelayaran ke Asem Arang," kata Wang Jing Hong.

Ceng Ho mengangguk, menyerap keterangan Wang Jing Hong, dan menimbangnya dengan arif. "Itu kan satu orang," katanya, "bagaimana yang lain?"
"Yang lain juga sama."
"Berapa orang mereka semua?" tanya Ceng Ho.
"Saya kurang periksa," jawab Wang Jing Hong, "tapi agaknya semua orang sipil bercita-cita ke timur."
Lagi Ceng Ho menimbang-nimbang. Dengan cepat dia menemukan gagasan ini. "Begini saja," kata dia, "kita ajukan pertanyaan umum kepada mereka. Kalau jumlahnya lebih dari empat ratus orang sipil yang ingin ke timur, ya, kita ke timur. Setelah itu kita ke barat, ke
Kalikut, lewat Pasai, Malabar, dan Sailan."



***


Maka beberapa orang perwira ditugasi untuk mendatangi semua kapal dari pelayaran ini, dan mendata orang-orang sipil siapa saja yang ingin meneruskan pelayaran ke timur: Jawa, Bali, dan Sulawesi. Ternyata yang ingin ke sana sekitar lima ratus orang. Ada juga yang ingin tetap tinggal di Palembang. Yang tinggal di Palembang ini kelak akan menjadi warga negara di bawah raja Sih Jin King. Sih Jin King sendiri baru akan menerima cap kerajaan dan berkuasa sebagai raja yang diakui oleh Kaisar Ming setelah Ceng Ho kembali ke situ pada pelayaran yang akan datang.
***
 
Karena jumlah yang hendak ke timur lebih dari angka yang diisyaratkan oleh Ceng Ho, Ceng Ho pun setuju, mengabulkan janjinya untuk berlayar ke tenggara, menuju ke timur. Di depan semua perwira dari masing-masing kapal yang berada di kapal induk, Ceng Ho berkata, "Sampaikan kepada semua bahwa saya mendengar dengan baik saran Wang Jing Hong.
Sebentar malam kita akan berlayar ke timur: Jawa, Bali, Sulawesi. Insya Allah kita diberi cuaca yang bagus."

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 18:03
EPISODE LIMA Mari kembali sejenak ke Kelentang Sam Po Kong di Simongan, Semarang, melihat bagaimana anak-anak sekolah dari Jakarta itu duduk manis-manis mendengar sang tukang cerita melanjutkan cerita tentang Sam Po Kong. Kata Tukcer, sang tukang cerita, kepada anak-anak sekolah itu yang meriung di sekitarnya, "Jadi, begitulah, anak-anak semua. Kepemimpinan Sam Po Kong ditandai dengan sikapnya yang terbuka. Karena itu patut dikatakan Sam Po Kong adalah pemimpin teladan. Dia tidak kenal istilah 'demokrasi', tapi dia sudah mempraktikan dalam fiilnya. Walaupun dia yang memimpin, dia tetap mau mendengar dengan hormat saran-saran orang yang dipimpinnya. Begitulah memang seharusnya seorang pemimpin sejati. Pemimpin yang baik adalah orang yang mau belajar dari orang-orang yang dipimpinnya. Tidak mentang-mentang, tidak sok tahu, tidak sok kuasa." "Tanya, Pak," kata murid yang selalu bertanya lebih dulu, sambil mengacung di hadapan Tukcer. "Ya," sambut Tukcer dengan bersungguh-sungguh. "Kalau Sam Po Kong melanjutkan pelayaran ke Jawa dan setelah itu ke Kalikut, berarti si raja gelok Tan Co Gi akan terus dibawa keliling-keliling dulu?" "Ya, memang begitu," jawab Tukcer. "Nggak kuatir kabur lagi kayak Zhu Yun Wen?" "Tidak dong," jawab Tukcer dengan yakin. "Kan sekarang penjagaannya sudah dibuat ketat sekali. Pokoknya dia akan dibawa utuh, hidup-hidup, ke Cina, dan panti Kaisar Ming sendiri yang akan memutuskan hukumannya." "Kenapa tidak dihukum langsung saja di Palembang?" "Sebab dia orang Cina." "Memangnya kenapa kalau dia orang Cina?" "Orang Cina itu harus dipandang tersendiri. Orang Cina bisa saja berada di mana pun di ujung dunia atau di bawah kolong langit, misalnya di dasar laut: kalau manusia bisa hidup di sana, atau di atas langit: kalau nanti manusia pindah ke planet lain. Tapi, selama dia hidup, darahnya adalah darah Cina, pikirannya adalah Cina, perasaannya adalah perasaan Cina, pendeknya seluruhnya adalah Cina. Karena itu sebagai orang Cina, Tan Co Gi harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya yang menggunakan lambang-lambang Cina di hadapan Kaisar Cina dengan pulang ke tanah Cina." "Itu baik apa nggak sih?" "Alamnya memang harus begitu. Dan itulah kelebihan dan keunikan orang Cina di dunia. Orang Cina sangat terikat pada negeri leluhurnya. Untuk satu hal, maka kalau hendak belajar arti cinta pada tanah air dan cinta pada orang tua, belajarlah itu dari orang Cina. Orang Cina sudah mewarisi itu dalam pikiran dan perasaannya dari ajaran-ajaran resi bangsa Cina yang paling agung dalam sejarah dunia: Kong Hu Cu." "Terus?" "Terus apa?" "Terus, hukuman apa yang akan dijatuhkan Kaisar Ming kepada Tan Co Gi, raja gelok itu?" "Kita lihat saja. Yang jelas dia harus bertanggung jawab atas segala keonaran dan ketidaksenonohan yang telah mempermalukan orang Cina." "Lo, sekarang ini juga banyak orang Cina yang kayak begitu kok, Pak. Mulai dari Eddy Tansil yang kagak ketangkap sampai Suwondo tukang pijat yang ketangkap." "Itu yang namanya 'nila setitik merusak susu sebelanga', Nak," kata Tukcer. "Tapi camkan baik-baik. Yang kita pelajari dari orang Cina bukan kejelekannya, melainkan kebaikannya, kepandaiannya, kecendekiaannya, kearifannya. Pendek kata, ilmunya dan segala hal yang positif-positifnya. Kalau kita mau maju, belajar dari bangsa yang telah maju, yang kita ambil adalah positif-positifnya, bukan negatif-negatifnya. Orang yang berpikir negatif justru orang yang tidak maju. Paham?" "Iya deh."


***

Matahari pun telah lama pamit dari siang. Kapal-kapal rombongan muhibah Ceng Ho menyusuri Selat Bangka, ke selatan, melampaui
banyak tanjung yang menjorok ke laut, baik tanjung dari Sumatera maupun tanjung dari Bangka, yang seluruhnya hijau pekat dan dan perawan: Tanjung Limaubungkuk, Tanjung Selokan, Tanjung Tapah, Tanjung Lalari, Tanjung Koyan, Tanjung Kait. Di dalam gelap
lampu-lampu di kapal bagai kawanan kunang-kunang bulan April.
Di kapal paling besar, kapal induk, Ceng Ho berdiri menghadap ke depan. Angin malam, angin laut, angin yang tak pernah diketahui datangnya, tapi dirasakan sentuhannya, menerpa-nerpa rambutnya yang terjerungkau bebas. Dalam tidak berbusana sebagai laksamana, yang biasanya dilengkapi dengan zirah dan pedang kebesaran di pinggang kiri, Ceng Ho tetap tampak sebagai seorang lelaki 34 tahun yang perkasa - kecuali bahwa takdir yang telah menentukannya menjadi tay-jin - dengan kedibyaan akal dan kemuliaan hati dari Tuhan belaka. 

Makin larut makin dingin. Dia lihat ke langit. Bintang-bintang di atas tak berubah seperti kemarin dan besok. Dua orang kakak-beradik yang biasa bertugas mengintai di tiang pengintai menggigil di atas.

''He, kalian yang di atas,'' kata Ceng Ho menyapa anak buahnya itu.
''Ya, Sam Po Kong,'' jawab keduanya ceria.
''Kalian jangan berdebat lagi soal tenggara ya,'' kata Ceng Ho. ''Kita sekarang sedang menuju ke tenggara.''
''Ha-ha-ha.'' Keduanya tertawa berbareng.
''Yang goblok ini kakakku,'' kata yang adik.
''Lebih goblok lagi adikku ini,'' kata yang kakak.
''Sudahlah,'' kata Ceng Ho. ''Kalian sama-sama pintar.'' Lalu Ceng Ho melambaikan tangan.
''Nah, selamat bertugas.''
Berbareng juga kakak-beradik itu berkata, ''Terima kasih, Sam Po Kong.''
Ceng Ho pun berlalu, masuk ke kamar, tidur.



***


'Sudahlah,'' kata Ceng Ho. ''Kalian sama-sama pintar.'' Lalu Ceng Ho melambaikan tangan.
''Nah, selamat bertugas.''
Berbareng juga kakak-beradik itu berkata, ''Terima kasih, Sam Po Kong.''
Ceng Ho pun berlalu, masuk ke kamar, tidur.


***


Begitu Ceng Ho berlalu, kedua kakak-beradik berpandang-pandangan. Sekejap saja, setelah berpandang-pandang begitu, sang kakak mengeplak kepala sang adik.
''Enak saja kamu bilang aku goblok,'' kata sang kakak. ''Dari dulu yang goblok itu kamu.
Goblokmu itu tidak mundhak-mundhak.''
''Omong goblok ya boleh saja. Tapi tidak usah pakai keplak begitu,'' kata sang adik, dan dia
pun membalas mengeplak kepala kakaknya.
Sang kakak kaget dikeplak, lantas mengeplak lagi. ''Lo, kok mau balas?''
''Itu harus,'' kata sang adik sambil memasang tangan untuk membalas lagi.

''Orang wajib membalas jika harkatnya dilecehkan begitu.'' Di ujung kalimatnya sang adik menyabetkan tangan ke telinga kakaknya. Maka terjadi balas-membalas. Sudah galib terjadi balas-membalas kemudian berkembang menjadi perkelahian. Sebab, orang yang membalas tidak sekadar membalas tapi juga menyerang. Keruan berkelahilah kedua kakak-beradik ini. Seru juga. Mereka baru berhenti setelah tiba-tiba arus yang aneh datang memotong jalan laut mereka, yaitu arus yang datang dari Samudra Hindia lewat Selat Sunda dengan arus yang datang dari Laut Cina Selatan lewat Selat Gaspar. Bukan alang kepalang olengnya kapal ini dan kapal-kapal lain. Selanjutnya mereka diam sampai pagi, sampai mereka digantikan petugas lain lagi.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 18:15
Sekian hari kemudian kapal-kapal Ceng Ho dengan didului kapal induk yang dikepala juru mudi Wang Jing Hong telah memasuki pulau-pulau kecil, saking banyaknya lantas disebut Kepulauan Seribu. Ada bandar di sana. Dan di bandar itu orang bercakap campuran bahasa Sunda dan Melayu. Siapa yang menduga bandar itu kemudian akan menjadi kota paling besar di Nusantara setelah seabad kemudian bangsa Portugis mencapainya, disusul bangsa Belanda. Ketika kapal Ceng Ho memasuki teluk yang luas, yang menyebabkan bandar itu teduh dijaga oleh pulau-pulau kecil di utaranya, anak negeri yang bercakap antara bahasa Sunda dan Melayu itu rata-rata berdiam di rumah-rumah bambu beratap rumbia dan ilalang. Penduduknya terkagum-kagum melihat kapal-kapal Ceng Ho, khususnya kapal induk yang besar sekali, hampir 500 kaki panjangnya. Mereka juga terkagum-kagum melihat pakaian yang dikenakan rombongan Ceng Ho itu, yaitu berbagai warna sutra dan bordir tangan yang sangat terampil, yang hanya mungkin dihasilkan oleh suatu bangsa yang telah maju: beradab dan berbudaya. Lurah di bandar itu langsung menyuruh rakyatnya untuk memberi hormat kepada rombongan Ceng Ho ketika rombongan ini turun ke darat. ''Semua berkumpul di lapangan,'' kata Lurah. ''Nanti malam segenap rakyat harus memberi penghormatan kepada utusan dari Cina.''


***


Sebelum itu, begitu turun ke darat Wang Jing Hong telah menemui Lurah -dibantu dengan seorang penerjemah bahasa Melayu - memperkenalkan siapa diri mereka dan tujuan mereka ke timur. Sang lurah yang mengenakan pakaian hitam-hitam, berkumis lebat, dan bertopi anyaman bambu seperti lazimnya topi-topi khas Bugis-Makassar, menyambut dengan sangat takzim.

Mulanya sang lurah salah sangka. Dia mengira bandarnya akan diserang. Katanya, ''Maaf, Tuan-tuan dari Negeri Cina. Saya salah sangka. Saya kira Tuan-tuan akan menangkap saya dan menyerang kami di sini.''

''Kenapa Anda berpikir begitu?'' tanya Wang Jing Hong yang diterjemahkan oleh penerjemahnya.
''Saya memang pelarian dari timur, Tuan.''
''Kenapa lari? Apa ada perang?''
"Ya, Tuan betul, memang ada perang di sana. Saya sulit menentukan sikap untuk berpihak pada salah satu di antara mereka, sebab saya berada di luar kepentingan mereka."
"Memangnya siapa yang berperang?"
"Dua raja, sama-sama keturunan Hayam Wuruk, yaitu Wikramawardhana dan Wirabhumi. Perang terjadi lima tahun lalu, maka saya ke sini, dan kabarnya perang terjadi lagi tahun lalu. Kedua pihak tidak menyukai saya, sebab saya tidak mau berpihak kepada keduanya."

"Kalau di sini aman, lebih baik Anda di sini saja."
"Prau Banyak Catra, raja di sini, yang kekuasaannya di bawah Pajajaran, telah mengangkat saya sebagai lurah di sini."


***


Maka sebagai lurah di Bandar Sunda Kelapa ini, Wijaya, begitu nama yang dibuatnya sendiri setelah mukim di Sunda Kelapa, menyuruh rakyat berkumpul di lapangan, di pinggir laut, membuat penyambutan terhadap rombongan Ceng Ho. Sebuah perkumpulan hiburan disiapkan bermain di lapangan itu. Perkumpulan hiburan itu dibawa dari selatan, membawa alat-alat musik, sebuah nayaga yang lazim dikenal dalam tatanan karawitan Sunda: ada bonang, ada gambang, ada tarawangsa, gong, dan kendang besar beserta kendang-kendang kecil yang dalam istilah karawitan Sunda disebut kulanter. Dia lapangan itu orang-orang bersila, ada juga yang berdiri, menyaksikan pertunjukan musik mengiringi pertunjukan tari. Lampu-lampu obor, yaitu tiang bambu yang di atasnya diberi delapan sumbu - angka yang kiranya erat dihubungkan dengan kepercayaan Buddha dipasang mengelilingi lapangan tempat pertunjukan tersebut. Seorang penari langsung memikat perhatian rombongan Ceng Ho. Penari yang disebut ini masih sangat belia. Dia adalah putri Carik. Namanya Wati. Orang memanggilnya Ti Wati. Dan sesuai dengan lafal Sunda Kelapa, paduan antara Melayu dan Sunda, penari itu dikenal sebagai Si Tiwati. Gerakannya dalam menari, tarian ibing yang khas Sunda pesisir, memang luar biasa. Itu ditentukan oleh tabuhan-tabuhan kendang dan kulanter sebagai ciri khas Sunda, yaitu pukulan-pukulan yang memberikan sugesti untuk gerakan-gerakan erotis yang lazim disebut dalam bahasa Sunda: gitek dan geol.

Semua anggota rombongan ekspedisi Ceng Ho yang kebetulan turun ke darat menyaksikan pertunjukan ini rata-rata terpesona dan senang. Satusatunya orang dari antara mereka yang dengan langsung menyatakannya kepada Si Tiwati adalah Wu Ping, tukang masak khusus Ceng Ho yang disebut Sam Po Sui Su itu. Dia bukan saja menyatakan senang dan kagum pada tarian Si Tiwati, melainkan sekaligus juga menyatakan isi hatinya yang paling dalam, yaitu perasaan yang diharapkan dapat berkembang menjadi perasaan timbal balik. Tanpa tendeng aling-aling Wu Ping berkata, "Aku cinta kamu." Repotnya, Wu Ping mengucapkan perasaannya dalam bahasa Cina resmi, Cia Im, bukan logat Hok Kian yang telah banyak dipakai orang di sepanjang pesisir Sumatera dan Jawa; dan Si Tiwati thengak-thenguk, bengong, bingung, tidak mengerti bahasa yang digunakan Wu Ping. Keruan Wu Ping menjadi lucu. Dia bicara menggunakan alat-alat tubuhnya: tangan, kaki, kepala untuk menyatakan isi hatinya itu. Toh Si Tiwati tidak dapat menangkap isi hati Wu Ping. Dia tetap bengong. Dan justru bengongnya itu menambah gereget Wu Ping untuk memeluknya, menciumnya, dan seterusnya. Dan begitu dia coba melakukan itu dalam keadaan tak sadarnya Si Tiwati menjerit. Si Tiwati pun menghindar. Wu Ping yang sekarang bingung. Dia melihat kian-kemari, mencari orang yang tadi menerjemah-nerjemahkan percakapan Lurah dengan Wang Jing Hong dan Ceng Ho. Ditariknya penerjemah itu. Bergegas-gegas dan tergopoh-gopoh dia bawa ke hadapan Si Tiwati yang duduk di belakang nayaga. "Ayo, terjemahkan kepadanya, bahwa aku cinta dia," kata Wu Ping kepada penerjemah itu. Dan sang penerjemah melakukannya. Di luar dugaan, Si Tiwati menjawab dengan tegas. "Cinta pelaut itu sama banyak dengan pelabuhan yang disinggahinya." Sang penerjemah mengatakan itu pula kepada Wu Ping. Wu Ping mencak-mencak. "Tidak," katanya. "Tolong katakan kepadanya. Aku bukan pelaut. Aku tukang masak."


Penerjemah menerjemahkan itu pula kepada Si Tiwati.
Dan jawab Si Tiwati lagi-lagi mengejutkan. "Lelaki yang pandai memasak tetap saja menaruh perempuan d dapur untuk memasakkan makanannya."

Lagi penerjemah menerjemahkan pernyataan Si Tiwati itu.
Dan lagi Wu Ping mencak-mencak. "Tidak. Katakan kepadanya, kalau dia membalas cintaku dan mau menjadi istriku, aku akan membuatnya menjadi ratu seumur hidup."

Penerjemah menerjemahkan pula kalimat panjang itu.
Dan kata Si Tiwati, "Cinta yang gampang diucapkan bakal gampang juga dilupakan."

Begitu mendengar terjemahannya, Wu Ping langsung berlutut di hadapan Si Tiwati, bersungguh-sungguh namun juga kelihatan lucu. Katanya, "Sumpah disambar geledek, cintaku tidak seperti itu. Percayalah, seumur hidupku aku belum pernah mengucapkan cinta
kepada siapa pun, selain daripada hari ini kepadamu seorang."

Si Tiwati bengong oleh sikap Wu Ping. Setelah diterjemahkan oleh penerjemah akan apa yang diucapkan Wu Ping, maka berkata Si Tiwati, "Cinta adalah bahasa hati. Dan mungkin aku bisa paham. Tapi bagaimana aku memahami bagian-bagiannya yang muskil, sedangkan kita tidak bercakap dengan bahasa lisan yang sama?"
"Aku akan mengajarmu bahasa Cina," kata Wung Ping melalui penerjemah.

Dan jawab Si Tiwati melalui penerjemah, "Aku orang bodoh. Kau orang pintar. Tidak mungkin orang bodoh belajar bahasa asing. Mestinya orang pintar yang belajar bahasaku."

"O, ya, masih ada waktu," kata Wu Ping melalui penerjemah. "Sepulangku dari pelayaran ditimur, aku berjanji akan datang ke sini lagi dengan fasih bercakap bahasamu, bahasa Melayu."

Si Tiwati menyimak terjemahan yang dilakukan penerjemah, lantas berkata sangsai, "Cinta tidak pergi. Cinta selalu diam."
Mendengar terjemahannya, Wu Ping keranjingan menyatakan kalimat ini, "Demi Tuhan, aku bersumpah, dan bahkan aku siap sunat dua kali. Kalau kau bermaksud menyuruhku tinggal, aku akan lakukan itu dengan sukacita. Aku akan minta izin sekarang juga pada Sam Po Kong."

Si Tiwati hanya tersenyum, tidak berkata apa-apa. Wu Ping meraih tangannya dan menggenggamnya. Ketulusan yang asasi kiranya tengah disampaikan dalam gagasan ini.



***

Sesuai dengan yang dikatakannya, di kapal nanti, ketika sebagian orang pulang untuk tidur disana menjelang pelayaran di esok harinya, Wu Ping menemui Wang Jing Hong sebelum menemui Ceng Ho.

"Aku jatuh cinta pada penari itu," kata Wu Ping.
"Ya, aku melihat adegan kau merayunya," kata Wang Jing Hong.
"Itu bukan merayu," kata Wung Ping. "Aku bersungguh-sungguh menyatakan cintaku padanya."
"Kalau bukan merayu, lantas apa?" kata Wang Jing Hong seakan tak acuh. "Seorang lelaki yang menyatakan cinta kepada seorang perempuan itu namanya merayu."
"Tidak," kata Wu Ping agak ngotot. "Merayu itu suatu tindakan dengan kata-kata berbunga belaka. Dan seperti halnya bunga dapat memutik, berkembang, dan layu begitulah hakikat merayu. Yang kulakukan tadi itu bukan merayu, melainkan memberikan hatiku kepadanya dan berharap dia menerima."
"Jadi adegan tadi itu adegan kau memberi hatimu kepadanya?"
"Ya, aku memberikan tanpa pamrih."
"Dan, apakah dia menerima?"
"Ya. Dia menerima."
"Kalau dia tidak terima?"
"Dia terima kok."
"Lo, aku tanya, kalau dia tidak terima?"
Wu Ping termangu. "Kalau dia tidak terima, ya, sedihlah aku, patah hatiku, pecah berkeping."
Wang Jing tertawa terbahak. Wu Ping terheran.
"Kenapa ketawa?" tanya Wu Ping.
"Itu buktinya kau memberikan hatimu dengan pamrih," kata Wang Jing Hong.
"Itu jamak," kata Wu Ping. "Cinta tidak mungkin bertepuk setengah tangan. Cinta yang sejati justru adalah cinta yang tumbuh dari kemauan untuk memiliki. Bukan satu yang memiliki lain, melainkan yang lain juga ikut memiliki yang satu."
Wang Jing Hong tersenyum, memandang dalam-dalam ke hati Wung Ping melalui matanya.
"Tidak sangka, mendadak kau jadi pintar," kata Wang Jing Hong.
"Ya, memang," sahut Wu Ping. "Cinta itu lebih kuat dari halilintar, yang dengan seketika memberikan pengharapan pada langkah-langkah hari esok."
"Tidak," kata Wang Jing Hong. "Yang benar, cinta selalu dengan cepat membayangkan kesenangan, dan selalu terlambat mengantisipasi kesusahan."
"Barangkali sebab cinta itu suara nurani. Dan nurani itu adalah wilayah ilahi. Siapa yang memiliki cinta dengan sendirinya memiliki citra ilahi di dalam hatinya."
Lagi Wang Jing Hong tertawa. Tapi ketawanya ini mengandung kemauan untuk membenarkan. "Orang yang jatuh cinta memang selalu ingin jadi penyair."
Wu Ping juga tertawa. "O, ya, bukan cuma si eksentrik Tan Tay Seng saja yang bisa menyair.
Aku juga bisa. Dan ilhamku tidak mungkin sesat. Sebab ilhamku itu cinta."
"Ah, atur saja," kata Wang Jing Hong. "Kalau kau bermaksud tinggal di sini, katakan kepada Sam Po Kong."
"Ya, aku pasti akan mengatakan," jawab Wu Ping.



***

Tapi, sampai besok, hari kedua, ketiga, dan seterusnya, selama kapal-kapal disauhkan di teluk sana, Wu Ping belum juga berkata apa-apa kepada Ceng Ho.
Namun, selama itu tugasnya bekerja di dapur bukan alang kepalang rajinnya. Dia menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat dari biasanya. Apabila selesai bekerja, dia lekas-lekas turun menemui Si Tiwati. Dia baru tahu bahwa ayah Si Tiwati, Carik Said Areli, masih kerabat Pajajaran belaka. Sebagai putri seorang carik, Si Tiwati adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Kakak-kakaknya semua sudah berkeluarga. Yang paling tua, perempuan, kawin
dengan pelaut Bugis. Memiliki tiga kapal yang biasa disewakan untuk pelayaran ke timur.

Kepada ayah Si Tiwati, Wu Ping, sebagaimana orang muda umumnya tengah dilanda gandrung, dengan terus terang menyatakan kesungguhannya untuk mempersunting Si Tiwati, dan tampaknya ayah sang putri senang, menyambut dengan sikap yang tengah-tengah,
semadyanya.

Kata ayah Si Tiwati sembari memantun, "Ya, memang begitulah hidup. Asam di gunung, garam di laut, menjadi satu di dalam kuali. Tapi soal jodoh, di tangan Tuhan."

Masih dengan membawa seorang penerjemah yang menyalinkan kata-katanya, Wu Ping berkata, "Begitu aku kembali dari timur, Bali, dan Sulawesi, aku akan membumi dengan bumimu, seperti kambing mengembik di kandang kambing, harimau mengaum di kandang
harimau, menyatukan jiwa dengan jiwa, roh dengan roh, di bawah langit yang satu."

"Jadi kau mau belajar bahasaku?" tanya Si Tiwati dan diterjemahkan pula oleh penerjemah.
"Tentu," jawab Wu Ping dengan bantuan penerjemah.
"Aku juga akan belajar bahasamu," kata Si Tiwati diterjemahkan pula oleh penerjemah.



***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 18:32
Betul juga adanya. Selama pelayaran ke timur, lewat Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Lasem, Tuban, Surabaya, Mojokerto, dan terus ke Bali, lalu ke utaranya ke arah Sulawesi dan ke barat melalui Kalimantan, yang memakan waktu berbulan-bulan, bukan main rajinnya Wu Ping belajar bahasa Melayu, bahasa terpakai di setiap pelabuhan di kepulauan Nusantara. Wu Ping bukan hanya belajar bercakap, mengingat-ingat berbagai kata dalam kepalanya, tapi juga dia menulis kata-kata bahasa Melayu dengan aksara-aksara Arab gundul. Sebagai seorang muslim, tidak ada kesulitan bagi Wu Ping-ataupun Ceng Ho di pucuk pimpinan serta Wang Jing Hong atau Ong Hing Tek atau Ong King Hong-untuk menulis aksara Arab. Ceng Ho bahkan sangat fasih bercakap bahasa Arab. Dia, seperti halnya kebanyakan suku bangsa Hui Hui yang telah kawin-mawin (berdasarkan peraturan pemerintah Ming yang berkuasa) dengan bangsa Han, yaitu bangsa mayoritas Cina, memang terwaris darah bangsa Arab. Suku bangsa Hui Hui yang juga bernama suku bangsa Se Mu memang turunan Arab, yang masuk ke Cina dan menyebar di situ pada masa dinasti Yuan, sekitar abad ke-13. Karena khawatir terjadi eksklusivisme ras yang mengancam kesatuan bangsa Han yang mayoritas bangsa Cina, maka oleh kebijakan Ming suku bangsa Hui Hui diharuskan kawin dengan bangsa Han dan supaya menjadi satu bangsa Cina yang menunggal. Dalam sekian generasi, suku Hui Hu tidak beda dari sosok Han pada umumnya: berkulit kuning dan bermata sipit. Kecuali, bahwa mereka adalah orang-orang muslim yang toleran terhadap agama Cina "Han San Wei Yi" yaitu ajaran-ajaran Kong Hu Cu, Tao, dan Buddha. Dan, memang sebagai muslim, orang Cina yang asalnya adalah Hui Hui dan telah menjadi Han, tetap khatam akan tulisan dan bahasa Arab. Wu Ping tidak mendapat kesulitan belajar bahasa Melayu tulis dengan aksara Arab gundul, yaitu model bahasa Melayu awal sebelum dikenal aksara Latin. Kata-kata bahasa Melayu dengan tulisan Arab gundul pertama yang dihafal Wu Ping adalah "Aku sayang sama kamu Si Tiwati." Begini dia menuliskannya sendiri di atas kertas. "Betapa senang hati Wu Ping karena perkembangannya itu. Setelah itu, dari hari ke hari, makin banyak pula kata bahasa Melayu yang dihafalnya kemudian ditulisnya. Apalagi di dalam semua cuaca, di setiap pelabuhan, berangkat dari kemauan keras atas nama cinta, dia langsung berkomunikasi dengan penduduknya, dan dengan begitu dia memperoleh lagi banyak kata dalam ingatan dan hafalannya. Karena perkembangannya itu, maka pada suatu malam, di saat lamunannya demikian kuat membayang Si Tiwati, Wu Ping menemui Wang Jing Hong, lantas berkata, "Aku sudah bertekad, begitu kapal kita tiba di Sunda Kelapa, aku akan turun untuk selamanya." Wang Jing Hong tertawa. ''Cina memang melebihi kuatnya badai.'' ''Juga kuatnya gempa,'' kata Wu Ping sambil tertawa pula. ''Tapi, apakah kau sudah mengatakan ini kepada Sam Po Kong selaku pemimpin kita?'' ''Belum,'' kata Wu Ping. ''Tapi pasti. Aku akan bikin kejutan.''


***


Sebelum itu, pelayaran ke timur ini berlangsung dengan banyak kejutan pula. Setelah meninggalkan Sunda Kelapa, bandar kedua dalam pelayaran hari ketiga adalah Cirebon. Semestinya kapal Ceng Ho tidak usah berbelok ke tenggara menyusuri pesisir untuk langsung ke Semarang dan terus ke Mojokerto. Tapi di sekitar Tanjung Tanah, setelah beberapa jam melampaui tanah ujung Indramayu sekarang, tampak iringan kapal-kapal kecil menuju ke barat. Seorang di antara orang-orang di kapal-kapal kecil itu memberi tanda dengan lambaian panji ke kapal-kapal rombongan Ceng Ho. Ceng Ho pun segera menangkap isyarat itu.

Kata Ceng Ho kepada Wang Jing Hong, ''Kelihatannya mereka meminta bantuan.''

''Apa yang harus kita lakukan?'' tanya Wang Jing Hong.
''Biarkan mereka mendekati kita,'' jawab Ceng Ho.



***


Kapal-kapal kecil itu, tiga kapal yang kelihatannya salah sebuah adalah model kapal Bugis, pinisi, mendekati. Orang yang tadi melambai-lambaikan panji ternyata fasih berbahasa Cina,
jadi tidak perlu ada penerjemah.

''Jangan berlayar ke tenggara,'' katanya. ''Berbahaya.''
''Kenapa?'' tanya Ceng Ho. ''Apa apa?''
''Di sana ada seekor ular siluman yang mengamuk, menelan manusia hidup-hidup. Sudah ratusan manusia yang ditelannya hidup-hidup,'' katanya.
''Namamu siapa?''
''Cung.''
''Lantas, sekarang kalian semua hendak ke mana?''
''Ke bandar yang aman, Sunda Kelapa.''
''Tidak usah. Kembali saja. Ini pasti akal-akalan seseorang yang mau merebut harta rakyat.''

Yang menyebut diri Cung itu tidak cepat mengubah pikiran. Dia bertahan. Katanya, ''Tapi, memang benar, ada ular siluman ynag mengerikan, Tuan.''

''Apakah Anda melihat dengan mata kepala?''
Cung bimbang. ''Semua orang pernah melihatnya.''
''Tapi, sudahlah, kembali ke tempat Anda semula. Kami akan menolong kalian. Saya yang akan menumpas ular siluman itu kalau benar-benar ada. Lihat, di isi kapal-kapal kami memang tentara yang cinta perdamaian. Tapi tentara kami pun siap memerangi kelaliman.''



***


Akhirnya Cung dapat diyakinkan. Bersama ketiga kapal yang menuju ke barat, untuk menyingkir di Sunda Kelapa, bandar yang dikabarkan aman, dia kembali menuju ke Cirebon. Kala itu Cirebon lebih dikenal sebagai desa nelayan Muara Jati dan berada di bawah penguasa kerajaan Sunda, Galuh. Setelah itu, prabu yang memerintah Pajajaran menaruh seorang wakil pemerintah di situ, yaitu Ki Gedeng Alangalang, dengan gelar Kuwu Cerbon, memeluk agama Hindu. Padahal di pantai itu mulai juga berkembang agama Islam yang antara lain disyiarkan oleh dua orang saudagar yang sama-sama berasal dari Cina pula. Ceng Ho tidak menyimpulkan, karena merasa tidak perlu menyimpulkan siapa gerangan yang menyebarkan isu tentang siluman ular tersebut. Tapi dia yakin isu itu berkait dengan persaingan di pasar ketika dua agama berhadapan di tengah pemeluk-pemeluknya, yaitu Hindu yang telah lama dianut masyarakat dan Islam yang baru menyebar. Walaupun Ceng Ho tidak berkata apa-apa mengenai apa yang bisa dia simpulkan itu, dia toh tahu kekacauan dalam masyarakat karena isu siluman ular itu pasti berhubungan dengan persaingan pasar. Selalu terjadi, konkurensi pasar yang terjadi di Nusantara zaman lampau (yang berlarut rentan pula sampai zaman sekarang), diperuncing oleh lambang-lambang agama: yaitu bukan melihat kesamaan nilai universalnya supaya terjalin kerukunan, melainkan sebaliknya mempertajam ketidaksamaan disertai prasangka-prasangka tribal supaya terjadi pertikaian.


***


''Tapi bisa juga ular siluman itu sihir, Sam Po Kong,'' kata Wang Jing Hong ketika Ceng Ho meminta pendapatnya.
''Apa betul begitu?'' tanya Ceng Ho.
Maka dipanggilnya juga dua pendeta Buddha, Jin Bi Feng atau Hok Kian: Kim Pek Hong, dan pendeta Tao, Zhang Tian Shi atau Hok Kian: Tio Tian Su, untuk mendengar pendapat mereka mengenai apa yang dikatakan Wang Jing Hong atau Hok Kian: Ong Hing Tek atau Ong King
Hong, sebagai sihir.

''Apa betul ular siluman itu sihir?'' tanya Ceng Ho.
''Bisa saja, Sam Po Kong,'' kata kedua pendeta bersamaan. 
"Kalau begitu, siapa takut?" kata Ceng Ho. "Saya akan lawan seorang diri."


***


Maka dengan gagah perkasa Ceng Ho turun ke darat. Di tengah tanah datar lagi lapang - yang kini telah menjadi Puri Sunyaragi -Ceng Ho berdiri menghunus pedang ke atas langit, lantas berseru lantang, "Hai siluman ular terkutuk! Tunjukkan dirimu! Kalau kamu memang berwujud, hasil kemampuan sihir seseorang yang berilmu, yang sengaja hendak membuat kekacauan di sini, mengganggu iman orang-orang yang telah percaya kepada satu Allah, kusuruh kamu keluar dari sembunyimu. Demi Allah yang rahman dan rahim, akan aku hancurkan kamu. Sebab kamu adalah ibilis. Iblis adalah musuh orang beriman. Akan kukirim kamu kembali ke neraka jahanam, habitatmu yang asli!" Sekonyong terdengar angin menderu dari selatan. Bunyinya aneh dan dahsyat. Tampaknya kekuatan sihir seseorang yang tidak kelihatan dan tidak juga diketahui asalnya sedang bekerja merebut perhatian masyarakat yang berada di sekitar tanah datar dan lapang itu. "Sudah! Tampakkan dirimu!" kata Ceng Ho. Dan memang benar, suatu wujud yang kasatmata oleh sebagian orang di situ, berbentuk ular yang besar namun juga bening terbang dari awan ke bumi. Orang-orang yang berada di sekitar situ terbirit-birit lari hendak menyelamatkan diri. Tapi Ceng Ho segera memekik, menyuruh mereka tidak perlu berlari. Katanya, "Jangan lari. Tidak usah takut. Ini hanya bayang-bayang iblis." Dari mulut ular itu kelihatan seperti asap yang diembuskan dengan kencang mengena orangorang yang berlari tunggang langgang itu. Melihat itu Ceng Ho menikamkan pedang ke tanah. Dengan itu dia melakukan doa. Serunya dalam hati dan diucapkannya dengan percaya, "Ya Allah yang akbar, tolonglah aku!" Lalu Ceng Ho pun beraksi. Dia menekan satu kaki sehingga kaki itu memberi kekuatan bagi tubuhnya untuk terangkat ke atas, seperti melayang, dan dengan keyakinan dari Tuhan untuk mengalahkan iblis, tangan yang memegang pedang itu diayunkan ke kepala ular ciptaan sihir tersebut. Hebatnya, hanya dengan sekali ayun, kepala ular ciptaan sihir itu lepas dari badannya yang panjang. Tak menyia-nyiakan waktu dan kesempatan, Ceng Ho bergerak lagi seperti terbang, mengayun kembali pedangnya, memotong badan ular itu menjadi dua, lalu yang dua dipotong-potong lagi sampai menjadi potongan kecil-kecil. Semua yang menyaksikan itu terbengong-bengong heran. Lebih mengherankan lagi, potongan-potongan itu pun tetap kasatmata, tapi tidak ada setetes pun darah kelihatan dari setiap potongan. Ceng Ho mengerti akan keheranan masyarakat yang menyaksikan itu. "Ini memang bukan ular biasa. Ini ular ciptaan sihir. Kalian semua tidak perlu takut lagi. Orang yang membuat ular siluman ini, dengan mantra-mantranya, entah di mana, pasti sudah kapok. Kalian juga semua dapat melawan iblis, mengalahkan iblis, hanya dengan satu kekuatan, yaitu iman kepada satu Allah yang Mahakuasa: Allahnya Ibrahim, Allahnya Musa, Allahnya Isa, Allahnya Muhammad. Sembahlah Allah, kalian semua akan selamat dari kuasa iblis." Orang-orang pun berterima kasih kepada Ceng Ho. Semua memberi salam kepadanya.
Sebagian di antara mereka membuat cerita bahwa potongan-potongan ular itu kemudian dibawa angin dan jatuh ke laut lantas menjadi pulau-pulau.


***


Yang paling terkesan adalah Cung, yang sebelumnya sudah tidak punya pilihan untuk hidup, kecuali meninggalkan Cirebon. Nanti, ketika dia mengatakan bahwa kapal yang dipakainya itu milik menantu Said Areli, terkejutlah Wu Ping. Dengan bersemangat Wu Ping bertanya, mana menantu Said Areli itu.

Wu Ping menyalami menantu Said Areli itu. Ternyata Ucu, menanti Said Areli itu, adalah nakhoda yang mengemudi sendiri kapal yang disewakannya itu. Oleh rasa senangnya bertemu Ucu, menantu Said Areli yang orang Bugis itu, berkata Wu Ping seperti cacing kepanasan. "Kita akan menjadi ipar," katanya melalui penerjemah.
"Apa?" tanya Ucu seakan salah mendengar.
"Anda tidak salah," kata Wu Ping, dan diterjemahkan pula oleh penerjemah. "Kita akan
menjadi ipar. Begitu pelayaran ini selesai sampai di timur, aku akan pulang, datang ke Sunda
Kelapa untuk melamar Si Tiwati."
"Ke timur?"
"Ya."
"Mau membantu peperangan di sana?"
"Mana mungkin? Kami ini mengemban misi perdamaian dari kekaisaran Ming. Tentara Sam Po Kong diperlengkapi dengan senjata tapi juga dengan cinta kasih."
''Ha-ha-ha.'' Ucu ketawa keras tapi tidak bersumber dari sukmanya. Artinya, dia hanya ingin memberikan reaksi tertentu dalam bersosial-sosial.

''Kenapa ketawa?'' tanya Wu Ping.
''Yang nyata-nyata saja,'' kata Ucu. ''Dalam setiap niat untuk melahirkan perdamaian, tidak  sepi di dalamnya terjadi peperangan.''
''Apa maksudmu?'' tanya Wu Ping.
''Kita semua menolak peperangan. Tapi kalau peperangan hadir sebagai kenyataan yang tidak terhindarkan, kita tidak mungkin membiarkan diri kita menjadi orang yang kalah tanpa peperangan.''
Wu Ping masih berkerut. ''Saya belum menangkap,'' katanya.
''Dalam semua peperangan, pasti terjadi kalah dan menang,'' kata Ucu. ''Orang yang menerima kekalahan seharusnya berusaha dulu untuk menang.''
''Tidak,'' kata Wu Ping singkat.
''Kenapa tidak,'' kata Ucu berbalik tanya. ''Sam Po Kong baru saja menunjukkan harkatnya.
Dia mengajar kepada kita bahwa orang tidak mungkin menghindar dari satu peperangan.
Bayangkan, lawan Sam Po Kong itu tidak kelihatan, tidak kasat mata, sebab lawannya itu bersembunyi di balik roh setan. Sam Po Kong dapat mengalahkan, karena Sam Po Kong tidak bisa pula menghindar dari kenyataan akan adanya suatu peperangan yang harus dihadapinya.''

Wu Ping mengangguk. Dia coba menalarkan itu dengan arif dan tenang. Setelah itu dia berkata, dalam kalimat tanya yang mengandung perasaan ingin tahu, ''Memangnya perang apa
lagi yang akan kami saksikan di depan?''

''Mungkin bukan yang akan Anda saksikan, tapi yang akan melibatkan Anda juga,'' kata Ucu.

“Tunggu,'' kata Wu Ping. ''Kami sudah mendengar tentang perang itu ketika kami berada di Sunda Kalapa. Konon yang berperang itu adalah dua orang bersaudara Hayam Wuruk.''

''Betul. Keduanya saling berebut takhta. Sebetulnya Hayam Wuruk berkenan pada Wikrawardhana untuk menggantinya, tapi Wirabhumi yang telah menduduki posisinya sebagai adipati di Blambangan, tidak senang, dan karenanya menyerang.''
''Begitu?'' Wu Ping mengangguk-angguk. Ketika dia mengangguk-angguk seperti itu, samasekali tidak dibayangkan di dalam pikirannya, nanti beberapa orang sipil yang ikut serta dalam pelayaran muhibah ini akan dibantai, membuatnya terkesiap dan iba.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 18:47
Peperangan yang dikisahkan Ucu itu sebetulnya sudah berlangsung lama. Peperangan yang pertama terjadi pada 1401. Sempat reda lantaran kedua belah pihak menyadari kerugian masing-masing. Tapi pada 1404 kembali lagi kemarahan dan rasa tak puas serta rasa tak mau dikalahkan dan tak mau menyerah, kembali membakar hati kedua pihak yang berseteru itu, sehingga terjadi lagi peperangan. Peperangan itu sudah berjalan dua tahun ketika Ceng Ho tiba di perairan Jawa. Dan, peperangan itu pun sudah menjadi tuturan para pelaut di pelabuhan-pelabuhan besar dari Banten sampai Blambangan. Demikianlah, ketika kapal-kapal Ceng Ho mulai melewati Mangkang, pelabuhan Semarang zaman itu. Mereka ditemui oleh tentara-tentara Wikrawardhana yang memohon-mohon supaya membeli hasil bumi mereka atau menukar dengan senjata-senjata yang dipunyai dalam kapal-kapal Ceng Ho. Pada waktu itu Ceng Ho bersama sekitar tiga ratus orang - sebagian besar sipil yang beberapa waktu lalu meminta untuk berlayar ke timur, karena mereka ingin menetap di Jawa untuk berusaha di situ -sedang turun ke darat mencari air tawar dan makanan segar. Seorang perwira, namanya Tunggul Petak, masih muda tapi rambutnya putih semua, mendatangi Ceng Ho. Dengan bantuan penerjemah dalam pelayaran, Tunggul Petak menyatakan gagasannya untuk mempertemukannya dengan Wikrawardhana. ''Kami sangat senang seandainya Tuan berkenan bertemu dengan raja kami Wikrawardhana,'' kata Tunggul Petak. ''Terus terang kami memerlukan bantuan Tuan.'' ''Bantuan semacam apa?'' tanya Ceng Ho. ''Pertama, membeli hasil bumi kami dan menukarnya dengan barang-barang yang Tuan bawa dari Cina.'' ''Kami memang berdagang. Kami menjual dan membeli,'' kata Ceng Ho. ''Kira-kira barang apa yang Tuan perlukan dari kami. Kami memerlukan banyak ragam hasil bumi, baik yang dibudidayakan maupun yang alami misalnya zat warna, zat wangi, pala, merica, dan batu permata.'' ''Itu tidak sulit,'' kata Tunggul Petak. ''Karena itu, Tuan perlu bertemu dengan raja kami. Jika Tuan mencarinya di pasar, mungkin Tuan menemukan kesulitan. Tapi melalui raja kami, Tuan dapat memperolehnya dengan mudah. Walaupun raja kami sedang dalam keadaan terjepit, kekuasaannya masih luar biasa.'' ''Baiklah,'' kata Ceng Ho. ''Kami ingin bertemu dengan Raja Wikrawardhana.''

 
***


Maka mereka pun pergi ke istana Wikrawardhana. Ceng Ho pergi ke sana bersama sepuluh orang pengikutnya termasuk Wang Jing Hong dan Wu Ping. Waktu itu Wikrawardhana sedang berbaring di pendapa. Di sekitar pendapa itu, dalam setiap jarak kira-kira satu setengah meter pada kaso-kaso gentingnya digantungi sangkar-sangkar burung perkutut. Dia sedang asyik sekali menikmati perkutut manggung yang digantung di ujung utara tempat di bawahnya dia berbaring dengan dada terbuka tapi dengan keris yang tak pernah jauh dari pinggangnya. ''Daulat, Paduka,'' kata Tunggul Petak di hadapan sang raja sambil bersila dengan kepala menunduk. ''Kami membawa tamu dari tanah jauh, Paduka.'' Bukannya segera melihat ke arah Tunggul Petak yang datang bersujud di hadapannya, Wikrawardhana tetap melihat ke atas, ke sangkar burung perkutut yang paling disukainya seraya mendesis dengan bibir dimonyongkan. ''Ssst. Diam. Jangan bikin kaget perkututku. Dia baru saja hendak berkata sesuatu.''

''Ampun, Paduka,'' kata Tunggul Petak. ''Yang datang ini tamu terhormat dari Kerajaan Cina.''

''Apa?'' Dan, Wikrawardhana pun menoleh. Melihat yang ada di sebelah Tunggul Petak itu berpakaian sutra indah, bersilalah Wikrawardhana di lantai pendapanya.

''Assalamualaikum, Paduka Raja,'' kata Ceng Ho.
''Ya, ya, sejahtera,'' kata Wikrawardhana. ''Mari bersila di sini, Tuan-tuan.''

Ceng Ho dan anggotanya pun bersila di pendapa itu.

''Saya sedang menikmati perkutut saya,'' kata Wikrawardhana seraya menunjuk perkututnya yang paling disukainya. ''Anda lihat perkutut itu?''

Semua melihat ke arah yang ditunjuk oleh Wikrawardhana.
Kata Wikrawardhana, ''Perkutut itu luar biasa. Sisik di kakinya ganjil. Seluruhnya sembilan belas. Dan, bentuknya seperti ganja kinatah, antara lunglungan dan tatahan. Saya memanggilnya Ratna.''
Ceng Ho mengangguk, sekadar mengapresiasi kemauan Wikrawardhana berbual-bual tentang klangenannya itu.
''Mengagumkan,'' kata Ceng Ho.
Lantas Tunggul Petak mengantarai percakapan itu dengan sigap. Katanya, ''Sam Po Kong saudagar dari tanah Cina, Paduka.''
Dalam sikap menghormati sekaligus menunjukkan dirinya relatif pandai, maka berkata Wikrawardhana dengan keramahan alih-alih, ''Tentu saja saya tahu. Mata saya masih bagus.
Pikiran saya jernih. Dan, perasaan saya peka sekali. Tuan-tuan memang saudagar-saudagar besar.''
''Terima kasih,'' kata Ceng Ho. ''Dari pejabat Paduka, Tunggul Petak, kami mengetahui bahwa Paduka dapat menyediakan untuk kami zat warna, zat wangi, pala, merica, dan batu permata.''
''O begitu?'' Wikrawardhana menjadi hangat. ''Itu semua barang-barang yang Tuan butuhkan?''
''Ya, Paduka,'' kata Ceng Ho. ''Menurut Tunggul Petak, Paduka dapat mengatur dengan kekuasaan Paduka.''
Wikrawardhana membusung dada. Dia merasa tersanjung. ''Ya, memang betul. Bahkan, bila Tuan memerlukan rempah-rempah lain dari timur, seperti Ternate ataupun Amboina, saya bisa dapatkan hanya dengan satu selentikan jari tangan kiri.''
''Paduka memang luar biasa,'' kata Ceng Ho.
''Terima kasih,'' kata Wikrawardhana. ''Sekarang, apa yang bisa kami peroleh dari Tuan?''
''Kapal kami membawa banyak tekstil, sutra, dan guci-guci dari ukuran paling kecil hingga paling besar,'' kata Ceng Ho.
''Bagus,'' kata Wikrawardhana. ''Jika begitu, bukalah pasar besok pagi di lapangan keraton saya. Tuan menjual rakyat kami membeli. Kami menjual Tuan membeli.''

''Baik, Paduka,'' kata Ceng Ho.


***

Pembukaan pasar pada esok hari dimulai dengan upacara yang berhubungan dengan isyaratisyarat kepercayaan Jawa lama yang berlaku waktu itu berupa pertunjukan kesenian. Sebelum matahari terbit pada keesokan harinya, sekitar beberapa belas menit setelah subuh, Wang Jing Hong bertanya kepada Ceng Hong tentang sesuatu yang sedang pula dipikirkannya. Ceng Ho bahkan sudah memikirkan itu sejak semalam, tapi belum mengungkapkan apa-apa kepada siapa pun baik kepada Wang Jing Hong dan Wu Ping maupun perwira-perwira terdekat dan terpercayanya. Kata Wang Jing Hong, ''Apakah Wikrawardhana bisa dipercaya?'' ''Bila melihat raut mukanya, dia jujur,'' kata Ceng Ho. ''Berdasarkan garis-garis ming-xiang, hidungnya tergolong gou bi*), artinya dia memiliki perasaan welas asih tinggi. Tapi mulutnya berbentuk huo-kou **), artinya dia bisa tak acuh dan dingin.''
 "Begini, Sam Po Kong," kata Wang Jing Hong. "Bukan saya tidak percaya kepadanya. Hanya saya agak ragu pada keterbukaan yang dia pamerkan kepada kita." "Soal apa misalnya?" tanya Ceng Ho. "Ada sesuatu yang tersembunyi di balik keterbukaan yang dia pamerkan kepada kita," kata Wang Jing Hong. "Saya heran, dari mana dasarnya kau menyimpulkan itu?" kata Ceng Ho. "Ya, memang ini di luar nalar," kata Wang Jing Hong. "Ini semata-mata perasaan saya. Suara hati, barangkali." Ceng Ho tersenyum untuk memberikan semacam rasa menghargai kepada Wang Jing Hong. Katanya, "Suara hati?" "Ya, saya rasa begitu," jawab Wang Jing Hong. "Suara hati atau perasaan memang penting. Kadangkala kita bahkan melupakan bahwa justru perasaan atau suara hati yang menyebabkan akal atau nalar menjadi kukuh sekaligus kaku." Ceng Ho menatap wajah Wang Jing Hong dalam-dalam, menyerap suasana sukma yang sedang dialami Wang Jing Hong. Setelah itu dengan sikap terbuka yang khas, dia berkata, "Jadi apa saranmu?" Wang Jing Hong termangu. Kelihatannya dia belum memikirkan soal saran yang dimaksud. Pertanyaan Ceng Ho dikembalikannya lagi kepadanya. Katanya, "Menurut pendapat Anda bagaimana?" Ceng Ho langsung memotong, "Tidak. Saya bertanya kepadamu. Selama ini saran-saranmu termasuk jitu." Wang Jing Hong menyeka keringat di dahinya. Katanya, "Bagaimanapun kita harus tetap 'sedia payung sebelum hujan', supaya kalau kita keliru toh kita tidak menyesal." Ceng Ho menepuk punggung Wang Jing Hong. "Saya suka kalimatmu itu," katanya sambil tertawa.


***


Dan bagaimana pula pikiran Wikrawardhana tentang Ceng Ho?
Di keratonnya, sebelum malam betul-betul menghitamkan bumi, Wikrawardhana memanggil Tunggul Petak untuk membahas sesuatu yang mendadak membuat Tunggul Petak terkejut.
"Kamu yakin mereka itu saudagar-saudagar kaya?" tanya Wikrawardhana.

"Kenapa Paduka masih bertanya itu?" kata Tunggul Petak balik bertanya. "Bukankah Paduka sudah melihat kapal-kapal mereka disauhkan di tengah laut sana?"

"Ah, kamu memang tolol sekali," kata Wikrawardhana. "Mestinya kamu segera mengerti arah pertanyaan saya."

“Sumpah demi nama semua dewa, saya tidak mengerti, Paduka," kata Tunggul Petak, merukuh sembah dengan rasa berat untuk mengakui apa yang baru diucapkannya.

"Begini, panglimaku yang goblok," kata Wikrawardhana seraya menguyak-uyak rambut Tunggul Petak. "Saya ingin kamu mengubah perilaku pasar."

"Saya siap melakukan perintah Paduka," kata Tunggul Petak. "Tapi, bagaimana kiranya maksud Paduka mengenai 'mengubah perilaku pasar' itu?"

"Kamu tahu, hukum pasar di mana-mana, di antara jagat yang ada manusianya, pasti berlandaskan pada 'sama-sama untung'. Artinya, yang beli merasa untung, yang jual merasa untung. Nah, sekarang saya minta kamu mengubah leluri itu. Kamu harus membuat kita
untung, mereka rugi."

"Caranya bagaimana, Paduka?" tanya Tunggul Petak.
"Siapkan tentara, suruh mereka berpakaian garong, lantas rampok mereka di pasar yang akan digelar besok."

"Apa Paduka tidak berpikir bahwa mereka pasti memiliki juga tentara di kapal-kapal mereka?" tanya Tunggul Petak ragu.
"Justru karena saya tahu, selain saudagar-saudagar sipil, mereka juga membawa tentara di dalam pelayaran mereka itu, maka kita harus melakukan siasat ini."

"Apa yang harus kita lakukan, Paduka?"
"Terlebih dulu kita sandera Ceng Ho."
"Sandera? Bagaimana caranya?"
"Siapkan tentara tiga ratus orang di istana musim panasku. Saya akan bawa dia jalan-jalan menikmati udara sejuk pegunungan. Sementara itu, saudagar-saudagar yang tinggal di sini, yang membuka pasar di sini, sikat semua."

"Apa maksud Paduka 'sikat semua'?"
"Goblok banget kamu. Ya rampas semua barang dagangannya, lantas bantai mereka semua."
"Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian. Semua menteri, termasuk kamu ikut dalam rombongan ke istana musim panas."
Tunggul Petak mengangguk dalam kemestiannya berpikir pelik atas rencana dadakan ini.
"Pasti tentara-tentaranya yang berada di kapal, yang tidak turun ke sini, akan segera bertindak," kata Tunggul Petak.

"Tapi mereka harus berhitung dengan hati-hati, sebab pemimpin mereka menjadi nilai runding untuk memperoleh senjata-senjata mereka. Senjata-senjata itulah yang akan kita pakai untuk
menghajar tentara Wirabhumi sialan itu."

Wikrawardhana tertawa terbahak-bahak membayangkan sukses yang bakal diraihnya. Justru Tunggul Petak yang membayangkan hal yang lebih pelik. Kata Tunggul Petak, ''Tapi, kalau boleh saya memberikan pertimbangan, agaknya kita kurang cukup waktu untuk melakukan ini besok pagi. Mungkin saja saya keliru. Tapi menurut saya, alangkah lebih baiknya kalau dalam satu dua hari kita memberikan mereka kesempatan berpasar di sini, dan setelah mereka kulina dan merasa aman, di hari yang tepat kita melakukan apa yang Paduka inginkan. Wikrawardhana termangu. Dia menyerap saran Tunggul Petak itu. Tampaknya, dengan melihat perubahan wajahnya, Wikrawardhana mau menerima saran Tunggul Petak itu. ''Sekarang, coba katakan, apa yang ada dalam pikiranmu itu,'' kata Wikrawardhana. ''Kelihatannya pikiran-pikiran goblok pun punya manfaat masing-masing.'' ''Saya cuma berpikir sederhana, Paduka,'' kata Tunggul Petak. ''Bagaimanapun, mereka itu orang Cina.'' ''Lantas?'' tanya Wikrawardhana. ''Memangnya kenapa kalau mereka orang Cina? Dalam darahku juga ada darah Cina. Apa kamu lupa, Wi dalam namaku adalah Uy di Cina.'' ''Kalau begitu, musuh Paduka juga Wi...,'' kata Tunggul Petak sambil menundukkan kepala. ''Ya. Memang.'' Wikrawardhana berdiri bertolak pinggang, memandang ke luar, tapi bertanya serius dengan tidak melihat sedikit pun kepada Tunggul Petak. ''Lantas apa masalahnya?'' ''Jangan kita melakukan kesalahan sejarah sampai dua kali, Paduka.'' ''Wikrawardhana terkinjat, lantas membalik badan dengan gerakan gelisah, memandang ke arah Tunggul Petak. Katanya penasaran, ''Apa maksudmu 'melakukan kesalahan sejarah sampai dua kali' itu?'' ''Ya, Paduka,'' kata Tunggul Petak. ''Dulu Kertanegara melakukan itu dan dia keliru. Getahnya tetap terbawa-bawa sampai Raden Wijaya. Kesalahan Kertanegara itu adalah dia tidak bisa bermain dalam marah. Padahal untuk mengatur negara, seorang pemimpin harus bisa bermain dalam kemarahannya. Dan, permainan paling berat bagi seorang pemimpin adalah permainan pura-pura: pura-pura senang di kala tidak senang, pura-pura menjadi domba supaya tidak kelihatan naluri harimaunya, pura-pura kalah supaya lawan yakin akan kemenangannya.'' Kelihatannya Wikrawardhana setuju, tapi dia segera menghentikan omongan Tunggul Petak. ''Ya, sudah,'' kata Wikrawardhana sambil duduk. ''Kamu bicara seperti empu saja. Cepat jawab, apa jalan terbaik untuk kita lakukan. Sebagai panglimaku, kamu pelaksana. Dan sebagai pelaksana, kamu jangan melakukan kerugian. Tindakanmu jangan meleset. Nah, katakan, apa kamu sudah punya jalan terbaik?'' ''Ya, ampun, Paduka,'' kata Tunggul Petak. ''Menurut saya, kita biarkan dulu mereka berpasar di sini sampai sekitar tiga hari. Setelah itu kita jalankan gagasan Tuanku.'' Akhirnya setelah merenung, dan itu dilakukannya dengan sungguh-sungguh, berkatalah Wikrawardhana dengan singkat, ''Jalankan.''


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 18:50
Tugas Tunggul Petak adalah membuat lapangan menjadi ramai, didatangi rakyat dari berbagai penjuru. Pagi-pagi benar telah disiapkan beberapa acara kesenian. Sementara orang-orang
sipil dari kapal rombongan Ceng Ho sudah pula menggelar barang-barang buatan Cina.

Sebentar lagi pasar ini akan kelihatan hiruk-pikuk.
Dari pihak Tunggul Petak, disediakan niyaga kasepuhan, yaitu kelompok pemain gamelan di bawah kelola raja sendiri, yang dipasang di lataran. beberapa tari sudah pula dipentaskan.
Orang-orang pun mulai berdatangan ramai.

Ketika penari perempuan sedang menarikan gerakan-gerakan gemulai pada wirama-tledhekan *), maka Tan Tay Seng mendekati Wu Ping.
''Kau kelihatan acuh tak acuh saja,'' kata Tan Tay Seng.
''Tak acuh bagaimana?'' tanya Wu Ping.
''Maksudku tidak seperti ketika kita di Sunda Kelapa. Kenapa? Apa yang ini kurang menarik dibanding yang di Sunda Kelapa?''
Wu Ping tertawa senang. ''Tentu saja,'' katanya bersemangat, seperti selalu jatuh cinta akan membuat manusia bergairah hidup. ''Sekali aku nyatakan cinta kepada Si Tiwati, maka mataku tertutup pada penari-penari yang lain.''

''Tapi, bukankah yang ini menarik juga, dan mata boleh dibuka untuk menikmatinya.''

''Ya, betul. Mataku memang sedang terbuka untuk menikmatinya. Tapi sayang, hatiku sudah tertutup kepada siapa pun.''
''Cintamu luar biasa sekali pada penari di Sunda Kelapa.''
''Tentu. Aku bahkan melihat Si Tiwati dalam mata terpejam.''
"Ha-ha-ha," Tan Tay Seng ketawa, "Apa artinya itu? Apakah itu yang disebutkan para nenek moyang sebagai cinta itu buta"?
"O, ya, itu benar," kata Wu Ping berapi-api. "Cinta sejati bukan saja buta, tapi sekaligus tuli dan gagu."
"Wah, tiba-tiba saya mendapat ilham untuk membuatnya jadi puisi."
"Saya bahkan sudah menulisnya menjadi puisi. Bukan di atas kertas, tapi di dalam sukma: kesepakatan antara akal dan atma."
"Benarkah?"
"Tidak ragu."
"Bagaimana bunyinya?"
"Kau mau dengar?"
"Tentu."
"Jangan tertawai aku ya?"
"Tentu tidak."
"Soalnya Wang Jing Hong mengejek aku. Katanya, cinta telah membangkitkan seseorang yang tidak berbakat menjadi berbakat dadakan untuk menjadi penyair."
"Tidak. Tidak. Syairkan saja. Siapa tahu benar aku memperoleh ilham dari pengalaman cintamu."

"Begini:

Pahlawan kelahiran dalam banyak peperangan Sudah suratan bertekuk lutut di kaki perempuan Karena lelaki baru menjadi utuh dalam percintaan Cinta sejati mukim di hati manusia yang bertuhan,

Nah, bagaimana pendapatmu?"

"Pasti Wang Jing Hong benar," kata Tan Tay Seng. "Kau memang berbakat."

"Ah, tidak," kata Wu Ping, menolak. "Jangan membuat mataku jadi bulat seperti burung hantu. Nanti hilang ciri Cinaku."



***

"Ah, tidak," kata Wu Ping, menolak. "Jangan membuat mataku jadi bulat seperti burung
hantu. Nanti hilang ciri Cinaku."

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 18:54
Tak lama kemudian, seusai tarian dengan niyaga, giliran Ceng Ho menyuruh rombongannya yang mempertunjukkan kebolehan memainkan liong-liongan, hadir di lapangan. Sang penguasa beserta dengan pejabat-pejabat lengkap, berada di atas tanah tinggi, duduk bersama-sama dengan Ceng Ho bersama rombongan, menyaksikan acara liong-liongan ini. Semua orang terpesona. Apalagi orang-orang yang belum pernah menyaksikan pertunjukan ini. Melihat keterampilan orang yang menarikan liong-liongan itu, Tunggul Petak membisiki kepada Wikrawardhana. "Paduka lihat sendiri. Mereka itu terampil. Jangan-jangan kita kecele."
"Sudah, diam saja kamu," kata Wikrawardhana. "Apa kamu lupa pemeo sepandai-pandai tupai melompat akan terpeleset juga akhirnya?"
"Yang jadi soal, siapa yang menjadi tupainya, Paduka," kata Tunggul Petak.
"Hus. Tutup mulutmu."
Tunggul Petak memang langsung tutup mulut. Tapi itu tidak berarti pikirannya berhenti pula bekerja mengejawantahkan titah Wikrawardhana yang sulit itu.

***


Maka seusai acara resmi pembukaan pasar, Tunggul Petak langsung mengumpulkan tentara kerajaan ke pinggir hutan, tempat yang biasa dibuat sebagai latihan militernya. Seribu orang yang dikumpulkan di situ. Mereka semua pasukan inti. Di sanalah Tunggul Petak membahas rencana yang akan dilaksanakan oleh prajurit-prajurit itu. "Seperti kalian semua tahu, di pantai sedang dilangsungkan pasar dari pedagang-pedagang Cina. Menurut pengakuan pemimpinnya, yang bergelar Sam Po Kong, kapal-kapal yang berlayar bersamanya ke tujuan timur, adalah sepenuhnya berisi barang dagangan dari Cina. Mereka pun mencari barang-barang dari sini yang mereka tidak punyai di Cina. Tapi, raja kita Wikrawardhana meragukan kesejatian pengakuan Sam Po Kong itu. Tidak mungkin mereka tidak membawa tentara. Apalagi mereka menuju ke timur. Sementara wilayah timur, kita semua tahu, adalah wilayahnya Wirabhumi. Daripada senjata-senjata yang diduga raja kita itu ada di kapal, dan itu akan direbut oleh Wirabhumi, lebih baik kita dulu yang merebutnya. Jadi, begini konkretnya. Saya minta pasukan inti ini dibagi dua. Dua hari lagi, kita akan beraksi. Bagian yang pertama, akan berpakaian garong, yang akan menjarah dagangan mereka, dan kalau perlu bunuh, sedangkan yang sebagian lain, tetap sebagai tentara yang bertugas menjaga istana musim kemarau. Bagian yang kedua ini masih dibagi lagi menjadi dua. Bagian yang satu sudah bertugas di istana musim kemarau, bagian yang lain lagi akan mengawal Wikrawardhana dari keraton di pesisir ke atas. Dua bagian yang berada di istana musim kemarau itu tugasnya hanya satu. Yaitu, menyandera pemimpin mereka. Nah, sekarang saya ingin mendengar dari mulut kalian semua. Apakah ada pertanyaan dari komandan masing-masing?" Semua menjawab serempak, "Tidaaak." "Bagus. Sekarang saya ingin dengar, siap kalian semua?" Serempak dengan suara keras dan nada sama keseribu prajurit itu mengucapkan kata-kata ini, ''Kami, prajurit yang mengabdi pada Wikrawardhana, pewaris yang sah Kerajaan Majapahit setelah Hayam Wuruk,akan membela Raja dan kerajaan sampai titik darah penghabisan.'' ''Bagus,'' kata Tunggul Petak.


***


Sementara itu pasar yang berlangsung sampai menjelang sore kelihatannya makin ramai. Ada yang datang untuk berjual-beli, ada pula, dari jumlah yang tak sedikit, datang ke pasar untuk sekadar menonton orang, terutama orang-orang Cina yang berpakaian sutra indah-indah, sedangkan sebagian rakyat, khususnya lelaki dari desa, hanya mengenakan ikat batik di bawah dan di atasnya dari pinggang ke atas ngliga.*)

 
***


Pada tengah hari Wikrawardhana mengundang makan kepada Ceng Ho. Seperti sering terjadi, yang ikut bersama Ceng Ho biasanya cukup sepuluh orang. Yang tidak pernah ketinggalan tentu saja Wang Jing Hong dan Wu Ping, tapi juga Ci Liang, serta dua orang juru tulis yang palsu itu.
Maka jamuan makan siang pada hari pertama pasar sudah dibuka dan kini sedang berlangsung sangat akrab dan meriah. Di atas meja penuh tersedia buah-buahan. Bagi orang yang sudah berhari-hari di atas laut, sejak meninggalkan Cirebon, menyantap buah sungguh senang.
Jangankan menyantap, sebelum menyantap pun, ketika buah-buahan itu dibawa ke atas meja; semangka, nanas, jeruk, telah benar-benar merangsang selera. Buah-buah itu pulalah yang mula-mula dimakan oleh banyak anggota ekspedisi.
Karena rajanya kafir, tak heran di atas meja terlihat pula hidangan seperti pernah terlihat di istana Chen Tsu I di Palembang: raja bajak laut yang sekarang meringkuk di sel dalam kapal induk.

Pasti karena alasan itu pula sebagian anggota ekspedisi, khususnya Ceng Ho, Wang Jing Hong, dan Wu Ping, lebih dulu menyantap buah-buahan.

Melihat hal itu Wikrawardhana berdiri dan mempersilakan Ceng Ho dan orang-orang terdekatnya menyantap masakan yang tersedia di balai-balai khusus dari kayu jati berukir hiasan-hiasan khas sinkretisme Hindu-Buddha, dua agama yang dipersatukan oleh Kertanegara.

''Ayo, kenapa tidak makan hidangan masakan kami?'' kata Wikrawardhana. ''Saya akan merasa senang dan terhormat karena kunjungan ini. Ayo, makanlah sampai kenyang.''

Tapi untuk tampil sopan, dan dalam rangka menghormati tuan rumah yang telah bersikap bersahabat, Ceng Ho cukup menjawab dengan kalimat mengambang ''Paduka tahu kami telah berhari-hari tidak melihat buah-buahan segar seperti ini. Jadi maaf
kalau kami kelihatan rakus memakan buah-buahan ini,'' kata Ceng Ho.
 
''O, begitukah?'' kata Wikrawardhana. Dengan pandai sekali menyembunyikan rencana jahatnya, dia bahkan berkata, ''Bawalah buah-buahan kami sebanyaknya untuk pelayaran Anda.''
''Terima kasih.''
''Setelah dari sini Tuan-tuan akan ke mana lagi?'' tanya Wikrawardhana.
'"Terus ke timur lagi. Dalam catatan navigasi kami, di timur Jawa ada pulau yang semua rakyatnya hidup damai,'' kata Ceng Ho.
''Bali?'' tanya Wikrawardhana.
''Ya, betul,'' sahut Ceng Ho. ''Dan dari situ kami ke utaranya lagi, ke negeri yang rakyatnya mencintai laut.''
''Bangsa Bugis?''
''Ya, betul,'' jawab Ceng Ho lagi.



***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 18:57
Sehabis santap siang, Ceng Ho dan anggota rombongannya diajak melihat koleksi-koleksi ayam alas yang seluruhnya terdiri atas lima ratus ekor, semua dikurung dalam sangkar ukir.

''Selain perkutut, saya penggemar ayam alas,'' kata Wikrawardhana. ''Ayam alas bagi saya adalah pemacu untuk terus berjaga.''
''Berjaga?'' tanya Ceng Ho.
''Kluruk-nya setia membangunkan saya.''
''Kalau kluruk-nya terus membangunkan Anda, bisa-bisa ayam-ayam ini merecoki tidur Anda,'' kata Wang Jing Hong.

''Saya memang harus terus awas. Siapa tahu musuh-musuh saya dari timur akan menggarong di sini pada waktu saya tidur.''
''Siapa musuh-musuh Anda itu?''
''Garong-garong bersenjata dari Wirabhumi.''

Dan ketika Wikrawardhana bercakap demikian, datanglah ke situ Tunggul Petak. Tidak ada kesan dia datang tergopoh-gopoh. Dia menghampiri dengan santai, menemui Ceng Ho dan rombongan yang bercakap-cakap dengan Wikrawardhana.

''Selamat siang,'' kata Tunggul Petak kepada Ceng Ho.
''Selamat,'' jawab Ceng Ho. ''Saya tidak melihat Anda tadi.''
Tunggul Petak seperti salah tingkah. "Ya memang saya terlambat," katanya. Dan ternyata Wikrawardhana yang lebih cerdik memanfaat kekagokan ini. Dengan cepat bisa mendapat gagasan membuat percakapan ini meyakinkan. Kemampuannya melahirkan gagasan melebihi seorang kreator yang memerintahkan ilham datang dalam pikirannya -bukan sekadar menunggu ilham.
Kata Wikrawardhana dengan cergas sekali. "Saya memang menyuruh dia menyiapkan istana musim panas saya di perbukitan selatan. Saya belum mengatakan kepada Anda tadi bahwa jika Anda berkenan malam ini, atau besok malam, atau kapan Anda suka, saya ingin Anda
menginap di istana musim panas saya."

"Benarkah?" kata Ceng Ho.
"Ya," jawab Wikrawardhana. "Saya akan merasa terhormat jika Anda berkenan."
"Pasti itu indah sekali," kata Ceng Ho.
"Kabut masih menyelimutnya walaupun matahari sudah menyalaminya," kata Wikrawardhana.
"Indah sekali," kata Wu Ping.
"Dewa memang sedang tersenyum ketika mencipta tanah Jawa," kata Wikrawardhana. "Jadi, semuanya indah." Wikrawardhana memandang sambil menunggu tanggapan, lalu berkata dengan kesan buru-buru. "Nah, saya menunggu jawaban Tuan-tuan. Kapan kira-kira Tuan-
tuan mau menginap di istana musim panas saya?"

"Itu tawaran yang berpekerti. Terima kasih," kata Ceng Ho sambil melihat ke arah Wang Jing
Hong. "Terserah juru mudi saya ini. Saya selalu mendengar sarannya."
"Saya pun merasa senang saja," kata Wang Jing Hong.
"Terima kasih," kata Wikrawardhana.
"Kalau begitu, bersiap-siaplah," kata Ceng Ho.
Dan mereka pun bersiap-siap.



***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 19:00
Ceng Ho dan lain-lain pulang dulu ke tenda. Mereka melewati pasar. Lebih dari dua ratus orang sipil anggota pelayaran Ceng Ho itu yang berpasar. Di situ mereka menutup lapak masing-masing dengan semacam tenda yang jika hujan datang mendadak, dengan menarik satu ujung tali tertutuplah tenda itu menyerupai tenda-tenda yang lazim dipakai untuk tidur. Pedagang-pedagang itu telah sepakat menggelar pasar di lapangan luar keraton selama harihari pekan. Dan selama itu mereka tidak lagi berpikir untuk kembali ke kapal. Merekalah di antara orang-orang sipil yang sewaktu di Palembang meminta untuk meneruskan pelayaran ke Jawa, karena mereka berkeinginan mukim di Jawa, bekerja di sini. Kelihatannya mereka senang di sini. Tan Tay Beng berada di tengah-tengah mereka. Juga gadis Ling Ling. Itu mereka katakan kepada Ceng Ho ketika Ceng Ho berjalan di antara mereka yang berpasar di situ. Tanya Ceng Ho, "Apa kalian bermaksud menetap di sini saja?" "Ya, saya suka di sini," kata Tan Tay Seng. "Tapi, kalau ada umur yang lebih bagus, saya akan mencari Mangkang. Dari sana saya akan ke Magelang, menyatukan roh leluhur dan para Buddha." "Itu bagus," kata Ceng Ho. Dan dari kata-katanya berikut ini serta merta orang akan mengenal Ceng Ho yang sejati, sebagai pemimpin yang sangat toleran kepada orang-orang yang tidak sama iman dengannya. "Kalau kau mau menyatukan rohmu dan roh leluhur, ingat kisah Zen
Buddha tentang pejabat istana, Wu, yang berkata kepada Jian Tang: para leluhur menenangkan pikiran dengan diam di gunung, minum air sungai, melupakan kemasyhuran insani, memandang manusia lain karena manfaatnya. Apakah kau bermaksud mencapai ketenangan?"
"Ya, Sam Po Kong," jawab Tan Tay Seng.
"Kebajikan dan kebenaran itu universal. Di dalam menyepi diri kau bisa merenung. Tapi yang lebih sulit di tempat hiruk pikuk kau bisa melahirkan perenungan yang lebih dalam. Kau berbakat. Kembangkanlah itu."
"Terima kasih, Sam Po Kong." Dan Tan Tay Seng menunjuk Wu Ping yang berada di sebelah Wang Jing Hong. "Wu Ping juga berbakat, Sam Po Kong. Puisinya kuat."
Ceng Ho memandang kepada Wu Ping. "Benarkah?"
Wu Ping kelihatan malu. Itu dikatakannya pula. "Saya jadi malu," katanya.

Wang Jing Hong mengorek Wu Ping dan membisiknya. "Inilah waktunya kau perlu bicara."
"Bicara?" Ceng Ho kelihatan terkail oleh bisikan Wang Jing Hong yang memang dimaksudkan supaya didengar pula Ceng Ho. Sambil berjalan, dan mereka semua berjalan bersamanya, Ceng Ho berkata, "Memangnya ada rahasia yang disembunyikan?"
Wu Ping kelihatan lebih salah tingkah. Dia hanya tersenyum dengan kepala terangguk-angguk seperti per.
Kata Wang Jing Hong, "Ya, itu adalah rahasia paling indah yang melahirkan ilham peri hidup di seberang ajal."
''Sudah dapat diterka,'' kata Cang Ho. ''Pasti itu urusan cinta.''
Akhirnya dengan tersipu-sipu Wu Ping mengaku, ''Memang betul. Sudah lama saya akan mengatakan ini tapi masih ragu.''
''Ragu itu bahasa akal. Padahal cinta itu bahasa hati. Begitu ditimbang-timbang dengan akal, cinta akan selalu kehilangan sejatinya sebagai perasaan.''
Ceng Ho masuk ke dalam tenda. Yang lain juga masuk ke tenda masing-masing. Sebentar lagi Tunggul Petak akan menjemput mereka ke istana musim panas, lima belas kilometer dari pesisir

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 19:07
Ketika mereka bersiap-siap, dan selanjutnya menunggu dijemput Tunggul Petak, di pendapa yang biasa, yang setiap ujung atapnya digantungi perkutut-perkutut kesayangan Wikrawardhana, berkatakan Wikrawardhana dengan senang, ''Siasat kita akan berjalan sesuai
dengan rencana.''
''Apakah tidak lebih baik malam ini saja kami laksanakan keinginan Paduka?'' tanya Tunggul Petak.
'Pasukan-pasukannya sudah siap?'' tanya Wikrawardhana.
''Siap sekali, Paduka,'' jawab Tunggul Petak.
''Yang di lapangan itu berpakaian garong?'' tanya Wikrawardhana ingin yakin betul.
''Bukan sekadar berpakaian garong, melainkan juga pakaian yang membawa ciri Blambangan, daerah Wirabhumi.''
''Bagus. Untuk hal-hal tertentu, kamu boleh diandalkan, kecuali pembawaan kodratmu yang memang tetap goblok.''
''Jadi, saya melakukan kesalahan?'' tanya Tunggul Petak.
''Kebetulan tidak,'' Wikrawardhana termenung sejenak. Lalu katanya tergesa-gesa. ''Tapi, tunggu, tadi kamu bertanya apakah malam ini kamu melaksanakan pikiranku itu?''
''Ya, Paduka. Kami sudah siap benar.''
''Baik. Jawabannya nanti malam, setelah kita melihat perkembangan. Sekarang, siap-siap saja

jemput mereka, dan bawa dengan kereta-kereta ke istanamu itu.'' ''Baik, Paduka. Saya laksanakan.''


***


Sementara itu, bagaimana pula pikiran yang berkembang di antara kedua tikus yang ditaruh di rombongan Ceng Ho sebagai juru tulis? Dang Zhua dan Hua Xiong berada di luar area pasar.
Mereka berdua berada di luar gapura keraton. Di situ ada sebuah balai-balai untuk petugas ronda malam.
Sambil duduk dengan sesekali melihat ke belakang atau ke samping dengan mata jelalatan, berkata Dang Zhua kepada Hua Xiong.

''Kelihatannya banyak orang sipil yang menyenangi daerah ini. Bagaimana rencana kita? Apakah kita juga berhenti di sini dan tidak kembali ke Cina?''
''Gila lu. Lantas apa tanggung jawab kita kepada Liu Ta Xia nanti?''
''Ah, sebodoh amat sama dia.''
''Jangan bilang begitu.''
''Abis?''
''Bagaimanapun kita harus ikut pulang bersama kapal ini, sebab tugas kita memang
melaporkan kekurangan-kekurangan Sam Po Kong.''
''Tapi...''
''Tapi apa? Ayo bilang. Kamu mau bilang bahwa dia baik, dia bagus, dia justru punya kelebihan?''
Dang Zhua terdiam. Tak bilang apa-apa.
Hua Xiong menyudutkan. ''Ya kan? Kamu mau bilang begitu?''
''Ah, kamu yang bilang begitu,'' kata Dang Zhua. Lalu dia berdiri.



***


Pada saat yang sama, orang yang sedang dirasani Dang Zhua dan Hua Xiong baru saja mengatur pembagian tugas. Ceng Ho tiba-tiba mendapat firasat tak baik. Tapi untuk menguji firasat itu, biasa dia bincangkan dulu dengan Wang Jing Hong.
Mulanya Ceng Ho hanya berkata, ''Saya harus kembali dulu ke kapal.''
''Tapi, bagaimana kalau Tunggul Petak dan Wikrawardhana menjemput kita ke istana musim panasnya?'' kata Wang Jing Hong dalam kalimat tanya yang menyangsi. ''Sebentar lagi mereka menjemput kita.''
''Baiklah,'' kata Ceng Ho. ''Kau berangkat saja. Saya menyusul besok.''

''Kelihatannya ada yang penting sehingga Anda berkeras akan kembali ke kapal?'' kata Wang Jing Hong.
''Supaya kita tidak kelimpungan karena hujan tiba-tiba turun dan kita tidak punya payung,''
kata Ceng Ho. ''Jadi, berangkat saja ke istananya. Saya perlu setidaknya lima puluh orang saja tentara untuk siap-siap di pantai. Orang-orang sipil kita yang berpasar di sini pun harus
merasa aman. Jangan sampai mereka tidak nyenyak tidur di tenda mereka itu.''

''Agaknya Anda kepikiran atas pernyataan Wikrawardhana tentang musuhnya dari timur yang bisa datang ke sini sebagai garong,'' kata Wang Jing Hong. ''Apa begitu halnya?''
"Jadi, apa itu berarti ada prasangka buruk?" tanya Wang Jing Hong.
"Mungkin bukan prasangka, melainkan memang berjaga-jaga," kata Ceng Ho sambil menoleh keluar.


***

Di luar sana Tunggul Petak bersama beberapa orang lain sedang menunggang kuda, mendatangi tenda yang ditempati Ceng Ho.
Ceng Ho dan Wang Jing Hong serta Wu Ping menyambut Tunggul Petak.

"Apakah kita siap berangkat ke atas?" tanya Tunggul Petak setelah turun dari kuda.
"Ya," jawab Ceng Ho. "Tujuh orang."
Tunggul Petak agak tawar hati. Sekelebat dia berpikir: jangan-jangan Ceng Ho tidak ikut dalam hitungan tujuh orang yang baru dikatakannya. Maka dalam keraguan dan ingin yakin
akan jawabannya, dia bertanya, "Tujuh termasuk Anda kan?"
Ceng Ho memahami rasa tawar hati Tunggul Petak. Jawabnya dengan tekanan yang menurutnya tidak mengecewakan, "Tujuh tidak termasuk saya."

Wajah Tunggul Petak langsung berubah mewakili perasaannya yang kecewa. Katanya dengan tekanan tertentu yang berkesan hendak membujuk, "Kenapa?"

"Jangan kecewa," kata Ceng Ho menegakkan harapan. "Saya akan menyusul besok."

Berkerut dahi Tunggul Petak. Ada hal pelik yang dia pikirkan, yang tidak diketahui Ceng Ho.

Dan, walaupun sedang memikirkan sesuatu yang mencelakakan, tak urung dia coba berpenampilan seperti anak domba. Dia coba memberi senyum yang sulit ketika berkata, "Jadi Anda menyusul?"
"Ya."
"Betulkah?"
"Tentu. Berbulan-bulan di laut pasti menjenuhkan. Maka tawaran untuk menginap di istana yang sejuk di daerah pegunungan sungguh menyenangkan."

"Baiklah."
Toh kerut di dahi Tunggul Petak tidak kendur. Artinya, dia belum lolos dari berpikir pelik akan perubahan mendadak ini. Yang dia pikirkan seketika saat ini: bagaimana bisa menyusun siasat, dan siasatnya tidak salah diterjemahkan oleh prajurit-prajuritnya, kemudian bagaimana pula melaporkan perkembangan ini ke Wikrawardhana.


***


Sebentar lagi dia harus mengiring tujuh orang itu untuk berangkat ke atas. Selain Wang Jing Hong dan Wu Ping, tentu di antara tujuh orang itu harus ada juga Dang Zhua dan Hua Xiong. Ketika ketujuh orang itu berangkat menuju ke atas, ke daerah perbukitan, Ceng Ho juga berangkat, dengan sekoci bersama dua orang ke kapal induk yang tak bisa bersandar di dermaga.


***

Yang jadi soal, setelah Tungguk Petak mengiring ketujuh orang itu berangkat ke selatan, ke daerah pegunungan itu, apakah benar prajurit-prajurit Wikrawardhana yang sudah diberi pesan itu dapat menerjemahkan dengan baik siasat tersebut. Mungkin saja prajurit-prajurit Wikrawardhana memahami benar apa yang harus mereka lakukan. Tapi, apakah yang mereka lakukan itu tepat pada waktunya atau tidak. Sebab, terlambat atau terlalu cepat melaksanakan perintah untuk beraksi senjata, nilainya sama, yaitu kesalahan yang membuat tidak seorang pun terpanggil untuk memuji dan menghargai. Kecenderungan itu sangat mungkin terjadi bagi tentara-tentara Wikrawardhana. Mereka terlalu lebih berperang. Dan mereka bukan tentara yang terus-menerus menang. Tentara-tentara itu sebagian besar telah mengenakan pakaian hitam-hitam - asal hitam, dan tidak sama, pendek kata bukan uniform - yang lazim dikenakan para begal, rampok, garong. Mereka semua telah berada di luar wilayah keraton, di pinggir hutan. Di balik pohon-pohon besar, di bagian hutan yang belukar, mereka dapat mengintai kuda-kuda yang ditunggangi ketujuh orang rombongan Ceng Ho bersama Tunggul Petak dan beberapa tentara yang mengawal. Tunggul Petak tahu persis di mana tentara-tentaranya yang berpakaian hitam-hitam bersembunyi dan mengintai. Itu sebabnya beberapa kali dia memutar kuda untuk berjalan di belakang, dan dengan begitu memberikan aba-aba untuk dipahami prajuritnya yang mengintai, agar jangan melakukan gerakan apa-apa. Dengan tangan itu dia memberikan isyarat bahwa tamu-tamunya ini harus aman sampai di istana musim panas. Juga bahwa bukan malam ini mereka bergerak untuk melakukan apa yang diperintahkannya itu. Apakah prajurit-prajurit yang telah mengenakan pakaian hitam-hitam itu mengerti isyarat yang dilakukan Tunggul Petak melalui tangannya? Agaknya tidak! Memang betul, mereka mundur masuk ke dalam belukar yang lebih pekat, yang tidak terlihat oleh Wang Jing Hong dan anggota yang lain, tapi semangat untuk membantai, bukan berperang, kepalang sudah tertanam dalam hati mereka, dan karenanya hati mereka semuanya sudah berasap.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 19:12
Ceng Ho tak tenang hati. Dia memang sudah tiba di kapal yang disauhkan di tengah laut-berhubung kapal besar ini dan kapal-kapal setengah besar yang lain tak bisa menyandar di dermaga-dan dia sudah pula menunjuk prajurit-prajuritnya yang akan dibawanya turun ke darat untuk berjaga-jaga terhadap orang-orang sipil yang berpasar di sekitar luar keraton. Tapi, sampai matahari terbenam, Ceng Ho masih belum turun ke darat. Bukankah Ceng Ho berkata kepada Wang Jing Hong bahwa dia baru akan menyusul pada keesokan harinya? Artinya, dia bisa istirahat sejenak di kapal. Tapi perasaan tak tenangnya itu datang lebih keras lagi setelah salat isya. Begitu dia selesai salat, perasaan tak tenangnya diperkuat oleh pikiran-pikiran yang seakan menyuruhnya untuk segera saja, sekarang, turun ke darat bersama-sama dengan prajurit-prajuritnya itu.


***


Firasat Ceng Ho, orang yang memiliki indra yang luar biasa peka, atau katakanlah orang yang menjadi pengambil keputusan dengan kebijakan yang tepat, memang tidak keliru. Apa yang dirasakannya itu, yang telah membuat hatinya tak tenang, memang beralasan. Bersamaan waktunya setelah dia menunaikan ibadahnya, tentara-tentara Wikrawardhana yang telah terbakar oleh semangat membantai itu, ramai-ramai menyerang orang-orang sipil yang berada di tenda masing-masing. Tentara Wikrawardhana yang demikian banyak memang menyulitkan orang-orang sipil yang tiada bersenjata. Dengan gampang tentara-tentara Wikrawardhana yang berpakaian garong itu membantai dan menjarah barang-barang dagangan mereka. Beberapa orang telah menjadi marhum di situ. Tapi di bagian tenda yang ujung, di dekat tenda yang tadi digunakan Ceng Ho, berdiri dua orang sipil yang siap menghadapi serangan tentara-tentara Wikrawardhana-dari satu kelompok yang ditugaskan Tunggul Petak untuk menyerang pasar-mula-mula dengan tangan kosong. Sebab, memang mereka tidak memegang senjata. Kedua orang sipil ini adalah mereka yang kebetulan memiliki cita-cita dan ketetapan hati untuk memilih Jawa Tengah sebagai tujuan. Siapa kedua orang yang dimaksud ini? mereka lelaki muda dan perempuan muda. Yang lelaki Tan Tay Seng, yang perempuan Ling Ling. Ketika tentara-tentara Wikrawardhana menyerang mereka, mereka melawan dengan gigih. Mereka melawan bukan hanya sekadar melawan, tapi mereka juga melawan dengan cara yang teratur: memanfaatkan serangan yang hanya berlandas pada kemauan untuk membantai dan menjarah, dengan tangkisan-tangkisan yang tenang. Dengan mengatakan tangkisan-tangkisan yang tenang, maka dalamnya berarti, mereka bukan hanya menangkis, tapi juga dalam tangkisan itu mereka melakukan pukulan balik. Oleh sikap yang demikian terarah, maka dalam beberapa gerakan saja, mereka berhasil mengalahkan kemudian merebut senjatasenjata yang digunakan oleh tentara-tentara Wikrawardhana yang menyerang mereka. Pada suatu ketika Tan Tay Seng melihat seseorang sedang menumpuki badannya ke atas badan Ling Ling dan siap hendak menikamkan pedangnya. Dengan cepat Tan Tay Seng mengambil tumbak dari salah seorang tentara Wikrawardhana yang baru ditusuknya, lantas melemparkannya ke tentara yang hampir membunuh Ling Ling.

Tombak itu terbang dengan bagusnya ke tubuh tentara Wikrawardhana dan mampuslah dia. Namun gelombang tentara Wikrawardhana itu lebih banyak lagi datang ke lokasi pasar ini. Melihat itu Tan Tay Seng berpikir dengan cepat, dan dia termasuk orang cergas. Dia menarik lengan Ling Ling. Kata Tan Tay Seng kepada Ling Ling. "Kita tidak boleh mati konyol di sini." "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ling Ling. "Menyingkir saja." "Ayo." Dan mereka berdua berlari. Mula-mula mereka menuju ke samping dinding keraton. Tapi kemudian mereka berlari lagi ke arah barat yang pekat oleh hutan. Sekitar sepuluh orang mengejar mereka ke situ. Dan itu lebih baik, sebab menurut pikiran Tan Tay Seng, melawan sepuluh orang di tengah hutan, mengirit tenaga.


***

Lantas bagaimana dengan keadaan Wang Jing Hing, Wu Ping, dan lain-lain di istana musim panas?
Tentara-tentara Wikrawardhana yang berpakaian hitam-hitam itu juga menyerang. Di situlah kehebatan Tunggul Petak yang sering dikata-katai goblok oleh Wikrawardhana. Dengan cepat dia berpura-pura menyembah kepada tentara-tentara Wikrawardhana itu.
Katanya sambil pura-pura menangis, "Jangan bunuh kami. Kalian mau ambil apa saja dari kami, silakan, tapi bukan nyawa kami."

Dan tentara Wikrawardhana, yang sesungguhnya hanyalah bawahan Tunggul Petak, menanggapi sandiwara Tunggul Petak dengan sandiwara yang sama-sama meyakinkan. Dia menyepak perut Tunggul Petak. Cara menyepak itu kelihatan sungguh-sungguh, sehingga Tunggul Petak pun kelihatan sungguh-sungguh pula terpelanting ke belakang.
"Ampun, Tuan," kata Tunggul Petak memohon sambil soja di hadapan tentara berpakaian hitam itu.
"Tutup mulutmu!" kata tentara itu sambil menyepak lagi.
Bagaimanapun ada rasa terinjak-injak bagi Wang Jing Hong melihat adegan yang tidak diketahuinya sebagai permainan pura-pura belaka.
"Tunggu," kata Wang Jing Hong.
Dan secepat kata itu terucapkan, langsung puluhan tentara Wikrawardhana yang menyamar sebagai garong melingkar mengepung Wang Jing Hong dan lain-lain.
 
Apakah Wang Jing Hong gentar melihat kenyataan ini?
Dengan cepat Wang Jing Hong berpikir. Jika dia melawan, itu memang suatu hal yang patut.
Tetapi melawan tanpa memperhitungkan untung-rugi akan menjadi keputusan yang tidak arif.
Dia berhitung. Dia hanya bersama segelintir orang. Tak sampai sepuluh orang. Salah seorang di antara rombongannya ini memang perwira yang termasuk andal, yaitu Ci Liang. Tapi jika hanya dia dan perwira itu yang melawan puluhan orang di depan mata dan ratusan di belakang sana, sungguh keputusan yang tetap tidak arif. Pasti orang-orang yang bersamanya akan menjadi korban sia-sia. Rupanya tentara yang baru tampil sebagai panglima garong ini dapat juga membaca apa yang melintas dalam pikiran Wang Jing Hong. Dengan tanpa diduga-duga, tentara yang menyamar ini langsung mengayunkan keris ke arah Wang Jing Hong. Untung, Wang Jing Hong segera menangkis. Tapi, wai, ujung keris itu telah menggores lengannya, menyobek jubah yang dipakainya. Ci Liang memasang kuda-kuda untuk siap menghadapi kemungkinan lain. Dan begitu melihat hal itu, ratusan tentara lain yang sama-sama berpakaian hitam di luar sana langsung maju, membuat pagar yang ketat. Wang Jing Hong mengangkat tangan kiri. Dengan itu dia memberikan tanda kepada Ci Liang untuk tidak melakukan tindakan apa-apa sebab keadaannya akan membuat mereka konyol.  Tentara-tentara Wikrawardhana pun segera menangkap ketujuh orang itu, yaitu Wang Jing Hong dan rombongannya. Wang Jing Hong tidak menaruh curiga bahwa ini semua suatu permainan, rekayasa, sebab ketika tentara-tentara itu menyekapnya, Tunggul Petak dan pengiringnya yang tadi menjemput Wang Jing Hong dan rombongannya itu juga ditendangtendang. Untuk meyakinkan permainan ini Tunggul Petak tak henti-henti mengulang kata-katanya yang sama, "Tolong, jangan bunuh kami. Ini semua tamu-tamu Wikrawardhana." "Persetan dengan Wikrawardhana," kata tentara yang memimpin penyergapan. "Lantas, kami akan diapakan?" kata Tunggul Petak sambil mengedipkan mata yang tidak dilihat Wang Jing Hong atau Wu Ping atau CiLiang, apalagi Dang Zhua dan Hua Xiong... "Kami akan bawa kalian semua ke hutan, ke tempat kami," kata yang ditanya dengan tetap berpenampilan sangar dan bahkan lebih buas. Lagi Tunggul Petak soja sambil meratap-ratap. "Tolong. Jangan sakiti tamu-tamu kami." Justru kata-kata itu membuat bawahan Tunggul Petak yang menyamar menendang-nendang ketujuh orang anggota Ceng Ho. Sambil menendang, si tentara yang memimpin, berteriak keras kepada Tunggul Petak, "Diam!" Lalu tentara-tentara itu menyeret ke bagian gelap, masuk ke dalam hutan. Mereka bersoraksorai.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 19:15
Pada menit terakhir sebelum Ceng Ho turun dari kapal untuk ke darat, tiba-tiba mendapat semacam bisikan di dalam hati yang menyuruhnya menggandakan tentara yang akan dibawanya. Maka lekas-lekas dia mempersiapkan lagi lima puluh orang tentara dari pasukan yang paling andal untuk berangkat bersamanya. Maka seratus orang tentara yang ikut bersamanya malam itu juga ke darat. Mereka berlayar ke darat menggunakan sekoci-sekoci biasa. "Dayung cepat," kata Ceng Ho. Firasat Ceng Ho memang beralasan. Setelah meluncur dengan cepat di atas laut dan kemudian mendarat di tepian, dan berjalan pula cepat-cepat ke tanah lapang yang dibuat pasar itu, bukan alang kepalang terkejut Ceng Ho. Semua orang sipil yang memasang tenda di situ untuk tempat menginap mereka sudah menjadi mayat. Alangkah terpukul Ceng Ho melihat orang-orang sipil itu mati dibantai di situ. Dia menyuruh perwiranya menghitung mayat-mayat yang bergelimpangan. "Seluruhnya seratus tujuh puluh orang, Sam Po Kong," kata perwira yang menghitung. Ceng Ho tafakur. Mulutnya komat-kamit. Kelihatannya dia sedang membilang-bilang di dalam hati.
''Apa yang harus kita lakukan sekarang, Sam Po Kong?'' tanya perwiranya.
''Yang jelas Wikrawardhana harus menjawab, mengapa rakyat sipil kita sampai begini,'' kata Ceng Ho. ''Menjawab berarti mempertanggungjawabkan.''

''Jangan-jangan...'' Perwira ini tidak sanggup melanjutkan kalimat dalam pikirannya.
Namun hal itu cukup membuat Ceng Ho memikirkan sesuatu pula. Katanya segera, ''Apa yang ada dalam pikiranmu?''
''Keadaan Wang Jing Hong dan lain-lain,'' katanya.
Mata Ceng Ho membelalak. ''Kau betul,'' katanya. ''Kelihatannya kita harus menggandakan lagi tentara kita. Sekarang juga kau kembali ke kapal. Turunkan lagi seratus prajurit tambahan. Kelihatannya kita sedang menghadapi serigala berbaju domba.''
''Baik, Sam Po Kong,'' kata perwira itu lantas bergegas ke pantai untuk selanjutnya ke kapal-kapal yang disauhkan di tengah laut sana.

***

Dan Ceng Ho pun berangkat pula ke keraton Wikrawardhana. Dari lapangan yang dipakai pasar ini ke keraton tidaklah jauh. Ceng Ho cukup berjalan. Dan sekitar seratusan prajuritnya mengikuti dari belakang. Ketika Ceng Ho dan prajuritnya berjalan ke situ, dari arah gelap di sebelah barat kelihatan dua orang berlari-lari menghampiri mereka. Yang paling depan, yang larinya lebih kuat, menyerunyeru nama Ceng Ho. "Sam Po Kong!'' Semua terhenti, memandang ke arah kedua orang itu. Siapa mereka? Ternyata mereka bukan hanya dua orang. Di belakang kedua orang itu masih ada lagi beberapa orang lain yang sama-sama berlari antara rasa takut dan plong serta harapharap cemas. Yang paling depan, orang yang menyeru nama Ceng Hong, tak lain adalah Tan Tay Seng. Dia menarik tangan Ling Ling. Sisanya yang di belakang mereka adalah orang-orang yang berhasil menyelamatkan diri di belukar. Tan Tay Seng terengah-engah. ''Mereka semua garong. Jumlahnya ratusan,'' katanya. ''Dan mereka membabi buta.'' Ceng Ho penasaran. ''Kenapa kau yakin mereka itu garong?'' tanya Ceng Ho. ''Mereka semua berpakaian hitam,'' kata Tan Tay Seng lagi. Ceng Ho menyerap keterangan itu. Memang sejak tadi dia berprasangka tentang pernyataan Wikrawardhana mengenai garong-garong tersebut. Tapi sekarang timbul pertanyaan di dalam hatinya, sekejap dan cepat sekali, benarkah yang digambarkan Tan Tay Seng ''membabi buta'' itu sungguh-sungguh garong? Kalau benar mereka garong, di mana hubungan kebenaran pernyataan Wikrawardhana bahwa dia memelihara ayam alas supaya sewaktu-waktu dapat membangunkannya? Pertanyaan lebih spesifik yang timbul dalam pikiran Ceng Ho sekarang: di mana tentaratentara Wikrawardhana saat terjadi pembantaian ini? Tentu saja pertanyaan ini belum dapat dijawab sebelum Ceng Ho bertemu Wikrawardhana di keraton.


***


Bagaimanapun pertanyaan di dalam pikiran Ceng Ho tidak gampang menjadi tawar. Apalagi setelah dia berada di depan gapura keraton milik Wikrawardhana, dan di depan sana ada empat orang tentara berjaga-jaga. Dengan melihat keberadaan tentara yang berjaga di situ, dengan serta merta Ceng Ho menyimpulkan di dalam sana ada Wikrawardhana.
''Kami mau bertemu Raja,'' kata Ceng Ho.
''Tidak boleh,'' kata penjaga.
Ceng Ho heran. Dia memandang dengan syakwasangka lebih besar. Apa sebetulnya yang terjadi?



***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 19:21
Yang terjadi, sekarang Tunggul Petak sedang melapor ke Wikrawardhana tentang hasil kerjanya itu.
''Semua yang berpasar sudah mati. Barang-barang mereka sudah diambil...'' Tunggul Petak kelihatan seperti ingin dipuji.

''Aku tidak bertanya soal mereka yang berpasar itu,'' kata Wikrawardhana. ''Yang aku tanyakan, bagaimana keadaan mereka yang ditawan di luar istana musim panasku.''
''Semua sudah berjalan dengan sempurna, Paduka,'' kata Tunggul Petak dengan bangga dan ingin dipuji.
''Dan pemimpin mereka?'' tanya Wikrawardhana.



***


''Tujuh orang kami tawan. Semua kami ikat di pohon dan dijaga ketat oleh dua ratus tentara kita.''
''Yang aku tanyakan: pemimpin mereka,'' kata Wikrawardhana menekankan dengan suara datar.

''Juru mudi mereka berada di sana,'' kata Tunggul Petak.
Wikrawardhana berteriak geram. ''Bukan juru mudinya, goblok!''
Tunggul Petak bingung. Dia berlagak pilon untuk menutupi rasa takut dan bersalah. ''Jadi siapa, Paduka?''
''Goblok kamu!'' kata Wikrawardhana. ''Dasar goblok. Sekali goblok, tetap goblok! Yang aku  maksudkan Sam Po Kong.''

Tunggul Petak berkeringat. Keringat di wajahnya sebesar biji-biji jagung. Dia pun gemetar.

Dia kehilangan kata-kata. Akhirnya dia diam menunggu saja caci maki rajanya.

Wikrawardhana tidak hanya memaki, tapi juga menaruh kakinya di atas kepala Tunggul Petak. "Kamu ini cuma rambut saja yang putih. Tapi di belakang tengkorak kepalamu itu
bukannya otak, tapi tahi. Goblok, otak udang!"
Tunggul Petak tidak berani bilang apa-apa. Dia hanya menyatukan kedua telapak tangannya, membungkuk-bungkukkan badan, menyembah-nyembah.

Wikrawardhana tidak peduli pada sembah Tunggul Petak. Dia naikkan kembali kakinya diatas kepala Tunggul Petak. "Hei, goblok! Sekarang kamu mau bagaimana kalau tiba-tiba Sam Po Kong itu ke sini lantas menyerang kita?"
Dengan stel yakin Tunggul Petak menjawab, "Tidak mungkin, Paduka. Dia pulang ke kapal. Dan baru besok turun lagi ke darat."
"Lo? Apa alasannya kamu bilang begitu?" kata Wikrawardhana.
"Memang begitu, Paduka. Dia pulang ke kapal, menginap di kapal, dan nanti besok baru dia kembali ke sini."
"Lantas?"
"Lantas, nanti besok pagi, tentara-tentara kita akan kita siapkan di pantai.
Kita bikin pagar betis di sana. Jadi sebelum dia masuk ke darat, kita langsung membuat tawar-menawar dengan dia."
"Lantas?"
"Yang namanya tawar-menawar, kita menjual dia membeli."

"Lo? Kalau dia tidak mau membeli?" "Kita paksa supaya dia membeli." Wikrawardhana tertawa. Dia berbalik badan. Kelihatannya dia senang atas pikiran Tunggul Petak yang selalu dikatakannya goblok itu. Kendati dia senang, dia tidak berkata apa-apa untuk menilaikannya. Dia hanya berjalan lantas duduk di singgasananya. Gambaran yang hadir dalam pikirannya adalah bagaimana dia memperoleh keuntungan dengan cara yang hebat begini. "Tapi, bicara soal sandera yang kamu sekap di atas, apakah mereka benar-benar tertawan dengan bagus? Maksudku, apakah penjagaan terhadap mereka memadai?" "Sudah pasti, Paduka," kata Tunggul Petak, "seperti kata saya tadi, ada dua ratus tentara kita yang menjaga mereka. Di sana kami telanjangi mereka. Diikat di pohon. Dan pasti mereka akan kedinginan."


***

Memang benar, ketujuh orang itu semuanya ditelanjangi. Jubah-jubah mereka semua dicopot.
Mereka diikat dengan kuat di pohon-pohon belakang istana musim panas Wikrawardhana.
Wang Jing Hong dapat berlaku tenang. Begitu pula Ci Liang. Satu-satunya orang, di luar juru tulis palsu itu, yaitu Wu Ping yang kelihatan sangat menderita. Itu dikatakannya sendiri kepada Wang Jing Hong yang diikat di pohon sebelahnya.

"Aku takut sekali, Wang Jing Hong," kata Wu Ping, "takut kalau-kalau aku tidak berhasil."
"Tidak berhasil apanya?" tanya Wang Jing Hong.
"Tidak lepas lolos dari lubang jarum," jawab Wu Ping.
"Memangnya mana lubang jarumnya?"
"Kita sekarang adalah benang-benang yang terlalu besar. Kita ingin menembusi lubang jarum, tapi ternyata jarumnya terlalu kecil, lebih kecil dari benangnya."
Wang Jing Hong kelihatan iba. Tapi tak urung dia bertanya juga ke mana arah imajinasi Wu Ping itu. "Sebetulnya apa yang ada dalam pikiranmu itu?"
"Cinta, Wang Jing Hong," kata Wu Ping.
"Cinta? Cinta yang bagaimana?" tanya Wang Jing Hong.
"Ah, kau pasti mengerti," kata Wu Ping, "dalam cinta, kan hanya ada dua rumus. Berhasil atau gagal."
"Ya," kata Wang Jing Hong menunggu sekian jeda, "lalu?"
"Aku takut kita menjadi korban di sini. Kalau kita menjadi korban di sini, mati sia-sia, hanya tinggal nama, maka lenyaplah bersama-samaku akan cinta yang telah menyempurnakan
akalku dan hatiku."
"Jangan pesimistis begitu," kata Wang Jing Hong, "kau pasti akan ketemu lagi dengan si Tiwati."
"Dalam keadaan seperti sekarang, ditawan sebagai tikus, bahkan tidak dihormati sama sekali harkat kemanusiaan, aku takut meneruskan gambar-gambar cinta di dalam pikiranku," kata
Wu Ping.

"Sudahlah," kata Wang Jing Hong, "percayalah, Sam Po Kong pasti akan bertindak."

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 19:25
Nun di depan keraton Wikrawardhana, Ceng Ho mencoba sekali lagi dengan santun menjelaskan betapa urgen dia ingin bertemu dengan Wikrawardhana. Walaupun Ceng Ho sudah berlaku sangat sopan dan sangat bersahabat, tetap saja penjaga gapura di depan keraton Wikrawardhana berlaku angkuh. Dia bersikeras melarang Ceng Ho melewati gapura itu. Penjaga itu tidak hanya melarang, tapi juga mengusir dengan sangat kasar sambil mengarahkan lembing yang dipegangnya itu ke perut Ceng Ho. "Pergi sekarang juga," kata penjaga itu, "kalau tidak, saya akan bikin kamu menjadi 'bekas manusia' di sini." Mestinya dengan sikap kurang ajar sebagaimana ditunjukkan oleh penjaga gapura itu, cukup alasan bagi Ceng Ho untuk marah dan langsung menghajarnya. Tapi Ceng Ho sanggup menahan diri sejenak. Dia hanya jengkel saja. Dia tahu benar, bahwa marah kepada orang bodoh seperti penjaga itu, sama dengan membuang mutiara kepada babi. Tidak ada untungnya marah kepada orang bodoh. Ceng Ho sedang mengajar pula hal itu kepada bawahannya. Dia mencoba berlaku ramah sekali lagi. Nanti, kalau sikapnya ini diabaikan dan bahkan dilecehkan, barulah dia akan berteriak. Yaitu, bertindak untuk Bmengajar bersopan-santun. ''Apakah kita tidak boleh masuk menemui raja, karena raja sudah tidur?'' tanya Ceng Ho. Bukannya menjawab dengan baik-baik, malah penjaga itu mendorongkan tombaknya ke muka Ceng Ho. Hanya sekitar lima atau dua senti saja ujung tumbaknya itu berada di depan mulut Ceng Ho. ''Ini sudah keterlaluan,'' kata Ceng Ho dalam hati.

Toh Ceng Ho masih berdiri saja. Belum bertindak apa-apa. Penjaga itu berteriak sekerasnya, ''Pergi!'' Rupanya teriakan itu menjadi aba-aba juga bagi tentara-tentara Wikrawardhana yang berada di dalam, di balik tembok yang mengelilingi keraton. Ternyata di balik itu, ada ratusan tentara yang menjaga. Mereka semua tentara-tentara yang baru saja mengganti pakaian dari pakaian garong yang hitam-hitam, menjadi pakaian tentara yang sebenarnya. Melihat keadaan yang tidak bersahabat itu, dan karena juga merasa bahwa penjaga yang angkuh di depan ini hendak bertindak secara militer, maka dengan tangkas dan segera Ceng Ho bertindak melakukan sesuatu. Dengan gerakan yang tidak terbaca oleh penjaga gapura itu Ceng Ho melenturkan leher sehingga kepalanya mundur ke belakang, dan dengan begitu tangannya menarik tombak yang diarahkan kepadanya. Badan penjaga itu doyong, lalu secepat cahaya, kaki kanan Ceng Ho mendarat di selangkang penjaga itu, tepat mengena lonceng yang bergayut di situ. Tentara-tentara Wikrawardhana yang lain, yang berdiri di belakang penjaga itu lantas ramairamai maju, menyerbu, dan menyerang tentara-tentara Ceng Ho. Maka, apa mau dikata, di malam menjelang larut, yaitu nama waktu yang dalam hitungan Cina, terutama yang dibakukan oleh penganut Kong Hu Cu sebagai jam-jam Sut Si perhitungan waktu dengan menggunakan tian-kan dan te-ci antara pukul 19.00-21.00 sampai Hay Si perhitungan waktu yang sama antara pukul 21.00-23.00, tak terelakkan lagi terjadi pertempuran yang seru antara tentara-tentara Wikrawardhana dan tentara-tentara Ming pimpinan Ceng Ho. Sebentar saja, dalam pertempuran hampir tiga jam, yaitu dari Sut Si sampai Hay Si, telah bergelimpangan mayat-mayat di depan keraton Wikrawardhana. Tentara-tentara yang dibawa Ceng Ho memang bukan tentara-tentara yang biasa-biasa. Mereka termasuk tentara-tentara yang terlatih berperang di banyak wilayah. Jangan lupa, mereka pula yang berperang di Sungai Musi, mengalahkan tentara-tentara garongnya Tah Co Gi atau Chen Tsu I atau Chen Zhu Yi dan menangkap raja maling itu. Sekarang, apa pula yang diandalkan dari tentara-tentara Wirawardhana yang bermental maling ini? Bukankah mereka pun baru saja menggarong pedagang-pedagang sipil yang berpasar di lapangan luar keraton? Sekali militer menjarah, untuk selamanya mentalnya rusak dan tak bisa diperbaiki lagi. Itulah mental tentara-tentara Wikrawardhana. Mereka memang bertempur dan berperang. Tapi dalam pikiran mereka sudah tercemari oleh dorongandorongan bendawi, dorongan-dorongan duniawi. Maka, bertempur atau berperang bagi mereka tak lain tujuannya adalah merampok atau menjarah. Pendek kata, menginjak atau memperkosa hak-hak paling dasar dari harkat dan martabat manusia. Jika pun nanti ada perdamaian-artinya pertempuran dan peperangan selesai-sedapatnya mereka membuat keadaan menjadi tidak aman, sehingga rakyat terteror, takut, dan kehilangan rasa percaya pada sesama. Terhadap tentara-tentara yang bejat itulah Ceng Ho memerintah tentaranya untuk menyikat terus.

****


Tentara-tentara Ceng Ho terus mendesak tentara-tentara Wikrawardhana untuk mundur. Dari pihak tentara-tentara Wikrawardhana yang sok-sokan, yang bertempur hanya mengandalkan kenekatan dan bukan kecekatan, satu per satu tumbang, dan terus bertumbangan berbelasbelas dan berpuluh-puluh. Akhirnya sebagian besar mundur sampai ke dalam, ke tempat Wikrawardhana sedang duduk di singgasananya ditemui oleh Tunggul Petak. Begitu tentara-tentara yang tersisa ini mundur ke dalam, terkejutlah Wikrawardhana. Raja yang baru saja berpikir menang ini benar-benar terperanjat melihat kehadiran Ceng Ho di hadapannya. Lebih-lebih lagi Tunggul Petak yang baru berbual-bual akan keberhasilannya. Karena terkejut di situ, mereka pun berdiri dengan mulut menganga. Sepuluh orang pengawal yang berada di sekeliling Wikrawardhana dengan serempak maju menghunuskan keris kepada Ceng Ho. Mereka kaget setengah mati bahwa Ceng Ho dapat meloncati mereka. Kini Ceng Ho telah berdiri pas di depan Wikrawardhana. ''Apakah permainan akan diteruskan?'' kata Ceng Ho.  ''Mohon dimaafkan,'' kata Wikrawardhana. ''Ini semua gara-gara kesalahan panglima saya, Tunggul Petak. Saya baru saja memarahinya. Gara-gara keteledorannya, keadaan negeri menjadi kacau begini.'' Ceng Ho bersikap sebagai orang yang bertanggung jawab. ''Saya sudah melihat semuanya.'' ''Saya bisa mengerti,'' kata Wikrawardhana. ''Sebagai raja di sini, saya sekali lagi menyatakan maaf saya.'' ''Saya menerima pernyataan maaf Anda,'' kata Ceng Ho. ''Tapi bagaimana dengan keamanan kerajaan, para bayangkari negara, sampai-sampai kecolongan rakyat sipil, anggota rombongan saya terbantai sedemikian rupa?'' ''Seperti saya katakan tadi, ini memang kesalahan panglima saya. Panglima saya yang goblok. Asli goblok.'' Wikrawardhana pun mengeluarkan kerisnya. Lantas dia naikkan keris ke atas. ''Saya bersumpah atas nama leluhur saya dan atas nama Hayam Wuruk akan bertindak adil terhadap orang-orang di bawah saya yang melakukan kesalahan.'' Dengan cepat dia turunkan kerisnya itu, lalu dengan cepat pula dia tikamkan keris itu ke leher Tunggul Petak. Semua terkejut. Tunggul  Petak langsung terkulai di lantai. Mati. ''Saya konsekuen, Sam Po Kong,'' kata Wikrawardhana. ''Tunggul Petak melakukan kesalahan fatal. Dan, dia tidak boleh dimaafkan lagi. Orang yang sekali melakukan kesalahan secara sengaja, jika tidak dihukum sampai mati, pasti akan kulina melakukan lagi lain waktu.'' Ceng Ho tidak menanggapi apa-apa. Dia hanya diam memperhatikan wajah dan tindak-tanduk Wikrawardhana. Sorot mata Ceng Ho itu membuat Wikrawardhana agak kikuk. Dia rumangsa, jangan-jangan Ceng Ho memandangnya dengan cara begitu sebab sedang menyelidik kesejatian kata-katanya. Wikrawardhana kembali beralasan dan berdusta, dan dengannya berharap Ceng Ho percaya kepadanya. Katanya, ''Baru saja Tunggul Petak ke sini meminta ampun karena keteledorannya. Bahwa lantaran keteledorannya itu, perampok-perampok dari timur, pasti pengikut Wirabhumi, dapat masuk ke sini, menjarah, dan membantai.'' Ceng Ho masih belum menanggapi. Ceng Ho tetap memperhatikan wajah dan tindak-tanduk Wikrawardhana dengan sorotan mata yang sama tajam seperti tadi.
''Ini benar-benar gila. Kami bisa kecolongan,'' kata Wikrawardhana. ''Tahu-tahu ratusan garong dari timur itu sudah menyelinap di sini dan melakukan aksinya tanpa diketahui panglima goblok saya ini.'' Dia menaruh lagi kakinya di atas kepala mayat Tunggul Petak. Ceng Ho masih menatap tajam wajah Wikrawardhana. Tapi kali ini dia mengatakan sesuatu yang langsung membuat Wikrawardhana terkinjat. Kata Ceng Ho, ''Padahal melihat tentaratentara Anda yang menyerang kami, tampaknya tentara-tentara Anda cukup banyak untuk dapat menjaga daerah sekitar keraton Anda ini.'' Walaupun Wikrawardhana terkinjat, dan hampir saja kehilangan hikmah untuk bercakap, membuat alasan atau melakukan dusta yang kira-kira masuk akal, toh bisa dengan cepat menemukan jawaban yang membuat Ceng Ho bisa menerima. Setidaknya menerima dalam sesaat untuk melihat kenyataan yang pahit ini. ''Sebagian besar tentara saya itu ikut ke atas, ke istana musim panas bersama-sama Tunggul Petak tadi, mengawal orang-orang Anda yang menginap di sana,'' kata Wikrawardhana. Keruan Ceng Ho teringat mereka yang baru disebut Wikrawardhana itu. Maka kata Ceng Ho dengan mata terbuka, ''Bagaimana keadaan mereka?'' Pandai lagi Wikrawardhana berdusta. Katanya dengan memasang muka masygul di wajahnya, ''Itulah duduk perkaranya. Si goblok ini baru saja melapor ke sini bahwa orang-orang Anda itu dijadikan sandera oleh garong-garong dari timur.'' ''Dijadikan sandera?'' tanya Ceng Ho. ''Apa maksudnya itu?'' ''Entahlah, Sam Po Kong,'' jawab Wikrawardhana. ''Di mana mereka sekarang?'' Wikrawardhana terpaksa harus bisa cepat membuat dusta yang lain, yang dapat meloloskannya dari kemungkinan-kemungkinan tidak menguntungkan. ''Mereka berada di atas gunung. Tapi jangan khawatir. Sebentar lagi tentara-tentara yang akan membebaskan mereka.'' Lalu kepada sepuluh orang pengawal yang tadi secara serempak dan bersama menghunuskan keris mereka ke arah Ceng Ho, berkata Wikrawardhana dengan meyakinkan, ''Sekarang kalian berangkat ke atas. Kalian semua. Perangi garong-garong yang gila itu. Sikat mereka. Jangan kasih ampun. Ayo, cepat!'' Pengawal yang disuruh kelihatan bingung. Karena itu mereka masih berdiri bengong memandang Wikrawardhana. Maka Wikrawardhana berang, lantas menghardik mereka, ''Goblok kalian semua! Cepat berangkat ke atas sana!'' Akhirnya kesepuluh orang pengawal itu keluar.



***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 19:37
Di atas sana, di belakang istana musim panas Wikrawardhana, kesepuluh pengawal menyampaikan keinginan Raja dengan kalimat sulit, dilatari oleh kebingungan, keengganan, ketakutan.
"Raja baru saja membunuh Tunggul Petak," kata salah seorang pengawal yang ditugaskan ke sini.
Semua tentara yang mendengar berita itu terkejut.
"Jadi, apa artinya itu?" tanya seorang tentara berpakaian garong yang menjaga di belakang istana musim panas Wikrawardhana.
"Tentara Cina baru saja menyerang kita."
"Apa?"
"Ya. Sekarang Raja ditekan."
"Apa maksudnya itu?"
"Raja tidak berdaya."
"Kalau Raja tidak berdaya, kita tidak boleh mundur. Justru di sinilah tentara harus menunjukkan pengabdian kepada negara dan pemimpin negara."
"Memang betul. Tapi kita sudah terkalahkan."
"Terkalahkan bagaimana?"
"Tentara-tentara yang mengawal istana hampir semuanya tumbang."
"Tidak. Tidak mungkin."
"Kenyataan memang begitu. Sudahlah, kita harus menerima kenyataan ini. Nyata kita kalah bertempur di istana."
"Ini benar-benar gila."
"Memang. Sekarang kalian semua harus menyingkir dulu. Yang menjaga tawanan itu cukup sepuluh orang saja. Kami, pengawal istana akan pura-pura menyerang yang bertugas menjaga
tawanan itu, lantas kami menang. Setelah itu kami akan membawa orang-orang Cina itu ke istana."
"Lantas kami yang di sini?"
"Cepat ganti pakaian. Buang pakaian hitam-hitam itu."
Perintah itu segera dilaksanakan. Ini tidak menyenangkan, Tapi mereka tidak pernah berpikir ke situ.



***


Pada waktu itu Wang Jing Hong, Wu Ping, Ci Liang, serta kedua juru tulis palsu, dan yang lain, sebenarnya sudah tidak tahan menahan kantuk. Tetapi mereka pun tak mudah tidur dalam keadaan diikat di pohon-pohon dengan tidak berbusana. Mereka hanya menggigil. Malam terlalu sejuk. Kemudian Wang Jing Hong melihat tanpa menaruh wasangka bagaimana tentara-tentara Wikrawardhana saling meneruskan bisik-bisik antara satu dan yang lain. Sama sekali Wang Jing Hong tidak mengerti apa yang dibisikkan orang-orang jemahnya yang ditugaskan bertanya. Maka kata penerjemah kepada pengawal itu, "Kita akan ke mana?"
"Raja yang memerintah kami untuk mengalahkan garong-garong itu," jawab pengawal itu.
"Sekarang Raja menunggu Tuan-tuan."
"Di mana?"
"Di istana, Tuan. Pemimpin Tuan juga sudah ada di istana."
"Pemimpin kami? Sam Po Kong?"
"Betul, Tuan."

***
Dan mereka pun menunggang kuda-kuda itu, turun dari daerah pegunungan, dari area istana musim panas Wikrawardhana itu, ke istana inti di bawah. Malam sudah sepi. Waktu sekarang,
menurut perhitungan Cina, yang berhubungan dengan leluri Kong Hu Cu, adalah Cu Si ke Tio Si. Dingin di atas, berangin di bawah. Angin itu menerpa-nerpa wajah mereka di atas kuda masing-masing.
Yang berada di dalam kereta saja yang tidak terterpa angin malam. Wang Jing Hong ditemani Wu Ping berada di dalam kereta itu. Luka yang terkena di tangannya dalam perlawanan tadi itu, mungkin saja beracun, sehingga badan Wang Jing Hong kelihatan menggigil walaupun tidak diterpa angin. Yang berkata bahwa Wang Jing Hong mungkin terkena racun adalah pengawal di dalam kereta.
"Luka ini harus segera diobati," kata pengawal itu. "Nanti di bawah sana, kita berhenti, mengambil air kelapa untuk mencuci luka ini."
"Ya," kata Wang Jing Hong, diterjemahkan penerjemah. "Tapi mudah-mudahan ini tidak serius."
"Ini memang kesalahan Tunggul Petak," kata pengawal itu.
"Di mana sekarang dia?" tanya Wang Jing Hong.
"Wikramawardhana sudah membunuhnya."
"Dia sudah mati?"
"Ya. Wikramawardhana barus saja melakukannya."
Wang Jing Hong termangu. "Tunggu," katanya. "Kenapa banyak orang menyebut Wikrawardhana, sedang Anda menyebutnya Wikramawardhana?"
"Orang yang tidak menyukainya memang menyamakannya sebagai 'kra'. Yaitu 'kra' yang 'ardhana' jadi 'we', artinya 'monyet' yang 'ingin' jadi 'bersinar bagai matahari'. Maka orang-orang itu tidak menyebutnya sebagai 'wikrama' dan 'wardhana' tapi 'wi', 'kra', 'wardhana'."
"Tapi, siapa sebetulnya Wikranawardhana yang Wikrawardhana ini?" tanya Wu Ping.
"Dia menantu Hayam Wuruk. Dia sering mengaku dirinya berdarah Cina. Tapi tidak jelas.
Dulunya dia berasal dari lingkungan Tumapel. Makanya, dulu orang hanya menyebutnya Tumapel."
"Lantas Anda sendiri?"
"Sebetulnya saya ini abdi dalem wiraswara yang sekarang bertugas menjadi pengawal istana."


***


Lantas bagaimana keadaan istana Wikramawardhana yang Wikrawardhana itu? Sang raja memohon-mohon dengan sangat agar Ceng Ho tidak menghukumnya. Dia pandai mencuci tangan. Sekarang semua orang, terutama Ceng Ho, percaya bahwa kesalahan yang baru berlangsung itu adalah karena ketidakmampuan Tunggul Petak menjaga keamanan. "Untuk itu, sebagai raja, saya akan mengutus duta saya ke Cina, meminta ampun kepada Kaisar Ming, atas keteledoran panglima saya," kata Wikrawardhana kepada Ceng Ho. "Saya akan mengutus duta saya dengan berlayar langsung bersama Anda. Dan saya siap menanggung kerugian berapa pun yang akan diminta oleh kaisar."

"Baiklah," kata Ceng Ho. "Itu bisa diatur."
"Plong hati saya," kata Wikrawardhana.
"Kemungkinan besar Anda harus membayar 60.000 tail emas," kata Ceng Ho.
"Berapa pun," kata Wikrawardhana. "Paling tidak, malam ini juga saya berani bersumpah sebagai orang yang bersalah, seraya mengirimkan wakil pribadi, seorang abdi dalem
terpercaya."
"Baiklah," kata Ceng Ho dengan nada yang sama seperti ucapannya tadi. "Utusan Anda boleh
ikut bersama kami ke Cina."
"Terima kasih."
"Tapi, sebelum kami berlayar kembali ke utara, kami akan ke timur dulu, sampai ke Bali."


***


Dua jam kemudian baru tujuh orang dari istana musim panas itu turun ke istana yang satu ini.
Kelihatannya ketujuh orang itu sangat letih. Sang pengawal yang tadi disebut-sebut sebagai orang yang akan menjadi duta kerajaan ini untuk ikut dalam pelayaran Ceng Ho membawa emas 10.000 tail, menyembah di hadapan rajanya, mengatakan bahwa ketujuh orang itu
sekarang sudha berada di sini.
"Daulat Paduka," katanya. "Ketujuh tamu sudah berada di sini. Salah seorang terluka, tapi telah hamba bersihkan lukanya."
"Terluka?" tanya Wikrawardhana.
Ceng Ho sendiri terkejut. "Siapa yang terluka?"
"Ong Hing Tek,"jawab pengawal itu.
"Apa?" Dan Ceng Ho pun bergegas keluar.
Mau tak mau Wikrawardhana ikut pula keluar.

***


Di luar, Ceng Ho terkesiap melihat Wang Jing Hong keluar dari kereta dengan sikap yang gagah.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Ceng Ho.
"Hanya tergores," jawab Wang Jing Hong. "Sudah dibersihkan, tapi belum diobati."
"Segera bawa tabib ke sini," kata Wikrawardhana.
"Kami dapat mengatasinya sendiri," kata Ceng Ho sambil mengangkatkan tangan tanda menahan. "Tidak usah."
Lalu Fei Huan pun membalas sapaan itu dengan hangat.
Setelah itu Peniti bersila dengan tiada ragu di hadapan Fei Huan, memperkenalkan diri.

''Saya Peniti ....''

Sebelum Peniti melanjutkan, lekas-lekas Fei Huan melambaikan tangan kepada penerjemah supaya datang ke situ. Selanjutnya penerjemah itu yang mengalihbahasakan percakapan antara Peniti dan Feu Huan.

Fei Hua membukakan tangan, memberi isyarat kepada Peniti untuk meneruskan percakapan. Katanya, ''Ya, silakan.''

''Begini,'' kata Peniti. ''Saya ini abdi dalem anggong *). Saya penganut Buddha. Tapi saya penganut Buddha yang kurang baik. Banyak masalah yang saya hadapi. Dan, rasanya saya
tidak sanggup melangkahkan kaki ke depan. Pelajaran apa kiranya yang paling asasi bagi saya untuk menjadikan saya sebagai penganut Buddha yang baik. Setidaknya supaya saya bisa
mengatasi masalah-masalah saya itu.''
''Pertama, harus diketahui bahwa tiada kehidupan tanpa masalah. Tapi kedua, tidak ada masalah yang tidak dapat diatasi oleh manusia yang percaya.''

''Saya sudah sering mendengar amsal itu, tapi amsal tidak anggup mengubah takdir, sementara masalah saya rumit sekali.''
''Memangnya serumit apa masalahmu?''
''Saya punya istri, namun saya lebih suka bermain seks dengan pelacur.''
Fei Huan tercenung. Dia tatap wajah Peniti dalam-dalam. Lalu dia tersenyum.
''Memang lebih banyak orang senang meniru ahlak Cou,'' ujar Fei Huan.
Peniti berkerut dahi. Tanyanya, ''Siapa Cou itu?''
''Cou adalah kaisar Cina masa lalu. Dia maniak seks. Bayangkan saja, hanya terhadap patung dewi, ketika dia menancapkan hio pada perayaan Tiong Ciu, bisa-bisanya kaisar Cou terangsang dan ingin bersetubuh. Karena itu, Kaisar Cou dikutuk melalui Ni Wa Niang-
Niang. Kerajaannya dihancurkan oleh siluman. Dia dikutuk sebab perzinahannya yang kelewat sering.''
''Jadi, apa yang harus saya lakukan?''
''Tirulah Li Keh Sin. Dia sangat baik untuk menjadi teladan hidup yang bersih.''
''Siapa itu?''
''Li Keh Sin hidup pada zaman dinasti Cin. Istrinya menawarkan untuk memperbini pembantunya yang cantik dan bahenol. Tapi, tahukah kau apa jawabnya? Dua istri dalam sebuah perkawinan pasti akan membawa ketidakharmonisan, tapi sebaliknya kericuhan yang
tidak henti-hentinya. Makanya, bila kau ingin menjadi penganut Buddha yang baik, belajarlah untuk hidup dengan susila luhur, tidak dikotori oleh kecenderungan-kecenderungan daging yang membawa kepada angkara.''

''Apakah ada pegangan yang bisa saya manfaatkan?''
''Saya akan memberikan kepadamu kitab suci Ko Ong Kuan Si Im King. Dan, kau harus baca sampai seribu jurus.''

''Dalam aksara apa?''
''Cina''
''Saya tidak paham bahasa Cina.''
''Jika begitu simpan saja, sampai ada yang dapat menerjemahkan untukmu.''
''Saya berjanji.''
''Bagus,'' ucap Fei Huan. ''Setidaknya lewat bibir kau sudah ungkapkan isi hatimu.''


***


Setelah matahari terbenam, orang-orang Ceng Ho kembali ke kapal, sebab kapal-kapal mereka akan menempuh lagi laut ke timur. Utusan Wikrawardhana, abdi dalem wira swara yang selama itu ditugaskan pula sebagai pengawal ikut dalam pelayaran ke timur. Dia ikut di
situ, sebab dengan demikian sang raja hendak menunjukkan kesungguhan meminta ampun kepada Kaisar Ming dan menyatakan kesediaan membayar berapa kerugian Ceng Ho.
Begitulah pula perkataan Wikrawardhana kepada Ceng Ho.

''Dengan mengirim utusan saya, langsung bersama Anda, maka saya ingin menunjukkan kesungguhan saya untuk meminta ampun pada kaisar Cina. Kepada abdi dalem saya itu, sudah saya pesankan kata-kata sekaligus surat kepada sang kaisar,'' ujar Wikrawardhana.

''Wah kira-kira kapan Anda akan tiba kembali di tanah Cina?''
''Mungkin satu tahun lagi,'' jawab Ceng Ho.
Saya bersandar penuh pada jalannya sang waktu. Sang waktu begitu perkasa. Di dalamnya
sudah tersurat takdir saya.''
''Anda boleh simpan ini dalam ingatan. Ada pepatah dari puisi Li Yi. Sukakah Anda mendengarnya?''

"Tentu saja."

"Li Yi penyair zaman Tang. Katanya, 'Air laut pun menepati janjinya pada waktu, kapan waktunya pasang kapan pula waktunya surut'. Begitu puisinya yang berjudul 'Nyanyian Jiang Nan Q'."
"Jadi apa artinya itu?"
"Itu artinya takdir ada dalam diri manusia terpisah dari waktu yang berputar dalam hari-harinya."



***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 19:41
Setelah itu datang waktu berpisah. Ceng Ho meninggalkan Kerajaan Wikrawardhana yang dipelesetkan menjadi Wikrawardhana. Dan, Wikrawardhana tetap di kerajaannya dengan perasaan yang sebetulnya tidak nyaman lantaran tidak aman. Wikrawardhana tahu betul bagaimana keadaan hatinya sekarang. Bagaimanapun cerdik dia berpura-pura dan untuk sementara merasa menang, tapi di dalam hatinya ada gaung kebenaran yang hadir sebagai cermin bening menunjukkan keadaan dia yang sebenarnya. Nanti akan datang saat dia merasa seperti terasing dan kesepian. Apa lagi pada malam hari, saat ayam-ayam hutan peliharaannya tiba-tiba berkokok sahutmenyahut. Memang betul kokok ayam alasnya itu membuat dia terbangun lama. Sebetulnya dia sadar, bukan terbangun oleh kokok ayam-ayam alas itu melainkan memang dia tidak bisa tidur.


***


Justru pada malam pertama pelayaran ke timur sekitar tengah malam, Ceng Ho berbaring ditempat tidurnya, lantas dia pun tertidur di situ. Dan alih-alih, setiap kali Ceng Ho berharap
mendapat visi tertentu untuk memandang permasalahan yang mungkin melintas di hadapan jalannya besok lusa, ndilalah ayahnya, Ma Ha Zhi, hadir dalam mimpinya. Kali ini tampak ayahnya berdiri di atas puadai. Di tangan kanan ayahnya itu ada kayu menaga yang ditunjuk-tunjukkannya ke arah Ceng Ho dan di tangan kirinya ada kayu kendung.

Kata Ma Ha Zhai kepada Ceng Ho dengan suara lamat-lamat, "Apakah kau letih putraku?"
Ceng Ho tampak gelebah. "Mungkin," jawabnya.
"Aku tahu," kata Ma Ha Zhi. "Pekerjaan membuatmu harus serius. Tapi jangan kehilangan waktu untuk kucandan. Tertawa menyehatkan badan. Seperti halnya menangis dengan berteriak keras-keras dapat juga membersihkan jiwa yang mampet."

"Apakah Ayah tidak melihat, seratus tujuh puluh orang sipil baru saja dibantai garong dari timur?"

"Sebaiknya kau mengecek kembali di timur, apakah betul garong-garong itu dari sana."

“Gambaran yang diberikan Wikrawardhana, mereka orang-orang Wirabhumi."

"Kenapa pula kau menyebut namanya begitu. Sudah betul sebutan orang-orang yang mempelesetkan namanya sebagai Wi-kra-wardhana."
"Apakah dia tidak bisa dipercaya?"
"Orang-orang di bumi biasa bicara tidak benar. Tapi Wikrawardhana bukan bicara tidak benar melainkan bohong."
"Bohongnya bagaimana?"
"Pergilah saja dulu ke timur. Cek pada Wirabumi."
"Astaga," kata Ceng Ho. "Ayah baru saja menasihati aku supaya jangan kehilangan kucandan. Tapi sekarang Ayah menasihati aku untuk bekerja lebih serius."

"Pekerjaan serius yang dapat diselesaikan dengan tepat niscaya merupakan hiburan yang boleh melahirkan kucandan."
"Mudah-mudahan."
"Sekarang tangkaplah ini," ujar Ma Ha Zhi seraya melemparkan kayu menaga dan kayu kendung itu.

Ceng Ho pun menangkapnya dan memperhatikannya. "Untuk apa ini?" tanyanya. "Kau harus mempunyai kemampuan untuk membenarkan yang salah, yang keliru, yang sakit. Tapi kau harus juga harus memiliki pribadi kuat untuk menentukan warna pikiranmu dan
warna hatimu. Nah, sampai jumpa."

Pada akhir kata-kata itu kelihatannya puadai yang dipakai Ma Ha Zhi untuk berdiri bergoyang ke kiri dan ke kanan, lantas dijemput awan untuk kemudian sirna di langit benderang.

Ceng Ho terbangun. Terdengar angin timba-ruang pada sisi kiri dan kanan kapal. Ceng Ho berdiri. Sebentar lagi subuh. Orang salih seperti Ceng Ho memang telah bangun lebih awal sebelum waktu salat.

****

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 26/08/2008 19:48
Biasanya pada saat salat, Wang Jing Hong pun berada di ruang ibadah. Subuh ini Wang Jing Hong tidak tampak. Karena itu, sehabis salat Ceng Ho menemui Wang Jing Hong. Yang tersebut belakangan ini kelihatan amat lelah. Dia masih berbaring di ranjangnya. Maka Ceng Ho duduk di atas ranjangnya itu, menaruh tangannya di atas dahi Wang JIng Hong.
"Badanmu panas," kata Ceng Ho.
"Tapi tidak serius," sambut Wang Jing Hong.
''Kau bisa saja bilang tidak serius, tapi kenyataannya kau sudah diobati dan malah pagi ini badanmu makin panas,'' kata Ceng Ho.
''Percayalah, saya tidak apa-apa,'' kata Wang Jing Hong.
Ceng Ho tidak hendak berselisih pandang. Dia diam, memandang ke kedalaman sosok Wang Jing Hong melalui matanya yang kelihatan kurang gairah.
Menurut pikiran Ceng Ho, pernyataan paling baik bagi Wang Jing Hong saat ini adalah, ''Semoga cepat pulih.''
Dan Ceng Ho keluar.


******

Bagaimanapun, mestilah dikatakan labuda, bahwa pikiran Ceng Ho kini terbebani keadaan Wang Jing Hong. Karena itulah siang nanti dia memutuskan membuat rapat dengan para perwiranya. Selalu, sebagai pemimpin, Ceng Ho membuka diri untuk mendengar pendapat dan pikiran orang-orang yang dipimpinnya. Pertemuan itu dilangsungkan secepatnya, setelah semua sarapan. Wakil juru mudi kapal induk, yaitu orang kedua setelah Wang Jing Hong, memberi tanda ke seluruh kapal dengan menggunakan bendera-bendera kecil supaya setiap kapal agak mendekat, dan dari kapal-kapal itu diharapkan perwira dan juru mudi masing-masing menyeberang ke kapal induk. Karena itu semua segera melaksanakan isyarat itu.

***

Ketika semua orang sibuk untuk memasuki ruang rapat, ada dua orang yang berlama-lama. Kedua orang ini malah berdiri beberapa saat di atas geladak, memperhatikan semua yang memasuki ruang rapat. Siapa lagi kedua orang itu jika bukan Dang Zhua dan Hua Xiong. Kedua binawah ini malah bergunjing di situ. Tapi kelihatannya pada keduanya telah muncul perbedaan pikiran. Hal itu sudah tampak sejak mereka melihat perkembangan-perkembangan yang kasatmata menyangkut kepemimpinan Ceng Ho. Bahwa Ceng Ho bukan hanya seorang laksamana yang tegas, tegar, kuat, dan cempiang sejati, melainkan juga seorang pemimpin yang telah menjalankan prinsip-prinsip demokratis tanpa mengenal deskripsi tentang
demokrasi dengan pendekatan akhlak, adab, budaya.
''Kira-kira bincangan apa lagi yang hendak diperkatakan Sam Po Kong dalam pertemuan ini?''
tanya Hua Xiong kepada Dang Zhua.
''Entah,'' kata Dang Zhua. ''Yang jelas, Wang Jing Hong mengalami hal buruk. Kasihan.''
''Kok kamu jadi cengeng begitu?''
''Apa maksudmu?''
''Untuk apa mengucapkan kata-kata piatu, kata-kata domba, kata-kata merpati. Kita berada di sini, jauh dari Tanah Air, sebab Liu Ta Xia berharap kita akan menjadi harimau, menjadi
singa, menjadi ular.''

''O ya?''
Pernyataan ini mengandung semacam sinisme.
''Ya.''
Pernyataan ini mengandung kemauan untuk meyakinkan diri sendiri dalam kadar yang mengandung keraguan tersamar.
''Kalau betul kita menjadi harimau, jadi singa, jadi ular, memangnya harimau, singa, ular punya tuan, punya majikan, punya juragan?''
''Apa maksudmu?''
''Mestinya kamu tahu maksudku. Harimau, singa, ular selalu hadir menuruti naluri masing-masing. Sedangkan kita, naluri kita tidak bebas, sebab kita hanya orang-orang suruhan Liu Ta Xia.''
''Lantas, apa itu artinya?''
''Pengabdian selalu harus dengan alasan. Kita mengabdi kepada Liu Ta Xia, tapi mengapa kita mengabdi, kita tidak pernah memerinci, atau paling tidak merenung, apa alasannya kita mengabdi. Apa yang kita peroleh dari pengabdian?''
Hua Xiong terbengong sesaat. Setelah itu dia berkata dalam keheranan yang idrak,
''Kelihatannya kamu berubah.''
''Waktu yang berubah, sahabatku,'' kata Dang Zhua. ''Dan di dalam waktu yang berubah, orang-orang yang cerdik mesti bersikap lentur mengenai perubahan.''

''Saya belum menangkap apa yang tersembunyi dalam kepalamu itu.''
''Kalau tidak salah, saya pernah rasan-rasan. Untuk apa lagi kita kembali kepada Liu Ta Xia?''
''Lantas?''
''Seperti orang-orang sipil yang lain, yang bertetap hati untuk memilih Jawa sebagai tanah air kedua. Di negeri leluhur kita hanya menjadi abdi Liu Ta Xia. Di sini kita bisa jadi tuan atas
para wana *). Sebab mereka dapat kita perkuda. Mereka masih sangat lugu. Mereka pun tidak pandai berniaga. Cara berpikir mereka pun sempit, tidak luas, sebatas bisa makan dan kumpul
bersama. Tapi justru di atas kekurangan mereka kita membangun kelebihan kita. Nah, pikirkan.''
''Entahlah.'' Dalam pernyataan ini ada kesan keraguan yang dihadirkan dengan pura-pura tidak peduli.
Namun betapapun pikiran-pikiran Dang Zhua telah mengusik hati Hua Xiong. Karena itu ketika duduk di sebelah Dang Zhua dalam ruang rapat di kapal induk itu, dia termangu, seakan rohnya terbang kian kemari.



***

Di ruang rapat itu semua sudah duduk menunggu. Mereka dapat meraba-raba dalam pikiran bahwa ada suatu hal yang galib berkembang dalam sebuah pelayaran, yang akan disampaikan Ceng Ho dalam pertemuan ini. Ceng Ho memulai percakapan di depan rapat dengan kata-kata yang membuat orang-orang itu tertegun sesaat, menalar-nalar sarinya.
''Daun-daun diterbangkan angin, menghampiri tanah, menjadi bumi. Sungai Yangcekiang menampung Sungai Cangjiang ke Laut Kuning merenda tanah, menghias bumi. Rajawali terbang perkasa di langit Kunlunshan, menukik ke Gobi, menggenggam tanah, mencium bumi. Bayang-bayang tanpa cahaya menyambung dari Palembang sampai Majapahit, di dalam tanah, dicari bumi, dan masih berlanjut kecandan dalam kertak gigi...'' Ceng Ho diam sesaat, memandang ke peserta sidang. Matanya tidak berkedip. Tampaknya dia menunggu salah seorang di antara peserta rapat yang boleh jadi akan mengajukan pertanyaan. Karena tiada seorang pun di antara mereka mengajukan pertanyaan, Ceng Ho yang sekarang bertanya. Katanya, ''Dapatkah kalian semua meraba apa yang tersimpan dalam pikiran dan perasaan saya?'' Hampir semua menjawab, ''Tidak.'' ''Itulah misteri hidup,'' kata Ceng Ho. ''Tidak seperti alam yang bergerak menurut alamnya, manusia bergerak menurut naluri dan nuraninya serta akal dan hatinya. Kita sudah merancang pelayaran kita sampai ke Bali dan terus ke utara sampai ke Ujungpandang, tapi alam yang bergerak menurut alamnya tidak dapat kita taklukkan dengan semata-mata kemauan. Di dalam kemauan masih ada pertimbangan-pertimbangan akal dan pertimbangan-pertimbangan hati yang menentukan ikhtiar. Mengapa hal ini menjadi demikian pelik? Sebab, kita tidak boleh bersikap remeh terhadap salah seorang di antara kita. Rombongan pelayaran kita ini haruslah dianggap sebagai suatu kulawangsa yang besar, yang dalamnya kita mesti merasakan kebenaran asas senasib sepenanggungan. Padahal salah seorang di antara kita yang saya maksudkan itu, yaitu Wang Jing Hong, kepala juru mudi kita sedang sakit. Dan, walaupun dia berkata sakitnya tidak serius, kita harus tetap menganggap serius. Jadi, dilema kita sekarang, kita harus terus berlayar ke timur atau kita harus tunda dulu, dengan memutar haluan...'' Sekonyong dari pintu muncul suara yang diucapkan dengan keyakinan yang tegar. ''Tidak! Kita tidak akan memutar haluan.'' Semua secara serempak mengalihkan pandangan ke pintu, melihat sosok yang berdiri di situ, dan kemudian berjalan ke dalam ruang rapat. Semua terkesima. Termasuk Ceng Ho. Sosok yang baru saja berujar itu, dan siap hendak berkata lagi kalimat susulannya, adalah Wang Jing Hong. ''Wang Jing Hong?'' kata Ceng Ho heran. ''Bukankah saya sudah berkata, sakit saya tidak serius?'' kata Wang Jing Hong dalam nada bertanya, menguji kesungguhannya sendiri. Lantas dia duduk. Sambil duduk di tempatnya, dia berkata, ''Jiwa pelaut adalah jiwa yang teguh terilhami dari batu karang di tengah samudra. Tidak ada gelombang, topan, atau pun angin lengkisau yang boleh memudarkan semangat pelaut. Sekali layar dikembangkan untuk mengarungi samudra, rahasia alam yang paling rahasia, tidak ada ancaman maut ataupun bahaya yang boleh memudarkan semangat, memundurkan kemauan. Sekali kita memutuskan untuk berlayar sampai ke Bali, tidak ada kamus yang sanggup mengganti kata tekad. Kita harus ke Bali. Mohon Sam Po Kong memahami ini.'' Ceng Ho bertepuk tangan. ''Saya sangat terkesan,'' katanya dengan takzim. ''Ayo, mari kita memberi salut kepada Wang Jing Hong. Hidup Wang Jing Hong!'' Dan semua pun mengikuti aba-aba Ceng Ho. ''Hidup Wang Jing Hong!''


***

Semua yang ikut rapat di dalam ruang khusus di kapal induk ini lantas plong, kembali ke
kapal masing-masing, meneruskan pelayaran ke timur sampai ke Bali.
Sebetulnya apa yang membuat Wang Jing Hong berkeras hendak berlayar sampai ke Bali?
Pasti dia akan menjawab tanpa ditanya oleh Ceng Ho. Mungkin besok dia akan berkata itu.
Mungkin pula lusa atau tulat atau tubin.

Yang penting, sekarang kapal sudah berlayar. Kapal induk di belakang. Kapal-kapal yang lain berada di kiri dan kanan melaju membelah laut. Percik-perciknya kelihatan berkilauan bagai intan permata berjuta termandikan cahaya berkilayan bagai intan permata berjuta termandikan cahaya matahari yang sedang berangkat ke tengah hari. Tapi biru masih perjanjian akan warna laut di bawah, langit di atas.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 11:41
EPISODE ENAM

Lagi, mari kita kembali ke Simongan, Semarang, di kelenteng yang halaman depannya diparkir bus AC dari Jakarta, dengan anak-anak sekolah yang asyik mendengar kisah sang Tukang Cerita yang tiada lain adalah guru sejarah dari sebuah SD di bilangan Jakarta Barat, wilayah yang selalu, setiap tahunnya menerima berkat sekaligus kutuk karena banjir yang menggenangnya. "Begitulah kisahnya, anak-anak, betapa Sam Po Kong itu seorang pemimpin yang telah mempraktekkan demokrasi, walaupun ia sendiri mungkin belum pernah mendengar tentang demokrasi," kata sang Tukang Cerita. Murid yang selalu bertanya duluan dan karenanya boleh dianggap dirinya kritis, bertanya pula akan apa yang baru diutarakan oleh sang Tukang Cerita. Katanya, "Apa maksudnya 'telah mempraktikkan demokrasi walaupun ia sendiri mungkin belum pernah mendengar tentang demokrasi'?" "Begini lo," kata sang Tukang Cerita. "Demokrasi itu sebetulnya baru benar-benar kita pelajari di sekolah, setelah Belanda menjalankan politik etis, dan dari situ lahir gerakan kebangkitan nasional." "Lalu, bagaimana bisa Sam Po Kong dikatakan telah mempraktikkan demokrasi? Memangnya apa itu demokrasi?" "Demokrasi itu gampang dibuat deskripsinya, tapi tidak gampang dibuat definisinya." "Lo, kok begitu sih?" "Untuk menjawab itu, lihat saja keadaan Indonesia sekarang. Katanya kita ini negara demokrasi. Tapi nyatanya yang lebih tepat adalah sebetulnya 'demon'-'crazy'. "Apa itu, Pak?" "Ya, demon dari bahasa Latin artinya setan atau iblis, sedangkan crazy bahasa Inggris artinya gila." "Jadi, maksud Bapak, Bapak ingin bilang pemimpin-pemimpin Indonesia sekarang ini 'setangila'." "Bukan 'ingin bilang' tapi sedang berkata," kata sang Tukang Cerita. "Coba saja kamu lihat keadaan sekarang ini. Mula-mula Ketua DPR, lantas sekarang Jaksa Agung. Mereka tidak malu melakukan kebohongan publik. Padahal, bukankah dusta kepada rakyat boleh diartikan dosa kepada Tuhan? Tapi, apa mau dikata, pemimpin-pemimpin Indonesia sekarang ini sudah kesetanan, kerasukan iblis. Tuhan mereka adalah uang." "Lo, kok begitu, Pak?" "Ya," kata Tukang Cerita. "Kalau benar mereka bertuhan, sesuai dengan sila pertama Pancasila, dan sesuai pula dengan sumpah semua pejabat ketika mereka diangkat, maka mestinya mereka takut kepada Tuhan, sebab mereka sudah berdusta kepada rakyat. Pemimpin-pemimpin Indonesia sekarang, entah yang legislatif atau pun entah yang eksekutif, serta entah yang yudikatif, setali tiga uang: tidak lagi melihat apa yang masih diinsafi oleh rakyat, yaitu nisbah antara dusta dengan dosa. Kalau mereka masih menginsafi itu, dan memiliki sebiji sesawi saja nurani, niscaya mereka malu dan lekas-lekas mengundurkan diri." "Mungkin saja mereka tidak punya malu, Pak." "Mungkin," kata Tukang Cerita, "Tapi, yang jelas mereka masih punya kemaluan." "Huh, repot banget. Malu kagak diurus, kemaluan malah terus diurus." "Itulah beda pemimpin zaman sekarang dari pemimpin zaman dulu, zamannya Sam Po Kong.
Tokoh kita ini, Sam Po Kong, adalah benar-benar pemimpin teladan. Dalam episode yang lalu kalian sudah menyimak cerita saya mengenai kesejatiannya sebagai pemimpin yang demokratis itu..."
"O, ya, Pak, terus bagaimana? Setelah kapalnya berlayar ke timur, bagaimana kisah selanjutnya? Apa mereka akan tiba di Bali juga, sesuai keinginan Wang Jing Hong?"
"Nah, dengarlah baik-baik cerita selanjutnya."
Dan sang Tukang Cerita pun menceritakannya

***


Dalam pelayaran ke timur Ceng Ho mampir dulu di Lasem dan Tuban sebelum Gresik, Surabaya, dan Mojokerto. Khususnya Tuban, pada masa itu telah menjadi pelabuhan paling ramai. Sebelum Lasem menjadi kota Cina yang tua, Tuban telah lebih dulu dikenal luas. Di sinilah pada tahun 1293, sekitar 20.000 tentara Cina *) mendarat. Sebagian yang tidak pulang lagi ke Cina lantas hidup sebagai sipil dengan pelbagai usaha di sini dan sebagian kota pesisir lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mereka pun menjadi orang-orang yang sukses di situ. Dengan mengambil perempuan-perempuan pribumi sebagai istri-disebut ca bau kan-maka lahirlah turunan Cina peranakan-disebut kiau seng-tapi setelah berjalan dua generasi berubah menjadi Tionghoa. Mereka adalah gambaran asasi dari pengertian kerukunan. Orang-orang Cina itu berbaur karib antara yang beragama Han San Wei Yi yang merupakan sinkretisme antara Tao-Buddha-Konghucu, dengan orang-orang Cina turunan Hui Hui yang telah pula menjadi bangsa Han yang rata-rata muslim seperti kulawangsa Ceng Ho sendiri, serta pribumi Jawa yang beragama sinkretisme Hindu-Buddha Kebetulan, ketika kapal-kapal Ceng Ho tiba di Tuban, itu bertepatan dengan tanggal 27 bulan 8 Imlik, yaitu hari lahir pemimpin spiritual bangsa Cina yang sangat besar dan dikagumi meluas-oleh penganutnya disebut "nabi"-Kong Kiu atau Tiong Ni yang kemudian lebih dikenal sebagai Kongcu atau Konghucu. Karuan semua orang Cina di Tuban, bukan hanya yang menganut Konghucu, menyambut perayaan ini dengan ramai, suka cita sekaligus khusyuk, mulai saat tiam-hio *), kemudian berlanjut melakukan sajian sembahyang pada bausi **), dan sampai perayaannya yang khas pada ci-si ***).
***
Di antara perwira-perwira dalam misi muhibah Ceng Ho yang langsung merayakan Ci Sing Tan ****) ini, tentu saja Ci Liang, yang memang merupakan bagian dari orang-orang Konghucu. Dengan tertib Ci Liang mengikuti upacara, mulai dari nyanyian-nyanyian bakti. Yang paling menarik lagu bertajuk "Wi Tik Tong Tian" di saat menaikkan surat doa, dan lagu "Tian Po" di saat membakar surat doa. Sebelum itu diuraikan terlebih dulu pendeta Konghucu yang sudah lama diam di Tuban, tentang sejarah Konghucu. Sebelum menguraikan sejarahnya, sang pendeta berkata, "Mengapa kita perlu mengulang kisah kehidupan Konghucu? Sebab manusia memiliki sejarah. Kita yang hidup hari ini merupakan kelanjutan dari kehidupan masa silam dan tidak lepas dari kehidupan di masa datang." Usai menguraikan sejarah Konghucu yang lahir di sebuah desa bernama Ciang Ping, wilayah Lo, jazirah Han Tung, lembah Kong Song, ada lagi nyanyian-nyanyian ritus yang dimadahkan dengan khusyuk, dan Ci Liang tetap tertib di situ. Tapi mesti juga dikatakan, bahwa kedua orang upahan Liu Ta Xia-yang salah seorang kelihatannya sedang berubah, menimbang-nimbang dengan nalar-yaitu Dang Zhua dan Hua Xiong, ternyata ada juga di antara umat Konghucu. Apa yang mereka peroleh dari sebuah kebaktian? Pasti keduanya tidak sama. Nanti sekeluar dari ibadah ketidaksamaan itu akan lebih jelas terucapkan oleh bibir mereka masing-masing.



******
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 11:54
Pada malam hari, tak jauh dari kelenteng yang sederhana, kelihatan Dang Zhua dan Hua Xiong berbincang hal yang belum tuntas, dan tidak pernah akan tuntas sebelum kata-kata diwujudkan dengan perbuatan. Apa pasal?

"Tanah Jawa ini begitu kuat memanggil rohku membumi di sini," kata Dang Zhua.
"Jangan ulangi omong kosongmu itu," kata Hua Xiong.
"Mungkin sekarang memang masih omong kosong. Tapi satu waktu, ketika aku memutuskan untuk mewujudkan kata-kata menjadi perbuatan, maka percayalah, omong yang kosong akan berubah menjadi omongan yang berisi."
"Jangan macam-macam."
"Tidak sahabatku. Aku justru makin kuat berpikir untuk melakukan satu saja macam tindakan untuk menggantungkan rohku di atas bumi Jawa ini."
"Mencla-mencle. Bagai air di daun talas. Pekan lalu kau masih menggagas tentang membangun kelebihan Cina di atas kekurangan Jawa. Sekarang kau berubah lagi seakan-akan menjadi seorang yang lebih dari moralis. Apa kau kesurupan?"
"Terserah kau mau bilang apa," kata Dang Zhua. "Yang jelas, apa yang ada dalam pikiranku, harus aku nyatakan dengan jujur."

"Kejujuran ular ada dalam alamnya melungsung."
"Apa hubungannya?"
"Ular boleh saja melungsung beratus kali, tapi kodratnya tetap ular. Tidak mungkin ular menjadi merpati. Kelihatannya kau sedang menjadi lembek seperti merpati."
"Ya," Dang Zhua bersemangat. "Barangkali sebab menjadi ular, walaupun di saat-saat tertentu melungsung mengganti kulit yang baru, sarana hidup dalam kutukan: hanya berjalan di dalam
kalam, melata di semak dan belukar.
Dengan menjadi merpati, aku bisa terbang, melihat bumi dari jarak yang lebih jelas, lebih terbuka, lebih asli."
"Kau bisa berceloteh seenaknya begitu, sebab kau tidak merasakan pengalaman menjadi pemain pura-pura."
"Yang mana?"
"Ingatkah kau siapa yang pura-pura terpenjara untuk membebaskan Zhu Yun Wen? Aku!"
"Kehidupan memang harus selalu begitu. Dalam kehidupan kita bisa bercerita tentang pengalaman yang menyedihkan di masa lalu, mengira dengan begitu takkan ada lagi pengalaman lain yang mungkin lebih pelik di masa depan sana: pekan depan, bulan depan,
tahun depan. Percayalah, setiap waktu ada kepelikannya masing-masing."
"Percayalah juga, 'khutbah'-mu tidak akan mengubah pikiranku. Mesti kau ketahui, shio-ku sendiri ular."
"Lantas kehebatan apa yang kauharapkan dariku untuk memujimu?"
"Aku tidak butuh pujianmu. Aku hanya ingin berkata cara berpikirku tidak bimbang.
Kebimbangan selalu membawa risiko mawut. Bagiku nasi goreng ya nasi yang digoreng, mi goreng ya mi yang digoreng. Nasi dan mi digoreng bareng-bareng itu namanya mawut. Orang yang bershio ular seperti aku selalu berpikir tertib, yang satu tetap satu, tidak mawut."

"Ya sudah, ambil, bungkus. Begitu saja kok mecucu."
Kelihatannya memang mereka sedang berpikir beda.


********



Dan, sungguhpun salah seorang di antara orang upahan Liu Ta Xia ini berpikir beda, dan galib di Timur orang-orang yang berpikir beda: jika dalamnya ada kemauan untuk untuk bertahan, dan ngotot, memang sering berujung dengan suasana tidak senang. Tapi boleh dikata tumben juga kedua orang, yang bisa saling tidak senang, toh merasa senang saja berada di kota pelabuhan ini. Tuban terasa menyenangkan. Di kota ini rombongan Ceng Ho berdiam cukup lama. Karena itu perkenalan dengan rakyat di lingkungan kota ini lumayan pula akrabnya. Pasar digelar di depan laut. Orang-orang pun ramai berdatangan ke sini. Orang dari sekitar Tuban dari Plumpang, Babat, Wedang, Bojonegoro, ramai-ramai datang berdagang di pasar yang digelar di tepi pantai.


***


Di jalanan tanah menuju ke baratlaut, sekitar 10 kilometer sebelum Jembel, ada sebuah padepokan kecil yang dibangun oleh seorang dai asal Cina yang sangat lancar bercakap Jawa.
Dai itu bernama Giok Gak. Tapi orang-orang di Tuban lebih suka menyebutnya Ki Anom.

Dia masih muda, kira-kira baru berjalan 30 tahun, tapi janggutnya memanjang sampai ke perut.
Mengetahui Ceng Ho adalah seorang muslim, dia berjalan kaki dari padepokannya, menemui Ceng Ho. Dia berjalan bererot dengan lima orang muridnya. Setiap murid membawa delupak, berhubung hari baru lepas magrib.

Kepada Ceng Ho, dia memberi salam sebagaimana lazimnya muslim. Dan Ceng Ho pun membalas dengan salam yang sama.

Begitu duduk bersila di hadapan Ceng Ho, Ki Anom langsung menyatakan apa yang ada dalam hatinya. Katanya, "Saya harap Anda jangan buru-buru meninggalkan Tuban. Umat membutuhkan Anda di sini. Ada masalah besar yang sedang mengguncangkan keyakinan para mualaf di sini."
Terkerut dahi Ceng Ho. "Memangnya ada apa?" tanyanya.
"Di Ngimbang ada seorang bekas punggawa yang dipecat dari pusat kerajaan di Majapahit, yang memiliki kekuatan sihir. Dia memanfaatkan kekuatan sihir itu untuk melecehkan iman
para mualaf."

"Apa yang dia lakukan dengan sihirnya itu?"
"Banyak. Dia bisa membuat memedi, genderuwo, dan ular kepala tiga. Pendek kata, ontran-ontran yang dibuatnya benar-benar mengancam iman para mualaf."

Ceng Ho terdiam sesaat. Setelah itu dia menatap tajam ke muka Ki Anom. "Apa betul?"
"Murid-murid saya ini semua dapat memberikan saksinya."
"Aneh," kata Ceng Ho. "Kelihatannya rakyat di sini sangat rukun."
"Bagi kami, di antara sesama Tanglang, memang ya. Tapi di luar itu adalah api di dalam sekam."

Ceng Ho mengangguk-angguk. Dia pandang ke sekeliling. Di sekelilingnya terlihat semua perwiranya, termasuk Wang Jing Hong, Wu Ping, serta Dang Zhua dan Hua Xiong.

"Ini sebuah tantangan baru lagi," kata Wang Jing Hong.
"Kelihatannya keadaannya sama dengan yang di Cirebon itu," kata Wu Ping.
Ceng Ho tidak berkata apa-apa. Dia diam beberapa jenak, mengarahkan potensi rohaninya
untuk menimbang-nimbang. Setelah jeda sekian kejap, berkatalah Ceng Ho dengan sungguh, "Saya akan bantu Anda."

"Terima kasih," kata Ki Anom.
"Walakin, tentu, saya akan minta pendapat Wang Jing Hong dan perwira-perwira saya. Perlu Anda ketahui tentara kami membawa amanah perdamaian, silaturahmi antara manusia dan manusia. Walaupun di dasar ikhtiar pelayaran ini ada kepentingan politik kekaisaran Ming, percayalah, yang kami emban adalah sekali lagi kemanusiaan. Maka tidak ada jurang prasangka kebangsaan, tidak ada pula jurang prasangka agama. Benar, prajurit-prajurit saya ini banyak yang muslim, tapi di samping itu banyak juga yang Han San We Yi." "Tapi, bagaimana jika di balik ontran-ontran yang dilakukan bekas punggawa itu, atau katakanlah saja dia itu dukun, adalah upaya jahat untuk melawan dan melecehkan agama?" "Mari kita melihat dari sudut lain." "Sudut apa?" "Bukankah semua agama baik? Nah, pasti latar belakang dukun itu bukan agama. Mari kita melihat itu sebagai pekerjaan iblis atau setan. Dengan itu kita mengerti siapa lawan kita." Siapa sebetulnya punggawa yang mengganggu kepercayaan umat dengan sihir-sihirnya itu? Orang menyebutnya Naranatha Nastika - harfiahnya berarti ''raja yang tiada bertuhan''. Beda dari raja-raja umum yang beristri banyak, Naranatha Nastika tidak beristri. Kepercayaan yang dipegangnya mengisyaratkan bahwa perempuan dalam kehidupan seorang Naranatha Nastika dapat menumpulkan kesaktian. Sebagai ganti perempuan, dia memelihara banyak lelaki muda yang dijadikannya gemblakan. Karena itulah Naranatha Nastika mesti dibilang sebagai seorang nggemblak, yaitu lelaki yang mencari kepuasan badani dari sesama lelaki. Kendati dia dikelilingi oleh gemblakan berpuluh-puluh, tetap ada seorang perempuan yang dipatuhi Naranatha Nastika. Perempuan yang disebut ini juling, sudah setengah tua, berambut panjang terurai dan menjerungkau, kelihatannya tidak pernah keramas, dan baunya antara kemenyan, dupa, dan wangi-wangian yang menajam di hidung. Kepada perempuan ini Naranatha Nastika bukan hanya patuh, melainkan juga nyaris seperti menghamba kepada ajaran-ajarannya. Tak salah, perempuan itu adalah seorang cenayang. Dialah yang harus dikatakan mengendalikan pikiran-pikiran jahat Naranatha Nastika. Lantas, mengapa simbol gagasan gagasan lancung dalam pikirannya? Apakah itu berkait dengan tujuan politik, ekonomi, atau sosial sebagaimana lazimnya orang melakukan teror? Tidak! Ternyata Naranatha Nastika melakukan teror, mengganggu kepercayaan orang, semata-mata karena keasyikan yang sangat dinikmatinya untuk melakukan kejahatan dan menyaksikan orang lain celaka, rugi, menderita, sengsara, mati. Pikiran-pikiran yang jahat itu mukim dalam dirinya sebagai bagian dari kodratnya dalam tubuh roh dan jiwanya. Benar sangkaan Ceng Ho bahwa Naranatha Nastika melakukan kejahatan bukan berlatar perbedaan keyakinan religius yang pada masa itu boleh dikaji sebagai distorsi dalam pertemuan dan perlintasan etnis yang melibatkan agama. Naranatha Nastika melakukan kejahatan semata-mata - sebagaimana kata Ceng Ho kepada Ki Anom - sebagai perpanjangan tangan iblis dan setan belaka. Maka jika Ceng Ho kelak terpanggil menolong mengatasi keluh kesah Ki Anom, dia akan bertindak sebagai orang yang percaya terhadap orang yang tidak percaya akan kuasa ilahi.


***


Sore menjelang malam, tatkala langit di barat memerah tanda bahwa matahari sebentar lagi pamit kepada tanah air, tampak Naranatha Nastika memperhatikan penuh akan kerja cenayangnya yang perempuan dengan bau aneh itu. Perempuan itu - dipanggil Gawok, dari bahasa Kawi yang berarti ''mengherankan'' - sedang memegang tongkat yang dipakainya untuk mengulak-ulak dasun *) seraya komat-kamit membaca mantra tertentu. Setelah itu Gawok bertanya kepada Naranatha, ''Nah, apa yang kauharapkan dari mantra ini?'' ''Bikin dia kejet-kejet sepanjang hari sebelum mampus. Ki Anom itu terlalu sombong. Padahal dia bukan pribumi.'' ''Kau tidak ingin saya bikin dia langsung mati saja ditelan bumi?'' tanya Gawok. ''Jangan. Jangan terlalu cepat. Biar bumi ini menyiksanya terlebih dahulu. Maka coba kauserap tenaga bumi; buatkan angin puting beliung, hujan kerikil, dan gempa bumi di sekitar
tempatnya. Sanggupkah kau?''

''Itu sepele sekali Naranatha,'' jawab Gawok.
''Kalau begitu lakukan.''
''Aku memang sedang melakukan.''

Lalu Gawok berkomat-kamit lagi. Tampak benar keinginan menjadi pemenang. Berangsur, setelah mulutnya komat-kamit, kini berlanjut dengan tubuh yang celedang-celedok mengelilingi ruang, akhirnya di ambang pintu dia menyemburkan ludahnya ke arah utara dengan kata-kata yang tidak dipahami Naranatha dan mungkin olehnya sendiri.

Setelah itu Naranatha terperanjat. Gawok lemas, bagai kehilangan tulang, tumbang di lantai.

Naranatha cepat berdiri dari silanya dan menarik lengan Gawok untuk duduk di lantai itu.

''Kenapa?'' tanya Naranatha.
''Entah,'' jawab Gawok. ''Tapi roh yang kukirim ke sana agaknya sedang bertempur untuk menembus lapisan antarala **) yang mengubu tempatnya.''
''Apa maksudmu 'bertempur'?''
''Sama seperti pengertianmu. Yaitu beradunya manomaya ***) dan manomaya di bawah wahyasarira ****) dan wahyawarira.''
''Jika begitu, harus ada yang kalah dan yang menang,'' kata Naranatha dengan mulut melengkung. ''Jangan coba-coba kau mengatakan roh yang kaukirim bertempur itu kalah.''
''Percayalah.''
Naranatha tersenyum. Yang dia lakukan adalah menghibur-hiburkan dirinya dengan harapan kering.

Teruskah Naranatha berharap seperti itu?
Naranatha telah kerap mencaring. Dia tidak akan berhenti menyuruh cenayang upahannya itu terus bermain, memainkan perannya, mempermainkan nasib orang, dan dia menikmati kecelakaan orang dengan sukaria.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 12:07
Walau gelap, karena matahari telah terbenam di barat sana, kelihatan juga gumpal awan mirip sebuah pohon beringin besar berputar-putar di atas padepokan Ki Anom. Disertai dengan angin yang menggemuruh seru kelihatan putaran awan itu jatuh ke atas halaman padepokan Ki Anom. Atap ilalang yang menutup bangunan yang di tengah-tengah terangkat dan terbang sejauh seratus meter dan jatuh di sana. Orang-orang di padepokan itu berlari tunggang langgang dan terbirit-birit dibayangi ketakutan. Mereka mendatangi bangunan paling belakang, tempat tinggal Ki Anom, memanggil-manggil nama Ki Anom tapi tidak keluar. Dia masih bercakap-cakap serius dengan Ceng Ho.


***


Ki Anom berbesar hati sebab sebelum ia berpisah dengan Ceng Ho, dengan teguh Ceng Ho berkata, "Kalau sampai sihirnya merusak umat, membimbangkan mualaf yang Anda asuh itu, percayalah kami akan membantu Anda di jalan Allah. Segalanya di jalan Allah tiada yang mustahil. Kita akan perangi kuasa iblis itu."

"Terima kasih," kata Ki Anom. "Anda telah menguatkan rasa percaya diri saya."
"Yang mendasar perlu terus kita ingat, bahwa Islam harus membawa damai."
"Itu betul," kata Ki Anom. "saya akan mengingat-ingat itu dan akan menanamkan di hati
sanubari cantrik-cantrik saya."
Ceng Ho menepuk dan menjabat tangan Ki Anom lalu merangkulnya sebelum mereka

berpisah. Kata Ceng Ho, "Pulanglah ke padepokan Anda dengan damai. Kembangkan cantrik-
cantruik Anda itu menjadi santri-santri yang berguna pada sejarah masa depan negeri ini.
Sebagai bangsa yang lebih dulu mencapai tingkat peradaban dan kebudayaan yang lebih maju, kita harus menjadi guru atau suhu *) bahkan sampai sunan **) bagi bangsa yang menurut kita berada di bawah kita."
Ki Anom mengangguk-angguh. "Pasti."



***

Ki Anom tidak menduga setiba di padepokannya, pada malam yang telah larut, didapatkannya beberapa orang cantriknya tergeletak di depan pagar padepokannya. Dia langsung berlutut, memegang kepala cantriknya-cantriknya yang telah menjadi mayat itu. Dia sudah berjanji akan membantu kita. Beliau juga muslim yang takwa." Lotik menarik napas dan mengembuskannya kuat-kuat tanpa berkata sepatah pun. Dan walaupun tanpa berkata-kata apa-apa, dari sikapnya Ki Anom melihat sesuatu yang menunjukkan rasa kebimbangan yang membuatnya doyong nyaris hilang rasa percaya diri dan tergelincir dalam sikap ranyang. Melihat hal itu Ki Anom bertanya singkat, berharap Lotik dapat memberi jawaban yang pasti, "Kenapa kelihatan ragu?" "Tidak apa-apa," jawab Lotik. Tetapi Ki Anom dapat meraba dengan indranya bahwa Lotik tidak bicara apa adanya sesuai dengan perasaan yang berkucak dalam dirinya. "Tidak," kata Ki Anom. "Tidak mungkin jawabanmu begitu sederhana. Pasti ada apa-apanya. Katakanlah. Kau adalah cantrik teladan. Ketika saya berangkat ke Tuban tadi, saya memercayakan padepokan ini kepadamu. Saya percaya pada kamu, sebab selama ini kamu paling maju, ilmu dan imanmu."

Setelah mengembus napas dari tarikan panjang, berkatalah Lotik dengan ragu, sama terputus-putusnya seperti ketika menyampaikan tentang angin yang membawa awan bulat itu. Katanya, "Ya, Ki Anom, rasa-rasanya ada kebimbangan dalam hati saya."

"Perasaan yang disimpan di dalam hati selalu membuat manusia mendekam di dalam kegelapan yojana kebebasan jiwa," kata Ki Anom. "Bicara sama dengan membebaskan hatidari kegelapan itu."
Lotik menatap wajah Ki Anom. Dari tatapan itu saja telah kelihatan kerincuan akan pembebasan atas pelbagai masalah yang saling silang dalam hatinya, yang membuatnya
bercakap terputus-putus seperti itu.
"Ya, Ki Anom," katanya setelah itu. "Ini menyangkut ketakwaan yang Anda katakan tadi."
"Ya?" kata Ki Anom mempersilakan Lotik meneruskan kalimat yang meragu.
"Rasa-rasanya saya sudah takwa..."
"Teruskan."
"Apakah dengan ketakwaan itu kita menghadapi Naranatha?"
"Tentu."
"Bukankah dalam menghadapi serangan musuh kita tidak semata-mata menangkis, tapi juga
melawan?"
"Tepat sekali. Melawan itu berarti juga mengimbangi serangan dengan serangan. Itulah asas
sejati dari arti peperangan."
"Tapi apa yang bisa kita lakukan sekarang, sementara hari ini serangan yang datang ke tempat kita telah memorak-porandakan tempat kita ini? Padepokan kita ini, bangunan inti, masjid,
dan rumah Anda."
"Apa?" Ki Anom terkinjat.
"Ya, Ki Anom," kata Lotik menekankan agar keterangannya itu dipahami. "Lihat saja sendiri."

Ki Anom pun segera melangkah ke dalam hendak menyaksikan apa yang dikatakan Lotik.



*****
Lotik merasa memiliki kelancaran lewat mulut untuk berkata-kata.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 17:53
Kini mereka berada di depan masjid. Betapa sedih perasaan Ki Anom melihat kerusakan itu. Dia tercengung pula. Oleh kelancaran yang kini baru muncul di mulutnya, Lotik berkata datar seakan meminta pembenaran atas pikirannya yang meragu. "Agaknya ini musibah alam, Ki Anom," kata Lotik. "Kau masih tidak percaya bahwa ini pekerjaan setan?" kata Ki Anom menjawab pertanyaan Lotik. Lotik tidak menjawab dengan kata-kata khusus atas kalimat tanya Ki Anom itu. Dia hanya memandang wajah Ki Anom dengan pengharapan penuh. "Ya, kelihatannya ini musibah alam," kata Ki Anom. "Sihir sebagai pekerjaan iblis dan setan memang dapat memanfaatkan alam, sehingga orang bisa mengira ini musibah alam. Tapi percayalah, ini pekerjaan setan iblis. Dan orang yang bermain-main sebagai sekutu iblis itu tidak lain Naranatha. Naranatha tidak percaya Tuhan. Hanya orang-orang yang tidak percaya Tuhan yang selalu mudah diperalat iblis untuk merusak tempat suci, tempat sembahyang." Lotik termangu. Mungkin dia memahami apa yang diperkatakan Ki Anom. Mungkin juga dia tidak mudah masuk dalam alur pikiran Ki Anom. Soalnya dia melihat apa yang disebutnya tadi sebagai "angin yang membawa awan bulat, terpusing-pusing menimpa atap, dan atapnya ikut terbang ke sana" dan "dahsyat, mengerikan, berdiri bulu kuduk". Ki Anom pun memahami itu. Karena itu beberapa saat kemudian, sambil menyalakan jamung di sudut-sudut padepokan, dia berkata, mengajak cantrik nya, "Lebih tepat kita berzikir." Dan mereka berzikir terus sampai larut malam, sampai jamung di sudut-sudut padepokan itu padam.
***
Pagi keesokan harinya kembali pasar di Tuban meramai lagi. Anggota-anggota pelayaran Ceng Ho membawa barang-barang dagangan menggunakan jalibut. Barang yang diturunkan dari kapal memanfaatkan jalibut, dan barang-barang yang dibeli dari Tuban pun diangkat ke kapal dengan jalibut. Setiap pagi kesibukan ini mengisi hari-hari anggota ekspedisi Ceng Ho. Setelah hari Jumat, Ceng Ho pula yang berkhotbah Jumat di lapangan tempat pasar diselenggarakan. Ini hari Jumat indah dalam pelayaran di Laut Jawa yang kebetulan kapalnya disauhkan. Nanti Ceng Ho akan berkhotbah lagi di Semarang ketika kapal disauhkan karena Wang Jing Hong sakit.  Khotbahnya Jumat ini didengar banyak orang. Ada juga Ki Anom. Dan abdi Wikramawardhana yang ditugaskan menghadap pada Kaisar Ming juga mendengarkan dari luar jamaah. Kelihatannya dia amat tertarik isi khotbah Ceng Ho. Ceng Ho membuat kias menarik. Sebagai orang Cina, dari kelas pemimpin sejati, yang antara lain membaca karyakarya sastra Cina, dan dia ketahui bahwa karya sastra Cina merupakan wilayah antara filsafat, keindahan, dan pengetahuan kebajikan, Ceng Ho berkhotbah dengan mengambil kias dari petikan sastra Cina. Dan, hebatnya nilai kebajikan, yang mesti dikatakan universal, dalam sastra Cina sangat dipengaruhi oleh Han San Wei Yi antara akhlak dan susila ajaran Konghucu, Tao, dan Buddha. Kerangka khotbahnya Jumat ini tentang firman Allah kepada Ibrahim sesuai dengan ayat Alquran, Ash-Shaffat 110, ''Kadzaalika najzil muhsiniin - Demikianlah Kami memberi balasan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.'' Dalam menerangkan tentang perikop kesalahan Nabi Ibrahim itu, Ceng Ho membuat beberapa ilustrasi dari sumber sastra Cina yang kaya pengetahuan kebajikan tersebut. Dia mengambil kisah tentang Feng Shen Yen I *) yang merupakan karya sastra dari masa Dinasti Ming. Sebuah dialog dari prosa itu dikutip Ceng Ho dalam khotbahnya. Katanya, ''Di Cina ada cerita tentang tukang potong kayu bernama Wu-Ci dan tukang pancing ikan bernama Fei-Siung. Dalam bahasa Cina, Fei-Siung berarti 'beruang terbang'. Sudah lama dia memancing tapi tidak pernah mendapat ikan. Maka Wu-Ci menarik kail Fei-Siung. Tahukah apa yang terjadi? Kail Fei-Siung itu tidak melengkung sebagaimana lazimnya, tapi hanya sebuah logam lurus mirip paku saja. Maka tertawalah Wu-Ci melihat kedunguan Fei-Siung. Lantas apa kata Wu-Ci? Inilah yang menarik. Kata Wu-Ci kepada Fei-Siung: 'Kebijaksanaan bukan hanya ada dalam manusia yang berusia lanjut. Jika seseorang bodoh, maka ia akan tetap saja bodoh kendatipun usianya mencapai seratus tahun. Hai, Fei-Siung, dengan caramu mengail dengan pancing yang lurus begini maka sampai seratus tahun pun kau tidak berhasil mendapatkan seekor ikan.' Mengapa ilustrasi ini penting dalam pembahasan kita tentang Nabi Ibrahim? Nabi Ibrahim itu bijaksana, ketika suara Allah datang kepadanya untuk pergi ke barat, ia telah memiliki akal yang luar biasa, yaitu kepatuhan dan kesalahan untuk melaksanakan perintah Allah tersebut. Sebelum itu, ketika Ibrahim mengobrak-abrik patung-patung berhala, padahal ayahnya pembuat patung berhala, orang-orang hendak membakarnya di atas tumpukan kayu. Tapi, adalah kepatuhan dan kesalehan, yang merupakan kurnia akal bagi orang yang percaya dan orang yang berakal, maka Allah memenangkannya, mengalahkan orang-orang itu. Yang hendak saya katakan dengan ini adalah kebijaksanaan selalu menyertai orang yang saleh, orang yang takwa, orang yang beriman.''

 
***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 18:00
Diam-diam abdi dalem Wikramawardhana menyerap khotbah Ceng Ho. Karena dalam menyerap ada perasaan suka, tapi juga perasaan ini berbaur dengan perasaan asing, nanti dia bakal bertanya kepada Ceng Ho. Abdi itu menemui Ceng Ho pada malam setelah Ceng Ho selesai bersalat. Dia menjadi sangat sopan kepada Ceng Ho. Sambil membungkukkan badan melebihi yang lazim dilakukan orang, dia berkata, ''Apakah saya mengganggu Anda?'' ''Mengganggu?'' kata Ceng Ho balik bertanya, ''Tentu tidak. Ada apa?'' ''Saya berada di luar jamaah pada siang tadi, tapi saya mendengar dengan baik apa yang Anda khotbahkan.'' Ceng Ho mengangguk. Dia tersenyum. Dengan itu dia memberi kesempatan pada abdi itu untuk meneruskan kata-kata yang hendak disampaikannya. ''Saya tertarik pada pernyataan Anda yang menghubungkan antara kebajikan dan kebijakan dengan kesalehan dan ketakwaan...'' Ceng Ho langsung menimpali. ''Dan itu berhubungan dengan akal, dan akal adalah karunia ilahi.'' ''Saya bingung.'' ''Kenapa bingung?'' ''Bagaimana saya menghubungkan hal itu semua dengan keputusan-keputusan Anda yang serbamengejutkan dan sulit dijangkau akal saya.'' ''Misalnya soal yang bagaimana?'' ''Begini. Ketika Anda memutuskan berlayar ke timur, setelah meninggalkan keraton Wikramawardhana di Mojokerto, saya membayangkan akan tiba di Bali pada pekan berikut. Tapi ternyata Anda mengarahkan kemudi untuk kembali ke barat, dan sekarang kita berada di Tuban.'' Ceng Ho tertawa senang. ''Itulah bagian dari kebijaksanaan ciri manusia untuk tidak menjadi bodoh seperti Fei-Siung. Hanya manusia yang bisa berencana dan bisa mengubah rencana.'' Abdi itu bengong sebentar. Setelah itu dia mengaku, "Saya sulit mencerna itu. Seperti Anda ketahui, saya abdi dalem yang dijadikan pengawal yang bersenjata. Sebagai angkatan bersenjata saya harus memutuskan dengan tepat supaya tidak mengubah keputusan yang sudah ditetapkan." "Pikiran dan perasaan manusia bukanlah kembaran jamadat," kata Ceng Ho. "Jadi, apa itu artinya?" "Hanya jamadat yang tidak bergerak. Padahal, yang menarik dari pikiran dan perasaan manusia adalah karena sewaktu-waktu ia berubah menyesuaikan keadaannya dengan waktu yang berubah." Abdi itu mencoba meresapkan kata-kata Ceng Ho. Pikirannyameloncat-loncat. Antara lain, dia mengingat akan keberadaannya di kapal Ceng Ho sebagai wakil Wikrawardhana untuk menghadap Kaisar Ming. Sebelum itu, ketika dia menjadi pengawal di istana, melihat sendiri bagaimana Wikramawardhana yang disebut Wikrawardhana itu menikam Tunggul Petak. Setelah itu dia pula yang melakukan penjagaan terhadap raja dan menyerang Ceng Ho di depan singgasana rajanya. Toh sekarang dia menyadari sendiri bahwa betapa banyak hal yang belum diketahuinya yang ternyata dipunyai oleh pemimpin semacam Ceng Ho. Maka masalah berikutnya, setelah dia terpaksa mesti berpikir dengan sulit karena keterbatasannya, namun juga karena kelebihannya dalam perasaan sebagai seorang yang berlatar wiraswara -yang artinya memiliki kemampuan menimbang-nimbang suasana batin dalam keindahan seleh (istilah karawitan untuk pengertian jatuhnya tel pada akhir larik lagu atau cengkok lagu- adalah menyangkut ilustrasi yang diacu Ceng Ho dalam khotbahnya itu. "Ada lain hal lagi yang membuat saya bingung," katanya.
"Hal apa itu?" tanya Ceng Ho. "Tadi Anda membuat ilustrasi dari agama Cina. Apakah Anda tidak berprasangka buruk terhadap agama lain di luar Islam." Ceng Ho tersenyum. "Mungkin karena saya orang Cina. Orang Cina sangat terbuka pada semua perbedaan. Orang Cina-lah yang memiliki teori keseimbangan antara siang-malam, jantan-betina, langit-bumi, manfaat-mudarat, dalam perlambangan im-yang. Mengapa bisa? Sebab, orang Cina mampu melihat kesamaan dalam kebedaan, dan itu yang membuat kami penganut Tao, Konghucu, Buddha, Islam bisa rukun, dan temurun ke murid-murid A-Lo-Pen (nama seorang rahib Katolik ortodoks yang membawa Kristen di Cina pada tahun 635, melalui Ch 'an-an (kini Sian-fu), dan diizinkan oleh T'ai Tsung (625-649) dari dinasti T'ang setelah berhasil meyakinkannya di bawah pelbagai kesulitan dan hambatan yang memulia Cu-Ye-Su." (raja diraja Yesus).


***


 Bukan hanya abdi itu yang bertanya-tanya. Beberapa orang cantrik Ki Anom di padepokannya sana, pada malam yang sama, tampak mendiskusikan khotbah Ceng Ho tadi siang itu. Hampir semua cantrik hadir. Semuanya bersila di sekeliling Ki Anom. Rupanya ada seseorang yang tidak tampak di situ. Yang disebut ini ikut bersama Ki Anom ketika kali pertama Ki Anom ke Tuban untuk menemui Ceng Ho. Karena tidak melihat cantrik itu di situ, berkata Ki Anom sambil melihat-lihat kepala tiap-tiap cantrik. "Di mana Si Blekok?"
tanyanya. Lotik yang menjawab, "Pulang kampung."


***


Benarkah Si Blekok pulang kampung? Lotik sendiri tidak tahu. Blekok - demikian dia dijuluki sebab kakinya panjang - kelihatannya terpanggil oleh hawa nafsu untuk menjadi
cantrik yang curang. Rupanya memang selalu begitu, di dalam sebuah komunitas mesti ada seseorang yang berkhianat.
Ke mana sebetulnya Blekok pergi?

Ternyata dia berada di Puri Naranatha. Dan kelihatannya dia sudah menyampaikan banyak hal mengenai Ceng Ho sehingga Naranatha memukul dada dengan sombongnya.
Sambil memukul dadanya Naranatha berkata, "Dia belum tahu siapa Naranatha Nastika. Apa dia belum kapok juga?"
Lalu dengan sikap yang sangat menjilat Blekok berkata, "Keampuhan Anda merusakkan padepokan Ki Anom pun telah membuat Ki Anom gemetar."

"Ya, lihat saja," kata Naranatha dengan kesombongan yang tidak surut. "Sekarang baru gemetar, besok-lusa saya akan bikin mereka semua, termasuk laksamana dari Cina itu, terkencing-kencing dan terberak-berak."

“Laksamana Cina itu memang mau mencari gara-gara dengan Anda. Dia belum tahu siapa Anda."
"Ya, lihat saja."
"Apa yang akan Anda lakukan?"
"Mula-mula saya akan membuat mereka pusing dulu. Sampai akhirnya nanti mereka menyembah-nyembah memohon ampun dari Naranatha Nastika ini." Dan dia ketawa.
Ketawanya kayak ketoprak. Kedua tangan di pinggang, dada dibusungkan, dan kepala digoyang-goyang. Setelah itu dia tengadah ke langit-langit, berteriak kepada yang di atas dengan gaya pethakilan yang menyengalkan mata. "Ha, yang di atas langit, katakan lekas, Naranatha Nastika tidak pernah terkalahkan oleh siapa pun." Lalu dia pandang semua gemblakannya yang berada di sekelilingnya. "Betul begitu kan?"
Semua gemblakan menjawab, "Betuuuul!"
Naranatha terlalu kemaruk. Dia tidak pernah mengetahui apa yang sangat diketahui oleh Ceng Ho; bahwa di dalam waktu yang berubah manusia bisa menjadi arif dalam membuat dirinya berubah atau bisa juga menjadi arif dalam membuat dirinya tidak berubah.
Sebab, hanya ada dua ciri manusia yang selalu diperkatakan Ceng Ho. Yaitu manusia yang kalah dan manusia yang menang.


***********
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 18:05
Tapi apa pasal utama yang membuat Naranatha secara khusus ingin menghancurkan Ki Anom? Lelaki! Mengapa? Bukankah Naranatha seseorang yang tidak tertarik pada perempuan? Karena dia tidak tertarik pada perempuan, maka sebaliknya dia amat tertarik kepada lelaki. Dia berminat pada lelaki, pada pantat lelaki, dan dengannya mengira telah memperoleh kehidupan yang nyata, karena dia tidak menyadari bahwa pikiran dan perasaannya sakit. Penyakit Naranatha adalah yang sekarang biasa disebut neuroses homoseksual. Nanti Ki Anom akan mengatakan hal yang apa adanya kepada Ceng Ho mengenai persoalan ini, yang dia sendiri masih meraba-raba, karena pengacuannya yang pelik dan rumit. Yaitu, bahwa Naranatha marah, dengki, dendam, kepada Ki Anom, semata-mata karena seseorang yang membuat hasrat dan berahinya tidak tercapai. Naranatha menyukai seorang lelaki, tapi lelaki itu berhasil diinsafkan oleh Ki Anom untuk menjadi lelaki yang wajar, beristri dan beranak. Siapa lelaki yang dimaksud itu? Dia adalah Lotik; cantrik paling cerdas yang telah menjadi asisten Ki Anom untuk pelbagai kegiatan di padepokannya.




***


Bukan kepalang geram Naranatha sekarang. Perkembangan padepokan Ki Anom, dan bertemunya Ki Anom dengan Ceng Ho, dan keadaan Tuban setelah ekspedisi Ceng Ho singgah beberapa hari di sini untuk banyak hal: berdagang, bertukar budaya, mengajar banyak
pengetahuan kepada penduduk di kota pelabuhan itu.
Yang paling menarik bagi Naranatha; menarik karena dengannya dia menaruh dengki, adalah keterangan Blekok tentang anggota ekspedisi Ceng Ho yang mengajar orang-orang datang meminta pelajaran.


"Memangnya pelajaran apa saja yang diberi oleh anggota ekspedisi Sam Po Kong itu?" tanya Naranatha dengan dengkinya.
"Werna-werna. Yang paling penting adalah mengajar tentang memanfaatkan tumbuh-tumbuhan obat. Malahan, konon mereka membawa juga tanaman-tanaman obat dari Cina untuk seseorang di Semarang dan Kudus."
"Disebut juga nama orang yang dimaksud itu?"
"Tidak."
"Hm. Lantas pengajaran apa lagi?"
"Saya kurang periksa. Tapi, o ya, termasuk juga budi daya ulat sutra dan burung walet."
"Ulat sutra dan burung walet?"
"Ya. Dengar-dengar, ada pelaut Bugis yang sedang bersandar pinisinya di Tuban, mengatasnamakan raja Bugis, meminta ahli ulat sutra itu untuk pergi juga ke Tanah Bugis."

"O, begitu?" Naranatha memicing mata, membalik belakang, berjalan ke pojok sambil menjawil ketimun Blekok dengan cara yang sangat gatal.

Blekok bergerak refleks, walakin kaget, menjawab saja dengan cara yang ketularan tidak jujur, "Ya, itu yang saya ketahui."
"Lantas, apa lagi yang kamu ketahui?"
"Sementara itu saja."


***


Kemudian Naranatha bergegas pergi ke tempat perempuan yang pandai bermain sihir itu.
"Saya meminta saranmu," kata Naranatha.
"Kalau yang kau minta hanya sekadar mencelakakan musuhmu, dan tidak membuatnya mati, maka pikiranmu akan terus bertempur dengan perasaanmu, dan tidak ada yang bisa memenangkan antara pikiran dan perasaan," kata cenayang itu.
"Jadi apa maumu?"
"Kanapa kau masih repot? Bukankah saya sanggup menenung, menyantet musuhmu itu?

Tinggal katakan saja, sekarang atau besok, saya santet, dan kau tidak perlu lagi menempurkan pikiran dan perasaanmu. Santet, dan mati, berarti selesai penasaranmu."

"Memang akhirnya kau harus menyantet sampai mati. Tapi kalau kau lakukan itu sekarang, itu terlalu cepat menyelesaikan persoalan. Saya ingin pengikut-pengikut Ki Anom meninggalkannya, melihat akan kekuatan saya."

"Apa yang ingin kau perlihatkan dalam kekuatan itu?"
"Kekuasaan."
"Ingat, kekuasaan hanya sekali hadir sebagai kesempatan. Kalau kau terlambat memanfaatkannya, untuk selamanya kau tidak pernah memiliki kekuatan."
"Apakah dengan pernyataan itu saya sedang mendengar saran darimu untuk menyantet saja Ki Anom?"
"Bukan saya yang memutuskan," jawab cenayang itu. "Kamu!"
Naranatha diam. Diam bisa berarti berpikir. Diam bisa juga berarti setuju. Selanjutnya, tinggal melihat apakah Naranatha berpikir untuk setuju membiarkan cenayang itu melaksanakan
kemampuan-kemampuan sihirnya.
Setiap cenayang memiliki rasa percaya diri yang beralas pada roh kegelapan. Demikian juga cenayang yang menjadi sekutu Naranatha untuk melakukan tindakan-tindakan kegelapannya.
Jika sampai seorang cenayang salah memperhitungkan rasa percaya dirinya terhadap roh kegelapan, dan ternyata di dalam tindakannya dia kalah, artinya orang lain yang memperoleh kemenangan, tidak pernah ada kamus wirang baginya.

Jika begitu, tunggu saja apa yang akan terjadi. Siapa yang kalah dan siapa yang menang masih merupakan tanda tanya yang jauh. Peristiwa jalannya ikhtiar masih berlanjut bersama dengan
misteri kehidupan dan ketidakpastian cuaca: angin yang membawa awan di langit dan arus yang menggelombangkan air di laut....



***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 18:11
Sebelum itu, perhatikan terlebih dulu apa yang dilakukan dengan semangat bersahabat oleh ekspedisi pelayaran Ceng Ho di Tuban. Waktu telah bertambah, hari-hari bertambah pula, dan dengan begitu mereka telah diam hampir tiga pekan di Tuban. Benar, telah diketahui banyak orang, nakhoda pinisi Bugis yang kebetulan ada di Tuban dari pelayaran dari barat menuju ke timur laut, Ujungpandang, telah meminta Ceng Ho datang ke Sulawesi Selatan. Siang itu, ketika pasar yang digelar di tepi pantai sedang ramai, nakhoda Bugis itu, namanya Ucu, berbincang dengan Ceng Ho di sebuah rumah minum. "Anda tahu, kami orang Bugis-Ujungpandang adalah bangsa yang piawai membuat kapal-kapal pinisi," kata Ucu. "Tapi, melihat kapal Anda yang demikian besar, kami mengaku harus belajar pengetahuan itu dari bangsa Anda." "Pengetahuan membuat kapal, sebagai peranti pelayaran yang sepenuhnya mengandalkan kayu-kayu yang bagus, terlebih dulu yang mesti dipikirkan adalah bahan-bahan kayu itu," kata Ceng Ho. "Artinya, kapal berurusan dengan pohon. Bagaimana merekatkan kayu dari sisi kiri dan sisi kanan badan kapal, itulah pengetahuan dasar yang harus dikuasai." "Benar sekali," kata Ucu. "Sekarang saya ingin tanya kepada Anda, bagaimana caranya Anda mempertemukan dinding kanan dan dinding kiri kapal?" “Pertama, di paling bawah kapal adalah balok besar yang dipahat," kata Ucu. "Itu benar," kata Ceng Ho. "Tapi untuk kapal induk, seperti yang kami punyai ini, memahat batang sepanjang lebih seratus hasta tidak praktis. Pertanyaannya juga, adakah batang sepanjang lebih seratus hasta untuk dipahat dengan cara begitu? Pertanyaan lain, di mana kekuatan dasar kapal, menyangkut dinding-dindingnya jika kapal itu membentur batu karang? Pasti tidak kuat. Maka jawabnya, Anda pasti ingin tahu bukan?" "Ya, Laksamana," jawab Ucu dengan jujur. "Kekuatan paling tidak tertandingi adalah memanfaatkan batang-batang pohon yang bercabang dua dengan sifat cabang simetris. Kami memakai itu dalam kapal induk kami itu. Setelah itu baru kami bicara bagaimana merekatkan sisi kiri dinding dan sisi kanan dinding." Ucu menyerap dengan cerdas. "Meyakinkan." Setelah itu, dia ulangi lagi apa yang pernah dikatakannya. "Maka atas nama Raja Bugis, saya undang Anda meneruskan pelayaran ke negeri kami di Salabassi." Ceng Ho menyambut dengan ramah. "Memang niat kami akan ke sana setelah berlabuh di Bali. Insya Allah. Tapi, andaikata kami tidak jadi mengembangkan layar ke sana, berhubung di dalam pelayaran kami selalu menyesuaikan dengan keadaan yang berkembang, saya berjanji kepada Anda akan mengirim salah seorang ahli kapal kami untuk bertukar pengalaman dan pengetahuan dengan ahli-ahli pinisi di negeri Anda." "Terima kasih," kata Ucu. "Tapi, baiklah, sebelum saya memberikan ahli kami kepada Anda, mari, saya ajak Anda melihat kapal induk kami."


***


Dan mereka naik ke kapal induk itu. Kapal itu tidak bersandar di pelabuhan, sebab kapal yang disebut ini sangat besar. Untuk mencapai kapal induk itu, mereka menggunakan sekoci. Lalu di sana mereka naik ke kapal itu dengan tangga-tangga tali. Ucu terperangah melihat tali-tali lain yang disimpan khusus di dalam beberapa jegung. Jegung-jegung itu berada di bagian bawah kapal, di dinding pertama setelah papan-papan dari sisi kanan dan kiri direkatkan di atas kerangka batang pohon yang bercabang simetris itu. Di depan jegung paling belakang kelihatan dua orang pekerja sedang merajut dan memperbaiki tali kapal yang tampak cuwil dan rompak. "Saya belum pernah melihat seperti ini," kata Ucu.  Ceng Ho menghargai keterusterangan Ucu. Dengan semadya Ceng Ho berkata, ''Kami pun baru menemukan teknologi ini.''


***


Banyak orang yang tanggap melihat Ceng Ho sebagai sumber pengetahuan. Tidak ada pertanyaan yang tidak dijawabnya. Dengan jawaban yang disertai contoh-contoh membuat orang yang bertanya puas.

Selain pertanyaan-pertanyaan dari para mualaf yang merindukan jawaban tentang tauhid, fikih, dan tasawuf sebagai sendi agama Islam yang dikuasainya - jangan lupa bahwa ayahnya haji dan dia pun telah menunaikan rukun Islam kelima itu pada usia yuwana -maka beberapa anggota ekspedisi dalam pelayaran itu juga merupakan guru-guru yang andal dalam banyak bidang. Yang paling menarik perhatian orang adalah ahli tumbuh-tumbuhan obat. Sekurangnya dua orang ahli jamu ikut dalam pelayaran Ceng Ho. Selain itu yang sudah diketahui khalayak luas, berhubung di pasar yang digelar di dekat laut itu, para ahli tenun sutra, ahli keramik, ahli ukir dan lukis khas Cina, tukang bordir, dan banyak lagi, tak terbilang lagi tukang-tukang masak. Dan, jangan lupa ahli-ahli agama Cina, Tao, Konghucu, dan Buddha, setiap saat dapat diajak bertukar pikiran. Yang tak pernah disebut, karena memang hanya bisa dihitung dengan jari pada zaman Ming: orang-orang melanjutkan ajaran-ajaran A-Lo-Pen di tengah agama negeri Han San Wei Yi. Namun, tak boleh juga dilupakan, di dalam rombongan pelayaran Ceng Ho ada pula seorang yang bisa ditanya dengan diam-diam dan tertutup akan kemampuannya atas pengetahuan klasik India yang melintas ke Cina, yaitu Kamasutra, ilmu tentang seks yang ditulis di negeri asalnya seribu tahun lampau, yaitu antara abad ke-4 sampai seratus tahun kemudian. Semua pengajaran, baik yang dilakukan oleh Ceng Ho maupun oleh ahli-ahli, tidaklah seperti sekolah resmi yang diselenggarakan khusus dalam sebuah ruang, tetapi di pasar tempat orang berdagang bertukar barang, yaitu dengan duduk bersila atau berjongkok. Pendek kata, sebisanya menguping di hadapan orang yang memberikan pengajaran itu.


***


Suatu hari Ki Anom memohon kepada Ceng Ho, seandainya laksamana ini berkenan, untuk berceramah dan mengajar cantrik-cantriknya di padepokannya.
Begitu kata Ki Anom memohon, ''Sekiranya Anda berkenan memberi pengetahuan Anda itu
kepada cantrik-cantrik saya.''
''O ya, tentu,'' sambut Ceng Ho dengan hangat. ''Ini sekalian bersilaturahmi.''

***
Atas sambutan Ceng Ho yang hangat itu, Ki Anom, yang bernama asli Giok Gak langsung mewara-warakan kepada cantriknya, dan mengimbau cantrik-cantriknya supaya orang tua mereka masing-masing yang berada di desa-desa datang ke padepokannya di pesisir untuk mendengar pengetahuan atau kawruh yang akan diberikan Ceng Ho dan ahli-ahlinya. ''Kalau kalian bisa pulang ke desa masing-masing pada esok hari dan datang kembali ke sini pada tulat hari, maka kalian beserta orang tua kalian belum letih untuk mengikuti ceramah yang akan dilakukan Sam Po Kong pada tubin hari,'' kata Ki Anom. ''Nah, apakah hal ini belum jelas?'' Semua cantrik menjawab, ''Jelaaas!'' ''Baguslah,'' kata Ki Anom. ''Jika begitu bersiap-siaplah.''

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 18:19
Si Blekok yang berada di sana lebih dulu berkemas dan pergi. Tetapi apakah dia pergi ke kampung untuk mengundang orang tuanya? Jelas, jawabnya: tidak!

Blekok yang kakinya panjang dan juga lehernya, sehingga memang pantas teman-temannya sejak kecil menyamakannya dengan burung bangau di sawah, langsung berangkat ke selatan, ke puri Naranatha, menemui zindik itu.

Naranatha menghampiri Blekok sambil memegang terong yang ada di selangkang Blekok. Katanya dengan gaya yang gemulai tetapi tetap tidak tanggal dari sifat-sifat jahatnya, ''Berita apa yang kamu bawa siang-siang begini, mengganggu tidur siangku bersama dengan kekasihkekasihku?'' ''Ada berita menarik,'' kata Blekok. ''Menarik?'' ''Ya,'' kata Blekok dengan bersemangat. ''Laksamana Cina itu, Sam Po Kong, akan datang berceramah kemudian memberi pengajaran kepada cantrik-cantrik Ki Anom.'' ''Begitukah?'' Naranatha terbelalak senang. ''Kapan itu?'' ''Empat hari lagi dari hari ini.'' Naranatha tertawa terbahak dan menghentikan dengan tiba-tiba tawanya itu. Katanya, ''Itu waktu untuk tandak. Akan kukirim peronggeng dalam puting-beliung yang akan menari-nari di atas padepokannya. Sumpah mampus disambar geledek, Ki Anom bakalan menyesal lahir dari rahim perempuan, dan Lotik akan menangis sedu-sedan seperti yatim-piatu.'' Lalu dia berteriak sambil menengadah ke langit. ''Wahai roh kematian, roh kegelapan yang mewakili segala tarikh kejahatan, masuklah dalam diriku.'' Semua gemblakan di sekeliling Naranatha memandang dengan tegang dan takut kepada zindik ini. Mereka, sebagaimana umumnya orang-orang yang sudah tersihir oleh kemampuan tenung, menunggu dengan kepercayaan yang aneh dan tak masuk akal akan kekuasaan zindik itu menyerapah-nyerapah alam. Termasuk Blekok berharap-harap cemas akan kehebatan Naranatha menaklukkan lawan-lawan dan aral yang melintang di jalannya. Yang membuat Blekok kagum kepada Naranatha, dan karena itu dia telah menjadi pengkhianat kepada Ki Anom, adalah pernyataan Naranatha yang diucapkan dengan mamandang satu per satu gemblakan di kitarannya. Kata Naranatha, "Kalian lihat saja nanti, begitu hari yang tubin itu laksamana Cina berada di padepokan Ki Anom, aku, bersama dengan cenayangku, akan membuat langit menjadi hitam kelam. Nah, aku ingin bertanya kepada kalian semua: apakah kata-kataku tidak punya kekuatan untuk melakukan itu?" Blekok yang bukan gemblakan malah menjawab dengan sikap sangat menjilat, "Saya yakin, Anda sanggup." "Tentu saja," kata Naranatha dengan angkuh, congkak, dan takabur. "Lihat saja dengan mata kepalamu." Dan Blekok cengengas-cengenges dengan gaya yang khas khianat. Memang selalu dunia manusia menjadi menarik, sebab di dalamnya tak henti-henti muncul pengkhianatpengkhianat.


***


Hari yang dirancang untuk mengundang Ceng Ho datang ke padepokan Ki Anom telah dipersiapkan dengan baik. Kebanyakan orang tua cantrik yang tinggal di desa masing-masing datang juga ke padepan Ki Anom untuk mendengar ceramah dan kawruh Cina yang akan dibagikan, diamalkan, ditularkan ke para cantrik Ki Anom dan keluarga mereka masingmasing. "Saudara-saudara," kata Ceng Ho menyapa para cantrik Ki Anom. "Pengetahuan kita sebagai manusia, tentang manusia, terdiri atas dua sifat, yaitu jahat dan baik. Jika dalam uraian-uraian saya nanti saya berkisah tentang raja-raja atau kaisar-kaisar Cina yang jahat-jahat, dengan begitu saya bermaksud melihat betapa mustahak kita berbuat kebaikan, kebajikan, kebijaksanaan. Untuk mengetahui hal yang baik, kita harus mengetahui juga yang jahat. Dengan mengetahui yang jahat, diharapkan kita membuang jauh-jauh yang jahat lantas berbuat yang baik. Supaya kita dapat berbuat baik dan mengenal arti kebaikan sebagai lawan dari kejahatan, sudah barang tentu kita harus mengenal betapa buruk kejahatan tersebut.
Nah, saya akan memulai dengan menyebut kaisar Cina yang jahat. Raja Cina pertama yang tergolong contoh untuk mengenang kejahatannya dimulai dari Ji, hidup pada 3.135 tahun *) lalu. Dia digulingkan oleh Shang yang memenjarakannya di Nanchao sampai mati. Dari kejahatannya antara lain orang mengenangnya dengan pahit akan ungkapan "kolam anggur dan pohon daging!" Sekarang, saya ingin bertanya kepada Saudara-saudara, kenapa orang - dalam hal ini sang penguasa, artinya orang yang memiliki kekuasaan - berbuat kejahatan? Jawabnya, sebab nuraninya tidak menjadi mahkamah Allah. Kejahatan sebagai pelanggaran terhadap kerahmanan dan kerahiman ilahi itu lazimnya kita sebut "dosa". Ini beda dari pelanggaran biasa yang bersifat hukum. Dosa itu adalah suatu skandal rohani, baik tindakan sadar maupun pikiran yang tidak sadar yang tidak taat terhadap kehendak Allah yang paling dasar, yaitu kerahmanan dan kerahiman-Nya, dan oleh karena itu mengancam akan hilangnya rahmat dan rusaknya kodrat alami manusia. Tahukah Saudara-saudara siapa pemberi ilham akan kejahatan itu? Dia tidak lain adalah setan atau iblis. Karena itu jika nurani kita adalah mahkamah-Nya Allah, sudah jelas musuh kita yang harus kita lawan adalah iblis atau setan yang cepat sekali datang menduduki hati kita dan otak kita..."
***
Bersamaan dengan kalimat Ceng Ho yang panjang itu, sekonyong langit yang cerah berangsur berubah menjadi kelam, seakan matahari ditelan malam, bagai gerhana. Semua orang yang mendengar ceramah Ceng Ho tercengang. Mereka semua melihat ke luar, ke langit yang berubah menjadi gelap. Ketika semua terperanjat melihat kenyataan akan perubahan terang menjadi gelap, satusatunya orang yang cuma tenang-tenang adalah Blekok. Dia menikmati betul perubahan ini. Dia tahu pasti ini adalah kerjaan Naranatha. Bukankah zindik itu sudah mengatakan perkara ini pada hari lalu? Dari Lotik terdengar seru bimbang. Kata Lotik, "Apakah ini gerhana?" Ki Anom pun tampak bimbang. Tapi dia bisa menekan perasaannya. Kepada Ceng Ho yang berdiri tenang di depan, Ki Anom bertanya sambil tidak mengedipkan mata melihat langit yang tengah berubah ke hitam, "Apakah betul ini gerhana, Laksamana?" "Tenanglah," kata Ceng Ho. "Inilah yang baru saya sebut-sebut itu. Ini pekerjaan iblis atau setan." "Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ki Anom. "Demi Allah, bulatkan hati, kita harus melawannya." Dan, bersamaan dengan itu terdengar gemuruh hurikan menderu dahsyat dari arah selatan ke utara, mengguncangkan atap-atap padepokan Ki Anom. Di utara sana, di laut, hurikan itu terdengar seperti sebuah letusan luar biasa. Bagaimanapun orang-orang yang sedang memusatkan pikiran kepada inti ceramah Ceng Ho, selain terganggu, juga kaget dan gamang. Karena itu mereka semua meloncat, buyar dari tempat sila mereka, lantas berlari keluar kian-kemari, bertubruk di dalam gelap, panik. Dalam keadaan seperti itu mereka benar-benar tak tahu harus berbuat apa sehingga membuat mereka tenang. Maka Ceng Ho menyeru dan mengimbau mereka supaya tenang. Kata Ceng Ho dengan kalimat tutur yang amat fasihat, ''Jangan biarkan hati kalian dirampas oleh pesona hobatan. Ini sepenuhnya pekerjaan hobatan. Pekerjaan hobatan adalah pekerjaan setan. Mari, bersama saya, kita arahkan hati kita hanya kepada Allah. Tidak mungkin iblis mengalahkan kita!'' Ceng Ho pun keluar, lalu berdiri di atas sebuah gelugu. Dia sedakap di atas gelugu itu seraya menundukkan kepala. Bibirnya bergerak-gerak, komat-kamit. Niscaya dia sedang mengucapkan di dalam hati suatu penyerahan diri yang sangat mustakim kepada sang Khalik menghadapi perkara yang jelimet ini. Kata Ceng Ho di dalam hati yang tak terdengar siapa pun di situ, ''Hamba ini hanya seorang kerical, ya Allah ya Rabi, tapi hamba memohon, tunjukkan kuasa-Mu atas alam ini. Kembalilah gelap kepada yang gelap, kembalilah mambang kepada yang mambang, kembalilah datuk kepada yang datuk, kembalilah setan kepada yang setan. Allahu akbar! Kembalikan terang menjadi terang, kembalikan hati menjadi hati, kembalikan nurani menjadi nurani, kembalikan iman menjadi iman. Allahu akbar!'' Tampaknya semua orang benar-benar bersandar kepada doa Ceng Ho. Dan, ketika Ceng Ho berseru-seru kepada sang Khalik dalam keyakinan yang penuh, tulen, sejati, Ki Anom menabuh-nabuhkan galaganjur dan Lotik menabuhkan pula kentongan. Hanya si pengkhianat Blekok yang berdiri dengan mata keladau dalam dengki yang telah menyesatkannya.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 18:23
Dan bagaimana gerangan keadaan Naranatha di purinya sana?
Di dalam sebuah pahoman *) tampak perempuan jelek dan berbau aneh yang cenayang terpercaya Naranatha itu masih memainkan tenung dengan sikap yang setel yakin. Sambil memegang daun rasau di tangan kiri dan tongkat kecil dari ranting pohon betutu di tangan
kanan, cenayang itu mengebas-ngebaskan asap kemenyan di atas anglo seraya membaca-baca japamantra yang rancu bahasanya. Pada akhir baca-bacaannya yang dilakukan dengan tubuh gemetar dari bibir sampai bibir, bercampur dengan ludah yang muncrat dari dalam mulut yang seluruhnya gupak kotor oleh sirih, cenayang itu kaget sebab tiba-tiba tubuhnya melantak dari silanya.

''Ada apa ini?'' katanya memandang ke sekitar pahoman, kepada Naranatha dan gemblakan-gemblakan-nya.
Naranatha pun terkinjat melihat orang kepercayaannya terlantak seperti itu. ''Kenapa?'' tanyanya.
Cenayang itu menarik dan mengembuskan nafas keluh-kesah. ''Entahlah,'' katanya.
''Apa maksudmu bilang 'entah'?
''Ya, rasanya kekuatan yang aku kirim ke sana terhalang, dan sekarang sedang kembali ke sini.''
''Apa katamu?'' tanya Naranatha dengan geram.
''Maaf, Naranatha, begitulah hal yang sesungguhnya terjadi,'' kata cenayang itu.
''Tidak!'' seru Naranatha. ''Kamu hanya mau membuat pikiranku tawar. Katakan apa yang sebenarnya terjadi?''
''Saya khawatir, Naranatha.'
''Khawatir apa? Apa yang kamu khawatirkan?''
''Segala sesuatu yang dikirim, dan tidak sampai ke alamat, selalu pulang kembali ke alamat dalam keadaan cacat.''
Naranatha memegang leher cenayang itu dengan kedua tangan lantang mengguncangkannya.
''Apa maksudmu bicara begitu?'' desisnya bimbang bercampur kecewa.
''Maaf, Naranatha,'' kata cenayang itu. ''Saya khawatir, pulangnya bala yang berangkat ke utara ini akan mengguncangkan kita semua.''
''Tidak!'' pekik Naranatha seperti kehilangan kendali urat saraf. Dia mencekik leher cenayang itu, tapi kemudian melepaskan dengan cara mengempas.
''Jangan main-main kamu!'' katanya. ''Tenung apa pula yang kamu rekakan sehingga bisa membuat tenungmu pulang kembali oleh tenung mereka?''
''Entah tenung apa yang mereka tangkiskan di sana...''



***


Ya, cenayang Naranatha dan Naranatha tidak pernah tahu bahwa Ceng Ho tidak menggunakan tenung. Yang dibuat Ceng Ho di padepokan Ki Anom adalah doa, permohonan, dan pengharapan dari kesungguhan hati, dari hati yang mukhlis, dan dengan iman yang teguh kepada hanya satu Tuhan yang Mahakuasa.

''Hanya kepada Allah yang akbar kita menggantungkan falah kita menghadapi serangan mulhid ini,'' kata Ceng Ho. 

Dan langit di atas padepokan Ki Anom berangsur terang, menyingkirkan gelap yang tadi menyelimuti.

Semua orang terbengong.

Hanya satu orang yang tak suka. Dia tak lain adalah Si Blekok. Tapi, aneh bin ajaib, dalam sekejap Blekok dapat berubah pikiran. Dia menangis tersedu-sedu memegang kaki Ceng Ho.

''Sekarang saya benar-benar percaya,'' katanya. ''Anda memang luar biasa.''
''Percayalah pada keluarbiasaan Allah, bukan kepada saya,'' kata Ceng Ho.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 18:31
Bersamaan dengan itu, gelap yang berangsur lenyap di atas langit padepokan Ki Anom berangkat pulang ke selatan. Ke mana alamatnya?
Seperti sudah diduga cenayang itu, bala yang dikirimnya ke utara, ke padepokan Ki Anom, terbang kembali ke puri Naranatha, dan pulangnya benar-benar tak terkendali lagi. Bala yang tak berwujud, kecuali gelap dalam hurikan yang dahsyat, menukik ke puri Naranatha dan  membelah atap bangunan inti. Semua orang di dalam puri berlari terbirit-birit keluar, menghambur ke pekarangan dan berlindung di bawah pohon-pohon sekitar.
Tapi sebuah api berekor kelihatan terbang dengan kencang dari utara dan membakar pohon-pohon tempat gemblakan-gemblakan Naranatha berlindung. Tiga orang gemblakan yang berlindung hangus bersama pohon yang hangus seketika. Sebelum ketiga gemblakan itu
hangus di situ, yang seorang, menjerit takut dan putus asa dengan gaya sangat kewanitaan.

''Aduh, masa kita mesti mati dengan cara begini?'' katanya sekarat dan kemudian mampus.
Naranatha sedih melihat gemblakan-nya mati konyol seperti itu. Tapi itu tidak membuat dia insaf dan jera. Malahan hatinya yang cemar itu telah membangkitkan kemarahan baru dendam baru, dan laknat baru, untuk melakukan sesuatu yang dalam pikirannya untuk
mencelakakan orang yang tidak disukainya. Kini orang yang tidak disukainya menjadi dua: Ki Anom dan Ceng Ho.

Di dalam kemarahannya itu dia memegang kembali leher cenayangnya, berkata dengan kedua mata membulat, seakan-akan hendak lepas dari kelopaknya. ''Saya tidak mau menerima kekalahanmu. Sekarang juga lakukan sesuatu untuk memenangi perang ini. Katakan cepat, ayo, katakan bahwa kita tidak kalah.''

Dengan susah dan sulit karena lehernya dicekik, cenayang itu berkata, ''Ya, aku bersumpah.''
''Bersumpah kita akan menang,'' kata Naranatha sambil mengguncangkan badan cenayang itu.
''Saya bersumpah, Naranatha.''
Dan Naranatha pun melepaskan cekikan. ''Bagus,'' katanya.
''Tapi kasih saya waktu untuk mengukur kekuatannya,'' kata cenayang itu.

Naranatha membalik badan. Dia tidak bilang apa-apa. Hatinya saja yang mendidih.


***

Sampai besok berlanjut besok dan besoknya lagi, orang-orang di puri Naranatha sibuk membersih-bersihkan bangunan yang rusak itu. Ada pula tukang-tukang yang memperbaiki gapura di depan puri itu. Sambil berdiri di depan tukang-tukang yang memperbaiki gapura gapura yang sebetulnya tergolong indah karena ukiran dan relief yang asal-usulnya dikerjakan dengan tekun dan terampil oleh perajin berpengalaman - Naranatha memandang dengan hati melaknat akan kegiatan orang-orang itu. Orang-orang yang bekerja memperbaiki puri Naranatha itu adalah para bausuku yang melakukan pekerjaan karena takut dan hanya diberi imbalan makan sangat sedikit, tiap kali dilakukan dengan cengkelong, sehingga tiap hari tubuh mereka pun mengurus dan mengurus tinggal tulang-belulang yang ditempeli kulit berkeringat. Salah seorang bausuku yang bekerja dengan sulit malah disepak oleh Naranatha. Bausuku itu terpelanting dan tidak bangun untuk selamanya. Tapi apa kata Naranatha kepada para bausuku yang setengah mati itu? ''Buatlah kembali gapura ini dengan seindah-indahnya, sebab dengan bekerja membuat patung ukiran, kalian terbebas dari kutukan dewata.''


***


Sementara, waktu yang diminta cenayangnya untuk mengukur kekuatan Ceng Ho - seperti pernyataannya sendiri -telah berjalan lima hari. Sang cenayang telah turun ke Tuban, berbaur di pasar yang digelar di depan laut itu, berpura-pura datang sebagai pembeli dan penjual.

Sudah terjadi selama ini bahwa anggota pelayaran Ceng Ho turun ke darat untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan di Cina, dan barang-barang dari Cina pun, khususnya guci keramik dan sutra, dijual dan dibeli pula oleh anak negeri, para pribumi yang berdatangan dari desa-desa sekitar Tuban.
Dia melihat betapa orang-orang di Tuban, baik Cina dari pelbagai keyakinan, pribumi, maupun para mualaf, sangat menghormati Ceng Ho. 

Maka berkata dia di dalam hati, "Kalau aku berhasil mengalahkan laksamana dari Cina ini, keruan penghormatan yang berlebihan dari orang-orang itu akan segera beralih kepadaku. Lihat saja nanti permainanku."


Dia simpan pikiran itu selama berada di Tuban. Setelah pulang ke selatan, ke puri Naranatha yang zindik mulhid jahanam itu, barulah dia akan menyampaikannya.


***


Mendengar keterangan cenayang itu, bukan alang-kepalang naik pitam Naranatha. Dia berteriak gunjing-gujirak dengan kata-kata nista lepas dari mulutnya seperti sampah yang mengalir di comberan. "Puki-mak itu laksamana Cina. Berani-beraninya dia mengepakkan sayap di tanah leluhurku," kata Naranatha. Cenayangnya menumpahkan pula pernyataan yang membuat hati Naranatha seperti lahar gunung berapi. Katanya, "Dia bukan saja mengepakkan sayap, tapi mencengkeram kakikakinya di tanah leluhur kita, Naranatha." "Jancuk! Asu!" kata Naranatha keras, dan para gemblakannya pun terkejut mendengar gunjing-gujaraknya. Lalu dia berdiri tegak memandang ke atas, menghardik langit yang terbelah oleh langit-langit purinya. "Wahai roh pendendam, roh hitam kelam, roh nenek moyang yang mukim di tempat sembunyi para mambang: mambang kuning, mambang merah, mambang hijau, mambang laut, mambang gunung, mambang sungai, mambang batu, mambang segala mambang, beri telingamu untuk mendengar, beri matamu untuk melihat, beri hidungmu untuk membau, beri hatimu untuk merasa. Aku Naranatha Nastika, darah dan daging yang lahir dari tanah leluhurku, tanah pitarah, tanah nenek moyang, tanah cikal bakal, arwah-arwahnya yang menghadir di atas aksara yang awal dan menyirna di atas aksara yang akhir, satukan rohku dengan roh kalian...." Bersamaan dengan itu sang cenayang menyembur-nyemburkan ludahnya ke mukanya, ke kiri dan kanan memainkan sihirnya. Dan, tampaknya sihirnya memang membuat para gemblakan di sekitar Naranatha itu dapat teryakinkan. Sebab para gemblakan itu melihat di depan matanya masing-masing berlangsungnya suatu perubahan dalam sosok Naranatha. Tampak di mata mereka bagaimana Naranatha berubah pelan-pelan menjadi makhluk tertentu yang mengerikan dan menjijikkan. Karena itu, para gemblakan Naranatha itu semua geling aman di tempatnya. Apa gerangan yang mereka lihat? Mereka melihat dengan mata yang telah ditumpulkan oleh rasa kepercayaan yang aneh, seakan-akan Naranatha adalah sosok campur aduk binatang-binatang: wajah seperti babi yang bertanduk, badan bulat panjang bagai ular, berkaki sepuluh dengan jari-jemari yang semuanya berkuku lancip bagai cengkeram harimau, berekor keriting dengan duri-duri besar mirip buaya, dan di congornya yang berada di bawah lubang hidung yang besar sebesar garis tengah buah kecapi kelihatan lendir berwarna kuning yang meleleh-leleh dari ujung lidahnya dengan bau luar biasa busuk. Bagi segenap gemblakan yang sudah tersihir hatinya, keadaan kasat mata Naranatha yang mengerikan dan menjijikkan itu membuat mereka semakin takut dan karenanya patuh. Mereka semua berlutut di hadapan Naranatha, menyembahnya. Kata cenayang, "Hai Naranatha, berangkatlah rohmu itu ke tempat merdeka yang didiami oleh roh nenek moyangmu. Adukan apa yang telah membuat hatimu menjadi api yang menyala." "Ya, aku akan bakar musuhmu dengan nyalaku," kata Naranatha. "Dulu cuma satu, Ki Anom dari Cina. Sekarang tambah lagi satu, juga dari Cina." "Jangan lupa, dulu nenek moyang kita, Kertanegara, sudah memukul mereka. Sekarang kau harus kembali memukul mereka."
***
Sementara itu hari-hari telah banyak berlalu di Tuban.
Pada Jumat yang cerah, sehabis khotbah, Ceng Ho memutuskan untuk berlayar lagi ke timur.
Ucu, pelaut Bugis itu, berharap sekali untuk Ceng Ho, bukan hanya wakil, yang dapat berkunjung ke Salabassi.
Tapi selalu sebagai pemimpin yang mau mendengar orang-orang yang dipimpinnya, Ceng Ho bertanya lebih dulu pada Wang Jing Hong dan perwira-perwiranya yang lain.

Mereka membuat rapat di ruang rapat yang biasa di kapal induk. Dan seperti biasa pula, semua hadir di situ termasuk dua orang juru tulis selundupan itu, Dang Zhua dan Hua Xiong.
Yang mesti disebut dengan lebih khas, perubahan yang terjadi dalam pikiran Dang Zhua kelihatannya makin kuat. Dia bermaksud menetap saja di Jawa seperti orang-orang sipil lain.
Harus dikatakan, banyak orang yang memilih Tuban. Kelihatannya hanya satu orang, Tan Tay Seng, yang tetap berkeras untuk nanti turun ke Mangkang, pelabuhan Semarang zaman itu.
Di tengah rapat dalam kapal induk itu Ceng Ho mengajukan pandangannya. Katanya, "Saya minta saran dari Wang Jing Hong, kapankah waktu yang paling tepat untuk meninggalkan Tuban ke Blambangan dan terus ke Bali?"

"Kira-kira dua pekan lagi ada tiga macam angin yang mungkin merepotkan pelayaran kita," kata Wang Jing Hong. 

"Tiga macam angin?" tanya Ceng Ho. "Angin apa saja?"
"Angin langkisau, angin lembubu, dan angin membakat," jawab Wang Jing Hong.
"Dari mana kau tahu?" tanya Ceng Ho.
"Dari pelaut Bugis itu, Ucu," jawab Wang Jing Hong. "Tentu dia lebih tahu, sebab dia sangat katam pada perairan di sini."

Ceng Ho diam sejenak. Berpikir. Setelah itu Ceng Ho berkata, "Ya, betul, kita memang harus mendengar dari orang yang lebih mengetahui daerah ini."


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 18:33
Ucu sendiri akan berlayar besok ke Salabassi. Ketulusannya untuk menyerap ilmu pembuatan kapal, dengan melihat contoh kapal induk ynag digunakan Ceng Ho itu, bagaimanapun telah disambut oleh Ceng Ho dengan mengirimkan salah seorang ahlinya untuk berlayar bersama Ucu ke Salabassi atau sekarang: Sulawesi Selatan. Menjelang senja, di hari Jumat yang sama ini, Ceng Ho menyediakan diri untuk berbincangbincang lagi soal kemungkinan menerima tawaran Ucu untuk dapat berlayar ke janabijana bangsa Bugis dan Jumpandang (kemudian pada lebih seratus tahun mendatang oleh Portugis disebut Makassar). Ucu diundang bercakap-cakap di kapal induk Ceng Ho. Kata Ceng Ho, dan Ceng Ho dikelilingi oleh perwira-perwiranya, serta Wang Jing Hong, "Saya tertarik untuk mengetahui tiga macam angin yang Anda sampaikan kepada Wang Jing Hong. Bolehkah Anda merinci perwatakan ketiga angin itu?" "Ya, memang angin ini merupakan pertemuan dari semenanjung Melayu, selat Sunda,dan laut utara yang datang dari selat antara Salabassi dan Kalimantan," kata Ucu. "Ciri angin langkisau itu seperti putaran gasing. Jadi, jika ia datang mendadak dari barat, maka ia berputar dengan kencang untuk kembali ke barat." "Bagaimana maksudnya itu?" tanya Ceng Ho. 'Begini," kata Ucu sambil mengeluarkan badiknya dan menaruhnya di atas meja. "Katakan misalnya bagian gagang ini adalah haluan, dan bagian ujung badik ini adalah buritan. Angin langkisau itu adalah angin kencang yang menerpa haluan sehingga haluan berputar ke belakang dan buritan menjadi di depan, dan begitu ia terputar berkali-kali. Kalau layar tidak cepat-cepat digulung, pasti tiang layar akan patah." Ceng Ho mengangguk-angguk. Setelah itu katanya menyimpulkan, "Itu sama dengan taifun."*) Ucu mengangguk pula. "Sering juga orang Melayu menyebutnya angin puting beliung," katanya. Ceng Ho mengangguk-angguk lagi. Lalu katanya, "Dan, dua jenis angin lainnya itu?" "Angin lembubu itu sama merepotkan juga. Angin lembubu itu datangnya dari atas, turun ke badan galiung secara berpusing-pusing, membuat galiung ikut berpusing bersamanya. Angin ini sering muncul di selat antara Kalimantan dan Salabassi, sekitar Masalembo ke utara." Ceng Ho tetap mengangguk. Dan, setelah itu dia bertanya lagi soal angin yang ketiga. "Lalu, angin yang satunya lagi?" "Angin yang satunya itu bisa saja angin membakat," jatab Ucu. "Ini angin yang sama berbahaya dengan kedua angin yang saya sebut tadi. Angin membakat ini menerpa kencang dari atas buritan disertai dengan gelombang yang tiba-tiba bergerak dari bawah karena arus yang mengacaukan haluan." "Begitukah?" tanya Ceng Ho. "Risiko paling buruk apa yang pernah dialami kapal-kapal Bugis?" "Yang paling rentan, tentu saja, bagian apilan bisa saja cedera dan lepas dari rekatannya," kata Ucu. "Dan, kalau bagian apilan rusak, maka otomatis itu mengganggu kerangka badan haluan, dan itu artinya pelan-pelan akan merusak pula bagian gading-gading di antero badan galiung. Kalau gading-gading rusak, tamatlah riwayat kapal." Ceng Ho langsung menanggap. "Insya Allah gading-gading dari kapal kami ini sangat kuat, pegas, dan kokoh. Ia sudah teruji diterpa badai di Laut Cina Selatan," kata Ceng Ho. "Seperti saya katakan, tulang rusuk kapal yang paling kuat terletak pada rahasia bagaimana memanfaatkan batang kayu yang utuh bercabang simetris, untuk dijadikan sebagai kerangka
gading-gading. Di luar gading-gading itulah direkatkan apilan dari bahan yang tebal-tebal.
Pengetahuan ini khas ditemukan oleh ahli-ahli kami di Cina."
"Saya ingin kembangkan itu ke dalam tradisi pinisi kmai," kata Ucu.
"Ilmu memang harus diamalkan," kata Ceng Ho. "Seperti sudah saya janjikan, saya akan mengutus salah seorang dari ahli-ahli kami untuk berlayar bersama Anda ke janabijana Anda."
"Terimakasih," kata Ucu. "Kami akan berlayar besok. Kami akan langsung ke utara, Kalimantan, sebelum ke timur, Salabassi."
Bersamaan dengan itu tampak di darat suatu kebakaran yang memerahkan bumi dan menghitamkan langit. Wang Jing Hong yang lebih dulu melihat itu.
"Astaga. Ada kebakaran di darat," kata Wang Jing Hong.
"Apa yang terjadi?" kata Wu Ping.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 18:40
Itu adalah ulah Naranatha. Melalui kerjaan cenayangnya yang telah membuatnya menjadi makhluk aneh, dia menantang Tuhan.  "Dengar semua kalian orang Cina," kata Maranatha yang tampak sebagai makhluk aneh itu. "Aku akan melawan orang Cina yang telah membawa agama baru, agama yang bersembahyang lima kali, dan aku akan membakarnya sampai hangus. Padepokan Ki Anom sudah kuhancurkan, tapi belum hilang, sebab konon dibantu oleh pemimpin pelayaran dari Cina. Nah, mana pemimpin itu. Biar kita beradu kekuatan dan kekuasaan. Tanah janabijana adalah tanah nenekmoyangku. Tanah janabijana adalah tanah kepercayaan Kertanegara."


***


Ketika Maranatha keranjingan seperti itu, kebetulan Lotik berada di pasar yang digelar di depan laut -yang kini tengah terbakar oleh kekuasaan sihir cenayang Naranatha - dan dia menyaksikan sendiri pula kata-kata pedas Naranatha.

Lotik pun segera pula ke padepokan Ki Anom, menceritakan akan apa adanya, tapi tanpa bermaksud memanas-manas hati suhunya itu.
Ki Anom cukup arif menanggapi apa yang diceritakan oleh murid atau cantriknya itu. "Kita tidak boleh masuk dalam sentimen yang hendak dibakarnya. Saya kira pendapat saya ini akan didukung juga oleh Sam Po Kong."

"Kalau begitu, mengapa kita tidak sampaikan ini kepada Sam Po Kong," kata Lotik.
"Mumpung kapal mereka masih tersauhkan di laut Tuhan."
"Saya kira itu baik juga."

***

Maka bergegaslah Ki Anom bersama Lotik dan dua orang cantrik lainnya - tapi tentu saja bukan Blekok - ke Tuban, dan berharap dari dermaga di situ mereka dapat mencari galiung yang bisa membawa ke kapal induk Ceng Ho. Perjalanan mereka dari padepokan Ki Anom di Jembel ke pelabuhan Tuban, tempat kapalkapal kecil jenis fusta, jung, galiung berjajar-jajar bersandar - kecuali kapal induk Ceng Ho yang disauhkan di tengah laut sana -tidaklah bisa dicapai dengan cepat. Hewan yang dipecut, yang menarik pedati yang mereka tumpangi, tak mau berjalan sesuai dengan keinginan yang menumpang kereta yang ditarik hewan itu. Hewan itu memang bukan kuda melainkan kerbau. Dan kerbau, seperti juga sapi yang paling tangguh pun, tampaknya tidak berminat berjalan laju. Baginya pepatah ini berlaku: alon kelakon. Ketika mereka berempat tiba di Tuban, itu terjadi lima jam kemudian. Yaitu, setelah Lotik meninggalkan Tuban tadi, ke Jembel, dan dari Jembel kembali lagi ke Tuban. Tak mereka ketahui bahwa Ceng Ho, yang sedianya akan mereka jumpai di kapal induk dengan menumpangi salah satu dari kapal-kapal pelbagai jenis, jung, fusta, atau galiung, yang bersandar di dermaga, malah telah berada di Tuban. Ceng Ho bahkan tiba di pasar yang sedang terbakar ini, dan menyaksikan beberapa orang yang sibuk memadamkan kebakaran dengan membawa berember-ember air. Dia pun sempat melihat orang-orang yang menangis memandangi tak berdaya barang-barang dagangan mereka yang ludes disikat api, atau dengan bahasa kampungan: si jago merah. Ada seorang perempuan yang bingung, ikut juga membawa ember bersama yang lain-lainnya hendak menyiram api yang berkobar itu. Namun, dalam kebingungannya dia tidak membawa ember berisi air, dia membawa ember berisi minyak. Maka, ketika dia menyiram api itu dengan ember yang dibawanya itu, karuan barang saja dagangannya berupa kain-kain cita dari jenis dewangga dan kelamkari dari Cina, kontan membuat api semakin menggila. Perempuan itu kaget, terkesiap, dan menjerit, lantas menangis meraung-raung. Tetapi tiada air mata dari kelopak matanya. Kelihatannya air matanya telah habis, kering dari cadangan yang tersedia di dalam tubuhnya itu. Dia pun meratap-ratap melihat api yang membakar barang dagangannya itu. Nanti dia pingsan di bawah kaki Ceng Ho. Dan sebelum pingsan, dia menceracau dengan nada yang meletupletup. Katanya, "Kenapa perebutan pengaruh, perebutan kekuasaan, persaingan kekuatan, selalu menggunakan cara-cara tak bermoral seperti ini: membakar pasar tempat orang mencari nafkah..." Ceng Ho sendiri tak dapat menjawab kecuali menyerap dan membenarkan. Katanya, "Ya, begitulah..." "Kenapa Anda tidak bertindak? Sudah jelas dia menantang Anda. Tangkaplah dia." "Pasti," jawab Ceng Ho singkat. "Sekarang, di mana dia?" Tidak seorangpun yang tahu. Naranatha telah berganti sosok.



***



Bagaimana cara Naranatha berubah? Di purinya di selatan, cenayangnya memainkan sihirnya. Dengan satu gerakan tangan di atas kemenyan si cenayang telah mengembalikan tubuh Naranatha menjadi manusia lagi. Dan, sebagai manusia Naranatha berada di tengah-tengah orang yang menyaksikan kebakaran itu dari arah yang agak jauh, yang artinya tidak terbias panas api. Dengan begitu dia dapat pula menyaksikan Ceng Ho tiba dari kapal, dan juga kedatangan Ki Anom dan Lotik bersama dua orang cantrik yang lain di dekat kebakaran itu. Demi melihat Ceng Ho dari jauh, gemeretaklah gigi-giginya menahan dengkinya. Dia menyerapah di dalam hati. Katanya, ''Jadi kamulah itu pemimpin pelayaran dari Cina yang bersembahyang lima kali seperti Ki Anom yang telah merebut Lotik?'' Ketika dia menyerapah seperti itu, wajahnya yang kuyu, keperempuan-perempuan, atau pendek kata tidak jantan sebagai lazimnya orang-orang lelaki yang gandrung pada sesamanya, mendadak berubah menjadi sangat jelek. Dia melangkah-langkah mundur, lantas berputar di belakang sana, pergi.


***


Sepanjang perjalanan pulang ke selatan, dia menghardik-hardik langit. Yang dia lakukan sebetulnya kejengkelan, kemarahan, kekecewaan kepada cenayangnya.

''Panggeeeh!'' katanya menyebut panggilannya kepada cenayangnya itu. ''Terkutuk kamu!
Kenapa kamu ubah diriku menjadi manusia biasa seperti ini, padahal aku sudah berhadapan  dengan orang-orang Cina itu!''
Naranatha pun cepat-cepat pulang ke purinya.


***

Kemudian Ceng Ho berbicara di hadapan khalayak, orang-orang Cina yang beragam: baik yang mayoritas Buddha, Konghucu, dan Tao, maupun Islam tentang kejadian yang baru menimpa. Itu dilakukannya setelah Ki Anom dan Lotik menceritakan tentang serapah-serapah yang mengarah ke pertentangan agama dan pertikaian etnik yang dikoar-kaorkan oleh makhluk aneh yang dapat berbicara lancar. Dan walaupun makhluk itu aneh, Ki Anom dapat menyimpulkan bahwa di balik sosok kemakhlukan yang aneh itu, pasti di dalamnya bersembunyi jiwa, pikiran, dan dendam Naranatha. Maka tak sangsi, Ki Anom berani menyebut makhluk itu adalah Naranatha. Dan dia memang tidak salah. Dia benar sekali. ''Naranatha sengaja memanas-manaskan luka lama Kertanegara, supaya pribumi membenci kita, orang Cina,'' kata Ki Anom. ''Apakah kesimpulan saya ini benar?'' ''Mungkin,'' jawab Ceng Ho, tapi Ceng Ho sendiri sebetulnya sedang berpikir, merenung, menalarkan. Oleh karena itu kata Ceng Ho selanjutnya, ''Mungkin juga tidak begitu.'' ''Jadi, kira-kira apa alasannya?'' tanya Ki Anom. ''Apakah dia bermaksud memicu sentimen agama?'' Ceng Ho seperti kaget. Dia menekan pikirannya dengan memandang wajah Ki Anom luruslurus. ''Kenapa Anda menyimpulkan begitu?'' katanya dengan dahi yang melipat kerut. ''Barangkali saya hanya berprasangka,'' jawab Ki Anom seperti hendak meralat. Nada cakapnya menurun. Tapi melihat sikap Ki Anom yang nada cakapnya menurun, Ceng Ho malah menaikkan nada cakapnya sendiri. ''Tidak,'' katanya. ''Justru kita harus menguji pikiran Anda itu.'' Ki Anom menunggu. ''Bagaimana itu?'' katanya. ''Bisa saja begitu,'' kata Ceng Ho. ''Bisa saja orang itu membangkitkan masalah laten: sentimen pribumi kepada orang Cina dengan menajamkan perbedaan pendapat. Padahal, sebetulnya permasalahan pokoknya adalah: bukan perbedaan pendapat, melainkan perbedaan pendapatan.'' ''Kenapa pula Anda berkata begitu?'' tanya Ki Anom. ''Lihat saja kenyataannya,'' kata Ceng Ho sembari menunjuk sisa pasar yang sudah terbakar habis. ''Kita, orang Cina lebih banyak berdagang dan memperoleh laba yang besar karena memang ketangguhan dan keuletan serta kemampuan bangsa kita dalam berdagang, sehingga memperoleh pendapatan yang tak kecil. Sementara pribumi kelihatannya kurang memperhatikan apa yang kita perhatikan dan membuat kita menguasainya. Justru itu pula, sebagai bangsa yang memahami betul siasat-siasat perniagaan dan perdagangan, sudah menjadi wajib bagi kita mengajarkan pengetahuan kita kepada pribumi. Ini pula tugas yang kami emban dari perintah kaisar kita di Cina. Tapi, hal yang paling pokok dalam menghadapi masalah pelik yang baru saja terjadi ini, yang telah mengguncangkan pikiran dan perasaan khalayak, adalah melihat musuh kita -seperti sudah saya katakan beberapa hari yang lalu itubukan sebagai sosok perbedaan latar belakang agama ataupun latar belakang ras, tapi sepenuhnya sebagai kekuatan iblis.'' Ki Anom setuju. ''Saya setuju,'' katanya. ''Kalau Anda bisa mengatakan itu kepada khalayak ramai, itu akan menjadi kekuatan bagi mereka.'' ''Sudah tentu saya berkewajiban mengatakan itu kepada mereka,'' kata Ceng Ho. ''Mereka semua adalah saudara-saudara kita. Kewajiban kita, sebagai muslim, adalah membuat umat manusia menjadi saudara-saudara kita.''


***

Demikian, di depan khalayak ramai, sebagian besar orang-orang Cina dari pelbagai agama khas Cina yang Han San Wei Yi serta orang-orang Cina yang muslim serta pribumi yang beragam warna agama juga antara Hindu, Buddha, dan kejawen, serta juga para mualaf, berkata Ceng Ho yang berdiri di atas sebuah bangku, ''Saudara-saudara sekalian. Apa yang baru saja terjadi ini samasekali bukan persoalan agama kita yang berbeda-beda. Walaupun konon makhluk yang muncul tadi itu meneriakkan sentimen perbedaan ras dan perbedaan agama, percyalah bahwa sudah sejak dulu kita berbeda, dan dalam perbedaan itu kita tetap rukun. Maka jangan perpanjang.'' Khalayak terbengong. Ada yang melirik ke sebelah kanan atau kiri, kira-kira hendak mengeladau akan reaksi masing-masing mendengar pokok pikiran Ceng Ho tersebut. Ada pula yang hanya diam menyerap ijmal petuah Ceng Ho itu. "Kita semua, sebagai manusia, sama di hadirat ilahi," kata Ceng Ho meneruskan petuah. "Karena kita sama belaka, patutlah kita menggalang persaudaraan sejati, persedarahan tulen, dan toleransi antarsesama. "Orang Cina harus menganggap pribumi sebagai saudara. Karena itu orang Cina pun harus tahu diri di negeri perantauan milik nenek moyang pribumi ini. "Kita harus tenggang rasa. Kalau kita merasa lebih, berikan kelebihan kita kepada yang kekurangan. Kalau kita merasa lebih mengetahui, berikan pengetahuan kita kepada yang belum berpengetahuan. Tapi, kalau kita merasa tidak mengetahui, bertanyalah kepada pribumi yang lebih mengetahui. Hanya dengan begitu kita melakukan suatu lintas budaya dan lintas adab yang sesungguhnya. "Apa sebetulnya inti dari suatu lintas budaya? Jawabnya tidak lain adalah tanggung jawab insani kepada kerahmanan kerahiman ilahi. Dasarnya adalah siapa yang memiliki ilmu wajiblah mengamalkannya kepada umat manusia. "Di satu pihak barangkali orang Cina merasa diri sebagai kakak terhadap pribumi. Tapi, pasti juga, di lain pihak orang Cina akan menjadi adik bagi pribumi. Ini merupakan prinsip tersendiri pula dalam lintas budaya dan lintas adab tersebut. "Saya ingin menandaskan kepada saudara-saudara semua bahwa hanya dengan sikap senasibsepenanggungan, sejalan-setujuan, dan berat sama dipikul ringan sama dijinjing, persaudaraan sejati dapat dicapai. "Sebagai orang yang percaya hanya kepada satu Allah, saya ingin berkata kepada saudarasaudara semua - orang-orang Cina dari segala latar belakang agama serta juga pribumi dari segala latar belakang agama masing-masing - bahwa Islam adalah mencari teman, bukan mencari musuh. Demikian Islam di Jawa ini haruslah berpedoman pada nala-qariin *). "Yaitu, menjadikan semua orang sebagai teman di atas landasan hibat atau kasih sayang. Ini merupakan iktibar yang asasi akan kemanusiaan yang berketuhanan. "Sudah tentu, jika ada pihak, siapa saja, yang menolak tawaran hibat atau kasih sayang itu, boleh jadi kita akan memikirkan sikap bagha **) yang tepat sebagai jawaban, tanggung jawab orang berkepercayaan terhadap orang yang tiada berkepercayaan. Hal ini tentu merupakan pilihan akhir pada orang yang bukan saja menolak, melainkan juga mengacau, seperti pengacau yang baru saja melakukan kejahatan kemanusiaan di sini tadi. "Mengapa kita harus bersikap bagha kepadanya? Sebab dia harus kita anggap sebagai perpanjangan tangan setan atau iblis, atau katakanlah anak sulung iblis. Jadi, tak pelak, musuh kita itu, yang harus kita sikapi dengan bagha, adalah iblis atau setan belaka. Setan atau iblis itulah yang telah memperalat medium melalui jiwa dan raga manusia yang tadi mengacau itu. Maka kita harus bersatu untuk bangsa, untuk melawan kekuasaan setan atau iblis jahanam itu. "Nah, saya ingin bertanya sekarang kepada saudara-saudara semua di sini. Sanggupkah Saudara-saudara, kita semua, Anda dan saya, bersatu-padu melawan satu-satunya musuh umat manusia, yaitu setan atau iblis yang mengacau dan mencabik-cabik kerukunan?"
Khalayak menjawab serempak dengan yakin, "Sangguuup!"
Ceng Ho puas. "Bagus," katanya. "Alangkah indah kerukunan. Alangkah mujarab perasaan  hibat atau kasih sayang. Adalah Allah pula Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang."


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 18:46
Beberapa saat kemudian, alih-alih sekali Dang Zhua menghampiri Ceng Ho dan memujinya.
Katanya,"Saya belum pernah mendengar pernyataan seperti yang Anda kemukakan tadi."
"O ya?" kata Ceng Ho dengan sikap wiweka. Ada senyum kecil di wajahnya, ada pula lukisan kecil menampik. Dengan itu dia menunjukkan kemestiannya untuk berlaku eling. "Memang itu misi Kerajaan Ming yang kita emban: bahwa kita patut menggalang persaudaraan umat manusia."
"Tiba-tiba saya merasa mata saya terbuka," kata Dang Zhua dengan tulus.

"Yang lebih mustahak adalah membuka hati," kata Ceng Ho. "Dan salah satu segi utama dari tugas kita mengejawantahkan penggalangan persaudaraan itu adalah bagaimana kita, yang
merasa lebih maju, wajib memberdayakan bangsa yang belum maju."
"Tadinya malah saya berpikir, bukan memberdayakan melainkan memperdayakan."
"Itu benih-benih yang berbahaya."
"Betul," Dang Zhua kelihatan lebih tulus lagi. Dia memang sudah berubah. Dan itu pula yang membuat Hua Xiong yang sekamar dengannya di kapal induk akan geram dan tidak suka kepadanya. Artinya, kedua kaki tangan Liu Ta Xia ini bisa bertikai sendiri.
Sampai seberapa jauh kemungkinan kedua kaki tangan Liu Ta Xia ini bertikai?
Paling tidak pada tahap awal, kemarin-kemarin, dan berlanjut pula sekarang, adalah saling eyel.


***


Demikian di kamar, pada malam harinya, Hua Xiong berkata, ''Orang yang berubah-ubah pendirian itu sama seperti air di daun talas.''
Barangkali orang itu menyesuaikan diri dengan perubahan waktu di hadapannya,'' kata Dang Zhua semudahnya. ''Memangnya siapa alamat khusus yang hendak kamu tunjuk?''

''Siapa lagi, kalau bukan kamu?''
''O, berbahagialah aku.''
''Tolol. Menjadi air di daun talas kok bahagia.''
Habis?''
''Harusnya malu.''
''Kenapa malu? Justru orang yang bisa berubah pikiran seperti batu adalah orang yang tidak berkembang. Orang yang tidak berkembang adalah orang yang tidak maju. Tidak dapat menyesuaikan diri dengan progresi waktu.''

''Lantas apa arti tanggung jawab bagimu: tanggung jawab kepada Liu Ta Xia?''
''Apa sulitnya sekadar tanggung jawab: menanggung dan menjawab?''
''Huh. Memang repot berbicara dengan cucakrawa. Mestinya kamu berkicau saja di sawah.''
''Asal berbareng dengan kamu, boleh saja.''
''Aku bukan cucakrawa.''
''Tapi sikapmu yang kaku, yang tidak berkembang dengan semestinya di tengah waktu yang berkembang, malah menunjukkan dirimu sama seperti cucakrawa: berkicau bukan hanya disawah tapi celakanya juga di dalam sangkar ukir. Nah, lihat saja kepalamu ini. Kepalamu persis kepala cucakrawa.''
Sambil mengucapkan dua kalimat terakhir itu, Dang Zhua memegang dan menguyak-uyak rambut di kepala Hua Xiong. Keruan Hua Xiong marah dan pun menyampluk tangan Dang Zhua. Tangannya menyabet muka Dang Zhua. Dang Zhua merasa sakit. Maka Dang Zhua pun membalas mengayunkan tangan ke muka Hua Xiong. Maka terjadilah perkelahian di kamar itu....


***


Pada pagi harinya ada berita buruk yang mau tak mau membuat Ceng Ho, sebagai pemimpin pelayaran, iba. Bahwa orang yang kemarin meratap-ratap karena barang dagangnya ludes terbakar oleh api setan Naranatha tak tahan menolak rasa terpukulnya, dan selanjutnya tidak pingsan lagi seperti kemarin tetapi telah tidak bangun selamanya. Maka Ceng Ho pun menyerahkan hal-hal yang berkait dengan kepercayaan kepada Fei Huan, pendeta Buddha dalam pelayaran muhibah itu. ''Lakukanlah penghormatan yang layak baginya sebagai perempuan. Dia patut mendapatkan itu,'' kata Ceng Ho kepada Fei Huan. Orang-orang pun membawa mayat itu ke kelenteng - sebuah kelenteng yang telah ada di Tuban pada kurang dua ratus tahun lalu, sekitar zaman Jayakatwang menjadi raja bawahan di Kediri dan terus memata-matai kelemahan Kertanegara - untuk diurus oleh seorang caima, yaitu biarawati di kelenteng yang bertugas menyembahyangkan orang mati. Setelah itu Fei Huan mengingatkan kepada orang-orang Buddha secara khusus dan penganut agama Cina, Han San Wei Yi secara umum, tentang dasar-dasar menekan kemarahan yang mesti dimiliki manusia betapapun sebagian besar di antara mereka masih menanggung rasa pilu yang bercampur aduk dengan geram akibat kebakaran yang terjadi kemarin. Kata Fei Huan, ''Siapa pun bisa marah melihat kenyataan betapa kejahatan telah diembuskan oleh seseorang di balik sihir yang telah membuat wanita tua ini menderita dan mati dengan cepat. Tapi, bagaimana menekan perasaan marah yang mungkin saja terjadi atas kejahatan ini merupakan sendi pokok ajaran Buddha yang kita anut karena kita percayai. Salah satu nasihat Buddha yang elok bagi hati kita adalah dalam Kakacupama Sutta *). Sabdanya, 'Andaikata ada pejabat menangkap salah seorang di antara kamu lalu memenggal-menggal tubuhmu dengan gergaji, dan jika di saat itu kamu marah, maka kamu bukan pengikut ajaranku.' Jadi, walau kita bisa marah, semestinya kita menekan, dan hidup dengan cara derana. ''Buddha juga menganjurkan sikap derana, mengajarkan kesabaran, ketabahan, ketahanan terhadap derita dan marah, ketika ia mengandaikan tentang batang kayu dengan dua ujung yang kering tapi yang di tengahnya busuk. Kayu itu tak dapat dimanfaatkan. Kayu itu sama rapuhnya dengan kemarahan. Begitu sabdanya dalam Anguttara Nikaya.**) Dan apa yang dikatakannya itu benar sekali.'' Umat menyerap dengan baik kata-kata Fei Huan. Sebab, ajaran Buddha sudah berakar lama di dalam masyarakat Cina: sejak kitab suci Buddha diterjemahkan di Cina pada zaman Kaisar Huan dari dinasti akhir Han oleh An Shih Kao dan diteruskan Yueh Chih dan Chih Lou-chia-ah'an antara tahun Masehi 146-167. Syahdan, tatkala Fei Huan sedang memberikan pengajaran sendi-sendi moral dalam upacara melepaskan salah seorang di antara para perantau Cina yang telah lama mukim di Tuban itu, di sebelah selatan sana, di puri Naranatha, si zindik dan mulhid ini masih belum reda dari kemarahannya yang kemarin. Dia memegang leher cenayangnya itu.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 18:48
Ketika Naranatha memegang leher cenayangnya, yang lebih tepat mencekiknya, maka semua gemblakan Naranatha berada di sekitarnya, menyaksikan. Tidak terkecuali Blekok. Sepatutnya dikatakan dengan jelas, bahwa kini Blekok pun akhirnya senang dipegang-pegang
terongnya. Dia bukan hanya sekadar senang dipegang-pegang, tapi kini dia bahkan telah menjadi salah seorang dari gemblakan Naranatha. Hanya saja, karena pikirannya tidak ajek, dia masih berpikir untuk datang atau datang-datang ke padepokan Ki Anom.
Blekok menyaksikan juga, seperti yang lain-lainnya menyaksikan bagaimana Naranatha marah, mencekik leher cenayangnya itu. Katanya terengah-engah sendiri, ''Kalau sampai kamu mengubah sosokku sebelum aku menyelesaikan kerjaku, aku bersumpah akan
mencekikmu begini sampai mati.''

''Aku bersumpah,'' kata cenayang itu. ''Aku bersumpah kata cenayang itu. ''Aku bersumpah ini bukan mauku. Ini di luar mauku. Kekuatan sihirku memang hanya sampai di situ. Lebih dari waktunya, maka sihirku akan berakhir dengan sendirinya. Percayalah padaku, Naranatha.''
''Sekarang, bagaimana membuat sihirmu bisa lebih lama, supaya aku bisa lebih leluasabertindak?''

''Tidak bisa, Naranatha,'' kata cenayang itu. ''Kau yang harus bisa berbuat lebih cepat. Waktu tidak bisa menunggumu.''

''Kalau sampai kerjaku belum selesai dan ternyata kekuatan sihirmu sudah berakhir, bagaimana?''

''Jangan sampai.''
''Apa maksudmu?''
''Yang kita lakukan ini tidak sama seperti bermain layangan: mengulur dan menarik.''

Naranatha jengkel. Dia hempaskan tubuh cenayangnya itu.


***
Secepat itu timbul gagasan lancung dalam pikiran Blekok. Tidak ada keuntungan apa-apa yang akan dia peroleh kecuali perasaan senang bertualang belaka. Malamnya dia berangkat menuju ke utara. Pada pagi hari dia akan tiba di padepokan Ki Anom. Kepada Ki Anom dia memilih kata-kata dusta. Dia mengaku baru saja datang dari kampung halamannya. ''Saya cepat-cepat berlari ke sini, sebab di selatan sana saya mendengar dari gunjingan ramai orang-orang desa bahwa nanti malam makhluk aneh yang sekian hari lalu mem
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 18:56
bakar Tuban, akan melakukannya lagi,'' kata Blekok. ''Kelihatannya kamu begitu lancar menceritakan ini,'' kata Ki Anom. ''Berarti kamu tahu siapa sebetulnya di balik makhluk aneh itu?'' Ki Anom memandang, menunggu. ''Apa kamu tahu?'' Blekok agak tersendat. Cakapnya plegak-pleguk. ''Seperti sudah diduga banyak orang, dia adalah Naranatha,'' katanya. ''Apa kamu tahu juga alasannya membakar Tuban?'' ''Maaf, Ki Anom,'' kata Blekok. ''Saya tidak tahu.'' Secepat dia berkata begitu, ternyata dengan cepat pula dia menyambungkan dengan keterangan, ''Tetapi, dengar-dengar, dia tidak suka pada orang Cina.'' Ki Anom mengangguk. Ketika dia mengangguk dia teringat akan pernyataan Ceng Ho. Katakata Ceng Ho masih terang mengiang di telinganya. Dan, mulutnya bergerak. Dia berkata sesuatu, tetapi tidak terdengar. ''Itulah hidup.'' Dari Lotik gagasan berikut ini muncul. Kata Lotik, ''Apa tidak lebih baik kita sampaikan hal ini kepada Sam Po Kong? Bagaimanapun Sam Po Kong adalah seorang pemimpin yang bijaksana. Dia benar-benar memberi pengetahuan yang asasi mengenai Islam.'' ''Memangnya apa yang kamu tangkap dari petuahnya itu?'' tanya Ki Anom menguji ketangkasan Lotik. ''Bahwa perkataan Islam, yang lahir dari 'sin-lam-mim' dan turun dari 'aslama', artinya penyerahan diri kepada Tuhan, benar-benar tercitra dalam sikap dan perbuatan Sam Po Kong.''
''Kamu benar, Lotik,'' kata Ki Anom.
''Makanya, kita perlu menyampaikan ini kepadanya.''
''Barangkali, sebelum kita mengatakan ini kepadanya, dia telah lebih dulu berfirasat.''
Cantrik-cantrik yang lain, yang berada di sekeliling Ki Anom, terkecuali tentu saja Blekok,semuanya diam: mata tak berkedip mendengar pernyataan Ki Anom tentang Ceng Ho, dan
hati menaruh hormat dalam mengingat-ingat wajah Ceng Ho.

***
Siang itu juga Ki Anom, Lotik, beberapa cantrik, termasuk Blekok, sama-sama berangkat ke Tuban. Dalam pikiran Ki Anom, jika Ceng Ho tidak berada di darat, bisalah dia menggunakan sejenis gondola untuk berlayar ke kapal induk yang disauhkan di lepas pantai sana. Kata Ki Anom: ''Pokoknya, kalau bisa sebelum magrib beliau sudah berada di darat.'' Sementara dalam pikiran Blekok yang cemar dan lancung, bila nanti terjadi serangan yang menghancurkan dari Naranatha - yang akan berubah menjadi makhluk aneh itu - maka dia akan menikmatinya sebagai tontonan menarik. Dia pun akan bersorak girang melihat kemenangan Naranatha. Ketika mereka berangkat dengan pedati dari padepokan Ki Anom di Jembel ke Tuban, hari sedang terik-teriknya. Di bumantara kelihatan hanya warna biru melulu yang menyilaukan mata. Tidak ada awan di bumantara sana. Dan, kendatipun pedati itu berjalan di bawah pohonan sombar, tetap saja beringsang alami itu membuat tubuh mereka basah peluh.


***


Apakala pedati itu tiba di Tuban, pada saat yang hampir bersamaan orang-orang baru saja bubar dari upacara sembahyang yang dilakukan sang caima serta kata-kata penghiburan dari Fei Huan terhadap sanak wanita tua yang telah bertahun-tahun mukim di perantauannya ini. Tepat sebagaimana dugaan Ki Anom, dari salah seorang perwira dalam pelayaran muhibah itu, dia mengetahui bahwa Ceng Ho sudah berada di kapal induk. "Beliau baru saja naik," kata Ci Liang. "Tadi beliau memberi wejangan bagi kami sebelum wanita itu disembahyangkan oleh caima". Dengan hormat Ki Anom berkata memegang tangan Ci Liang, "Saya ingin sekali bertemu dengannya sebelum magrib." Ci Liang membawa pikiran Ki Anom. "Ya, saya mengerti. Anda bermaksud untuk bisa ke kapal induk sekarang." Lalu dia pula yang mengarahkan. "Tidak perlu. Sam Po Kong akan segera turun kembali. Dia hanya menjenguk Wang Jing Hong." Ki Anom berkerut dahi. "Wang Jing Hong sakit?" "Setelah terkena racun dari keris di kerajaan Wikramawardhana. Wang Jing Hong tidak ajek, kadang sembuh kadang sakit. Di dalam pelayaran, kami membawa ahli obat-obatan jamu, tapi ahli-ahli itu belum dapat menguraikan penawar apa yang bisa menyembuhkan sakit Wang Jing Hong."


***

Lantas bagaimana keadaan Wang Jing Hong di kapal sana?
Dia berbaring di tempat tidurnya. Selain Ceng Ho di situ, ada juga beberapa orang lain termasuk Wu Ping melihat keadaannya.
"Jangan terlalu dikhawatirkan," kata Wang Jing Hong. "Sakit saya ini tidak serius."
"Kau selalu bilang begitu," kata Ceng Ho memotong. "Tapi sering kau terserang seperti ini."
"Percayalah, saya cuma capek saja," kata Wang Jing Hong. "Matahari di sini lebih panas daripada matahari di Janabijana."


Ceng Ho tidak menanggapi. Dia hanya memandang wajah Wang Jing Hong, dan memegang tangannya.
"Sudahlah," kata Wang Jing Hong. "Lanjutkan tugas kita di darat. Kalau sudah selesai, kita angkat sauh lagi, meneruskan pelayaran ke timur, sampai ke Bali."
"Apa kau yakin?" tanya Ceng Ho.
"Selalu yakin," jawab Wang Jing Hong. "Dalam diri saya ada musim semi *) Jadi, saya tidak kuatir."
"Kalau begitu, saya tinggalkan kau. Dalam firasat saya, ada sesuatu yang akan terjadi malam nanti. Saya harus menghadapinya."
"Apa yang akan Anda lakukan?"

Ceng Ho memegang tangan Wang Jing Hong dengan kedua tangannya. Katanya, "Di mana ada pihak yang mengajak kita berperang dan kita tidak melayani, dia mengira kita kalah. Tapi saat dia kemaruk oleh rumangsa menang, di situlah kita mesti mengambil kebijaksanaan mengalahkannya. Dan berhubung pihak yang mengancam kita adalah pendukung panji iblis,kita terpanggil untuk jihad melawannya dengan nama Allah."
"Oh!" Wang Jing Hong mengeluh. "Betapa rindu saya berada di depan."

Ceng Ho menguatkan pegangan tangannya. "Sudahlah."


***


Bukan cuma Wang Jing Hong sebagai bagian dari pelayaran muhibah itu yang ingin berada di depan melawan makhluk aneh itu. Juga utusan Wikramawardhana yang berada di dalam kapal Ceng Ho, yang akan ke Cina menghadap pada Kaisar Ming untuk memohon ampun atas kekhilafan Wikramawardhana, menawarkan diri kepada Ceng Ho untuk berada di depan menghadapi makhluk aneh itu. Utusan Wikramawardhana - yang terakhir menjabat sebagai pengawal sang raja - berkata dengan berapi-api, "Berikan kesempatan kepada saya untuk melawan makhluk aneh itu, Laksamana. Sebagai pengawal raja, saya merasa lebih memiliki wewenang untuk menghancurkannya. Jika betul dia membangkitkan permusuhan berlatar perbedaan keyakinan, sambil menanamkan sentimen rasial, maka seharusnya sayalah yang menghadapinya, menumpasnya. Entah dia siapa, apa latar belakangnya, tapi menyimak gambaran orang-orang tentangnya, ditambah firasat Anda bahwa kejahatan yang akan dilakukannya nanti lebih menggila, dia harus segera ditumpas. Dia mempermalukan kerajaan. Dan sekali lagi, harus saya yang maju." Wang Jing Hong mengangkat badan dari tempat tidur karena ingin berkata sesuatu yang menurutnya harus ditanggapi dengan serius. Sambil menunjuk kepada abdi-dalem Wikramawardhana itu dia berkata, ''Saya mendukung tawaran pengawal Wikramawardhana ini, sebab menurut pendapat saya hal itu bisa membebaskan kita, orang Cina, dari prasangkaprasangka rasial yang kadung dipertajam oleh sosok di balik makhluk aneh itu.'' Ceng Ho langsung tertarik akan pandangan Wang Jing Hong. Maka dia pun berkata, ''Agaknya kau benar, Wang Jing Hong. Tapi coba perincikan pandanganmu itu, biar kita semua dapat mendengar.'' Wang Jing Hong agak terengah, tapi pikirannya yang baik membuat kalimatnya tersangkai dengan rapi pula, sehingga Ceng Ho memujinya. Kata Wang Jing Hong, ''Kita mesti belajar dari apa yang terjadi di Cina sejak zaman Jengis Khan. Selalu dapat terjadi kerumitan prasangka rasial, dan prasangka itu menjadi sangat tajam dan rentan konflik, ketika di dalamnya ada perbedaan-perbedaan yang mencolok antara satu dan yang lain. Perbedaan paling berbahaya dalam prasangka rasial itu adalah - Anda sendiri sudah mengatakannya menyangkut ekonomi.''

''Saya rasa itu betul,'' kata Ceng Ho.
''Jangan sampai nanti terbit semangat anti-Cina di kemudian hari gara-gara apa yang terjadi sekarang.''

''Betul sekali,'' kata Ceng Ho. ''Kita memang harus menaruh kembali misi Ming ini sebagai gagasan perdamaian.'' Dan Ceng Ho pun memandang abdi dalem Wikramawardhana itu.

''Kalau begitu saya menyerahkan tanggung jawab ini kepada Anda.''
''Saya siap melaksanakan,'' kata pengawal Wikramawardhana itu. ''Saya sendiri sedang belajar untuk berketetapan hati. Bahwa masalah pribumi biar diselesaikan sendiri oleh pribumi.

Adapun urusan saya mewakili Raja Wikramawardhana untuk pergi ke Cina bersama tuan-tuan, untuk meminta maaf kepada Kaisar Ming, hal itu adalah kewajiban yang bersifat sukarela dari kami. Dalam hal ini berlaku pepatah bagi kami: 'siapa meminta maaf mengakui kesalahannya'.''

Ceng Ho menjabat tangan pengawal itu. Katanya, ''Pribadi Anda sangat satria.''

''Tapi saya membutuhkan dukungan Anda.''

Ceng Ho memberikan pedang yang pernah dipakainya di Cirebon dulu itu. ''Pedang ini sakti,'' katanya. ''Ada doa yang teriring di dalamnya untuk mengalahkan setan atau iblis.''

Pengawal itu menerima pedang yang diberikan Ceng Ho. ''Terima kasih,'' katanya.



***

Dan mereka pun turun ke darat. Matahari belum jatuh. Matahari baru condong ke barat sana.
Biasnya yang kemilau di gelombang kecil mungkin tidak punya arti apa-apa buat para awam, tapi kiranya menjadi menarik bagi Tan Tay Seng Bersama dengan kepergian Ceng Ho dan rombongan kembali ke darat, terdengar suara Tan
Tay Seng menyanyikan puisinya:

Kilau-kemilau cahaya dari satu matahari
Membias dalam percik ombak sepuluh warna
Kunci hidup harmoni kepada di bawah ki*)
Karena hubungan mesra antara seisi buana


***

Ki Anom dan cantriknya merasa besar hati melihat dari tepi pantai akan kedatangan ke situ rombongan Ceng Ho. Banyak orang yang berdiri di dermaga menunggu merapatnya kapal kecil yang ditumpangi Ceng Ho dan rombongan. Dari jarak yang cukup untuk mengenali orang, Ki Anom melihat bahwa di dalam rombongan Ceng Ho tidak kelihatan Wang Jing Hong. Sementara itu di darat, di dermaga, kelihatan antara lain Ci Liang yang tadi bersama-sama dengan Fei Huan dan lain-lain mengikuti upacara sembahyang yang dilakukan oleh caima.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 19:10
Ketika Ceng Ho baru saja menginjakkan kaki di dermaga, berkata Ki Anom dengan tidak sabarnya, ''Saya harus mengatakan kepada Anda bahwa nanti malam ini Naranatha akan menantang Anda untuk bertempur satu lawan satu.''

''Saya tahu,'' kata Ceng Ho. ''Tapi saya tidak akan meladeni.''
''Kenapa?''
''Saya akan menyatakannya sekarang.''

***


Semua orang, terutama orang-orang Cina dari pelbagai latar belakang yang telah lama mukim di Tuban, diminta untuk berkumpul di lapangan yang pernah dimanfaatkan Ceng Ho untuk berbicara. Dan, bukan hanya orang-orang Cina, melainkan juga pribumi, yang berada di pasar, datang berbondong ke lapangan itu. Kembali Ceng Ho berdiri di atas bangku, sehingga sosoknya dapat dilihat oleh orang-orang itu. ''Saya minta perhatian yang sangat kepada Saudara-saudara semua warga Cina - baik yang telah lama merantau di sini maupun yang datang bersama saya ke sini, dan berniaga di sini untuk bahu-membahu menghadapi masalah rumit yang mungkin terjadi dalam waktu singkat ini. Nah, pertanyaan saya: sanggupkah kita?'' Agaknya semua orang yang terhimpun di situ menyambut seruan Ceng Ho itu dengan semangat sama. Bahwa ada yang memekik, ada pula yang bersuara pelan, itu merupakan kodrat tiap orang yang berbeda. Lalu kata Ceng Ho, "Begini, saudara-saudara, menurut saudara kita Ki Anom, sebentar malam akan terjadi heboh lagi di sini, karena seseorang dari selatan menantang saya untuk melawannya..." Ceng Ho belum selesai berbicara, ada seseorang di kerumunan tadi bersama-sama dengan Ki Anom, memekik untuk membangkitkan asut. Dia membakar provokasi kepada kerumunan orang melalui seruannya yang kerasa kepada Ceng Ho. "Ya, lawan saja, Sam Po Kong!" katanya. Siapa provokator itu? Dia tak lain adalah Blekok. Provokasinya membuat Ki Anom agak terkesiap pula. "Tidak," kata Ceng Ho di atas bangku. "Saya harap orang-orang Cina perantauan di sini jangan gampang diadu-domba. Orang Cina harus bisa menjaga keutuhan dan kerukunan seperti yang sudah ada di Tanah Air. Pusaka paling berharga dari kearifan-kearifan Cina berkaitan dengan kemampuan insani manusia menyeimbangkan antara 'yin' sebagai prinsip alam maskulin dan sekaligus positif. Jangan sampai kita berpikir tegang karena keadaan. Berpikir tenang berarti menjaga kesehatan. Dan kesehatan dapat dicapai melalui keselarasan roh dengan energi vital. Pengetahuan ini sudah kita miliki dari warisan Q-Bo *) untuk Huang Di **). "Oleh karena itu, berprinsip pada keharusan menjaga keselarasan dalam diri untuk tidak ditumpulkan oleh kerancuan berpikir yang membuat ketegangan dalam hati, karena masalah yang pelik ini, yang keruan bisa saja mengganggu kesehatan. Maka saya telah setuju pada saran Wang Jing Hong tadi untuk menyerahkan penanganan ancaman dan kekacauan yang mungkin terjadi sebentar lagi kepada orang yang berwenang di negeri ini, yaitu pengawal kerajaan Wikramawardhana. Kebetulan pengawal ini sendiri pula yang yang menawarkan kebajikan itu dan menyanggupi pelaksanaannya. "Terus terang saya merasa sangat terkesan pada pendirian abdi dalem Wikramawardhana ini yang oleh sang raja dititipkan kepada kami untuk berlayar bersama ke Cina - atas tawarannya untuk menanganani masalah pelik ini. Ia berkata - dan saya sangat menghargainya -"biarkan masalah pribumi diurus oleh pribumi sendiri". Mungkin di tempat lain kita bersikap berbeda. Tetapi di sini, di tanah Jawa ini, di negeri yang tingkat peradaban dan kebudayaannya sudah tinggi, kita harus menghormati lelurinya. "Bertalian dengan itu, patutlah kiranya saya menasihati kepada saudara-saudara sekalian, para perantau Cina di Tuban ini - baik yang sudah lama di sini, yang sudah turun-temurun di sini lebih seratus tahun yang lalu, sejak zaman Kertanegara, maupun yang baru membumi di sini hendaknya memahami dengan akal yang campin akan persoalan-persoalan pribumi. Dengan memahami berarti menghormati lelurinya. Jangan sampai nila setitik merusak susu sebelanga.  "Artinya, janganlah satu-dua orang Cina di antara kita yang acuh tak acuh lantas akan dianggap tidak hormat, dan kemudian generasi mendatang akan menanggung kealpaan-kealpaan kita sekarang. "Seyogianya kita memperhatikan dan mendukung gagasan-gagasan baik pihak pribumi. Yang kurang dari kita, kita serap dari mereka. Yang lebih dari kita, kita lintaskan kepada mereka. Itulah prinsip-prinsip adab yang sejati. Itulah pula hakikat-hakikat budaya yang alami. Terhadap prinsip dan hakikat ini, kita harus menjadi seperti air sungai: mengalir di tempat yang semestinya. "Saya sendiri sudah menyerahkan senjata kepada pengawal Wikramawardhana ini untuk menghadap angkara yang konon akan datang menyerang malam ini. Insya Allah, senjata yang dalamnya teriring doa untuk menumpas kebatilan dan kejahatan setan, dapat dimanfaatkan untuk menumpas setan itu. Sebagai orang beriman kepada hanya satu Allah, saya percaya akan kekuasaan-Nya..."


***


Di kerumunan orang-orang yang mencamkan wejangan Ceng Ho itu, lagi-lagi Blekok melancarkan provokasinya. Tetapi kali ini tidak seperti tadi. Kali ini dia berbisik-bisik dengan orang yang justru sangat mengagumi Ceng Ho, yaitu Daeng Ucu dari Jumpandang.
 
"Apa kalian percaya senjata yang dikasih Sam Po Kong kepada pengawal Wikramawardhana itu bisa mengalahkan kekuatan Naranatha?" kata Blekok. Dan dia tertawa mencibir. "Kalau
pertanyaan itu ditujukan kepada saya, saya langsung meragukan, dan menjawab dengan berani: mustahil!"

"Apa alasannya?" tanya Ucu.
"Itu biasa. Pemimpin-pemimpin perang selalu mengira dirinya paling kuat," kata Blekok.
"Memangnya pemimpin pelayaran Cina ini diragukan kekuatannya?"
"Dia memang kuat. Tapi yakinlah kekuatannya tidak mungkin mengalahkan cenayang Naranatha. Berani bertaruh."

"Bertaruh?"
"Ya, bertaruh. Naranatha akan bikin Sam Po Kong keok.
"Kamu yakin?" tanya Ucu.
"Yakin sekali." Dan Blekok pun semakin keranjingan. "Lihat saja. Kalau sampai pengawal Wikramawardhana yang memakai senjata Sam Po Kong itu tidak keok, klepek-klepek, modar, nih, potong kuping saya."

"Wah, kelihatannya kamu tahu betul," kata Ucu.
Tentu saja. Cenayangnya Naranatha itu sakti sekali."

***


Bersamaan dengan itu, di puri Naranatha, cenayang yang buruk rupa dan baunya tidak keruan itu, berkata dengan kedua telapak tangan di atas asap kemenyan: "Menangkan peperangan. Buatlah hitam menjadi lebih hitam supaya musuh tidak bisa melihat sosok. Jika musuh melihat sosok, sosok mesti berubah dari kodratnya. Bajukan zirah kebencian untuk menangkis serangan balik." Lantas tampak Naranatha bergerak-gerak seperti digigit ribuan semut. Katanya, "Aku sudah siap melanglang lewat bumantara ke utara sebagai makhluk aneh..."


***


Di utara sana, di Tuban, matahari sedang memerah di barat, tanda bahwa magrib sedang menyapa bumi. Terdengar pula muazin mengimbaukan umat untuk sembahyang. Dan tampak Ceng Ho, Wu Ping, Ki Anom. Lotik, dan lain-lain menunaikan kewajibannya selaku orang-orang berpercaya kepada Tuhan. Dan astaga, sebelum mereka menyelesaikan kewajiban itu, sekonyong terdengar hiruk-pikuk di luar. Kedengarannya seperti orang-orang yang menjerit-jerit ketakutan sambil berlari tunggang-langgang. Jeritan-jeritan itu bercampur-aduk dengan tangis anak-anak. Sudah tentu kegaduhan itu membuat konsentrasi mereka yang sedang melakukan sembahyang itu terganggu. Walaupun hiruk-pikuk di luar itu mengganggu orang-orang yang bersembahyang, toh Ceng Ho dengan tenang, kalem, dan khusyuk sekali menyelesaikan sembahyangnya. Setelah selesai, barulah dia melihat ke luar, ke tempat orang-orang berlari panik berteriak-teriak. Tak terlihat apa-apa selain orang-orang yang ketakutan tersebut. Di mana gerangan sumber dan biang kerok yang membuat orang-orang itu takut? Ceng Ho menoleh ke belakang. "Astaga!" serunya. Dari arah sana kelihatan makhluk aneh itu sedang mendatangi ke arah Ceng Ho sambil mengeluarkan lidah, dan dari lidahnya itu kelihatan api yang menyembur-nyembur ke bawah ke atas ke kiri ke kanan. Dia sedang mengejar seseorang. Siapa pula orang yang secara khusus dikejarnya itu? Orang yang dikejarnya itu tak lain adalah pengawal Wikramawardhana yang memegang senjata dari Ceng Ho. Dia memegang senjata itu. Tetapi dia tidak menghadapi makhluk aneh itu. Dia malah berlari menemui Ceng Ho. Oleh larinya yang terdorong karena rasa waswas dan keyakinan yang sekonyong sirna, dia berkata terengah-engah, "Apa yang harus saya lakukan? Kelihatannya dia ampuh juga." Blekok mendengar pernyataan pengawal Wikramawardhana itu. Dia melirik pada Ucu. Seakan-akan dia hendak berkata, "Betul begitu kan?" Ucu sendiri termangu dan sedikit bimbang. "Jangan ragu," kata Ceng Ho kepada pengawal itu. "Betapa sering iblis memanfaatkan orangorang yang ragu." "Jadi, ke arah mana pedang ini saya ayunkan?" "Dari kiri ke kanan, atau kanan ke kiri, ataupun atas ke bawah, dan bawah ke atas, sama saja. Makhluk aneh yang kelihatan di matamu itu, sebetulnya hanya khayalan sihir dari setan. Sabet saja ke depannya, pasti kau berhasil. Tidak satu setan pun, setan dari maha dua, yang sanggup mengalahkan Tuhan yang maha satu. Dalam pedangmu itu ada kalimat doa, kalimat iman. Ayo, maju!" Pengawal itu masih berdiri bengong, sedangkan makhluk aneh itu sedang mendekat, dan makin dekat ke arahnya. Akhirnya Ceng Ho mendorong punggung pengawal itu. "Jangan buang-buang waktu!" kata Ceng Ho sambil mendorongkan tubuh pengawal itu. "Ayo, tebas, demi Allah, kau menang!" Akhirnya pengawal itu maju, meloncat. Sambil memejamkan mata, menyabetkan pedang pemberian Ceng Ho itu, ke kiri dan ke kanan, ke bawah dan ke atas. Katakanlah, dia melakukan itu tanpa sasaran yang diketahui karena dilihatnya. Terus terang dia melakukannya secara untung-untungan. Tetapi memang, yang untung-untungan bisa saja benar-benar untung.

Didorong oleh kemauan, walaupun hal itu dilakukan dengan tidak berani melihat sosok makhluk aneh - makhluk yang kelihatannya menyeramkan - pengawal itu berharap akan menang. Bagaimanapun wejangan Ceng Ho yang telah diserapnya itu, benar-benar diharapkan tuahnya. Mungkin di situlah letak kemampuan orang meyakinkan tentang iman kepada seseorang yang tidak memilikinya karena latar-belakang kepercayannya yang berbeda, dan karena itu berbeda pula sendi-sendi pengajarannya. Boleh dikata karsa pengawal Wikramawardhana untuk berbuat, menyabet ke kiri dan kanan serta atas dan bawah, semata-mata lantaran dia membayangkan harapan dari kata-kata Ceng Ho yang memiliki sugesti kuat. Ketika nanti bayangan itu menjadi kenyataan, dan dengannya mengubah pikirannya, itu urusan lain.

Dia pejamkan mata. Dengan begini dia melakukan itisal. Terasa ada angin yang deras menerpa tubuhnya. Telinganya pun mendengar langkah kaki-kaki yang menginjak bumi.

Dia menunggu. Tapi dia memegang senjatanya dengan sekuat tenaga. Jika terasa sesuatu yang mendekat dirinya, dia akan segera dan langsung mengayunkan pedangnya itu.

Makhluk aneh itu pun meloncat. Ekornya dikebaskan ke kiri dan kanan. Angin yang dibuatnya oleh gerakan itu terasa pula di telinganya.

Dengan cepat, tanpa membuka mata, pengawal itu mengayunkan pedangnya. Dia kaget sendiri sebab dia merasa pedangnya itu telah mengena sesuatu. Rasanya kasap, tapi rasanya
pula pedang itu baru saja memotong benda tertentu, seperti sebuah ubi yang masih mentah dan besar sekali.

Dan ada teriakan kesakitan....

Pengawal itu pun membuka matanya. Dia terkejut karena takjub, sebab ternyata teriakan itu berasal dari makhluk aneh yang ekornya terpotong. Makhluk aneh itu pun lantas bercakar-
cakar kesakitan, siap hendak menyerang kembali.

Melihat itu Ceng Ho menyeru, "Sabetkan lagi pedang itu!" Orang-orang yang tadi menyingkir, kini mulai menonton dari arah jauh.

Makhluk aneh itu meloncat dengan kedua kaki depan yang seakan siap mencengkeram.
Pengawal itu menutup kembali matanya, tapi dengan harapan akan kembali memotong kaki kaki makhluk aneh itu. Arkian harapannya berhasil pula. Makhluk aneh itu memang
menyeramkan, tapi tampaknya gerakannya lamban, tidak gesit, dan hanya bergerak ke satu
arah saja, yaitu ke arah pengawal yang sedang memegang pedang milik Ceng Ho itu.
Maka, begitu makhluk itu bergerak ke arah pengawal itu, dan suara kakinya terdengar di telinganya, dengan campin dia mengayunkan pedang Ceng Ho itu.
Teriakan kesakitan terdengar lebih keras.
Pengawal itu membuka mata. Bersamaan dengan itu orang-orang yang mulai menonton dari arah jauh, bersorak-sorai girang. Kini tampak nyata bagaimana makhluk aneh itu terhuyung dan jatuh terguling di tanah.
Di antara yang bersorak-sorai itu terlihat juga Lotik. Lotik berteriak memberi semangat.

"Sikat terus!"

Dan semuanya yang menonton itu mulai maju dan berteriak menyuruh pengawal itu menyelesaikan tugasnya.

"Bunuh!"

Maka, di antara hiruk-pikuk orang yang berteriak memberi semangat kepada pengawal itu, yang disebut itu pun mengayunkan pedangnya dengan sekuat tenaga, lantas memenggal leher makhluk aneh itu.

Semua yang menonton kembali berteriak antara kagum, ngeri, dan bergidik.
Sekonyong terdengar suara ledakan.



***


Ketika terdengar suara ledakan dan semua orang kaget, di selatan sana, di puri Naranatha tampak sang cenayang yang mengerjakan sihirnya, terpelanting dan menjerit pula kesakitan. Dia mencoba berdiri, tapi kelihatannya tidak mudah. Dia harus terpayah-payah memegang tiang yang berada di puri itu dan berkuat diri menegakkan kakinya di lantai. Ketika kelihatannya dia hampir tegak di tiang itu, kakinya tertekuk seperti kehilangan tulang, dan dia jatuh kembali ke lantai sambil berteriak keras disusul mengerang meminta ampun. "Ampun! Jangan bunuh aku!" katanya. Dan dia meratap-ratap. Kemudian dia kelepar-kelepar seperti ayam yang baru disembelih tapi belum mati.


***


Demikian jugalah gerangan yang terjadi atas diri Naranatha di tanah yang datar depan laut.

Manakala leher makhluk yang aneh itu ditebas oleh pengawal Wikramawardhana, tubuhnya pelan-pelan dan berangsur-angsur berubah menjadi manusia biasa. Dan sebagai manusia biasa, dia sedang menjadi seseorang yang dikenal oleh banyak orang: dikenal oleh Lotik,dikenal oleh Ki Anom, dikenal oleh Blekok, dan dikenal oleh yang lain-lain sebagai Naranatha Nastika.


"Saya memang sudah curiga dari awal," kata Ki Anom kepada Ceng Ho. "Terima kasih, Sam Po Kong."
"Jangan berterima kasih kepada saya," kata Ceng Ho. "Berterima kasihlah kepada pengawal Wikramawardhana." Dan Ceng Ho berjalan menghampiri pengawal itu, menepuk bahunya.
"Anda sudah melakukan yang paling benar."
"Kalau tanpa dukungan Anda pun, saya tidak akan berani," kata pengawal itu. "Senjata Anda ini benar-benar ampuh." Dia berlutut di hadapan Ceng Ho dan memberikan pedang itu. 

Ceng Ho mengambil kembali pedangnya itu. "Pedang ini memang bertuah, dibuat untuk memberi kedamaian bagi umat."

"Ada tulisan di bilahannya," kata pengawal itu. "Apa bacaannya?"

"Ini adalah kalimat syahadat," kata Ceng Ho. 

''Luar biasa saktinya,'' kata pengawal itu.

''Kesaktiannya terletak pada akal yang memercayai kebenarannya,'' kata Ceng Ho.

Orang-orang yang tadi berada di sekeliling sana, satu per satu mendatangi Ceng Ho yang berbincang dengan pengawal Wikramawardhana itu. Mereka semua mengerumuni untuk mendengar kata-kata Ceng Ho. Satu-satunya orang yang tidak bisa datang mendekati Ceng Ho hanya Blekok. Daeng Ucu melihat bagaimana Blekok pelan-pelan menghindar dan memasuki warung.

Untuk sementara Ucu membiarkan dulu. Pasti dia akan menemuinya untuk bertanya tentang taruhannya yang pongah tadi. Sekarang dia merasa tertarik, seperti orang-orang yang lain, mendengar kata-kata Ceng Ho. Apa yang diperkatakan Ceng Ho sungguh merupakan pengetahuan, kawruh, atau ilmu baru - yang sebetulnya sudah beberapa tahun ini diajarkan juga oleh seorang guru dari Cina, Giok Gak, yang kini lebih akrab dipanggil Ki Anom.



***


Sebagai orang yang secara langsung baru saja mengalahkan sihir melalui peranti yang bertuah milik Ceng Ho, keruan pengawal Wikramawardhana itu ingin bertanya lebih banyak tentang sendi-sendi kebenaran yang baru diperkatakan Ceng Ho. ''Terus terang saya belum dapat menangkap intisari sendi-sendi kebenaran yang Anda perkatakan,'' kata pengawal itu. ''Tapi tanpa Anda perkatakan, saya telah melihat buktinya. Ternyata dengan percaya pada apa yang Anda perkatakan, saya telah melakukan, dan apa yang saya lakukan itu memang benar berhasil mengalahkan angkara itu. Di mana letak kebenaran yang Anda sebutkan itu?'' ''Di hati saya, yang saya tularkan kepada Anda. Kebenaran yang saya maksudkan itu ada dalam keyakinan saya. Dan keyakinan saya ini terletak pada akal yang memercayai bahwa ada kuasa yang tidak nampak secara mata tapi nampak secara hati, yang menjadi khalik atas serwa sekalian alam. Jika Anda bertanya kepada saya tentang kekuatan apa yang melatari fiil dan ikhtiar untuk hidup - sebagai pengertian puitis akan penundaan akan kematian - jawab saya adalah kesungguhan hati memercayai akan suatu maha roh yang wajib qudrah *) dan mustahil 'ajs **) yaitu Allah taala semata. Bukti akan qudrah-Nya Allah taala menurut dalil 'aqli ***) adalah melihat adanya alam semesta ini yang kasatmata, kemudian menerima
firman-Nya yang seyogianya kasathati sebagai suatu dalil naqli ****) dalam pernyataan 'Innallaaha alaa syai-in qadir', artinya 'Sesungguhnya Allah itu Mahakuasa atas segala sesuatu'.
Dalam keyakinan saya, ini merupakan sendi pertama agama, yaitu tauhid.''

''Sendi pertama?'' tanya pengawal. ''Berarti ada sendi kedua pula?''
''Ya,'' jawab Ceng Ho. ''Kedua dan ketiga. Yang kedua adalah arkanul Islam atau rukun-rukun Islam, yaitu, dimulai dari kalimat syahadat, kemudian mendirikan salat, menunaikan zakat, mengerjakan puasa, dan beribadah haji. Ini disebut hukum fikih.*****) Dan yang ketiga adalah tasawuf, yaitu, mencakup pengetahuan-pengetahuan tentang maksiat yang lahir dan batin di satu pihak dan ketaatan-ketaatan lahir dan batin pula di lain pihak.''

''Rasanya saya sedang memutuskan untuk menjadi murid Anda, Sam Po Kong,'' kata pengawal itu.

''Insya Allah,'' kata Ceng Ho.

Beberapa orang yang berkerumun di sekitar Ceng Ho juga ramai-ramai menyatakan keinginan yang sama seperti yang diucapkan pengawal itu.

''Kami juga ingin menjadi murid Anda,'' kata mereka.
Dan dengan sangat santun Ceng Ho menunjuk Ki Anom. Katanya, ''Pokok-pokok yang saya sebutkan tadi bisa diajarkan Ki Anom yang telah membuka padepokan di sebelah barat. Datanglah kepadanya. Pasti beliau akan memberi pengajaran yang sama. Kepercayaan saya
sama dengan kepercayaan Ki Anom. Kami bersaudara. Semua orang Islam di dunia adalah saudara-saudara dari keluarga yang besar. Bukankah begitu, Ki Anom?''

''Betul sekali,'' kata Ki Anom.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 19:19
Berbincang-bincang hal yang menarik itu berlangsung lumayan panjang. Setelah orang-orang bubar, karena Ceng Ho mengingatkan mereka untuk bersembahyang, barulah Daeng Ucu teringat akan wajah Blekok yang tadi bicara sombong. Seingatnya Blekok belum keluar dari warung yang tadi dimasukinya. Dia pun tidak melihat Blekok bersembahyang pada malam ini. Maka buru-buru Daeng Ucu ke warung itu. Dan memang benar, tukang saut yang kalah itu karena orang yang dikaguminya sudah binasa di bawah tangan pengawal Wikramawardhana masih duduk menopang rahang di warung itu.

Minuman di depannya menunjukkan bahwa dia telah menghabiskan banyak, dan kelihatannya kepalanya pusing, pening, mabuk. Ucu langsung duduk di hadapannya. Sambil duduk Ucu berkata, ''Rasanya Anda berutang pada saya. Saya mau menagihnya sekarang.'' ''Tidak semua utang harus dibayar,'' kata Blekok. ''Kedengarannya aneh di kuping,'' kata Daeng Ucu. ''Budaya apa pula namanya itu?'' Blekok mengangkat kedua kaki di bangku bambu dengan sikap sangat tidak acuh. ''Budaya yang tidak peduli terhadap budaya,'' katanya. Ucu sengit. ''Hanya hewan yang tidak peduli terhadap budaya, sebab hewan tidak punya sejarah,'' katanya. Blekok malah jemawa.

''Kenapa pusing?'' katanya dengan sikap yang meningkat menjadi pongah. ''Yang membuat budaya itu manusia-manusia. Karena manusia yang membuat budaya itu, galib saja kalau manusia juga yang menggantinya.'' ''Maksud Anda: melanggar?'' ''Kok melanggar? Ini tidak ada hubungannya dengan undang-undang.'' ''Memang tidak. Sebab ini berhubungan dengan niyama *) hati.'' ''Saya tidak kewajiban terhadap niyama hati. Sebagai manusia saya bisa mengatakan bahwa akal yang menentukan untuk tidak peduli terhadap budaya.'' ''Kalau begitu, kita berbeda. Saya sangat menghormati niyama hati. Sebab di situ juga saya menghormati budaya.''

''Lantas Anda mau apa kalau kita berbeda?''

Saya memiliki kewajiban hati untuk menyuruh Anda memotong telinga Anda.''
''Berarti Anda memaksa saya untuk berkelahi?''
''Terhadap manusia yang tidak setia pada niyama hati, memang bentuk paksa lebih tepat.''

''Bangsat!'' Blekok melempar cawan di depannya ke muka Daeng Ucu.
Blekok tidak menduga bahwa Ucu telah siaga. Begitu cawan dilemparkan kepadanya, Ucu menghindar, sehingga cawan itu mengenai orang lain di dalam warung itu.

Kendati begitu Ucu tidak melakukan apa-apa, kecuali berdiri dengan mata terbuka lebar.

Artinya, dia menunggu, membiarkan emosi Blekok terbakar dulu. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa di kepala Blekok sekarang sedang ada asap yang sebentar lagi berubah menjadi api.

Sekarang Ucu cukup mengipas asap itu dengan kata-kata yang akan membuat apinya menyala. Kaca Ucu, ''Hati yang panas membuat akal yang Anda banggakan itu terkalahkan.''

Blekok berteriak marah. Dan memang api di dalam dirinya sekarang telah menyala.

''Bangsat!'' serunya. Dan dia menyerang dengan keris ke arah Ucu.
Ucu pun langsung menghindar ke luar warung. Blekok mengejar pula keluar.

Serangan Blekok kelihatannya membabi buta. Dia menikam-nikamkan keris ke udara kosong.

Ucu dapat membaca segala kemampuan Blekok. Pada serangan keris yang berikut ini Ucu melepaskan sarung, tinggal seluar **), dan menggulung-gulung sarungnya itu untuk kemudian disabet-sabetkan ke arah Blekok yang menikam-nikamkan keris. Di suatu gerakan
sarung yang tergulung itu berhasil mengikat tangan Blekok sehingga Blekok tidak bisa menikamkan kerisnya, dan dengan cepat sekali, tanpa membuang waktu Ucu menangkap tangan Blekok yang memegang keris itu, merampas keris itu dan dengan cepat pula
mengarahkan keris itu ke telinga Blekok. Keris itu mengenai telinga Blekok. Serta merta keluar cairan merah dari situ.
''Anda telah menyesuaikan diri dengan niyama hati,'' kata Daeng Ucu. ''Itu namanya senjata makan tuan.''

Api di dalam diri Blekok tak terkendali. Dan karena Blekok bukan orang yang berpengalaman berkelahi kecuali orang yang mudah marah, dia tidak pandai mengatur diri untuk bertindak.
Dia meloncat didesak oleh kemarahannya itu menyerang Ucu, dan dengannya dia melakukan suatu tindakan yang sia-sia. Kerisnya yang sekarang berada di tangan Ucu telah menancap di rusuknya. Sebentar lagi dia akan tumbang disaksikan banyak orang yang berdatangan ke situ.
Sebelum tumbang dia terhuyung-huyung hendak berdiri dengan kaki-kakinya itu, tapi setelah jatuh tiga-empat kali dan mencoba berdiri berkali-kali, akhirnya dia jatuh untuk selama-lamanya.
Di depan orang-orang yang datang ke situ Ucu berkata, ''Saya yang bertanggung jawab. Ini bagian dari kemestian menghadapi siri.''

Di antara orang-orang yang datang ke situ, ada suara seorang lelaki di tengah sana. Katanya,

''Blekok telah memilih upahnya sendiri.''

Semua orang mengalihkan mata ke arah lelaki yang baru saja bicara ini. Dia tak lain adalah KiAnom.

''Selama ini dia banyak berdusta,'' kata Ki Anom. ''Dia mengira saya tidak tahu segala dustanya. Selama ini hatinya telah bercabang dua. Dan cabang yang lebih panjang ternyata berada dalam asutan-asutan yang sesat dari Naranatha. Untung, hari ini Naranatha telah lebih  dulu memilih upahnya. Yaitu, upah segala kejahatan adalah maut. Bahwa semua orang akan menghadapi mautnya masing-masing. Tapi orang yang berbuat jahat akan menghadapi maut
seperti seekor tikus yang dibunuh dengan benci.''

Jadi, Blekok sudah selesai.

Sebelumnya, biang keroknya, Naranatha, juga selesai dalam cara yang sangat nista.
Tapi bagaimana dengan cenayang Naranatha?
Dia lenyap dari cerita ini. Tapi percayalah, itu tidak berarti dia jera melakukan kejahatan.


***



Setelah semuanya selesai, akhirnya rombongan kapal Ceng Ho meninggalkan Tuban.
Demikian pula kapal yang dinakhodai oleh Daeng Ucu berlayar menuju ke Salabassi.
Sebelum berpisah, Ucu mengutarakan sekali lagi undangannya bagi Ceng Ho untuk berlayar ke pulaunya orang Bugis dan Jumpandang.

Ada hal menarik yang dicakapkan Ucu dengan Ceng Ho sebelum mereka berpisah, yang belum pernah dibincangkan selama ini.
Kata Ucu, "Sebenarnya sudah lama tersiar kabar, bahwa Sawerigading membutuhkan kekuatan, yang dipercayainya, bahwa kekuasaannya akan langgeng jika berliau dapat menyunting seorang putri Cina."

"Saya juga sudah pernah mendengar itu," kata Ceng Ho. "Apakah pernah ada utusan dari Setelah semuanya selesai, akhirnya rombongan kapal Ceng Ho meninggalkan Tuban.
Demikian pula kapal yang dinakhodai oleh Daeng Ucu berlayar menuju ke Salabassi.
Sebelum berpisah, Ucu mengutarakan sekali lagi undangannya bagi Ceng Ho untuk berlayar
ke pulaunya orang Bugis dan Jumpandang.
Ada hal menarik yang dicakapkan Ucu dengan Ceng Ho sebelum mereka berpisah, yang
belum pernah dibincangkan selama ini.
Kata Ucu, "Sebenarnya sudah lama tersiar kabar, bahwa Sawerigading membutuhkan kekuatan, yang dipercayainya, bahwa kekuasaannya akan langgeng jika berliau dapatmenyunting seorang putri Cina."

"Saya juga sudah pernah mendengar itu," kata Ceng Ho. "Apakah pernah ada utusan dari Jumpandang ke tanah Cina untuk meminang putri We Cu Dai?"

"Terus terang, saya yang ditugaskan untuk itu."
"Ya," kata Ceng Ho. "Dua tahun lalu saya sudah mendengar, bahwa raja dari Jumpandang bermaksud meminang putri We Cu Dai."

"Betul sekali," kata Ucu. "Moga-moga 'impian' itu akan terwujud menjadi kenyataan."
"Selalu ada jalan jika ada hasrat."
"Ya. Saya pun percaya itu," kata Ucu. "Tau dongo'ka nakanai kalenna tale'baka sala, mingka tau cara'deka nangai appilang-ngeri pappakainga."*)


***

Dan layar-layar pun dikembangkan. Tampaknya semua haluan diarahkan ke timur.
Tapi sebelum berlayar ke timur-barangkali langsung ke Bali atau singgah lagi di wilayah kerajaan Wikramawardhana, atau di wilayah kekuasaan musuh Wikramawardhana, yaitu Wirabhumi di Blambangan-Ceng Ho bertukar pikiran terlebih dulu dengan Wang Jing Hong.

Wang Jing Hong kembali kelihatan sehat. Dia berada di bagian atas kapal, sedang mengencang tambong.**)
"Bagaimana pendapatmu soal ke timur?" tanya Ceng Ho.
"Sama sekali tidak ada masalah," jawab Wang Jing Hong.
"Maksud saya, soal kesehatanmu."

Wang Jing Hong tersenyum. "Seperti Anda lihat, saya sehat wal afiat," katanya. "Layar mesti terkembang. Kita harus mencapai Bali. Bukankah itu rencana kita?"
Ceng Ho senang. Tapi dia tetap bertanya untuk memberikan kesempatan bagi Wang Jing Hong untuk memutuskan tanpa merasa dibujuk, apalagi ditekan. "Benarkah?"
"Sepenuh hati, sepanjang akal," kata Wang Jing Hong.



***


Akhirnya, berlayarlah kapal-kapal rombongan muhibah Ceng Ho ini menuju ke timur. Dua kakak-beradik yang bertugas mengintai di tiang yang biasa itu kini mendapat tugas memperhatikan keadaan laut bagi kepentingan navigasi.
"Sudah lama kita tidak berdebat," kata yang adik.
"Aku tidak mau berdebat dengan orang yang tidak pernah siap ilmunya," kata yang kakak.

"Apa kau kira aku tidak siap?"
"Ya."
"Buktinya, selama ini kau yang tidak pernah siap. Coba saja bilang, haluan kita sekarang berada di mana?"
"Aku tidak mau menjawab. Menjawab kepada orang yang ilmunya belum siap, sama seperti membuang mutiara kepada babi."
"Siapa yang babi?"
"Yang jelas, aku bukan babi."
"Lantas, berarti kau menyebut aku babi?"
"Ah, tidak. Itu kan kau yang bilang sendiri."

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 27/08/2008 19:24
Dari ruang kemudi, berdiri di atas dadung yang lazimnya bagi seorang nakhoda, Wang Jing Hong kebetulan melihat ke atas, ke tiang pengintai. Maka katanya kepada Ceng Ho. "Kelihatannya kedua saudara, kakak-beradik, di atas sana sedang dalam masalah. Lihat." Ceng Ho pun melihat ke arah sana. Dari tempatnya dia melihat bagaimana sang kakak mengeplak wajah sang adik. Oleh karena itu buru-buru Ceng Ho keluar dari ruang kemudi lantas berdiri pula di bagian geladak pertama di atas geladak utama***). Dari situ dia berseru ke atas, kepada kakak-beradik yang biasa berdebat dan biasa pula berakhir dengan tinjumeninju. "Hei! Jangan bakupukul soal mata angin lagi. Kita sedang berlayar ke timur. Dan kita menuju ke Bali. Nah, berdamailah." Sekarang mari kita kembali lagi ke kelenteng Sam Po Kong di Simongan, Semarang, mengikuti tuturan guru sejarah, yang atas mau sendiri menyebut dirinya sebagai tukang cerita. Tukang cerita itu mengipas-ngipaskan mukanya yang berkeringat oleh udara Semarang yang panas. Dia mengambil napas. Katanya, "Begitulah selalu cerita tentang laut, pelaut, dan pelayaran. Begitu pelat-buaya - yaitu pelat tegak yang terletak paling atas dan paling depan dari haluan kapal*) - terpercik-percik gelombang, maka kehidupan dengan segala kejutan, dan acap kali di luar dari jalannya rencana, selalu menjadi masalah yang menarik." "Tapi, tunggu dulu, Pak," kata murid yang paling suka bertanya, menyelonjorkan kakinya sebab merasa semutan. Sambil menyelonjorkan kakinya itu dia bertanya dengan wajah agak cemberut, "Kok Ceng Ho-nya belum datang juga ke Semarang?"
"O? Jangan khawatir," kata tukang cerita. "Pasti cerita saya tentang Ceng Ho ini akan sampai di sini: Semarang. Belum sekarang."
"Kapan?" tanya murid itu. "Apa rombongannya masih harus ke Sulawesi Selatan dulu?"
Tukang cerita menguyak-uyak rambut muridnya itu dengan cara yang dimaksudkan untuk memanjakan. "Mudah-mudahan," katanya.
"Kok jawabnya mudah-mudahan sih, Pak?"
"Sebab, pelayaran selalu harus disesuaikan dengan cuaca. Memang pelaut dari Sulawesi Selatan itu sudah menyampaikan secara langsung undangan kepada Ceng Ho untuk datang ke Jumpandang. Di samping itu, bahkan Ceng Ho sendiri yang sudah menyebut-nyebut nama We Cu Dai. Siapa tahu cuaca bagus akan mengantar rombongan Ceng Ho ke Sulawesi Selatan."

"Nah, siapa sebetulnya We Cu Dai itu. Kok nama ini belum pernah disebut-sebut?"

"Nanti. Kalau memang dia harus tampil, dia akan tampil. Entah kapan. Apakah Ceng Ho akan datang ke Sulawesi Selatan pun dalam waktu dekat ini, belum dapat dipastikan. Sebab, kalau bisa Ceng Ho berperan sebagai juru damai antara Wirabhumi dan Wikramawardhana, sudah pasti upaya itu akan menjadi prioritas utama baginya selaku pemimpin sebuah ekspedisi dengan tanggung jawab kemanusiaan dan misi muhibah. Baru setelah itu terlaksana, maka kapal-kapalnya akan berlayar lagi."

"Ke mana?"
"Pasti ke Bali."
"Balinya di mana? Kira-kira ke selatan Bali, ke Legian, Kuta, yang baru dibom oleh bedebah keparat jahanam tak berperikemanusiaan itu?"

"Tampaknya Ceng Ho tidak ke selatan. Kapal-kapalnya akan menyauh di utara, mungkin sekitar Buleleng, Singaraja. Tunggu saja cerita saya kepada kalian. Tapi di mana pun Ceng Ho mendarat, menyauhkan kapalnya di laut, selama itu berada di perairan Bali, maka itu tidak ada bedanya. Pokoknya kalian tidak perlu tanya secara terperinci di mana Ceng Ho berada di Bali.

Sebab, di mana pun di Bali, sama. Yaitu, bahwa Bali itu sungguh-sungguh bumi yang amat indah. Dan penduduknya, yaitu anak negerinya, adalah orang-orang yang paling cinta damai, ramah, tidak usil, dan kreatif. Justru orang-orang dari luar saja yang selalu merusak keindahan Bali."
"Lo, Pak?" Murid yang kritis itu mengacung dengan duduk tegang. "Berarti Ceng Ho termasuk orang luar juga dong?"
"Jangan samakan Ceng Ho dengan orang-orang biasa," kata tukang cerita dengan tandas, tegas, cergas. "Ceng Ho terpilih oleh Kaisar Ming sebab pribadinya yang luar biasa. Keluarbiasaannya antara lain, sudah saya ceritakan kepada kalian semua, adalah sikapnya yang sangat menghormat budaya di tempat dia menginjakkan kaki. Jangan lupa, ekspedisinya
itu disebut misi muhibah, artinya misi kasih sayang."
"O, begitu to?"
"Ya, begitulah."
"Jadi, omong-omong, sekarang Ceng Ho ke mana dulu?"
"Duduklah baik-baik, nanti saya ceritakan kepada kalian."
Dan tukang cerita itu pun menceritakannya...

***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: EricB on 27/08/2008 23:53
maaf, saya sama sekali tidak mengerti topic ???

terlalu banyak teks untuk baca dan mengerti semua, disini saya benar bule yang cuman bisa bahasa sedikit  :-\

ada yang bisa kasih penyelasan sedikit ? Bapak bingung disini
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Dodol Buluk on 28/08/2008 10:07
Gampang kang Eric, itu mah lagi kejar tayang versi kang Sarkem..heheheheh :D

D'Boels
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 28/08/2008 10:21
Hello Meneer Eric B,

This story about The Legend admiral of all seven fleets was Ceng Ho, the great-grandson of a Mongol warrior. His original name was Ma Ho, the Chinese version of Muhammad, for his father was a Muslim who had made the pilgrimage to Makkah. In 1404, the emperor conferred on him the honorific Cheng, and he was appointed Grand Eunuch, thenceforth to be known as  Ceng Ho.

Ceng Ho’s first argosy called at Java, Sumatra, Aceh, Sri Lanka, Calicut, Champa, Malacca, Quilon and other ports. It brought so many goods to Indian Ocean ports that pricing them took three months. His second expedition, said to have set off in 1407 and returned in 1409, consisted of 249 ships; it visited Thailand, Java, Aru, Aceh, Coimbatore, Kayal, Cochin and Calicut, where it spent four months. The third expedition sailed in 1409 and returned in 1411, and although it was composed of only 48 ships, it allegedly carried 30,000 troops, stopping at Champa, Java, Malacca, Sumatra, Ceylon, Quilon, Cochin and Calicut.


Best regards
Cengho / Zeng He /Zeng Colt
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: EricB on 29/08/2008 01:35
Thnx a lot for the explanation, it seems a very interesting story.
it's sad my level of Bahasa Indonesia is not sufficient to totally understand the story.

If you can point me to an English version I would help me understand this legend

Wassalam,
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 01/09/2008 12:47
heheehehe

If i translate this thread in to English version its make me having a drooping lower lip.. [lucu]

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 01/09/2008 12:52
Sebagaimana pengakuan pengawal Wikramawardhana kepada Ceng Ho bahwa dia ingin menjadi murid Ceng Ho, maka baru sehari saja kapal berlayar menuju ke timur, dia pun mulai bertanya-tanya lagi. Naga-naganya sebentar lagi dia akan menjadi mualaf pula. Dia benarbenar menjadi sangat berubah.
Di luar itu, harus pula dikatakan bahwa dekatnya dengan Ceng Ho membuat dia terbuka pula untuk mengatakan pelbagai hal menyangkut hal-hal yang tadinya adalah rahasia. Suatu malam dia berkata sesuatu yang sungguh mengejutkan bagi Ceng Ho. Dan oleh karena itu, Wang Jing Hong menyaran kepada Ceng Ho untuk turun ke darat menemui Wikramawardhana. Kata pengawal itu, "Sebetulnya bukanlah garong-garong dari timur yang menyerang orangorang sipil di pasar yang diberikan oleh Wikramawardhana si Wikrawardhana. Mereka yang berpakaian garong, yang hitam-hitam itu, adalah sebetulnya tentara-tentara Wikramawardhana yang Wikrawardhana itu." "Apa?" Ceng Ho terperanjat. "Saya berkata jujur, Tuan," kata pengawal itu, "gagasan itu timbul dari pikiran yang langsung dari Tunggul Petak, tapi memang didukung oleh raja." Setelah termangu beberapa jeda, Ceng Ho pun berkata, "Wikramawardhana harus bertanggung jawab itu kepada kaisara." Mendengar itu Wang Jing Hong -yang secara langsung menderita sakit karena terkena racun keris "garong" yang menyergap mereka di istana musim panas Wikramawardhana di lerengberkata kepada Ceng Ho, "Wikramawardhana yang Wikrawardhana itu harus mengganti rugi yang tidak kecil." Apakah pernyataan Wang Jing Hong yang memberikan sugesti untuk menghentikan kapalkapal di ceruk antara Gresik dan Surabaya, berarti perwira-perwira Ceng Ho dan lain-lain akan masuk kembali ke dalam melalui Brantas?


***


Yang jelas terlihat, kapal-kapal itu memang berhenti di ceruk antara Lintas Barat dan Lintas Timur, yaitu antara Gresik dan Surabaya. Aba-aba diberikan dari kapal induk yang disampaikan kepada semua kapal-kapal pengiring. Serta merta semua kapal pengiring itu pun menarik tambing-tambing *) untuk menganda **) kapal. Juru mudi dari tiap-tiap kapal pengiring itu turun ke sekoci lantas meluncur ke kapal induk. Aba-aba tadi dipahami sebagai perintah untuk melakukan rapat di kapal induk. Itulah cara menarik dan dikagumi oleh anak buah Ceng Ho terhadap laksamana ini yang selalu melakukan kebijakan dengan meminta pendapat bawahannya yang justru menjadi orangorang yang dipimpinnya. Ketika para perwira dan juru mudi dari masing-masing kapal sedang memasuki kapal induk, Tan Tay Seng duduk di buritan, menyanyikan puisinya.
Tiada kata kembali tanpa kata kepergian Kala pergi orang mendambakan kesenangan Kala pulang orang tidur dalam kesendirian Bebas dari keringat dan air mata kesusahan.
Di Jawa konon dibangun cai-qi ***) perantauan Mengimbaukan cai-shen ****) mengatur peruntungan Bukan dengan bei *****) akan kuukir peri pengharapan Setiba di Bali nanti kutanamkan segala yang cai-chan. ******)

***

Masih terdengar sayup-sayup suara Tan Tay Seng. Tapi di ruang rapat, orang semua duduk dengan tenang. Mereka menunggu kata-kata apa yang akan diucapkan oleh Ceng Ho. Alih-alih dalam rapat ini Dang Zhua dan Hua Xiong yang biasanya berdekat-dekatan, kini duduk berjauhan.
"Begini, Saudara-saudara," kata Ceng Ho mengawali rapatnya ini. "Sebetulnya kita mesti ke selatan, melalui Brantas, menemui raja Wikramawardhana, untuk meminta ia bertanggungjawab atas dustanya kepada kita. Bahwa oleh dustanya itu kita telah kehilangan 170 orang saudara-saudara kita yang dibantai dengan keji. Dari pengawal Wikramawardhana sendiri, baru saya ketahui, bahwa para pembantai itu -yang sebelumnya dikambinghitamkan sebagai garong-garong dari raja timur, Wirabhumi, di Blambangan, ternyata yang benar adalah tentara-tentara Wikamawardhana sendiri. Nah, seharusnya, sebelum menjadi dingin, senyampang kita masih berada di mulut muara menuju ke istana Wikramawardhana, kita ke sana saja; Namun, saya punya pertimbangan lain, yang ingin saya sampaikan kepada Saudara-saudara sekalian; Begini. Kalau kita sekarang mampir lagi ke dalam, menemui raja Wikramawardhana, mungkin kita akan berhenti disini sekitar tiga atau empat hari. Padahal, kalau kita terus berlayar ke timur sekarang, melewati selat di depan sana -Selat Madura-dapat dipastikan pekan depan kita akan sudah berada di Bali. Dan, kira-kira itu bertepatan dengan tanggal pertama bulan Ramadhan, bulan yang penting bagi saya dan saudara-saudara yang muslim untuk melaksanakan salah satu dari Arkanul Islam;


Nah, bagaimana pendapat Saudara-saudara?" Wang Jing Hong selaku kepala jurumudi mengangkat tangan. Katanya, "Terus terang, saya ingin cepat tiba di Bali, sebab dari awalnya memang begitu rencananya." Ceng Ho memperhatikan terlebih dulu wajah-wajah orang di ruang rapat itu. Setelah itu dia berkata, "Nah, bagaimana?" Seseorang di antara perwira-perwira yang berapat di situ, yang selam aini belum pernah direbut secara khusus namanya, mengangkat tangan pula. Perwira ini sesuai antara badannya dan seh-nya. Badannya tinggi dan marganya berbunyi pendek, yaitu Su, tapi ditulisnya secara huruf Cina mengandung 22 goresan. Di dalam rombongan misi muhibah ini ada dua orang yang marganya ditulis dengan 22 goresan. Yang satunya lagi adalah Kung. Perwira Su seorang penganut Kong Hu Cu yang taat sekali. Dia mengacung, memberi pendapatnya. Katanya, "Menurut pendapat saya, apa yang dianggap pas menurut pertimbangan laksamana, itu baik saja kita tempuh." "Apa Anda tidak bosan pada warna biru setelah menikmati yang hijau-hijau?" ''Maaf, Laksamana,'' kata Perwira Su. ''Anda tahu, menulis marga saya saja membosankan. Bunyinya singkat, tapi tulisannya terdiri dari 22 goresan. *) Tapi, kenapa harus bosan? Saya rasa ajaran Kong Hu Cu itu benar. Dalam Thay Hak **) ada termaktub dengan indah katakata ini: 'Jika bisa memperbarui diri dalam satu hari, maka hari-hari pun akan menjadi baru'. Jadi, tidak ada kamus bosan bagi orang yang dapat memperbarui dirinya dengan perasaanperasaan baru pikiran-pikiran baru.'' Ceng Ho tersenyum. Dia menghargai pandangan Su. Maka katanya, ''Berarti kita terus saja ke Bali?'' Semua menjawab serempak, ''Teruuus!''


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 01/09/2008 12:55
Semua kapal, dengan kapal induk yang berada di depan, memasuki Selat Madura, berlayar di tengah-tengah. Pada pekan depan mereka pun telah berada di garis bujur 115 derajat. Dari situ mereka ke arah tenggara, menepi ke darat, ke Buleleng. Di laut lepas mereka menyauhkan jangkar. Dan dengan kapal-kapal yang kecil mereka turun ke darat. Seluruhnya 20 buah sekoci. Sekoci yang digunakan Ceng Ho berada di depan. Ceng Ho duduk di atas papang ***) sambil memegang keliti ****) dan terus memandang ke depan. Ada beberapa lumba-lumba mengiringi laju sekoci berlayar ini. Darat di selatan makin lama makin dekat. Di sana terlihat orang-orang berdiri di pantai, menyaksikan kapal-kapal besar dari Cina itu. Kelihatannya rakyat kagum melihatnya. Belum lagi nanti, melihat busana-busana sutra asli yang dikenakan Ceng Ho dan rombongannya. Sesampai di darat, di tanah tepi, masyarakat pun datang menghampiri, memberi selamat, menyambut dengan ramah.


***


Penerjemah pun menyampaikan kepada rakyat yang mengerumun ini untuk bisa bertemu dengan penguasa di daerah ini.
''Kami ingin menyampaikan salam dari kaisar Cina kepada penguasa di sini,'' kata Ceng Ho yang diterjemahkan oleh penerjemah.
''Ratu Subandar adalah Dewi Laut di sini,'' kata seseorang dengan santun. Namanya Putu.
''Kami sangat bahagia kalau dapat bertemu dengannya,'' kata Ceng Ho.


***


Nanti Putu akan mengantar rombongan Ceng Ho ke sana. Ke istana Ratu Subandar itu lumayan jauh. Dengan kereta mereka harus berjalan menyisir pantai, ke timur, ke daerah Tanjung Bungkulon, dan dari situ ke selatan lagi. Yang menarik di mata Ceng Ho dan rombongannya adalah sawah yang subur bersusun-susun. Ada bagian sawah yang dialiri air yang cukup-dalam bahasa Bali disebut tulaksumur-ada pula sawah yang kurang air-dalam bahasa Bali disebut kertamasa-dengan cara tanam yang dilakukan pada sasih Kapat (biasanya jatuh pada bulan Oktober dalam kalender Masehi) dan sasih Kadasa (biasanya jatuh pada bulan April menurut almanak Masehi). Di sawah yang tanahnya kering, petani memaculkan tanah dengan menggunakan dua alat supaya air masuk ke situ, yaitu dengan pacul yang disebut tambah dan bajak yang ditarik oleh dua ekor sapi atau kerbau yang disebut tenggala. Petani-petani Bali tidak sembarang memilih waktu untuk bertanam. Mereka pasti menghindar hari-hari yang disebut sebagai prewani, pasah, ingkel wong, odalan Betara Sri. Ketika padi berumur dua puluh hari para petani membersihkan rumput-rumput yang menyelundup dan ngotot ingin tumbuh bersama padi. Membersihkan rumput-rumput dari padi lazim disebut sebagai kerja nglondoin. Kemudian, setelah lima puluh hari, sawah dibersihkan lagi, yaitu mencabut rumput-rumput itu dengan tangan, disebut mejukut. Lalu, memasuki bulan ketiga,
petani mulai membuat gubuk di sekitar sawah, disebut rangguan, dan memasang alat-alat bunyi dari bambu, disebut kepuakan, untuk mengusir burung-burung pipit atau gelatik yang bakal memakan padi, atau juga membuat orang-orangan yang terbuat dari jerami, disebut petakut.


***



Menjelang senja barulah rombongan Ceng Ho tiba di istana Ratu Subandar. Istana sang ratu dipenuhi dengan ukiran yang indah. Sebelum memasuki halaman, di depannya, sebagaimana lazim di kemudian hari dibangun candibentar, begitu pula gerbang gapura dari bangunan istana Ratu Subandar. Candibentar di depan istana Ratu Subandar ini lumayan tinggi. Di sekitarnya penuh pula tempat-tempat menaruh saji, disertai patung-patung dari batu yang telah menghitam oleh hujan dan panas. Sang ratu sedang berbaring di depan kolam ketika rombongan Ceng Ho tiba di istananya. Di kolamnya ada banyak teratai dengan bunga-bunga padma yang merah dan elok. Sebentar-sebentar daunnya bergerak, bukan karena ditiup angin, melainkan karena berkejarannya ikanikan di bawahnya. Di atas pohon yang rindang, yang tumbuh dekat kolam, terdengar burungburung jalak putih, jalak khas Bali, yaitu Leucopsar rothschildi, berkicau ramai. Sang ratu melihat ke atas, ke burung-burung putih dengan warna biru yang memikat di sekitar paruh. Apabila yang jantan merayu yang betina maka jambulnya mengencang lurus ke atas. Burung-burung itu mengenal betul jodohnya. Jika mereka mencari makan, mereka akan terbang sepasang-sepasang, tapi nanti, seperti sekarang, ketika mereka kenyang mereka akan bersama-sama bertengger di atas pohon.  Nanti, ketika Wang Jing Hong melihat burung-burung itu, dia akan mengucapkan syukur dengan girang. Sebab, memang salah satu keinginannya yang berapi-api untuk datang ke Bali adalah memiliki burung jalak putih yang hanya ada di Bali. (Burung ini yang oleh kesetiaannya dalam berpasangan tetap, maka pembiakannya pun sangat terbatas, makin lama makin berkurang.*)


***


Tapi, sebelum sang ratu dan rombongan Ceng Ho berjumpa di istananya, kembalilah dulu sejenak ke kapal induk, ke bagian bawahnya yang telah berbulan-bulan ini seakan-akan hilang dari perhatian banyak orang. Bagian yang manakah itu? Tak lain bagian tempat raja Palembang, Tan Co Gi atau Chen Tsu I atau Chen Zhu Yi, disekap menunggu eksekusinya di Cina. Sekian bulan, disibukkan oleh pelbagai masalah, sejak rombongan kapal ini disauhkan di Sunda Kelapa, Cirebon, dan lain-lain, termasuk yang terakhir Tuban, maka perhatian semestinya terhadap manusia yang berada di dalam sel kapal induk, yaitu Chen Tsu I tersebut seakan-akan ternomorduakan. Malah mungkin menjadi nomor tiga, empat. Apakah Ceng Ho lalai? Sama sekali tidak. Hanya saja waktu di dalam pelayaran yang bakal memakan sekitar dua tahunan sampai kapalkapal ini pulang kembali ke Cina, terlalu banyak persoalan yang menyita perhatian dan tanggung jawab Ceng Ho beserta anak-buahnya. Maka katakanlah sementara: Tan Co Gi di dalam selnya di kapal induk tidak banyak disebut-sebut. Apakah itu berarti penjagaan yang ketat - seperti yang pernah diperintahkan Ceng Ho sekian bulan lampau ketika raja terguling Zhu Yun Wen melarikan diri oleh ulah Hua Xiong dan Dang Zhua - kini menjadi longgar? Mungkin! Jika demikian akan ada bahaya yang mungkin pula merepotkan awak kapal. Dan siapa pula yang dapat menghindar bahaya jika bahaya tidak diantisipasi oleh banyaknya kesibukan yang menyita perhatian dan waktu? Apalagi jika dalam waktu yang tersita mesti ada di sana waktu untuk melakukan suatu prioritas, sehingga prioritas yang lain dapat terabaikan. Belum lagi masalah yang selalu terjadi di antara banyaknya manusia di dalam suatu rumah dalam hal ini rumah itu adalah kapal-kapal yang berlayar di bawah komando satu orang - pasti dapat saja terjadi perbedaan-perbedaan pikiran. Dan, jangan anggap ini perkara enteng atas manusia-manusia berpikir beda. Sebab, perbedaan berpikir yang tidak terejawantah dalam kalimat, dalam kemauan atau keberanian untuk menyatakannya lewat mulut atau lewat verbal, karuan dapat pula membuat orang memelihara prasangka. Prasangka dapat berkembang menjadi curiga, curiga dapat berubah menjadi benci, benci dapat dialirkan kepada orang lain. Dan setelah itu, berujung pada solidaritas dalam kebersalahan. Yaitu, orang yang bersalah, tidak merasa bersalah, dan selanjutnya mencari orang-orang lain untuk menyalahkan orang lain, dan kemudian menjadikannya musuh. Sudah jelas seseorang yang mesti dianggap berbahaya di sini, sebab dalam dirinya terwakilkan frustrasi Liu Ta Xia, dan kemauan buruknya tetap membatu, adalah Hua Xiong.
Ketika sahabatnya Dang Zhua berangsur berubah pikiran, dia tetap menjadi tong sampah pikiran-pikiran culas Liu Ta Xia.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 01/09/2008 13:04
Tadi, sebelum turun ke darat, ketika semua orang sedang sarapan dan siap-siap ke darat, Hua Xiong turun ke bawah ke sel tahanan Chen Tsu I. Penjaga yang dulu ketat bergiliran menjaga di situ dan kini menjadi longgar kebetulan sedang sarapan bersama di ruang makan. Ini adalah hari terakhir bagi sebagian awak kapal Ceng Ho yang beragama Islam untuk makan pagi. Besok mereka akan berpuasa, sebab besok adalah hari pertama Ramadan. Ketika orang-orang semua sarapan di ruang makan, termasuk penjaga yang bertugas di depan sel Chen Tsu I, maka pada waktu itu pula Hua Xiong memacu Chen Tsu I untuk merancang kebebasannya. "Berdoa saja atas kebebasan Anda, Paduka," kata Hua Xiong dengan suara setengah berbisik sambil celingak-celinguk ke pelbagai arah. (Ya, termasuk kejahatan pun sering beralas pada doa). Chen Tsu I malah meludah. "Berdoa?" katanya geram. "Doa hanya untuk orang-orang yang percaya kepada Tian. Tian sudah tuli. Tian tidak punya kuping. Malahan Tian sudah mati." "Percayalah, Paduka," kata Hua Xiong. "Paduka bisa lepas seperti raja Zhun Yun Wen." "Bacotan itu comberan. Sudah berbulan-bulan saya tunggu janjimu itu. Dan, selama sekian bulan ini saya hanya menggantang asap mengukir langit. Semuanya omong kosong." "Percayalah, Paduka. Nanti, ketika saya turun ke darat bersama rombongan, akan ada orang yang ke sini melepaskan Anda." Ceng Ho terbengong. Dia melihat ayahnya naik kembali ke langit, melejit dengan kencang di sana, melompat dari bintang satu ke bintang lain. Ketika dia memandang dengan menganga seperti itu, dia merasa jubah yang dikenakannya membesar dan dia mengecil di dalam jubahnya itu. Dia menjadi seperti anak kecil berusia di bawah lima belas tahun. Paling tidak rasanya seperti anak kecil yang dahulu dikebiri oleh raja untuk dijadikan sida-sida. Setelah terbengong lama, dia terisak-isak, kemudian terkejut, terbangun dari tidur, dan menyadari apa yang baru saja berlangsung itu adalah mimpi. Lalu dia duduk. Dia terdiam berusaha mengembalikan urutan mimpinya itu. Ada sesuatu yang segera disadarinya. Bahwa di depan seorang ayah dan ibu, seorang anak yang telah menjadi besar, bahkan menjadi pembesar sekalipun adalah tetap seorang anak yang memiliki ayah dan ibu. ''Ya, aku manusia!'' ujarnya dalam hati. Mengapa dia berkata begitu di dalam hati? Adalah ketangkasan nalarnya juga yang membuat dia telah mengaku di dalam hati, sebagai manusia dia manusia sejati: manusia dari darah dan daging yang memiliki sejumlah kelebihan dan sejumlah kekurangan khas. Mungkin benar, selama ini dia bersikap terlalu longgar, dan karena itu bisa saja sikap itu membawa bahaya besar yang tak terduga. Bukankah tanpa setahunya telah berlangsung rencana curang dari Hua Xiong atas Chen Tsu I? Namun sekarang, setelah muncul penampakan dalam mimpinya, kira-kira apa yang akan dilakukan Ceng Ho? Jawabnya, apa pun yang akan dilakukannya, niscaya hal itu akan merepotkan rencana Hua Xiong melalui Si Lihai untuk membebaskan Chen Tsu I dari selnya di bawah sana.


***


Hua Xiong bakal kaget. Dan, apakala dia kaget nanti maka dia merasa jarak budayanya untuk menjadi manusia telah terancam.
Tapi sebelum itu, sebelum Ceng Ho akan membuat kejutan nanti di ruang rapat, dia berjalan seorang diri ke bawah. Pada jam makan pagi ini penjaga yang mestinya menjaga di sel Chen Tsu I tidak terlihat di tempatnya. Dia termangu di situ. Seraya mengingat mimpi yang terjadi tadi malam Ceng Ho menggumam. ''Ternyata ayahku benar. Ayahku melihat dengan mata roh yang lebih sempurna dari mata jasad. Terima kasih, Ayahku.''


***


Maka Ceng Ho menyatakan ihwal ini kepada Wang Jing Hong. Adalah Wang Jing Hong pula orang pertama yang mendengar tentang mimpi Ceng Ho tadi malam.
Setelah itu, kata Ceng Ho, ''kita harus meningkatkan siaga kita, Jing Hong. Hampir saja kita kecolongan. Pendeknya, apa pun yang terjadi di darat, masalah atau bukan masalah, kegirangan atau kesedihan, semua itu jangan membuat kita lengah. Saya ingin penjagaan terhadap Tan Co Gi tidak boleh kendur.''
''Perlu disampaikan secara resmi sebelum kita turun ke darat.''
''Jadi, kau siap turun ke darat?''
''Aku tidak sakit, Sam Po Kong. Kalaupun nanti kumat, percayalah, begitu aku melihat yang aku cita-citakan untuk mendapatkannya, maka aku yakin akan sembuh.''


***

Jadi, sebelum turun ke darat, sehabis sarapan Ceng Ho meminta orang-orang tertentu, para perwira khusus kapal induk, berkumpul di ruang rapat di atas. Di antara perwira-perwira itu terlihat juga Dang Zhua yang duduk berjauhan dengan Hua Xiong. Sebentar lagi Hua Xiong akan geregetan, gemas, dan geram, namun tak berdaya. Di depan orang-orang yang telah duduk di ruang rapat, Ceng Ho berdiri dengan hanya melihat saja ke depan kepada orang-orang yang akan mendengar keputusannya. ''Begini, Saudara-saudara,'' kata Ceng Ho memulai bicaranya dengan jeda beberapa saat. ''Terus terang saya hampir saja tersandung. Ini semua gara-gara kesibukan yang kita hadapi selama ini. Kesibukan bisa kita anggap sebagai berkat sebab dengannya kita bekerja, berhubung manusia yang beriman, yang percaya kepada Tuhan, haruslah bekerja, sebab hanya orang yang bekerja yang berhak makan. Tapi kesibukan bisa juga menjadi seperti pintu air, bahwa siapa yang masuk ke dalamnya sering hanyut sampai jauh ke muara dan terlalu letih untuk kembali ke hulu. Kita telah melampaui hari-hari sibuk, pekan-pekan sibuk, bulan-bulan sibuk, yang semua menyita pikiran kita dan mengucurkan keringat kita. Oleh kesibukan itu acapkali manusia dalam hal ini kita semua, dan saya selaku pemegang tanggung jawab menyeluruh -terlupa pada keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan, serta aturan-aturan yang sudah disepakati. Nah, terlupa apa yang saya maksudkan itu? Begini, Saudara-saudara. Sejak kita meninggalkan Sunda Kelapa, memasuki Cirebon, kita hampir boleh dikata terlupa akan pekerjaan kita yang berat, yang telah kita hasilkan dengan susah-payah, yaitu menangkap dan menahan Chen Tsu I di dalam kapal ini. Oleh kesibukan kita tersebut, kita telah berlaku longgar terhadap penjagaan Chen Tsu I. Sudah tentu kita tidak mau mengalami kesia-siaan atas kerja berat kita itu hanya karena kesibukan tersebut. Makanya, janganlah kesibukan yang mungkin kita hadapi nanti membuat kita lengah.''  Serta-merta Hua Xiong tak tenang. Duduknya usrek. Serasa ada ribuan paku yang panas di kursinya. Butir-butir keringat yang sebesar biji-biji kedelai tampak di kening dan meleleh ke lehernya. Dia menguap. Dan dia melirik ke arah Dang Zhua. Dalam hati dia mengumpat Dang Zhua. "Binatang kau, Dang Zhua. Ini pasti ulahmu. Kau pasti yang melaporkan kepada Sam Po Kong." Hua Xiong semakin mendidih memandang Dang Zhua setelah Ceng Ho meneruskan katakatanya tadi dengan keputusan yang membuatnya pula mati kutu. "Kita akan turun ke darat pada saat matahari kira-kira berada seperempat dari putarannya ke atas kepala kita," kata Ceng Ho. "Dan saya minta Ci Liang mengatur dua orang tentara yang menjaga sel Chen Tsu I."


***


Waktu yang disebut Ceng Ho itu akan jatuh pada kira-kira jam sebelas. Itu artinya orangorang harus sudah siap dua jam sebelumnya. Dalam waktu itu, Dang Zhua tidak menyangka sama sekali, bahwa ketika dia memasuki kamarnya, Hua Xiong telah menunggu di situ dengan menghunuskan pedang. Begitu dia masuk ke dalam kamar, bersamaan dengan itu pula pedang di tangan Hua Xiong terarah ke lehernya. "Kau benar-benar binatang, Dang Zhua," kata Hua Xiong. Dang Zhua kaget. Dia tidak mengerti arah ke mana kata-kata yang diucapkan Hua Xiong. Makanya dia pun berkata bingung, "Ada apa?" "Jangan pura-pura." Dang Zhua tetap bingung."Demi Tuhan, kau bicara apa ini?" Bukannya menjawab pertanyaan bingung Dang Zhua, sebaliknya Hua Xiong menyepak perut Dang Zhua. Yang disebut ini pun terpelanting di bawah. Dalam keadaan jatuh di bawah dan belum bangun, Hua Xiong meloncat ke arah Dang Zhua, menghunuskan kembali pedangnya ke leher Dang Zhua. Karena menyadari bahwa Hua Xiong tidak bermain-main, Dang Zhua berpikir cepat untuk tidak konyol. Dia harus bertindak. Dan ketika dia memutuskan harus bertindak, maka dia pun harus berhitung secara benar. Sebab, perhitungan yang tidak tepat, akan membuat tindakannya mubazir. Tidak akan ada orang yang mau memuji orang yang salah karena bertindak dengan perhitungan yang tidak tepat. Tindakan yang tepat acapkali harus diejawantahkan dengan gerakan yang cepat. Kecepatan gerak bisa membuat lawan tidak siap. Apalagi Hua Xiong memegang senjata dan merasa percaya diri oleh senjata di tangannya itu. Oleh rasa percaya diri itu Hua Xiong tidak menduga bahwa Dang Zhua yang berada di kakinya akan melakukan gerakan cepat, dan gerakan itu adalah gerakan yang tepat. Dang Zhua menendang Hua Xiong dengan cara mendupak ke arah selangkang orang yang memegang pedang ini sehingga tubuhnya terhenyak ke belakang dan dengan begitu dia pun berdiri, menyerang. Maka terjadilah perkelahian yang seru di kamar yang tidak besar ini membuat keadaan kamar ini berantakan dan acak-acakan. Harus diakui Dang Zhua lebih unggul dalam berkelahi. Bahwa walaupun Hua Xiong memegang senjata, Dang Zhua dapat merebut pedang itu dan membuangnya. Setelah itu dalam perkelahian dengan tangan kosong kelihatan sekali ketidaksiapan Hua Xiong. Banyak sekali pukulan-pukulan yang diarahkannya kepada Dang Zhua hanya mengena ruang yang hampa. Di satu kesempatan setelah berkelahi seru, akhirnya Dang Zhua berhasil menangkap tangan Hua Xiong, lantas memuntirnya dengan menekan lehernya. Mestinya Hua Xiong harus mengaku kalah, tapi itu tidak dilakukannya. Dia berusaha menyepak Dang Zhua, dan kakinya tidak mengena ke sasaran yang dia harapkan. Malahan oleh gerakan yang untung-untungan itu membuat Dang Zhua merasa harus menyudahinya dengan pukulan telak. Pukulan yang kuat mengena dua arah sekaligus: ulu hati dan rahang. Hua Xiong tumbang. Dia terkulai di lantai. Dang Zhua mengulurkan tangan untuk mengangkat Hua Xiong dari lantai itu.
"Maaf," kata Dang Zhua sambil menarik tangan Hua Xiong.
Hua Xiong tidak peduli. Dia duduk. Mukanya merengut.
"Saya tidak mengerti, kenapa saya harus memukulmu, sobat," kata Dang Zhua. "Mestinya kita bisa tetap bersahabat. Bahwa kita berbeda pendapat, mungkin ya, bahwa kita berkembang.
Tapi perbedaan pendapat kita tidak seharusnya kita hadapi dengan kekerasan. Nah, kenapa sampai hati kau menyerangku dengan senjata?"

Hua Xiong tidak menjawab. Mukanya tetap merengut. Dang Zhua pun duduk di sebelah Hua Xiong. Setelah itu dia mengarahkan tangannya kepada Hua Xiong. "Mari kita bersalaman," kata Dang Zhua. "Walau kita berbeda, kita tetap bersahabat. Bukankah?"
Hua Xiong berdiri. Kelihatannya dia tidak mau menerima ajakan ketulusan itu. Pernyataannya berikut ini mempertegas apa yang berlangsung di dalam hatinya. Katanya, "Dalam persahabatan kita sudah ada durinya. Mana mungkin kita melanjutkan persahabatan kalau ada duri di dalamnya?"

"Hanya duri, sobatku," kata Dang Zhua. "Duri tidak mungkin bisa mengalahkan pengertian. Saling mengerti dapat mengalahkan kekerasan hati. Tidak ada senjata yang lebih ampuh selain daripada saling pengertian."

"Tidak," kata Hua Xiong. "Bagaimanapun saya masih tetap tidak mengerti bagaimana kau berubah menjadi lembek, menohok pada sahabat seiring. Kau tidak sadar, dalam menohok sahabat seiring, kau telah mengabaikan kesungguhanmu sendiri, dan mengorbankan
sahabatmu."

Dang Zhua terdiam sejenak. Dia tatap wajah Hua Xiong. "Tidak ada yang jadi korban dalam perbedaan kita, Sobatku."

"Ah, kau ikut-ikutan jadi belut," kata Hua Xiong jengkel. "Apa maumu melapor kepada Sam Po Kong tentang maksudku memberdayakan si Lihai itu?"

Dang Zhua terkinjat. "Apa?"

"Alah, pura-pura," kata Hua Xiong, "pasti karena kamu yang melaporkan kepada Sam Po Kong." "Melapor apa?" Dang Zhua benar-benar tidak paham akan apa yang diperkatakan Hua Xiong.
"Siapa lagi kalau bukan kamu?"
"Tunggu," kata Dang Zhua benar-benar ingin mengetahui latar pikiran Hua Xiong, "saya tidak mengerti maksudmu: melapor. Melapor apa. Melapor tentang apa?"

"Alah," kata Hua Xiong dengan kejengkelan yang tidak reda, "buktinya Sam Po Kong menyuruh melakukan penjagaan yang ketat atas sel tahanan Chen Tsu I."
"O?" Dang Zhua mengangguk-angguk. Dia mulai meraba-raba dalam masih tidak  mengertinya untuk menjadi mengerti. "Aku mulai mengerti."
"Ya, kamu mengerti. Tapi kamu tidak punya pengertian. Kamu korbankan aku."
"Tidak," kata Dang Zhua tegas, "kamu berprasangka. Aku bahkan tidak tahu apa rencanamu."
"Bohong!" kata Hua Xiong dengan suara keras hampir menyerupai teriakan - teriakan yang
dalamnya mengandung perasaan putus asa.
"Sumpah, atas nama semua dewa, malaikat, dan Tian," kata Dang Zhua sambil berdiri,"memangnya aku tahu apa yang kamu rencanakan itu? Sudah berbulan-bulan kita tidak saling bertukar pikiran. Aku sama sekali tidak tahu apa yang kamu rencanakan."
"Alah, sudahlah," kata Hua Xiong. "Memang kita tidak perlu lagi bertukar pikiran. Kita sudah berbeda. Sekali kita berbeda, untuk selamanya kita tidak bisa sama."
"Tunggu," kata Dang Zhua.
"Persetan." Hua Xiong meninggalkan kamar.
Untuk sementara acara berpangkai-pangkai tak berlanjut.


***


Di luar kamar, di atas geladak telah bersiap-siap orang yang akan naik ke sekoci untuk turun ke darat. Sepuluh sekoci dipersiapkan untuk membawa orang-orang darat.

***


Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 01/09/2008 13:15
Demikianlah orang-orang itu telah berada di darat menuju ke istana sang ratu. Ratu Subandar, perempuan setengah baya yang pandai merias diri, berdiri dari tempat beristirahatnya di dekat kolam dan pohon besar di atas yang dikicaui oleh jalak-jalak putih khas Bali tersebut. Dia sangat takzim sekaligus gemulai menyambut tamu-tamu asing ini. Bercakap dengannya harus dilakukan dalam lintas terjemah yang rumit. Penerjemah yang dibawa oleh Ceng Ho harus menerjemahkan bahasa Cina ke bahasa Melayu dan seseorang dari pihak istana ratu menerjemahkan bahasa Melayu ke dalam bahasa Bali.
Ceng Ho menyerahkan bingkisan dari Cina berupa guci keramik yang besar, yang kiranya baru kali ini dilihatnya, dan besarnya lebih tinggi dari ukuran sang ratu sendiri.
"Atas nama kaisar Cina, kami mempersembahkan ini kepada ratu," kata Ceng Ho. "Ini merupakan tanda tali persahabatan kekaisaran Cina dengan negeri-negeri tetangga. Bahwa semua bangsa di negeri yang jauh dari negara kami adalah pada hakikatnya saudara-saudara
jua adanya. Artinya, sebagai saudara, kita menjalinkan perasaan: berat sama dipikul, ringan sama dijinjing. Ini menyangkut seluruh bidang dalam kehidupan: kebudayaan, sosial, ekonomi, politik."
Dan Ratu Subandar pun memberi hormat dengan cara yang sangat sopan.

Katanya, "Kami merasa terhormat akan kunjungan Tuan-tuan dari negeri Cina. Segala keperluan yang Tuan-tuan butuhkan dari kami, katakan saja, kami bersedia menolong."
"Tentu saja kami pun merasa terhormat atas kesediaan ratu."
Dan burung-burung jalak putih di atas pohon ramai berkicau.
Wang Jing Hong melihat ke atas. Dan alangkah takjubnya dia. Katanya tak kuasa menahan senang, "Luar biasa. Astaga."
Ratu Subandar seperti tersium dari lena. Melihat takjubnya Wang Jing Hong, dia pun berkata, "Ada apa, Tuan?"

"Maaf, Ratu," jawab Wang Jing Hong, "salah satu dari dendam saya selama ini adalah rindunya tangan saya memegang burung-burung putih di atas itu."

"O ya?" Ratu Subandar tersenyum senang. "Ada empat warna yang mencolok dari burung jalak Bali: putih, biru, kuning emas, dan hitam legam. Putih adalah pada warna seluruh badan, melambangkan kesucian hati orang Bali. Biru di sekitar mata melambangkan kesatriaan dalam darah orang Bali. Kuning emas di paruh melambangkan bahwa kata-kata yang diucapkan orang Bali haruslah bernas, bermutu, berharga, sesuai antara yang diperkatakan
dengan yang diperbuat. Hitam pada ujung sayap dan ekor yang menyerupai garis tegas, bahwa orang Bali yang cinta damai akan menolak segala kejahatan, dan untuk orang Bali yang cinta
damai akan melawan terhadap kejahatan."

"Luar biasa," puji Ceng Ho.
"Justru itu, yang mulia ratu," kata Wang Jing Hong, "saya sudah menekan mimpi-mimpi saya untuk -seandainya boleh- saya memiliki burung jalak itu. Suratan takdir saya menyebutkan bahwa saya bisa berumur panjang jika saya memiliki jalak putih itu."

Ceng Ho terheran mendengar pernyataan Wang Jing Hong. Karena itu, dia pun bertanya, "Betulkah begitu?"
"Ya, konon begitu uraian kwa-miah dan swi-miah saya," jawab Wang Jing Hong.
"Kok kau tidak pernah mengatakan itu?"
"Anda tidak bertanya, jadi saya tidak berkata."
Dan, Ratu Subandar berkata, "Sangat mudah. Nanti saya akan suruh ahli saya menangkap burung itu satu pasang."

"Terima kasih, Ratu," kata Wang Jing Hong. "Satu ekor pun sebetulnya sudah cukup."
"Tidak boleh, Tuan," kata Ratu Subandar. "Kasihan salah seekor dari pasangannya akan menderita sepi, tertekan, lantas mati sebatang kara. Itu yang membuat populasinya menurun."
"Jika memang begitu, asal Ratu berkenan, saya akan sangat senang," kata Wang Jing Hong menundukkan badan memberi hormat.
"Pasti," kata sang Ratu.


***


Dengan cepat rombongan Ceng Ho menerima kesan, Ratu Subandar tulus, baik, jujur, tidak seperti orang-orang yang dijumpai dalam pelayaran sejak di Qui-Nho hingga Tuban. Yang menarik disebut, dan diingat oleh rombongan Ceng Ho, adalah sang Ratu dan banyak perempuan di dalam istana baik yang dayang-dayang maupun janger *) semua berbuka baju atas, sehingga bagian tubuh yang ada hubungannya dengan kasih sayang di satu pihak dan tanggung jawab insani bagi kehidupan generasi manusia di lain pihak tampak merdeka diterpa angin yang sepoi-sepoi basah. Ketulusan itu pula yang tetap terjaga lantaran memang lahir dari hati yang bersih, saat sang Ratu menjamu makan pada malam harinya. Pada malam jamuan makan itu sang Ratu menyajikan para janger yang menarikan tarian indah. Alih-alih bunyi gamelan yang mengiring tarian itu tidak sama dengan yang di Jawa yang berlaras slendro atau pelog. Laras yang dimainkan oleh para niyaga itu adalah selonding. **) Rombongan Ceng Ho, semua enam puluh orang, terpesona pada tarian dan musik yang disajikan di istana Ratu Subandar. Salah seorang yang bermarga Kang, selanjutnya dipanggil Kang King Kong, staf dapur, juru masak yang bukan untuk Ceng Ho, lebih dari terpesona menyaksikan janger di baris depan. Kebetulan janger itu datang menghampiri Kang King Kong, melambaikan selendang di wajahnya. Selendang itu semerbak oleh wewangian dupa bercampur gaharu. Bukan saja terpesona, Kang King Kong terpukau oleh semerbak yang tajam itu. Dia berdiri seperti linglung, menoleh ke kiri dan kanan. "Apa yang harus saya lakukan?" Penerjemah istana berkata kepada penerjemah pihak Ceng Ho bahwa janger itu berharap Kang King Kong turun menari dengannya. Karena itu, dengan kagok dan juga kaku tapi terpukau oleh semerbak wewangian ditambah dengan gemulai sang janger memeragakan tubuh dalam tariannya, Kang King Kong pun berusaha mengikuti irama yang ditabuhkan oleh pemain-pemain selonding sambil mengikuti arah langkah sang janger. Semua yang menyaksikan itu tersenyum-senyum dan tertawa. Mereka senang dan terhibur sebab melihat gaya Kang King Kong yang bukan saja kagok dan kaku namun juga wagu, tiga kali terpeleset dan jatuh, sehingga sang janger merasa perlu mengulurkan tangan supaya Kang King Kong dapat berdiri dan menari lagi.

***


Adegan singkat itu ternyata membawa perkembangan menarik bagi keduanya: sang janger dan Kang King Kong. King King Kong mencarinya di belakang istana. Di luar ruang dandan. Ternyata sang janger juga berharap-harap didatangi oleh Kang King Kong. Begitu mata memandang mata, kedua mata menunjukkan perasaan suka, perasaan senang, perasaan gandrung. Yang lelaki ingin menyatakannya dengan kata-kata, berharap yang perempuan dapat memahami kata-kata. Namun keduanya segera menyadari bahwa kata-kata yang memiliki nilai transenden ternyata terhalang oleh perjanjian-perjanjian umum atas pengertiannya secara bahasa. Keduanya memahami itu setelah mula-mula Kang King Kong menyatakan sesuatu dalam bahasa Cina dan sang janger menanggap dengan bahasa Bali. Keruan keduanya seperti memasuki sebuah terowong gelap. "Ni hau ma?" ***) kata Kang King Kong Sang janger tak paham. Dia menunduk kepala. Diam. "Wo sh kang, hen kau xing ren sh ni," ****) kata Kang King Kong dengan keramahan.  Dan, sang janger tetap tidak paham. Barangkali dia dapat merasakan keramahan itu tapi tidak memahami kata-kata apa yang mengakar dalam keramahan itu. Dia menggeleng lagi. Ada kata-kata yang hendak diucapkannya, tapi tersendat dan luput. Lagi Kang King Kong berupaya menyampaikan isi hati dengan kata-kata dari bahasa ibunya. Kini dia memuji: suatu dorongan alamiah dari kecenderungan-kecenderungan khas lelaki dalam keniscayaannya melakukan sesuatu -yang katakanlah secara modern sebagai jenis emosi yang terkait dengan kompleks gagasan- untuk menunjukkan kesungguhan hati dalam ucapan yang memberikan kesan ketulusan. Kata Kang King Kong seraya merekatkan kedua telapak tangannya dengan sedikit menundukkan kepala tapi dengan mata terbuka terarah penuh kepada sang janger, ''Ni you thian sh'eng te mei li.''*) Sang janger tersipu. Dia tersipu bukan karena mengerti, melainkan justru bingung. Dia ingin menanggapi, tapi dia sendiri tidak yakin apakah dia sanggup mengatakan apa yang ada di dalam hatinya melalui bahasa yang dipahaminya yaitu bahasa ibunya. Karena keadaan bingungnya masih berlanjut, kembali dia menggeleng. Kini Kang King Kong berupaya meyakinkan. Dia pegang tangan sang janger. Dengan begitu dia mengulang lagi kalimat yang baru dia ucapkan bahwa janger itu memiliki kecantikan alami, dan menambahkannya dengan kalimat yang mirip sumpah anak remaja. ''Wo sh'uo te quan sh zh'en hua,''**) kata Kang King Kong. Dan dia duduk di sebelahnya, memegang tangan sang janger dengan lebih kuat tapi juga dengan lebih mesra. ''Wo yuan i p'ei nin ch'u, hsing pu hsing?''***) Sang janger tidak beranjak. Tampaknya dia senang dipegang tangannya dengan cara yang kuat lagi mesra seperti itu. Tapi dia tidak tahu harus berkata apa. Jika dia bisa bersumpah, pasti dia akan mengatakannya berpanjang-panjang dengan bahasa ibunya. Tapi, amboi, dalam keadaan aneh seperti ini, ketika di dalamnya kalbu keburu lahir perasaan suka-ceria karena alasan-alasan yang tidak terjangkau oleh akal, dan memang tidak perlu dibahas dengan nalar yang paling cerdas pun, melainkan oleh nurani, yaitu karena persoalan 'dari mata turun ke hati', syahdan maka satu-satunya kalimat yang melintas secara alami dalam pikiran sang janger adalah pernyataan dalam bahasa ibunya. ''Tiyang bingung,''****) kata sang janger. Akhirnya Kang King Kong menggunakan bahasa isyarat. Dia menunjuk-nunjuk dirinya melalui kedua tangannya yang diarahkan ke dadanya sambil berkata, ''Kang King Kong.'' Dan setelah itu menunjuk-nunjuk juga ke arah sang janger. Rupanya bahasa isyarat ini mudah dipahami. Sang janger segera mengerti bahwa Kang King Kong bertanya siapa namanya. Maka memahami akan pertanyaan isyarat itu sang janger pun menjawab dengan sedikit tersendat tapi tidak ragu, ''Tiyang Ketut.'' Kang King Kong senang. Dia tertawa seperti memperoleh kemenangan tertentu. ''Ketut?'' Lantas tiba-tiba dia bercakap panjang seperti rem blong dan membuat Ketut terbengong. Katanya, ''Hsin li mien ti i su to, k'o shih shuo pu ch'u lai. Chung-kuo jen yu chu su hua shuo, Ch'a hu chu chi tan tao pu ch'u lai, chiu shih che ko i su.''*****) Ketut memandang wajah Kang King Kong. Kang King Kong gemetar melihat mata Ketut. Dia lebih gemetar ketika memandang dada Ketut yang bebas merdeka dari kain sebagaimana lazimnya tradisi pada masa itu bagi perempuan di Bali berbuka payudara. Maka, oleh dorongan naluriah, tanpa sadar Kang King Kong telah mencium Ketut. Ketut kaget. Tapi getaran asmara rupanya sama-sama menjangkitkan gaung sehingga akhirnya kedua insan ini terbangun di dalam berahi yang hebat. Tak berapa lama setelah itu muncul di situ penerjemah yang biasa bertugas menjalinkan pengertian-pengertian. Begitu melihat kedua insan ini sedang masyuk, berkatalah penerjemah itu kepada Kang King Kong, ''O, rupanya untuk menyatakan asmara tidak diperlukan peran penerjemah.'' Kang King Kong kaget, lantas melepaskan rangkulan dan ciumannya atas Ketut.''Kau?'' kata Kang King Kong, ''pergilah. Jangan ganggu kami.'' Sang penerjemah tertawa terkekeh-kekeh. ''Aku sedang membuktikan teoriku,'' katanya. ''Ya, sudah. Kau boleh saja membuat teori. Tapi jangan ganggu kami. Kami sedang mewujudkan praktik, bukan teori. Pergilah.'' Sang penerjemah ketawa lagi. ''Apa kau yakin tidak mau mendengar teoriku? Kau akan menyesal kalau kau tidak mendengar teoriku ini sekarang.'' ''Huh! Aku lebih menyesal kalau sekarang aku kehilangan kesempatan menghayati praktik. Apa kau tidak lihat, praktik lebih mengasyikkan daripada teori?'' ''Tapi teoriku juga menarik. Katakanlah bahwa kau harus mendengarnya supaya praktikmu lebih terbenarkan.'' Kang King Kong jengkel. Tapi katanya, ''Ya sudah, katakanlah.'' ''Baiklah. Aku baru saja menemukan jawaban bahwa asmara adalah bahasa naluri. Dengan naluri maka semua perangkat bahasa verbal tidak berfungsi lagi. Manusia telah menjadi hewan berjubah.'' "Apa katamu?" kata Kang King Kong. Tampaknya dia geram. "Kamu samakan aku dengan hewan?" "Bukan begitu," kata sang penerjemah, "aku baru saja menerangkan perihal hakikat asmara dalam makhluk manusia." "Tapi kamu edan, menyamakanku dengan hewan." Kang King Kong menuding dan menghardik sang penerjemah. "Sudah! Pergi sana kamu!" Sang penerjemah malah tertawa lebih keras. "Sama saja. Juru masak Sam Po Kong kok jatuh cintanya sama penari. Wu Ping jatuh cinta di Sunda Kelapa, kau jatuh cinta di Bali."


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 01/09/2008 13:22
Besok paginya dilangsungkan percakapan serius. Pada waktu itu bulan Ramadan sudah berlangsung. Ceng Ho berpuasa. Demikian juga yang lain.
Sebelum turun ke darat, pengawal Wikramawardhana yang ikut serta dalam pelayaran ini, dan yang telah banyak bertanya-tanya perihal agama Islam -agama yang diperkenalkan di Jawa oleh orang-orang Cina dan kemudian oleh para wali yang juga sebagian besar adalah orang Cina- bertanya kepada Ceng Ho, maka Ceng Ho tidak sarapan pagi itu.

"Ini yang disebut puasa. Puasa adalah salah satu dari rukun Islam," kata Ceng Ho kepada pengawal Wikramawardhana itu. "Puasa, menahan diri dari lapar, adalah hukum yang fardu, atau wajib dilakukan oleh orang Islam. Fardu merupakan salah satu dari hukum Islam di antara sunah, mandup, atau mustahab, kemudian haram atau mahdur, lantas makruh dan mubah atau jawaz."
"Jadi, Anda akan tidak makan sepanjang sehari?" tanya pengawal Wikramawardhana tersebut. "Ya. Tidak makan dan tidak minum sama sekali."
"Berapa lama?"
"Selama satu bulan penuh, yaitu bulan sekarang ini, disebut bulan Ramadan."
"Anda kuat?"
"Harus kuat."
"Bagaimana caranya?"
"Saya sudah melakukannya sejak kecil."



***


Tapi, pada sore hari menjelang malam, pengawal Wikramawardhana itu kelihatan bingung, mula-mula dia bertanya-tanya di dalam hati, kemudian bertanya langsung kepada Ceng Ho.
Pada saat magrib, Ceng Ho dan lain-lain termasuk Wang Jing Hong dan Wu Ping makan bersama-sama.
“Saya bingung, Sam Po Kong," kata pengawal itu, "tadi Anda bilang, Anda menahan lapar sampai satu bulan. Kenapa sekarang Anda sudah makan?"

"Ini yang namanya berbuka puasa. Yang tadi saya katakan berpuasa selama sebulan adalah menahan lapar dari antara kira-kira jam 4.00 sampai jam 18.00. Pada waktu sekarang, magrib, kami makan, berbuka puasa. Nanti malam menjelang subuh, sekitar jam 2.00 dan jam 3.00 kami makan lagi. Istilahnya, itu adalah makan sahur. Sedang nanti, dalam waktu dekat ini, setelah berbuka, kami akan melaksanakan tarawih."

"Ini dilakukan selama satu bulan?"
"Ya. Setelah itu kami akan membayar zakat fitrah, beramai-ramai melakukan salat, lalu kunjung-berkunjung atau silaturahmi memohon maaf lahir dan batin pada hari raya Idul Fitri."
"Memohon maaf lahir dan batin?"
"Ya," kata Ceng Ho tegas, "sebab tidak ada satu pun manusia di kulit bumi ini yang tidak bersalah. Oleh sebab itu, menginsyafi kesalahan dan kekurangannya, maka di hari yang fitri, wajiblah manusia itu memohon maaf atas kesalahan dan kekurangannya yang mungkin telah melukai hati orang lain."

Pengawal Wikramawardhana itu termangu memandang Ceng Ho. Katanya dengan suara yang pelan dan dalamnya mengandung rasa hormat, "Itu ajaran kasih sayang sejati yang ajaib."

"Betul sekali," kata Ceng Ho pula. Pada kalimat berikut nada suaranya melembut namun tidak kehilangan ketegasannya. "Karena sejatinya adalah Allah yang Khalik seru sekalian alam itu sendiri ar-rahman dan ar-rahim, maha pengasih dan maha penyayang." Pengawal itu menatap lurus. "Tapi bagaimana bisa Anda sebagai seorang pemimpin, laksamana yang memimpin pelayaran besar ini, menaruh hal kesederhanaan di dalam hati sehingga Anda berpenampilan wajar seperti begini?" Ceng Ho tertawa kecil. "Begitukah?" tanyanya singkat. "Ya," kata pengawal itu bersemangat, "biasanya seorang pemimpin yang diberi tugas oleh negara penampilannya tengil, norak, memuakkan. Anda sama sekali tidak begitu." "Seorang muslim tidak boleh sombong. Saya sedang berusaha berpenampilan wajar," kata Ceng Ho, "bagaimanapun saya harus bisa hadir sebagaimana yang diisyaratkan nabi. Sabda rasulullah, nabi junjungan kami, bahwa 'La yadkhulul jannata man kaana fii qalbihii mitsqaala habbatin min khardalin min kibrin.' Artinya 'Takkan masuk surga orang yang hatinya ada sebiji-sesawi kesombongan.' Maka, melalui itu juga saya selalu berkata dalam diri: Tidak boleh sombong. Sombong itu tidak ada gunanya." Dan pengawal Wikramawardhana itu mengangguk-angguk kepala, menyerap kawruh yang diutarakan Ceng Ho dengan kesungguhan yang ajaib. Akhirnya pengawal itu mesti berkata sesuatu dari kesungguhannya itu. Tanpa ragu dia berkata, ''Kelihatannya sebelum kapal ini tiba di negeri Cina, saya sudah memutuskan untuk menjadi Islam.'' ''Alhamdulillah,'' kata Ceng Ho. ''Tapi, kalau Anda mau menjadi Islam, pertama Anda harus mengucapkan kesaksian akan satu Allah dan rasul-Nya Muhammad.'' ''Apa itu?'' tanya pengawal itu. ''Itu adalah kalimat syahadat,'' kata Ceng Ho. ''Dan nanti, jika mampu, pada suatu waktu Anda pergi ke negeri Arab, ke Makah, naik haji.'' Pengawal itu mengangguk. Magrib tengah berjalan ke malam. Sebentar lagi tarawih. Pengawal itu pun menyaksikan dengan sungguh-sungguh.

***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 01/09/2008 15:01
Lain lagi dari keadaan Hua Xiong dan Si Lihai. Mereka berdua berada di bagian cagak *) yang menggantung sekoci. Dari wajah mereka, jika orang melihatnya dari dekat di antara hari yang telah gelap, akan tampak garis-garis ketegangan. Hua Xiong kelihatan judek, bukan hanya tegang. Keadaan hatinya yang judek itu dilampiaskannya kepada Si Lihai. Dengan itu dia berusaha mengalirkan judeknya itu kepada Si Lihai. Dan Lihai termakan.

''Dang Zhua memang sudah berubah,'' kata Hua Xiong. ''Saya ingin singkirkan dia.''
''Astaga!'' Lihai kaget. Nalarnya masih jernih. ''Mana mungkin?''
''Jangan bilang 'mana mungkin'!'' kata Hua Xiong geram. ''Harus mungkin”
Dia sudah berseberangan dengan aku. Tadinya kami seiring sejalan, senasib sepenanggungan. Sekarang kami sekapal tak sehaluan. Dang Zhua itu air di daun talas. Dia juga musuh dalam selimut. Maka dia harus mati.''
Lihai tercenung. Dia memandang wajah Hua Xiong dalam kegelapan malam. Dia tak berkata apa-apa. Dengan tidak berkata apa-apa dia hanya menyediakan diri sebagai pendengar. Pasti Hua Xiong masih akan berbunyi-bunyi mulutnya. ''Berhubung kamu lihai, saya menyerahkan tugas ini kepadamu.''

Si Lihai terkejut. Dia berdiri dengan kaki tegak. ''Tugas apa maksud Anda?''
''Membunuh Dang Zhua.''
''Tidak mungkin.''
''Kamu takut?''
''Bukan takut.''
''Lantas?''
''Walaupun saya bisa bilang, Anda saja yang melakukan, sebab Anda sekamar dengannya, toh saya tidak akan mengatakan begitu.''
''Kenapa tidak?''
''Sama sekali tidak ada gagasan itu dalam pikiran saya.''
''Justru itu saya sedang memberi ilham buatmu.''
''Sama sekali tidak mungkin. Dang Zhua tidak bermasalah dengan saya. Selain itu saya lebih dulu mengenalnya sebelum Anda.''
''Jadi Anda menolak melakukan itu?''
''Saya memang tidak terpanggil untuk melakukannya. Lain halnya kalau membuka kunci yang tertutup. Saya ini ahli kunci. Saya bukan pembunuh. Saya tidak sanggup.''
''Huh, plinplan,'' kata Hua Xiong sambil mendorong dada Si Lihai sehingga Si Lihai terundur sampai ke pagar kapal. ''Percuma julukanmu Lihai. Ternyata kamu plinplan. Sudah plinplan,
penakut pula. Jauh-jauh meninggalkan tanah air kok tidak punya nyali. Dasar anjing kampung budukan.''
Si Lihai tidak menanggapi. Dia hanya diam. Dia pergi dari situ, sementara Hua Xiong meneriakinya. Tak peduli. Dia kembali ke kamarnya. Tidur.

Hua Xiong tak bisa tidur. Di kamarnya dia hanya duduk di atas tempat tidur sambil merengut melihat sosok Dang Zhua yang melingkar di tempat tidurnya. Alih-alih Dang Zhua mendengkur bagai hewan tertentu di situ.
Hua Xiong keluar lagi dari kamar. Dan begitu Hua Xiong keluar, Dang Zhua membuka mata, mengintai. Rupanya dia baru saja melakukan sesuatu yang mirip pengail....



***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 01/09/2008 16:02
Ketika malam baru saja menghitamkan bumi, Rabu Subandar memanggil abdinya, menyuruhnya menangkap jalak putih. ''Saya dapat merasakan betapa rindu tamu kita dari Cina itu pada jalak putih bali,'' kata sang ratu. ''Maka malam ini juga, dengan cara bagaimanapun, kamu harus menangkap sepasang jalak putih itu untuk kita hadiahkan kepada tamu dari Cina itu. Di Bali sini kita harus memberi yang terbaik untuk menanamkan kesan mendalam bahwa orang Bali adalah benarbenar bangsa yang berpengertian, berbudaya, bersusila. Walaupun mereka telah memberi cendera mata yang indah bagi kita, mestilah kita berpendirian lebih baik memberi daripada menerima. Ini prinsip-prinsip dasar dari moral kita yang harus diejawantahkan dalam perilaku dan tindakan. Abdi itu menundukkan badan, bersujud, menyatukan kedua telapak tangannya, dan berkata, ''Daulat, Ratu Subandar. Saya akan melakukan perintah Ratu dengan sebaik-baiknya.'' Dan berangkatlah abdi itu di malam yang gelap ini menuju ke hutan arah barat-daya, sampai ke Sungai Sabah yang berhulu di lereng Gunung Batukau, di habitat jalak putih tersebut. Sang abdi sangat cekatan. Di hutan yang pekat dia melebihi keawasan kucing hutan. Matanya dapat merekam objek tertentu pada jarak seratusan meter. Maka tak ayal, dia akan berhasil menangkap sepasang burung jalak putih yang diperintahkan sang ratu.


***


Ketika abdi sang ratu berhasil menangkap jalak putih itu, pada saat yang bersamaan Wang Jing Hong tidak berhasil memejamkan mata karena lamunannya terbang kian-kemari. Tadi dia baru sahur bersama Ceng Ho dan orang-orang Islam yang lain. Setelah itu, di dalam kamarnya, yaitu kamar kemudi, dia duduk sejenak, menjaga asistennya yang memegang kemudi, dan bercakap-cakap akrab sekitar rencana besok untuk turun ke darat, menemui Ratu. Lalu dia pun merasa letih, dan kemudian pergi ke kamar tidurnya. Mestinya dia dapat segera memejamkan mata di atas ranjang sebab badannya yang lebih itu. Tapi begitu dia terbaring di ranjangnya, matanya memandang langit-langit, dan selanjutnya pikirannya terbawa pada keindahan jalak putih itu. Dalam lamunannya ini dia merangkai-rangkaikan anganan untuk mencipta hari esok yang elok, dimana dalam usia tuanya dia akan tinggal di sebuah rumah dekat sungai dengan pohon-pohon rindang dan sebuah kandang burung yang besar sekali di mana dia bisa membudidayakan burung jalak putih itu. Dia menguap benar-benar. Tak lama kemudian dia tertidur. Dan memang benar, dia bermimpi tentang jalak putih itu. Dia terbangun sebab terdengar seruan salat.


***


Manakala fajar menyingsing di timur, semua orang siap-siap melakukan pekerjaannya masing-masing. Sesuai rencana, pertemuan dengan Ratu Subandar akan dilangsungkan sekitar jam 10.00. Mereka akan membicarakan tentang perniagaan, apa yang mereka akan jual dan apa yang akan mereka beli. Janji sang ratu ditepatinya. Abdinya berhasil menangkap sepasang jalak yang akan diberikan kepada Wang Jing Hong. Kini burung itu, jantan dan betina, telah terkurung di dalam sangkar yang indah, yang berhiaskan ukir-ukiran berwarna khas Bali yang musykil dan menawan. Untuk membuat ukir-ukiran yang indah seperti itu, agaknya perajin Bali sangat terampil. Dari kesan yang diperoleh dari segala kerajinan, kriya, maupun seni Bali, keindahan selalu didapatkan melalui keterampilan tersebut. Sang ratu sendiri yang menyerahkan burung di dalam sangkar itu kepada Wang Jing Hong. Sebelum sngkar itu berpindah tangan, dari tangannya ke tangan Wang Jing Hong, berkatalah Sang Ratu, ''Semoga dengan sepasang jalak ini maka segala hal yang Anda cita-citakan, dan sesuai pula dengan suratan tangan Anda sendiri, akan terwujud.'' Dan Wang Jing Hong menerima sangkar itu. Sambil menerima sangkar itu, Wang Jing Hong berkata dengan membungkukkan badan untuk memperagakan rasa hormatnya kepada sang ratu, ''Terima kasih banyak saya ucapkan kepada Ratu.'' Lalu dia melihat dengan senang, girang, dan suka cita pada kedua burung di dalam sangkar itu. Katanya kepada burung-burung itu, ''Tidak ada obat batin yang lebih mujarab daripada warnamu, wahai jalan nan putih bagai salju, putih yang mampu membersihkan kotor jelaga dari tawarikh masa silamku.'' Penerjemah menerjemahkan apa yang dikatakan Wang Jing Hong dan Ratu Subandar menyambut dengan suka cita. Kata Ratu Subandar, ''Memang sakit dalam batin lebih pelik dibanding sakit dalam lahir. Sakit dalam batin bisa membuat seseorang tetap berdiri, sedangkan sakit di dalam lahir membuat orang terus terbaring dalam gerainya.'' Ceng Ho membenarkan. ''Memang betul,'' katanya. ''Selama ini juru mudi kami ini cuma diganggu oleh kerinduannya pada burung-burung itu. Ini seperti dongeng saja. Tapi kenyataannya memang begitu. Betapa tersiksa batin mendamba sesuatu yang jauh dari matanya dan tak terjangkau oleh tangannya.'' ''Tidak,'' kata Wang Jing Hong. ''Sekarang sudah terjangkau. Aku sudah memilikinya. Aku akan sembuh untuk selamanya. Batinku akan menjadi sebuah ladang halwatelinga yang berpengharapan.'' ''Saya selalu irsia*) pada lelaki yang sehat lahir,'' kata Ratu Subandar. ''Seakan-akan saya melihat kenyataan ini sebagai karmapala dari masa lalu ketika nenek moyang kami masih berdiam di Jawa. Masa kini memang merupakan rancangan tanggung jawab terhadap masa depan. Tapi siapakah gerangan di antara makhluk janma**) yang boleh luput dari masa silamnya?''
Ceng Ho segera memahami kias apa yang sedang diutarakan oleh Ratu Subandar. Karenanya, dengan santun dan lembut, dia berkata, ''Ada kesan sangsi di balik kata-kata Ratu.'' Dan Ceng Ho memandang ke dalam mata sang ratu, tapi kemudian merasa rikuh. ''Maaf kalau ternyata saya salah menafsir.'' Sebaliknya sang ratu membuka diri. Dengan segera dia berkata, ''Anda benar sekali, Tuan. Sebagaimana Anda lihat, sejak kemarin saya berdiri di kerajaan saya ini tanpa disertai seorang suami. Mengapa? Apakah saya janda? Atau apakah saya hanya menyukai sesama jenis? Sama sekali tidak. Saya perempuan normal dengan hasrat-hasrat jasmani untuk menyukai dan mencintai lelaki. Tapi, inilah rasa irsia yang saya maksudkan tadi. Barangkali benar, saya tidak merdeka dari karmapala masa silam saya. Suami saya, lelaki yang saya sebut sebagai isyarat yang menyempurnakan janma perempuan, telah empat tahun ini terbaring dalam gerainya, karena raganya tidak sehat, lahirnya dikungkung oleh sakit.'' ''Sakit?'' ''Betul, Tuan. Dan justru karena sakitnya adalah lahir, yang mengganggu raga, telah bertahuntahun ini kami mencari obatnya, dan kami tidak menemukan obatnya.'' ''Sakit apa?'' tanya Ceng Ho. ''Kami membawa ahli tanaman jamu dari Cina. Kalau tanaman itu dapat menjadi obat bagi suami Ratu, kami akan menolong, seperti Ratu telah menolong Wang Jing Hong.'' ''Tanaman? Tanaman apa?'' ''Kami memang membawa tanaman jamu di kapal kami. Sedianya tanaman-tanaman itu kami peruntukkan bagi seorang mubalig asal Cina yang berada di Jawa bagian tengah. Tapi beberapa bulan lalu kami tidak sempat singgah ke situ, karena haluan telah berada jauh ke timur dari arahnya. Katakan, apa sakit yang menimpa suami Ratu, biar ditangani sinse yang menguasai tanaman-tanaman jamu. Insya Allah tanaman jamu kami dapat menyembuhkan.''


***


Ceng Ho meminta sinse, salah seorang di antara beberapa yang ahli tanaman jamu dalam rombongan ekspedisi muhibahnya itu, melihat atau memeriksa keadaan suami sang ratu.
Sinse itu pun memegang lengan suami sang ratu. Dia melihat dengan jelas betapa lelaki gemuk di hadapannya ini bernapas tersengal-sengal dan sulit.
''Ini berpangkal pada gangguan pernapasan,'' kata sinse itu.
''Bagaimana?'' tanya sang ratu, meminta diterjemahkan.
''Begini,'' kata sinse itu. ''Mula-mula Paduka hanya terkena gangguan napas biasa. Tapi gangguan ini menjadi pelik sebab beliau merasa seperti terabaikan, dan kemudian tertekan,
dan ujungnya measa terasing. Jadi, sakit fisiknya lebih banyak dipengaruhi oleh pikiran yang tidak stabil.''
''Baiklah,'' kata Ceng Ho. ''Lantas, obat apa yang bisa kita sumbangkan kepada keluarga kerajaan ini?''
''Untuk penyakit ini, kita bisa sumbangkan delapan jenis tanaman herbalis dari Cina untuk diberikan kepada kerajaan, supaya bisa ditanam di sini.''

''Apa saja itu?'' tanya Ceng Ho.
''K'un-Tsung *), Lin-Mu2 **), Tse-Lan ***), Yin-Hsing ****), Yueh-Kuei ***** ), Hsun-Fu-
Hua *******), Shu-Wei-Ts'ao *******.7), Huang-Lien ********). Jika perlu kita bisa berikan yang lain lagi, yang tidak berkaitan dengan penyakit yang diderita.''

Dan Ceng Ho pun menjanjikan kepada Ratu Subandar untuk membawa tanaman-tanaman jamu itu, yaitu tanaman-tanaman jenis herbalis yang dibawa dari Cina, dengan seorang ahli tanaman yang menjaga tanaman-tanaman itu sepanjang pelayaran.

***
Besok, seperti yang dijanjikannya, Ceng Ho dan rombongan datang membawa tanamantanaman herbalis itu untuk sang ratu. Selain delapan jenis tanaman itu - angka yang berkaitan dengan sendi kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar anggota misi muhibah tersebut juga dibawa khusus pohon leci bibit untuk dapat ditanam di Bali. Tentang pohon leci itu, Ceng Ho berkata, ''Suatu waktu nanti, jika saya bisa kembali ke Bali, mudah-mudahan saya dapat menikmati buahnya. Buah leci manis, mengingatkan pada sikap dan tutur kata Yang Mulia Ratu secara khusus dan masyarakat Bali secara umum. Kami benar-benar terkesan.'' ''Terima kasih atas penghargaan Tuan,'' kata Rabu Subandar. ''Jika Yang Mulia Rabu berkenan bertanya kepada ahli kami untuk bagaimana caranya membudidayakan leci di pulau ini, kami akan merasa senang untuk membagikan pengetahuan itu kepada Yang Mulia Ratu,'' kata Ceng Ho. ''O, tentu saja,'' kata sang ratu.


***


Dan mereka semua pergi ke sebidang tanah, berjalan beramai-ramai ke situ. Matahari sedang menyinar dengan sangat teriknya, membuat semua orang yang berjalan itu tampak gerah dan penuh berpeluh. Lalu, kebetulan saja Ceng Ho menghadap ke utara dan menepuk-nepukkan tangan, dan sekonyong angin datang mengembus dengan lumayan kencang, melenakan tubuh yang kuyup oleh keringat. Diam-diam sang ratu memperhatikan dan menyerap perbuatan Ceng Ho yang kebetulan itu, dan mengira bahwa jika terjadi terik matahari yang membakar bumi, maka orang harus menghadap ke utara dan menepuk-nepukkan tangan supaya angin segera datang menghembus seperti ini. Hal ini kemudian - ketika Ceng Ho telah meninggalkan Bali, diajarkannya kepada rakyatnya yang petani -sebagai suatu pengetahuan. (Hingga kini, tradisi menepuk-nepuk tangan untuk memanggil angin, masih berlanjut di Bali).


***


Ceng Ho memercayakan penanaman bibit leci itu kepada ahli tanaman-tanaman yang disebutnya itu. Ahli itu - sehnya Pu, marga paling gampang ditulis dalam huruf Cina, yaitu hanya dua dua goresan, satu gores lurus atas ke bawah disertai dengan gores miring di sebelahnya ) - adalah seorang Buddha yang sangat taat, sekaligus seseorang yang sangat tradisional. Sebelum menanam leci itu, Pu meletakkan patung Lung *) di tanah yang akan dijadikan kebun, setelah itu ia meminta Fei Huan membacakan doa-doa khas Buddha. Mereka melakukan tradisi itu - tradisi yang sudah dimulai sejak zaman dinasti Shang **) dengan amat tertib. Setelah itu, kata Pu, yang sebentar akan dipertanyakan oleh sang ratu, "Pohon leci ini pasti akan tumbuh dengan subur. Dan pulau ini akan menjadi pulau leci paling kaya di Nusantara." Sebelum menanam pohon ini, ketika Fei Huan akan memulai doanya, dia melepaskan burung merpati - mestinya camar - sebagai isyarat tradisi Cina dari zaman Shang tersebut. (Dalam hal ini orang Cina, dari leluri lama, percaya bahwa naga yang disebut lung itu berhubungan dengan Tien, Tian, atau Tuhan, kombinasi dari sembilan binatang: kepala yang mirip unta dengan mutiara di keningnya, bertanduk mirip rusa, perut seperti katak, tungkai bercakar seperti elang rajawali, telapak tangannya seperti harimau, bersisik dengan kontur yang mencolok seperti ikan arwana dengan punggungnya yang mirip seperti gergaji berjumlah delapan puluh gerigi, lehernya mirip ular, matanya mirip pelanduk, dan telinganya mirip kuping sapi atau lembu yang tidak tajam dalam pendengarannya, sehingga acapkali orang Cina menyebut orang tuli: lung, artinya tidak mendengar). Setelah selesai menyeru kepada lung, dan usai menanam pohon leci itu, Ceng Ho berkata kepada Ratu Subandar, "Apa yang dikatakan oleh Pu, mudah-mudahan akan benar terjadi. Pu adalah seorang ahli. Seorang ahli Cina semestinya memiliki pengetahuan dari catatan-catatan sejarah yang terus ditulis dan diajarkan, dan juga pengetahuan-pengetahuan baru yang diperolehnya dari usahanya sendiri." "Ya, mudah-mudahan harapan Tuan pun akan menjadi kenyataan," kata Ratu Subandar.


***


Dan manakala orang-orang terpusatkan perhatiannya pada tanaman yang membuahkan leci yang manis itu, Kang King Kong memusatkan pula perhatiannya pada tanaman cinta-kasih yang telah dimulai dengan suasana manis tanpa menggunakan kata-kata yang galib untuk mewakilinya. Di bawah pohon yang rindang, yang toh terasa akan kuku-kuku teriknya matahari, Kang King Kong menyatakan dengan bahasa isyarat akan kesungguhan hatinya untuk mempersunting Ketut dan diam di Bali sampai akhir hayat. Dengan menggunakan kedua tangannya, Kang King Kong memberikan pengertian itisal akan hatinya, jiwanya, raganya, yang sungguh-sungguh. Dia mengatakan dengan isyarat-isyarat tangannya itu bahwa dia mempersunting Ketut, kawin, bikin anak, dan menjadi ayah dan ibu yang bertanggung jawab. Untuk isyarat 'bertanggung jawab' dia menunjuk-nunjuk langit sambil menyebut Tian yang berarti Tuhan atau surga. Dan untuk isyarat 'kawin dan bikin anak' dengan membuka telapak kiri, lalu telapak tangannya digerak-gerakkan di atas tangan kiri itu. Ketut pun melihat bingung, tapi kemudian ketawa terpaksa, antara tidak memahami dengan persis tapi kira-kira menangkap maknanya, lantas kelihatan pula tersipu karena malu.


***


Nanti, pada sore hari, di atas kapal, setelah Ceng Ho selesai berbuka, Kang King Kong menyatakan keputusannya itu. Untuk satu hal ini Kang King Kong memang tidak ragu.
Berbeda dari juru masak khusus Sam Po Kong, yaitu Wu Ping, yang juga jatuh cinta pada seorang penari di Sunda Kelapa tapi ragu-ragu mengatakan itu kepada Ceng Ho. Kang King Kong menyatakan dengan blakblakan.

Kang King Kong mengatakan tentang keputusan hatinya itu di ruang kemudi. Katanya, "Saya mohon, sekiranya Laksamana mengizinkan, saya bermaksud menetap saja di Bali ini."
Ceng Ho memandang tajam. "Keputusan apa ini namanya?" katanya.
"Ini soal, eh, tanggung jawab pada masa depan," jawab Kang King Kong. "Saya jatuh cinta pada Ketut, ingin kawin dengannya, punya anak, menetap di sini sebagai bagian dari pulau cinta-damai sampai ajal menjemput."

"Kalau benar itu soal cinta, saya mendukung," kata Ceng Ho.
Wajah Kang King Kong pun berseri-seri. "Benarkah?" tanyanya.
"Tentu saja benar," kata Ceng Ho, "tidak ada satu pun manusia yang boleh menghalangi tali cinta. Sebab cinta itu agung, cinta itu mulia, cinta adalah anugrah ilahi atas diri manusia.
Allah taala jua yang menganugerahkan cinta dalam hati manusia, yang mengamanahkannya kepada manusia supaya manusia bertanggung jawab, supaya manusia beradab, bersusila. Ingatlah akan kata ar-rahman dan ar-rahim."

"Terima kasih, Sam Po Kong," kata Kang King Kong, langsung membungkukkan badan, berlutut, dan memegang kaki Ceng Ho.
Sebaliknya Ceng Ho menjemput lengan Kang King Kong dan menariknya ke atas supaya Kang King Kong berdiri saja di hadapannya. "Saya turut bersuka cita atas adanya cinta," kata Ceng Ho, "alangkah besarnya arti kekuasan cinta itu. Cinta lebih kuat daripada kemarahan, kebencian, bahkan permusuhan dan peperangan. Selamatlah."


***


Manakala Kang King Kong merasa suka cita karena dukungan Ceng Ho akan keputusannya tinggal di Bali karena cintanya kepada seorang janger yang cantik, maka di tempat yang lain di dalam kapal ini Hua Xiong sedang bersoal-soal mengenai dengki dan benci yang memanaskan hatinya. Hua Xiong berada di dalam kamar Si Lihai. Kebetulan kamar yang ditempati oleh delapan orang ini tak terlihat yang tujuhnya. Tadi Hua Xiong masuk ke situ sambil menggebrak, sehingga membuat Si Lihai terkejut dan menurun hikmahnya. Dengan cepat Hua Xiong menabrak Si Lihai dan mencekik leher seperti yang biasa dia lakukan terhadap Si Lihai. "Dengar baik-baik, kamu yang plin-plan dan penakut," kata Hua Xiong. "Berhubung kamu tidak berani membunuh Dang Zhua, maka kamu harus membantu saya. Yang pertama, jaga bacotmu ini. Sebab cuma kamu sendiri yang tahu rahasia ini." "Tolong, jangan libatkan saya lebih jauh," kata Si Lihai, "selama ini saya sudah membantu Anda. Sekarang saya rasa saya tidak sanggup." "Ah, bantu apa kamu?" kata Hua Xiong melecehkan, "yang kamu buat selama ini cuma membuat tulisan-tulisan tentang laporan pelayaran ini. Hanya itu. Lain tidak. Dan kamu toh melakukannya karena kami -aku dan pengkhianat Dang Zhua- yang mendiktekan kepada kamu. Kalau tidak ada yang mendikte kamu, mana mungkin kamu bisa menuliskannya? Selain itu, tulisan-tulisan itu sebentar lagi tidak ada gunanya. Begitu tiba di Cina, tulisantulisan itu akan dibuang oleh Liu Ta Xia. Dan yang akan dipakai adalah tuturan lisan dari mulutku." "Ya, sudah, saya tidak akan menuliskannya lagi." Hua Xiong langsung mengeraskan cekikannya. "Jangan macam-macam kamu. Kalau kamu masih mau hidup lebih lama di dunia ini, jangan coba-coba melawan kehendakku. Ayo, katakan itu. Katakan, kamu tidak akan coba-coba melawanku." Dalam keadaan sulit dan terjepit, Si Lihai mengangguk-anggukkan kepala. Wajahnya sendiri memucat. "Baik, baik," ujarnya. “Nah, dengar. Dan dengar baik dengan telinga, bukan dengan hidung," kata Hua Xiong mengencangkan kembali cekikannya, "kalau sampai terjadi hal-hal yang mencurigakan, yang karenanya membuat gerakanku tersendat, berarti kamu sudah mengundang kematianmu. Mengerti kamu?" Tetap dalam keadaan sulit dan terjepit, wajah memucat, Si Lihai mengangguk-anggukkan kepala. "Ya, ya, mengerti." Hua Xiong menampar muka Si Lihai. "Dengan siapa kamu bicara?" "Ya, ya, mengerti, Hua Xiong," kata Si Lihai. Setelah itu Hua Xiong mengempaskan tubuh Si Lihai sehingga yang disebut ini terkatah-katah di lantai. Setelah itu Hua Xiong keluar dari kamar itu. Kalau saja dia terlambat keluar, penghuni kamar yang lain, yang masuk sekarang, akan melihatnya melakukan ancaman itu.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 01/09/2008 16:33
Memangnya apa yang akan dilakukan Hua Xiong?
Sudah jelas, dia merencanakan pembunuhan terhadap Dang Zhua.
Tapi kapan gerangankah itu?

Dia perlu waktu yang tepat.

Demikian di termenung, duduk seorang diri di atas gulungan temberang*) yang terletak di geladu**).

Di sanalah letak terkalahkannya hati oleh akal yang terseleweng oleh dengki dan membuat orang menjadi jahat, laknat, keparat. Dulu kawan kini lawan.

***

Lantas, apakah Dang Zhua tahu akan rencana Hua Xiong? Terus terang Dang Zhua tidak tahu bahwa pikiran Hua Xiong telah berkembang sejauh itu. Memang dia bisa bersiaga-siaga di dalam kamar, berhubung dia tetap masih tidur sekamar dengan Hua Xiong, tapi dia tidak pernah berpikir bahwa berdiam-diam -seperti anak kecil yang jutakan- akan sampai pada pikiran-pikiran jahat Hua Xiong akan membunuhnya. Tapi, barangkali memang begitu alamnya pikiran jahat. Bahwa orang yang berpikir jahat selalu tidak menyukai kebenaran, sementara orang yang tidak bermusuh tidak pula merasa hidupnya tergesa-gesa. Padahal, persoalannya dimulai dari prasangka buruk. Yaitu, Hua Xiong menaruh curiga kepada Dang Zhua yang memang telah berubah pandangan terhadap Ceng Ho dalam beberapa bulan terakhir ini, bahwa Dang Zhua yang menyampaikan sesuatu kepada Ceng Ho sehingga Ceng Ho memperketat penjagaan terhadap tawanan Chen Tsu I. Kepala Hua Xiong seperti dipenuhi asap dan hatinya dipenuhi bara karena dia merasa tak berhasil mewujudkan janjinya yang meledak-ledak kepada Chen Tsu I bahwa Si Lihai sanggup membebaskannya dari kerangkeng dalam kapal induk itu. Harta yang dibayangkannya, yang telah dijanjikan Chen Tsu I kepadanya, dengan sendirinya luput. Sementara sikap benci yang kadung terbawa-bawa dalam pikirannya oleh tenahak Liu Ta Xia terhadap Ceng Ho merupakan alasan awal dari segala alasan cemarnya itu.

***

Dang Zhua dapat berpenampilan wajar, Hua Xiong tidak. Begitu yang tampak, jika orang mau memperhatikan dengan pindaian jeli akan tindak-tanduk kedua orang ini dalam hari terakhir rombongan Ceng Ho berada di Bali.

Alih-alih sore itu, manakala Ceng Ho dan orang-orang muslim lain sedang berbuka puasa, Dang Zhua mendekati pelan-pelan ke belakang Tan Tay Seng yang sedang asyik memandang ke barat, menyaksikan matahari yang pelan-pelan pamit kepada sore. Di belakang Tan Tay
Seng yang berdiri seorang diri di situ, Dang Zhua menyapa dengan cara yang sok akrab.

''Saya berani bertaruh, kau sedang mengamati matahari terbenam itu sebagai bahan ilham buat puisimu,'' kata Dang Zhua.
Tan Tay Seng terkesiap, tersadar dirinya tak sendiri di pagar kapal itu, lantas berkata dengan tidak puas, ''Mungkin Anda keliru. Saya sedang melihat ke bawah.''

yang sok akrab itu dia berkata, ''Saya yakin Anda pun berbakat. Cuma Anda kurang memupuknya. Nah, saya punya resep paling hebat untuk memupuk bakat seni. Bila Anda mau, saya bisa mengatakan buat Anda. Tapi janji jangan bilang pada siapa-siapa, sebab ini
hanya khusus untuk Anda.''

Dang Zhua menjadi serius dan senang sebab dalam rumangsa-nya Tan Tay Seng telah menjadi akrab juga dengannya. Katanya, ''O, ya, bagaimana resepnya?''

''Begini,'' kata Tan Tay Seng disertai jeda seakan-akan berpikir pelik. ''Ini menyangkut hal luar biasa.''
Dang Zhua semakin tergoda mengetahui jawabannya. ''Hal luar biasa bagaimana?''
''Ya, luar biasa,'' kata Tan Tay Seng. ''Sebab khusus untuk bakat Anda itu, Anda harus memupuknya dengan tai babi.''
Dang Zhua terperanjat, dan merasa diguraui, bukan sebaliknya, dan seharusnya merasa dilecehkan. ''Ah yang benar? Anda pasti bergurau.''
Tapi wajah Tan Tay Seng, yang memang berbakat seni yang meyakinkan, kelihatan serius.
Katanya, ''Sumpah. Ini bukan gurau. Memang kalau melihat babi, babi itu jorok, kelihatannya nasihat saya ini seperti gurau. Tapi, cobalah ingat-ingat, binatang apa yang menemani T'ang ke barat? Babi kan?''
Dang Zhua seperti tersihir dan menjadi dungu. ''Ya,'' katanya dengan mulut menganga.
Setelah itu dengan lugu dia bertanya pula, ''Lantas bagaimana cara memupuknya?''
Mestinya Tan Tay Seng sudah ingin ketawa, tapi dia menahan gelinya itu berlagak serius, ''Ya seperti yang dilakukan petani ketika mereka membajak tanah.''
Dang Zhua tampak berkerut. Dia bingung. Buru-buru Tan Tay Seng meninggalkannya, berlari ke kamar, dan tertawa terbahak-bahak di situ, sehingga semua orang yang sekamar pun heran.
"Ada apa yang lucu," kata Bun Hau.
"Si juru tulis pelayaran itu ternyata goblok. Gobloknya asli, luar dan dalam," kata Tan Tay Seng yang masih terpingkal-pingkal.
"Memangnya kenapa?" tanya Bun Hau lagi.
"Aku berhasil mengibuli dia, dan dia percaya saja bahwa bakat seninya harus dia pupuk pakai tahi babi."
Semuanya ikut tertawa.


***

Besoknya Tan Tay Seng masih geli melihat Dang Zhua. Mereka turun dalam sekoci yang sama ke darat. Masih tiga kali besok lagi baru kapal-kapal misi muhibah Ceng Ho ini akan meninggalkan Bali. Sesuai dengan landasan pelayaran, misi ini adalah muhibah, maka di Bali ini sang ratu benar-benar merasa memperoleh berkah dan karenanya syukurnya diucapkannya berulangulang. "Syukur Anda datang ke sini," kata sang ratu, "obat-obatan dari tumbuh-tumbuhan yang diberikan oleh Pu telah membuahkan hasilnya. Suami saya sudah mulai sembuh." "Kami merasa senang juga karena kami dapat menolong yang mulia ratu," kata Ceng Ho.


***


Jadi, rombongan Ceng Ho meninggalkan Bali dilepas oleh sang ratu dengan keharuan yang tiada tepermanai.
Sebelum meninggalkan Bali, Ceng Ho khusus berpesan kepada Kang King Kong yang telah memutuskan tinggal di Bali agar menjadi pribumi di situ.
Ceng Ho berpesan atas permohonan Kang King Kong sendiri supaya laksamana yang agung ini memberikan petuah berharga yang boleh menjadi suluh atawa pelita bagi langkah-langkah Kang King Kong memasuki hari depan pada sejumlah besok yang entah kapan tamatnya.
"Berikanlah kepadaku petuah yang dapat kuukirkan dalam ingatanku," kata Kang King Kong.
"Sebagai penganut Tao, jadilah orang Tao yang terbaik di bumi ini. Tidak ada pertentangan antara Tao dan Hindu. Dengan yin-yang, seyogianya manusia hidup dengan sikap semadyanya yang sejati. 'Yin' dalam betina merepresentasi gelap, esensi reseptif, atau pasif.
Sedangkan 'yang' dalam jantan merepresentasi terang, esensi generatif, atau aktif. Dari interaksi 'yin' dan 'yang' itulah terjadi 'ada' dalam realitas kosmik di mana manusia merupakan
bagian dari realitas itu."
"Apa yang bisa aku katakan kepada jantung hatiku?" tanya Kang King Kong seraya menunjuk Ketut.
"Jangan lupa pada ajaran Tao sendiri tentang energi 'chi."
"Kalau besok aku punya anak lelaki, nama apa yang kira-kira mewakili realitas itu?"
"Jangan terpatok pada kemestian harapan bahwa anak pertama harus anak lelaki. Mulailah berpikir pada kemestian alami. Anak perempuan dan anak lelaki sama-sama karunia Ilahi."
"Tapi bagaimana kalau betul, menurut kemestian harapan, aku memperoleh anak lelaki lebih dulu?"
Ceng Ho diam sejenak, memandang Ketut, memegang tangannya, lalu berkata, "Percayalah, aku tidak mendahului karunia Tuhan, tapi menurut firasatku, calon istrimu ini akan melahirkan seorang anak perempuan yang akan menjadi jembatan emas yang menghubungkan orang Cina: kau yang Tao, dengan orang Bali: Ketut yang Hindu."

"Betulkah?"
"Ya," kata Ceng Ho, "dan aku harap kau mau menamakan putrimu itu Kang Kim Hwa. Dia bakal jadi orang besar. Dan kalian berdua akan menjadi orang tua yang berbahagia."
Mata Kang King Kong pun tampak berkaca-kaca. Air mata keharuan sedang berlangsung di situ.
Kemudian terdengar ucapan tabik dan salam antara yang akan berlayar dan yang akan tinggal.
"Tsai chien, tsai chien."*)

***


Di kapal induk pada malamnya nanti, setelah haluan mengarah ke barat, penerjemah yang biasa itu mendekati Wu Ping ketika juru masak Sam Po Kong ini sedang melamun memandang air yang kini kelihatan hitam.

"Serupa tapi tak sama," kata penerjemah itu sambil berdiri di sebelah Wu Ping.  Wu Ping tersentak, kaget, lalu memandang dengan tak mengerti akan konteks yang  diperkatakan penerjemah itu. "Apanya yang serupa tapi tak sama?" kata Wu Ping.
"Aku sedang membenarkan teoriku," kata penerjemah itu pula.
Wu Ping makin kelihatan tidak mengerti. "Teori?" katanya, lebih pada dirinya sendiri.
"Ya, teori," kata penerjemah itu, "ada teori yang lahir dari melihat praktik, ada pula teori yang mengabaikan praktik. Mulanya teoriku tanpa melihat praktik. Tapi sekarang teoriku disesuaikan dengan praktik."
"Kau bicara apa ini?"
"Begini, Anak Muda," kata penerjemah itu, "ketika Kang King Hong -sebagai juru masak kapal, seperti halnya kau- pertama kali menyatakan cintanya kepada Ketut, langsung dengan ciuman, bukan dengan kata-kata, maka pada saat itu aku sudah berkata kepadanya bahwa cinta itu perbuatan, bukan omongan."
''Lantas, apa hubungannya?''
''Ya, sudah kukatakan tadi, serupa tapi tak sama. Kang King Kong adalah juru masak, kau juga juru masak. Tapi Kang King Kong praktis, persis seperti teoriku, sementara kau njelimet.
Bayangkan saja, untuk menyatakan cinta, kau harus berpayah-payah belajar bahasa Melayu, supaya cintamu, yang mestinya dapat dilakukan dengan perbuatan, kepada Si Tiwati itu bisa
meyakinkan.''
''Tentu saja,'' kata Wu Ping, ''lain ladang lain belalang.''
''Tapi, kau kan bukan belalang. Kau Wu Ping. Dia King Kong. Dan, kalian sama-sama jatuh cinta pada penari. King Kong sudah berhasil, kau belum.''
''Sudah kubilang, setiap orang berbeda bakat dan kemampuannya.''
''Kenapa orang yang tidak mampu, tidak mau belajar dari yang mampu? Kalau kau merasa tidak mampu menyatakan cinta dengan perbuatan seperti Kang King Kong, belajarlah dari
kemampuannya.''
''Aku bukan tidak mampu.''
''Lantas apa?''
''Setiap soal yang dilakukan manusia ada waktunya. Aku memilih waktu yang tepat.''
''Terlalu banyak memilih-milih, bisa-bisa kau hanya mendapatkan kulitnya. Maaf, Wu Ping, kalau boleh aku bilang dengan jujur, kau ini ibarat pungguk merindukan bulan.''
''Tidak benar,'' kata Wu Ping keras, ''aku marah kalau kaubilang begitu.''
''Aku memang sedang merangsangkan keputusanmu supaya bertindak praktis. Nanti, begitu kapal kita ini singgah lagi di Sunda Kelapa, langsung kawin dengan si Tiwati, minta restu Sam Po Kong. Kau sudah siap kan?''
''Siapa takut?''
Si penerjemah tertawa terbahak. Dia rangkul Wu Ping. ''Nah, begitulah harusnya anak muda,''
katanya, ''Chen chin tzu pu p'a huo lien.''*)
Mereka menoleh ke belakang. Jika ini siang, mata akan melihat darat yang telah sirna di garis horizon.

***


Setelah malam berganti siang dan berulang beberapa kali, pada jadwal yang dirancang, kapalkapal rombongan telah tiba kembali di Surabaya di mulut muara yang menuju ke kerajaan Wikramawardhana yang dipelesetkan menjadi Wikrawardhana tersebut. Pengawalnya, yaitu abdi dalemnya yang ikut dalam pelayaran ini untuk meminta maaf kepada kaisar, dan kini, makin mantap memercayai apa yang diyakini Ceng Ho, memberi saran untuk mengutus wakil Ceng Ho ke dalam istana sang raja. ''Menurut pendapat saya, seharusnya raja Wikramawardhana yang Wikrawardhana itu saja yang datang menemui Anda,'' kata pengawal itu, ''dengan menaruh posisi begini maka raja akan makin menyadari kesalahannya. Dia menyadari, sebab dia tahu bahwa Anda mengetahui dustanya.'' Wang Jing Hong menyetujui itu. ''Saya kira itu benar sekali,'' kata Wang Jing Hong dengan pandangan menghargai kepada pengawal itu. Ceng Ho menyerap pikiran itu. Dengan cepat dia sampai pada pertimbangan memutuskan. Katanya, ''Baiklah. Cukup satu peleton di bawah Ci Liang ke sana menemui raja.''


***

Demikianlah, dengan satu sekoci berisi lebih dua puluh orang, disertai dengan pengawal yang dulunya abdi-dalem itu.
Sang Raja, Wikramawardhana amat terkejut melihat pengawalnya datang terlebih dulu menyembahnya.
''Radhana!'' serunya, ''kenapa kamu sudah pulang?''
''Ampun, Paduka,'' kata pengawal yang namanya disebut Radhana tersebut. ''Lebih dua puluh orang dari anggota misi muhibah kaisar Cina yang dipimpin oleh Sam Po Kong merasa perlu
mampi lagi ke sini sebelum kapal-kapalnya menuju ke barat.''
Wikramawardhana tersentak di atas singgasananya. Wajahnya kelihatan seperti kurang darah.
Dia berdiri dari singgasananya. Maju satu dua langkah. Berhenti. Berputar-putar di sekitarnya. Lalu duduk kembali.
''Ya,'' katanya, ''setiap raja memiliki kekurangan-kekurangannya. Kekuranganku, percaya pada si tolol Tunggul Petak.''
Orang-orang di sekitarnya menunduk kepala. Dengan begitu mereka menunggu kata-kata apa yang hendak diucapkan raja.
''Aku mengerti,'' kata Wikramawardhana, ''memang seharusnya aku yang menemui Sam Po Kong.''


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 01/09/2008 16:38
Kapal milik kerajaan pun disiapkan. Wikramawardhana menggunakannya untuk berangkat ke muara, ke ujung Brantas (yang kini telah menjadi Surabaya). Sebelum berangkat, Wikramawardhana naik ke Candi Bajang Ratu, gapura di muka keraton -tempat yang tidak boleh sembarang orang menaikinya, sebab kepercayaan yang telah berakar turun-temurun konon dapat membawa rugi- ke bagian keluarganya, antara istri-istri dan anak-anak. Pengawal yang disebut namanya Radhana itu melihat dalam jarak tertentu. Dia tetap hormat kepada rajanya dan kepercayaan rajanya, seraya telah memutuskan untuk menganut kepercayaan yang dianut Ceng Ho. Ketika sang raja menjumpai Ceng Ho di atas kapal induk itu, bukan alang kepalang sikap hormatnya kepada Ceng Ho. Wikramawardhana menundukkan badan dengan cara soja. Katanya tanpa tedeng aling-aling, "Saya mengerti kenapa Anda datang kembali ke sini." Ceng Ho mempersilakan Wikramawardhana berdiri tegak. Katanya, "Kami senang mendengar pengertian Paduka." Dan Wikramawardhana pun memberikan segulungan daun lontar sebagai surat kepada Ceng Ho. Katanya, "Dalam surat ini saya telah menuliskan permohonan ampun saya kepada Kaisar Ming, sekaligus janji untuk mengganti rugi 60.000 tail emas atas terbunuhnya seratus tujuh puluh anggota pelayaran Tuan." Ceng Ho menerima gulungan lontar itu dan menyerahkannya kepada penerjemahnya. "Surat Paduka akan kami serahkan kepada kaisar," kata Ceng Ho. "Seandainya ada hal-hal yang kurang jelas dalam lontar itu, duta saya, Radhana, akan memerincinya secara lisan," kata Wikramawardhana sambil menunjuk dengan jempolnya ke arah pengawal yang abdi itu. "Tapi, mohon juga Tuan pahami, bahwa janji dalam surat itu merupakan keharusan selama-lamanya memberi upeti kepada Kaisar Cina. Janji akan pemberian 60.000 tail emas tersebut adalah sebagai isyarat rasa bersalah-gara-gara si tolol si goblok si dungu Tunggul Petak, yang Tuan saksikan sendiri telah mati di bawah tangan kekuasaan saya-dan sama sekali bukan sebagai janji tetap untuk memberi upeti kepada Kaisar Cina. Ini perlu sekali saya tandaskan, bahwa walaupun negara Cina adalah negara besar dan saya mengakui kebesarannya, tidaklah berarti bahwa dengan janji memberikan 60.000 tail emas maka kerajaan saya otomatis takluk kepada negara Cina."

Memang pelayaran kami ini pun merupakan misi muhibah, bukan ekspansi militer ke sini dan ke mana pun nanti," jawab Ceng Ho.
Wikramawardhana senang. Ketika turun kembali dari kapal induk dan kembali ke kapalnya untuk pulang ke kerajaannya melalui Brantas, dia menghormati Ceng Ho dan semua perwiranya di dalam kapal induk itu.


* * *


Setelah itu kapal-kapal rombongan Ceng Ho mengangkat sauh, mengembangkan layar, menuju ke barat.
Masing-masing orang punya dambaannya sendiri. Wu Ping ingin lekas-lekas tiba kembali di Sunda Kelapa, menemui Si Tiwati, perempuan yang telah membuatnya mabuk kepayang.
Hua Xiong berpikir pelik untuk bagaimana, dalam kesempatan seperti apa, yang dianggapnya paling tepat untuk menghabisi Dang Zhua.
Dengan pelayaran langsung, jadi tanpa singgah-singgah lagi, maka sehari sebelum Idul Fitri yang jatuh pada 1 Syawal, bulan kesepuluh menurut perhitungan Tahun Hijriah, rombongan
kapal-kapal Ceng Ho ini akan tiba di Semarang, bersandar di Mangkang.


***


Sepekan sebelum itu terlihat Dang Zhua dan Si Lihai berdiri di buritan. Malam baru saja menghitamkan bumi. Dan Ceng Ho beserta Wang Jing Hong, Wu Ping, dan awak kapal yang muslim masih bertarawih. Di buritan itu mereka berbicara bisik-bisik. Sebetulnya walaupun mereka berbicara dengan suara yang wajar, suara mereka tak terdengar jelas, sebab angin dari depan membawa suara itu ke belakang.
"Jadi, kalau kamu masih sayang hidupmu turuti semua perintahku," kata Hua Xiong.
"Apa yang harus aku lakukan?" tanya Si Lihai.
"Nyelinap masuk ke ruang kemudi. Buka pintu kurungan burung jalak putihnya Wang Jing Hong. Pagi-pagi Wang Jing Hong akan geger. Aku akan terus berada di dekatnya. Dan pada saat itu kamu masuk kamarku. Bunuh Dang Zhua. Akan meyakinkan kalau setelah Dang Zhua mati aku akan berpura-pura menangis sedih..."
Di malam yang sama, dalam diskusi singkat pada acara seusai tarawih, Radhana berkata penasaran kepada Ceng Ho. "Saya heran Anda bisa bersikap baik kepada Raja Wikramawardhana."
"Heran?" tanya Ceng Ho. "Heran kenapa?"
"Bagaimana caranya Anda bisa baik begitu?"
"Pertanyaan itu sendiri mengandung perbandingan. Yaitu, bahwa kau mengerti arti baik dan arti buruk. Nah, saya ingin bertanya kepadamu, bagaimana caranya kau mengerti arti baik?"
"Sebab ada pengertian lain tentang buruk, jelek, jahat."
"Betul sekali. Kita belajar yang baik justru dari perbandingannya atas yang buruk, jelek, jahat," kata Ceng Ho. "Kekuasaan sering tergelincir dalam tindak kejahatan. Saya mempelajari itu dari penguasan-penguasa, raja-raja, dan kaisar-kaisar Cina jahat yang ditulis oleh sejarah."
"Apa yang membuat mereka jahat?"
"Kekuasaan itu sendiri. Kemudian harta dan perempuan. Hampir semua raja dan kaisar Cina yang jahat, adalah mereka yang gila pada kekuasaan, harta, dan seks. Kaisar Jie*) menjadi
rusak akhlaknya gara-gara Mei-Xi karena kolam anggur dan pohon daging. Kaisar Zhou**) rusak juga akhlaknya gara-gara Da-Ji. Malah ada kaisar berumur 10 tahun sudah kurang ajar,
gila seks, yaitu Kaisar Hou-Tei."***)

''Jika orang dapat mempelajari tentang kejahatan melalui melihat perbandingan dengan hal-hal yang baik, mengapa penguasa tidak sanggup melakukannya pula bagi dirinya?'' tanya Radhana. Ceng Ho tersenyum, tak segera menjawab. Tampaknya pertanyaan ini telah lama direnungkannya sendiri. Maka apabila dia menjawab, jawabannya merupakan isbat bagi dirinya pula. Katanya, ''Penguasa itu adalah pelaku kekuasaan. Sering kekuasaan mengubh pelakunya menjadi buta: punya mata tetapi tidak bisa melihat. Saya menyebut ini fasik.'' ''Mengapa orang menjadi fasik?'' ''Sebab hatinya bebal,'' kata Ceng Ho. ''Punya hati tetapi tak punya perasaan. Sejarah Cina banyak sekali diisi oleh pelaku-pelaku kekuasaan yang fasik, karena bebal'' ''Sembilan ratus tahun yang lalu Kaisar Xiao Bao Juan *) dibunuh lantaran rakyat bosan melihat kefasikan dan kebebalannya. Dia naik tahta pada usia 17 tahun. Pikirannya masih labil sekali. Dia terobsesi ingin menjadi akrobat. Saban hari dia bikin kursi untuk akrobatnya yang dipamerkannya kepada selir-selirnya supaya dipuji'' ''Pada suatu hari, ketika dia sedang asyik bersetubuh dengan selirnya, dilaporkan bahwa keadaan kerajaan dalam bahaya, istana dibakar. Jawabnya seenaknya, 'Kalau cuma terbakar biar saja. Segera bangun istana yang baru, yang tahan api'.'' ''Lain lagi dengan si fasik dan bebal Mu Rong Xi **). Kaisar ini tergolong yang kefasikan dan kebebalannya menggemaskan. Nafsu seksnya pada Fu, yang kemudian diangkatnya menjadi ratu, telah memboroskan belanja negara dengan kerugian yang luar biasa. Sebab, Fu yang mengocok-ocok supaya melaksanakan perang terhadap Korea'' ''Ketika Fu mati, disuruhnya orang membuat peti mati yang amat besar sebagai tanda cintanya. Akibatnya, ketika peti itu digotong untuk dibawa keluar istana ke tanah pekuburan, ukurannya yang besar itu tidak bisa lewat di gerbang istana. Maka, diperintahkannya orang meruntuhkan gerbang itu. Padahal meruntuhkan gerbang istana kerajaan adalah suatu hal yang tabu.'' ''Betul,'' kata Radhana. ''Meruntuhkan gerbang atau gapura berarti meruntuhkan kerajaan.'' ''Tetapi mau apa lagi, dasar fasik dan bebal,'' kata Ceng Ho mengangkat bahu. ''Seperti semua kaisar yang fasik dan bebal lainnya, Mu Rong Xi pun dibunuh ramai-ramai oleh orang-rang yang benci kepadanya'' ''Contoh lain, kaisar yang fasik dan bebal, yang dibunuh dengan cara tidak terhormat adalah Kaisar Gao Wei ***). Batas kebebalannya telah sampai pada tingkat yang paling absurd. Kaisar ini terobsesi pula untuk menjadi tukang ngamen di hadapan selirnya. Ketika istana diserbu pasukan Yang Jin dari Zhou utara, dia malah asyik cekakak-cekikik bersama selirselirnya di lembah tempat berburu. Saking gemas dan benci pada kebebalannya itu pasukan Zhou membunuhnya dengan cara mengikatnya dan menyumpal bubuk cabai ke hidung dan mulutnya...''


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 01/09/2008 16:50
Bersamaan dengan itu, ketika arah cerita Ceng Ho kepada Radhana adalah tentang membunuh orang yang dibenci karena kefasikan dan kebebalannya itu, maka di tempat yang lain Hua Xiong juga berbicara tentang bagaimana membunuh Dang Zhua. ''Tidak ada hal yang lebih sederhana dari memadamkan gagasan seorang musuh selain mencabut nyawanya,'' kata Hua Xiong pada Si Lihai yang dipercayakan dapat melakukan apa yang diharapkannya. Lantas, kira-kira bagaimana cara Si Lihai membunuh Dang Zhua? Yang paling pokok agaknya jawaban akan pertanyaan: apakah Si Lihai akan melakukan perintah Hua Xiong sesuai dengan garis rencana? Jika dia melakukannya di luar rencana yang telah dibuat, berarti dia melakukannya secara, katakanlah, improvisasi. Sudah tentu ada hal mirip kejutan yang dapat dicapai dalam improvisasi. Dan, katakanlah, bahwa pikiran itu sendiri ada di dalam diri Si Lihai.
Kata Si Lihai, ''Percayakan seluruhnya kepada saya. Saya akan melakukan kejutan yang hebat. Pokoknya kawan Anda yang sekarang telah menjadi lawan Anda akan keok, kelepekkelepek, modar...'' Hua Xiong tertawa senang. Inilah tawanya yang paling riang mendengar pernyataan Si Lihai. Dan, akhirnya mesti diperinci dengan tepat bagaimana keadaan wajahnya ketika dia tertawa senang mewakili gagasan-gagasan lancungnya. Mulut Hua Xiong sesungguhnya termasuk dalam bentuk yang disebut secara ming xiang atau membaca wajah sebagai zhu kou , artinya mulut babi, yaitu mulut yang terlalu lebar dengan posisi yang centang-perenang. Ketika dia tertawa senang seperti ini, mulutnya yang lebar itu tampak meluas sampai ke kuping dengan gigi-gigi yang merongos berwarna kekuningan. Dia rangkul punggung Si Lihai dan menepuk-nepuk. ''Ya, ya, saya percaya pada kelihaianmu,'' katanya.


***

Dan waktu yang diharapkan dan ditunggu-tunggu itu sedang mendekati ambangnya. Benar, dua hari sebelum Lebaran kapal-kapal rombongan Ceng Ho memasuki perairan Semarang.
Dengan kapal kecil mereka ke Mangkang dan dari Mangkang dengan sekoci mereka ke Simongan.
Simongan adalah tanah tepi yang indah. Muara sungai berada di bawah bukit - sekarang kira- kira di irigasi Banjirkanal - dan pada latar belakang sana, arah selatan, tampak menjulang
Gunung Ungaran yang membiru tidak tertutup awan.
Di depan sebuah gua mereka mendarat, menyandarkan sekoci-sekoci di pinggir sungai yang berlumpur. Pohon-pohon besar di sekitar gua itu ramai sekali dikicaui pelbagai burung. Ada kepodang, ada perenjak, ada ketilang, ada betet, ada manyar, kemudian ada pula kawanan gelatik yang berputar-putar di atasnya, serta kawanan pipit yang berangkat ke barat, lalu ada juta tekukur, perkutut, balam, punai, dan ditambah lagi dengan ayam alas dan gemak di
semak-semak. Sungguh tanah tepi Simongan ini sebuah taman alami yang asri menawan.
(Sampai 1950 keadaan demikian masih bersisa).


Di pinggir sungai, depan gua itu, Ceng Ho menjongkok, mengambil tanah segenggam, lantas berkata, ''Aku ingin jadikan tanah tepi yang indah ini, yang dihias oleh unggas berbagai macam karya ilahi, sebagai tempat peringatan akan kerinduan pada janabijana. Aku berjanji akan terus datang ke sini selama hayat masih dikandung badan.''
Wang Jing Hong juga melakukan hal yang sama. Dia berlutut dan memegang tanah. Katanya, ''Tanah anganan barangkali menjadi tanah kenyataan.''
Tiada seorang pun yang paham arti kata-kata Wang Jing Hong itu sampai tiba saatnya hari paling memilukan baginya.
Lantas Ceng Ho melangkah ke arah gua. Dia naik ke bagian yang agak tinggi. Di atas sana tampak laut di utara dan Gunung Muria samar-samar di timur laut.
''Cari sampai ketemu pemilik tanah ini,'' ujar Ceng Ho. ''Kita harus minta izin kepadanya.''
''Kelihatannya tanah ini tidak bertuan,'' kata Ci Liang.
''Kenapa Anda bersimpulan begitu?'' tanya Ceng Ho.
''Daerah ini masih perawan.''
''Itu tidak berarti yang perawan tiada berpemilik,'' kata Ceng Ho. ''Pasti ada pemiliknya.
Karena itu, saya minta cari sampai ketemu orang yang berkuasa atas wilayah ini. Kita ke sini bukan hendak mencuri. Kita orang asing di sini. Kita harus berkesopanan untuk meminta izin.
Nah, carilah penguasa daerah ini.''


***


Dalam pikiran Ci Liang, apabila dia menyusuri sungai ke selatan, pasti di suatu tempat pada arah itu dia akan bertemu dengan orang-orang. Maka dengan beberapa prajurit dia berangkat ke hulu, di selatan, sampai di Panjangan. Benar dugaannya, di situ dia disambut oleh seorang lurah yang cerdas, ramah, dan terbuka. Lurah itu memperkenalkan diri sebagai Jawahir - nama khas pesisir, dan dengan demikian bertingkah laku khas pesisir pula, yaitu bercakap blak-blakan, cepat akrab, dan untuk hal-hal tertentu ada kesan jenaka. Melalui penerjemah Ci Liang menerangkan tentang siapa mereka, dan apa tujuannya ke sini, serta meminta izin berkemah di sekitar gua di Simongan. ''Ya, itu tanah saya,'' kata Jawahir. ''Silakan dimanfaatkan seluasanya. Saya senang.''


***


Jawahir datang ke daerah sekitar gua itu menjumpai Ceng Ho, dan memberi hormat. Dia datang dalam satu perahu bersama dengan sembilan orang istrinya. Jika saja dia membawa anak-anaknya di dalam perahu itu, niscaya perahu itu akan tenggelam sebelum tiba di dekat gua, sebab masing-masing istrinya beranak enam, dan - apakah ini azab ataukah berkah -anak-anaknya itu seluruhnya perempuan. ''Terima kasih pada Tuan yang telah memberi izin kami berada di sini,'' kata Ceng Ho. ''Lusa kami akan merayakan hari kemenangan, Idul Fitri, maka kami bermaksud merayakannya di sini.'' ''Saya merasa terhormat,'' kata Jawahir. ''Tapi bagaimana kiranya sampai Tuan memilih tempat ini?'' ''Dalam pengetahuan kami yang telah terwaris berabad-abad ada ilmu yang disebut 'hong-sui' menyangkut pilihan dan penentuan suatu lokasi untuk keperluan-keperluan khas,'' kata Ceng Ho. ''Jika itu suatu pengetahuan, suatu ilmu, ajarkan pula kepada kami,'' kata Jawahir. ''Tentu,'' kata Ceng Ho. ''Itu pula tujuan misi Kerajaan Ming terhadap negeri-negeri di luar Cina. Dan, pengetahuan atau ilmu paling dasar untuk kesejahteraan manusia adalah kesehatan. Terus terang, kami telah berlanglang di antero Nusantara ini dan belum menemukan tanah tepi seperti ini, tanah yang cocok untuk mengembangkan budi daya tanaman-tanaman jamu. Insya Allah, kelak pada kemudian hari, tanah ini, Semarang, menjadi negeri penghasil tanaman jamu yang dikenal di antero Nusantara. Ahli jamu kami akan mengembangkan pengetahuan kesehatan dari warisan Kaisar Kuning, Huang Di Nei Jin*). Kami, orang Cina menghubungkan ini dengan asas-asas dasar Tao Revitalisasi, yakni sistem gerakan untuk mencapai kesehatan itu melalui aspek mental dan fisik.'' Jawahir tersenyum-senyum. ''Walau saya tidak terlalu paham akan apa yang Tuan terangkan, setidaknya saya yakin, ilmu yang Tuan perkatakan itu adalah benar-benar luar biasa, hebat, bermanfaat,'' katanya, ''sekali lagi, saya merasa terhormat karena Tuan telah memilih tempat ini. Silakan manfaatkan.'' Dan, Jawahir menjabat tangan Ceng Ho sebelum berangkat kembali ke selatan. ''Mudah-mudahan Tuan berkenan hadir dalam sembahyang Idul Fitri lusa,'' kata Ceng Ho, ''besok, pada malam takbir kami pun akan memukul beduk-beduk di sini.'' ''Ya, ya, saya pasti hadir.''

***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 11:32
Seperti Jawahir dari tanah itu, Ceng Ho pun menugasi perwira dan prajuritnya untuk mencari batu -batu kali ataupun batu gunung- untuk dibuat tugu. Mereka mendapatkan batu gunung yang ada di atas perbukitan Simongan itu, seratus meter dari mulut gua di bawahnya yang menghadap ke timur. Melalui beberapa orang yang bertubuh kekar-kekar, batu gunung itu dicungkil dengan dua buah alabangka. Setelah tercungkil, batu itu menggelinding ke bawah. Kemudian, di bawah, di bagian yang datar, orang-orang membentuknya menjadi persegi empat panjang. Pekerjaan ini tidak mudah. Setidaknya mereka membutuhkan waktu hampir satu hari. Apabila bentuk batu itu telah mencapai bentuk yang diinginkan, ada lagi orangorang yang bertugas memahatnya, menulis sesuatu di batu itu. Ceng Ho meminta mereka menulis larik-larik puisi karya Meng Hao Ran. Ini sekaligus bukti tersendiri bahwa sebagai seorang laksamana, pemimpin perang, Ceng Ho adalah juga seorang budayawan yang mengenal betul akarnya. Adapun kata-kata elok, kata-kata bernas dari larik-larik puisi yang dipahat di batu itu adalah: artinya: yang bisa kulakukan saat ini menabur ke sungai sepasang air mata rindu hubaya-hubaya air sungai ini boleh membawanya ke tempat nun jauh di sebelah barat samudera Tugu ini dipasang di pinggir sungai, seratus depa di depan mulut gua. Setelah memasang di situ -dan orang-orang semua meriung menyaksikannya- Ceng Ho pun berkata, ''Siapa saja di antara kalian semua yang sipil, yang memutuskan untuk memilih tanah tepi ini sebagai tanah air yang baru, silakan tinggal.'' Banyak orang yang segera mengangkat tangan, menyatakan dirinya memilih tanah tepi ini yang kemudian menjadi Semarang- sebagai tempat tinggal yang baru. Sudah tentu, di antara orang-orang yang riang gembira memutuskan untuk tinggal di Semarang adalah Tan Tay Seng. Dia peluk Ling Ling dan berkata, ''Kau harus jadi istriku. Aku tidak punya pilihan lain.''


***


Lusa Lebaran. Sebelum itu, berarti masih ada satu hari orang-orang bertemu orang-orang. Artinya, masih ada satu hari lagi bagi Ceng Ho menyuruh orang-orangnya mengabarkan kepada penduduk di sini -terutama orang-orang Cina yang telah lama tinggal di sini- untuk bertemu bersilaturahmi. Dan orang-orangnya pun berangkat ke pelbagai jurusan, terutama ke bagian pemukiman di pinggir laut, arah utara-timur-laut dari Simongan, mengabarkan tentang telah mendaratnya Ceng Ho di Simongan. Kelihatan betapa sibuknya mereka.


***


Juga kesibukan terlihat di kapal induk. Orang-orang yang ditugaskan membawa alat-alat musik dari Cina, berbagai macam bentuk dan bunyi, mulai dari yang ditabuh, ditakol, ditiup, maupun digesek, semuanya dibawa turun ke Simongan. Beduk-beduk yang besar, yaitu beduk-beduk model khas Cina yang telah digunakan di Cina sejak zaman Kaisar Yao *) dibawa turun dari kapal induk, ditata bersama alat-alat yang lain: la-po yang mirip nafiri, yueh-chin yang mirip gitar, cheng yang mirip cerek, che yang merupakan lira Cina, kin yang dibunyikan melalui dawai, dan banyak lagi, semuanya instrumen-instrumen yang menunjukkan keragaman sekaligus kedibyaan musik Cina. Alatalat itu akan dimainkan nanti pada semalam suntuk menunggu hari raya.


***


Tapi, yang membuat orang di utara-timur-laut berdatangan ke Simongan pada malam harinya, malam takbir, adalah juga karena keramaian membakar mercon. Kembang api yang membentuk bunga-bunga di langit hitam mengherankan penduduk negeri. Keruan mereka semua berdatangan ke Simongan. Simongan yang selama itu sunyi, sekonyong menjadi hirukpikuk. Belum lagi pujian yang tiada berkeputasan dari anggota-anggota misi muhibah Ceng Ho yang beragama Islam kepada Allah nan akbar. Pendek kata suasananya azmat nian. Sebelum itu, usai tarawih, sembahyang sunah terakhir dari bulan Ramadan ini, Ceng Ho masih sempat memberi petuah-petuah kepada anggota misi muhibah, sebagaimana lazimnya dia lakukan selama ini: memberi wejangan dan membuka tanya-jawab. Wejangannya sebelum khotbahnya pada esok pagi, demikian berkesan bagi Radhana yang kian mantap memilih agama yang dianut Ceng Ho. Kata Ceng Ho di depan jemaah yang duduk sila bersusun-susun di depan gua itu, ''Sebagai bangsa beradab, haruslah kita, orang Cina, di mana pun di kolong langit ini, menjadi teladan sejati akan semangat kerukunan. Kita telah teruji oleh waktu, bahwa selama berabad-abad bangsa Cina berhasil menunjukkan kemampuan hidup rukun, menghayati perbedaan justru sebagai karunia ilahi yang luar biasa. Selama berabad-abad, kita yang berbeda keyakinan ini, malah dapat membangun negara menjadi negeri yang paling maju: politik, ekonomi, kebudayaan; ''Lihat saja buktinya, bagaimana agama-agama dalam masyarakat kita dapat berjalan saling bergandengan mesra, tanpa prasangka. Saya muslim, dan saudara-saudara semua ada yang Kong Hu Cu, Buddha, dan Tao, bahkan ada seorang di antara kita yang penghayat ajaran A-Lu-Fen, ajarannya Almaseh Isa ibni Maryam. Semua, kita, bisa hidup rukun begini sebab filsafat primordial kita sendiri, yin-yang, merupakan kekuatan nan tiada terperi dalam menyeimbangkan perbedaan-perbedaan; ''Itulah sebabnya, pesan saya kepada saudara-saudara yang telah memutuskan untuk bermukim di sini, tetap jagalah keseimbangan yang merupakan kekayaan pengetahuan dari nenek moyang kita. Kalau kelak saudara-saudara beristri orang sini, jadikanlah istri saudara semua itu menjadi seperti bangsa kita.''


***


Apa yang dikatakan Ceng Ho itu diterima tak bulat oleh seseorang yang berada di pinggir sungai, di depan tugu yang baru dipancang itu. Tentu saja orang yang dimaksud ini berpendirian lain, sebab dia adalah Tan Tay Seng.
Dia meyakinkan dengan wajah yang sangat serius kepada Ling Ling. Katanya, ''Anjuran Sam Po Kong itu khusus untuk mereka yang tidak punya kekasih dari bangsa Han. Bagi kita, anjuran itu tidak berlaku.''
''Kita?'' kata Ling Ling seperti menolak.
''Ya, sayang, kau dan aku,'' kata Tan Tay Seng.
''Ih, geer banget kamu. Siapa bilang aku mau sama kamu?''
Aku. Aku yang bilang.''

''Boleh saja kamu bilang begitu. Tapi kalau aku tidak mau, mau apa kamu?''
''Ya, aku akan bikin sampai kau mau.''
''Enak saja.''
''Ya, enak.''
''Tidak bisa.''
''Ya, dibikin bisa.''
''Itu namanya pemaksaan. Pemaksaan berarti pemerkosaan.''
''Abis, daripada cari-cari lagi, lebih baik yang sudah ada saja yang dimanfaatkan.''
Dan Ling Ling gemas. Dia cubit Tan Tay Seng. ''Huh, kamu kira aku ini kendaraan: main dimanfaatkan?''
Tan Tay Seng menjerit. ''Ampun!'' Dan dia berlutut di hadapan Ling Ling. ''Maafkan aku, ratuku, kekasihku.''
Ling Ling mencibir. ''Sebel.'' Dia berpaling. Tan Tay Seng cengengesan. Tapi memang begitu tabiatnya. Ling Ling pergi. Tan Tay Seng mengejarnya.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 11:51
Wu Ping sempat melihat Tan Tay seng mengejar Ling Ling lantas berlutut seperti memohon-mohon. Tampaknya Wu Ping merasa aneh melihat itu. Oleh karena itu, sang penerjemah yang biasa menggodanya, yang bersila di sebelahnya, lantas menggodanya pula.
Kata sang penerjemah, ''Penyair konyol itu mengerti betul menghadapi situasi dan kondisi.''

''Kenapa Anda bilang begitu?'' tanya Wu Ping terpancing oleh godaan sang penerjemah.
''Ya, sebab dia tidak bertele-tele.''
''Memangnya siapa yang bertele-tele?''
''Kau,'' kata sang penerjemah. ''Lihat, dia sudah mendapat kekasih. Mestinya dari awal, ketika masih di Campa, kau sudah menempel padanya.''
''Ya, tapi Ling Ling bukan seleraku.''
''Ah, kau bicara seperti di darat saja. Di laut, ketika hanya ada satu saja perempuan, maka perempuan itu adalah segala-galanya: tercantik, termolek, tersempurna.''
''Tidak bisa. Bagaimanapun hati tidak bisa dikalahkan oleh mata. Mataku mengatakan Ling Ling tidak betina. Sifatnya sangat kelaki-lakian. Aku tidak suka perempuan yang kelaki-lakian. Rasanya ada yang salah urus dari perempuan yang kelaki-lakian.''
''Itu pikiran kuno. Pikiran yang baru adalah pikiran yang sederhana. Yaitu, syarat seorang perempuan, adalah lubang. Selama perempuan memiliki lubang, selama itu pula mereka berguna bagi kita, lelaki, percayalah.''
''Sinting,'' kata Wu Ping. Mukanya kencang.
''Tapi ini benar,'' kata sang penerjemah.
''Sinting,'' kata Wu Ping lagi. Mukanya kendur.


***


Pada pagi harinya, masih di tanah datar di sekitar Gua Simongan itu, Ceng Ho menjadi imam. Dia masih mengingatkan apa yang telah dikatakannya tadi malam. Bukan hanya anggota misi pelayaran muhibah dari beberapa kapal yang meruah di Simongan, tapi yang penting orang-orang di sekitar negeri -tempat-tempat yang terbilang banyak penduduknya, seperti Bergota, Randusari, Kaligawe, Telagabayam, Peterongan, Wanadri, Banyukuning, Babadang, Gebanganom - berbondong datang ke sana merayakan Idul Fitri. ''Mengapa Idul Fitri penting bagi orang yang berpuasa?'' kata Ceng Ho dalam khotbahnya. ''Sebab, hari ini adalah hari kemenangan dari pelbagai peperangan. Peperangan melawan nafsu, marah, dengki, lapar, pendek kata hal-hal yang sangat insani. Dengan Idul Fitri, orang yang telah menjalankan Ramadan menjadi suci kembali. Idul Fitri bukan hanya sekadar Lebaran. Mengapa? Sebab dalam Lebaran, siapa saja yang tidak melampaui puasa Ramadan bisa merayakannya sebagai hari besar. Hanya orang yang lulus dalam Ramadanlah yang benar-benar merasakan sukacita Idul Fitri, sukacita 1 Syawal, sukacita kembalinya manusia menjadi suci lagi. Melalui mimbar ini, sekalian saya memberi selamat kepada suadarasaudara, sekaligus mohon maaf lahir dan batin.''
Dan semua, seusai salat lantas bersalam-salaman, mengucapkan kata-kata indah dari pribadi orang yang bersih nurani. Tampak wajah semua orang berseri-seri, ceria, damai, berpengharapan.


***


Jika ada wajah seseorang - satu-satunya orang di antara orang-orang itu - agaknya itu adalah wajah Hua Xiong. Memang dia berada di luar umat yang bersila. Namun setidaknya arah kepalanya tertuju ke mimbar tempat Ceng Ho berdiri. Ketika Ceng Ho berkhotbah, mungkin juga dia melihat, tapi percayalah dia tidak mencamkan dengan perhatian yang kafah. Sebab, kendati matanya melihat Ceng Ho, pikirannya berada di tempat lain. Pikirannya terpecah oleh sikap icak-icak setiap kali matanya berpindah ke kiri dan kanan. Apakala matanya menangkap sosok seseorang di deretan belakang Wang Jing Hong, detak jantungnya mengencang. Dia semakin tidak sanggup membendung dengkinya terhadap sosok itu. Padahal sosok itu Dang Zhua yang dalam kenyataannya masih menjadi teman sekamar. Hua Xiong pun berdiri. Dia mencari si Lihai yang berada di belakang, di tempat bambubambu besar yang rimbun, selatan gua. Ditariknya lengan si Lihai, dan dibawanya ke tempat yang sepi di pinggir sungai yang dipenuhi oleh rasau berdaun besar. ''Bagaimana persiapanmu?'' tanya Hua Xiong kepada si Lihai. Si Lihai tertawa remeh. Tanpa berkata apa-apa. Karena itu Hua Xiong agak jengkel. Katanya, ''Aku tidak minta kau ketawa. Aku tanya persiapanmu, dan mau tahu jawabanmu.'' ''Sudahlah, tenang,'' kata si Lihai. ''Jangan terlalu dipikirkan. Ini aku. Sudah kubilang, percayakan hal-hal yang pelik kepada yang lihai.'' ''Aku hanya mau mengingatkan. Setelah semalam melek, banyak orang yang akan letih dan tumbang pagi ini,'' kata Hua Xiong. ''Ya, aku tahu itu,'' kata si Lihai. ''Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Bahwa orang yang bergadang tadi malam akan letih pada pagi ini. Ada yang tidur di tenda-tenda di sini, ada juga yang kembali ke kapal, tidur di sana.'' ''Lantas?'' tanya Hua Xiong dalam kesan menguji ingatan si Lihai. Si Lihai bersikap yakin. ''Pokoknya aku akan melakukan apa yang harus aku lakukan. Aku tidak lupa. Ingatanku sempurna.'' Hua Xiong tersenyum. Namun dia berkata. ''Aku belum mau memujimu sebelum kau dapat melakukan apa yang harus kau lakukan.''
 

***


Yang akan dilakukan si Lihai bertahap. Sebelum itu, saat menunggu waktu, mereka, Hua Xiong, dan si Lihai kembali lagi ke tanah
datar depan gua tempat Ceng Ho kini menerima jabat tangan.
Sesuatu yang alih-alih terjadi. Orang-orang yang berdatangan dari beberapa wilayah, berlomba-lomba ingin memegang tangan Ceng Ho. Semua ingin mencium tangannya. Yang tidak kebagian memegang tangan Ceng Ho, berhubung penuhnya manusia mengitari dirinya,
lantas memegang kakinya. Terpaksa perwira-perwira Ceng Ho turun tangan menjaga supaya orang-orang - antara lain perantau Cina yang telah mukim lama di Semarang - memberi salam dengan antre.
''Harap antre, satu per satu,'' ujar salah seorang dari perwira-perwira Ceng Ho yang memagarinya.
Ceng Ho tidak membatasi diri. Dia tersenyum, membuka diri dengan senang.
"Tinggallah untuk selamanya di sini," kata seseorang yang segera dibukakan jalan untuk menyalami Ceng Ho.
Orang itu kiranya memiliki wewenang untuk berkata demikian, sebab dia tak lain Jawahir, lurah berbini sembilan tersebut.
Ceng Ho mengangguk memegang tangan Jawahir.
Kata Jawahir lagi, "Saya akan merasa bangga jika pengikut-pengikut Tuan yang semua lelaki mau mempersunting anak-anak saya yang semua perempuan."
"Pasti, pasti," kata Ceng Ho. "Memang banyak dari anggota sipil yang memutuskan untuk membumi di sini."
"Seharusnya Tuan juga," kata Jawahir.
"Tentu," kata Ceng Ho. "Percayalah, walaupun tubuh saya jauh dari tempat ini, tanah tepi Simongan, roh dan jiwa saya akan terus dan tetap di sini."
Ketika Ceng Ho berkata begitu, orang-orang yang mendengar pernyataan ini belum lagi mengerti. Kelak pada tahun mendatang, abad mendatang, lewat waktu demi waktu, orang akan menyadari kebenarannya.


***

Sementara hari pun makin lama makin siang. Dan, pada hari siang itu orang-orang yang tadi malam begadang menyongsong Idul Fitri dengan takbir tentang Allah Mahaakbar berangsur-angsur dikunjungi kantuk. Mereka pun mulai memasuki tenda-tenda dan tidur di dalamnya.
Ceng Ho masuk ke gua, tidur di dalamnya. Nanti pada siang hari dia bangun untuk mendekatkan lagi hatinya ke Tuhan. Lalu dia beristirahat lagi. Kemudian bangun kembali menjelang magrib melakukan kewajiban yang sama.
Dan syahdan, justru apada saat itu pula si Lihai berpikir tentang melakukan apa yang harus dia lakukan tersebut.
Kebetulan Dang Zhua hendak kembali ke kapal. Itu berarti, dia akan menggunakan sekoci, perahu kecil dengan perut yang datar sebagaimana layaknya model gondola, menuju ke laut, ke tempat kapal induk, dan kapal-kapal yang lain disauhkan.
Melihat Dang Zhua hendak kembali ke laut, lekas-lekas pula si Lihai naik ke sekoci yang sama, berangkat ke laut. Penampilannya dibuat sewajar mungkin - seperti yang dikenal Dang Zhua selama itu - yaitu pribadi yang mudah akrab. Obrolan kosong dibangkitkannya di dalam sekoci itu untuk menjalin suasana wajar. Padahal dalam omongan yang dibuatnya berkesan basa-basi pun sebetulnya mengandung arah menyelidik di baliknya.
"Kelihatannya pribumi di sini mengagumi alat-alat tabuh yang dimainkan," kata si Lihai kepada Dang Zhua.
"Ya, kau menabuh dengan semangat," kata Dang Zhua.
"Makanya sekarang aku letih sekali dan mengantuk," kata si Lihai.
"Aku yang menyaksikan saja mengantuk, apalagi kau yang menabuh," kata Dang Zhua.
"Pokoknya, begitu tiba di kapal, aku akan langsung mengorok."
Si Lihai tertawa untuk memberi jalinan keterbukaan yang alami pada Dang Zhua. Katanya, "Aku juga."


***

Dan, apakah Dang Zhua langsung tidur di kamarnya?
Ya.
Namun si Lihai tidak.
Dia pergi ke perut kapal. Dia masuk ke ruang istirahat para pendayung. Banyak dari para pendayung itu orang-orang hukuman. Karena itu tidak mengherankan, bila di antara mereka gampang sekali dihasut.

Siapa yang akan ditemui si Lihai?

Orangnya kurus tapi bertenaga. Tampangnya jelek. Antara hidung dan mulut kelihatan berdempetan. Barangkali sebab bibir atasnya tebal dan menaik mendekati hidung, sehingga gampang menggoda orang untuk mengingat-ingat nama hewan tertentu yang jorok dan busuk.
"Mana barangnya?" kata si Lihai dengan suara ditekan pelan begitu dia menemui orang itu.
"Mana dulu uangnya?" jawab orang itu.
Dan, si Lihai mengeluarkan apa yang diminta orang itu, memberikan kepadanya. "Ini," katanya.
Lalu orang itu pun mengambil sebungkus serbuk dan memberikan pula kepada si Lihai. "Ini," katanya pula.
Si Lihai memeriksa bungkusan itu -bungkusan kecil - lalu menatap muka orang itu. "Yakin serbuk ini langsung dapat membuat orang tidak sadarkan diri?" tanya Si Lihai.
"Kau boleh menyebut dirimu Lihai, tapi percayalah untuk membuat tepung pukau, ahlinya hanya Khou Ping, aku. Apa kau lupa, aku menjadi terhukum begini lantaran keahlianku itu."
Si Lihai merasa teryakinkan. Dia menimang-nimang beberapa saat sebelum keluar dari ruang itu.

***


Si Lihai pun menuju ke kamar tidur Dang Zhua. Pintu kamar agak terbuka. Dia lihat ke dalam. Plong hatinya melihat Dang Zhua tidur dengan menutup seluruh badan, dari kaki sampai kepala. Maka dia taburkan tepung pukau itu ke atas ranjang Dang Zhua. Si Lihai ternyata kalah lihai dari Dang Zhua. Ketika si Lihai mengira dia telah melakukan sesuatu yang hebat, tidak diketahui bahwa di belakang pintu itu bersembunyi Dang Zhua, melengketkan tubuhnya di dinding. Setelah menaburkan tepung pukau itu, dan tanpa menoleh ke belakang barang sekalipun, si Lihai pun menghunus pedang pendek yang tersembunyi balik jubahnya, lantas dengan sekuat tenaga menikamkan ke tubuh yang dikiranya Dang Zhua. Namun setelah tikaman kedua, si Lihai merasakan sesuatu yang aneh. Dia merasa pedangnya tidak tertikam pada sebuah tubuh manusia. Karena itu, diwasangkai oleh rasa yang tidak pas, dia tarik kain yang menutup sosok di atas ranjang itu. Dia terperanjat, sebab benda yang berada di bawah kain itu ternyata hanya bantal-bantal yang diatur dan ditata sedemikian rupa seperti tubuh manusia. "Bajingan!" serunya dalam kaget dan menyesal. Dan, ketika dia berseru begitu, dia terlambat berpikir, di belakangnya, di pintu yang terbuka itu, Dang Zhua siap menerjangnya. Dengan sekali loncat, menggunakan kakinya yang kuat, Dang Zhua menyepak si Lihai yang kemudian jatuh mencium ranjang. Karena keadaannya yang tidak siap, maka kalaupun dia hendak bangkit dan membalas, dia terlambat beberapa detik. Dan itu cukup berguna bagi Dang Zhua untuk melancarkan pukulan baru. Pukulan-pukulan Dang Zhua seperti permainan sendiri. Maksudnya, dia memukul dengan leluasa tanpa tangkisan dan kemudian balasan yang berimbang dan sepatutnya dari si Lihai. Setelah berjalan beberapa menit dengan permainan seperti itu, akhirnya apalagi yang hendak dikata bila bukan mengakui bahwa si Lihai ternyata tidak sesuai dengan julukan yang diharapkannya. Dia hanya tong kosong berbunyi nyaring. Dengan mudah Dang Zhua membekuknya. Dia mengaduh-aduh, tapi semua sia-sia. Tadinya Dang Zhua berpikir hendak menendangnya saja keluar, misalnya menceburkannya ke dalam laut. Namun setelah duduk sejenak mengambil napas, tiba-tiba datang gagasan yang
menurutnya cendayam bagi manusia seperti si Lihai.
Berkata Dang Zhua dalam hati, 'Tidak baik memberi kesempatan menjadi manusia bagi
seorang perewa. Lebih baik bajingan tengik itu dihentikan sebagai manusia."
Apa maksud Dang Zhua? Apakah itu berarti dia memutuskan untuk membunuh si Lihai?
Ya!
Ketika tidak ada cadangan maaf dalam hati orang yang kecewa, tindakan yang muncul diujung pertimbangannya adalah membiarkan kehendak-kehendak manusiawinya dikalahkan naluri-naluri hewani.
Yang dia lakukan sekarang adalah menekan bagian tubuh tertentu yang dikuasai betul titik-titiknya, dan dengan seketika selesailah si Lihai. Tidak terbayangkan dalam diri si Lihai, akan  menjadi bekas manusia dalam cara seperti terhadap tikus di dalam kamar ini.
Dang Zhua memperhatikan wajah si Lihai yang berangsur memutih. Lalu dia termenung.
Katanya dalam hati. "Sahabatku Hua Xiong harus terkejut melihatmu, kawan."
Dia tidurkan si Lihai di ranjangnya, mengatur letaknya seperti benar-benar tidur, paling tidak menyerupai kebiasaannya, menutup dengan selimut di sekujur tubuh dari kepala sampai kaki.
Katanya seorang diri, "Jarak kesombonganmu akan berkurang separo jalan, sahabatku Hua Xiong."
Setelah itu dia menunggu kedatangan Hua Xiong. Manakala kelak didengarnya langkah-langkah Hua Xiong berjalan ke arah situ sambil menyanyi-nyanyi dengan nada tidak laras, cepat-cepatlah dia bersembunyi di kolong tempat tidur.


***

Hua Xiong kelihatan amat yakin akan keberhasilan yang didambanya. Dia datang ke sini pada keesokan paginya. Saking yakin akan rencananya, dia berjalan ke kamarnya ini dengan gerakan-gerakan lincah. Kakinya seperti dua batang karet yang melantak-lantak di lantai kapal. Mulutnya yang lebar, yang model zhu kou itu, tumben-tumbennya menyanyikan katakata yang selintas terdengar sebagai hafalan. "Sembunyikan kekuatan kita seraya mengulur waktu  Supaya musuh tidak bisa mengukur kekuatan kita Maka dengan gampang kita mengelabui mereka." *) Lalu dia berdiri di depan pintu kamar. Dia tidak segera mendorong daun pintu dan ke dalam. Dia masih melihat ke belakang dan merapikan peranggul pakaiannya. Dengan begini dia manfaatkan jeda untuk memantapkan rencana yang telah tersusun dalam ingatannya: bagaimana membangkitkan pembenaran terhadap kebohongan yang kreatif. Gambaran yang muncul dalam pikirannya sekarang: Dia akan masuk ke dalam kamar. Dia akan melihat tubuh Dang Zhua tergeletak di atas tempat tidur. Dia akan pura-pura terkejut. Dia akan pura-pura menjerit karena terpukul. Dia akan pura-pura meratap-ratap dan mengerang-erang. Dengan begitu orang-orang yang berada di kamar sebelah-menyebelah akan datang ke situ. Ya, dia mulai. Satu, dua, tiga. Dia dorong pintu. Dia masuk ke dalam kamar. Dia tarik selimut yang menutup sosok di atas tempat tidur itu. Pelan-pelan... Tapi, dia meloncat, kaget sekali. Kepala yang baru tersingkap dari selimut itu adalah kepala Si Lihai. Mata Si Lihai mendelik dan lidahnya menjulur ke luar. Hua Xiong pun menjerit. Dan menjerit benaran. Bersamaan dengan itu pintu kamar tertutup dengan cara dibanting. Dang Zhua telah keluar dari kolong tempat tidur dan kini berdiri di pintu yang baru ditutupnya. ''Satu hal yang kaulupa sahabatku, Hua Xiong, Si Lihai ini muridku. Mana mungkin ilmu murid melebihi gurunya. Kau kira dia benar-benar lihai. Kau keliru, yang menjulukinya menjadi Si Lihai adalah aku, sekadar untuk merangsangnya menjadi perpanjangan tanganku,'' kata Dang Zhua. Sejenak Hua Xiong terbengong. Mulutnya kelu. Dia tak sanggup menggunakan mulutnya untuk mewakili pikirannya. Pikirannya pun butek, buntu, gelap, hitam, aswad. ''Aku tidak sangka, kau, temanku sejak kecil, telah melakukan kebodohan yang menyedihkan. Kebodohan yang menyedihkan berarti: kau mengira dirimu pandai, tapi kepandaianmu ternyata tidak dialas oleh otak yang cerdas. Kau membiarkan otakmu diisi tahi, seperti udang.'' Wajah Hua Xiong memutih. Tapi alih-alih dalam gelagap begini dia memperoleh peluang membuka mulut. Dengan sulit dan ragu dia mencoba menegakkan benang basah. Katanya plegak-pleguk, ''Demi nama Yan Lou Wang*), kalau aku bohong, lidahku langsung dipotong oleh Chu Jiang Wang**). Aku tidak mengerti ini semua.'' ''Babi lu!'' kata Dang Zhua. Serta merta dia meloncat ke arah Hua Xiong dan memberi pukulan yang tidak diduga-duga. Hua Xiong terputar. Tapi dia segera berbalik hendak melawan dengan sikap untung-untungan. Ya, dia bukan orang yang memiliki latar belakang ilmu kelahi seperti Dang Zhua. Dang Zhua memilikinya, walaupun selama beberapa tahun terakhir, sampai dia diselundupkan oleh Liu Ta Xia ke dalam ekspedisi muhibah ini, digunakannya untuk tujuan-tujuan cemar. Maka, ketika Dang Zhua memberi pukulan susulan yang bergerak demikian cepat, kelihatan pula bagaimana Hua Xiong mencoba melakukan persiapan untung-untungannya. Hua Xiong menangkis di arah pukulan dikirim, lalu memberi pukulan balasan di arah yang lain. Tapi memang, sebab pukulannya adalah pukulan untung-untungan, keruan saja pukulan ini membentus udara kosong. Akibatnya tangan yang terarah ke situ telah menyeret tubuhnya untuk doyong dan kemudian menubruk dinding. Dengan cepat kaki Dang Zhua bermain. Dia berputar seperti loncatan kucing, atau barangkali juga loncatan jago, dan pada loncatan yang dilakukan dengan intuitif tanpa kehilangan perhitungan yang cermat, kakinya naik sampai batas kepala, dan kaki itu memang benar-benar mendarat di kepala Hua Xiong. Langsung pening kepala Hua Xiong dan kunang-kunang beratus berkedip-kedip di matanya. Lantas Hua Xiong menyentak-nyentakkan kepala secara naluriah belaka, mungkin supaya terjadi keseimbangan dalam kepalanya itu. Hanya sedetik atau mungkin kurang, bersamaan dengan itu nalurinya yang sebenarnya, yang bilanglah lebih jujur, telah mendesaknya untuk membebaskan diri. Apa maksudnya membebaskan diri? Kelihatannya Hua Xiong menyadari betul ketidaksanggupannya untuk menghadapi Dang Zhua. Pasti ingatan-ingatan masa kanak, di mana dia selalu kalah pada Dang Zhua, telah mendorongnya untuk membebaskan diri. Membebaskan diri baginya berarti menghindar. Dan menghindar baginya pula berarti lari. Tak ada pilihan, memang. Hua Xiong termasuk orang yang bernaluri wandu. Jika dia punya ekor, ekornya pasti akan terlipat masuk ke dalam selangkang. Dia harus kabur. Dia lihat pintu. Dari situ dia akan meloloskan diri, lari, terbirit-birit, tunggang-langgang, aprit-apritan. Itu dia lakukan, memang. Dia meloncat ke pintu, membukanya, dan membantingnya, lalu melesat ke atas, naik tangga-tangga seperti meloncat-loncatinya, bukan satu demi satu melainkan satu lompatan sekaligus dua anak tangga. Di buritan, di dekat andang-andang yang bertali, kakinya tersandung, dan dia pun terpelanting, terkatah-katah, dada jungkang-jangkit, hidung kembang-kempis, napas ngos-ngosan. Tak disangkal dia sangat takut, memang. Dia berdiri sejenak di situ, antara ragu namun kudu, melihat air laut di bawah. Tiada seorang pun di buritan tempat dia berdiri sebelum melompat nekat ke bawah.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 12:22
Di bawah sana, kira-kira lima puluh meter dari kapal induk ini ada sebuah perahu nelayan yang diam di tempat, hanya teroleng-oleng kecil oleh angin yang menerpanya. Nelayan itu baru saja melemparkan jalanya. Setelah melemparkan jalanya, dia diam sebentar lalu duduk bersandar di barel.

***


Hua Xiong tak punya waktu. Mumpung Dang Zhua belum nampak di situ mengejarnya. Ya, sudah. Daripada dipukul Dang Zhua seperti memukul karung pasir - bersamaan dengan suara di hati yang kian keras mengimbau-imbau kesadarannya pada kesalahan - dia pun melompat ke bawah, ke laut. Byur! Dia berenang mendekati perahu nelayan itu. Dia langsung naik ke atas perahu itu. Nelayan pemiliknya tak dapat berkata apa-apa, apalagi berbuat apa-apa. "Kembangkan layarmu menuju ke darat sana," kata Hua Xiong kepada nelayan itu. Suaranya mewakili perasaan takut, gugup, tapi juga harapan bebas. Nelayan itu kelihatan bingung. Itu tampak di dahinya. Dia tidak paham akan kalimat yang diucapkan Hua Xiong. Walau begitu, dengan melihat isyarat-isyarat tangan yang dibuat Hua Xiong, naga-naganya nelayan itu mengerti juga akan apa yang dimaui Hua Xiong. Dengan segera, dalam keadaan diri yang kagok dan badan agak gemetar, nelayan itu menarik tali layar yang mengikat layar di andang-andang, dan mengembangkannya. Diarahkannya perahu itu ke tenggara. Ketika perahunya bergerak, dia lupa bahwa dia baru saja memasang jala.


***


Setelah perahu nelayan itu berpindah letak, barulah Dang Zhua muncul di geladak, tingaktinguk di situ beberapa saat, menyadari bahwa tidak ada orang yang dicarinya di situ. Dia berlari ke belakang, ke bagian buritan, berdiri di situ, dan melihat ke bawah. Jarak perahu nelayan itu sudah lumayan jauh. Angin bagus telah mempercepat lajunya. Dang Zhua menyerapah, "Bajingan!" Sama sekali Dang Zhua tidak membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Hua Xiong pada waktu-waktu mendatang: besok-lusa-tulat-tubin. Namun sedikit-banyak dia meragukan hati Hua Xiong. Bisa saja Hua Xiong akan melakukan sesuatu yang jahat. Memang begitu ujungnya. Hua Xiong nanti akan menjadi tokoh jahat tersendiri, bukan di Semarang, bukan di Tuban, melainkan di Cirebon. Di Cirebon, dia akan bersekutu dengan tokoh di balik biang kerok yang menciptakan sihir ular siluman.


***


Dang Zhua termenung melihat ke arah perahu yang menjauh itu. Dalam termenung demikian akhirnya dia sampai pada pertimbangan nurani untuk menyingkap rahasia siapa dirinya yang sebenarnya. Katanya dalam hati, "Agaknya sekarang sudah tiba saatnya aku harus berpihak pada nuraniku. Aku kira, sekarang inilah waktunya aku mengaku terus terang kepada Sam Po Kong tentang siapa sebenarnya Hua Xiong dan Dang Zhua, aku. Pengakuan tentang kebenaran memang selalu membawa risiko kesulitan. Tapi aku yakin, kesulitan yang mungkin timbul karena pengakuan akan rahasiaku selama ini malah akan membuatku lebih enteng. Sebab, ketika aku menganggap ada kesulitan yang akan melilit hidupku karena pengakuan yang terus terang akan siapa diriku, hubungannya semata-mata lahiriah. Aku yakin, kesulitan yang lebih menyiksa, yang sebetulnya telah melilit aku selama ini, adalah yang menyangkut keleluasaankeleluasaan batiniah; "Makanya aku harus bicara pada Sam Po Kong. Bicara secara terus terang adalah sama dengan menguras jiwa dari ketertekanan, ketakmerdekaan, ketakberdayaan..."


***


Maka amabakdu, di ujung permenungan dan pertimbangan yang cerdas lagi matang, berangkatlah Dang Zhua ke darat, di Simongan, menemui Ceng Ho, menyatakan segala hal-ihwal dirinya, perkaranya, rahasianya.
Ceng Ho baru saja membasuh muka dengan air yang ditimbanya dari luweng di dalam gua.
"Ada hal mustahak yang harus saya bicarakan dengan Anda, Laksamana," kata Dang Zhua kepada Ceng Ho.
"Soal apa gerangan?" tanya Ceng Ho, duduk di depan gua itu.
"Terlebih dulu saya mohon maaf kepada Anda, sebab selama ini saya tidak jujur kepada Anda," kata Dang Zhua.
Ceng Ho tersenyum. Di luar dugaan Dang Zhua, dan ini membuatnya kaget sekali, Ceng Ho berkata, "Saya tahu. Kau mau mengaku sekarang bahwa kau bukanlah juru tulis asli. Kau adalah mata-mata Menteri Liu Ta Xia."
Wajah Dang Zhua langsung pucat.
Dengan bijak Ceng Ho berkata, ''Tidak perlu kaget. Saya sudah tahu sejak awal, sejak kalian melakukan kesalahan tentang puisi dinasti Tang.''
Wajah Dang Zhua makin pucat. Mulutnya menganga: bahkan burung merpati bisa masuk ke dalamnya. Dia tak mampu bilang apa-apa, tidak ba, tidak pula bu.
''Betul begitu kan?'' tanya Ceng Ho.
Dang Zhua mengangguk. Oleh perasaan aneh yang melintas dalam hatinya, tiba-tiba dia soja,  bersujud di kaki Ceng Ho, dan menangis.
''Ampuni saya, Sam Po Kong,'' katanya.
Ceng Ho malah menarik lengan Dang Zhua supaya tidak usah sujud seperti itu. Katanya, ''Bukan kau yang salah. Kau dan Hua Xiong hanya korban hasut dari Liu Ta Xia. Sudah, berdirilah. Dengan kemauanmu minta ampun, kau telah menyadari kesalahanmu.''
''Apakah Anda memaafkan saya, Sam Po Kong?'' tanya Dang Zhua dengan lugu sekali.
''Saya ini muslim. Sehari lalu baru merayakan Idul Fitri. Sudah merupakan kewajiban yang sukarela bagi saya untuk memaafkan lahir dan batin. Dan, sebagai manusia, yang tidak luput pula dari kesalahan-kesalahan, saya wajib pula meminta maaf lahir dan batin darimu.''
''Oh!'' kata Dang Zhua. Hanya perkataan ini yang terucapkan lewat mulutnya. Keharuannya telah sampai ke titik puncak. Tangisnya berubah sedu-sedan. Setelah beberapa saat kemudian, Ceng Ho menepuk-nepuk bahu Dang Zhua. ''Sudahlah, memang beginilah hidup. Tidak semua waktu dalam faal manusia terus dijubahi kesenangan,
ketegaran, kecukupan. Sebab, di dalam hidup manusia ada juga waktu kesusahan, kelemahan, kekurangan. Ada waktu manusia tertawa, ada waktu manusia kecewa, ada waktu manusia mencederai, ada waktu manusia mengobati, ada waktu manusia merangkul, ada waktu manusia mendengkul. Yang penting, dalam semua waktu, manusia bertanggung jawab atas hidupnya yang diberikan Tuhan kepadanya.''
''Saya insaf, Sam Po Kong,'' kata Dang Zhua, masih menangis.
''Itu paling baik,'' kata Ceng Ho. ''Sekarang, mana Hua Xiong?''
''Itulah yang ingin saya katakan, Sam Po Kong,'' kata Dang Zhua.
''Memangnya kenapa dia?'' tanya Ceng Ho.
''Dia tidak insaf seperti saya,'' jawab Dang Zhua. ''Karena saya insaf, dia marah pada saya, dan dia bermaksud membunuh saya.''
''Membunuhmu?''
''Tapi tidak berhasil. Dia memang menggunakan tangan orang lain. Dan tangan itu sudah saya lumpuhkan. Tangan itu yang ditugaskan membunuh saya, tapi karena tangan itu tidak awas, malah dia yang terbunuh.''
''Tangan katamu?'' tanya Ceng Ho. ''Tangan siapa? Apa itu tangan Ging Jian yang kalian juluki Si Lihai? Orang yang selama ini kalian bayar untuk membuat catatan-catatan tentang pelayaran ini?''
Dang Zhua menganga lagi. Kali ini mulutnya membuka lebih besar dari tadi, kira-kira bahkan ayam betina bisa masuk ke dalamnya. Dalam menganga heran, mukanya tidak pucat lagi, tapi memerah bagai bunga padma. Dia tak sanggup berkata apa-apa, tapi dalam hatinya dia mengakui: Ceng Ho ini sakti.
''Jadi Hua Xiong memperalat Ging Jian untuk membunuhmu?'' kata Ceng Ho dalam nada kalimat tanya yang datar. ''Lantas sekarang di mana Hua Xiong?''
Dang Zhua tak cepat menjawab. Dia masygul, tapi menyesal pula. ''Ini yang membuat saya syak memikirkannya, Sam Po Kong,'' jawabnya. ''Dia telah melarikan diri.''
Ceng Ho pun tak cepat menanggap. Dia mengangguk tapi dia bertanya pula, ''Melarikan diri?''
''Benar, Sam Po Kong,'' kata Dang Zhua. ''Ketika saya menyusuli, saya lihat perahu yang ditumpanginya sudah jauh di tenggara.''
Ceng Ho mengangguk-angguk. Dia menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan lembut. Tak ayal, yang dilakukannya ini adalah menekan ji*) untuk turun ke arah tan-dian**).
Ini artinya, dia mendahului mengerti ji-kung***), pengetahuan dasar meditasi.


***

Jadi, sedangkan Dang Zhua yang semula dengki pada Ceng Ho, tapi sekarang memujanya, apalagi orang-orang yang tidak terhasut, seperti para huakiau****) atau pribumi yang memiliki tanah air ini. Mereka semua berharap memperoleh pengetahuan dan ilmu dari Ceng Ho. Sebagai seorang allamah dengan banyak ilmu yang dikuasainya, khalayak membutuhkannya, memintanya tinggal lebih lama lagi di sini. Malah Jawahir memberikan seluruh tanah perbukitan Simongan kepadanya supaya ia betah di sini.
''Bukan saja seluruh tanah perbukitan Simongan ini saya berikan buat Tuan, melainkan juga silakan pilih dan jadikan putri-putri saya sebagai istri ataupun gundik Tuan,'' kata Jawahir.

Keruan Ceng Ho cengar-cengir. Jawahir memang tidak tahu Ceng Ho seorang sida-sida, orang yang dikebiri.
Kalakian berkata Ceng Ho dengan sikap yang khuduk, ''Maksud baik Tuan sangat kami hargai.''
''Ini bukan basa-basi,'' kata Jawahir meyakinkan. ''Kami orang pesisir biasa bicara blakblakan.
Silakan manfaatkan keduanya: ibu pertiwi dan ibu rumah tangga.''

***


Ternyata bukan sekadar omong. Pada esok harinya Jawahir datang menemui Ceng Ho, membawa anak-anak gadisnya yang rata-rata berumur 12 dan 14 tahun, sebanyak 27 orang, dari sembilan istrinya.

Dijajarkannya anak-anak gadisnya itu di hadapan Ceng Ho dan perwira-perwiranya serta anggota misi pelayaran muhibahnya. Anak-anak itu kelihatan lugu, malu-malu, tapi menyerahkan diri pada leluri yang berlaku zaman itu.

Dalam memperkenalkan anak-anaknya Jawahir tidak kalah lugu pula. Katanya, ''Mereka memang masih bau kencur. Susunya belum keluar. Tapi dalam satu-dua tahun lagi sebagian dari mereka sudah ranum, siap jadi kanca wingking.'' ''Terima kasih,'' kata Ceng Ho.

***


Ceng Ho terkesan pada sikap orang-orang Semarang yang ramah dan terbuka. Karena itu dia betah di sini. Setelah tinggal di sini sepuluh hari akhirnya dia memutuskan tinggal lebih lama lagi. Perbukitan Simongan yang telah diberikan oleh Jawahir dimanfaatkannya untuk banyak hal. Antara lain di bawah pohon-pohon rindang dibangunnya tempat orang belajar pelbagai pengetahuan. Banyak orang berdatangan ke situ untuk bertanya tentang ilmu kesehatan, ilmu pertanian jamu, ilmu pemasaran, ilmu pertahanan, ilmu bela diri, ilmu agama, dan ilmu-ilmu lain yang menyangkut pengetahuan tamadun. Sekitar setengah tahun - sampai Sin Cia - Ceng Ho berada di Semarang. Di atas bukit Simongan yang paling depan - yang sekarang, sejak 1954, lokasinya telah menjadi kampus Seminari Teologi Baptis Indonesia yang dibeli dari pemilikan terakhir keluarga Oey Tiong Ham - didirikan rumah-rumah tempat tinggal Ceng Ho dan perwira-perwira serta rohaniwanrohaniwan dari agama-agama yang dianut sebagian besar orang Cina: Konghucu, Tao, dan Buddha. Adapun khususnya Wang Jing Hong, yang kemudian lebih dikenal dalam sebutan Jawa sebagai Dampo Awang, memilih membangun tempat tinggalnya di dekat gua. Di situ dia merasa manunggal dengan alam, seraya menikmati kicau burung jalak yang dihadiahkan kepadanya dari Ratu Subandar di Bali. Ternyata ketenangan jiwanya bergantung pada menikmati warna putih dari dua ekor jalak bali itu - putih salju dengan aksen-aksen kuning emas, biru, dan hitam. Bisalah gerangan dibayangkan betapa kacau pikirannya andaikata kedua burung kesayangannya itu lepas dari sangkar. Mungkin bakal terjadi kiamat kecil bagi jiwanya. Entahlah.


***


Saban hari, di luar tugasnya sebagai juga pengajar bagi orang-orang yang bertanya, Wang Jing Hong memanjakan burungnya dengan sangat telaten. Rupanya berlaku syarat-syarat kewajiban yang sukarela bagi pencinta burung untuk menjadikan dirinya sebagai jongos bagi hewan piaraannya itu: memberi makanan pilihan dua kali sehari, mengganti air minum setelah membersihkan wadahnya, memandikannya, dan membersihkan tahinya dengan ujung jari-jari tangannya sendiri. Selain itu, saban hari pula, sambil menggantung sangkar burung itu di kasau depan rumah tempatnya tinggal, dia mengajak bicara dengan tutur dan tekanan kata yang lembut berirama dan bernada rayu. Jika tidak, dia menyanyi, merangsangkan halwa-telinga bagi burungnya itu. Kalau sekiranya burung yang sepasang itu bisa bicara, niscaya mereka akan mengaku hafal akan nyanyian yang selalu diulang-ulang oleh Wang Jing Hong: ''Zi Wu*) boleh seribu kali mengganti nama Menjadi apa saja selain Chen Cheng Gong**) Tetap saja warnanya ditentukan Zheng Shu***) Tapi warna jalak putihku ditentukan Tian.''****)


***

Melihat tabiat Wang Jing Hong yang kelihatannya damai itu, Ceng Ho menyimpulkan, sebagaimana yang dikatakannya pada suatu hari, ''Kau telah menyatukan jiwamu dengan burungmu itu.''
''Tidak,'' kata Wang Jing Hong menangkis dengan khuduk. ''Aku sedang mengajar dia untuk menyatukan jiwanya dengan jiwaku.''
''Dan, apakah dia mengerti arahanmu?''
''Mestinya mengerti,'' kata Wang Jing Hong. ''Binatang selalu mengenal siapa tuannya.''
''Kau benar sekali,'' kata Ceng Ho. ''Binatang memang mengenal tuannya, tapi sering manusia tidak mengenal Tuhannya. Setelah kita tinggal agak lama di sini, aku lihat pelbagai awak kapal kita mulai kedodoran: minum, mabuk, pendek kata tidak senonoh.''
''Apa itu artinya kita segera saja berlayar lagi?''
''Berlayar ataupun berlabuh, sama, masing-masing ikhtiar memiliki risiko kekuatiran dan masalahnya yang khas.''
''Jadi, apakah itu artinya kita belum akan berlayar dalam waktu yang dekat ini?''
''Kita punya dua masalah di darat sekarang. Pertama kita tidak boleh meninggalkan murid yang kepalang menggantungkan harapan kepada kita sebagai guru. Dan kedua, kita harus memasang perangkap terhadap Hua Xiong.''
Dari dua masalah itu, mana yang menjadi prioritas?''
''Tanggung jawab kepada negara. Kita mengemban misi muhibah.

***

Demikian khairat itu dirancang dan diejawantah!
Kesimpulannya, ekspedisi Ceng Ho memiliki catatan tersendiri di Semarang. Di sini Ceng Ho tinggal lebih lama daripada tempat-tempat lain yang pernah dan yang akan juga dikunjungi di
waktu-waktu mendatang sampai ke Srilangka, India, Arab, dan Afrika.

Itu pula yang diceritakan dengan bangga oleh Tukang Cerita kepada murid-muridnya yang datang dari Jakarta ke Semarang sini.
Murid yang paling suka bertanya itu, kini mengacung lantas bertanya dengan serius, wajah kusam tapi hati berpengharapan. Tanyanya, ''Jadi, kalau saya tidak salah tangkap, alasan Ceng
Ho tinggal lebih lama di Semarang, sebab dia memikirkan orang-orang yang telah menggantungkan diri sebagai murid kepada guru. Benarkah begitu, Pak?''

''Benar sekali,'' jawab sang Tukang Cerita.
''Memangnya berapa bayarannya sebagai guru sehingga dia berkorban begitu rupa?''
''Dia melakukan pelayanan kemanusiaan. Dia adalah utusan negara besar. Yang dia lakukan itu dedikasi, tanggung jawab kemanusiaan, hubungan kebudayaan.''
''Untuk itu dia tidak minta honorarium khusus seperti orang-orang sekarang?''
''Dia tidak mempersoalkan itu.''
''Kok bisa sih?''
''Bisa saja dong.''
''Wah, kalau zaman sekarang, tunggu ayam kentut dulu baru ada orang yang mau mengajar tanpa meminta honorarium.''
Tukang Cerita ketawa, ''Ah, apa iya?''
''Ya, Pak,'' kata murid itu berkeras. ''Buktinya guru-guru zaman sekarang ini, tidak di kota besar ataupun tidak di kota kecil, semuanya komersial. Sekolah dibikin seperti lahan sapi perah. Orang tua murid diperas habis-habisan dengan berbagai macam pungutan disertai alasan-alasan yang tidak masuk akal, supaya mau mengeluarkan uang sebanyaknya saja.''

Kelihatannya muka Tukang Cerita mengencang. ''Siapa bilang itu?'' katanya. ''Itu kemarin, pada zaman Orde Baru, bukan zaman sekarang. Orde Baru memang orde uang. Uang dalam bahasa Jawa dieja 'harto'. Ya, cocok dengan pemimpinnya yang juga bernama 'uang'.''
''Ah, Pak, tapi zaman sekarang, zaman yang konon bernama Orde Reformasi-tapi reformasi setengah hati-toh korupsi yang artinya maling uang negara, masih merajalela dan keranjingan. Buktinya sampai hari ini pun Indonesia tetap sakit.''

Tukang Cerita tertawa terkekeh-kekeh. Dia pegang kepala muridnya itu dan menguyak-uyak rambutnya.
''Nah, saya ingin tanya, Pak,'' kata murid itu. ''Kira-kira, kalau kita bilang Indonesia sakit, apa ada obatnya yang bisa menyembuhkan sakitnya?''

''Wah, repot,'' kata Tukang Cerita. ''Bangsa kita memang sudah rusak, bebal, bejat, kakekane, ditawan oleh pikiran-pikiran yang sepenuhnya bendawi. Di zaman gila seperti ini, nilai-nilai
moral terjungkir-balikkan seenaknya di bawah aksioma: siapa yang berkuasa dia yang menentukan selera dalam tatanan. Nilai-nilai gila yang berlaku sekarang adalah: orang dihormati bukan lantaran harkatnya tapi hartanya, bukan lantaran martabatnya tapi manfaatnya.''

''Pak, memangnya siapa orang berkuasa yang telah merancukan tatanan itu?''
''Banyak sekali. Semua yang pakai jas-dasi, baik yang duduk di lembaga eksekutif maupun legislatif. Huh, capek banget membicarakan kerusakan mereka. Mereka punya kemaluan tapi
tidak punya malu. Berbicara sampai mulut sobek untuk membela hak rakyat miskin sembari duduk berpangku kaki di dalam mobil hitam dan masuk hotel berbintang dengan selibritas.''

''Aduh, sebagai generasi penerus, saya jadi pesimistis, Pak.''
''Iya, kalian generasi penerus, tapi bapak-bapak itu, yang sudah kadung senang menikmati kekuasaan, lantas menjadikan diri mereka sebagai 'generasi terus-menerus'.''
''Ha-ha-ha, saya ingin ketawa, Pak.''
''Ya, ketawalah.''
''Tapi, astaga, tidak ada alasan-alasan lucu yang bisa mendorong perasaan saya untuk ketawa.''
''Kalau begitu, ya sudah, menangislah.''
''Tapi, astaga, cadangan air mata saya juga sudah habis tuh.''
''Kalau begitu, ya sudah, aksi bengong saja.''


*******

"Kedengarannya ini aneh," kata Wang Jing Hong.
Ceng Ho tidak terpengaruh oleh pernyataan itu. Dia tetap mendesak ingin tahu, "Siapa?"
Dan Wang Jing Hong menyebutnya datar, "Tan Tay Seng."
Berkerut dahi Ceng Ho. Tak ayal dia kaget. Tapi tak satu pun kata yang terucapkan lewat mulutnya.
Adalah Ci Liang yang menyambar. Dia memberikan tanggapan tidak percaya. Dan dia mengucapkan dengan gairah ditekan. Katanya, "Itu mustahil. Bukankah dia bermaksud kawin dengan Ling Ling?"
"Ling Ling itu jinak-jinak merpati."
"Kira-kira apa itu maksudnya?"
"Ling Ling tidak tertarik berumah tangga dengannya."
Dan ada jeda. Semua termangu.
Setelah itu Ceng Ho mengencerkan, "Tunggu," katanya, "Dari mana informasi ini didapat?"
"Sumber yang terpercaya," kata Wang Jing Hong.
"Ingat, yang terpercaya belum tentu yang dipercaya," kata Ceng Ho. "Nah, siapa sumber itu?"
"Bun Hau."
Ceng Ho terdiam atas maunya. Dia tercenung. Dia mengucapkan sesuatu yang tidak terkupingkan oleh rapat, "Menyedihkan," katanya.
"Begitulah keadaannya," kata Wang Jing Hong.
Suara Ceng Ho kini terdengar. Katanya, "Sulit dipercaya."

****
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 12:23
Apakah itu nasib buruk Tan Tay Seng?
Kalau benar begitu keadaannya sekarang, kasihan.
Tapi bagaimana ihwal yang sesungguhnya?
Ceng Ho sendiri berkata: sulit dipercaya.
Ci Liang pun berkata: mustahil.
Lantas di mana sebenarnya Tan Tay Seng?
Dan di mana pula sebenarnya Ling Ling?
Orang tua Ling Ling membuka usaha minuman yang tampaknya lebih maju ketimbang yang sebelumnya di Negeri Campa. Dan Ling Ling yang mengelola semuanya.

Tan Tay Seng mewujudkan rindunya yang lama ingin melihat Borobudur dan oleh karena itu dia sudah pergi ke sana. Dengan bekal kepercayaan dia tahu benar kemampuannya untuk
hidup di sana.

***


Borobudur dibungkus kabut ketika Tan Tay Seng tiba di sana. Berhari-hari dia berjalan seorang diri ke sana. Kendatipun sukar yang membuatnya susah, dia paksa kakinya berjalan mencapai tujuan. Nama Borobudur, betapapun, telah merangsang semangatnya. Apalagi di saat hatinya diombang-ambingkan oleh cinta yang tidak tersambung. Belum lagi rintangan-rintangan yang mengaral jalannya menuju ke Borobudur. Tiga-empat kali dia diadang begal dan garong yang hendak merampas barang bawaannya. Terpaksa dia berkelahi menunjukkan hukum: hanya yang kuat yang berhak hidup. Tapi di luar dugaannya, orang-orang yang berhasil dikalahkannya itu terus mengikuti dari belakang, bukan sebagai kawanan yang mengintai, melainkan orang-orang yang mengaguminya dan kemudian meminta dia mengajar ilmu kelahinya.


***

 
Gambaran Borobudur yang muncul dalam angannya dari cerita sang ayah yang diperoleh dari bacaan ternyata tidak sama dengan kenyataannya. Maka, ketika dia kagum melihat kenyataannya, dia pun merasa lebih kecil dari usianya. Sejak kecil ayahnya telah sering menceritakan tentang seorang sarjana Buddha, namanya Hwi-Ming, yang menetap di sekitar Borobudur, mengajar tentang kebenaran Buddha, dhamma *), bagi keluarga Kerajaan Syailendra. Yang membuatnya penasaran selama itu, sehingga hatinya benar-benar tertawan pada Borobudur, adalah melihat dengan mata sendiri keindahan candi yang diceritakan ayahnya itu. Dia ingat betul kata ayahnya, padahal ayahnya pun hanya membaca dari pewartaan Hwi-Ming bahwa Borobudur merupakan keajaiban luar biasa, suatu hasil kebudayaan paling tinggi yang pernah disumbangkan pemeluk agama Buddha kepada dunia. Kini dia telah melihatnya.  Dengan berjalan kaki dari Simongan lewat Panjangan ke Gunungpati - demikian jika saja Wang Jing Hong ingat - Tan Tay Seng berangkat ke Ungaran di selatan, dan terus lagi ke selatan, berpuluh-puluh kilometer di jalan belukar, licin, berbatu, terkadang dengan kalakanji yang mengotori jubahnya, akhirnya tibalah di Borobudur, tempat yang selama itu telah muncul dalam puisi-puisi yang dinyanyikannya. Di sinilah Tan Tay Seng yang sebenarnya. Di sinilah dia bersukacita menyatu dengan alam. Di sini pula dia makin memahami akan kebesaran Tuhan, yaitu Tuhan dalam pengertian Buddha yang menunjukkan pada hubungan: kebuddhaan selaku ketuhanan. Dengannya dia belajar melihat dirinya dan alam sebagai kenyataan insani di atas kenyataan alami yang sejati. Siapa nyana dengan ini dia dapat menjadi manusia sejati pula seperti dalam ajaran Buddha: "tidak mudah terlahir sebagai manusia yang hidup dalam ketakkekalan dan mendengar kasunyatan. **) Dalam terlempar seorang diri atas mau sendiri seperti sekarang Tan Tay Seng makin mampu merenung. Dia menempati sebuah rumah bambu yang dibangunnya sendiri di pinggir sungai, di atas tanah yang diizinkan oleh Tritama, bupati di situ. Tritama sangat terkesan padanya, pada perangainya, serta pada bakatnya yang terampil memainkan alat-alat musik khas Cina antara yang digesek, 'teh-yan'; yang dipetik, 'p'i-p'a' yang mirip lute, dan 'ch'in' yang mirip siter; kemudian yang ditiup, 'hsuan' dan 'siau-ling' yang merupakan peta suling, dan 'sheng' bentuk organ yang ditiup pula. Dia membuatnya sendiri dengan memanfaatkan bahan-bahan yang ada di alam sekitarnya.

*****



***


Alih-alih Tan Tay Seng sekarang mengganti haluan dalam hidupnya. Bagai seorang pertama saja laiknya, dia menyepi di pinggir sungai itu, seakan khalwat di tengah kesunyian, hidup sendiri namun tetap bukan sebatang kara. Nanti begal dan garong yang telah dikalahkannya itu akan datang ke tempatnya ini, meminta diajarkan ilmu silat, dan karenanya tempatnya pun menjadi seperti roda yang berputar dengan semangat. Padahal, jika Tan Tay Seng mesti berkata apa adanya, dan itu berarti berkata jujur, sebetulnya selain alasan yang sudah disebut di muka, alasan lain, yakni alasan yang tak pernah diutarakannya dengan terbuka, adalah dia cukup merana ditolak cintanya oleh Ling Ling. Itu bukti juga betapa sering lelaki yang jantan pun menjadi rapuh oleh cintanya pada perempuan. Namun, walaupun Tan Tay Seng tidak pernah menyinggung masalah hatinya, kira-kira Tritama, yang telah kenyang makan asam-garam, dapat menduga-duga keadaan hati Tan Tay Seng itu. Itu sebabnya, pada suatu sore, sambil menunggu terbenamnya matahari di barat, Tritama berkelakar dengan Tan Tay Seng. Katanya, ''Apa kau patah hati?'' Tan Tay Seng pandai menutup keadaan dirinya. Dia tertawa terbahak-bahak, seakan sedang memasang zirah untuk menghadapi serangan senjata mematikan. Yang sejatinya, dia nyinyir sendiri terhadap hatinya. ''Patah hati?'' ujar Tan Tay Seng dengan nada memegah-megah diri. ''Tak usah ya. Itu terlalu cengeng. Hatiku bukan terbuat dari adonan ragi singkong. Lagi pula, dunia bukan hanya didiami oleh satu saja perempuan.'' Tritama ikut tertawa juga. Tapi tawanya mengandung arah ralat untuk membuat Tan Tay Seng bangun. Katanya, ''Ya, betul. Tapi jangan lupa bahwa harus selalu ada satu dulu perempuan yang mengawali pengalaman lelaki untuk mengenal, menghayati, dan memahami perikejantanannya. Setelah satu perempuan itu, barulah boleh lelaki bicara dua atau tiga, dan bahkan berlanjut sampai dua ratus atau tiga ratus perempuan yang menjadi koleksi istriistrinya.'' Tan Tay Seng terkinjat. Lalu dia termangu. ''Anda berbicara seperti seorang pemborong,'' katanya. ''Memangnya ada berapa istri yang menjadi koleksi Anda itu?'' Tritama yang ketawa terbahak. ''Baru dua ratus sembilan puluh sembilan.'' ''Dua ratus sembilan puluh sembilan?'' tanya Tan Tay Seng. ''Ya,'' jawat Tritama, ''tinggal satu saja jumlahnya akan menjadi tiga ratus. Tapi, ini yang ingin saya buktikan bahwa angka satu untuk menjadikannya menjadi tiga ratus, ternyata tidak gampang juga. Sebab, mengambil perempuan untuk dijadikan 'penekan' dalam rangka mewujudkan 'penakan', semata-mata bukan didasarkan pada 'mau' semata-mata, tapi lebih dulu 'sreg'. Ini pengetahuan dari orang yang berpengalaman, bukan dari orang berpengetahuan yang hendak bicara pengalaman.'' ''Apa bedanya itu?'' ''Teori dibuat berdasarkan praktik.''
Tan Tay Seng mengangguk. Pikirannya tidak teduh. Penasarannya mengusik. ''Lantas, semua yang dua ratus sembilan puluh sembilan itu dipakai semua?'' tanyanya.
''Tentu saja,'' jawab Tritama.
''Jadi berapa anak Anda semuanya?''
''Saya belum pernah menghitung. Biasanya perempuan yang pandai menghitung. Lelaki malas menghitung.''
Tan Tay Seng menganga. Pasti dia tidak bisa memahami jalan pikiran dan sikap hidup Tritama. Meskipun begitu dia merasa tidak perlu kaget pada kenyataan ini.



***


Sekarang, jika Tan Tay Seng yang sebenarnya ada di sekitar Borobudur, lantas siapa gerangan Tan Tay Seng yang dilaporkan sebagai orang sipil dari pelayaran muhibah Ceng Ho yang berbuat onar di bagian kota? Sudah pasti ada seseorang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Siapa pun boleh menyangka-nyangka bahwa ada seseorang yang mengetahui betul akan kepergian Tan Tay Seng ke Borobudur untuk membumi di sana, lantas orang ini pun menyamar dengan sengaja memakai nama Tan Tay Seng. Apakah ini suatu tindakan iseng, ataukah sesuatu yang disengaja? Tidak jelas. Siapa pula sebenarnya orang itu, tidak jelas! Untuk sementara, Ceng Ho sendiri pun belum menyuruh orang menyelidikinya. Dia juga tidak berkata bahwa buah yang busuk akan jatuh dengan sendirinya. Padahal dia tahu betul bahwa pengalaman-pengalaman insani ditimba dari hukum alam belaka.  Tapi ada kalimat Ceng Ho di dalam rapat yang diterima orang-orang sebagai kias. Yang diucapkannya adalah peribahasa ''Ya tzu ch'ih huang lien, sui k'u pu neng yan''. Artinya, ''Jika seorang dungu memakan tanaman yang pahit (huang lien), dia tak cakap menerangkan kepahitannya.''

****


***


Justru Dang Zhua yang curiga, jangan-jangan orang yang mengaku bernama Tan Tay Seng itu adalah Hua Xiong. Karena itu, pada suatu malam dia datang ke bagian sungai di tengah kota - kini bagian Petudungan - di rumah makan milik orang tua Ling Ling. Kala itu malam agak mendung pertanda sebentar lagi hujan. Di situ dia duduk di bagian yang tersembunyi, di pojok ruang, menikmati minum yang boleh menghangatkan tubuh. Apa nama minuman yang dapat menghangatkan badan tapi bukan arak yang memabukkan? Orang Cina sudah mengenalnya ribuan tahun yang lalu: wedang jahe. Di sudut itulah Dang Zhua menikmati minuman jahenya. Percakapannya dengan pemilik rumah makan, jadi bukan sekadar rumah minum seperti yang dipunyai keluarga Ling Ling di Negeri Campa sana, dimulai dengan banyak basa-basi, dan hari itu terasa dengaren. Padahal, yang sebetulnya diharapkan Dang Zhua adalah jawaban atau kecurigaannya, yaitu keterangan dari orang tua Ling Ling bahwa orang yang menyebut dirinya Tan Tay Seng itu adalah Hua Xiong. Tapi basa-basi yang diaturnya, yang dalamnya ada pancingan-pancingan, ternyata tidak berhasil membuka tudung
rahasia yang diharapkannya. Sebab, ketika dia mengucapkan nama itu, nama Tan Tay Seng, Ling Ling langsung mematikan omongannya. ''Sebaiknya jangan sebut nama itu di sini,'' kata Ling Ling. Maaf,'' kata Dang Zhua dan hampir saja merasa kehilangan cara untuk melanjutkan percakapan. Tapi kemudian dengan cepat dia memperoleh cara menyambungkannya. Katanya, ''Sumpah kualat disambar geledek, saya tidak tahu apa yang terjadi. Bukankah...?''
''Jangan teruskan,'' kata Ling Ling menyentak sambil meninggalkan meja di depan Dang Zhua yang baru ditaruhnya secangkir ronde, wedang jahe dengan onde-onde merah-putih-hijau.
Dang Zhua menoleh ke arah ibu Ling Ling. Kepalanya bergerak dengan kerut di dahi yang kira-kira berarti: ada apa ini? Lantas ibu Ling Ling menghampiri Dang Zhua.
''Dia memang tidak suka mendengar nama itu,'' kata sang ibu.
''Tapi bukankah mereka saling suka?''
''Ya, tapi Ling Ling berpikir terlalu maju. Dia ingin orang yang menyukainya tidak lagi bermain-main dengan perempuan yang lain.''
''Memangnya apa yang terjadi?''
''Tan Tay Seng sering ke rumah bordil di ujung sungai sana.''
Dang Zhua mengangguk-angguk mengerti. Pertanyaan yang melingkar dalam pikirannya tentang seseorang yang dicurigainya, agaknya mulai membawa langkahnya untuk mendapatkan jawabannya.
Dia putuskan untuk pergi ke rumah bordil di ujung sungai itu.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 12:31
Rumah bordil di ujung sungai yang dimaksud bukanlah rumah dalam pengertian yang layak. Atapnya dari alang-alang, tiang-tiangnya dari bambu, dindingnya dari gedek, dan lantainya tanah tak berlapis semen. Berhubung rumah yang layak tidak beratap alang-alang, bertiang bambu, berdinding gedek, berlantai tanah, maka sebutlah dengan tepat rumah bordil ini adalah sebuah gubuk. Yang berkuasa atas gubuk itu adalah seorang jaruman setengah baya yang bercakap carut, segala najis yang mampet di comberan merupakan hiasan dalam bahasa tuturnya sehari-hari. Jika dia kaget, tiada soal kagetnya lantaran senang atau lantaran sedih, pasti saja dia akan memekik kata 'eh kont*l'. Tak banyak orang peduli bahwa ini disebabkan semata oleh gangguan saraf dan kejiwaan yang terjadi dari konflik dan represi, yang membuat antara naluri dan kecenderungan menyatakan diri dalam pelbagai gejala, terulang-ulang menurut yang telah terbingkai di mulutnya. Namun, salah satu hal yang mestinya menarik, khususnya menurut para garong, adalah melihat mulutnya ketika dia tertawa: seluruh gigi depannya, atas dan bawah, terbuat dari emas murni. Sayang, biasanya tidak ada garong yang tergoda merampoknya. Sebab, banyak orang gentar melihat keadaan tubuhnya. Badannya gemuk sekali, melebihi batas ukuran perempuan tambun yang lumrah. Pantatnya saja melebar mencapai lingkar dua depa. Jika dia berjalan, langkahnya lamban nian, bagai itik pulang petang. Orang biasa memanggil mucikari ini dengan nama dari kata yang biasa dia pekik-pekikkan dalam senang atau pun sedih, yaitu: Yu Kont*l. Padahal nama yang diberi oleh orang tuanya dengan upacara bubur merah-putih adalah: Juminah.


***


Mengenai mata pencahariannya, mesti dikatakan bahwa hanya ada dua bilik dalam gubuk maksiat Juminah. Ketika Dang Zhua datang ke situ, masih ada lima orang lelaki peminat mesum yang duduk menunggu giliran selesainya dua lelaki yang berada di dalam dua bilik itu. Mereka yang menunggu itu duduk di bangku luar gubuk sambil mengunyah-ngunyah kacang-goreng yang disediakan Juminah dalam mangkok-mangkok tanah liat. Walaupun sundal yang tersedia di gubuk milik Juminah ada tujuh orang, hanya dua orang di antara mereka yang menjadi favorit para pesuka mesum. Salah seorang di antara yang dua itu adalah yang dipanggil Rah. Di luar kelaziman dari rata-rata keadaan kulit orang pesisir yang banyak berwarna legam karena gigitan matahari yang lebih leluasa di sini, Rah terbilang ''putih''. Juminah berkata bahwa ''putih''-nya Rah sebab perintahnya yang dipatuhi untuk saban hari melulur kulit dengan mangir yang bercampur aduk antara kunyit, bengkuang, melati, dan dupa. Ditambah ramuan tertentu yang dipuji-pujinya, berupa bubuk yang dileleti di bagian organ dagangannya, maka tak heran nama Rah sangat populer di kalangan pesuka maksiat.

***


Padahal tempat pesuka maksiat mencari kesenangan di Semarang waktu itu - atau dalam istilah Semarang sekarang: tempat orang melakukan royal - cukup banyak. Hanya sekitar seratus meter dari gubuk milik Juminah, yaitu di dekat jembatan gelugu -sekarang Jembatan Pekojan - ada bordil yang lebih tua dengan personel sundal yang pada musim paceklik bisa mencapai dua lusin, tapi bordil ini jarang diminati imigran dari Cina. Alasan yang didengar oleh Dang Zhua dari mulut salah seorang pelanggan di gubuk Juminah, yang mencerocos leluasa seperti rem blong, seraya mengunyah-ngunyah kacang goreng, adalah, ''Lonte yang sudah dipakai orang Koja itu rata-rata jebol, longgar-longgar, tidak enak.'' Dan, setelah itu orang-orang yang mendengar, menanggapi omongannya dengan cerita tentang nama-nama buah: terong, ketimun, pisang raja, dan seterusnya. Semua nama buah yang mereka ucapkan dengan ketawa timbul dari pikiran-pikiran yang sangat remeh, dihubungkan dengan buah yang mereka kenal betul, yaitu buah zakar. Itulah, memang, dunia lelaki, mulut lelaki, otak lelaki, di rumah-rumah bordil.

 
***


Tentang Rah, lelaki yang sedang menunggu di bangku luar seraya memain-mainkan mulut mengunyah kacang gorengnya itu berkata dengan harapan orang memujinya. ''Kalau bicara soal Rah, saya yang paling tahu.''
''Bagaimana?'' tanya Dang Zhua.
''Rah itu ciamik sekali,'' katanya.
''Ciamik bagaimana?''
''Untuk membandingkannya, lihat saja ayam alas atau bunga hutan. Ayam alas lebih gurih daripada ayam piaraan, bunga hutan lebih wangi daripada bunga kebun. Pokoknya siapa yang pernah main dengan Rah merasa sama untungnya seperti Shan Yu*) mendapatkan Wang Zhao Jun.''**)
''Ah, itu berlebih-lebihan. Itu kelewatan.''
''Percayalah saya,'' kata orang itu menandas. ''Kenyataannya memang begitu. Rah itu pulen, gurih, singset.''
Dang Zhua pun mendadak mendapat gagasan melancung. Dia manfaatkan omongan orang itu dengan membuat pancingan. Katanya, ''Apa itu yang menyebabkan Tan Tay Seng tergila-gila pada Rah?''
''Ah, semua orang tergila-gila pada Rah.''
Dang Zhua memancing lagi. Dan berlagak sok tahu. Maksudnya supaya dengan begitu orang yang memuji Rah tersebut agak keranjingan geram. Katanya, ''Tapi Tan Tay Seng malah akan membikinnya jadi bininya.''
''Ah, Tan Tay Seng itu mulut besar. Masih baru di sini tapi lagaknya sudah seperti Hou-Tei.***) Kalau sudah kena batunya, baru dia tahu rasa.''
Dang Zhua merasa berhasil memancing. ''Tunggu,'' katanya mendapat gagasan baru. ''Apa Anda yang bernama Ping Lok?''
''Bukan,'' sahut orang itu dengan segera dan dengan tidak ramah. ''Saya Hian Bing. Semua orang tahu. Saya sudah sepuluh tahun di sini.''

Dang Zhua berlagak karib. ''O, ya, betul,'' katanya. Tak urung dengan lagak karib seperti ini dia memancing kiamat kecil-kecilan bagi orang yang mengaku bernama Hian Bing itu. ''Nama Anda memang disebut-sebut oleh Tan Tay Seng.''
''Apa?'' tanya Hian Bing seperti tidak percaya.
''Ya, betul, saya baru ingat,'' kata Dang Zhua.
''Memangnya apa yang dia katakan?'' tanya Hian Bing penasaran.
''Maaf,'' kata Dang Zhua membuat wajahnya seperti sedih.
''Ada apa?'' tanya Hian Bing.
''Tan Tay Seng kelihatannya kurang menghormati Anda.''
''Apa?''
''Ya, saya yakin.''
''Bagaimana Anda bisa menyimpulkan begitu?''
''Dari kata-katanya sendiri.''
''Apa yang dia katakan?''
''Wah, menusuk sekali. Wajar jika Anda harus marah.''
''Betulkah?''
''Betul. Dia bilang Anda hanya seekor celurut busuk yang merangkak di kaki Rah.''
Bukan kepalang naik pitamnya Hian Bing. Dia bangkit dari bangku, membanting kacang goreng di tangannya, berteriak liar seperti serigala lapar.
''Setan keparat! Akan kupatahkan batang lehernya sekarang juga!''
Lalu dia melesat ke dalam gubuk. Di depan dua bilik gedek itu dia berteriak sampai urat-urat
lehernya keluar. Teriakannya itu adalah teriakan menantang.
''Hei, kalian yang di dalam. Kalau salah satu di antara kalian Tan Tay Seng, cepat keluar ke sini, biar kupatahkan batang lehermu!''
Dang Zhua senang. Dia berpikir, alangkah mudah menghasut Hian Bing. Tapi sekaligus dengan berpikir begitu dia mulai juga menaksir-naksir bahwa Hian Bing bukan termasuk seseorang yang punya kemampuan berhitung dalam berkelahi. Sebab, orang yang cepat marah, dan marahnya disertai dengan bengak-bengok seperti ini niscaya dapat diukur kemampuannya membela diri. Biasanya, demikian yang diketahui Dang Zhua sebagai seseorang yang biasa berada di dalam lembah bayang-bayang dunia bengkok, orang yang
marah berteriak-teriak sebenarnya tergolong pribadi yang keropos.
Tapi bukan itu tujuan Dang Zhua memanas-manasi Hian Bing. Tujuan utamanya, memang,  mencari jawaban akan siapa orang yang telah memakai nama Tan Tay Seng itu. Keterangan tentang orang itu setidaknya sudah direkamnya dalam ingatan melalui pernyataan Hian Bing  yang mengatakan Tan Tay Seng itu orang baru di sini. Berarti memang benar, orang yang memakai nama Tan Tay Seng adalah seseorang dari orang-orang sipil di kapal-kapal rombongan Ceng Ho yang turun di Semarang dan menjadi imigran di sini.
Dalam hati Dang Zhua berkata dengan yakin, ''Mudah-mudahan kau Hua Xiong bedebah.
Sepandai-pandaimu melompat seperti tupai, kau tidak akan bisa menipu beruk.''


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 12:38
Bagaimana cara Dang Zhua membuktikan kecurigaannya itu?
Selama tiga hari berturut-turut dia datang ke gubuk mesum milik Juminah dan nongkrong di situ menunggu Tan Tay Seng palsu yang diyakininya adalah Hua Xiong. Tapi selama itu orang yang dicurigainya itu tidak kunjung hadir.
Dang Zhua dapat menunggu dengan sabar. Yang tidak tenang, dan tiap malam pula datang ke gubuk milik Juminah untuk bertemu Tan Tay Seng palsu itu, adalah Hian Bing. Saban malam, jika dia datang ke gubuk mesum Juminah, pasti pertanyaannya sama kepada sang mucikari, ''Tan Tay Seng datang?''

Dan jawab Juminah dengan jengkel, ''Yang ditanya selalu Tan Tay Seng. La mbok yang ditanya bidadariku. Kacang gorengku dimakan, tapi kacang-kacangku yang lain tidak disentuh.''


***


Sekarang, bagaimana Dang Zhua tahu bahwa Tan Tay Seng palsu memang benar-benar Hua Xiong?
Keterangan yang satu bahwa dia adalah orang baru di Semarang sudah direkamnya dalam ingatan. Tapi, bukankah orang sipil yang turun di Semarang lumayan banyak? Apa ciri Tan Tay Seng palsu yang dapat meyakinkan diri Dang Zhua bahwa orang itu adalah Hua Xiong?
Dang Zhua harus memancing kembali. Ini mengasyikkan. Pada malam ketiga hadir di gubuk mesum Juminah itu, dia berpura-pura menyesal seandainya nama Tan Tay Seng yang disebutnya ternyata tidak sama dengan Tan Tay Seng yang dimaksud Hian Bing.
''Tapi, mungkin saya salah,'' kata Dang Zhua. ''Apa Tan Tay Seng yang saya sebut itu sama dengan Tan Tay Seng yang Anda maksudkan?''
Hian Bing masa bodoh. ''Sama atau tidak sama, dia harus merasakan bagaimana aku patahkan lehernya,'' katanya.
''Maksudku gini,'' kata Dang Zhua. ''Apakah Tan Tay Seng yang Anda maksudkan itu adalah Tan Tay Seng yang bermulut lebar?''
''Ya, memang dia,'' kata Hian Bing. ''Mulutnya bukan mulut, melainkan congor babi.''
''Kalau ketawa mulutnya sampai ke kuping?'' tanya Dang Zhua.
''Ya. Tidak ada manusia yang lebih jelek dari dia.''
Dang Zhua mengangguk. Sekarang dia yakin, Tan Tay Seng palsu tak lain tak bukan adalah Hua Xiong belaka.


***


Lantas, di mana gerangan Hua Xiong?
Dia tidak tinggal dalam sebuah rumah dengan perasaan tenang dan merdeka.
Walaupun tinggal dalam sebuah rumah, yaitu rumah yang disewanya dengan kelicikannya,  dia tidaklah tinggal di situ sebagaimana orang-orang yang bebas leluasa. Karena dia merasa bersalah, yang tepat adalah: dia bersembunyi di rumah itu. Rumah tempatnya bersembunyi itu terletak di bagian pinggiran permukiman, di tempat yang banyak beceknya, dan di sekitarnya tumbuh pohon-pohon turi - belakangan setelah ramai seratus tahun kemudian bernama
Karangturi. Dalam persembunyian di rumah itu, dia merancang-rancang untuk pergi ke barat, ke tempat Ceng Ho pernah memenggal kekuatan sihir yang menjelmakan siluman ular Boleh dikata Hua Xiong mujur sebab sampai sejauh ini belum terpergok oleh Dang Zhua di gubuk mesum Juminah itu. Beruntung karena selama hampir tiga pekan, ketika Dang Zhua bolak-balik datang ke situ, Hua Xiong tidak pernah datang ke situ. Ketika pada suatu malam, yaitu malam ini, dia datang ke gubuk mesum itu, Juminah menarik tangannya supaya keluar.
"Lebih baik kamu pulang saja," kata Juminah.
Hua Xiong bingung tapi cepat tanggap. "Ada apa?"
"Di dalam ada Hian Bing," kata Juminah. "Dia bakal mematahkan batang lehermu."
Hua Xiong terkinjat. Dia tatap wajah Juminah dalam gelap hanya sentir yang berjarak dua meter, digantung di gubuknya itu dan semprongnya terbungkus kain merah.
"Kenapa dia mau patahkan leherku?" tanya Hua Xiong.
"Tidak tahu," jawab Juminah. "Tapi dia selalu bilang begitu."
Hua Xiong diam sebentar. Kemudian dia memperoleh gagasan tertentu. Dia bertanya, "Sekarang di mana orang yang mau mematahkan leherku itu?"

"Di bilik kedua," kata Juminah. "Tapi jangan ganggu dia."
Namun Hua Xiong tidak mengindahkan itu. Dia mengeluarkan pedangnya. Lalu dia masuk ke bilik yang disebut Juminah.

***

Di dalam bilik itu Hian Bing sedang melakukan tarian binatang buas. Dia menganggap dirinya singa, dan Rah yang berada di bawahnya adalah kambing. Dia merasa terhibur melihat Rah mendesah-desah kemudian menjerit-jerit.

Tak lama kemudian Hua Xiong masuk ke situ, mengejutkan Hian Bing.
"Apa betul kamu mau mematahkan leherku?" kata Hua Xiong seraya menghunuskan pedangnya itu di wajah Hian Bing yang berada dalam posisi menungging.
Bukan buatan kagetnya Hian Bing. Dia mencolot sambil menghardik, "Bangsat kamu, Tan Tay Seng!"
Tapi bersamaan dengan kagetnya yang membuatnya hilang tanda-tanda nafsunya, dia kaget lagi untuk hal yang lain, yaitu karena pedang di tangan Hua Xiong itu telah tertikam ke dalam perutnya.
"Kamu yang bangsat!" kata Hua Xiong menekan lebih kuat pedangnya ke dalam tubuh Hian Bing.
Rah menjerit melihat ini. Dia melesat keluar dengan telanjang bulat.
Hian Bing berusaha berdiri, dan dia tidak yakin kakinya cukup kuat untuk melakukan itu.
Ketika dia mencoba berdiri dalam cara yang tidak mudah, bersamaan dengan itu Hua Xiong menarik pedangnya, tapi kemudian menikamkan kembali ke leher Hian Bing.
Hian Bing pun tumbang. Tampaknya kurang meyakinkan bahwa dia masih bisa hidup.
Melihat keadaannya yang sekarat, buru-buru Hua Xiong keluar, melarikan diri. Tinggal Juminah, Rah, dan sundal-sundal yang lain menjerit ngeri di situ.


***

Besoknya tersiar kabar di mana-mana tentang peristiwa pembunuhan di gubuk mesum Juminah. Kabar itu masuk juga ke dalam rumah makan milik Ling Ling. Seseorang bercerita seakan-akan menyaksikan adegan yang dituturkan ini. Katanya, "Hian Bing masih menggenjot-genjot, lantas Tan Tay Seng meloncat ke arahnya, sing, menikamkan pedangnya, cus, masuk langsung ke perut Hian Bing, plek, mati!" Seseorang lainnya yang mendengar cerita itu lantas bertanya, "Hei, coba terangkan dulu, apa maksudnya sing, cus, dan plek dalam ceritamu itu." Yang ditanya lantas menjawab gampang-gampangan, "Sing itu bunyi loncatannya, cus itu bunyi tikaman pedang yang masuk ke dalam perut, plek itu bunyi jatuhnya tubuhnya ke lantai." Wajah Ling Ling memerah mendengar cerita itu. Dia berpaling lantas masuk ke dalam. Apa yang dia lakukan di dalam? Apabila di dalam nanti wajahnya mengencang mewakili perasaan marah, atau gusar, atau kecewa, barangkali dengan begitu
boleh ditafsir bahwa dia peduli pada Tan Tay Seng. Untuk hal-hal tertentu peduli bisa juga ditafsir sebagai suatu kecenderungan tersembunyi yang mengarah ke rasa senang. Benarkah begitu? Hanya Ling Ling yang tahu.
***
Yang sama sekali tidak diketahui Ling Ling adalah nama Tan Tay Seng yang disebut-sebut orang selama ini sebagai pesuka maksiat di gubuk Juminah itu adalah bukan lelaki yang pernah menyatakan cintanya kepadanya. Namun, apa mau dikata, selalu terjadi dalam kehidupan manusia, bahwa orang lebih kerap percaya pada gunjingan atau hal-ihwal yang tidak dilihatnya sendiri. Harus dikatakan bahwa Ling Ling termasuk orang yang menjadi korban gunjingan. Oleh gunjingan itu maka sekian bulan lampau dia telah mengusir Tan Tay Seng - Tan Tay Seng asli - sehingga Tan Tay Seng yang serius mencintainya itu terpaksa pergi berkelana, meninggalkan Semarang dan membumi di Borobudur. Andai saja nanti tersingkap hal yang sebenarnya, pasti orang pertama yang kecele adalah Ling Ling. Tapi bagaimana dia harus menyatakan menyesalnya, dan entah di mana Tan Tay Seng. Kalakian maka Ling Ling pun tercenung. Dengan duduk diam sejenak di dalam, dia mengilas balik peristiwa-peristiwa masa lampau yang baru saja berlalu. Mungkin dia terlalu letih hari itu. Tiga bulan setelah mukim di Semarang, dan bekerja siang dan malam di rumah makan milik orang tuanya, khususnya meramu minuman yang merupakan keahliannya, memang membuatnya tidak santai

******
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 12:45
Sekian bulan lalu ketika rumah makannya ramai, dan badannya amat letih, datang dua orang lelaki yang baru saja selesai bermesum di gubuk Juminah. Salah seorang di antara kedua orang itu adalah imigran yang sudah lama di Semarang. Dia tak lain adalah Hian Bing. Dia berceloteh dengan suara keras tentang sundal di gubuk Juminah yang baru dipakainya.
"Wah, tidak tahu, barangnya ditaruh apa, sampai seretnya seperti itu," kata Hian Bing.
"Bayangkan saja, orang baru itu, Tan Tay Seng, sampai empat kali."
"Empat kali bagaimana?" tanya sahabatnya.
"Empat kali permainan," kata Hian Bing keras-keras.
Dan bukan kepalang geramnya Ling Ling mendengar itu.


***

Besoknya -dan ini terjadi tiga bulan lalu - ketika Tan Tay Seng yang benar, yaitu Tan Tay  Seng yang menyatakan cintanya kepada Ling Ling sejak masih di Negeri Campa, datang ke rumah makan miliknya yang cepat sekali dikenal di Semarang ini, Ling Ling langsung menghardik, mengusirnya.

"Pergi kamu dari sini," kata Ling Ling.
Tan Tay Seng terbingung, terbengong, tak paham. "Ada apa ini Ling?" tanyanya.
Bukan menjawab dengan kata, Ling Ling menanggap dengan mengayunkan tangan, menampar muka Tan Tay Seng. "Dasar kutu loncat," kata Ling Ling.
Tan Tay Seng berusaha memahami yang tidak dipahaminya ini, menarik lengan Ling Ling karena Ling Ling akan masuk ke dalam dan memohon. "Tunggu, Ling," katanya.
Ling Ling jengkel. Dia menyampluk tangan Tan Tay Seng yang menarik lengannya itu.
"Jangan pegang-pegang," katanya. "Aku benci kamu."
Tan Tay Seng meloncat mendului Ling Ling lantas berdiri di hadapannya, memohon dengan sungguh. "Tolong katakan Ling. Ada apa sebenarnya?"
Walaupun Tan Tay Seng telah berlaku demikian jujur untuk mendapat jawaban atas tindakan Ling Ling yang alih-alih aneh begini, tetap tidak berhasil. Ling Ling telah benar-benar termakan oleh gunjing yang melahirkan butarepan di otak, di hati, di jiwa, di raga.


***


Setelah itu, masih beberapa kali, tanpa lelah Tan Tay Seng datang menemui Ling Ling, bertanya akan perubahan sikap Ling Ling yangdemikian mendadak, tapi sepanjang itu Ling Ling menutup diri, membungkus diri dengan benci.... Itu sebabnya, dalam keadaan hati yang nyaris terkecundang, Tan Tay Seng berangkat ke selatan, ke Borobudur, yang kebetulan telah lama pula dirindukannya. Sebelum berangkat ke sana - andai saja Wang Jing Hong mengingatnya -Tan Tay Seng berpamit dengan kata-kata tersusun rapi, "Aku berangkat ke selatan, karena dia yang telah merampas kedamaian jiwa, menggantinya dengan peperangan yang enggan berhenti. Siapa tahu dalam kebingungan memijak bumi aku pungut bibit-bibit kemenangan hati..."

***


Kini Tan Tay Seng mengenang.
Ling Ling pun baru saja beranjang ke masa kemarin.
Dua-duanya hanya mengingat rangkaian yang demikian terbatas.
Justru Dang Zhua, yang selama itu menyebalkan, tapi sang waktu yang perkasa gerangan dapat mengubah perangai, adalah orang yang menemukan jawaban ganjil dari rangkaian peristiwa-peristiwa itu.

***


Dang Zhua datang menemui Ceng Ho di Simongan. Sore itu Ceng Ho sedang duduk menyaksikan dengan hormat - sebagai sikap sehari-harinya yang sangat toleran terhadap pelbagai keyakinan yang  dianut oleh anak buahnya - akan arahan-arahan pendeta Kong Hu Cu yang menerangkan kepada umatnya tentang bagaimana melestarikan isyarat sembahyang yang benar. Sebagian dari umat yang meriung di hadapan pendeta itu adalah pribumi yang telah diperistri oleh imigran dari Cina tersebut. Kepada mereka, mesti diajarkan sendi-sendi keyakinan dari peradaban Cina yang telah tua itu. "Mengapa kita perlu mengenal dengan betul tata cara sembahang kita?" kata sang pendeta kepada umatnya. "Sebab, melakukan sembahyang secara salah dapat berarti menyepelekan kesucian Tuhan. Tata cara sembahyang kita ini sudah dibakukan sejak seribu sembilan ratus tahun yang lalu, yaitu sejak zaman Chun Chiu*), pada masa hidup nabi kita sendiri, Konghucu. Mula-mula saya ingin tekankan, jangan karena melihat sembahyang itu pelik, maka sembahyang itu dianggap beban. Betapapun sembahyang itu suatu suka cita." Dang Zhua memberi tabik dengan anggukan kepala kepada pendeta itu yang segera pula melihatnya. Lalu Dang Zhua berjalan mendekati Ceng Ho. Dia duduk di dekatnya. Maunya dia bisa berkata langsung akan apa yang diketahuinya, tapi dia melihat Ceng Ho masih memberikan apresiasi kepada pendeta itu menanamkan pengetahuan. ''Kita harus memberi hormat pula kepada tiga unsur alam di mana kita hidup,'' katanya. ''Ketiga unsur itu adalah sang empunya langit atau Thian Kwan, sang empunya bumi atau Tee Kwan, dan sang empunya air atau Cui Kwan. Ketiga unsur ini kita sebut sebagai Sam kwan tay tee. ''Dalam melakukan sembahyang kepada Thie Kong atau para leluhur, kita melakukannya dengan sam kwi atau tiga kali berlutut, dan kiu gio atau sembilan kali menyembah. Ingat, ketika kita melakukannya dengan memegang hio, haruslah tangan kanan kita ditutup dengan tangan kiri. Seperti begini.''
Dan pendeta itu melakukannya, memegang hio, menggerakkannya dari batas pusar ke atas dan berhenti pas di muka dada.


***


Setelah itu, Ceng Ho menoleh kepada Dang Zhua yang berada di dekatnya, di tempat yang atas mau Dang Zhua berada di bawah letak duduk Ceng Ho.
''Ada yang hendak Anda katakan?'' tanya Ceng Ho kepada Dang Zhua.
''Ya, Sam Po Kong,'' jawab Dang Zhua. ''Laporan yang didapat Wang Jing Hong itu ada benarnya tapi ada juga tidak benarnya.''
''Apa maksudnya itu?'' tanya Ceng Ho.
''Benar, ada keonaran dari orang sipil yang sudah mukim di sini. Namun tidak benar bahwa orang yang disebut-sebut sebagai Tan Tay Seng adalah pelakunya,'' kata Dang Zhua.
''Apa dengan begitu Anda sudah mendapat jawaban yang sebenarnya siapa orang yang  dimaksud itu?'' tanya Ceng Ho.
''Sudah, Sam Po Kong,'' jawab Dang Zhua.
''Siapa?''
''Hua Xiong.''
''Sudah dapat ditebak,'' Ceng Ho berdiri. ''Kita harus bertindak.''


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 12:50
Ceng Ho pun membuat rapat kecil di Simongan. Yang hadir terbatas. Ada Wang Jing Hong, ada Ci Liang, dan perwira lain, termasuk tentu saja Dang Zhua.
''Memang benar, ada orang sipil yang ikut dalam pelayaran dan telah menetap di kota, yang membuat onar di tempat mesum,'' kata Ceng Ho membuka pertemuan. ''Orang itu bukan Tan Tay Seng, melainkan seseorang yang saya ingin supaya dia dapat segera ditangkap.''
''Siapa?'' tanya Wang Jing Hong.
''Biar Dang Zhua yang menyampaikan kepada kita,'' kata Ceng Ho sambil mempersilakan Dang Zhua bicara.
''Tan Tay Seng sudah lama tidak berada di Semarang,'' kata Dang Zhua. ''Dia mengembara ke selatan.''
Wang Jing Hong tersentak di tempatnya duduk. Ingatannya kembali dengan segar. Dia kaget.
''Astaga,'' kata Wang Jing Hong. ''Memang betul. Saya hampir lupa. Tan Tay Seng berpamitan pada saya sebelum dia berangkat.''
Namun wajahnya mengerut. Dalam dirinya berlangsung pertanyaan yang tak terjawab.
''Lantas, siapa Tan Tay Seng yang dilaporkan oleh Bun Hau itu?''
''Kita pasti tidak menyangka,'' kata Dang Zhua. ''Dia Hua Xiong.''
Semua ternganga. Mulut mereka seakan mengucapkan nama itu dengan rasa tidak percaya.

''Keonaran yang dia lakukan bahkan di luar dugaan akal sehat kita,'' kata Dang Zhua. ''Tiga malam lalu malah dia membunuh seseorang di rumah bordil.''
''Apa?'' Wang Jing Hong berseru.
''Membuat keonaran di rumah bordil menunjukkan dirinya sudah benar-benar bejat,'' kata Ceng Ho.
''Tunggu,'' kata Wang Jing Hong. ''Jangan-jangan ini laporan yang tidak benar juga. Siapa yang melapor pada Anda.''
''Saya yang melapor pada kita,'' jawab Dang Zhua.
''Apa itu maksudnya?'' tanya Ci Liang.
''Artinya sederhana, saya yang menyelidik, dan saya mendapatkan jawaban itu di tempat kejadian,'' jawab Dang Zhua.
''Karena itu, saya minta sebelum berlayar tiga bulan lagi, harus sudah ditangkap itu lengkanas yang memalukan, perewa yang merusak citra.''
Dang Zhua menunjukkan jari. Katanya dengan memohon, ''Izinkan saya melakukannya. Saya sanggup melakukan dengan kedua tangan saya ini.''
''Silakan,'' kata Ceng Ho.


***


Masalahnya, bagaimana cara menguntit Hua Xiong sekarang? Setelah Hua Xiong membunuh Hian Bing di gubuk mesum milik Juminah, hanya ada dua kemungkinan yang akan dilakukan Hua Xiong. Dia takut mendatangi tempat itu. Atau justru dia makin berani. Ternyata ini bukan urusan takut atau berani bahwa Hua Xiong mengambil keputusan meninggalkan Semarang. Sejak kemarin-kemarin dia sudah membayangkan Cirebon. Persoalan kapan Hua Xiong meninggalkan Semarang ke Cirebon, atau ke mana pun, yang olehnya membuat dia luput dari jerat yang dipasang untuknya, adalah memilih dan menentukan waktu yang tepat sesuai dengan hitungan-hitungan tuahnya. Sementara itu waktu bergerak dengan perkasanya. Acapkali dalam keperkasaan gerak sang waktu ada perubahanperubahan yang terbit bersamanya, sehingga mau tak mau manusia mesti menyesuaikan diri dengannya. Jamaklah kiranya bila pilihan waktu yang sudah ditentukan oleh Hua Xiong untuk meninggalkan Semarang, terpaksa ditimbang ulang karena waktu yang bergerak perkasa tersebut.


***


Kurang dua bulan sebelum jatuh Sin-Cia - kira-kira jatuh pada ujung Desember menurut tarikh Masehi - hujan deras tumpah di atas Semarang, menggenang bagian kota yang datar. (Percayalah, Semarang sebagai 'kota' sudah terbangun secara alami sejak lebih 200 tahun lalu sebelum Ceng Ho menginjakkan kaki di Simongan: sebagai bandar yang bebas dan tidak terjangkau oleh kekuasaan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur. Sebagian penduduknya, di luar pribumi Jawa, adalah puak, suku, dan bangsa luar yang berbaur di sini, antara lain Melayu, Koja, dan tentu saja Cina. Banyak orang Cina yang menjadi cikal-bakal Semarang merupakan tentara-tentara yang melarikan diri dari tugasnya di Jawa Timur, baik dari masa pemerintahan Kertanegara maupun Raden Wijaya. Karena hujan deras itu yang menggenang sebagian besar dataran rendah Semarang ini, katakanlah mengubah rencana-rencana orang. Di antara orang yang terpaksa menyesuaikan diri dengan keperkasaan sang waktu, yang membuat Semarang menjadi bagai sebuah danau, tentulah Hua Xiong. Perewa dan lengkinas ini pun menunda niatannya berangkat ke barat. Bagi Ling Ling, tidak cepatnya Hua Xiong meninggalkan Semarang, adalah suatu berkah. Sebab, nanti bilamana Hua Xiong benar-benar tertangkap - dan percayalah pula bahwa itu tidak mudah bagi seekor belut - kemudian tersingkap bahwa Hua Xiong yang memakai nama Tan Tay Seng di gubuk mesum Juminah, niscaya hal itu akan membangun kembali kepercayaan Ling Ling. Namun kiranya tidak dapat diingkar pula, dalam keperkasaan sang waktu yang setia pada perubahan-perubahan dalam bergeraknya, di situ bukan hanya satu orang saja yang bisa berubah menyesuaikan diri terhadap kodratnya. Jika satu orang boleh berubah, jangan dikira orang lain tidak bisa pula berubah. Jadi, apa artinya itu? Saksikan saja perubahan fiil dalam berubahnya waktu.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 12:59
Di Borobudur sana, Tan Tay Seng menjadi seorang yang dianggap suhu. Begal dan garong yang dahulu berusaha merampoknya, kini telah menjadi cantrik-cantriknya yang sangat patuh. Tiap sore dia mengajarkan jurus-jurus silat. Tritama pun senang. Sebab dengan begitu, dia memperoleh aset keamanan bagi wilayahnya.

***

Pada suatu siang Tritama menyuruh orang menjemput Tan Tan Seng ke rumahnya untuk berangkat ke timur daya - sekarang bernama Kalibarang - menemui salah seorang istrinya di situ. Istri Tritama yang disebut ini memiliki anak semata wayang, putri berusia 15 tahun. Terus terang Tritama ingin menjodohkan Tan Tay Seng dengan Caya, putrinya yang dia lupa namanya. Alasannya Tritama yang dikatakannya sebelum berangkat ke sana, ''Saya ingin kamu benarbenar menjadi bagian dari keluarga saya.'' Tan Tay Seng yang belum menyimak arah percakapan Tritama lantas berkata semadyanya, ''Selama ini saya sudah merasakan perlakukan itu.'' ''Bukan itu maksud saya,'' kata Tritama melempangkan pikirannya itu. ''Saya ingin kamu kawin dengan putri saya.'' Tan Tay Seng tersentak. ''Apa?'' ''Ya, saya bersungguh-sungguh,'' kata Tritama. ''Tidak baik seorang lelaki hidup sebatang kara. Kamu harus punya mitra dalam hidup ini supaya kamu bisa tenang pergi tidur dan tenang juga pada bangun paginya.'' Tan Tay Seng mencoba berkelit, namun Tritama tahu bahwa pernyataannya berikut ini tidak diawasi oleh ketulusan, yaitu akal sehat dan hati waras: ''Saya sedang memutuskan untuk menjauhi rangsangan-rangsangan duniawi yang dibiaskan oleh perempuan.'' Maka tertawalah Tritama terbahak-bahak. ''Mana mungkin itu?'' katanya. ''Tikus-tikus hutan pun bisa ketawa mendengar umukmu tu.'' Tan Tay Seng bertahan. ''Saya akan berusaha,'' katanya. ''Hidup saya sudah jauh dari kenyataan akan adanya perempuan. Saya harus bisa menjauhi perempuan. Sebab, betapa sering dunia lelaki kacau balau karena perempuan.'' ''Salah besar,'' kata Tritama dengan suara tandas. ''Lebih kacau lagi dunia lelaki bila di dalam kenyataannya tidak ada perempuan-perempuan.'' Toh Tan Tay Seng cenderung bersikukuh. ''Saya bisa,'' katanya. ''Omong kosong,'' kata Tritama. ''Buktinya, lihat saja relief Borobudur yang di kiri itu. Betapa Buddha tetap duduk di sila dengan tangan kanan memegang lutut dan tangan kiri di bawah pusar *) tidak tergoda sedikit pun atas tarian genderang dari anak-anak perempuan Mara.'' Tritama tertawa terbahak-bahak lagi, lebih keras dari yang tadi. ''Itu Buddha, bukan Tan Tay Seng,'' kata dia. ''Sudahlah, jangan perdaya mata saya. Saya melihat dengan jelas, dalam darahmu ada gairah asmara, nafsu berahi, dan cinta kasih. Dan yakinlah, yang namanya gairah asmara, nafsu berahi, dan cinta kasih adalah sepenuhnya persoalan lelaki yang sama sekali tidak mungkin menjadi nyata dan dibenarkan tanpa ada unsur perempuan di dalam hidupnya. Nah, apa tanggapanmu?'' Tan Tay Seng icak-icak tak terpengaruh. Tapi dia tidak punya kata-kata yang pas mewakili keharusannya menanggapi bicara Tritama. Pernyataan paling jujur dan terucapkan secara intuitif serta merta lepas dari mulutnya. ''Entahlah,'' katanya. Lagi-lagi Tritawa tertawa. ''Saya senang mendengar tanggapanmu itu. Dengan begitu kamu sudah meragukan kepercayaan dirimu. Bagus, bagus, bagus.''


***


Akhirnya, berangkatlah juga Tan Tay Seng dengan Tritama menuju ke rumah istri sang bupati, yaitu istri ke-127. Istrinya itu kira-kira berumur lebih muda tiga-puluh tahun. Dan tidak seperti orang desa umumnya, istrinya itu tergolong yang rajin bersolek, mewangi-wangi diri, mengurai rambutnya sampai sepanjang lutut.
Kepada istrinya -yang menyambutnya dengan cara lazim sebagaimana umumnya wanita-wanita di pedalaman terhadap suaminya yang berkuasa- berkata Tritama kepadanya tanpa tedeng aling-aling, ''Saya ingin kawinkan anakmu dengan orang Cina ini.''
Istrinya mengangguk patuh. ''Sekersanya,'' katanya.
''Nah, panggil anakmu itu,'' kata Tritama.
Istri yang ke-127 itu membungkuk di lantai, berkata antara kerelaan dan kebanggaan, ''Dia anakmu juga.''
''Ya, aku tahu. Aku tidak lupa. Yang aku lupa namanya.''
Namanya Caya.''
''Bukan Ndari?''
''Ndari itu anakmu dengan istrimu yang di rumah depan sana.''
''Oh.'' Tritama menoleh pelan-pelan ke arah sana. ''Ya, sudah, sekarang panggil Caya cepat.''
Istrinya menggelesot mundur dan kemudian berdiri di pintu lantas menghilang di situ.

***

Caya sedang berada di bawah pohon randu, memungut-mungut buahnya dan mengeluarkan kapuknya, mengumpulkannya di dalam bakul besar. Dia menghentikan kerjanya itu karena ibunya memanggilnya dari jauh lalu menarik tangannya supaya pulang ke rumah.
''Cepat pulang,'' kata sang ibu. ''Kau akan dijodohkan oleh ayahmu.'' Caya pun berdiri. Ternyata pada usia 15 ini keadaannya linggayuran. Tidak seperti kebanyakan gadis desa lain yang nyaris katai.

***

Setiba di rumah sang ibu menyeka-nyeka wajah Caya lalu memupurnya dengan serbuk dari tepung beras bercampur putik bunga-bunga kering.
Sambil mendandani Caya, ibunya berkata grusa-grusu, ''Ayahmu dadakan begini. Ujuk-ujuk datang tanpa bilang-bilang.''
Caya tak berkata apa-apa. Dia hanya diam, pasrah tapi juga degdegan.
Selesai merias wajah Caya, ibunya mengambil sehelai kelamkari, melingkar-lingkarkan di tubuh atas putrinya itu sebagai penutup payudara yang sebetulnya belum lagi mencapai bentuk final. Setelah itu dituntunnya Caya keluar, menemui Tritama, mempertemukan Tan Tay Seng.

Caya melipat kakinya di atas lantai, menunduk kepala tapi tidak menutup wajahnya.
''Nah, ini putri saya,'' kata Tritama. ''Seperti saya katakan, lelaki memutuskan kawin dengan perempuan, bukan semata-mata karena mau, melainkan juga sreg.''

Tan Tay Seng tersenyum memandang wajah Caya.
Dan lanjut Tritama, ''Sreg itu dimulai dari mata. Dari mata turun ke hati.
Dari hati menjadi mau. Setelah kulina, lahirlah tresna. Nah, betapa eloknya hidup ini.''
Tan Tay Seng tersenyum menghayat dirinya.
Bila tersenyum yang terakhir ini berarti ada perkembangan tertentu dalam kemampuannya menghayati peristiwa-peristiwa insani dalam jiwanya-raganya-rohnya, maka sangkakanlah itu sebagai suatu keniscayaan alami dari fitrah manusia menghadapi sang waktu yang terus bergerak dengan perkasa menyisakan perubahan-perubahan.


***


Perubahan mencolok terlihat pada Jawahir.
Pada bulan keempat singgahnya Ceng Ho di Semarang, Jawahir datang mencurahkan isi hatinya.
''Terus terang, Sam Po Kong, saya terkesan dengan ajaran Islam yang Anda ajarkan,'' kata Jawahir. ''Namun terus terang juga, saya merasakan Islam ini ageman *) yang indah pada esok hari, atas agama saya, kejawen, yang nyata pada kemarin hari.''
"Anda tidak perlu risau," kata Ceng Ho. "Tiap-tiap insan secara pribadi memiliki perbedaan-perbedaan alat driya yang membuat sikap batinnya tidak sama. Ada orang yang mengganti keyakinan lantaran mukjizat. Ada juga orang yang berkembang setahap demi setahap."
"Mukjizat?" tanya Jawahir.
"Karena suara ilahi yang berkunjung dan langsung mukim dalam nuraninya."
"Lalu bagaimana saya yang tertarik pada ageman Anda, tapi tetap melakoni agama lama saya?"
"Walaupun mukjizat itu sesuatu yang ajaib, jangan sama sekali mengharapkannya sebagai perbuatan sama seperti sulap atau sihir. Mukjizat adalah peristiwa dalam kehidupan insani
lantaran campur tangan istimewa ilahi."
"Apakah Anda melihat ada mukjizat dalam hidup saya?"
"Saya bisa menerima hal-hal biasa juga sebagai suatu karunia ilahi."
"Bagaimana maksudnya?"
"Begitu Anda berkata tertarik pada agama saya, saya melihat diri saya sebagai berkah bagi Anda. Mudah-mudahan Anda bisa melihat bahwa berkah ini karunia ilahi yang telah membuat Anda tertarik pada ageman saya."

"Jika saya mengundang Anda untuk menyaksikan kesenian saya sebagai piranti ageman saya, apakah Anda tidak keberatan?"
"Tentu saja tidak. Selama ini saya menjadi guru di sini. Seorang guru yang baik harus mampu belajar dari kebudayaan orang lain. Saya senang bisa menimba pengetahuan dari leluhur Anda."
Tersungging senyum di kulum.
"Sungguhkah?"
Terangguk kepala di leher.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 14:04
Kesenian yang menjadi piranti ageman dimaksud oleh Jawahir adalah wayang. Dia menggelar wayang di tanah datar depan gua di Simongan - dan sejak itu menjadi salah satu tradisi yang bersinambung hingga sekarang di situ. Pergelaran wayang itu dilangsungkan besar-besaran sepekan, karena Jawahir bersyukur usianya telah 60 tahun. Karena pergelaran itu sepekan penuh, dengan setiap malam mengganti-ganti cerita yang dipetik dari Ramayana dan Mahabarata, tak heran daerah datar di depan gua di Simongan itu menjadi ramai seperti saat Ceng Ho menyambut Lebaran di situ. Orang-orang dari kota, di seberang sungai sana, di tempat-tempat yang sekarang menjadi Kalisari, Randusari, Bubakan, Jurnatan, Petudungan, Pandean, Karangturi, Wotgandul, Jagalan, Peterongan, Petolongan numplek di sini menyaksikan pergelaran itu. Sudah tentu keramaian yang hebat itu masih akan terkalahkan dengan keramaian pada hari-hari akhir sebelum Ceng Ho meninggalkan Semarang, yaitu pada hari sukacita saat orang-orang Cina yang telah membumi di Semarang mengucapkan kata-kata yang populer sekarang: Gong Xi Fat Coi. Namun melalui keramaian pertunjukan wayang kulit itu - suatu hasil kesenian khas Jawa yang mesti dianggap paling dibya dan tidak ada kembarannya di dunia, terpadu dan laras antara sastra pada cerita, senirupa pada sosok-sosok wayang, musik pada pengiringan aksentuasi, dan teater pada representasi keseluruhan karya- Ceng Ho menyimak sesuatu darinya yang sementara direnungkannya. Pada Jawahir, saat malam ketiga pertunjukan itu, Ceng Ho berkata, "Saya menyimak sesuatu yang luar biasa dari wayang kulit. Saya yakin, pada saatnya nanti, syiar Islam dapat memanfaatkan kesenian ini. Dan, mungkin mesti dicoba menciptakan tokoh-tokoh baru, di luar tokoh-tokoh yang khas Hindu, menjadi tokoh-tokoh yang munasabah dengan keperluan syiar, terutama yang dalamnya memiliki bobot kias."


***


Dalam keramaian itu, saat orang-orang berbaur antara yang menonton dan yang hanya wirawiri di tengah jajaran orang-orang berdagang jajanan pisang goreng, nagasari, lemper, kacang rebus, kue moho, untir-untir, bapao, lumpia, dan wedang, ada seseorang yang tadinya berniat ke situ juga. Setidaknya pada malam kelima, malam yang paling ramai, orang yang disebut itu sudah tiba di sana dan sudah pula melirak-lirik perempuan-perempuan yang berdatangan oleh pelbagai alasan. Namun orang yang disebut ini mundur lagi dan menghilang di kegelapan. Tak jadi memasuki daerah itu. Padahal, bila saja dia mau meneruskan langkah, masuk ke dalam keramaian itu untuk alasannya, niscaya banyak orang tidak mengenalnya. Setelah hidup berbulan-bulan sebagai burun, dan dia tahu betul akan hal itu, badannya kelihatan susut, agak kurus, pipi cekung, dan usianya melorot pula menjadi lebih tua 10 tahun dari umur sebenarnya. Jadi, siapa orang yang mau mencoba-coba tapi kemudian mundur lagi dari daerah pertunjukan itu? Tak salah! Dia Hua Xiong! Dia angkat kaki. Mundur. Berjalan bukan dengan mata di depan tapi belakang. Dan berbeda dengan orang lain yang berjalan mundur dengan langkah pendek-pendek, sebaliknya dia karena keputusan mendadak untuk tidak jadi masuk ke dalam keramaian kerumunan, lantas mengangkat langkahnya panjang-panjang. Dalam mundur begini dia tidak melihat ada seorang perempuan di belakangnya. Hua Xiong menabraknya. Perempuan itu jatuh. Terdengar isak. Awal perkenalan.

***


Oleh perkenalan itu jua membuat Hua Xiong semakin bertetap hati untuk lekas-lekas pergi dari sekitar situ, mengajak perempuan itu dengan tanpa rayuan yang berbelit. Kini mereka, dia dan perempuan itu, sudah berada di dalam kempang yang didayung oleh pemiliknya, lelaki bersarung dengan wajah pating-cruwil oleh kutil-kutil. Jika kempang itu goyang ataupun oleng niscaya itu disebabkan oleh kerajinan tangan yang dilakukan Hua Xiong dan ditanggapi dengan gerinjing geli oleh perempuan itu. Si empunya kempang purapura tidak melihat. Setelah meluncur lebih satu kilo meter di utara, barulah Hua Xiong bertanya, "Siapa namamu?" Sambil menutup pelan-pelan kain yang membungkus dadanya, perempuan itu menjawab cengis-cengis dan ragu. "Nama saya jelek," Kerajinan tangan Hua Xiong tetap berlanjut. Dengan itu dia mengulang pertanyaannya,
memandang dengan mata yang empik. "Siapa?"
Pelan suara perempuan itu. "Crebek," katanya.

"Namamu Crebek?"
"Ya."
"Apa itu artinya?"
"Itu artinya: segala-segala dimakan."
"O?"
Lalu ada keharuan kecil yang mungkin dapat menjadi besar di wajah Crebek. "Tapi itu dulu," katanya.
"Memangnya sekarang kenapa?"
Jawaban tidak mengalir. Keharuan kecil sedang memasuki keharuan besar. Mulanya ada cairan di matanya.
Tumben perhatian Hua Xiong terbawa ke situ. Dia mengulang pertanyaan tadi. "Memangnya sekarang kenapa?"
Kini airmata yang meleleh di pipi Crebek disertai dengan bunyi isak di hidung. Katanya tersendat-sendat, "Sekarang hidup saya berubah."
"Ada apa?"
"Sekarang tidak ada lagi yang kasih makan saya. Saya tidak bisa makan segala."
"Kenapa begitu?"
"Yang ngingu saya sudah membuang saya."
"Membuang kamu?"
Keharuan besar telah tiba di puncak. Crebek menangis. Pertanyaan Hua Xiong tidak terjawab.
Awat-awat menahan diri karena tangis itu, Hua Xiong menepuk-nepuk lengan Crebek.

Maunya membujuk. Bukan cuma hendak menenangkan. Dan baru besok dia sendiri merasa aneh.
Aneh, sebab dalam waktu demikian singkat, hatinya, tanpa bekerja sama dengan otaknya, telah memutuskan suatu tawaran yang berkesan kanaah.
"Kalau begitu, saya akan mengingu kamu," kata Hua Xiong. "Kamu tinggal bersama saya."
Mata Crebek semakin basah.


***

Apakah Hua Xiong benar-benar terpanggil untuk menolong perempuan itu? Rasanya tidak. Dia baru berhitung untung-rugi. Ketika pertama dia melihat Crebek: matanya, bibirnya, pendek kata wajahnya secara menyeluruh, maka pikiran Hua Xiong langsung berangkat ke atas ranjang. Serta merta dia membayangkan kesenangan-kesenangan besar dengan pengeluaran-pengeluaran kecil. Dalam pikirannya yang asli kerang-keroh ini dia membayangkan: dengan mengingu Crebek maka tidak ada lagi kewajibannya membayar ketentuan tarif bermaksiat - atau dalam bahasa Semarang sekarang: melakukan royal - seperti jika dia bertamu di gubuk mesum Juminah. Dengan mengambil Crebek, membawa ke tempat tinggalnya, kini dan seterusnya Hua Xiong telah memiliki seseorang yang sewaktu-waktu dapat diajak kolaborasi - dalam kedudukan tuan dengan budak - untuk membunyi-bunyikan ranjang reyot di rumah sewaannya. Malam itu pun, malam pertama Hua Xiong berkenalan dengan Crebek, dan dibawanya Crebek di rumah sewaannya di bagian kota, langsung dimanfaatkannya berulang-ulang, dan sempat-sempatnya pula menghitungnya berapa kali, sampai pagi, sampai dia dan Crebek merasa letih dan letoi, lantas terbaring sama-sama seperti dua ekor swike yang baru dikuliti.  Itulah hidup! Ada yang memperoleh kenikmatan dalam kesia-siaan, ada pula yang mengabaikan kesia-siaan dalam kenikmatan. Barangkali Hua Xiong pernah mendengar, tapi dia tidak lagi mengingat pepatah ini: "Shan o pu pao, shih hou wei tao," artinya "Jika kebaikan dan kejahatan tidak terbalas, itu disebabkan oleh waktunya yang belum lagi tiba."


***


Alhasil bolehlah dicari ikhtibar untuk mengurai pasal nasib orang-seorang. Bahwa, ya, Hua Xiong memang waspada.
Tapi, ya, dia sungguh tidak waskita.
Dia mengira pertemuannya dengan Crebek adalah seratus persen kebetulan. Dia teperdaya. Maka siap-siaplah dia masuk ke dalam wilayah wasatwaha.*)
Yang tahu duduk pasal yang sebenarnya hanya Dang Zhua. Sebab Dang Zhua jua yang mengatur rekayasa ini.


***

Setelah dua hari Crebek berada di dalam rumah sewaan yang ditempati Hua Xiong, kini dia terlihat berjalan cepat-cepat di pinggir kali, menuju ke restoran milik keluarga Ling Ling.
Dia berdiri sejenak melonggokkan kepala ke dalam. Bilamana matanya telah melihat orang yang duduk di pojok, masuklah dia menemui orang itu.
"Mana upahnya, Dang Zhua?" kata Crebek kepada orang itu.
Orang itu, Dang Zhua, mengeluarkan keping-keping perak untuk Crebek.
Katanya, "Bikin dia betul-betul jatuh cinta padamu."
"Percayalah, tidak ada kiat yang lebih hebat dalam membuat lelaki kesengsem dan kedanan  selain daripada sari rapet ramuan leluhur," kata Crebek. "Dia memang jatuh cinta."
"Apa dia sudah bilang begitu?"
"Ya, setiap kali dia mau mencapai neneragra." **)
"Baguslah."
"Dia itu sudah berumur, mestinya sudah berpengalaman, tapi ternyata masih goblok, kasar, grusa-grusu."
"Makanya ajar dia."
"Memang."

***

Masih sore hari Hua Xiong sudah edan lagi.
Maka kata Crebek, "Begini ini harus sesuai dengan irama."
"Begini bagaimana?" tanya Hua Xiong.
"Makanya, ayo, saya ajari," kata Crebek dan dia pun telentang di bawah Hua Xiong. "Nah, begini ini, dalam leluri saya disebut abhyasa widhi. ***) Nanti kalau jadi anak, anaknya
cerdas dan penuh asih. Bagi wanita, ini adalah lambang kepatuhannya."

Lalu Crebek mengubah lagi posisi. Dia tengkurap sambil memumbulkan bokongnya.
"Nah, lakukan," katanya. "Ini, dalam ajaran leluri kami disebut namas widhi. ****) Dengan  ini disimpulkan isyarat kerelaan wanita untuk mengabdi."
Lalu Crebek mengubah lagi posisi. Dia berbaring miring dan berhadapan dengan kaki saling silang.
"Lakukan lagi," katanya sambil membantu. "Posisi ini disebut nikata widhi. *****) Dengan begini wanita membuktikan kesetiaannya."
Hua Xiong gregetan. "Sudah teruskan dulu sampai selesai. Setelah itu mau posisi duduk atau  berdiri, terserah."
Tapi Crebek malah meloncat dari ranjang. Katanya, "Aku lupa sesuatu."
"Apa?"
"Aku lupa membakar kemenyan. Ini termasuk adat kami juga."
Dan dia pun membakar kemenyan. Sebentar saja bau ruang ini terasa magis. Di luar pun gelap. Matahari sedang pamit kepada siang. Bayang-bayang gelap bergayut ranting-ranting pohonan. Berahi semakin menyala dalam malam.
Setelah itu Hua Xiong menarik lengan Crebek untuk lekas-lekas kembali ke atas ranjang. Crebek bertahan namun mengendorkan otot. "Harus ada keindahan dalam melakukan ini,"
kata Crebek. "Karena kemenyan sudah dipasang, dan mulai sekarang kita harus menciptakan keindahan, pertama, sesuai adat kami, harus diucapkan terlebih dulu kata-kata Awighnam astu
namas siddham. Maksudnya supaya tidak diganggu."
Dasar Hua Xiong, sebagaimana kata Crebek kepada Dang Zhua, berperangai kasar, grusa-grusu, dan goblok untuk hal demikian, berkatalah dia dengan mulut carut, "Alah, lonte yang lain tidak sampai jelimet begini."
"Apa katamu?"
Hua Xiong seperti menyesal. "Tidak apa-apa, Aku cuma asbun-asbun saja."
Namun Crebek pandai bermain pura-pura. Mula-mula dia termangu. Lalu menerawang.
Sebentar saja airmata meleleh. Dilengkapi pula dengan suara isak tangis. Dia yakin Hua Xiong akan terharu padanya. Dia bermain bagus sesuai pesan Dang Zhua.
Benar juga, Hua Xiong terharu.
Crebek melirik. Dia berdiri. Dia berjalan ke pintu.
Hua Xiong memburu. Menarik tangan Crebek. ''Mau ke mana?''
''Aku mau pulang saja,'' kata Crebek menyeka-nyeka air matanya.
''Lo? Kenapa?''
''Aku sudah rela berkorban tapi kau tidak percaya.''
''Tunggu.''
''Aku bingung. Pengorbanan apa yang harus aku lakukan buatmu supaya kau benar-benar tulus mau mengingu aku. Aku takut. Aku putus asa. Kau sama seperti...''
Hua Xiong merangkul Crebek. ''Tidak.''
Crebek lebih menghebatkan lagi tangisnya. ''Ya, sudah. Masuk lagi kembali. Aku minta maaf.''
Berkokok sukma Crebek.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 14:09
Siangnya, besok, Crebek menceritakan perkembangan ini kepada Dang Zhua sambil membuka tangan, menagih upahnya.


***

Kemudian pada malamnya, di Simongan, ketika kelekatu terbang ke lampun lantas mati, Dang Zhua menceritakan pula perkembangan ini kepada Ceng Ho.
''Ikan sudah terpukat,'' kata Dang Zhua. ''Tinggal menarik saja pukatnya maka ikannya kelepar-kelepar.''
''Tapi ceritakan bagaimana Anda menjalankan siasat itu?'' tanya Ceng Ho dengan sikap menghargai.

''Qiau shi lian huan,''*) ujar Dang Zhua. ''Apalagi dia murid saya. Sepanjang-panjang akal orang yang belajar, tidak akan lebih panjang dari akal orang yang mengajar.''

Ceng Ho mencipta senyum di pipi. Tanpa kata.

''Terus terang saya ke gubuk mesum Juminah. Seandainya saya tidak ke sana, saya tidak tahu perkembangan. Malam itu Hua Xiong ke sana. Dia berceloteh. Setengah mabuk. Dia bilang, dia akan pergi ke Simongan menyaksikan keramaian di hari yang kelima.''

''Nekat juga,'' kata Wang Jing Hong.

''Kita akan segera tahu kenapa dia nekat,'' kata Ceng Ho. Lalu dia menyuruh Dang Zhua meneruskan. ''Lantas?''
''Maka saya tunggu dia di sana dengan menyiapkan Crebek,'' kata Dang Zhua.

''Dan dia teperdaya?'' tanya Wang Jing Hong.
''Sama sekali dia tidak tahu,'' jawab Dang Zhua. ''Saya menguntit dia untuk mengetahui tempat tinggalnya.''
''Jadi Anda sudah tahu tempat tinggalnya?'' tanya Ceng Ho.
''Ya,'' jawab Dang Zhua. ''Seperti saya katakan, tinggal menarik saja pukatnya maka ikannya akan kelepar-kelepar.''
''Kalau begitu siapkan pasukan untuk menangkapnya,'' kata Ceng Ho.
Dang Zhua menyatukan dua telapak tangannya dan mengarahkannya kepada Ceng Ho.
Pintanya, ''Maaf, Sam Po Kong. Sekiranya boleh, saya ingin melaksanakan tugas ini sebagai masalah saya dengan dia.''
''Apa Anda yakin dapat menanganinya sendiri?'' tanya Ceng Ho.
''Positif,'' jawab Dang Zhua.
''Baiklah.''


***


Hua Xiong tidak menduga, bahwa ini harinya-di pagi nan mendung, tatkala langit menjadi abu-abu di utara dan hitam di selatan-dia akan menjadi ikan yang kelepar-kelepar di dalam pukat Dang Zhua. Sejak fajar belum menyingsing, kala pendar pertama sinar matahari masih ditawan malam, Dang Zhua telah menunggu di luar rumah tempat tinggal Hua Xiong. Dia tahu matahari takkan muncul. Langit ditutupi awan hujan. Dari bagian kota yang masih belukar terdengar nyaring suara kokok kasintu mengawali pagi yang tidak cerah. Yakin bahwa Hua Xiong sudah tidur melalui lambaian sehelai guntingan lokcuan yang disandikan oleh Crebek lewat jendela yang setengah terbuka, maka bergegaslah Dang Zhua ke rumah sewaan Hua Xiong itu. Dia buka penuh jendela itu. Dari situ dia panjat dan kemudian masuk ke dalam. Hua Xiong memang sudah tidur. Atau katakanlah lebih kena: masih tidur. Dang Zhua berteriak membangunkannya. ''Bangun kamu, Hua Xiong!'' Hua Xiong kekan. Dia terloncat dari tempat tidurnya. Bukan alang kepalang kacaunya perasaannya melihat Dang Zhua di hadapannya. Ada gusar, ada bimbang, ada gamang, ada takut, ada kecewa. ''Kau datang hendak membunuhku?'' tanya Hua Xiong. ''Salah,'' kata Dang Zhua. ''Kalau aku mau membunuhmu, sudah aku lakukan selagi kau masih tidur. Tidak sobat. Aku membangunkan kau dari tidurmu, memberi kesempatan bagimu untuk tidak langsung menjadikan kau sebagai ikan yang kelepar-kelepar di dalam pukat. Aku ingin mengajar kau berkelahi sebagai jantan. Setelah itu aku akan menghajar kau karena tindakanmu yang banci.'' Kepala Hua Xiong berasap oleh api yang membakar hatinya mendengar hinaan Dang Zhua. Di bawah kendali naluri belaka, tanpa perhitungan yang pandai, Hua Xiong meloncat, menerjang, dan menyerang Dang Zhua. Dengan tidak siap seperti itu, hanya karena tak mampu menyeimbangkan antara hati dan akal, Hua Xiong telah membuat tubuhnya hanya sebagai benda mati yang dialungkan sembarangan.
Akibatnya Hua Xiong pun menjadi bulan-bulanan di hadapan Dang Zhua. Memang dia berusaha mati-matian mengirimkan tangannya ke badan Dang Zhua, tapi lantaran rasa percaya dirinya tidak cukup kuat, berhubung ingatannya diganggu pula oleh kesadaran akan keterbatasan diri, maka usaha itu sia-sia. Bagaimana pula dia harus membalas pukulanpukulan Dang Zhua. Padahal, sekadar menangkaskan alat-alat tubuhnya untuk menangkis saja tidak sanggup dilakukannya. Pukulan dengan tangan dan kaki yang dilakukan Dang Zhua itu membuat Hua Xiong benarbenar keok, babak-belur, hilang tenaga, dan tumbang seperti arca.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 14:14
Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi ledakan amat sangat keras, mengguncangkan rumah, mengagetkan manusia. Bunyi itu disusul lagi oleh bunyi kedua. Mungkin itu guruh paling memekakkan telinga yang pernah didengar sejak kapal Ceng Ho disauhkan di tengah laut sana. Setelah bunyi ketiga dan dibarengi pula oleh halilintar memanjang di barat, hujan deras pun bagai ditumpahkan dari langit hitam, butir-butirnya terasa seperti pecahan-pecahan kerikil yang ditembakkan ke badan.


***


Demikian hujan itu mengena Dang Zhua dan Hua Xiong.
Dang Zhua menyeret Hua Xiong dari dalam rumah sewaannya. Sulit menyeret di jalanan tidak berlapis batu sebagaimana layaknya jalan-jalan yang terbilang bagus pada masa itu.
Jalanan yang ditempuh Dang Zhua untuk menuju ke tempat perhentian di depan sana, seluruhnya tanah yang menjadi amat licin pada saat hujan.
Dengan menyeret Hua Xiong di bawah hujan, tak disangka Dang Zhua, air yang dingin itu dapat menjadi obat perangsang sadar bagi Hua Xiong.
Badannya yang lemah berangsur memulih. Paling tidak, pikirannya bagai disegarkan.
Dang Zhua terus menyeret.
Bila sebentar lagi dia berhenti, maka dia memutuskan untuk singgah sebentar di rumah makan yang kurang seratus meter di depan sana, rumah makan yang menyediakan ronde, rumah makan yang dilayani oleh Ling Ling.


***


Ada beberapa orang yang berteduh di situ sambil menikmati minuman. Ini kedai yang cepat populer, walaupun baru tiga bulan lebih usianya, lantaran minuman arak buatan Ling Ling yang ahlinya. Ketika Dang Zhua masuk ke dalamnya sambil menyeret Hua Xiong, mereka yang duduk di dalam rumah makan ini, termasuk pemiliknya, tercengang. Dang Zhua mengempaskan Hua Xiong di lantai sehingga tubuhnya tergeletak. Di antara orang-orang dalam rumah makan itu, tampaknya ada seseorang yang segera mengenali Hua Xiong: mengenalnya karena nama yang dipakainya selama ini di gubuk mesum Juminah. "Tan Tay Seng?" kata orang itu terheran. Suaranya tidak seberapa keras, tapi lantaran dia berada di dekat Ling Ling, yang disebut mendengarnya dengan jelas. Ling Ling menoleh kepadanya. "Apa kamu bilang?" "Kenapa? Apa aku salah berkata? Aku kenal tampangnya. Dia itu jagoan tengik. Dia yang bunuh Hian Bing gara-gara satu orang lonte di bordil Yu Kont*l. Namanya Tan Tay Seng."
"Apa? Jangan sembarang kamu!" Ling Ling melotot antara tidak percaya, geram, dan kecewa.
Sekilas ingatannya terbawa mundur ke belakang. Demikian jelah, jelas, jernih tapi serta merta membuat hatinya kusut, kusam, kusti. Suaranya mendakwa, "Kamu pasti salah."
"Saya tidak salah," kata orang itu.
"Apa kamu kira saya tidak kenal orang itu?"
"Mungkin saja," kata orang itu ngotot namun juga gelinggaman melihat Hua Xiong di lantai. "Dia Tan Tay Seng. Dan saya melihat sendiri, dia yang membunuh Hian Bing."
"Tidak," kata Ling Ling. "Kamu salah."
Dang Zhua tertawa. Dia maju. "Kalian berdua salah tapi juga benar," katanya. "Orang ini memang Hua Xiong, tapi dia menyamar, memakai nama Tan Tay Seng di bordil Yu Kont*l.
Nah, tolong buatkan aku wedang ronde, Ling."


***


Ling Ling tertegun beberapa saat. Mulutnya kecumik. Bibirnya bilabial. Ingatan yang tadi terbawa mundur dengan kencang ke belakang, kini memacunya untuk melihat dengan lebih terang akan mutu perasaannya, pikirannya, hatinya, akalnya. Dia bimbang: jangan-jangan hanya karena percaya pada gunjingan dan desas-desus dari gubuk mesum Juminah, dahulu itu dia telah bertindak terlalu cepat terhadap Tan Tay Seng yang asli.

Jantungnya berdentang lebih kencang. Mungkin sama kuat dengan guruh gemuruh yang masih berlangsung dengan hujan yang amat lebat di luar. Dia terkesiap lantas menggeleng kepala setelah Dang Zhua memanggil namanya.

"Ling, mana wedang rondenya?" kata Dang Zhua.
Ling Ling pun masuk ke dalam, membuatkan wedang untuk Dang Zhua.
Dang Zhua duduk dengan santai dikerumuni orang-orang yang penasaran dan bertanya kepadanya tentang Hua Xiong yang tergeletak di lantai.
''Akan dibawa ke mana dia?'' tanya seseorang.
Sebelum Dang Zhua menjawab, seseorang yang lain telah bertanya pula, ''Dan, akan diapakan dia?''
Seseorang yang lain berkata seakan-akan dia tahu benar dan dengan nada bertanya pula, ''Yang jelas, dia akan dihukum kan?''



***


Dang Zhua termasuk tangkas dan gesit. Namun satu hal kelemahannya, dia terlalu percaya diri sehingga membuka peluang dalam dirinya untuk mengabaikan kepercayaan diri orang lain. Dia kira, dan katakanlah itu satu-satunya yang dia ketahui, Hua Xiong sudah babak belur dan karenanya tidak mungkin ada peluang baginya untuk menjadi manusia selain kerbau yang dicucuk hidung lantas manut. Dang Zhua keliru. Rasa percaya diri yang tidak disertai dengan pengetahuan akan pengalaman dan pengetahuan akan kemungkinan-kemungkinan lain yang niscaya dalam kehidupan manusia - dari mutu yang paling kerbau, paling keledai, atau paling kambing congek sekalipun - adalah rasa percaya diri yang tidak cendayam. Rasa percaya diri yang cendayam semestinya disertai dengan kemauan alami yang tidak berhenti berlaku waspada. Dalam hal ini, Dang Zhua tidak waspada akan pengalaman sekian bulan lalu, bagaimana Hua Xiong meloncat dari kapal dan berenang dengan cekatan ke perahu nelayan yang membawanya ke tanah tepi dan bebas. Dang Zhua tidak waspada, bahwa Hua Xiong sangat cekatan di air. Sementara, oleh air hujan yang telah menguyupkan tubuhnya, kini Hua Xiong benar-benar tersegarkan, tubuh dan pikirannya. Sebentar lagi, di luar dugaan orang-orang, Hua Xiong akan melakukan kejutan. Dan apabila dia berhasil, orang-orang itu, khususnya Dang Zhua akan menyesal, mengumpat, dan menyesali dirinya.


***


Sementara kilat, guruh, dan hujan lebat masih berjalan seperti tadi. Tidak ada tanda-tanda hujan akan reda. Pagi yang semestinya cerah, terasa seperti malam. Hujan lebat itu pun telah menggenangi beberapa bagian kota. Sungai di depan rumah makan Ling Ling pun dari tadi telah banjir. Beberapa gubuk di sana telah juga hanyut dibawa ke muara. Siapa tahu gubuk mesum Juminah sebentar lagi hanyut pula.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 14:50
Ketika Dang Zhua dikerumuni orang-orang di dalam rumah makan Ling Ling, dan harus menjawab pertanyaan-pertanyaan, dia merasa menjadi orang penting. Hanya sekejap, dalam tidak waspada, Dang Zhua telah melakukan kesalahan yang membuat dirinya menyesal sepanjang hidupnya. Hua Xiong berdiri dengan tegar. Dia melesat ke luar. Ling Ling yang lebih dulu melihat. Ling Ling berteriak. ''Hua Xiong kabur!'' Semua terperanjat. Dang Zhua bangkit dari kursinya. Dia mengejar. Namun dia tidak dapat mewujudkan keinginannya. Hua Xiong meloncat ke sungai yang banjir itu. Dia berenang di situ mengikuti irama air yang mengalir kencang. Artinya, dia mengenal dan mengetahui betul sifat-sifat air. Dengan berenang menghanyutkan diri, berarti dia tidak membutuhkan tenaga besar seperti bila dia melawan arus. Sekian puluh meter di depan sana, masih dalam jarak pandang yang jelas dari letak rumah makan Ling Ling, Hua Xiong menepi di seberang. Dia berdiri sesaat di sana, memandang ke arah Dang Zhua tegak tak berdaya di depan rumah makan itu. Sebelum berlari pergi menyelamatkan diri, Hua Xiong mengejek pada Dang Zhua. Dia melambai-lambakan tangan, menyuruh Dang Zhua meloncat dan mencebur ke sungai lantas berenang mengejarnya. ''Ke sinilah Dang Zhua.''

***

Betapa gondok Dang Zhua.
Dia menarik napas dan cepat-cepat mengembus ulang. Di tepi sungai depan rumah makan Ling Ling, dia berdiri kaku menahan marah dan menyesal dan saling bertubrukan di dalam hatinya. Mulutnya terlipat ke dalam. Tak seorang pun tahu, ketika dia berdiri kaku dan dongkol tak berdaya di pinggir sungai itu, dia mengumpat-umpat pada dirinya sendiri, ''Oh, kalau saja aku bisa berenang....''
Namun apa mau dikata. Nasi sudah menjadi bubur.
Sulit baginya untuk mengatakan ini ke Ceng Ho nanti.


***

Dan ketika Dang Zhua merasa sulit, Ling Ling pun bingung di dalam rumah makannya. Dia celam-celum di situ. Tampaknya ada penyesalan di hatinya. Mungkin juga wirang pada dirinya sendiri.
Kemudian dia duduk. Akan tetapi dia merasa pantatnya tidak melekat di balai-balai.
Pikirannya menerawang jauh ke belakang. Penggalan-penggalan masa lalu berbaris-baris dalam ingatannya.
Tak sadar ada cairan keluar dari kelopak matanya. Cairan itu meleleh di pipinya, mengalir sampai ke ujung bibirnya. Apakah cairan itu terasa asin, sadarlah dia bahwa keharuan baru
saja menerpa dinding hatinya.
Dia teringat wajah Tan Tay Seng. Dia jengkel pada dirinya, sebab dia menggumam sesuatu yang selama ini telah dihapus dari ingatannya.
''Kau betul-betul tupai, Tan Tay Seng,'' kata dia.


***


Tan Tay Seng melompat.
Dia sedang memberi contoh tentang bagaimana memukul serangan musuh dengan menggunakan kaki. Di sekelilingnya duduk sila murid-muridnya, para begal dan garong yang kini sadar dan benar-benar mau dibina menjadi pendekar.
Tempat latihan silat Tan Tay Seng terletak tak jauh dari pondoknya di pinggir sungai, Progo, di latar depan Candi Pawon dari arah selatan. Tidak ada atap yang melindunginya dan murid-
muridnya dari hujan yang mengguyur bumi. Di tengah tanah datar mereka berlatih melompat, membiarkan tubuh mereka dikuyupkan hujan. Semua melakukannya dengan tertib. Tak ayal, murid yang tertib boleh disimpulkan sebagai keberhasilan pembinaan yang dilakukan oleh gurunya.
Salah seorang di antara murid-murid yang kini berjumlah 50 orang adalah Wage, lahir 18 tahun lalu di Bener, desa kecil barat Borobudur. Pada waktunya yang tepat nanti pasti Tan Tay Seng akan menunjuknya menjadi asisten. Tan Tay Seng menyukainya, sebab Wage
sangat tanggap, cerdas, cergas, dan rajin pula.
Pada akhir latihan, selalu Wage memekik, meniru beruk. Orang menyukainya juga sebab selain beruk, dia bisa meniru suara-suara binatang lain dan membunyikan dengan persis, antara lain meringkik seperti kuda, mengaum seperti macan, mendengkur seperti celeng, mendesis seperti ular, mengembik seperti domba, dan meleter seperti bebek.


***

Pada malam harinya mereka berbincang-bincang di bawah atap, sebuah bangunan terbuka, artinya tanpa dinding dengan tiang-tiang dari bambu, bukan dari jati trajumas atau uger-uger, lalu atapnya bukan genteng tapi alang-alang.

Hujan sudah berhenti pada malam hari ketika mereka meriung di bangunan itu. Walau tiada hujan, air di sungai terdengar deras mengalir ke selatan. Derunya seakan memberi semangat untuk hidup, mendobrak gerbang yang menutup hati dari kesunyian.
Tan Tay Seng mengutarakan itu kepada murid-muridnya. Dia mengatakannya dengan puisi.
''Apa kalian mengerti jiwa yang tersembunyi dalam sajakku?'' kata Tan Tay Seng, memandang sekeliling, memandang dalam samar-samar pelita yang dipasang di tengah-tengah.
''Tembangkan dulu,'' kata Wage. ''Siapa nyana sajak yang jujur akan menyingkap rahasia jiwa.''
Tan Tay Seng tertawa kecil memandang Wage, kemudian menyusun kata-kata yang digapainya dari ilham:

''Berkali-kali sudah di perjalananku Aku bersila abhaya-mudra*) atas mauku Mengatakan tiada gentar pada sukmaku Atas sepi yang menirai di hari esokku Tapi rajawali patah sayap merupa kodratku''. Semua murid saling pandang. Mungkin mereka dapat meraba, tapi mereka tidak dapat berkata.
''Nah, coba katakan, apakah kalian dapat menangkap jiwa yang tersembunyi yang aku maksudkan itu?'' kata Tan Tay Seng. ''Katakanlah. Dalam memahami makna yang tersembunyi di balik susunan kata-kata, kalian harus menggunakan tenaga rasa.''
Wage mengacung. Katanya, ''Jiwa Anda sedang berkelana.''
Tan Tay Seng tertawa mendengar itu. ''Berkelana? Berkelana ke mana?''
Selugunya Wage menjawab, ''Kian kemari.''
''Kenapa begitu?'' tanya Tan Tay Seng.
''Kelihatannya jiwa Anda sedang mencari yang hilang,'' kata Wage.
''Apa itu?'' tanya Tan Tay Seng pula.
''Cinta,'' kata Wage. ''Manusia yang tidak punya cinta, seperti hari yang kehilangan waktu.''
Tan Tay Seng tertawa terbahak-bahak. Dia senang sekali. Dan, dia suka pada keluguan Wage.
''Memang betul,'' katanya. ''Justru itu, kita perlu berbincang-bincang di luar pelajaran kita atas masalah yang baru disebutkan oleh Wage. Saya ingin dengar pendapat kalian. Sekarang kalian adalah saudara-saudara saya. Begitu saya berdiri di pusat bumi Jawa ini, tubuh-roh-jiwa saya telah menyatu dengannya. Katakanlah, sebagai saudara yang terbit dan tenggelam di pusat bumi Jawa ini, apakah kalian setuju pada arah kata Wage?''
Mereka semua mengangguk.

''Begini, dulurku, Bupati Tritama menjodohkan anaknya dengan saya. Apakah ini kabar baik atau kabar buruk buat kalian?''

Serempak, dan itu mengejutkan Tan Tay Seng, murid-muridnya menyambut riang ria dengan tepuk tangan.
"Apa maksudnya itu?" tanya Tan Tay Seng. "Kalian belum menyatakannya dengan kata-kata."
"Itu bagus," kata Wage. "Kawin saja, suhu."
Dan semuanya mendukung. "Ya, betul," kata mereka.
Seseorang, yang belum pernah disebut namanya, yang kepalanya seakan menempel kaku di atas kedua punggungnya, sebab lehernya yang terlalu pendek, barangkali hanya empat sentimeter, berkata dengan tanpa perubahan mimik, "Saya yang jadi panitia."
Orang-orang memanggil namanya Bronjong.*)
Maka Tan Tay Seng tertawa padanya. "Betul, Jong?"
Dan Bronjong bermegah diri, memukul dadanya. "Bronjong," katanya dalam nada yang hendak menularkan konfidensi yang ada di hati.


***



Tampaknya Tan Tay Seng mesti memasuki gerbang itu: gerbang di mana seseorang akan menjadi suami dan seseorang lainnya akan menjadi istri di bawah upacara-upacara tertentu. Jika Tan Tay Seng kawin, semakin kuat alasannya untuk tidak lagi meninggalkan bumi yang telah dipilihnya ini. Dan itu artinya dia tidak akan lagi bertemu dengan Ling Ling yang dulu mengusirnya dengan marah dan benci. Padahal, sementara itu, kini sedang terjadi perubahan di dalam hati Ling Ling. Jika hendak dikatakan menyesal, memang begitulah sejatinya hati Ling Ling setelah dia mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Lantas apa yang akan dilakukan Ling Ling? Padahal dia tak tahu. Masih tetap entah.

***

Ling Ling hanya melamun. Tumpukan masa lalu seperti sebuah buku terbuka yang tak ingin dibaca. Melamun dan membayangkan Tan Tay Seng agaknya menggondel langkah batinnya.
Betapa repot.
Lebih-lebih, nanti, jika dia menyadari, melalui apa yang mungkin dilihatnya dengan mata kepala, betapa waktu bisa bikin orang berubah bersama angin bersama matahari bersama bulan....

Karuan kerja sehari-harinya di rumah makannya yang menghadap ke sungai itu - yang kira-kira sekarang berada di sekitar Gang Lombok - hampir boleh dikata tidak tenang, tidak laras
tidak seimbang tidak-tidak: jika bukan kerjanya kesusu-susu bisa juga lamban seperti bekicot.
Yang bisa menyimpulkan dengan terang perubahan pada Ling Ling dengan memperhatikan gerak-geriknya adalah ibunya.

Maka pada suatu malam, setelah rumah makannya tutup, ketika keadaan tidak seimbang itu telah menggejala dalam lima hari, ibunya menyapa, bertanya dalam prihatin dan penasaran.
"Ada apa kamu, Ling?" tanya ibunya.
Ibunya duduk di hadapan Ling Ling.
Ling Ling menundukkan kepala.
Tangan ibunya memegang tangan Ling Ling. "Pasti ada sesuatu," katanya.
Ling Ling menarik pelan tangannya. Pura-pura tidak mengerti akan apa yang dikatakan ibunya. "Sesuatu apa?" tanya dia.
"Kau kelihatan tidak tenang," kata ibunya.
"Ah." Ling Ling mengelak. "Tidak."
Ibunya memegang lagi tangan Ling Ling. "Bicaralah pada Ibu," katanya mendayu, berharap.
"Tidak ada apa-apa, percayalah," kata Ling Ling bertahan pada tak terbukanya.
Dan, justru karena melihat kemauan bertahan Ling Ling itu, ibunya menandas dengan yakin.
Katanya, "Tapi demi sikapmu itu, terlihat sesuatu yang membuatmu seperti seorang yang semakin tidak merdeka. Kau biarkan gembok mengatup mulutmu. Tidak mungkin tidak ada apa-apanya. Nah, katakanlah, Nak."
Ling Ling pun diam. Dia hanyut dalam asal-usul waktu Tiada kata, tiada bicara, hanya waktu itu semata. Dan, manakala mulutnya diam di dalam waktu yang bergerak, tak disadarinya disitu terbangun segala kemungkinan.
Salah satu kemungkinan yang tak bisa dihalau Ling Ling saat ini adalah rahasia haru. Haru yang datang menduduki hatinya telah membuat kelopak matanya mengeluarkan air mata.
Dia seka air mata itu. Ibunya percaya pada kesimpulan yang tadi sudah terpusatkan dalam daya nalarnya. Maka, ditariknya tangan Ling Ling di atas meja dan digenggamnya dengan kedua telapak tangannya.
"Nak, kalau kau rasa tidak mau bicara dengan Ibu, kau boleh bicara dengan Sam Po Kong,"
kata ibunya. Lalu, "Apakah kau berpikir begitu?"
Ling Ling tetap diam. Dia tundukkan kepala. Pasti pikirannya menerawang kian-kemari, menerobos dinding-dinding bening sang waktu, mencari tempat tenggeran bagi jiwanya. Namun, betapa wujudnya lebih kelabu daripada kabut di pegunungan. Dalam diam Ling Ling itu ibunya mengelus tangan putrinya, mengetahui benar kesulitannya yang terahasia. Katanya lembut, "Kalau memang kau berpikir begitu, pergilah ke Simongan."
"Apa alasannya?"
"Crebek yang mengatakan pengetahuan ini kepada saya: Tresna jalaran kulina."*)
"Apa maksudnya itu?"
"Ini memang hanya sekadar peribahasa. Tapi ternyata di baliknya mengandung pengertian-pengertian ching-chih **) dasar kemanusiaan dewasa. Bahwa dengan berulang kalimelakukan persetubuhan dengan pasangan yang sama, dan dalamnya diperoleh kenikmatan-kenikmatan lahir, berangsur menjadi terbiasa dengannya, dan yang terbiasa ini kemudian menimbulkan rasa memiliki, mempengaruhi keadaan batin, lalu setelah itu akan kacau keseimbangan batiniah itu jika tiba-tiba keterbiasaan lahirlah itu putus. "Saya yakin, Hua Xiong sedang bingung, tidak seimbang, kalang-kabat, kacau-balau, karena tubuh yang membuatnya terbiasa pada kenikmatan-kenikmatan lahiriah itu sekarang tidak ada lagi bersamanya." Baik Ceng Ho maupun Wang Jing Hong sama-sama menyerap.

Mereka memandang dalam dalam ke wajah Dang Zhua. Wang Jing Hong mencamkan. Ceng Ho menyelia. Dang Zhua sendiri merasa seperti pandai. Setelah itu Wang Jing Hong yang lebih dulu bertanya. "Sekarang di mana Crebek itu?" Jawab Dang Zhua tanpa zan dan tanpa syak, "Nanti saya akan tanya pada Lurah Jawahir. Dari dia 'barang' itu. Dia pun punya banyak koleksi 'barang' seperti itu yang terlatih bermain seni pura-pura." Ceng Ho memotong omongan. Tampaknya dia tidak tertarik atau juga tidak hirau akan materi percakapan yang diacu Dang Zhua. Katanya sambil oraksila, "Yang saya inginkan, tangkap kembali itu Hua Xiong. Ini perintah. Dan, karena ini perintah, maka saya pinta disiapkan satu pasukan khusus, berpakaian sipil, menyebar di Semarang sana." Dang Zhua terpaku di tempat duduknya. Bagaimana pun dia masih berambisi, dan membuktikannya kepada Ceng Ho, bahwa dia bisa menangkap Hua Xiong dengan kedua tangannya sendiri. Sudah teguh hatinya untuk tidak patuh lagi pada Liu Ta Xia: orang yang menyelundupkannya di pelayaran besar ini.


***


Hanya beberapa menit saja setelah Ceng Ho memutuskan itu, tibalah Ling Ling di seberang Simongan. Tak lain yang diinginkan Ling Ling, sang sioca, adalah menemui Ceng Ho, sang tayjin, untuk meminta nasihat-nasihatnya. Ling Ling menggunakan kereta dari bagian kota ke ujung Lemahgempal untuk kemudian menyeberang sungai di bawahnya dengan menggunakan rakit yang didorong dengan galah bambu. Sebelum menyeberang, di ujung Lemahgempal itu, terbentang sawah yang luas sampai di batas Kalisari. Untuk turun ke sungai, yang tanahnya liat dan licin, Ling Ling memegang tiang selayun-selayun yang mengitari tanah sawah. Apabila tiang itu melengung karena berat badan Ling Ling, maka selayun-selayun itu pun mengencang dan membunyikan pula gemerincing, lantas burung-burung pipit dan gelatik yang sedang mencuri padi di situ, terbang ramai-ramai, menjauh, ke pohon besar, tapi tak lama kemudian kembali lagi ke sawah itu.


***


Tekad di hati yang menyinar bagai fajar yang membuat Ling Ling berangkat seorang diri ke Simongan. Ada puisi yang tidak terwujud dalam rangkai kata, tapi terbangun dalam anganan esok hari, yang mentakhlik sukmanya, kalbunya, sanubarinya, menjadi nyanyian pengharpaan: nyanyian nurani yang mengimbau-imbau dirinya untuk merdeka dari kesunyian, kesendirian, kesebatangkaraan. Tercenung dia di atas rakit itu. Ekawicara berlangsung di dalam hatinya. Burung-burung yang tadi terbang ke pohon kini kembali lagi ke sawah. "Oh, aku adalah pohon. Berdiri kokoh menantang matahari yang membias sinar di kitar langit di atas, tapi tak tahu di mana akarku menembusi kelam di lapis bumi di bawah." Kini dia melihat, tpai tidak memperhatikan gerak tangan tukang rakit yang mendorong-dorongkan galahnya di air sungai, dari pinggir timur ke pinggir barat.
"Ah, seandainya aku tidak usah jadi pohon, pasti lebih elok menjadi bunga;"Kemarin aku bunga, setangkai, yang semerbak;
"Tapi aku sudah halau kumbang yang setia menyapa harumku; "Sekarang aku ingin meralat langkah, kembali ke kemarin, namun aku diragukan akalku;"Mestinya di atas sungai ini aku hanyutkan prahara, memindahkan kesalahan dari tempatnya yang lama di darat, ke samudra tempatnya yang tetap..."


Dan Ling Ling tersadar dari lamunan karena sapaan tukang rakit itu.
"Nanti yuk-e kembali ke Semarang siang apa sore?" tanyanya.
"Kenapa?"
"Sebentar lagi sungai ini bakal banjir besar. Mangkanya, kalau yuk-e baru pulang sore, tidak mungkin bisa menyeberang."
"Bagaimana kamu tahu kalau nanti akan ada banjir besar?"
''Itu lo,'' kata tukang rakit itu seraya menunjuk dengan jempolnya ke arah selatan. ''Gunung Ungaran di kidul sana sudah ditutupi selimut hitam.''
Ling Ling pun memandang ke arah jempol tukang rakit itu. ''Maksudmu?''
''Kalau Ungaran ditutupi selimut hitam, itu artinya di sana sedang hujan lebat. Air dari sana akan membandang ke sini, di sungai ini.''
''Oh?'' Ling Ling mengangguk. Di luar rencana dia kepalang bertetap hati. Katanya dengan suara yang lebih jelas terdengar di kupingnya sendiri, ''Ya, sudah. Kalau perlu menginap saja di depan gua Simongan itu.''
Burung-burung pipit dan gelatik beterbangan lagi di atas rakit. Di pohon besar di seberang, di tempat rakit sekarang telah menepi, terdengar pula kicau silampukau.
Ling Ling memberi upah kepada tukang rakit itu. Dan dia berjalan kaki ke gua Simongan.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 14:55
Di dekat gua Simongan tampak dari jauh Wang Jing Hong sedang menguti-ngutikan jarinya di depan kandang burung jalak balinya itu seraya bersiul-siul, menyuruh burung-burungnya itu berkicau.
''Ayo, berkicaulah,'' kata Wang Jing Hong. ''Jangan malu-malu begini. Kalian adalah burung-burung paling indah dan paling pandai.''
Lalu pembantunya, yang setia, lugu, tapi acap berpenampilan pandir, mengawasi dengan cengenges, kemudian menimbrung di belakang Wang Jing Hong. Katanya, ''Mestinya dipisah
dulu, yuk-e.''
''Apa?'' Wang Jing Hong menoleh dan memandang dengan sikap selingar terhadap pembantunya itu. Ketika dia bertanya begini, dalam pikirannya berlangsung kemauan untuk peduli.
''Benar, yuk-e,'' kata pembantu itu sambil melangkah maju dengan menggulung sarungnya.
''Kalau burung ocehan dikurung bareng seperti ini, sulit ngocehnya.''
Wang Jing Hong seperti tersium. Dalam tidak berkata apa-apa, hanya memandang wajah pembantunya itu Wang Jing Hong sedang membenarkan omongannya.
Karena Wang Jing Hong hanya diam, maka pembantunya yang lugu itu, bicara panjang seperti mengoceh, dan merasa diri paling pintar tentang burung.
''Pengetahuan ini saya peroleh dari kakek saya di Ungaran,'' katanya. ''Burung yang dikurung sendiri cepat ngoceh, sebab sebetulnya ngocehnya itu berarti, dalam bahasa burung, adalah
menjerit-jerit minta kebebasan. Ini bukan hanya jenis yang ngoceh seperti ciung, anis, cikrak, cinenen, sikatan, cabai, dan lain-lain, tapi juga jenis yang manggung seperti perkutut, tekukur, dederuk, uncal, pergam, punai.''
Wang Jing Hong terbengong. ''Kok kamu mengerti?''

''La, iya, kan kata saya tadi, kakek saya di Ungaran sana itu pakar. Dari kecil saya sudah biasa main burung.''
''Begitu?''
''Benar, yuk-e. Kalau yuk-e mau, nanti saya buatkan sangkar untuk burung yang satu itu.''
''Tapi menurut Ratu Bali, burung ini tidak bisa hidup sendiri.''
''Lo, puguh karena sendiri, maka burung ini mau mengoceh.''
Wang Jing Hong merengut. Dia sedang melintaskan dua pendapat di dalam pikirannya. Dia duduk.


***

Dari depan sana muncul sang sioca. Ling Ling berjalan tergopoh-gopoh ke arah Wang Jing Hong. Dia seka keringat yang mengucur di wajah dengan ujung bajunya yang terbuat dari bahan lokcuan, sementara awan hitam tebal di Ungaran sana sedang melaju ke utara dan anginnya yang basah mulai menyentuh Simongan. Kini Simongan pun menjadi abu-abu. Tiada lagi burung-burung pipit dan gelatik yang mencari makan di sawah. Sebentar lagi warna abu-abu ini berubah pula menjadi hitam seperti di Ungaran.


***


Di depan rumah, yang terletak di selatan gua, Wang Jing Hong masih duduk memandang ke depan. Dia segera berdiri dari kursinya itu karena melihat sosok perempuan yang berjalan tergopoh-gopoh ke arahnya.

''Ling Ling?'' katanya, membuka tangan, tersenyum, dan menunggu.
Ling Ling pun mempercepat langkahnya. Di depan Wang Jing Hong dia menekuk kaki,memberi hormat dengan cara yang sangat santun.
''Salam,'' kata Ling Ling.
''Berdirilah,'' kata Wang Jing Hong ramah. ''Rasanya sudah seribu tahun kita tidak jumpa.''
''Ya,'' kata Ling Ling tersipu, menahan rahasia yang tengah berlangsung di hati, dan yang telah membuatnya ke sini. ''Tapi peribahasa itu tidak mukim dalam diri saya.''
''Peribahasa yang mana?''
''Tsai chia chi'ien jih hao.''*)
''Kenapa?''
''Itulah alasan yang membuat saya ke sini. Satu hari dalam hidup saya sekarang terasa seperti seribu bulan dalam pemerintahan Gao Yang.**) Saya ingin minta nasihat Sam Po Kong.''

"Soal nasihat, pasti Sam Po Kong akan memberikan itu sebaik-baiknya," kata Wang Jing
Hong. "Susul saja ke atas. Beliau baru saja pulang ke atas. Cepat. Mumpung belum hujan. Sebentar lagi hujan deras akan turun di sini."

"Ya, ya," jawab Ling Ling bergopoh.

***

Ling Ling pun mundur beberapa langkah sambil menundukkan kepala, kemudian bergerak maju hendak ke bukit yang ditunjuk Wang Jing Hong. Tapi dia terhenti pada langkah yang kesekian belas di arah utara, sebab angin yang basah lagi kencang dari Ungaran itu mendadak berubah menjadi hujan yang lebat nian. Hujan jatuh bersamaan dengan guruh yang meledak dahsyat, membuat Ling Ling tergetar badan, gemetar, dan gentar.

Apa boleh buat, terpaksa Ling Ling memutar badan, kembali lagi ke pondok Wang Jing Hong. Larinya kembali ke pondok Wang Jing Hong memang hanya sekian belas meter, tapi hujan yang begitu lebat, telah dengan cepat menguyupkan badannya. Di bangku bambu yang panjang di dalam pondok itu Ling Ling menggigil. Bibirnya bergerakgerak. Tangannya tersedekap ***
Wang Jing Hong mengambil jubah dan selimut dari dalam dan memberikannya ke Ling Ling.
"Tidak ada jubah khusus perempuan di sini. Tapi ini bisa menolongmu. Salin sana."
Ling Ling mengambil jubah dan selimut yang diberikan Wang Jing Hong, lantas masuk ke dalam, mengganti pakaiannya yang basah kuyup itu. Lumayan, pikirnya.
Pembantu Wang Jing Hong tertawa melihat itu. Kebetulan, dia pun berpikir sama seperti kata yang diucapkan Ling Ling di dalam hati. Sambil masuk ke dalam, dan terus ke belakang, ke dapur, dia berkata sambil mengacungkan jari jempolnya, "Lumayan."


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 15:01
Di belakang, di dapur, pembantu Wang Jing Hong itu membuat api di tungku. Tungkunya termasuk juga "lumayan" besar. Tingginya kira-kira setengah meter dan lebarnya kira-kira 40 sentimeter. Potongan-potongan kayu yang dipasang di situ 'lumayan' banyak. Dan jika orang mau duduk di depannya, di jarak yang kira-kira satu setengah meter, "lumayan" untuk bisa memanaskan badan. Pembantu Wang Jing Hong mengatakan itu kepada Ling Ling. "Kalau yuk-e menggigil dingin, duduk saja di depan tungku." "Ya, itu betul juga," kata Wang Jing Hong mendukung gagasan pembantunya. Pembantunya itu mengambil pakaian Ling Ling yang basah lantas meremas, mengeluarkan airnya, lalu menggantungnya di atas tungku itu. Sambil melakukan itu, dan Ling Ling melihatnya, pembantu itu berkata tanpa beban. "Ini juga lumayan." "Tapi...," ujar Ling Ling terputus, sebab pembantu itu segera memegang tangannya seakan menyuruhnya untuk tidak usah melanjutkan kalimat itu. "Ya memang, baju basah yang dikeringkan di atas tungku, pasti baunya seperti bandeng asap," kata pembantu itu. "Tapi, ya lumayan tinimbang basah sampai besok lantas baunya seperti udang terasi."
 

***

Toh Ling Ling harus menunggu sampai besok di pondok milik Wang Jing Hong ini, tertidur di bangku panjang dari bambu yang terletak di bagian depan. Dan, kendatipun hujan yang lebat ini telah berhenti pada tengah malam, dan hari menjadi cerah di keesokan paginya, tetap saja Ling Ling tak bisa segera pulang ke rumahnya di bagian kota sana, sebab sungai di depan gua itu kini banjir besar. Segala macam benda, yang mati atawa yang hidup, dari selatan dihanyutkannya ke utara: pohon, rumah, ternak, dan juga manusia. Baru pada sore harinya air di sungai ini mulai surut. Tapi tukang rakit, satu-satunya orang yang mengerjakan jasa perhubungan ini dengan imbalan ala kadar, tetap tidak berani menyeberangkan rakitnya dari tepi yang satu ke tepi yang lain. Dia memilih berbaring santai di gubuknya di antara sawah pada bagian Lemahgempal

***


Ling Ling baru bertemu dengan Ceng Ho pada pagi harinya. Dia menemui Ceng Ho di atas perbukitan Simongan itu dengan pakaian pinjaman Wang Jing Hong. Mendaki ke atas bukit itu, dengan pakaian yang longgar begini, dan tanah yang liat oleh bekas hujan, tidaklah mudah. Siapa pun, dan dengan alas kaki apa pun yang dipakai untuk mendaki bukit, pasti terkendala.
Tanah liat yang diinjak akan melengket di alas kaki, makin lama makin tebal, sehingga menyulitkan langkah.
Ling Ling baru tiba di atas bukit setelah terpeleset di tanah liat itu empat kali. Ketika dia tiba di atas, di tempat pembangunan rumah-rumah kayu dan bambu untuk Ceng Ho, perwira-
perwiranya, ahli-ahlinya dari pelbagai bidang, serta rohaniwan-rohaniwannya yang Buddha, Kong Hu Cu, dan Tao, maka orang yang ingin ditemuinya itu, Ceng Ho, sedang berdiri memandang ke bawah. Di tempatnya berdiri ini terlihat sebagian dataran rendah dan Laut Jawa di utara, Gunung Ungaran di selatan yang tampak dekat, dan Gunung Muria di utara- timur-laut yang tampak jauh.

Ling Ling mendekati Ceng Ho. Napasnya terengah-engah. Sebelum dia menyapa Ceng Ho dari belakang, mengira bahwa Ceng Ho tidak tahu akan kehadirannya di situ, dia tertegun dan selingar karena tanpa menoleh pun Ceng Ho telah menyebut namanya dengan sangat terang.
''Ling Ling, di hatimu ada emas, tapi kau pakai tembaga untuk menghias kepalamu,'' kata Ceng Ho.
 
Ling Ling melangkah cepat, mencium tangan Ceng Ho. ''Katakanlah, Sam Po Kong, ikhtiar apa yang harus aku lakukan untuk mengembalikan keluhuran dalam jiwaku.''

''Cinta,'' kata Ceng Ho. ''Bangunlah itu dalam sukmamu. Bangunlah istana cinta di atas batu gunung yang kukuh dalam semua musim, bukan di atas pasir pantai yang rawan dalam musim puting-beliung. Ciptakan halwa-telinga atasnya yang memanjangkan jarak hidup.''

''Justru itu, Sam Po Kong, aku ke sini meminta nasihatmu, sebab oleh cinta aku menjadi piatu, menjadi fakir, menjadi yang tersia-sia.''
''Tidak. Kau salah. Cinta tidak mungkin menyengsarakan manusia. Sebab cinta datang dari Tuhan.''
''Tapi aku terbakar oleh cinta.''
''Cinta pun bukan api.''
''Buktinya aku panas.''
''Itu benci.''
''Ya, aku pernah marah.''
''Aku tahu. Kau terhasut.''
''Sekarang aku menyesal. Apa yang harus aku perbuat?''
''Kau harus menemukan kembali cintamu itu.''
''Bagaimana caranya? Bahkan sampai sekarang aku ragu, jangan-jangan aku belum menemukan diriku.''
''Jika begitu taruh cintamu itu di dalam dirimu.''
''Bagaimana aku melakukannya? Bukankah cinta tidak lahir dari gagasan, tapi dari wujud yang masuk ke hati melalui mata? Sementara itu, di mana wujud itu, yang dapat dilihat oleh
mata, telah lama hilang dari indraku.''
''Bila persoalannya hanya mata, bukan hati, percayalah: cinta sejati tidak pernah hilang. Jika pun cinta hilang di mata, mestilah hati mencarinya.''
''Jadi apa nasihat Sam Po Kong?''
''Aku sudah mengatakannya dari tadi. Kau harus mencarinya.''
''Di mana?''
''Di Borobudur.''
''Itu tidak mungkin. Tidak mungkin perempuan yang mencari lelaki. Ini sama seperti rumput yang mencari kuda.'' ''Kalau begitu, memang benar, yang ada di dalam hatimu bukan cinta, tapi benci. Hanya benci yang membuat hati manusia panas, menyala, terbakar. Cinta sejati bertiang pemaaf,beratap welas asih, berdinding lemah lembut, berlantai nurani bersih, berpintu panjang sabar, berjendela eling ke Tuhan.'' Ling Ling terdiam. Agaknya hatinya sedang berkata: tidak mau tersesat dalam pikiran-pikiran yang dibuatnya di bawah hitung-hitungan akan harga diri, gengsi, nilai-nilai moral yang meleluri dari kesalahan-kesalahan masa lalu.
***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 15:06
Ceng Ho hanya mengatakan supaya Ling Ling mencari cintanya di Borobudur, tapi tidak menawarkan untuk pergi ke sana dengan seorang atau dua orang atau berapa pun orang yang bisa menemaninya ke selatan sana. Adalah Wang Jing Hong yang mengatakan itu.
''Seorang gadis tidak mungkin berangkat seorang diri ke Borobudur,'' kata Wang Jing Hong.
''Jika kau mau ditemani ke sana, bisa diatur orang-orang yang kebetulan ingin juga ke sana.''
''Memangnya siapa yang ingin ke sana?''
''Ada lima orang. Mereka semua penganut Buddha yang taat.''
''Jika begitu saya titip salam saja melalui mereka.''
''Lo, kau tidak berminat berangkat ke sana?''
''Saya khawatir kalau-kalau sang waktu sama-sama mengubah jalan pikiran manusia.''
''Apa maksudmu?''
''Siapa tahu bukan cuma saya yang berubah, tapi termasuk dia juga. Sekarang saya berubah karena ada kenyataan yang menyadarkan kesalahan saya. Namun bagaimana bila dia juga berubah untuk tidak peduli pada kenyataan berubahnya saya? Jika sampai terjadi perubahan yang saling membentur atas dua kenyataan, dan masing-masing pihak harus membuang perai dengan tergesa-gesa untuk menghadapi perubahan itu, siapa yang dapat menjamin ketenangan hati untuk tampil wajar? Tidak ada. Jadi, daripada saya harus terpaksa membuang perai dengan tergesa-gesa menghadapi perubahan kenyataan, lebih baik saya tetap saja tinggal di
Semarang. Kalau betul jodoh di tangan Tuhan, biarlah yang terjadi, akan terjadi menurut kodratnya.''



***


Memang lima orang yang akan berangkat ke selatan, ke Borobudur, pusatnya Jawa. Kelima orang itu dipimpin oleh Li Kiu Gi.
Sebelum berangkat, Wang Jing Hong berpesan ke mereka. Katanya, ''Jika kalian bisa menempuh perjalanan ke sana lebih cepat, supaya kalian dapat kembali ke Semarang sebelum Sin-Cia, itu lebih baik. Sebab sesuai dengan rencana, kita akan mengangkat sauh, meninggalkan Semarang tiga minggu setelah Sin-Cia.''
''Sekarang Sin-Cia masih kurang dua bulan,'' kata Kiu Gi. 
''Ya, betul. Syukur-syukur kalau kalian bisa ajak Tan Tay Seng ke sini, merayakan Sin Cia di Semarang. Kita sudah kangen mendengar dia menyanyikan sajak-sajaknya.''
''Kami akan usahakan.''
''Bagus.''


***


Ketika lima orang di bawah Kiu Gi berangkat ke Borobudur, ada lima orang juga yang sejak sepekan lalu menjalankan tugas mereka untuk menangkap Hua Xiong di Semarang. Lima orang yang disebut terakhir ini dipimpin langsung oleh Ci Liang, perwira yang cekatan dan berpengalaman itu.

Tapi, sejatinya, walaupun pengalaman Ci Liang sudah teruji dan dia pun terpuji untuk hal itu, rupanya tidak gampang menjerat tikus yang berhasil lolos dari perangkapnya. Tikus yang pernah lolos dari perangkapnya, tidak mungkin mau masuk kembali ke dalam perangkap yang sama. Demikian naluri Hua Xiong. 
Dia menjadi amat awas. Hanya satu hal yang kelihatannya terabai dari ingatannya, adalah bahwa sepandai-pandai tupai melompat, pada harinya yang nahas akan tergelincir juga.
Kedengarannya pepatah itu mengarahkan ke malapetaka Hua Xiong pada waktu-waktu yang singkat.
Apakah dengan begitu jalan takdir Hua Xiong sama seperti tupai?
Kalau benar begitu simpainya habislah cerita dia.
Tentu dia tidak boleh cepat-cepat habis. Apalagi habis dengan mudah. Dia masih akan hidup panjang. Setan melindunginya. Bukankah dia masih harus pindah ke Cirebon dan mengatur
kubu-kubu setan di sana?


***


Sekarang Hua Xiong tinggal di daerah nelayan. Memang betul dia merindukan Crebek. Dan Crebek pun sudah dipasang di tempat yang dapat memancing Hua Xiong. Namun Hua Xiong tak gampang diperdaya.
Selain itu, sakitnya di sekujur tubuh akibat pukulan-pukulan Dang Zhua belum lagi sembuh. Dia dirawat oleh nelayan yang dulu menepikannya dari laut ke darat.
Nelayan itu, Tukiran, seperti orang tersihir. Dia melakukan segala hal yang diminta Hua Xiong. Malah Hua Xiong bukan hanya meminta, tapi memerintah, dan nelayan itu melakukannya dengan patuh dan senang.

***

Yang tak pernah diduga siapa pun, termasuk Ceng Ho dan Wang Jing Hong - yang tinggal di Simongan selama bulan-bulan terakhir ini - adalah keberanian Hua Xiong yang bercampur aduk dengan kenekatan dan kepetualangannya, mendekati kapal induk yang disauhkan di tengah laut sana. Pada suatu malam, ketika hujan turun lebat seperti biasa pada musimnya, Hua Xiong beperahu bersama Tukiran ke kapal induk yang disauhkan di tengah laut sana. Dia ke sana hanya karena suatu benda miliknya yang tersimpan di kamarnya - kamar yang tidak mungkin ditempatinya lagi. Dari perahu kecil sejenis kempang dia melemparkan tali kelandara di tiang andang-andang. Dengan kelandara itu dia memanjat ke atas kapal induk. Dia melakukan dengan mulus. Tak seorang pun melihat. Sebab, tak seorang pun yang berjaga di sana pada malam larut begini. Maka dengan leluasa pula dia mengendap ke kamar. Dia tahu pula Dang Zhua tidak berada di situ. Karena itu dengan santai dia mendorong pintu dan masuk ke dalam. Dia tarik peti ukir yang terletak di pojok. Di bawah peti itu tertempel di bagian yang tak diketahui orang dua buah meterai emas bercap Liu Ta Xia: satu miliknya satu lagi milik Dang Zhua. Lekas-lekas dia masukkan itu ke dalam pakaiannya lalu keluar meninggalkan kamar. Sebelum itu dia ambil tinta, menguas dengan pit di kakinya sampai kakinya hitam, lantas diinjaknya bantal milik Dang Zhua. Kelak, ketika Dang Zhua datang ke kapal, dia pasti akan marah besar, karena merasa telah dipermainkan Hua Xiong. Maunya, setelah masuk ke dalam kamar, bekas ruang khusus baginya dan masih tetap menjadi ruang khusus bagi Dang Zhua, dia akan ke bawah, menemui Chen Tsu I, tapi dia mengurungkan kemauan itu. Dia langsung ke tali tempat dia tadi memanjat ke sini. Dengan tangkas dia meluncur ke bawah, naik ke perahu Tukiran, dan kembali ke darat.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 15:10
Benar, empat hari kemudian, Dang Zhua ke kapal, dan bukan kepalang marahnya. Dia berteriak sambil menendang bantal yang dikotori kaki Hua Xiong. ''Bajingan kamu Hua Xiong!'' Dia lemas dan terbaring di tempat tidurnya. Sumpah serapah menyertai lemasnya. Walau begitu, dia menyimpan kejadian ini sebagai rahasia. Jika dia menceritakan ini kepada Ceng Ho, dia tahu, dirinya akan menjadi sangat terhina. Bagaimanapun, dalam menyimpan ini sebagai rahasia, dalam hatinya tetap berkembang tekad dan harapan untuk dapat kembali menangkap Hua Xiong, lalu membuat perhitunganperhitungan yang lebih terperinci tentang segala hal yang telah membuat dirinya terhina demikian rupa. ''Kamu harus membayar mahal untuk semua ini,  Ya, Dang Zhua bisa bicara sebebasnya, setegasnya, sepandainya tentang dirinya, bahwa dia sanggup menangkap kembali Hua Xiong dan menghajarnya habis-habisan, tapi dalam sadarnya dia ragu sebab dia sendiri tidak tahu di mana sebenarnya Hua Xiong? Ya, siapa pula yang menyangka bahwa Hua Xiong sekarang tinggal di rumah Tukiran di daerah utara yang kumuh, tempat perkampungan nelayan yang rumahnya tak beraturan, menyesuaikan diri dengan irama yang galib dari nyanyian kehidupan dari orang-orang yang keras? Ya, dua manusia bekas sahabat, yang kini berbeda lantaran interesnya yang tidak sama, samasama membangun keberhasilan dan kesenangan dalam pikirannya, tak soal di mana ia mulai berlayar dan di mana ia mulai berlabuh. Ya, dalam pikirannya orang berkhayal akan perkara-perkara tersembunyi, tapi dalam kasatmata orang menginsafi akan ketelanjangan-ketelanjangannya. Ya, hidup adalah misteri tentang mengulur batas ajal yang sudah pasti di depan sana, dan orang berpacu ke situ sebagai pelomba untuk meraih kemenangan yang sementara.


***


Dang Zhua mampir ke rumah makan milik Ling Ling. Malam. Gerimis. Penuh orang.
Bila demikian, maka sudah dapat dibayangkan, berapa laba yang diperoleh orang tua Ling Ling dari rumah makannya yang baru tiga bulan lebih berdiri di kota ini. Pasti, sebentar lagi mereka akan menjadi kaya di sini.
Akhir pekan silam ayah Ling Ling memasang tulisan bertuah di dua dinding rumah makannya itu.
Di dinding kiri adalah ujar-ujaran dari Lao Tse:
XV\/ /\
Bacanya: Cai huo you yu, shi wei kua dao. Maksudnya: Orang yang terendam dalam kekayaan berlebihan adalah pemimpin garong.
Lalu, di dinding sebelah kanan terpajang tulisan dari ujar-ujaran yang terkenal dari Kong Hu
Cu:
ZVX\/ /\
Bacanya: Jun zi zhi cai, qu zhi you dao. Shen si you ming, fu gui zai tian. Maksudnya:
Kekayaan haruslah diraih dengan cara jujur, sebab keuntungan dan kerugian seseorang sudah tersurat di dalam takdirnya.

***

Di bawah tulisan yang satu itu - suratan dari seorang pemimpin besar bangsa yang sangat memengaruhi moral orang-orang Cina di dunia - tampak Ci Liang bersama dua orang bawahannya sedang duduk menghabiskan makanan.
Maunya Dang Zhua menghampirinya dan duduk di dekatnya, tapi semua bangku terisi.
Karena itu, Dang Zhua berdiri menunggu di dekat pintu, memperhatikan siapa-siapa dari orang banyak itu yang sudah selesai makan atau minum dan akan meninggalkan rumah makan
ini.
Melihat Dang Zhua berdiri menunggu di dekat pintu itu, Ling Ling pun masuk ke dalam, mengambil sebuah bangku kecil yang pas-pasan untuk diduduki satu orang berukuran kurus, dan memberikannya ke Dang Zhua.
"Silakan duduk," kata Ling Ling seraya menaruh bangku kecil itu di depan Dang Zhua. "Mau pesan apa?"
"Terima kasih," kata Dang Zhua. "Kau manis sekali."
"Tidak usah merayu," kata Ling Ling sambil berjalan, tapi kemudian berbalik kembali, "Mau makan atau minum?"
"Ramuan arakmu yang hebat itu," kata Dang Zhua menganja-anjakan. "Seperti yang dulu di Qui-Nho itu."
Ling Ling menyungging senyum, menanggap dengan ramah, menjawab dengan manis, "Ya,
tapi ini bukan Qui-Nho. Ini Semarang."
"Lagian, aku memang sudah tidak minum arak lagi." Dang Zhua duduk kembali. "Jadi, bikinkan minuman yang seperti kemarin-kemarin itu."
"Wedang jahe?"
"Betul sekali."


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 15:12
Di sebelah kanan sana, Ci Liang selesai makan, berdiri dari duduknya, siap hendak meninggalkan rumah makan. Dia bayar. Dia keluar. Kedua bawahannya - yang satu amat penting disebut secara khusus namanya, Kwik Ek Gi, orang yang sudah beberapa kali disebut-sebut oleh Ceng Ho sebagai satu-satunya penganut ajaran A-Lu-Fen - mengikutinya dari belakang. Di pintu, sebelum keluar ke jalan, Dang Zhua berdiri pula dari duduknya, bergeser ke pintu itu, memandang Ci Liang, memberi isyarat tertentu dengan tubuhnya, menaikkan bahu, membuka telapak tangan. "Tidak ada tanda-tanda," kata Dang Zhua ke Ci Liang. Ci Liang berhenti. "Keyakinan tidak selalu harus didukung oleh tanda-tanda," katanya dengan wajah datar. "Tahu kenapa begitu? Sebab, ada orang yang memilih mati supaya orang lain gagal menjadi pahlawan. Ada juga orang yang mencari jalan untuk menjadi pahlawan dengan lebih dulu melampaui jalan sebagai pengkhianat. Ada lagi orang yang bergaris gagah mengalahkan musuh demi takhta Kerajaan Ming dan tidak hirau pada orang-orang yang mau atau tidak mengakuinya sebagai pahlawan. Namun, yang paling banyak di dunia sinting ini adalah orang mabuk yang menjadi pahlawan kesiangan." Dang Zhua termangu, terbungkam, dan merasa matanya seakan-akan dilaburi asap. Dia bertanya dalam hati: Apakah Ci Liang sudah tahu tentang kaki Hua Xiong yang gupak tinta di atas bantal miliknya yang selama hari-hari terakhir ini dirahasiakannya? Sekarang dia menjawab: tidak. Besok dia menjawab: entah. Lusa dia menjawab: ya.
Tulat, tubin, dan seterusnya, dia tak punya jawaban apa-apa.
Yang dia ketahui, Ci Liang itu cerdas, pemberani, dan sangat taat pada kepercayaannya, namun juga tidak karib dengannya.
"Tapi semua hal memerlukan kemampuan berimajinasi," kata Dang Zhua di dalam hati. "Aku memiliki itu juga."

Lalu dia kembali masuk ke dalam rumah makan, menghirup minuman panas dari mangkuk keramik putih berbunga biru dari model yang paling khas Ming.


***


Di luar sana, di jalanan tanah yang ada onak-durinya, sekeluar Ci Liang dan Ek Gi bersama seorang lainnya dari rumah makan Ling Ling, berlangsung pertanyaan di dalam hati tentang Dang Zhua.
Awalnya karena Ek Gi seperti ragu, bertanya kepada Ci Liang sambil berjalan di situ bergegas-gegas, dan digonggongi anjing buduk penuh kepinjal.
"Kelihatannya Anda tidak percaya pada Dang Zhua," kata Ek Gi.
Ci Liang tertawa. Dia terus berjalan.
Ek Gi penasaran. "Apakah saya salah menyimpulkan?" tanyanya.
"Melihat Dang Zhua seperti melihat sosok di dalam kabut," jawab Ci Liang.
"Nyata tapi tidak jelas?"
Ci Liang memperlambat langkah. "Begini," katanya, "sebetulnya dia sudah berubah. Walau begitu, saya selalu berpendapat, bahwa pengetahuan tidak dibentuk dari pakaian yang membungkus sosok, melainkan dari sisik yang terurai dari sosok yang terbuka. Penghargaan semestinya tumbuh dari penglihatan."
"Saya mengerti," kata Ek Gi, "kabut berarti abu-abu."
"Betul. Dan itu merupakan tanda tanya."
"Seperti puisi?"
"Bagi puisi: abu-abu itu memang bisa merupakan kekuatan dari wujud keindahan yang lahir dari dorongan keindahan. Tapi, dalam politik: abu-abu bisa berarti suatu sikap dari warna emosional yang tidak jelas melawan atau menyetujui tindakan-tindakan tertentu, pandangan-pandangan tertentu, bahkan pribadi-pribadi orang tertentu. Jadi, layaklah kalau saya menaruh kesangsian di hati, jangan-jangan perubahan dalam penampilan Dang Zhua itu mengarah ke situ. Mungkin saja saya salah. Kalau saya salah, saya harus meralat. Nah, bagaimana pendapatmu sendiri?"
"Mungkin pendapat saya juga keliru. Tapi saya melihat kemauannya yang kuat untuk menjadi
jujur."
"Mudah-mudahan."
Mereka berjalan terus. Matahari ada di atas. Tapi sekali-dua dilewati awan sehingga bumi di bawah tidak terik seperti di musim kemarau.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 15:16
Sementara, lima orang yang berangkat ke Borobudur, masih juga berjalan dengan sulit karena musim hujan yang membuat jalanan tanah amat licin, sehingga kereta yang mereka gunakan sering selip dan terperosok ke dalam kubangan, dan mereka pun harus bekerja keras untuk mengangkatnya. Berhari-hari mereka menempuh perjalanan itu. Jika malam tiba, mereka memasang kemah, dan tidur di dalam. Aman. Tidak ada yang mengganggu. Cerita tentang begal dan garong yang biasa dituturkan orang-orang di pesisir utara, tak ada sama sekali. Mereka memang tidak tahu, bahwa begal dan garong itu sekarang sudah menjadi murid-murid Tan Tay Seng.


***


Kini, di Borobudur, murid-murid Tan Tay Seng itu, seperti selalu, sehabis latihan, meriung ditempat yang biasa, berbincang-bincang antara yang serius dan yang santai.
Petang ini mereka meneruskan pembicaraan yang kemarin dan kemarinnya, yaitu rencana sang Bupati Tritama untuk menikahkan putrinya dengan Tan Tay Seng.
"Nanti, di waktu nikah, dandanan suhu dan dandanan mempelai wanita akan istimewa," kata Wage.
Dan sambung Bronjong, "Sesuai dengan adat di sini."
"Seperti yang dilukis di dinding utama deret bawah lorong pertama bagian selatan candi," kata Wage.

Tan Tay Seng terdiam. Dia mengingat-ingat gambar-gambar relief Candi Borobudur yang sudah dinikmatinya, tapi tampaknya dia tidak menghafal secara rinci. Maka dengan jujur dia bertanya, "Lukisan yang mana?"
"Lukisan tentang cerita Awandana," kata Wage. "Menurut kakekku, lukisan orang memegang bingkai di lorong pertama bagian selatan Candi Borobudur itu, dimaksudkan sebagai tanda setuju menjadi pengantin, duduk di pelaminan.""Apa memang begitu?" tanya Tan Tay Seng.
"Ya," jawab Wage. "Pengantinnya seperti terlukis di dinding candi itu, biasa memakai tajuk, mengeliga, memakai kalung di leher, kalung di lengan, kalung di tangan, kalung di perut."
"Dan di sampingnya ada panitia-panitianya. Saya yang nanti jadi panitianya," kata Bronjong. "Indah sekali," kata Wage.
Tan Tay Seng mengangguk. "Memang indah," katanya. Dan Tan Tay Seng tercenung. Dia membayangkan kisah Buddha yang sudah berkali-kali dinikmatinya di semua penjuru Candi Borobudur itu sejak dia membumi di situ. Rasanya besok dia akan melihat lebih khusus tentang bagian yang baru disebut Wage.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 15:20
Pagi-pagi benar apakala matahari baru muncul di balik Merapi sana, Tan Tay Seng berjalan ke candi indah itu. Dia memasuki candi sesuai dengan jalan yang benar, melalui gapura timur. Bahwa semua arah sama dapat didaki, timur, barat, utara, selatan, tapi memang gapura timur adalah gapura pertama, sebab dari situ, bila ditarik garis yang lurus, maka garis itu akan menghubung ke dua candi lain yang merupakan kesatuan dengan Borobudur, yaitu Pawon sebelum Sungai Progo dan Mendut setelah Sungai Elo. Pagi ini, walaupun Tan Tay Seng hanya akan melihat secara khusus relief yang mengisahkan Awandana di lorong pertama sebelah selatan candi, tapi dia menyimak seluruhnya, mulai dari bagian Kamadhatu yang terdiri atas 13.000 meter persegi batu dan 160 relief, kemudian bagian Rupadhatu yang panjangnya 1,5 kilometer dengan empat lorong, 1.300 relief, dan 1.212 panil berhias, dan di atas pada bagian Arupadhatu yang terdiri atas 72 buah stupa berjendela-jendela dan satu stupa besar di pusat paling tinggi. Setelah berlama-lama di puncak candi memandang ke segala penjuru, mengagumi alam ciptaan Tuhan, pusat bumi Jawa yang elok permai, turunlah Tan Tay Seng ke bawah. Dia berjalan di depan, Wage yang menemaninya berjalan di belakangnya. Sebelum tiba di tanah, dia berbelok ke kiri, ke patung Buddha dalam stupa terawang, melakukan apa yang biasa dilakukan orang, yaitu memasukkan tangan ke dalam stupa terawang itu dan mengucapkan kata-kata tertentu yang bersifat memohon. Dalam leluri yang dipercaya orang, dan Tan Tay Seng termasuk orang yang percaya pula, jika ujung tangannya dapat menyentuh patung Buddha di dalam stupa itu maka segala permohonan yang diucapkan baik dengan lafaz maupun yang diucapkan di dalam hati akan dikabulkan oleh Buddha.
Wage yang mengingatkan ini. Katanya, "Waktu kenduri pernikahan Anda tinggal 20 hari, Suhu. Coba saja katakan kepada Buddha, apakah Buddha memberi restu atau tidak."
"Kenapa pula kau bilang begitu?" kata Tan Tay Seng seperti tersentak oleh lamun dan pertimbangan tertentu.
"Maaf, Suhu," kata Wage. "Saya bilang begitu sebab saya melihat agak-agaknya Suhu masih ragu memasuki hidup baru 10 hari lagi."
"Tidak juga."
"Betulkah?"
Tan Tay Seng mengangguk tanpa berkata apa-apa.
"Jika begitu, lakukanlah dwiwicara dengan Buddha. Dalam diam, di balik arca, ada jawaban kehidupan dari Buddha."
Tan Tay Seng terkesiap akan pernyataan Wage. Dia kagum bahwa bekas begal ini ternyata memiliki sifat-sifat atma luhur. Sementara karena terkesiap demikian Tan Tay Seng terdiam beberapa saat di depan stupa itu. Karenanya Wage mendesak.
"Nah, lakukanlah, Suhu," kata Wage. "Pasti Buddha setuju. Pasti ujung tangan Anda akan mencapai arca Buddha."
Tan Tay Seng pun melakukannya. Pelan-pelan lewat terawang itu dia masukkan tangannya ke dalam stupa. Satu, dua, tiga. Mendadak matanya terbuka lebar. Alih-alih ujung tangannya dapat menyentuh patung Buddha itu. Dia heran. Sebab, pada waktu-waktu sebelumnya dia tidak pernah bisa melakukan ini.
Dengan melihat mata Tan Tay Seng terbuka lebar seperti itu, Wage pun dapat menyimpulkannya dengan mudah.
"Terpegang?" tanya Wage.
Tan Tay Seng menarik napas. "Ya," jawabnya.
Wage berseru girang. "Nah, apa kataku? Buddha setuju. Jodoh tidak ke mana."



***


Lalu mereka menuruni tangga-tangga. Tak lupa, sebab ini sebetulnya tujuan awal Tan Tay Seng menyimak relief yang kemarin disebutkan oleh Wage ke bagian selatan candi menuju ke lorong yang terpampangkan kisah Awandana itu. Di relief itu, bukan hanya teladan pria yang ditampilkan di dalam bingkai di bawah payung, tapi juga teladan wanita. Tan Tay Seng memperhatikan dengan serius relief itu. Kemudian dia berkata dalam kalimat tanya, "Saya akan berpenampilan seperti ini? Tidak mengenakan jubah sutra bersulamkan naga? Dan mempelai putri tidak juga mengenakan jubah sutra bersulamkan burung hong?" "Ya, Suhu," kata Wage bersemangat. "Inilah Jawa. Menjadi pengantin adalah menjadi raja sehari." Tan Tay Seng tertawa kecil. "Raja sehari?" "Ya, dalam rangka memiliki sifat bawalaksana."*) ''Apa itu?'' Wage tertawa lugu. ''Saya hanya menghafal itu dari kata-kata kakek saya. Kalau Anda mau bertanya kepada kakek saya, Anda bakal mendapat jawaban yang memuaskan.'' Tan Tay Seng hanya diam. Dia tertarik. Tapi dia hanya menggerakkan bibir sedemikian rupa sehingga terdengar bunyi bilabial di situ. Yang melintas dalam pikirannya adalah bertemu kakek Wage dan bertanya. Nanti. Suatu waktu. Waktu yang indah.
***
Apa boleh buat, waktu berputar manusia berubah....
Tan Tay Seng pasti akan duduk bersanding dalam pelaminan sebagai mempelai yang bahagia, raja sehari, pada dua pekan yang akan datang. Pikirannya tidak berubah lagi, terarah penuh pada Caya, putri sang bupati.
Apakah dengan begitu boleh diartikan perhatiannya telah padam terhadap Ling Ling?
Apa boleh buat, jawabannya adalah: ya.
Padahal, pada pihak Ling Ling justru kebalikannya.
Setelah mengetahui duduk perkara sebenarnya, makin hari Ling Ling kian terbawa lamun kepada Tan Tay Seng. Banyak daftar kesalahan yang dibuat dalam lamunannya. Terakhir, tak maunya mencari Tan Tay Seng, padahal tawaran itu datang dari Wang Jing Hong yang menyediakan orang-orang perkasa di bawah Li Kiu Gi untuk menemaninya ke Borobudur.
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 15:39
Apa boleh buat, waktu berputar manusia berubah....
Tan Tay Seng pasti akan duduk bersanding dalam pelaminan sebagai mempelai yang bahagia,
raja sehari, pada dua pekan yang akan datang. Pikirannya tidak berubah lagi, terarah penuh
pada Caya, putri sang bupati.
Apakah dengan begitu boleh diartikan perhatiannya telah padam terhadap Ling Ling?
Apa boleh buat, jawabannya adalah: ya.
Padahal, pada pihak Ling Ling justru kebalikannya.
Setelah mengetahui duduk perkara sebenarnya, makin hari Ling Ling kian terbawa lamun kepada Tan Tay Seng. Banyak daftar kesalahan yang dibuat dalam lamunannya. Terakhir, tak maunya mencari Tan Tay Seng, padahal tawaran itu datang dari Wang Jing Hong yang menyediakan orang-orang perkasa di bawah Li Kiu Gi untuk menemaninya ke Borobudur.
Malahan rasa bersalahnya termasuk keengganannya untuk memberikan surat kepada Tan Tay
Seng. Ya, dia tidak jadi menitip kabar melalui Li Kiu Gi untuk Tan Tay Seng.
Apa boleh buat, Ling Ling melamun sampai malam menjadi piatu.
Nanti dia tersentak kaget dari lamunan itu ketika pintu rumah makannya diketuk orang dengan cara tidak lazim. Dia bangkit dari ranjang. Bukan hanya dia yang bangkit, melainkan juga ibu dan ayahnya.
Ayahnya yang memutuskan membuka pintu. ''Biar aku yang buka pintu,'' katanya.


***


Apa boleh buat, pintu dibuka.
Dari luar masuk dua orang, Dang Zhua dan Crebek. Dang Zhua menarik lengan Crebek, ke kursi dan bangku yang sudah dibalik-balikkan di atas meja.
Padahal ayah Ling Ling telah berkata, ''Kami sudah tutup.''
''Ya, tapi kami pun lapar,'' kata Dang Zhua.
Ayah Ling Ling berdiri sesaat, memperhatikan Crebek. Dia yakin belum pernah melihat Crebek. Karena itu dia bertanya dengan bahasa yang tidak dipahami Crebek, ''Siapa dia?''
''Umpan untuk Hua Xiong,'' jawab Dang Zhua
O? Saya kira 'hantu yang akan dijual Ting-Po seharga seribu lima ratus',''*) kata ayah Ling
Ling.
Dang Zhua tertawa terbahak. ''Sudah, siapkan makanan panas. Cukup mi rebus saja,'' kata Dang Zhua.

***

Apa boleh buat, ayah Ling Ling menyuruh Ling Ling masuk ke dapur, menyiapkan mi rebus: bawang putih digecek, ditumis dengan minyak babi, masukkan udang, tambah daun bawang, merica, sedikit angciu, masukkan ke dalam rebusan kaldu, setelah mendidih masukkan mi dan caisin serta bumbu masak lain.
Setelah siap Ling Ling menyajikan untuk Dang Zhua dan Crebek. ''Silakan,'' katanya ramah.
Dan kedua orang itu pun menyantapnya.
Ayah Ling Ling memperhatikan dari kursinya. ''Dari mana malam-malam begini?'' tanyanya.
''Seperti sudah saya katakan, saya mengumpan Hua Xiong, tapi dia tidak terumpan,'' jawab Dang Zhua. ''Apa orang-orang yang biasa mencari hiburan di suhian Juminah masih suka obral mulut di sini?''

''Tukang obral mulut cuma Hian Bing. Tapi bukankah dia sudah mati oleh Hua Xiong?''
''Hua Xiong sendiri?''
''Hua Xiong? Mana berani dia datang ke sini. Dia berada di sini hanya ketika Anda membawa
ke sini dan dia kabur menyeberangi sungai di depan itu.''

''Begini,'' kata Dang Zhua sambil menaruh sumpit di atas mangkok mi. ''Saya minta bantuan Anda. Yang datang ke sini kan banyak macam manusia. Buatlah cerita bahwa perempuan ini, Crebek, sangat merindukan Hua Xiong. Berkali-kali akan dijadikan ca-bau-kan oleh banyak orang yang menyukainya, tapi dia tidak mau, sebab dia tetap menunggu Hua Xiong. Saya yakin cerita ini sampai di kupingnya.'' ''Yakinlah, saya bisa membuat kembangan cerita yang lebih dramatis dari cerita itu,'' kata ayah Ling Ling. Istrinya, yaitu ibu Ling Ling, kelihatannya tidak senang mendengar pernyataan ayah Ling Ling. Dia cemberut. Sekarang dia hanya diam. Tapi nanti dia akan mengontrok.

***


Benar juga. Setelah Dang Zhua dan Crebek pergi, ketika ayah Ling Ling masih menutup pintu dan menaruh palang di situ, ibu Ling Ling langsung mengontrok dan mengata-ngatai suaminya.
Hua Xiong tertawa. ''Itu jebakan paling tolol dari seorang lelaki pasilan, benalu, cundang.
Sesama kadal kok bermain cecak. Lihat saja, saya akan bermain sebagai biawak.''
''Akan diapakan dia?''
''Dimatikan.''
''Dimatikan? Eman-eman.''
''Itu lebih baik. Untuk mengajar kadal.''

***

Larut malam Hua Xiong nekat ke bagian kota, ke rumah yang belum habis masa sewanya tapi yang sudah ditinggalkannya. Ke sana dia menyamar lagi seperti biasa, mengenakan seluar nelayan, tak berbaju, tapi bercaping lebar yang menutup seluruh wajah. Karena rumah yang dituju itu adalah bekas tempat tinggalnya selama itu, dia tahu betul selukbeluknya: pintunya, jendelanya. Dari jendela samping kiri, dia masuk pelan-pelan, tak membuat bunyi barang sedikit pun. Pelan-pelan pula dia membuka semua jendela dan pintu, berpikir untuk sewaktu-waktu jika ada bahaya jebakan di situ, bisa langsung melompat keluar lewat salah satu dari jendela dan pintu rumah itu. Lalu dia berjalan ke ruang depan. Dia intip dari situ, ada atau tidak Crebek di dalamnya. Ternyata memang ada. Crebek terbaring di situ dalam keadaan telanjang. Pikirannya pun terganggu. Biasanya Crebek tidak tidur dalam keadaan telanjang. Dia pindah mengintip di ruang yang satu. Ternyata ada seseorang di situ. Karena telah berbulan-bulan tidur dalam satu kamar di kapal induk bersama Dang Zhua, dia segera yakin orang yang tidur tengkurap di ruang yang satu ini adalah pasti, tak salah lagi, Dang Zhua, yang dulu kanti kini benci. ''Keparat terkutuk kamu Dang Zhua,'' serapahnya di dalam hati. Lalu dia ke dapur. Di dapur ada minyak dan tali. Dia ambil tali dan minyak itu. Tali dia pakai mengikat pintu ruang yang dipakai tidur Dang Zhua. Dia ikat kuat-kuat. Setelah itu di daun pintu dia siram minyak. Nanti, apabila yang akan diperbuat ini selesai, dia akan membakar pintu ruang yang satu itu. Yang dia perbuat berikut adalah masuk ke ruang tempat Crebek tidur dalam keadaan telanjang. Pelan pula langkahnya dia angkat ke situ. Tiba di ranjang itu, ranjang yang memang biasa dia pakai untuk tidur, dia cekik leher Crebek. Crebek terbangun. Crebek terbangun. Dia meronta. Hua Xiong menutup mulut Crebek. Di telinga perempuan ini dia mengancam, ''Kalau kamu berteriak, kamu mati.''
Crebek mengangguk-angguk. Dalam takutnya dia bermaksud berkata: Ya, aku tidak berteriak.
''Bagus,'' kata Hua Xiong dan dia tarik tangan Crebek untuk memegang kentongannya, lalu berbisik di telinga perempuan itu, ''Katanya kamu kangen sama ini.''
Hanya dalam beberapa detik saja tubuh Hua Xiong telah bersatu dengan tubuh Crebek. Suara gaduh Crebek seperti banyak perempuan di saat-saat menjelang lupa diri, membuat Dang Zhua di ruang sebelah terjaga dan bangun.
Dang Zhua langsung meloncat ke pintu. Membukanya. Tak terbuka.
''Crebek!'' seru Dang Zhua.
Hua Xiong pun meloncat dari ranjang dan keluar dari ruang Crebek. Dia nyalakan api dan membakar pintu ruang itu.

Dengan sekuat tenaga Hua Xiong menabrak pintu itu, dan pintu itu pun terbuka, bukan karena tali yang diikat tadi terlepas melainkan karena engselnya copot dari kusen.
Sial bagi Dang Zhua karena ketika menubruk pintu itu dan jatuh bersamanya, Hua Xiong pas berada di situ. Dengan gerakan tak terencana, hanya karena melihat Dang Zhua terjerembap di
lantai, Hua Xiong mencabut pedang pendeknya yang berada di belakang jubahnya, dan dia tikamkan ke arah Dang Zhua, kena pinggangnya. Dang Zhua menjerit, Hua Xiong melarikan diri.
Selanjutnya tinggal cibiran orang terhadap Dang Zhua.

***
Untung saja tikaman pedang pendek Hua Xiong hanya mengena sisi kiri pinggang Dang Zhua. Kalau bergeser sejengkal saja, kemungkinan Dang Zhua akan selesai di situ.
Siang itu juga dibuat pertemuan di Simongan. Semua hadir dalam pertemuan itu.
Jika bukan karena celaka itu, barangkali Ci Liang masih tetap ragu pada kesungguhan Dang Zhua. Dengan melihat celaka Dang Zhua, Ci Liang, seperti yang segera dikatakannya kepada Ek Gi, menyimpulkan, ''Memang betul, dia telah menjadi musuh Hua Xiong.''
''Yang jadi soal, di mana Hua Xiong itu?'' kata Ek Gi.
Dari Ceng Ho, dalam pertemuan ini, tercetus perintah yang paling tegas: ''Tidak ada alasan untuk tidak menangkap Hua Xiong. Kita tidak boleh santai-santai lagi. Ini masalah sangat rawan. Sekali lagi saya ingatkan, janganlah nila setitik merusak susu ebelanga. Perbuatan Hua Xiong sungguh-sungguh merusak misi kita. Maka bawa dia dalam keadaan hidup ke hadapan saya. Saya yang akan memutuskan hukuman apa yang pantas bagi dia. Untuk itu, saya beri waktu tiga hari kepada kalian. Sisir semua tempat di bagian kota sana. Tidak boleh ada seekor pun kutu yang boleh luput dari sisir kalian itu. Perintah ini berlaku mulai hari ini juga.''

Dengan cepat pemeo itu tersebar di mana-mana, dileterkan orang dengan senyum meremehkan dan tawa melecehkan. Pemeo itu juga dibawa ke rumah makan Ling Ling.

*****

Pedulikah Ling Ling, ayahnya, ibunya?
Tidak sama sekali.


Yang mungkin cepat-cepat dipedulikan Ling Ling adalah berita yang ditunggu-tunggunya dari Borobudur dan berita itu belum kunjung datang ke Semarang, ke rumah makannya.
Kalau nanti berita itu sampai kepadanya, dibawa oleh rombongan Li Kiu Gi, pada bulan depan sebelum Sin-Cia, niscaya dia akan terkejut, terpukul, dan berlinang air mata. Pada saat itu, pasti dia bakal menyadari, dan dia terlambat untuk merasakan itu, betapa nasi yang sudah menjadi bubur takkan bisa dibuat kembali menjadi beras.
Rombongan Kiu Gi tiba di Borobudur dua hari sebelum hari istimewa bagi Tan Tay Seng, hari dalam sejarah hidupnya menjadi mempelai dengan menempuh istiadat yang ketat sekali, waris leluri yang bersinambung turun-temurun dari abad ke abad sejak candi agung itu didirikan oleh Raja Samaratungga untuk mengagungkan kebajikan Buddha.
Jadi, rombongan Kiu Gi menyaksikan sendiri pernikahan Tan Tay Seng. Dan, ceritanya ke Semarang nanti, menyakitkan Ling Ling.

***


Dalam pernikahan itu Tan Tay Seng diberi nama baru, nama Jawa, yaitu Tanuwijaya. Yang menjadi ayahnya, kakek Wage, Mangkuwijaya. Sebelum disandingkan dengan Caya putri Tritama, pada pagi hari menjelang siang dilangsungkan dulu upacara siraman kepada calon pengantin putri. Mula-mula Caya sungkem pada ayah-ibunya dan para pinisepuh yang akan menyiramkan air kepadanya yang diambil dari klenting. Sang ayah, Tritama, yang terakhir menyiram, dan setelah itu memecahkan klenting sambil berkata, "Pecaha pamore." Tak lama setelah itu tibalah Tan Tay Seng, sang pengantin pria yang telah berganti nama menjadi Tanuwijaya tersebut. Rombongannya didului oleh gadis-gadis pembawa uba-rampe dan disambut di depan rumah, berlanjut dengan srah-srahan. Ayah Caya, Bupati Tritama, didampingi ibu, berkata kepada Caya:
"Caya, sineksen para pinisepuh, iki kowe dak jaluk antebing atimu, merga anggonmu bakal dak jodhohake karo Bagus Tanuwijaya putrane Kangmas Mangkuwijaya." Dan jawab Caya mantap, "Rama saha biyung, dalem boten suwala keparengipun para pinisepuh. Ingkang punika dalem namung ndherek rama-biyung."


***


Upacara itu dilanjutkan dengan sekar-mayang, diiringi dengan Gendhing Monggang, berakhir dengan dipasangnya kembar-mayang di kanan dan kiri petanen yang dilengkapi dengan pelbagai hiasan-hiasan lambang antara dua klemuk berisi air tempuran dan beras kuning, kelapa muda, serta kendi di atas bokor. Ada lagi upacara majemukan, berupa selamatan dengan bacaan mantra-mantra sinkretisasi Buddha dan Syiwa dalam corak Mahayana yang sangat Jawa. Semua ini diperhatikan dengan takjub oleh Kiu Gi dan rombongannya. Termasuk juga upacara tawa.*) Bahkan wajah mereka kelihatan antara takjub dan tegang melihat upacara pawiwahanpanggih, yaitu didekatkannya Tan Tay Seng dan Caya untuk  bisa saling melemparkan sadak sirih, berlanjut dengan dibukanya kuluk Tan Tay Seng untuk ditempeli air, kemudian Caya menaruh telur ayam untuk diinjak oleh Tan Tay Seng, sampai nanti mereka duduk di tempatnya, dan ibu Caya berdiri di belakangnya memegang sindur. Upacara itu belum usai sampai di situ. Kiu Gi dan rombongan masih menyaksikan upacara kacar-kucur dan timbangan. Dalam upacara kacar-kucur Tan Tay Seng disuruh menuangkan uba-rampe ke pangkuan Caya. Ini dimaksudkan sebagai lambang dari tanggung jawab suami untuk memberi nafkah lahir-batin kepada istri. Nanti uba-rampe yang diterima Caya ditaruh di sebelah kanan dan kiri petanen. Setelah itu Tritama, ayah Caya, duduk di antara putrinya itu dan Tan Tay Seng. Dia memberi isyarat supaya Tan Tay Seng duduk di paha kanannya dan Caya duduk di paha kirinya. Lalu ibu Caya berjalan ke depan ketiga orang itu dan duduk di hadapannya. Ibu Caya bertanya, siapa yang lebih berat, antara Tan Tay Seng dan Caya. Ujarnya, "Abot ingkang pundi ramane?" Dan jawab Tritama, sang ayah, dengan bahasa ngoko, "Padha wae." Lalu, berhubung Caya adalah anak sulung, maka dalam upacara ini dilangsungkan juga bubak-kawah, yaitu ibu Caya membuat rujak manis dan rujak degan yang ditaruh di dua tempat. Rujak itu diambil dan diberikan kepada Tritama, sang ayah. Bertanya ibu Caya kepada Tritama suaminya, "Raosing rujakipun kados pundi, Rama?" Dan jawab Tritama, "Seger sumyah." Istrinya bertanya lagi, "Ingkang kirang punapanipun?" Jawab Tritama dengan tegas, "Wis ora ana sing kurang." Di ujung segala upacara, seseorang menuntun Tan Tay Seng dan Caya untuk datang ke tempat duduk Tritama dan istrinya. Dia membantu melepas keris di pinggang Tan Tay Seng, kemudian menyaran Caya sungkem kepada mula-mula ibunya, kemudian ayahnya, dan juga menyaran Tan Tay Seng untuk melakukan hal yang sama kepada mertua laki dan mertua perempuan. Setelah rangkaian upacara itu selesai, kedua mempelai, Tan Tay Seng dan Caya dibawa kirab dengan kereta mengelilingi ketiga candi Buddha: Mendut, Pawon, Borobudur. Kemudian mereka berganti busana, lalu orang-orang tua melakukan wursitwara, yaitu nasihat-nasihat, dan para undangan menyalam, bersantap, dan pulang.

***


Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 15:44
Kiu Gi dan rombongan masih tinggal tiga hari lagi di Borobudur sebelum mereka kembali ke Semarang. Tugas yang diberikan kepada Kiu Gi untuk menyampaikan pesan Ceng Ho agar jika bisa pada hari besar Sin-Cia dapat kiranya Tan Tay Seng ke Semarang, telah dilakukannya. Yang belum disampaikan Kiu Gi adalah salam dari Ling Ling. Dengan kagok dia mengatakan itu sebelum mereka berpisah. "Sebetulnya ada titipan buatmu yang mestinya sudah saya sampaikan sejak awal, tapi saya kira itu tidak perlu lagi," kata Kiu Gi.

"Titipan apa itu?" tanya Tan Tay Seng.
"Titipan salam," sahut Kiu Gi.
"O ya? Dari siapa?"
"Coba tebak."
"Wu Ping."
"Bukan."
"Wang Jing Hong."
"Bukan."
"Siapa?"

"Ling Ling."
"Ha-ha-ha."
"Kenapa ketawa?"
"Aneh."
"Kelihatannya dia menyesal."
"Tambah aneh lagi."
"Sejatinya memang begitu."
"Kenapa?"
"Waktu itu dia begitu percaya pada gunjingan tentang seseorang yang menggunakan namamu  di suhian Juminah. Padahal orang yang memakai namamu di situ itu adalah Hua Xiong."

"Apa?"
"Ya. Sejatinya begitu. Sekarang Hua Xiong sedang dicari. Sam Po Kong sendiri yang memerintahkan itu."
Lama Tan Tay Seng tercenung, diam, tapi panas hatinya membayangkan tampang jaharu itu.
Ajaibnya, dan ini sangat mengherankan Kiu Gi dan rombongannya, karena setelah diam lama, Tan Tay Seng berkata, "Sudah selesai. Aku harus bisa mengekang kemarahan. Tiap kali aku masuk ke dalam Candi Mendut, memandang arca Buddha di tengah dua Bodhisatvva, aku terpanggil untuk memahami betul Dharmacakara-mudra.*) Aku merindukan arahat.**)
Kebenaran-kebenaran Buddha: penderitaan adalah pengalaman manusiawi, kegandrungan menghadir-diri adalah penyebab penderitaan, penderitaan berhenti manakala keinginan itu
berhenti, delapan jalan untuk menghentikan penderitaan itu adalah kepercayaan yang benar, harapan dan tujuan yang benar, ucapan dan tutur kata yang benar, perbuatan dan tindak-tanduk yang benar, mencari nafkah yang benar, usaha yang benar, perhatian yang benar, samadi yang benar. Di Borobudur sinilah aku memasuki mukti itu."Oleh kata-kata yang tak diduga itu Kiu Gi dan rombongannya terdiam beberapa saat. Takjub mereka berbeda dengan takjub menyaksikan upacara pernikahan Tan Tay Seng tiga hari lalu.

"Tapi katakan kepada Sam Po Kong, aku pasti datang ke Semarang, merayakan tahun baru kita Sin-Cia, sekaligus bersalam-salaman kepada kalian semua sebelum kalian berlayar pulang."
Kiu Gi diam sesaat, berpikir acak-acak. Lalu katanya, "Saya pun, kalau ketemu jodoh di Tanah Jawa ini, memilih membumi di sini."
Wajah Tan Tay Seng mewakili rasa masygul. "Mana mungkin? Kalian bukan orang sipil. Kalian militer. Kalian berlayar karena tugas negara," kata Tan Tay Seng.
"Kenapa tidak?" kata Kiu Gi pula. "Sebagian besar orang Cina di Semarang itu adalah turunan dari kakek-kakeknya yang dulu militer Khubilai Khan di bawah Shih-Pi dan Kau-Hsing untuk mengeksekusi Kertanagara. Selesai dari tugas, mereka tidak pulang, tapi memilih Semarang sebagai Tanah Air."
"Apa kau ingin juga jadi desertir?" tanya Tan Tay Seng sekadar berakrab.
"Desertir? Di bawah komando Sam Po Kong yang berwibawa seperti itu, tidak mungkin,"
kata Kiu Gi. "Tapi, kalau saya minta izin resmi dengan alasan-alasan yang masuk akal, saya yakin Sam Po Kong dapat memahami."
"Kau terobsesi?"
"Ya. Tanah Jawa ini menjanjikan segala impian untuk bertemu dengan Bai Wu-Chang***)
dan menjadi Yin Zi-Fang."****)
"Kalau kau memang terobsesi, katakan saja kepada Sam Po Kong."
"Saya memang sedang menyusun alasan-alasan saya."
"Berarti kau harus ketemu jodoh terlebih dulu."
"Ya. Saya harus mencari."
"Tidak. Jodoh itu datang sendiri. Seperti saya. Saya tidak mencari, tapi menemukan."
Kata-kata Tan Tay Seng itu, bahwa jodoh tidak dicari melainkan ditemukan, menjadi menarik diulang-ulang dalam pikiran Kiu Gi, dan kemudian akan diperkatakannya kepada orang-orang tertentu di Semarang, sampai akhirnya Ling Ling mendengarnya pula.



***


Kiu Gi dan rombongan tiba di Simongan pada sore hari. Di Simongan orang-orang telah siap-siap menyambut Sin-Cia. Padahal tahun baru Cina itu masih tiga pekan lagi. Kelak leluri yang dimulai oleh Ceng Ho ini bakal terus berlangsung, sampai akhirnya tempat itu dijadikan kelenteng. Sebetulnya kelenteng satu-satunya yang ada di Semarang waktu itu, telah berdiri di sana lebih seratus tahun yang lalu, yaitu setelah kakek-kakek moyang mereka ramai-ramai "melarikan diri" dari Tuban, dari kedudukan mereka sebagai tentara Cina, lantas "bersembunyi" di Semarang. Kelenteng di Semarang ini berdiri di dekat sungai, agak jauh dari rumah makan Ling Ling pada sungai yang sama, dan malah agak menyerong tak terlalu jauh dari gubuk mesum Juminah pada sungai yang sama pula. Besoknya Kiu Gi seorang diri berada di kelenteng ini. Di kelenteng ini yang dipuja, demikian dilakukan oleh hati Kiu Gi, adalah pertama Ru Lai Fo*). Ini berarti kelenteng ini adalah kelenteng Buddha. Selain itu dipuja juga Guan Shi Yin Pu Sa**) yang dewi welas asih, kemudian O Mi Duo Fo***) yang raja menjadi biksu, serta Yao Shi Fo****) yang Buddha paling awal. Di sisi kelenteng, Kiu Gi berdiri sesaat di depan pagoda tempat menyimpan abu dan tulang orang suci. Dia melihat ke langit. Di sana ada awan gelap. Lalu dia berjalan.

***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 15:50
Dengan berjalan bergegas, Kiu Gi tiba di rumah makan Ling Ling. Di dalam sana sudah penuh orang, yang sedang makan dan yang sedang menunggu pesanan makanannya. Kiu Gi berdiri menengok ke kiri dan kanan. Memang tak ada bangku kosong. Yang empunya rumah makan segera menyongsongnya, memberinya sebuah bangku kecil khusus untuk satu pantat yang biasa ditaruh di dalam dan hanya dikeluarkan jika semua bangku telah penuh diduduki orang. "Ayo, silakan masuk," kata ayah Ling Ling. "Jangan khawatir, masih ada tempat duduk buat Anda." Dia ambil bangku kecil itu lantas menaruhnya di depan Kiu Gi. "Kapan datang dari Borobudur?" "Kemarin," jawab Kiu Gi sambil duduk. "Perjalanan yang melelahkan." "Tentu." Ling Ling di depan. Dia mendengar semua percakapan. Sambil melihat dan mendengar percakapan Kiu Gi dan ayahnya, kepalanya anggung-anggip, dadanya dag-dig-dug. Tak sanggup menahan penasarannya, diapun maju, mendatangi Kiu Gi.
"Mau pesan apa?" tanyanya.
Bukannya menjawab pertanyaan Ling Ling, Kiu Gi memandang wajah gadis ini dari atas sampai bawah, terlamun.
Karena itu Ling Ling mengulang lagi pertanyaannya, "Mau pesan apa? Biar saya sendiri yang akan membikinkan untukmu."
Lagi, bukannya menjawab pertanyaan itu malahan Kiu Gi membuka mata lebar-lebar dan memuji Ling Ling, "Sumpah disambar geledek, hari ini kamu kelihatan cantik."
Ling Ling kelihatan salah tingkah. Tetapi dia mencibir. "Oh, jangan harap akan ada potongan harga untuk pujianmu yang membabi-buta itu," katanya. "Nah, mau pesan apa?"
"O, ya, babi yang buta memang tidak berharap dikasih potongan harga. Sebab, babi biasa dipotong dalam keadaan mata terbuka," kata Kiu Gi mesam-mesem. "Nah, tolong kasihkan teh. Lu Yu *****) yang mau minum nih. Ha-ha-ha."
"Hanya minum saja?" tanya Ling Ling berakrab. "Tidak pakai makanan?"
Kiu Gi membengkokkan kepala, seakan menimbang-nimbang. Lalu katanya lamat-lamat, "Baiklah. Cukup makanan kecil saja. Lunpia."
"Yang goreng atau basah?"
"Satu goreng satu basah."
"Tunggu. Maksudnya, satu itu satu biji atau satu porsi?"
"Satu biji goreng satu biji basah."
"Oh?" Ling Ling berlalu.
Dia masuk ke dalam, membuatkan teh, dan juga membuatkan lunpia. Sambil membuat, dia beranja-anja, mencibir. Ibunya ada juga di dapur.
"Kenapa mencibir?" tanya ibunya.
"Kiu Gi itu, belum jadi Lu Yu tapi lagaknya seperti pemikir."
Ibunya menenang-nenang. "Jangan mengejek orang," kata sang ibu. "Bisa-bisa yang diejek akan terbayang-bayang dalam ingatan."
"Ah, tidak mungkin," kata Ling Ling.
Setelah selesai pekerjaannya, dia bawa pesanan itu, teh dalam poci dan lunpia di atas piring,
dan diberikannya kepada Kiu Gi.
''Silakan,'' kata Ling Ling dengan sikap yang tampak resmi. Dia berdiri bertolak pinggang di hadapan Kiu Gi. ''Nah, katakan. Kenapa kau tidak langsung bercerita soal titipanku itu?''
Kiu Gi pura-pura pandir. ''Lo, seingatku, kau tidak jadi menitipkan apa-apa.''
Ling Ling tersentak. ''Apa kau pikun?''
Lagi Kiu Gi berpura-pura. Dia alihkan perhatian dengan mengambil lunpia dan menggigitnya.
''Ceritaku ke sana tidak menarik.''
''Ceritamu?''
Kiu Gi mengunyah dan menelan lunpia itu. ''Ya.''
''Lantas dia?''
''Dia?''
''Ya, yang membuat Sam Po Kong menyuruhmu ke sana.''
''O, dia?'' Kiu Gi menuang teh dari poci ke cangkir.
Ling Ling tidak mengangguk, tidak pula berkata ya, kecuali menunggu gerakan-gerakan Kiu Gi.
Kiu Gi menyeringai. ''Dia sudah selesai.''
Mengerut dahi Ling Ling. ''Apa maksudmu selesai?''
Kiu Gi bicara tegas tapi nada bicaranya datar dan volumenya pelan. ''Orang yang pernah kaucintai itu sudah berubah.''
''Ck!'' Dalam kemauan mendengar kisah yang terbuka dan terbeber habis, Ling Ling masih berpikir untuk menciptakan gengsi keperempuanan dalam keyakinan diri yang tidak utuh.
Suaranya berikut ini agak meninggi, tapi buatan, tidak alami. ''Siapa bilang saya mencintai dia? Bukan saya, tapi dia.''
Kiu Gi tak acuh terhadap penampilan itu. Katanya semudahnya, ''Iyalah. Dia yang cinta bukan kau. Namun tetap harus dikatakan, dia sudah berubah, selesai.''
Sekelebat tampak ketegangan tertentu di wajah Ling Ling. Di atas kenyataan ini dia berusaha terus untuk membangun kesan gengsi, namun di dalamnya hati yang tak mungkin bisa dia
dustai, bermain penasaran-penasaran yang teracak-acak, dan membuatnya jelas tak seimbang.
Dalam hatinya dia ingin mengorek lebih terperinci, apa sebenarnya yang dimaksudkan Kiu Gi tentang arti kata ''berubah'' tersebut. Pasti itu bukan perkataan gampang-gampangan. Apakah itu berseiringan dengan perubahan yang juga telah terjadi dalam sukmanya, tapi yang disimpannya sekarang di atas nama gengsi yang muncul tiba-tiba dalam akalnya?
Akhirnya dia tak tahan. Dia melepaskan kepenasaranannya yang telah mengusik perasaannya itu lewat satu-satunya mulut.
''Apanya yang berubah?''
Kiu Gi menggigit lagi lunpianya. Maka bicaranya terbagi antara keinginan untuk melafaz dengan baik dan keinginan untuk menikmati jajanan itu.
''Kelihatannya dia sedang menuju ke hidup yang arhat,'' kata Kiu Gi. ''Kau tahu, suasana di Borobudur sangat mendukung.''
Kening Ling Ling melengkung. ''Dia menjadi fanatik?''
Kiu Gi segera menggeleng kepala. ''Barangkali bukan fanatik.''
''Lantas?''
''Barangkali tingkat kesadarannya untuk berlindung pada Buddha semakin menonjol. Terus terang kami pun terkesima.''
''Lantas?''
''Ya, yang terlihat kasat mata adalah itu. Dia menjadi tenang.''
''Lantas?''
Kiu Gi minum dan tertigo. Dia merongseng, ''Ah, kau lantas-lantas melulu.''
Malah ada padahan suka di air muka Ling Ling. ''Memangnya kenapa?''
''Hanya orang yang mencintai seseorang yang terus-menerus bertanya lantas-lantas tentang orang itu,'' kata Kiu Gi mengarah gurau.
''Ah, siapa bilang?''
''Saya yang bilang.''
''Ah, itu dungu.''
Ling Ling memberi kesan menyepelekan dan memutar badan hendak meninggalkan Kiu Gi di bangkunya itu.
Kiu Gi mengimbaunya. ''Tunggu. Kok merajuk.''
''Aku tidak mau mendengar ceritamu,'' kata Ling Ling.
Kebetulan seseorang di belakangnya telah berkali-kali memanggilnya, meminta tambahan minum.
Sambil mengangkat cangkirnya, orang itu berkata, ''Ling, tambah minumnya nih.''
''Ya, ya,'' sahut Ling Ling dengan keramahan yang terjaga walaupun di dalam hatinya ada gelombang dan badai aneh.
Seseorang lain di sudut belakang, yang tubuhnya bulat seperti gentong dan perutnya sangih tapi belum juga kenyang, berteriak agak keras ke Ling Ling sambil melencing-lencingkan dua
batang sumpit di tangan kiri dan kanan. ''Ling, tambah bakutnya satu mangkok lagi.''
''Ya, ya,'' sahut Ling Ling, tetap dengan keramahan yang sama.
Dia masuk ke dapur, di belakang, menyiapkan semua pesanan, lantas membawanya kepada mereka yang memesan. Setelah itu, alih-alih dia mendatangi Kiu Gi lagi, berdiri di hadapannya, cengenges.
''Lantas, tadi itu bagaimana?'' Ketulusannya terbuka.
"Kau betul, Ling, ceritaku tidak menarik," kata Kiu Gi, meneguk tehnya yang terakhir, dan berdiri hendak meninggalkan rumah makan ini, sambil mengeluarkan alat pembayaran yang terpakai.
"Sudah?" Pertanyaan ini lahir tanpa disadari konteksnya.
Namun Kiu Gi menjawab dengan melaras, "Nanti saja kita lihat bersama."
"Apa itu?" tanya Ling Ling.
"Tan Tay Seng memang sudah berubah. Itu yang harus kau ketahui. Tapi dia berjanji bahwa dia akan turun ke Semarang pada tahun baru Im-Lek nanti."
"Apa?" Keheranan yang alami terpampang di wajah Ling Ling. Di balik keheranan ini ada kerinduan-kerinduan yang tersamar oleh upayanya menegakkan gengsi selaku perempuan.
"Ya, begitu itu yang dikatakan Tan Tay Seng padaku untuk disampaikan kepada Sam Po Kong."
"Lantas?"
"Ya, aku sudah menyampaikan itu kepada Sam Po Kong. Dia menunggunya. Kangen pada nyanyiannya."

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 15:58
Bagaimanapun pikiran Ling Ling melambung kian-kemari: acap terbang berani bagai rajawali melawan angin, acap pula terbawa angin seperti layang-layang putus. Dia berharap tidak terus-menerus direcoki lamun. Melamun mengganggu ketenangannya. Dan ketenangan yang terganggu, hubaya-hubaya dia tahu, bisa memengaruhi kesehatannya. Jika dia sakit, hubaya-hubaya pula dia sadar, bisa menyia-nyiakan usia mudanya. Usia muda yang tersia-sia, hubaya-hubaya sekali lagi dia camkan, adalah ibarat kerongkong yang diusik dahaga justru di depan kolam air manis yang terpagar ketat. Maka, yang dia inginkan untuk menjadi nyata, kendati ini pun hanya gambar-gambar tiada berwarna di dalam lamunan demi lamunan yang tak terhindar dari fitrah keinsaniannya, adalah ketenangan yang tulen. Yaitu rasa aman di lubuk kalbu paling tak terpahamkan karena adanya cinta, adanya yang mencinta, dan adanya yang dicinta. Tiba-tiba dia mesti mengerti, bahwa cinta gampang dirasakan tapi sulit dirumuskan. Hadir sebagai kesungguhan tentang sesuatu yang ada dalam imbau nada-nada damai di atas gaung irama-irama parang, mengantar air mata tanpa kesedihan. Namun juga menjalin kesenangan tanpa suka cita. Yang membuatnya susah, dia bahkan tidak mengenal siapa sejatinya dirinya. Dengan sulit dia hapuskan ingatan-ingatan bodoh yang sudah dia lakukan karena keteledorannya pada masa-masa kemarin, sekian bulan di belakang sana, lalu menggantinya dengan gambar-gambar baru yang boleh kiranya dibingkaikan gaba-gaba, sekar, dan wewangi. Dia menunggu tiga hastawara sampai tiba saatnya kesibukan orang menyongsong tahun baru Im-Lek.


***


Menjelang tahun baru Im-Lek, orang-orang menjadi sibuk. Ada sembahyang untuk memuja dewa dapur, Zao Jun *), yang dilakukan semua orang Cina, sembahyang yang menurut kepercayaan turun-temurun sebagai keharusan untuk memperbaiki perilaku atas pelanggaran-pelanggaran dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan sepanjang tahun. Pada sembahyang ini orang mempersembahkan sesaji dan membakar batang dupa bagi sang dewa. Di mulut pada gambar berhala dewa dapur ini orang harus meleletkan air gula dan madu. Maksudnya agar dewa ini memberikan laporan yang manis-manisnya saja tentang kelakuan manusia yang bersangkutan. Atau, agar laporan sang dewa kepada Tuhan di surga itu ngaco dan ngawur, maka di hadapan berhala sang dewa ditaruh juga arak untuk membuatnya mabuk. Sembahyang menjelang tahun baru itu dilakukan pada tanggal 24 Cap Ji Gwe, disebut sebagai Siang An, yaitu naiknya Pek Kong, saat semua patung pemujaan dibersihkan sehingga rohrohnya yang suci dipercaya telah naik ke surga. Setelah itu, pada pekan depannya rumahrumah orang dibersihkan pula, yang rusak diperbaiki, yang buram warna catnya dicat baru lagi, dan dipasanglah di sana gambar-gambar dan tulisan yang menyambut tahun baru. Sembahyang yang dilakukan pada pekan ini disebut Ni Bwe, jatuh pada tanggal 30 Cap Ji Gwe. Dan, setelah itu dilangsungkanlah sembahyang Sin-Cia, sembahyang untuk menyongsong kenaikan Da Bo Gong. **)


***


Kesibukan paling menonjol terlihat di daerah Simongan, di sekitar gua yang di dalamnya ada sebuah luweng yang kemudian hari menjadi amat suci. Selama lima bulanan tinggal di Simongan, dan bakal menjadi setengah tahun pada hari-hari menjelang Sin-Cia, nama Ceng Ho sebagai Sam Po Kong menjadi sangat harum. Simongan pun selama bulan-bulan tersebut telah berkembang menjadi pecinan baru di luar pecinan yang terletak di bagian kota di seberang sungai besar Kaligarang. (Pecinan ini baru dihancurkan pada abad ke-19 ketika Belanda menjual tanah di situ kepada seorang orang Yahudi, dan selanjutnya semua orang Cina yang datang ke gua tempat Ceng Ho bertafakur dan selanjutnya berkembang menjadi kelenteng, dikutip bayaran oleh si Yahudi. Namun setelah Yahudi itu megap-megap ekonominya tanah Simongan ini dibeli oleh Oei Tjie Sien dan mengembalikan lagi daerah ini bagi kepentingan leluri orang-orang Cina). Menjelang Sin-Cia, dibuat rapat terakhir - setelah rapat-rapat yang telah dilangsungkan beberapa kali sebelumnya - dan dipimpin sendiri oleh Ceng Ho dengan sifat-sifat kepemimpinan yang sangat demokratis. Rapat yang terakhir ini menyangkut urutan upacara yang akan dilangsungkan di Simongan. Usul Ci Liang untuk membuat perayaan tahun baru Im-Lek ini meriah, supaya orang-orang Cina yang menempati permukimannya di berbagai kota seberang sungai besar sana, baik yang sudah lama maupun yang masih baru datang bersama-sama dalam kapal-kapal pimpinan Ceng Ho itu dan datang ramai-ramai ke sini, disetujui penuh oleh rapat. ''Tapi ada satu harapan dari saya, yang mudah-mudahan dapat diteruskan kepada masyarakat kita di sini,'' kata Ceng Ho. ''Dengan memusatkan perayaan Sin-Cia di Simongan ini, saya ingin agar apabila kelak, ketika kita sudah meninggalkan tanah ini dan pulang ke tanah Cina, bisalah kiranya tempat ini - dari tugu di tepi sungai sampai gua di kaki bukit dan sekelilingnya - akan menjadi tempat keramat bagi saudara-saudara kita yang tinggal di sini. Dan kelak, di suatu saat nanti, apabila kita singgah ke sini, kita akan melihat buah-buah tamadun yang berkembang di sini. Nah, apakah harapan saya ini bisa diterima?'' Semua menyambut hangat.  ''Bisa,'' ujar mereka. ''Untuk itu, saya berharap, saudara-saudara yang menganut kepercayaan tradisional Cina, yang tinggal di Semarang, melestarikan istiadat leluhur kita di sini secara tetap dan bersinambung, mulai dari Siang-An, Ni-Bwe, Sin-Cia, berlanjut terus ke Thau Ge *), Cik-Ang **), King Thi Kong ***), Cap Go Meh ****), To Te Kong *****) dan seterusnya sebagai kewajiban yang sukarela.''


***


Tampaknya harapan yang diperkatakan Ceng Ho itu membingungkan Radhana, utusan Wikramawardhana itu. Selama dua hari dia merenung-renung sendiri akan pandangan dan pikiran Ceng Ho yang terwakilkan dalam kata-katanya itu.
Apalagi karena di samping kata-kata yang tak mudah dicernanya, disesuaikan dengan apa yang dilihatnya dilakukan oleh mereka yang tidak seagama dengan Ceng Ho, adalah syarat-syarat sembahyangnya yang disertai dengan sesaji kepala babi.
Oleh karena tak terjawab pertanyaan membingungkan itu dalam pikirannya, Radhana ingin bertanya dan mendengar jawaban langsung dari Ceng Ho.
Dia pun menghadap pada Ceng Ho. Katanya, ''Saya bingung...''
''Soal apa?'' tanya Ceng Ho
''Begini. Saya tidak mengerti sikap Anda terhadap orang-orang yang melakukan persembahan babi dalam upacara sembahyang mereka.''
''Tidak mengerti kenapa?''
''Anda tidak keberatan?''
''Begini. Sebelum Anda bertanya pada saya, ada baiknya Anda bertanya dulu pada Wang Jing Hong.''
''Apakah dia bisa menjawab?''
''Coba dulu.''

***

Radhana menemui Wang Jing Hong.
Sore itu, menjelang matahari pamit pada siang, Wang Jing Hong sedang membersihkan kandang burung jalak Bali-nya. Saran pembantu Wang Jing Hong untuk memisahkan kedua burung dalam kandang yang berbeda, sudah dilakukannya. Kandang yang satu, yang dibuat sendiri oleh pembantunya itu, dicat hitam, sehingga warna putih jalak itu kelihatan menonjol di dalamnya.
Wang Jing Hong senang, sebab salah sekor di antaranya, yang diyakininya adalah burung jantan karena kelincahannya, telah sering berkicau. Dia puji burungnya itu ketika Radhana datang ke rumahnya dan duduk di bangku bambu di luar.
''Ada hal di luar burung yang ingin saya tanyakan kepada Anda,'' kata Radhana langsung.
''O ya? Apa itu?'' kata Wang Jing Hong. ''Tapi saya percaya, bahwa yang tidak ada hubungannya dengan burung ini, nanti akan berkaitan dengannya. Nah, soal apa?''
''Saya sudah bertanya pada Sam Po Kong, dan beliau menyuruh saya bertanya pada Anda. Ini soal babi.''
''O, ya, kenapa?''
''Bukankah persembahan dengan babi itu mencemarkan seluruhnya menjadi hara?''
''Yang jelas, kami tidak menyentuhnya. Dan kesadaran inilah, yaitu kesadaran akan pengetahuan agama kami yang mengharamkannya, dengan sendirinya membuat kami menjadi manusia yang berbeda dari mereka yang menyentuhnya apalagi memakannya.''
''Kesadaran?''
''Ya. Kesadaran berkaitan dengan etika. Cuma manusia yang memiliki etika. Hewan tidak. Misalnya burung ini. Nah, kan? Seperti saya bilang tadi, pembicaraan kita pasti akan berhubungan dengan burung ini. Burung ini mengerti sendiri mana yang boleh dimakannya berdasarkan nalurinya. Burung jalak tahu sendiri, bahwa dia bukan gagak yang makan bangkai, atau pipit yang makan padi. Manusia tidak begitu. Manusia itu pemakan segala.''
''Ya, betul,'' Radhana tertawa. ''Harimau memakan kambing, kambing memakan kangkung.
Kambing tidak memakan harimau, harimau tidak memakan kangkung. Namun manusia bisa memakan harimau, kambing, dan kangkung.''
''Ketika manusia tidak memakan sesuatu karena kesadaran tadi, maka di situ manusia berbeda dari binatang. Manusia memiliki tanggung jawab etika, hukum, dan aturan-aturan.''
''Jika benar ada tanggung jawab itu, kenapa Sam Po Kong sebagai pemimpin tidak
mengarahkannya ke sana?''
''Yang itu Anda harus tanyakan itu ke Sam Po Kong.''

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 16:03
Radhana memang bersungguh-sungguh ingin memperoleh jawaban itu. Dia kembali menemui Ceng Ho di Bukit Simongan itu dan menanyakannya pada keesokan harinya. ''Saya masih tetap belum mendapatkan jawaban, mengapa Anda tidak terpanggil untuk mengarahkan kebenaran yang Anda yakini terhadap kebenaran orang lain yang tidak sama dengan Anda?'' Ceng Ho tersenyum dengan cara yang biasa dalam rangka menghormati lawan bicaranya. Katanya tegas, ''Dalam Islam yang saya yakini, ada isyarat yang mengatakan 'agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku'. Saya mengartikan ini sebagai istima yang hakiki bagi kerangka toleransi antaragama. Di samping itu, kenyataan saya sebagai iman adalah sebagai orang Cina saya memiliki juga tradisi tamadun yang kuat dari sejarah panjang. Salah satu pusaka berharga dari tamadun Cina itu, sebagaimana sering sudah saya utarakan, adalah kawruh tentang ''im-yang'' mengenai perbedaan yang bukan berarti permusuhan. Perbedaan justru memungkinkan terciptanya kekayaan dalam keragaman. Syaratnya muzakarah. Orang Cina memetik kearifan dan kecendekiaan dari dalamnya.'' Radhana diam. Dia berusaha mencerna. Dari wajahnya kelihatan betapa tidak sederhana orang bisa menapis dan menyaring pikiran-pikiran yang telah manunggal antara yang diucap dan yang dibuat dari kualitas seorang allmah seperti Ceng Ho. Dari diamnya Radhana itu sebaliknya Ceng Ho dapat menerkanya. Kata Ceng Ho, ''Percayalah, tata krama hanya mungkin terselenggara dengan baik pada orangorang berbudaya. Kebudayaan tidak datang dengan sendirinya. Ia tercipta dalam suatu masyarakat lewat sejarah panjang. Siapa yang mengira dapat mengubah tatanan budaya karena menganggap kekuasaan yang menentukan arah dan selera adalah penyamun.'' ''Itukah sebabnya Anda tidak perlu mengarahkan?'' ''Sebab saya bukan penyamun.'' ''Dan, soal kepala babi itu?'' ''Orang-orang yang menganut Han San Wei Yi*) toh mafhum akan perkembangan budaya. Bahwa sekarang, tidak selamanya sam-sing**) itu binatang seperti babi, ayam, dan ikan. Sumbangan agama Buddha yang dengan tegas berasas pada pu-sat-sing***) telah membuat sesaji sembahang bukan lagi binatang-binatang yang disebut itu, tapi juga adalah ngo-ko-liok-jay****). Itulah bagian nyata dari sejarah Cina yang melahirkan tamadunnya. Itu pula yang memperkuat iktibar saya untuk mengatakan, jalan yang saya pilih adalah jalan yang tidak sesat.'' Radhana tetap diam. Mudah-mudahan dia dapat mencerna. Nanti Radhana mengerti pelan-pelan, menyaksikan istiadat yang dilakukan orang dengan sukarela, mulai dari Siang-Ang hingga Sin-Cia dan Cap-Go-Meh, sepanjang waktunya sebelum kapal-kapal berlayar meninggalkan laut Semarang menuju ke barat.

***

Ke barat kapal-kapal itu akan melewati Cirebon. Dan, setelah Cirebon kapal-kapal itu akan singgah pula di Sunda Kalapa.
Di Cirebon ada Hua Xiong.
Di Sunda Kalapa ada si Tiwati.

Yang Hua Xiong diingat dalam benci banyak orang.
Yang si Tiwati diingat dalam cinta satu orang.
Di Cirebon, di Sunda Kelapa, di mana pun orang-orang menyerah menghadapi hidup yang tak kekal namun maut yang pasti, kebahagiaan yang takluk pada basah keringat dan kesusahan
yang setia pada kehebatan mimpi.

***


Sebelum itu, selagi sauh masih mengeram di dasar laut dan layar pun masih tergulung di andang-andang, syahdan terjadi kiamat kecil yang menghanguskan hati, justru pada malam basah oleh gerimis di Simongan, konon di Sanatulmiladiah 1406. Itu lantaran terbelalaknya mata Ling Ling pada malam itu, saat Sin-Cia, malam yang semestinya membawa damai tapi yang memberantakkannya tidak keruan melihat Tan Tay Seng hadir di sana. Tan Tay Seng menepati janji -pada perayaan Tahun Baru Im-Lek sebelum kapal-kapal berlayar menuju ke barat lewat Cirebon dan Sunda Kalapa terus ke Cina membawa Chen Tsu I untuk dipancung oleh sang Kaisar Ming - dia turun dari Borobudur ke Simongan bersama Caya istrinya, Wage, dan Bronjong. Ling Ling merasa hatinya seperti digurdi oleh bor bermata tiga, menjara-jara tulang rusuknya. "Begitukah?" "Ya, Sam Po Kong." "Baiklah. Tapi ingat, kau harus betul-betul jadi kaya." "Saya berjanji, Sam Po Kong. Kalau kelak Anda datang ke sini lagi, Anda akan melihat keberhasilan saya." "Jika begitu, bekerjalah keras. Ingat nasihat nenek moyang kita: 'kekayaan besar dari Tuhan, kekayaan kecil dari kerja keras." "Terima kasih, Sam Po Kong. Kalau Anda berkenan, tuliskanlah itu buat saya. Saya akan pegang itu sebagai suluh bagi jalan saya." Dan Ceng Ho mengambil kertas dan alat tulis, lantas menuliskan kata-kata yang baru diucapkannya itu.


***


Jadi, Kiu Gi diluluskan Ceng Ho untuk tinggal di Semarang. Dia satu-satunya tentara yang tinggal bersama dengan orang-orang sipil di kota ini. Sebelum kapal-kapal yang disauhkan di laut sana diangkat dan layar dikembangkan, Ceng Ho membuat rapat lagi dengan semua anggota perwira, rohaniwan, dan ahli-ahli lain. Rapat yang terakhir ini dilangsungkan di atas bukit Simongan, di tempat tinggal Ceng Ho dan perwiraperwiranya. Wang Jing Hong yang tinggal di bawah bukit, di dekat gua yang ada luwengnya itu, mesti berjalan ke atas pada pagi-pagi benar setelah langit di timur membenderang disertai jarijemari cahaya lembayung yang menyilaukan. Pagi-pagi benar, tidak seperti biasa, hari ini pembantu Wang Jing Hong lebih dulu menanak nasi daripada merebus air. Sehabis mencuci beras, dia menanak nasi itu di dapur, di belakang. "Kok dengaren pagi-pagi sudah menanak nasi," kata Wang Jing Hong sebelum berangkat ke atas. "Ya, Yuk-e A Wang, habis ini saya langsung akan membersihkan kandang jalak-jalak itu," sahut pembantunya. Wang Jing Hong berangkat. Pembantunya membersihkan kandang-kandang jalak itu. Sambil membersihkan dengan cara menyipratkan air dengan irus, biasa, dia menyanyi-nyanyi dengan suaranya yang cempreng, tidak laras, dan keras pula.
Sehabis membersihkan kedua kandang itu, dia ambil makanan untuk burung-burung itu. Dia buka pintu kandang itu. Dan sekonyong dia kaget. Bau hangus nasi yang diliwet di dapur, terbawa sampai keluar. Dia meloncat ke belakang. Ternyata bukan saja nasi dalam belanga yang hangus, tapi termasuk juga tiang penyangga para-para dapur. Jika saja dia terlambat mencium bau hangus itu, niscaya dapur ini akan terbakar, menjilat keluar, dan menghanguskan rumah. Dia siram api itu dengan air dari dalam gentong. Api pun padam. Tapi dia mendadak meloncat lagi ke depan. Dia teringat akan pekerjaannya di luar yang belum selesai. Di depan dia kaget, melebihi kagetnya di dapur. Dia gemetar. Kandang yang tadi dia buka untuk memberi makan kepada jalak di dalamnya, sekarang kosong. Tidak ada lagi jalak putih itu di situ. Dia bingung. Dia melihat ke atas pohon, kian-kemari, dan burung itu sudah tidak ada. Entah terbang ke mana. Akhirnya dia termenung takut. Dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi.


***

Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 16:06
Wang Jing Hong berteriak histeris mengetahui burungnya telah terbang karena kecerobohan pembantunya. Dia berlari-lari di depan gua sampai ke tugu di pinggir sungai, memukul badan dan kepala, memekik, mengerang, mencakar-cakar tanah, lantas lunglai di situ, berlanjut dengan ratapan, sedu-sedan, seperti orang kematian. "Oh, burung putihku, burung harapan yang menyembuhkan sakit dalam rohku. Kenapa celaka ini mesti jatuh di atas hari-hariku yang baru terbangun harapan? Bagaimana mungkin aku menembusi besokku yang benderang, sementara kini aku dipaksa menikmati kemarinku yang kabut? Oh, matilah aku. Matilah jiwaku memasuki rumah cacing-cacing. Tak ada mata lagi yang dapat mewakili langit. Tak ada lagi hidung yang merincikan harum melati. Tiada lagi telinga yang dapat menangkap nada siulmu. Oh, jalak putih, jalak yang telah mengantar titipan jiwa para leluhurku, masuk dalam jiwaku, menyapa sukmaku saban hari. Kau sekarang hilang. Hilang. Hilang..." Setelah itu Wang Jing Hong kejang-kejang di tanah. Orang-orang menyaksikannya dengan masygul. Pembantunya bingung dan iba. Dia berlari mendaki bukit, menemui Ceng Ho.


***

Tak teratur kata-kata yang disampaikan pembantu itu kepada Ceng Ho. Dengan dada dan kepala anggung-anggip pembantu itu berkata dengan ngoko pesisirnya, "Ketoke Yuk-e A-Wang meh modar."
 
***

Ceng Ho penasaran. Lekas-lekas dia menuruni bukit tempat mukimnya untuk sementara selama di Semarang. Yang lainnya juga bergopoh-gopoh ke bawah: Ci Liang, Kiu Gi, Ek Gi, Dang Zhua, Wu Ping, para rohaniwan dari tiga agama, dan lain-lain.

Di bawah mereka membopong Wang Jing Hong ke tempat tidur. Lalu mereka memandang mengelilinginya. Ceng Ho memegang tangan Wang Jing Hong seraya memandang kepada sinse yang juga melakukan hal yang sama.

"Pengobatan paling sederhana, biar saja dia beristirahat dulu," kata sang sinse seraya memberi isyarat agar semua keluar.
Ling Ling lari. Tak mau melihat itu. Dia menembusi orang banyak yang berjubel di sana.
Larinya ke arah timur, ke sungai, tak jauh dari tugu. Itu bukan rencananya. Dia hanya asal lari saja. Ketika dia lari, dia pun tidak peduli pada tanah yang basah oleh gerimis yang awet, sehingga dia terpeleset di situ, wajah terkotori lumpur.

Dia bangun lagi dan terus berlari. Ayahnya mengejarnya. Ibunya memanggil-manggilnya. Kiu Gi yang ada di dekat ayah-ibunya segera pula mengejarnya. ''Sudah, Bapak dan Ibu di sini saja,'' kata Kiu Gi menahan orang tua Ling Ling untuk tidak usah mengejar. ''Biar saya saja membawanya ke sini.''
Di dekat tugu sana, di tanah yang lebih liat karena sering dilalui banjir, dan karenanya lebih licin pula, Ling Ling jatuh lagi dengan pantat tertada di tanah. Kiu Gi menolong, menarik
tangannya, memberdirikannya, lantas menuntunnya untuk duduk bersandar di tugu itu.
''Tenanglah,'' kata Kiu Gi.
Ling Ling senguk-sengak. Tak berkata. Hanya menangis.
Kiu Gi mengelus-elus punggung Ling Ling. ''Sudahlah, jangan menangis,'' katanya.
''Kenapa kau tidak bilang?'' kata Ling Ling kecewa.
Tersendat tapi terucapkan dengan jelas. ''Aku kan sudah bilang, dia sudah berubah,'' kata Kiu Gi.
''Tapi kau tidak bilang bahwa itu berarti dia sudah kawin.''
''Ya, memang aku tidak bilang. Aku kira kau sudah mengerti maksudku itu.''
Ling Ling berdiri, ''Aku benci dia.'' Dia melesat.
Kiu Gi segera menyusulnya. ''Jangan pergi, Ling.''
Ling Ling bersikeras. ''Tidak.''
Kiu Gi menarik lengan Ling Ling. ''Kau mau ke mana?''
Ling Ling mengebas tangan Kiu Gi. Tapi tarikan tangan Kiu Gi lumayan kuat, membuat Ling Ling kehilangan keseimbangan. Ling Ling pun tergelincir. Kiu Gi jatuh bersamanya.
Kiu Gi cepat berdiri kembali. Dia bantu Ling Ling untuk berdiri kembali pula.
Berat. Puncak tangis Ling Ling itu telah membuatnya mengerang susah. Tanpa sadar dia menangis di dada Kiu Gi. Badannya lemas. Kiu Gi merangkulnya. Dia mengelus-elus pundak wanoja ini.
''Sudah, diam. Sabar. Selagi masih ada matahari terbit, tetap ada pengharapan.'' Dan tak sadar Kiu Gi mengecup pipi Ling Ling. Ayah dan ibu Ling Ling hadir di situ.

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 16:11
Ayah dan ibu Ling Ling merasa harus mengundang Ceng Ho datang ke rumah makannya pada tahun baru Im-Lek ini.
''Saya ingin Anda menikmati yu-sheng *) di rumah makan saya,'' kata ayah Ling Ling kepada Ceng Ho. ''Anda belum pernah ke sana.''
''Berapa orang yang Anda ingin kami ke rumah makan Anda?'' tanya Ceng Ho.
''Terserah. Dua puluh, tiga puluh, empat puluh...?''
''Baiklah,'' kata Ceng Ho. ''Dua puluh orang saja.''


***


Maka dua puluh orang yang datang ke rumah makan Ling Ling. Yang sepuluh datang lebih awal, yaitu rombongan Ceng Ho sendiri bersama dengan Wang Jing Hong, Wu Ping, Dang Zhua, Ci Liang, Ek Gi, dan yang lainnya. Setelah itu yang delapan orang terdiri atas antara lain Kiu Gi. Dua yang terakhir datang terlambat ke situ setelah makanan terhidangkan dan orang-orang sudah menyantapnya. Yang mereka santap secara khusus, memang sesuai dengan kebiasaan pada perayaan tahun baru, yaitu yu-sheng, dimaksudkan sebagai isyarat menuju ke kemakmuran. Orang-orang yang duduk di meja makan itu mula-mula mengangkat yu-sheng itu dengan sumpitnya
masing-masing sambil berseru, ''Lao-qi!'' **)
Sambil menyantapnya Ceng Ho memuji, ''Ini enak. Siapa yang membuatnya?''
''Ling Ling,'' jawab ayah Ling Ling.
''O?''
Ceng Ho pun menoleh ke belakang. Maunya melihat kehadiran Ling Ling di situ. Tapi Ling Ling tak ada di situ. Ling Ling ada di dapur, berdiri di balik kusen tiada berpintu.
Kiu Gi juga melihat ke arah sana, berharap Ling Ling muncul dari belakang. Mestinya memang Ling Ling keluar ke situ. Dia pun siap hendak meninggalkan dapur. Tapi ujuk-ujuk dua orang yang terlambat itu masuk ke sini, menyalam dengan suara keras.
Mendelik mata Ling Ling. Dia mundur. Tanpa melihat, dia tahu siapa yang datang itu.Ya, orang yang datang terlambat itu ternyata Tan Tay Seng bersama Caya.


***


Ling Ling memilih bersembunyi. Itu keputusan naluriah paling bagus. Dengan menyembunyikan diri maka dia bisa menyelamatkan wajahnya. Mungkin Ling Ling tahu, wajah manusia selalu menjadi jelek apabila ada dengki yang tersembunyi di kalbu. Karena itu, daripada menyembunyikan dengki di kalbu lebih baik menyembunyikan diri di dapur. Jika dia kehilangan muka pun, demikian dia merasa tersudut untuk menerima prasangkaprasangka buruk yang melintas dalam pikirannya, dia toh jangan kehilangan harapan. Siapa yang kehilangan harapan dengan sendirinya kehilangan pula jalan ke surga. Nanti malam, tatkala dia termenung, melawan dengan berat akan keadaan hatinya, dia terngiang akan perkataan Kiu Gi, "Selagi masih ada matahari terbit, tetap ada pengharapan." Dia tepekur. "Benarkah?" Begitu mengingat perkataan Kiu Gi, teraktif pula pikirannya untuk berangkat ke kemarin malam.
 
***


Dan bagaimana dengan Kiu Gi?
Ketika berada di Borobudur, dia telah berkata kepada Tan Tay Seng, dia sedang menyusun alasan untuk memohon ke Ceng Ho, sekiranya diizinkan menjadi sipil saja dan menetap di
Semarang.
Sekarang Tan Tay Seng masih berada di Semarang, belum pulang ke Borobudur. Kiu Gi berbincang dengannya. Mereka duduk di pinggir sungai. "Seng semakin keras hasratku untuk tinggal di Semarang, menjadi orang sipil di sini," kata Kiu Gi. "Sebelum Cap-Go-Meh, aku akan mengatakan ini kepada Sam Po Kong."
"Apa kau sudah mendapat jodoh?" tanya Tan Tay Seng. "Bukan mencari, tapi menemukan?"
"Aku rasa, aku harus berjuang. Dan aku kira, perjuangan ini termasuk pelik. Sebab, dia gampang-gampang sulit."
"Jika dia pribumi, mungkin benar."
"Dia bangsa Han juga."
"Bangsa Han juga?"
"Ya."
"Turunan yang sudah lama di sini?"
"Tidak. Dia masih baru juga."
"Keluarga apa?"
"Sebetulnya kau kenal keluarganya."

"O ya? Siapa?" Kiu Gi tak segera menyebut. Ketika dia menyebut, dia mengucapkannya dengan senyum dengan pelan dengan serius,

"Ling Ling." Tan Tay Seng terkesiap, "Apa?" "Ya, Seng. Aku jatuh cinta pada Ling Ling. Bagaimana pendapatmu?" Tan Tay Seng menjadi kagok, sisa dari terkesiapnya. Namun kemudian dia menjadi samadyanya. "Ya, itu bagus. Kau harus sanggup menjadi pawang." Kiu Gi tidak paham. "Pawang?" "Ya. Ling Ling itu perempuan kombinasi antara merpati dan srigala." Kiu Gi tercenung. "Jadi, bagaimana pendapatmu?" "Pendapat apa? Jika kau bertanya detailnya, aku tidak tahu. Semua lelaki mengenal perempuan hanya dari sosoknya, tidak sampai sisiknya. Dan, itulah kesalahan yang menunjukkan kebodohan lelaki. Aku memang pernah mencintai dia. Dan, aku sangat serius padanya. Namun apa mau dikata, keseriusan tidak menjamin orang untuk menemukan jodohnya. Di dalam berjodoh ada juga takdir. Dan, takdir itu ternyata wilayahnya Tuhan. Aku yakin adalah jalan-Nya juga yang membuat aku menemukan jodohku, Caya, di Borobudur. Sekarang aku sudah punya Caya. Aku harus mempertahankannya sampai mati. Kenapa begitu? Sebab, aku bukan kaisar Cina atau raja Jawa yang beristri banyak. Aku hanya orang biasa. Dan, tetap ingin jadi orang biasa. Orang biasa harus bisa berpikir sederhana, satu istri saja." "Tetapi, kau bilang dia itu kombinasi antara merpati dan srigala." Tan Tay Seng tertawa. "Ah, tidak. Aku hanya bergurau. Sumpah demi nama Buddha, Ling Ling itu baik." Dan Tan Tay Seng termangu, diam sejenak. "Sayang, dia tidak mau menemui aku kemarin." Tan Tay Seng menarik dan mengembuskan napas. "Nah, berjuanglah untuk mendapatkannya. Aku senang sebab kau bilang kau jatuh cinta padanya. Kawin tanpa jatuh cinta sama dengan membeli baju yang dipakai selagi masih baru lantas membuangnya sesudah menjadi tua. Dengan ada cinta, cinta berlanjut terus sampai tua."

***


Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 16:14
Kiu Gi merasa memperoleh dukungan dari Tan Tay Seng, dan itu yang membangun rasa percaya dirinya.
Pas menjelang Cap-Go-Meh, dia menghadap Ceng Ho, menyatakan segala hal menyangkut rencana hidupnya, meminta Ceng Ho meluluskan rencananya untuk menetap di Semarang.
Untuk itu Ceng Ho bertanya kesungguhan Kiu Gi. "Apakah kau siap berjuang di sini?"
"Siap sekali, Sam Po Kong," sahut Kiu Gi. "Saya sudah melihat celah-celah untuk bekerja dan menjadi kaya di sini."
"Apa yang membuatmu yakin?"
"Saya menemukan pepatah Guan Zhong *) di sini.

***

''Begitukah?''
''Ya, Sam Po Kong.''
''Baiklah. Tapi ingat, kau harus betul-betul jadi kaya.''
''Saya berjanji, Sam Po Kong. Kalau kelak Anda datang ke sini lagi, Anda akan melihat keberhasilan saya.''
''Jika begitu, bekerjalah keras. Ingat nasihat nenek moyang kita: 'Kekayaan besar dari Tuhan,
kekayaan kecil dari kerja keras'.''
''Terima kasih, Sam Po Kong. Bila Anda berkenan, tuliskanlah itu buat saya. Saya akan pegang itu sebagai suluh bagi jalan saya.''
Dan Ceng Ho mengambil kertas dan alat tulis, lantas menuliskan kata-kata yang baru
diucapkannya itu.

***
Jadi, Kiu Gi diluluskan Ceng Ho untuk tinggal di Semarang. Dia satu-satunya tentara yang tinggal bersama dengan orang-orang sipil di kota ini. Sebelum kapal-kapal yang disauhkan di laut sana diangkat dan layar dikembangkan, Ceng Ho mengadakan rapat lagi dengan semua anggota perwira, rohaniwan, dan ahli-ahli lain. Rapat terakhir ini dilangsungkan di atas Bukit Simongan, di tempat tinggal Ceng Ho dan perwiraperwiranya. Wang Jing Hong yang tinggal di bawah bukit, di dekat gua yang ada luwengnya itu, mesti berjalan ke atas pada pagi-pagi benar setelah langit di timur membenderang disertai dengan jari-jemari cahaya yang lembayung menyilaukan. Pagi-pagi benar, tidak seperti biasa, hari ini pembantu Wang Jing Hong lebih dulu menanak nasi daripada merebus air. Sehabis mencuci beras, dia menanak nasi itu di dapur. ''Kok dengaren pagi-pagi sudah menanak nasi,'' kata Wang Jing Hong sebelum berangkat ke atas. ''Ya, Yuk-e A Wang, habis ini saya langsung akan membersihkan kandang jalak-jalak itu,'' sahut pembantunya. Wang Jing Hong berangkat. Pembantunya membersihkan kandang-kandang jalak itu. Sambil membersihkan dengan menyipratkan air dengan irus, biasa, dia menyanyi-nyanyi dengan suaranya cempreng, tidak laras, dan keras pula. Sehabis membersihkan kedua kandang itu, dia ambil makanan untuk burung-burung itu. Dia buka pintu kandang itu. Dan sekonyong-konyong dia kaget. Bau hangus nasi yang diliwet di dapur terbawa sampai keluar. Dia meloncat ke belakang. Ternyata bukan saja nasi dalam belanga yang hangus, tapi termasuk juga tiang penyangga para-para dapur. Jika saja dia terlambat mencium bau hangus itu, niscaya dapur ini akan terbakar, menjilat keluar, dan menghanguskan rumah. Dia siram api itu dengan air dari dalam gentong. Api pun padam. Namun dia mendadak meloncat lagi ke depan. Dia teringat akan pekerjaannya di luar yang belum selesai. Di depan dia kaget, melebihi kagetnya di dapur. Dia gemetar. Kandang yang tadi dia buka untuk memberi makan jalak di dalamnya, sekarang kosong. Tidak ada lagi jalak putih itu di situ. Dia bingung. Dia melihat ke atas pohon, kian kemari, dan burung itu sudah tidak ada. Entah terbang ke mana. Akhirnya dia termenung takut. Dia tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi sebentar lagi.


***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 16:21
Benarlah kiranya pikiran Ceng Ho itu. Perasaan Wang Jing Hong kian hari mengganggu kesehatan. Simpulan sinse, dan itu diketahui juga oleh Ceng Ho, Wang Jing Hong mengalami sulit menyeimbangkan prinsip ''yin'' dan ''yang''. Kata sinse itu, ''Kesehatan paling mendasar sebetulnya sudah diingatkan Qi-Bo *) dahulu kala, yaitu hidup melaras diri dengan alam seraya melenturkan pikiran dan perasaan pada prinsip 'yin-yang'. Kelihatannya Wang Jing Hong menemukan kesulitan di situ.'' ''Padahal jadwal pelayaran kita sudah tetap,'' kata Ceng Ho menggumam tapi cukup didengar oleh sang sinse. ''Begini, sinse Hou, seandainya Wang Jing Hong tetap sakit pada saat kita harus meninggalkan Semarang, dan dia tak sanggup berlayar bersama, saya minta Anda menemani dia di sini untuk merawat dia.'' ''Baik, Sam Po Kong,'' kata sang sinse.


***


Benarlah kiranya pikiran Ceng Ho itu. Keadaan Wang Jing Hong tetap tak berubah. Sakitnya kian parah pada saat kapal-kapal siap dilayarkan menuju ke barat, lewat Cirebon tempat ada Hua Xiong yang menjadi perhatian semua dan lewat Sunda Kalapa yang ada si Tiwati yang menjadi perhatian Wu Ping.
Apa boleh buat. Kapal-kapal itu kemudian mengangkat sauh, mengembangkan layar, menyusur Laut Jawa ke barat tanpa Wang Jing Hong.


***

Dan, kembali lagi ke kelenteng Sam Po Kong zaman sekarang. Anak-anak sekolah dari Jakarta yang meriung di sekeliling gurunya yang menjadi tukang cerita itu kelihatan penasaran, ingin mengetahui cerita selanjutnya. Murid yang paling suka bertanya itu menunjukkan jari sambil berkata, ''Wang Jing Hong itu
wafat di sini?''
''Tunggu,'' kata sang tukang cerita, ''Wang Jing Hong tidak segera wafat karena sakitnya itu. Sinse Hou merawatnya bukan dengan obat-obatan herbal yang telah ditanam di sekitar
Simongan, melainkan dengan membina kembali rasa percaya diri, keseimbangan mental, dan  hidup dengan menyelaraskan diri pada irama alam.''
''Dan, Wang Jing Hong sembuh?''
''Ya. Wang Jing Hong sembuh. Dia meneruskan cita-cita Ceng Ho menjadikan Simongan sebagai pusat kegiatan peradaban dan kebudayaan.''
''Lo, bukan keagamaan?''
''Jangan keliru. Agama sebagai suatu sikap dasar insansi ke Tuhan dan tanggapan-tanggapan manusiawi terhadap-Nya mencakup semua ikhtiar dan kewajiban, antara lain ritus dalam penyembahan kepada-Nya sebagai praktik etis, syiarnya, pewartaannya, khotbahnya,dakwahnya, dan seterusnya adalah bagian dari peradaban manusia dan kebudayaan.''
''Perinciannya bagaimana tuh, Pak?''
''Singkat saja. Karena agama merupakan dari bagian peradaban dan kebudayaan, haruslah dikatakan bahwa manusia yang tidak beragama dengan sendirinya tidak beradab dan berbudaya.''
''Lantas, bagaimana halnya dengan agama Cina Han San Wei Yi itu: Kong Hu Cu, Tao,
Buddha itu, Pak?''
''Bagaimana apanya?''
''Kan, sejak zaman Orde Baru, Kong Hu Cu tidak dimasukkan sebagai agama?''
''Kok repot banget sih? Semua kepercayaan sebagai hasil usaha manusia yang diungkapkan lewat diri dalam sembah dan bakti dengan sepenuh hati ke Yang Maha Kuasa itu disebut agama.''
''O!''
''Agama Kong Hu Cu itu awalnya agama terbesar di Cina, lebih luas dari Tao dan Buddha. Yang menjadi pusat dari agama Kong Hu Cu ini adalah manusia. Manusia harus hidup baik. Karena itu, pusat pengajaran agama Kong Hu Cu adalah kebaikan sebagai tujuan manusia, sehingga dapat dikatakan agama itu lebih merupakan suatu ajaran susila dan filsafat ketimbang ajaran tentang kepercayaan yang lazim dalam agama seperti agama-agama samawi atau agama-agama monoteisme yang urutan kehadirannya dalam sejarah adalah Yahudi, Kristen, dan Islam.''
''Lantas, bagaimana bisa Ceng Ho, termasuk Wang Jing Hong yang beragama Islam, bisa membuat kelenteng ini beralih menjadi tempat persembahan Han San Wei Yi, Pak?''
''Ceritanya panjang. Namun sebelum kamu mendengar ceritanya, yang paling utama harus kamu ketahui, orang Cina memiliki budaya yang sangat kuat terikat ke negeri leluhurnya.''
''Ceritakan dong, Pak.''
''Nanti. Cerita tentang itu semua, kita lanjutkan di Jakarta, di Kelenteng Sam Po Sui Su di Ancol. Sekarang kita pulang dulu.''

 "Pulang langsung ke Jakarta, Pak?"

"Ya nggak dong. Kita menginap dulu di Semarang."
"Di hotel mana, Pak?"
Pokoknya yang pemandangannya indah. Di Gombel."
"Di mana itu, Pak?"
"Nanti saja kalian lihat."
"Menginap berapa lama, Pak?"
"Ya, sesuai dengan izin kalian pada orang tua masing-masing, satu malam. Nanti, sepulang kita di Jakarta, istirahat dulu satu minggu, baru minggu depannya kita ke Kelenteng Sam Po Sui Su, melanjutkan cerita tentangnya."
"Tapi saya penasaran sekarang, Pak?"
"Penasaran? Penasaran soal apa?"
"Soal agama Kong Hu Cu itu."
"Kenapa?"
"Ya, tadi Bapak bilang Kong Hu Cu itu agama, tapi Kong Hu Cu juga filsafat. Terangkan dong, Pak."
"Apa masih belum puas?"
"Masih tuh."
"Yang mananya?"
"Perinciannya. Bila ia filsafat, filsafat seperti apa bentuknya."
"Astaga. Ini rumit. Saya khawatir kalian tidak bisa menangkap."

Ah, Bapak kayak pemerintah aja deh, menganggap diri paling mengerti, dan rakyat dianggap tidak mengerti melulu."
Sang tukang cerita tertawa senang. "Oke, kita lanjutkan cerita ini di bus saja. Sambil berjalan menuju ke hotel."
"Oke."
Dan, sang tukang cerita pun memanggil murid-muridnya untuk naik ke dalam bus. "Ayo, semua naik ke bus. Kita akan berangkat."

***
Title: Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
Post by: Putra Petir on 02/09/2008 16:24
Bus itu pun bergerak menuju ke barat, menyeberangi Sungai Kaligarang, tembus di Kalisari, belok ke kanan di depan rumah sakit tua - orang-orang tua masih sering menyebutnya CBZ terus mendaki ke bagian Candi Baru melewati Gajah Mungkur ke Taman Diponegoro dan melaju ke atas sampai di ujung pertigaan Candi Lama. Di situ bus itu berhenti agak lama sebab macet di lampu trafik. Bus melaju lagi ke kanan menuju ke Jatingaleh dan mendaki Gombel, berhenti di depan sana, di sebuah restoran. Sepanjang perjalanan itulah sang tukang cerita menjawab pertanyaan yang diajukan oleh murid yang kritis itu. "Memang benar, saya mengatakan Kong Hu Cu itu menarik dipandang sebagai suatu widya filsafat. Dan sebagai filsafat, Kong Hu Cu - atau dalam bidang filsafat lebih populer disebut sebagai Konfusianisme - setidak-tidaknya muradif dengan Platonisme. Menarik juga dilihat, baik Kong Hu Cu atau Kunfusius maupun Plato yang hidup sezaman dipisahkan oleh jarak 6.000 mil, keduanya secara ajaib dan kebetulan memiliki pandangan-pandangan selaras sekitar moral, politik, dan sosial. Dalam pandangan mereka yang menarik itu, tersua pegangan baha bentuk-bentuk religiusitas tidak serta merta sanggup menciptakan manusia menjadi baik. Antara lain mereka juga memandang, kerap para dewa pun alpa membina susila dan pekerti manusia, dan sebaliknya banyak dewa yang justru memberi contoh buruk dan tak baik terhadap perilaku manusia. Hal tipikal dapat disimak dari pandangan Konfusianisme dan Platonisme adalah pergulatan mereka yang asasi tentang di mana dapat ditemukan wewenang sahih atas moral dan politik. Keduanya menganggap, suatu tatanan politik yang terbenarkan hanya melalui kesungguhan menerima petuah dari filsuf. Karena itu, filsuf pun adalah orang yang memiliki karunia luar biasa untuk memberikan arahan bagi lembaga politik dan sosial. Karunia itu dalam kepercayaan Kong Hu Cu disebut 'li', terwaris dari nenek moyang." "Tunggu, Pak," ujar anak yang paling sering bertanya itu. "Kepala saya mumet. Bapak memang benar, saya tidak mengerti. Bukan sebab saya goblok, tapi karena interes saya belum sampai ke situ. Ceritakan saja tentang Sam Po Sui Su itu." "Nah, kan?" sang tukang cerita pun berdiri. "Ayo, kita turun dulu semua di sini. Kita makan dulu. Yang kebelet ingin pipis, ya pipis, yang ingin eek, ya eek. Ayooo...!"
***
Semua turun cepat-cepat. Mereka masuk ke dalam restoran, duduk di pinggir, di tempat yang bisa dengan jelas memandang pemandangan Semarang: rumah-rumah terbentang luas dan laut lepas di depan sana dengan kapal-kapal bergerak pelan. Semua anak terpesona memandang pemandangan di bawah sana itu. Kata sang tukang cerita. "Ya, itulah Semarang. Tidak banyak kota di Indonesia yang memiliki kontur menarik seperti Semarang. Manado dan Bandung mirip seperti ini juga. Namun Bandung tidak punya laut seperti Semarang. Manado punya laut, tapi tidak punya cerita Sam Po Kong. Nah, ini yang ingin saya katakan kepada kalian. Bahwa daya jual pariwisata sama sekali tidak bergantung pada pemandangan indah semata-mata, tapi yang penting adalah cerita yang menyangkut pertumbuhan peradaban dan perkembangan kebudayaan. Semarang memiliki itu, sebab memiliki cerita Sam Po Kong." Anak-anak itu mengangguk-angguk. Bila besok mereka pulang ke Jakarta, memang mereka membawa oleh-oleh cerita.


TAMAT SEMENTARA