Forum Sahabat Silat

Bahasa Indonesia => Silat Diskusi Umum => Cerita Silat => Topic started by: mpcrb on 28/09/2010 12:08

Title: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 28/09/2010 12:08
ini cerita silat menarik, sarat dengan falsafah nusantara...

ada yang pecinta serial tersebut?

salam
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: pastorbonus on 30/09/2010 08:39
Ane ngacung kang :D Sangat2 tertarik... sumangga dipun babar kang...
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 30/09/2010 09:15
Senopati pamungkas berisi perjalanan seorang pesilat bernama Upasara Wulung, yang berusaha mencari keilmuan sejati, keilmuan hakiki, tidak ingin menjadi lelananging jagat tetapi pada akhirnya diakui sebagai lelananging jagat. Mendapat gemblengan jurus ini dan itu dari guru-guru sakti, menjadi sakti, dan kemudian kehilangan seluruh tenaga dalamnya hingga menjadi manusia biasa yang dikejar-kejar, ketakutan, dibela sahabat-sahabatnya, dan pada akhirnya menemukan kembali tenaga dalamnya dengan teori dan konsep yang lebih matang dari sebelumnya.

Upasara Wulung, salah seorang ksatria hasil godokan Ksatria Pingitan. Ksatria Pingitan adalah semacam perguruan yang berusaha melahirkan ksatria sejati yang dilatih ilmu surat dan ilmu silat, atau kanuragan. Para ksatria yang terpilih, dilatih sejak lahir di Ksatria Pingitan. Menurut cerita ini, Ksatria Pingitan didirikan atas gagasan Baginda Raja Sri Kertanegara Raja Singasari yang terakhir, dengan tujuan menciptakan manusia yang selain jago silat juga mempunyai watak luhur, yang kelak diharapkan menjadi senopati utama yang melanjutkan kebesaran Keraton dan melindungi penduduk. Selama dua puluh tahun Upasara Wulung berada dalam Ksatria Pingitan, dilatih oleh Ngabehi Pandu, sebelum terjun ke medan persilatan. Ilmu dasarnya adalah Banteng Ketaton, atau Banteng Terluka. Akan tetapi mengalami perubahan besar sejak mempelajari Bantala Parwa atau Kitab Bumi yang berisi Dua Belas Jurus Nujum Bintang serta Delapan Jurus Penolak Bumi. Bantala Parwa dianggap babon segala kitab kanuragan. Merupakan puncak berbagai sumber ilmu silat yang ada di tanah Jawa.

Dikisahkan juga bahwa terdapat dua sisi seperti mata uang antara kesaktian baik dan kesaktian jahat. Kesaktian baik disimbolkan oleh upasara wulung, sedangkan kesaktian jahat disimbolkan oleh Halayudha. Keilmuan mereka berdua relatif setara dan bahkan bisa dibilang dua orang yang belum ada tandingannya (pada cerita tersebut). Tetapi pada akhirnya (seperti sudah bisa ditebak), bahwa kesaktian baiklah yang akan menang. Halayudha dikalahkan oleh Upasara Wulung. Di akhir cerita Senopati Pamungkas, terjadi kondisi dimana Upasara Wulung melakukan tapa nyepi (upasara wulung mendapatkan kembali tenaga dalamnya justru menjelang akhir cerita silat ini, pembuatnya hebat bisa membuat dari tengah jalan cerita hingga akhir jalan cerita jagoannya adalah manusia biasa yang dalam tahap mersudi, tahap mencari).

Kidungan-kidungan sering menjadi awal mula sebuah kesaktian hebat. Seperti misal kidungan berikut ini:

Kidungan pemula ini juga berarti kidungan tentang air, air suci
maka kitab ini juga bisa disebut  Matirta Parwa,
artinya kitab tentang mandi dengan air suci

Tirta itu air, Matirta mandi
mandi itu membersihkan
mandi menyucikan
hanya air yang bisa mencuci
hanya air yang bisa dicuci
 
Kidungan pertama, di mana air
di bumi
tanpa air, bumi bukan bumi
di langit
tanpa air, langit bukan langit
di badan
tanpa air, badan bukan badan
di jiwa,
tanpa air, jiwa bukan jiwa
  
Air adalah tenaga
tenaga ada di mana saja

tarik napas, itulah tenaga
biarkan di dada,
gerakkan tangan
kiri atau kanan
sama saja
selama tak dibendung
air terus menggulung

Bumi lebih mudah dikenali
karena bumi diinjak setiap kali
air terlupakan
karena menyatu di badan

Bumi ada pusatnya, di pusar
air tanpa pusat tanpa pusar

Bumi ada bentuknya, pukulan
air membentuk rangkulan
 
Inilah kidungan pertama
sebagai puji syukur kepada Dewa
yang dicipta dari air!

(to be continued...)
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 30/09/2010 09:27
Singkat cerita (ringkasan) kira-kira demikian:

Baginda Raja Sri Kertanegara membawa Keraton Singasari ke puncak kejayaan yang tiada taranya pada awal sejarah keemasan. Pasukan Tartar yang berhasil menaklukkan dunia dipecundangi. Umbul-umbul berlambang singa berkibar ke seberang lautan. Idenya mendirikan Ksatria Pingitan, semacam asrama yang mendidik para prajurit sejak usia dini, menghasilkan banyak ksatria. Di antaranya Upasara Wulung, yang sepanjang usianya dihabiskan di situ. Upasara Wulung terlibat dalam intrik Keraton, perebutan kekuasaan, pengkhianatan, keculasan, terseret arus jago-jago kelas utama: mulai dari Tartar di negeri Cina, Puun Banten, puncak gunung, dengan segala ilmu yang aneh. Juga lintasan asmara yang menggeletarkan. Ilmu segala ilmu itu adalah Tepukan Satu Tangan, di mana satu tangan lebih terdengar daripada dua tangan. Di banyak negara diberi nama berbeda, tetapi intinya sama. Pasrah diri secara total. Diangkat sebagai senopati oleh Raden Wijaya, yang mendirikan Majapahit dengan satu tekad: "Seorang brahmana yang suci bisa bersemadi, tetapi seorang ksatria mempunyai tugas bertempur, membela tanah kelahiran."

atau mau dilanjut ceritanya? ;) hehehe bisa 7 hari 7 malam kayaknya. Mungkin akan saya coba ambil poin-point menarik mengenai kidung-kidung yang menjadi dasar keilmuan tanah jawa.

(to be continued...)
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 30/09/2010 09:52
(http://www.amartapura.com/uploadimg/f_t/tembangtanahair5_12763.jpg)

Lanjutan dari Senopati Pamungkas adalah Tembang Tanahair (penulisannya demikian, tanahair bukan tanah air. karena menurut penulisnya tanahair adalah satu). Pada lanjutannya (tembang tanahair) dikisahkan kalau Upasara Wulung akhirnya mendapatkan kembali tenaga dalamnya dan ia melakukan nyepi, tapa, merumuskan keilmuan, mencari inovasi keilmuan baru dari pengalaman hidupnya. Diceritakan bahwa proses latihan ilmu baru hasil mersudi, hasil mencari, ini sangat menggetarkan dunia sehingga banyak para pendekar digdaya dari seluruh dunia (yang bisa merasakan aura dari upasara wulung) mendatangi tanah jawa dan menantang para pesilat tanah jawa sambil mencari dimana sumber tenaga aura dahsyat itu bermuara.

Pada buku Tembang Tanahair dikisahkan kalau keilmuan upasara wulung diturunkan pada seorang murid terbaiknya (jenius pada ilmu silat) yang masih berusia remaja untuk menjadi 'wakil' dirinya meladeni tantangan para pendekar dari seluruh dunia. Dengan ilmu silat khas tanah jawa, berbasis falsafah tanah jawa, satu persatu para pendekar ditumbangkan. Sebagian ingin berguru karena merasa telah kalah dan sebagian lagi menyimpan dendam kesumat.

Pada buku Tembang Tanahair ini, keilmuan silat dijelaskan dengan bahasa sehari-hari yang bahkan itu adalah mainan anak di tanah jawa, tetapi bisa menjadi suatu ilmu silat hebat (hasil perenungan dan proses mersudi patitising tindak pusake titising hning atau mencari sampai mendapatkan keilmuan sejati melalui keheningan, melalui tapa nyepi, pasrah diri total, dari upasara wulung).

Sebagai contoh nama jurus "Obah Owah" yang berarti "gerak perubahan", gerak itu dinamis, gerak itu berubah, menyesuaikan, bisa ditempatkan dimanapun dalam kondisi apapun. Gerakan tidak terbentuk pada bentuk, gerakan mengalir, mengikuti perubahan, mengikuti arah angin, mengikuti kreteg hati.

Buku ketiga setelah Tembang Tanahair adalah Sukma Sedjati. Yakni pada akhirnya semua keilmuan silat yang dipelajari oleh upasara wulung berakhir pada sukma sejati, sukma Tuhan, sukma langit.

hehehe, kalo dilanjut habis bener-bener bisa 7 hari 7 malam...

salam.


Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: bluebex on 30/09/2010 10:22
ada scan nya ngak mas MPCRB ... pengen baca euy ...
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 30/09/2010 11:25
bukunya saya punya, tapi kalau di scan kayaknya akan terbentuk aspek hukum ;) mending dibeli di Kwitang mas (kalo lokasi di jakarta). Pesilat ngga rugi deh baca buku-buku tersebut (SP, TT dan SS)...

Senopati Pamungkas (lama) terdiri dari Jilid 1 (1-25) dan Jilid 2 (26-40)
Tembang Tanahair (1-7) <-- ini yang saya punya :( harusnya kalo gak salah ada 15
Sukma Sejati (1-2) <-- ini yang saya punya ... hiks hiks hiks.. susahnya nyari di toko buku bekas :(

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: bluebex on 30/09/2010 16:27
klo diperjual belikan baru ngak boleh mas ... klo ngescan utk pribadi boleh kali ... tapi jgn bil. bil. ya ... PM saia aja ...hehehe ...
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 30/09/2010 16:33
hahaha, bisa aja si mas ini... ;)

kalo di scan, berapa banyak ya? hahaha 1 buku bisa ada 100-an halaman... kalo 7 buku? berarti 700-an halaman. Kalau 1-25 berarti 2500-an halaman, total kurang lebih ada 7000-an halaman... hehehe

Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: Unknown on 01/10/2010 07:04
saya punya eBook senopati pamungkas jilid I, tapi saya kurang tau apa boleh diedarkan secara gratis? kalau memang boleh dan tidak melanggar hak cipta pengarang saya akan kasih link download nya.

saya lupa wkt itu dpt nya dari mana...
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 01/10/2010 09:12
kalo nyari yang ilegal banyak mas ;)

rasanya 'paman Google' sudah cukup bisa menunjukkan linknya dengan kata kunci 'Senopati Pamungkas download'. hehehehe

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: bluebex on 01/10/2010 10:44
oooo... hohohoho ... langsung ke TKP .... [top]
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 01/10/2010 16:40
ada satu bab yang saya pribadi sangat suka. Saya salin kesini ya (agak panjang, tapi saya yakin sarat makna).

Sembilan Lubang dalam Tubuh

GENDHUK Tri masih meringis.

Sekujur tubuhnya seperti kena sengat binatang berbisa. Hawa dingin dari tubuh Naga Nareswara menyelinap ke dalam ulu hatinya. Hingga Gendhuk Tri megap-megap mengatur napasnya.

"Kelemahan Kakek Guru bisa saya baca."

 "Kamu tahu apa yang kupikirkan?"

 "Inilah Weruh Sadurunging Winarah. Tahu Sebelum Terjadi, tahu bahwa Kakek Guru pasti tak menduga bahwa dari suatu tarian, penari perempuan bisa menaikkan tangan lebih tinggi daripada pundaknya. Bahwa penari perempuan tak diduga akan mengangkat tinggi lututnya.

 "Karena Kakek Guru berpikir bahwa gerakan tarian bukanlah gerakan yang membuka kedua kaki dan mengangkat tangan lebih tinggi daripada pundak, saya menyelinap dari itu.

 "Dan nyatanya berhasil, meskipun tenaga Im Kakek Guru lebih dahsyat."

 "Siapa yang mengajarimu mengenali tenaga Im segala macam?"

 "Siapa lagi kalau bukan Kiai Sangga Langit?

 "Bukankah tenaga Im adalah tenaga dingin, yang tak bisa dilawan dengan tenaga panas. Yang hanya bisa diungguli dengan tenaga lebih dingin lagi? Kalau tak mungkin, tenaga dingin Kakek Guru harus dipancing menjadi tenaga lebih terasa dingin?"

 "Kamu tahu cara melatih tenaga dingin?"

 Gendhuk Tri menggeleng.

 "Saat itu dan sekarang ini, saya tak ingin mempelajari tenaga dingin. Itu sama saja dengan mempelajari Penolak Bumi. Saya lebih suka mempelajari tenaga Bumi, dibandingkan dengan tenaga Penolak Bumi."

 "Aneh, kenapa kamu menolak, Naga Alit?"

 "Karena saya tak mau menjadi kakek-kakek seperti Kakek Guru. Saya tak tahan harus bersabar berada di gua seperti ini menanti menerobos ke luar sekarang juga."

 "Kamu keliru, Naga Alit.
 

 "Mari kuajarkan tenaga Im padamu."

 
 Empat selendang Gendhuk Tri mengembang, menolak tangan Naga Nareswara yang terjulur. Akan tetapi sia-sia.

 Ujung jari Naga Nareswara telah menyentuh pundak. Gendhuk Tri menjadi menggigil.

 Seolah ada serpihan air gunung yang murni, maha dingin, menyelusup ke dalam tubuh Gendhuk Tri.

 Gigi Gendhuk Tri sampai bergemeletuk.  

 "Jangan menolak, jangan memperkirakan apa yang kulakukan, Naga Alit. Berpuluh tahun aku melatih tenaga ini, baru sekarang kusalurkan. Dewa di langit tak seberuntung kamu."

 "Saya tidak menolak, Kakek Guru," jawab Gendhuk Tri gemetaran. "Tetapi Kakek Guru keliru menyalurkan tenaga dalam." Naga Nareswara melengak. "Kamu tidak bergurau, Naga Alit?"  

 "Kalau nyawa saya rangkap tujuh, saya tetap tak berani bergurau dengan Kakek Guru. Kakek Guru menyalurkan lewat satu tenaga saluran."

 "Apa itu?"

 Naga Nareswara menarik kembali tangannya.

 "Dalam tubuh manusia ada sembilan lubang, dan Kakek Guru hanya menyalurkan lewat satu lubang."

 "Sembilan?"

 "Hawa sanga, atau sembilan udara bisa mengalir masuk ke dalam tubuh. Lewat dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, satu mulut, dua lubang di bagian bawah tubuh."

  "Ah."

 "Dalam ilmu Weruh Sadurunging Winarah, kita bisa memecah perhatian, membagi perhatian antara yang kita lakukan dan yang kita pikirkan.

 "Satu tangan membuat lingkaran, satu tangan lagi membuat kotak, satu kaki membuat segi tiga, satu kaki lagi..."  

 "Hebat.

 "Kita coba."

 Gendhuk Tri makin menggigil!

 Kalau tadi hanya satu tenaga, sekarang seperti kerasukan sembilan kali lipat!

 Kalau saja Halayudha mengetahui hal ini, ia bisa mati berdiri!

 Siapa nyana Gendhuk Tri bakal menerima tenaga murni dari Naga Nareswara?

 Inilah perjalanan nasib yang susah diterka!

 Gendhuk Tri sejak lahir selalu mengalami pergolakan batin dan terlihat dalam berbagai peristiwa yang menggetarkan. Menjadi anak-murid Mpu Raganata tanpa disadari. Kemudian berkelana dengan Jagaddhita yang tenar. Terkurung dalam Gua Lawang Sewu sehingga tubuhnya dipenuhi racun maha ganas. Dan akhirnya berhasil ditawarkan lewat tenaga murni oleh Upasara Wulung.

 Dan sekarang dijejali lagi dengan tenaga dingin dari Naga Nareswara.

 Memang, penyaluran tenaga Naga Nareswara berbeda dari penyaluran tenaga Upasara Wulung. Yang terakhir ini sengaja memberikan tenaga dalamnya untuk menguras tenaganya sendiri. Sedangkan Naga Nareswara tidak sepenuhnya begitu.  

 Meskipun memang dengan menyalurkan tenaga dalam, kekuatannya sendiri menjadi berkurang untuk sementara.

 Dalam hal ini kecerdikan Gendhuk Tri tiada tandingannya. Bahkan Halayudha yang sangat licik tak mampu berpikir seperti Gendhuk Tri.

 Dengan segala kepolosan dan kenakalannya, Gendhuk Tri bisa menyudutkan Naga Nareswara sehingga ia harus rela dipanggil sebagai "raja segala tikus celurut", atau terpaksa memanggil Gendhuk Tri dengan sebutan Naga alit.

 Dengan segala akalnya, Naga Nareswara terpancing mengetahui ilmu Weruh Sadurunging Winarah, dan sekaligus menganggap Gendhuk Tri sebagai cucu-muridnya.  

 Dan yang penting, dengan mengatakan babakan hawa sanga, Gendhuk Tri memperkenalkan cara mengatur pernapasan yang baru. Setidaknya bagi Naga Nareswara. Adalah tepat perhitungan Gendhuk Tri bahwa kemudian Naga Nareswara benar-benar menjajal. Ini berarti memberikan tenaga dalam lipat sembilan kali!  

 Sebenarnya memang ada sesuatu yang berlebih dalam diri Gendhuk Tri. Secara tak terterangkan dalam artian dimengerti oleh Gendhuk Tri, ia telah mempelajari Weruh Sadurunging Winarah sejak awal. Sehingga sebenarnya ia bisa mempelajari ilmu lawan, kelemahan lawan, tanpa disengaja. Pancaindranya bekerja seperti yang selama ini dilatih.

 Dalam kaitan dengan Naga Nareswara, secara tidak sadar Gendhuk Tri mengetahui bahwa lawan yang dihadapi adalah tokoh kaliber Eyang Sepuh atau Upasara Wulung di masa jayanya. Tokoh yang sakti mandraguna dan selalu haus ilmu kadigdayaan.  

 Lebih dari semua itu, Naga Nareswara memang sangat asing dengan lingkungan. Entah sejak kapan berada dalam gua di bawah tanah ini. Barangkali sejak dibangunnya Keraton Majapahit.

 Ini berarti tak mengetahui banyak kejadian di luar.

 Dan Gendhuk Tri dianggap Naga Nareswara memberikan banyak hal yang tak diketahui, yang sangat diperlukan dalam rangka membalas dendam atas kekalahan semua panglima perang dari Tartar.

 Begitulah yang terjadi.

 Tubuh Gendhuk Tri membeku seperti es di pucuk gunung. Baru kemudian Naga Nareswara beristirahat. Menunggu sampai Gendhuk Tri sadar, dan kemudian sambil menjajal ilmu silat lagi. Gendhuk Tri memberikan apa-apa yang diketahui. Beberapa gerakan, rahasia dari gerak dan tarian yang dimengerti.

 "Kiblat papat lima pancer adalah arah yang selalu dituju dalam gerakan silat maupun gerakan tari. Empat mata angin dan menjadi lima dengan yang berada di pusat.

 "Begitulah yang diajarkan kepada saya, Kakek Guru."

 "Aku mengerti, Naga Alit.

 "Kenapa Mpu Raganata sejak semula tak memberi nama pada jurus-jurus yang kamu mainkan? Apakah mungkin seorang tokoh menciptakan jurus tapi tidak memberi nama?"  

 Gendhuk Tri menghela napas.

 "Pasti ini bukan sekadar keanehan. Naga Alit!

 "Kitab Bumi saja dengan jelas-jelas merinci semua jurusnya, dan ada kidungannya."  

 Gendhuk Tri menghela napas lagi.  

 "Eyang Guru Mpu Raganata pada saat itu setara dengan Eyang Sepuh. Ilmu kedua tokoh itu telah mencapai puncak dari pengolahan diri sejati.

 "Tak bisa dibedakan mana yang lebih sakti. Tak bisa dibedakan mana yang lebih unggul.  

 "Yang bisa diketahui hanyalah, inti dasar kedua ilmu linuwih ini ada bedanya, tapi banyak miripnya.

 "Saya sadar kenapa saya tak bisa meresapi Tepukan Satu Tangan. Karena pada dasarnya ilmu ini masih mempercayai pemberian nama, meskipun isinya penolakan.  

 "Sebenarnya Weruh Sadurunging Winarah lebih dekat dengan Jalan Budha. Karena gerakan dalam jurus-jurus ini intinya adalah gerak. Bukan menirukan gerakan burung, belalang, atau harimau. Kibasan selendang tidak mencoba menciptakan tenaga seperti sesuatu. Akan tetapi murni sebagai gerakan.

 "Tarian itu adalah gerak.

 "Gamelan itu adalah bunyi.

 "Gambar itu adalah coretan."

 Naga Nareswara mengangguk. Dalam sekali. Menghela napas lega...
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: parewa on 02/10/2010 14:13
Sedikit info mas.......
Ada sebuah perguruan silat tradisional jawa yang kaidah silatnya sangat mirip dengan yang ditulis oleh Pak Arswendo ini. Kayaknya beliau melakukan riset yang mendalam sebelum menulis bukunya. [top]

Salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 02/10/2010 14:33
tentu saja mas :) tidak mungkin bisa menggunakan istilah-istilah sperti itu, menggunakan perlambang yang pas, dan bahasa kiasan yang pas apabila mas arswendo belum melakukan studi terlebih dahulu. :)

btw, perguruan apa ya mas kalau boleh tau dimana mas arswendo melakukan risetnya?

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: Antara on 02/10/2010 17:03
Boleh dong syair di atas di babar... apa saja kaidah yang disebut di dalamnya... misalnya, apa maksud tenaga dingin, apa saja yang disebut sembilan lubang dan apa kepentingan masing-masing lubang?
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: pastorbonus on 03/10/2010 15:53
Semakin menarik... bisa dibabarkan para sesepuh?
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 04/10/2010 01:58
pada bab "Sembilan Lubang Dalam Tubuh" yang merupakan bab yang saya sangat sukai, disana terkandung banyak sekali falsafah sebagai berikut:

1. Gendhuk Tri, digambarkan sebagai orang muda yang cerdas, kreatif, inovatif, luhur, mengikuti alur kehidupan apa adanya. Pada akhirnya pemikirannya diakui oleh pendekar hebat. Keberaniannya berpendapat, keberaniannya menarik kesimpulan, menjadikan dirinya disebut 'Naga Alit' atau naga kecil dari guru naga (ini kelasnya sudah guru besar pada konteks cerita tersebut)

2. Naga Nareswara, ini sekelas guru besar suatu perguruan kalo di zaman sekarang, dengan legowo mau mengakui, tidak marah, tidak emosi, mengenai perbedaan pemikiran dengan orang muda. Ini ditunjukkan ketika Gendhuk Tri memberikan 'wejangan' pada dirinya. Ia mau menerima pengetahuan dari orang muda, mau mendengarkan dari orang muda (mungkin sesuatu yang sudah jarang pada zaman sekarang).

3. Gendhuk Tri mampu memancing rasa penasaran dari sesuatu yang belum dipikirkan oleh Naga Nareswara. Ini mengandung arti bahwa terkadang pemikiran orang muda bisa jadi melampaui gurunya (meski mungkin secara keilmuan belum mencapai tingkatan gurunya, tetapi ide pemikirannya bisa lebih tinggi dari gurunya) hingga akhirnya ia mendapat berkah tenaga dalam berunsur dingin dari Naga Nareswara. Ini mensimbolkan, bahwa 'sesuatu' itu akan datang sendirinya. Pengetahuan itu seperti puzzle, terkadang potongan lengkapnya ada pada 'tempat' lain. Ia yang tidak ingin berlatih tenaga dingin, maka bisa mendapatkan tenaga dingin. Kita sendiri terkadang mengejar sesuatu, tapi malah keliru karena kita sarat ambisi, dan akhirnya malah tidak dapat apa-apa.

4. Kepolosan dan kesungguhan Gendhuk Tri di dalam belajar ilmu silat tidak mempermasalahkan pada penamaan, tetapi pada proses. Sehingga muncul pertanyaan dari Naga Nareswara kalau "apakah gerakan ini tidak bernama?". Gendhuk Tri tidak tahu gerakan ini untuk apa, tapi ia terus saja melatihnya dengan tekun, mengikuti pakem yang telah digariskan, dan pada akhirnya mencapai tahap 'weruh sadurunging winarah' atau 'tahu sebelum terjadi'. Disuruh menari ya menari, mengangkat selendang ya mengangkat selendang. Ini seperti gerak naluri, mengikuti kreteg hati, dan bisa tahu bagaimana gerakan musuh selanjutnya. Ini juga mengandung arti bahwa orang muda, tidak perlu menjadi tua terlebih dahulu untuk bisa memahami 'gerak naluri' atau 'jurus tanpa bentuk' atau 'aliran tenaga'. Asal dilatih secara tekun dan benar, ikhlas, lepas, maka hasilnya akan terlihat.

5. Pada kalimat ini: "Kakek Guru pasti tak menduga bahwa dari suatu tarian, penari perempuan bisa menaikkan tangan lebih tinggi daripada pundaknya. Bahwa penari perempuan tak diduga akan mengangkat tinggi lututnya. Karena Kakek Guru berpikir bahwa gerakan tarian bukanlah gerakan yang membuka kedua kaki dan mengangkat tangan lebih tinggi daripada pundak, saya menyelinap dari itu.", itu merupakan simbol bahwa gerakan harus disesuaikan dengan keadaan, tidak kaku, tidak melulu mengikuti bentuk. Mereka yang mengikuti bentuk, akan menjadi berbentuk dan dapat dikenal bentuknya. Tetapi mereka yang tidak mengikuti bentuk, akan sulit diperkirakan bentuknya oleh yang berwawasan bentuk.

6. Pada kalimat ini: ""Dalam ilmu Weruh Sadurunging Winarah, kita bisa memecah perhatian, membagi perhatian antara yang kita lakukan dan yang kita pikirkan. Satu tangan membuat lingkaran, satu tangan lagi membuat kotak, satu kaki membuat segi tiga, satu kaki lagi..." , itu menunjukkan bahwa keilmuan jawa ada pada laku dan pikir. Laku disebut lebih dulu dibanding pikir, simbolnya adalah kerjakan dahulu, mikir belakangan. Kalau di dalam konteks ilmu silat ini benar, jangan digeneralisir untuk semua keadaan. Terkadang banyak mikir, kenapa begini, kenapa begitu, malah tidak nemu-nemu intinya. Belajari ngelmu dari guru, tentu sang guru sudah memahami hakekat gerakannya. Jadi, lakukan saja apa yang diperintah, jangan kebanyakan mikir, karena sejak awal gerakan itu tercipta, sang guru sudah memikirkannya lebih dahulu.

7. Pada kalimat ini: "Dan yang penting, dengan mengatakan babakan hawa sanga, Gendhuk Tri memperkenalkan cara mengatur pernapasan yang baru. Setidaknya bagi Naga Nareswara.", itu menunjukkan bahwa keragaman cara pengolahan itu ada. Ini juga sekaligus sebagai simbol agar mereka yang belum memahami keilmuan secara matang, jangan coba-coba belajar keilmuan lain atau minta diturunkan keilmuan dari orang lain yang kurang mengerti dengan cara-cara transfer tenaga dalam secara instant.

8. Pada kalimat ini: "Lebih dari semua itu, Naga Nareswara memang sangat asing dengan lingkungan. Entah sejak kapan berada dalam gua di bawah tanah ini. Barangkali sejak dibangunnya Keraton Majapahit. Ini berarti tak mengetahui banyak kejadian di luar. Dan Gendhuk Tri dianggap Naga Nareswara memberikan banyak hal yang tak diketahui, yang sangat diperlukan dalam rangka membalas dendam atas kekalahan semua panglima perang dari Tartar.", ini mengandung arti bahwa keilmuan itu harus peka zaman, bisa melihat keadaan, melihat zaman. Setiap zaman ada perbedaan pengetahuan, ada penambahan pengetahuan, perbedaan cara berpikir, sudut pandang, dsb. Ini juga simbol bahwa kita harus terbuka menerima pengetahuan dari luar, tidak skeptis, dan legowo menerima.

9. Pada kalimat ini: "Tubuh Gendhuk Tri membeku seperti es di pucuk gunung. Baru kemudian Naga Nareswara beristirahat. Menunggu sampai Gendhuk Tri sadar, dan kemudian sambil menjajal ilmu silat lagi. Gendhuk Tri memberikan apa-apa yang diketahui. Beberapa gerakan, rahasia dari gerak dan tarian yang dimengerti.", ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap gerakan sangat penting. Lebih jauh lagi, pemahaman terhadap keilmuan. Seperti halnya olah nafas pada MP. Pada bentuk nafas pembinaan, melakukan dengan nafas normal dan nafas kering akan berbeda pada hasil, meski bentuk yang dilakukan sama. Pada beberapa gerakan pukulan beladiri lain, melakukan tangan terkepal dan tangan terkepal dengan kelingking sedikit maju, akan berakibat pada hasil akhir. Semua ada rahasianya. Rahasia ini bisa diketahui melalui dua proses, yakni diberitahu oleh yang sudah tahu, atau ditemukan sendiri melalui pengalaman.

10. Pada percakapan trakhir antara Naga Nareswara dan Gendhuk Tri sebagai berikut: ""Eyang Guru Mpu Raganata pada saat itu setara dengan Eyang Sepuh. Ilmu kedua tokoh itu telah mencapai puncak dari pengolahan diri sejati. "Tak bisa dibedakan mana yang lebih sakti. Tak bisa dibedakan mana yang lebih unggul.  "Yang bisa diketahui hanyalah, inti dasar kedua ilmu linuwih ini ada bedanya, tapi banyak miripnya.", ini menunjukkan bahwa semua pada dasarnya banyak miripnya. Keilmuan tanah jawa, keilmuan tanah sunda, keilmuan tanah minang, keilmuan tanah jepun, tartar, dsb. Yang membedakan adalah pada bagaimana keilmuan itu dicapai dari hasil olah pelakunya.

11. Pada kalimat terakhir: '"Tarian itu adalah gerak.

 "Gamelan itu adalah bunyi.

 "Gambar itu adalah coretan.", menunjukkan simbol bahwa memahami kesederhanaan itu penting. Kadang kita larut pada kerumitan, padahal sebenernya sederhana.

hehehe, seru juga yak... ;)
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: ajigineng on 04/10/2010 11:33
heheheheh menarik... monggo di babar babar poro sesepuh ...
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: bluebex on 04/10/2010 15:40
 [top] [top] [top]
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: Antara on 04/10/2010 15:54
heheheheh menarik... monggo di babar babar poro sesepuh ...
Waduh, apa bukan justru Mas Ajigineng lebih berbekal dan berkemampuan untuk menjabar sesari ilmu kelas tinggi macam ini...  ;D Saya gak heran loh kalau ternyata Lik Arswendo waktu menulis buku ini dulu risetnya di perguruan yang diasuh oleh Mas Ajigineng  [top]
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: Antara on 04/10/2010 16:16
5. Pada kalimat ini: "Kakek Guru pasti tak menduga bahwa dari suatu tarian, penari perempuan bisa menaikkan tangan lebih tinggi daripada pundaknya. Bahwa penari perempuan tak diduga akan mengangkat tinggi lututnya. Karena Kakek Guru berpikir bahwa gerakan tarian bukanlah gerakan yang membuka kedua kaki dan mengangkat tangan lebih tinggi daripada pundak, saya menyelinap dari itu.", itu merupakan simbol bahwa gerakan harus disesuaikan dengan keadaan, tidak kaku, tidak melulu mengikuti bentuk. Mereka yang mengikuti bentuk, akan menjadi berbentuk dan dapat dikenal bentuknya. Tetapi mereka yang tidak mengikuti bentuk, akan sulit diperkirakan bentuknya oleh yang berwawasan bentuk.

Awalnya bingung, tapi akhirnya ingat sesuatu. Ternyata kita memang perlu memahami dulu budaya di tempat filsafat ini berasal.

Saya ingat waktu sedang melekan di Jogja dulu, kami berdiam di nDalem Kalitan yang masih di sekitar keraton, waktu itu sudah jam 2 pagi.. Saya dapat wejangan pewayangan a la Jawa, disebutkan bahwa seorang ksatria itu tidak pernah mengangkat tangan melebihi bahu, berbeda dengan raksasa yang kalau bertarung sembarangan saja mengangkat tangan sampai ketiaknya kelihatan, saru. Bahkan dalam pertarungan sekalipun, seorang ksatria perlu memperhatikan tata krama... boleh-tidak... menunjukkan adanya aturan yang mengatur kehidupan manusia, bahkan dalam perang sekalipun. Ini diturunkan dalam tata tarian Jawa, khususnya tarian perempuan.

Di sini Gendhuk Tri mengeluarkan anti-thesis dari pernyataan itu...

Lucunya, entah kenapa, saya kok tidak merasa kedua pendapat ini bertentangan. :-\ Tapi jangan tanya bagaimana, saya nggak ngerti bagaimana jelasinnya... bukan berlagak bijaksana dan misterius, tapi ya begitu. Kedua pendapat ini menjadi sinthesis bagi saya dengan cara yang saya sendiri gak paham :-X

***

Pada beberapa gerakan pukulan beladiri lain, melakukan tangan terkepal dan tangan terkepal dengan kelingking sedikit maju, akan berakibat pada hasil akhir. Semua ada rahasianya. Rahasia ini bisa diketahui melalui dua proses, yakni diberitahu oleh yang sudah tahu, atau ditemukan sendiri melalui pengalaman.

Naaahhhh... untuk hal ini saya secara khusus banget mohon petunjuknya dooongggg...  [pray2]
Sejak bermain-main dengan silat, kepalan saya dengan sendirinya berubah menjadi kelingking sedikit maju. Nggak tau kenapa, terjadinya begitu saja. Yang saya rasakan pukulan model ini terasa sangat ringan dan titik fokusnya pun terasa lebih kecil, tidak lagi bertenaga di lengan, tapi di ujung kepalan. Saya gak tau kalau ada teori yang mendasarinya....

Mohon diajari kalau ada ilmunya yaaa? Maklum pesilat pemula dan nyasaran... :-[
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 04/10/2010 17:23
kang Antara bisa aja... ;)

nyasaran kok pendekar muda... hehehehe...

justru kami yang muda, mohon bimbingan kang :)

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: Unknown on 04/10/2010 17:25
kepalan tangan dengan kelingking agak membuka membuat tangan jd fleksible, kalo terasa lebih ringan emang bener. dalam kaedah permainan tenaga, bentuk itu menjadikan tenaga "setengah". dari situ perubahan bentuk kepalan menjadi bebas apakah mau dibuka (buat nyolok, nangkep), lima jari ditekuk  (totokan pake buku jari-seperti di pukulannya maenan sabeni), jari telunjuk terlipat dan maju (ntuk totokan buku jari).

perubahan bentuk2 kepalan itu otomatis merubah tenaga yg digunakan, ini masuk dalam kaedah perubahan tenaga.
*maenan kong iyi dari kemanggisan bentuk kepalannya kyk gitu, jangan2 ngkong ane murid nya senopati pamungkas...? x-))
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 04/10/2010 17:39
berbicara mengenai perubahan tenaga, ada satu bab pada buku Tembang Tanahair (lanjutan dari Senopati Pamungkas) yang juga tidak kalah menariknya. Saya kutip disini:

mengembara di sungai, tak menginjak daratan
karena asmara, pada perawan
tertambat pada pria
lebih mesra, lebih membara

gua ini adalah gua mata
seperti keraton di atasnya
tetapi lebih mirip nirwana
gua ini gua mata
bisa melihat, melirik, nyipati, denger, tumon, ngujiwat
mlerok, mleruk, menteleng, mecicil, mendelik, ngliling, ngulat-ulatake
begitulah pengerahan tenaga mata

tapi untuk apa ilmu silat
kalau itu menjauhkan diri dari ketentraman
persatuan dengan kehidupan yang sesungguhnya
lebih baik tidak diberitahukan
biar saja dibaca oleh burung, oleh ikan
biar saja ditemukan oleh mata hati

jagat telah penuh
tenaga bumi, tenaga air
jagat telah diisi
segala ksatria
segala senjata

biar saja ada buah yang ditanam
biar saja ada ikan yang berenang
berbiak untuk kehidupannya
untuk kehidupan orang lain

maut telah berlalu
seperti perahu yang lewat
seperti asmara yang basi
tinggal mata

***

Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: keEntupTawon on 04/10/2010 20:24
"Segala apa di jagat ini bersumber pada angka sembilan. Kalau Paman tanya,
lubang tubuh manusia jumlahnya pasti sembilan. Kalau Paman bilang manusia hanya
mempunyai lima indria, pancadriya, itu berarti belum semua Paman rasakan.
"Inilah yang biasa disebut cara mengatur pernapasan Nawawidha, seolah seperti
pelipatan tenaga sembilan kali. Kalau belum mencapai pengerahan itu, berarti masih perlu
berlatih diri."
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 05/10/2010 08:47
seperti halnya sembilan rembulan atau sembilan matahari (Kiu Im Cin Keng dan Kiu Yin Cin Keng) dalam terminologi kungfu...

salam
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: ajigineng on 05/10/2010 17:06
" sareh dene isen-isening bumi(donyo) iku kabeh,kawengku dening patokan kang tetep,yoiku doyo tarik temarik , panjing-pinanjingan dening paboting jagat iki...siro pinaringan mripat mergo ananing suryo.siro pinaringan irung lan wadah napas mergo ananing bayu,siro pinaringan sikil amergo ananing bumi,siro pinaringan untu amergo ananing wit-witan ...dadi..!!! ananiro iku gegayutan ananing jagat dadi siro iku jagad. yen siro kepengein anyurupi ananiro ,yo kudu anyurupi ananing jagad kabeh...ateges siro kudu bisoho mangudi hanguwateke piranti songo kang ono ing badan iro, kanggo ngadepi urip iro, kukuhing saliro iro kang mung siji iki,sarono hanglakoni polah kang winasten...(bait bait kitab bumi.....)
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: keEntupTawon on 05/10/2010 17:59
nah yang ini bukan kutipan kitab bumi di SP... 


barangkali asik juga nih kalau diskusi bulanan ngundang Arswendo untuk membabar SP, TT dll

salam
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: Suprapto on 06/10/2010 00:21
@ bung keEntup tawon.
Setuju berat. Cuma biar nanti dengan bp Arswendo lebih mudah nyambung, saya kira kita perlu persiapan dulu dari kangmas Ajigineng.

@ kangmas Ajigineng.
Berhubung tubuh pribadi kita berkait nyambung/menyatu dengan jagat/alam: surya, angkasa/bayu, bumi, tetumbuhan, dengan piranti/anggota tubuh yang lebih pas berhubungan dengan unsur alam itu. Sementara ki dalang kok selalu mengatakan, kalau sedang mesubudi, sinatria nutup babahan howo songo ?
Mohon dibabar lebih lanjut.

Salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 06/10/2010 01:27
jd smakin menarik. jk SP berdasar pd riset, mk yg prtama dibabar haruslah kitab bumi krn dianggap babon sgla kitab.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: keEntupTawon on 06/10/2010 09:43
Mahabanda
Tujuan: mengunci energi agar tidak terbuang waktu berbicara atau buang air.  Penguncian dilakukan pada anus, pusar, dan tenggorokan.
1.   Posisi: duduk santai, kepala ditinggikan seperti digantung ke atas.
2.   Napas: buang sepenuhnya (napas kosong), boleh dengan membungkukkan badan dulu, lalu tegakkan kembali.
3.   Kcari mudra (lidah nempel di langit langit)
4.   Tenggorok/dagu tarik kedalam, otomatis dada terangkat, kunci
5.   Perut tarik ke dalam, angkat ke atas, kunci
6.   dubur dikerutkan, kunci
7.   bertahan selama mungkin,
8.   saat melepas, lepas dulu kunci dubur dan perut (boleh bersama), baru kunci tenggorokan,. baru boleh tarik napas.

Tingkat Lanjutan, sebelum kunci dibuka:
8.   ayun tangan dari bawah ke arah luar ke atas kepala
9.   ibu jari masuk ke kedua lubang telinga, telunjuk menutup mata, jari tengah menutup menekan hidung, dan jari manis serta kelingking menutup mulut
10.   bertahan selama mungkin, saat melepas, lepas dulu kunci pada tangan, kemudian pada dubur dan perut (boleh bersama), kemudian pada tenggorokan, baru tarik napas.
Kalau tidak tertahan, sebelum tarik napas, utamakan lepas dulu kunci di dubur dan kemudian di perut, lalu tarik napas, kalau tidak tenggorokan akan terasa sakit.
Usahakan lakukan Mahabandha untuk menutup setiap kali latihan.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: ajigineng on 06/10/2010 09:56
ketika orang melakukan mesu budi..melakukan pensucian diri..yang ditutup hanya hawa nafsunya...bukan kemampuan indranya.... agar kemampuan indranya ini bisa menerima "wahyu sejati"...bukan wahyu menurut nafsunya,menurut jalan pikirianya......apapun hasilnya hanya semata anugrahanin Gusti Ingkang Moho Welas Asih...." pikir siro   kang mengku marang raganiro, raganiro hamengku pikire, pikir iro miningko kemudi lan anuntun marang raganiro,..diwaspodo marang empan lan tuwuhing piki iro... ojo was sumelang atiniro.. angudi kasmapurnaning rogo lan kasampurnaning jiwo.."
 hehehhehe " apa yang saya tulis ini tidak ada hubungnaya kok dengan SP apa lg kok sampai perguruan saya pernah dijadikan riset ama Arswendo...kami ini perguruan ndeso...!!!"
kami juga tidak akan mencoba memrip miripkan apa yg ada di buku SP dengan apa yg kami punya....kalupun ada kemiripan cerita atau apapun saya rasa ituhanya suatu kebetulan saja....jadi appaun yg ada di SP ya itu imajinasi dr si Arswendo.....!!!
jadi monggo porosesepuh yang lebih mengerti dan mumpuni silahkan dilanjut di babar....@mas Suprapto, MAS mpcrb, Entup Tawon, Antara...dan yang lain....sumonggo saya akan menyimak saja ..
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 06/10/2010 10:37
Benar sekali mas ajigineng... Ini adalah cerita silat. Kebenaranya relatif, kecuali dibuat oleh praktisinya langsung (guru besarnya) yang memang menguasai segala aspek keilmuan yang dimilikinya.

Let's having some fun dari apa yang tertera pada buku tersebut.

Di dalam pemikiran saya, apabila yang dikatakan adalah benar bahwa SP didasari pada riset sebelumnya pada suatu perguruan, maka apa yang dikatakan di dalamnya tidak melulu fiksi. Ada bagian-bagian yang merupakan 'penggalan' dari keilmuan dimana pengarangnya berinteraksi dengan 'guru' perguruan dimana ia menimba riset.

Dan kalau memang pada forum SS ini bersedia dibabar oleh anggota/guru paguron dimana pengarangnya berinteraksi, akan sangat luar biasa. Kita jadi bisa tahu mana yang fiksi dan mana yang realita.

Sebab jika itu murni fiksi, maka pengarangnya memiliki olahpikir yang jenius di dalam memberikan gambaran, kiasan, simbol-simbol, dan wawasan mengenai apa yang ia gambarkan. Ini sepertinya agak menyulitkan untuk diterima mengingat pengarangnya (bisa jadi) bukanlah pesilat atau (diinformasikan) sebagai anggota pada suatu perguruan silat.

Kalau kita mencermati membaca SP, kita akan dibawa pada kondisi dimana 'Kitab Bumi' dibabar, dijelaskan, kidungan demi kidungan (meski tidak utuh semuanya karena (bisa jadi) ada bagian yang dibuat fiksi agar lebih menarik) sehingga mampu melahirkan beragam 'kesaktian' dari pada mereka yang mempelajarinya (entah satu-dua kidungan, atau lebih). Pengalaman-pengalaman mereka yang mempelajari 'kitab bumi' dijelaskan dengan cukup gamblang oleh pengarangnya meliputi beragam aspek, dari mulai efek berlatih, pemahaman pemikiran, terobosan, bagaimana menangkal keilmuannya, dsb. Mereka yang memahami nuansa falsafah tanah jawa tidak lantas dengan serta merta bisa 'menyambungkannya' dengan aspek silat. Kadangkala filosofi ya berhenti pada filosofi. Tapi pada buku ini, filosofi bisa digambarkan dengan sangat baik pada aspek silat. Dan ini tidak mungkin bisa didapat dengan baik (penggambarannya) kecuali pengarangnya berinteraksi dengan orang yang menguasai.

Seperti halnya diceritakan tokoh bernama Pendeta Ngwang dari Tartar yang belajar jurus-jurus untuk mengalahkan kitab bumi. Ada anti-thesis disini (dalam bahasa kang Antara) yang juga berarti bahwa paguron tersebut juga mengetahui bagaimana anti-thesisnya (serangan penangkalnya). Dalam kondisi ini, pengarang sudah pasti berinteraksi dengan para pelatih atau guru dimana ia meriset dan (dengan kebesaran hati) mereka membabarkan keilmuannya untuk dicatat. Sebab kita bisa saja 'mengarang' suatu gerakan dan penangkal gerakan tersebut dalam bahasa kata-kata, tetapi peresapan maknanya tetap tidak mungkin dalam. Kecuali ia praktisi sungguhan atau ia mendapat informasi dari pihak ketiga.

Menariknya, pada lanjutan bukunya (Tembang Tanahair) justru kitab bumi yang menjadi dasar keilmuan, dilupakan untuk kemudian ditransformasi menjadi bentuk lain. Disini ada faktor inovasi keilmuan dan transformasi pemikiran (jika memang pada Tembang Tanahair juga dilakukan riset) untuk menuju efektivitas dan kesederhanaan. Dan tahap ini sudah menunjukkan melampaui tingkat dari kitab bumi beberapa level. Pada buku lanjutan ini, kitab bumi seolah menjadi 'anak kecil' bertemu dengan keilmuan yang sudah bertransformasi menjadi 'dewasa' (meski sumber awalnya sama). Kitab Bumi, berisi 'kidungan'. Tetapi bertransformasi menjadi 'Tembang'. Ini seperti penggunaan kata 'KAMU' dan 'SAMPEYAN'. Maksud artinya sama, tetapi sangat berbeda pada rasa hormat dan tingkat.

Sebagai contoh, dikisahkan ketika Danyang Badadung (murid dari Upasara Wulung, yang menciptakan Tembang Tanahair) bertemu dengan mereka yang sudah sakti dari mempelajari Kitab Bumi dan terjadi pertarungan. Danyang Badadung menggunakan jurus yang sama dengan apa yang tersirat pada kitab bumi. Efeknya, musuh yang belajar jurus yang sama kesulitan menangkal serangan dan hasil akhirnya kalah. Padahal jurus yang sama ditangkal dengan jurus yang sama. Ini menarik, sebab kadang kita belajar teknik untk mengalahkan teknik dari beladiri lain, tetapi ketika teknik lawan berhadap dengan teknik yang sama dengan teknik kita (sama persis), kita jadi panik dan kesulitan. Pengarang berhasil menggambarkan kondisi ini dengan sangat baik dan sangat realistis untuk menunjukkan kalau pesilat bisa kalah oleh teknik mereka sendiri.

Seperti pada contoh jurus "Idal-idul idal inah, ipat-ipit ipat inah", itu adalah permainan anak-anak khas Jawa dimana pelakunya melakukan gerakan lucu pada pinggulnya untuk kemudian diikuti oleh yang kalah. Yang menarik tidak hanya penamaan jurusnya, tapi ini adalah teknik hindaran lembut dan serangan 'yg menimbulkan efek memalukan' pada lawan karena menggunakan goyangan pinggul. Efeknya jelas, lawan merasa terhina dan tersulut emosi. Dengan demikian, gerakan lawan menjadi lebih kacau dari sebelumnya. Diserang, terdorong, dengan goyangan pantat (gidulan) sangat memalukan bagi ksatria atau pesilat. Ini sama kurang lebihnya dengan mendorong dada pada lelaki.

Ada lagi jurus bernama "Gebyah Uyah Pada Asine", atau garam yang sama asinnya. Jurus ini akan membuat musuh terjebak pada pemikirannya sendiri yang nantinya menyamakan gerakan lawan dengan gerakan yang ia pikirkan. Padahal tidak demikian. Uyah/garam itu berbeda keasinannya satu sama lain. 'Rasa asin' yang berbeda inilah yang menjebak lawan. Disini terjadi permainan pikiran. Lawan yang menganggap semua uyah/garam itu asin, akan menyamaratakan apa yang dia 'rasa'. Hasil akhirnya, 'rasa' lawan menjadi tertipu. Cool isn't it? :) Selama ini kita melakukan gerakan untuk 'menipu' gerakan. Tapi jurus ini mengambil filosofi 'menipu' rasa lawan.

Pada Senopati Pamungkas (SP) aspek-aspek wadag diulas dengan gamblang. Pesilat bertarung dengan 'aturan' sebagaimana penari wanita kaputren tidak boleh mengangkat kaki setinggi mata kaki, ksatria tidak boleh mengangkat kaki lebih dari betis, dan sejenisnya. Setiap pesilat tanah jawa, tunduk pada norma tersebut, meski ia bertarung dengan pendekar luar jawa. Pada buku SP tersebut, pertarungan lebih mudah diikuti, karena berada dalam kebiasaan setempat yang sesuai aturan umum. Tapi menariknya, ini tidak terjadi pada Tembang Tanahair, dimana efektivitas gerakan menjadi lebih bermakna. Simbol-simbol dan kiasan yang digunakan di dalam pertarungan menjadi lebih rumit untuk dipahami meski bahasanya semakin umum. Seperti misal kidungan ini:

kecepatan itu mengalahkan jarak
kecepatan itu waktu
pertanda keunggulan

berkedip bisa lama
jika masih bisa dihitung

ada lima kedipan,
yang pertama
hilang dalam kedipan
yang kedua
terlambat dalam kedipan
yang ketiga
isyarat dalam kedipan
yang keempat
mata yang mengedip
yang kelima
menghilangkan dengan kedipan

meringkas waktu
kecepatan kedipan
menghilangkan waktu
itulah kedipan

***

Sada kidungan tersebut seolah pengarangnya ingin menunjukkan (dari sumber ia meriset) bahwa keunggulan pesilat adalah dalam meringkas waktu. Itulah kemenangan. Jarak tidak menjadi masalah, selama kita menguasai waktu. Disimbolkan dengan kedep, kedipan, atau mengedip.

Pada penerapannya (hilang dalam kedipan), artinya hanya karena kita berkedip, betapapun cepatnya, kekuatan akan hilang musnah. Sasaran menjadi tidak kelihatan. Dengan kata lain, pada saat itu, berkedip pun kita tidak boleh. Di dalam pertandingan IPSI atau kejuaraan silat juga demikian. Dengan mengamati pola kedipan musuh, kita bisa 'mencuri' serang. Sekedip saja terlambat, maka fatal akibatnya. Penggambaran ini sangat realistis menurut saya.

Pada kondisi 'terlambat dalam kedipan', hampir sama dengan yang pertama. Kalau kita berkedip, berarti sudah terlambat. Apa yang kita arah sebelumnya menjadi meleset karenanya.

Pada kondisi 'isyarat dalam kedipan', seolah ingin menunjukkan isyarat tertentu. Dalam pengerahan tenaga, kita harus awas apa yang digerakkan lawan. Apa yang dilakukan, apa yang dikerjakan oleh lawan. Karena semua gerakan itu sebenarnya memberikan isyarat apa yang akan dilakukan kemudian.

Pada kondisi 'mata yang berkedip', disitu persoalannya ialah kecepatan bergerak yang sama dengan berkedipnya mata, dimana tenaga yang kita salurkan sudah mengenai sasaran.

Pada kondisi terakhir 'menghilang dalam kedipan', berarti mengerahkan seluruh tenaga dalam yang ada sebagai pengerahan yang terakhir, sebagai pertaruhan yang terakhir.

hehehe, benar-benar seru dan menarik sekali buku ini bukan? :)

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: Taufan on 06/10/2010 11:25
Assalamu 'alaikum,

Mantafff... akhirnya mas Ajigineng sudi kembali turun ke forum ini. Welcome back mas!!!  [top] [[peace2]]
Thanks to mas mpcrb  [top]

Wassalam,
TP
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 06/10/2010 13:24
hehehe memang seharusnya demikian kang Taufan. :) biar kite-kite yang muda ini bisa dapet pencerahan dari sesepuh.

argumen saya simple saja, pada beberapa komik bergambar terkenal seperti Ashura, Chinmi, Kenji (saya ambil 3 contoh saja, karena ini yang paling realistis), pengarangnya melakukan riset terlebih dahulu.

Pada komik bergambar yang berjudul Ashura (edisi aslinya bernama Shura No Mon), dibuat oleh Masatoshi Kawahara yang juga merupakan praktisi beladiri karate. Ketika ia akan merancang komik tersebut, ia melakukan riset pada teknik-teknik lain seperti Karate aliran lain, Kick Boxing, Brazillian JiuJitsu, Gulat, Sanbo, KungFu, dsb. Bahkan pada nomor 31 (edisi terakhir) sempat terhenti beberapa bulan karena ia menderita sakit cukup parah di Brazil karena sedang meneliti Brazillian JiuJitsu dari keluarga Gracie (disebut sebagai Gracielo). Hasil akhirnya, komik bergambar yang 'hidup' dalam menggambarkan teknik. Tidak asal mengarang, didasar pada praktisi yang sesungguhnya, baik karakteristik gerakan maupun makna.

Pada komik Kenji juga demikian. Pengarangnya sangat memahami seluk beluk kungfu China, mengumpulkan data-data dari sana-sini sejak awal waktu hingga abad modern terakhir. Termasuk 'gerakan-gerakan bawah tanah' seperti organisasi rahasia juga disinggung disini.

Komik-komik bergambar tersebut, akan dengan mudah diikuti oleh pembaca karena adanya aspek visual. Akan tetapi ini menjadi berbeda ketika menjumpai Senopati Pamungkas atau Tembang Tanahair. Memvisualkan gerakan dengan kata-kata yang sarat makna, hanya bisa dilakukan apabila sudah mendapat cukup pengetahuan. Tanpa itu semua, mustahil gerakan bisa ditulis dengan rapi, runut, sarat makna. Tanpa perenungan yang mendalam, akan sulit menemukan intinya. Sulit rasanya dipercaya apabila ini bisa dilakukan bukan oleh pesilat yang cukup mumpuni. Jadi argumennya (saat ini) memang mengarah pada Arswendo melakukan riset, mencatat, mendengarkan, melihat, berinteraksi, atau bahkan mencoba sendiri. Sehingga ia mendapat pengalaman-pengalaman. Lalu pengalaman ini ia tuliskan. Kira-kira demikian. Mohon maaf jika ada yang tersudut karenanya :) lha wong awalnya hanya masuk pada cerita silat, tapi kemudian ada yang mengatakan kalau ini berasal dari perguruan mas ajigineng. Punten ya mas, saya tidak bermaksud mengarah kesana. Saya pribadi murni melihat dari aspek cerita silat (hiburan). Itu saja.

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: ajigineng on 06/10/2010 16:15
upasara bisa menemukan kesejatian sebuah ilmu melalui proses=laku yg tdk lazim di lakukan seorang/pendekar pada umunya..dr kecil di sdh di tempa dengan kedisiplinan ala militer...sdh di isi otaknya dengan segal pengetahuan melalui membaca dan wejangan dr gurunya Pandu..... di dasar inilah semua pendekar yg ada di SP dan TTA memiliki kesamaanya yaitu ketekunan dlm mempelajari keilmuanya,keseriusan,kesungguhan...krn kuncinya di laku... itulah kesadranya bahwa ilmu silat bukan ilmu teori tetapi ilmu laku..walupun membaca kitab sehebat apapun tampa laku maka ilmu itu tdk akan nyawiji .... laku ini di orang jawa bisanya di jadikan jawaban dr segala pertanyaan... punya maslah dengan pertanian,klg,kerajaan dll selalu dilakukan dengan "laku" yaitu lakunya bathin dan lakunya raga.... inilah yg menurut saya di SP dan di TTA yg luarbiasa... disini jalas bahwah silat bukanlah klenik,mitos...tetapi sebuah ilmu kasunyatan....
dlm mempelajari setiap jurus,langkah ,napas...upasara tdk pernah terpaku pada hasilnya....tetapi terus belajar terus berlatih sehingga dirinya sendiri tdk pernah merasa sakti,hebat...ini sungguhjarangterjadi di jaman sekarang baru bisa 1,2 jurus sdh membusungkan dada,baru dapat medali emas sdh merasa tak terkalahkan,br bisa menghancurkan sesuatu dengan tanganya serasa kalu mukul orang pasti klenger.....(saya pribadi merasa malu).... inillah bentuk "ideal" dr seorang pendekar....tidak pernah mengutamakan kekutanya tetapi budiperkerti,lembah manah,andap asor...yg penuh dengan filsafat hidup....ini yg jarangterjadi di perguruan2 saat ini melandasi anak didiknya dengan ketinggian budi pekerti,filsafat,angger2 urip, sebagai dasar laku seorang pendekar.....itu yg saya dpt dr SP....
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 06/10/2010 17:44
yang menggelitik pertanyaan sebenarnya apakah pengarangnya melakukan riset terlebih dahulu atau tidak. :) itu kang yang mungkin ingin ditanyakan oleh rekan-rekan (termasuk diri saya sendiri). Jika memang pengarangnya tidak melakukan 'laku' berupa riset, darimana ia masuk pada kesimpulan seperti yang mas ajigineng paparkan. Tentunya kalau paparan itu datang dari mas ajigineng, saya mahfum karena datang dari seorang pesilat. Tetapi apabila rancangan kesimpulan ini datang dari seorang Arswendo, yang (bisa jadi) bukan seorang pesilat, tentu agak mengherankan juga.

Menghasilkan pola pemetaan silat yang demikian dalam, itu bukan pekerjaan seorang seniman syair sekalipun. Apalagi nyata-nyata menggunakan falsafah jawa yang sangat kental. Tanpa interaksi dari sumber aslinya, memetakan falsafah-falsafah jawa, tentu sangatlah sulit.

hehehe, maksudnya kesitu kangmas ajigineng. :)

memang enaknya ya bertanya langsung kepada pengarangnya, atau malah menghadirkan untuk tatap seminar, tetapi apabila ada yang legowo untuk memberikan penjelasan di forum ini bahwa dari perguruan X pengarangnya menimba riset. Tentu ini menjadi lebih menarik. Konsekwensinya ya berarti akan semakin 'ditanya' sama rekan-rekan yang lain. Hehehe...

tapi sekali lagi, ya sudahlah, kita anggap saja sebagai cerita silat hasil buah karya dari Arswendo Atmowiloto. :) Masing-masing bebas menafsirkan sesuai kadar pengetahuannya.

GRP buat kang ajigineng...

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: Suprapto on 06/10/2010 20:41
 Kangmas Ajigineng,
 kasinggihan.

Menjadi lebih memaknai kata bijak Jawi,
" ngelmu iku kelakone kanti laku"
Ngelmu bisa terlaksana dengan melaksanakan laku/latihan. Mungkin perlu dijelaskan, apa ada beda, ngelmu dengan ilmu.

Diperkuat dengan,
" sopo temen bakal tinemu",
Untuk menemukan hasil, harus dilakukan dengan jujur, ikhlas dan sungguh2.

Masalah hitung2an  hasil, bahkan dalam agamapun orang bisa salah presepsi. Kalau sudah melaksanakan suatu prosedur syariat tertentu, terus menganggap PASTI akan mendapat pahala tertentu, karena itu janji Allah. Bisa menjadikan pongah karena merasa sudah melebihi orang lain.
Padahal belum tentu orang tersebut memang sudah benar memenuhi persyaratan untuk mendapat pahala. Kepada siapa hidayah akan diberikan, itu hak Sang Pencipta. Kita hanya boleh melakukan "laku"nya  dan berharap2 cemas akan hasilnya.

Ternyata pada falsafah taichi ada kemiripan. (saya baca di supplemen koran di Yogya, seminggu sekali untuk komunitas Tionghwa). Yang intinya,
 
"lakukan terus, tak perlu nunggu2 hasilnya, itu akan datang sendiri"

Seperti biasa, agar lebih afdol, diberi contoh menyangkut peruntungan. Alkisah sebuah keluarga pedagang beras. Memiliki warung beras kecil didepan pasar. Menggelar beberapa kotak kayu berisi beras sesuai jenisnya, dengan beberapa karung beras persediaan.
Keluarga ini dikenal tekun, jujur, berhati hati dalam kualitas dan timbangan. Mensyukuri hasil  yg didapat sedikit demi sedikit. Tidak pernah terpeleset utang, karena salah memperhitungkan hasil yang akan dicapai.
 Tanpa ada perubahan yg signifikan pada tampilan warung, orang2 baru sadar kalau merk berasnya mendominasi supermarket, dan warung tersebut ternyata mendominasi supply beras ke Dolog.

Dalam terbitan edisi seminggu berikutnya, ada pertanyaan, bahwa pada jaman sekarang, masalah dagang, bisa dirancang, disetting suatu plan bisnis, dengan perhitungan modal, pemasaran ofensip, taktik dagang yang lihay dst, prestasi itu bisa diperoleh dengan cepat.  Pertanyaannya,  apakah bisa berlaku pada latihan taichi.

Sayangnya hanya dijawab oleh penulis artikel, bahwa biarpun bisa "sundul langit", kalau fondasinya tidak kuat, bisa jatuh "kanteb".

Hehehe, rupanya memang perlu bridging, antara falsafah kawicaksanan, dengan pemikiran "modern" saat ini.

Kemudian mengenai fungsi pikir/nalar dalam berlatih badan dan rasa, memang nalar berfungsi sebagai pengarah, ngarah-arah.
Apabila kita mikir/meniatkan sesuatu, maka seluruh tubuh seisinya akan menyesuaikan diri. Kalau niatnya jelek, ya tubuh akan bereaksi, dan orang lain akan mendeteksi hawa jelek.
Meski terkadang tubuh seperti mengalami "trance" dalam gerak, nalar harus tetap menjadi komando tertinggi.
"Oleh ngeli nanging ojo keli",
( boleh ikut arus tenaga tapi jangan hanyut).
Karena kalau mengikuti gerak dgn trance tanpa nalar, sama dengan "kesurupan". Hehehe...
Maturnuwun.

Salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: Antara on 07/10/2010 07:24
Hihihihi... ini yang bikin saya betah sama yang tradisional, dekat sama pemikiran dan cara pandang bangsa sendiri. Biarpun tetep nggak ngerti dan nggak bakal bisa sakti, yang penting punya akar tempat berdiri...

Silakan dilanjut... saya duduk di pojokan sambil megangi kamus Bahasa Jawa, Bahasa Kawi, dan Bahasa Japhe Methe...  8) * soalnya google translator-nya belon ada *
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 07/10/2010 08:57
ada satu pertanyaan yang terkadang menggelitik. Beberapa dari rekan, senior, dan sesepuh, mengatakan kalau belajar silat adalah faktor jodoh. Ini saya yakin sepenuhnya. Tetapi ketika kita melihat ada silat yang tadinya ada di Indonesia, kemudian hilang, dan kemudian 'berpindah' ke luar negeri, apakah berarti silat tersebut tidak berjodoh dengan kita, dengan kurang lebih 250 juta-an rakyat Indonesia? Atau memang jodohnya ditakdirkan dengan orang bule sono?

mohon pencerahan para sesepuh...

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: ajigineng on 07/10/2010 09:07
top pendekar MP ..pengetahuanya sungguh luar biasa nih... monggo dilanjut @mas Antra..jangan salah ada suatu cerita...@ada seorang murid dlm sebuah perguruan dia paling bodo.susah nagkep apa lg kalu harus bergerak.... sang guru dengan bijak tampa membuat dia minder memberikan sebuah motifasi... "daharen opo kang dadi pangandikanku iki dadekno kulit daging manjing sak wiji ono ing bada mu...!!!".....sang guru akhirnya membebaskan dia dr latiah sbgm murid lainya si murid tadi mendapat latiah hanya mengamati,mendengar saja apa yg di ucapkan guru dan apa yg dilakukan para murid..... suatu sang guru bilang pada si murid coba kamu gerkan jurus ini..guru,,saya tdk bisa dibentak si murid ini polahooo...!!! krn takut simurid bergerak seketika dng cepat ternyata dia bisa mengerakan apa yg jadi perintah sang guru, dan dia pun bisa mematahkan sebuah beda yg menurut dia itu tdk mungkin bisa patah......si murid bertanya pada sang guru kenapa saya bisa...sang guru bilang karena kamulatihan....heheheheh
ternyat simurid tetp tdkmenyadari juga....bahwa dirinya sdh dilatih dengancra yg berbeda dan dia menjadi mumpuni.........
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 07/10/2010 09:30
@mas ajigineng, kalau melihat cerita ini, ada di dalam Tembang Tanahair buku ke-2 (karena memang topiknya mengenai buku-buku tersebut).

Dikisahkan seorang pemuda ndeso, bebal, ngga ngerti apa-apa, ngga ngerti tata krama, ilmu surat, ataupun ilmu silat. Pemuda ini bernama Racek, berbada tinggi besar (berkebalikan dengan arti namanya 'racek' yang artinya cacing kecil). Suatu hari Racek terjatuh pada suatu gua. Dan disana pernah berdiam seorang tokoh sakti bernama Dewa Maut. Yang karena saking saktinya dan tidak bertemu lawan, maka ia seenaknya saja menuliskan keilmuannya pada dinding gua. Dewa Maut mencorat-coret sekenanya pada dinding gua. Dengan ketidakmengertian Racek, dan ia tidak menganggap itu ilmu silat, dianggapnya hanya sebagai 'teman' di tengah kesendiriannya. Maka ia mulai melihat-lihat gambar, mengikuti tulisannya, dan menirukannya tanpa ada pertanyaan. Alamiah, mengalir begitu saja, tanpa motif, tanpa ambisi.

Coretan-coretan pada dinding gua hanyalah teori mengenai ilmu tenaga dalam, dan bukan ilmu gerakan jurus. Singkat cerita dia sudah belajar dan kemudian berhasil keluar dari gua. Di tengah perjalanan dia berteman dengan seorang Adipati bernama Kedhe yang kemudian keduanya mengalami pertarungan dengan pasukan dan orang jahat. Pada kondisi tersebut, ia bisa melompat, bisa menendang, bisa memukul, mencakar, menyibak, menebas, menyikut, membopong, dsb. Sesuatu yang tidak pernah dialaminya sebelumnya. Ditanya oleh lawan (bernama Guru Kreta) : "Siapa kamu! Dari perguruan mana kamu?"

Jawab Racek, "saya tidak punya perguruan"

Guru Kreta: "Tidak mungkin. Gerakan sepert itu dan pengerahan seperti itu hanya bisa dipelajari dari seorang guru sakti. Katakan! Dari mana asal perguruanmu?!!"

Jawab Racek, "aku belajar di gua"

Adipati Kedhe menimpali, "Guru Kreta, Racek memang mengatakan yang sesungguhnya. Dia tidak berasal dari suatu perguruan apapun"

Guru Kreta, "cara pengerahan tenaga dalamnya sangat terstruktur meski gerakannya kaku. Setidaknya dia pasti pernah belajar pada suatu perguruan mengenai olah tenaga dalam".

Racek memandang Adipati Kedhe dan berkata, "aku tidak mengerti jurus"

Adipati Kedhe, "tidak apa-apa. Bukankah tanpa belajar jurus kamu sudah bisa menendang? Bukankah tanpa belajar jurus kamu sudah bisa memukul? Bukankah tadi kamu membopong tubuhku tidak perlu diajari?"

Guru Kreta, "apa mau kamu aku ajari?"

Racek, "Tidak. Mulutmu busuk"

Guru Kreta, "mulutku memang busuk. Yang berhak hidup bukan hanya yang bermulut baik, yang bermulut busuk juga berhak hidup. Busuk atau tidaknya tidak ada bedanya."

Racek, "aku tetap tidak mau"

dst dst...

Alkisah kemudian Racek dan Adipati Kedhe kembali ke gua. Dan mereka berdua mulai mempelajari kembali coretan-coretan pada dinding gua. Dibantu oleh Adipati Kedhe yang mengerti ilmu surat, maka proses pembelajaran menjadi lebih baik. Meski demikian, Racek (yang dengan kepolosannya) tetap tidak mengerti. Pun seandainya dicontohkan berkali-kali dengan gerakan oleh Adipati Kedhe. Ia hanya menonton, menyaksikan, mengamati, tidak mau menirukan. Tapi ketika mengalami pertarungan, ia bisa menirukannya. Racek belajar dengan caranya sendiri yang cocok dengan dirinya.


salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: ajigineng on 07/10/2010 13:10
@mpcrb.... mas kayaknya hafal dilur kepala nih SP dan TTA..... hahhaha
akumalah pusiing ngeliat dan baca dua buku itu....karena kalu saya saat ini sdh masuk dlm daftar pendekar "keyboard".....
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 07/10/2010 13:50
hehehe, bisa aja nih kangmas ajigineng. :)

saya hanya penikmat seni pencinta silat kangmas. Selebihnya ya itu tadi 'pendekar keyboard' sejati... :)

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 07/10/2010 14:02
Berikut ini cerita yang sama menariknya, yakni ketika Upasara Wulung bertemu dengan pencipta keilmuan yang selama ini dia pelajari dari Kitab Bumi. Dengan kata lain, Upasara Wulung bertemu dengan pencipta kitab bumi. Bab ini juga sangat sarat makna. Silahkan dinikmati.... ;)

***

 Bejujag, Tokoh Paling Kurang Ajar

 UPASARA berkeringat dingin.

 Dalam detik-detik terakhir, tubuhnya meringkuk dengan kedua tangan berusaha melindungi. Kesiuran angin sangat tajam merobek. Gerakan Upasara adalah gerakan seadanya, sebisanya seperti perlindungan diri terakhir.

 Bahkan kedua matanya tertutup.

 Terdengar suara keras, dan pohon mangga di sebelahnya roboh, terpotong melintang dari satu sisi kanan ke kiri bawah!

 Pohon mangga saja terbelah terkena kesiuran angin tongkat penggiring bebek Bintulu!

 "Ilmu iblis apa yang kamu mainkan, Wulung?"

 Dalam nada geram, terdengar juga kesan kagum.

 Upasara sendiri tak bisa menjawab segera. Tak bisa menerangkan dengan jelas. Bahwa dari tubuhnya masih bisa keluar tenaga murni Bantala Parwa. Tenaga dalam yang sudah dimusnahkan itu ternyata masih tersimpan, dan secara tiba-tiba muncrat keluar, berhasil menangkis kesiuran angin maut Bintulu.

 Bahwa inti tenaga murni Penolak Bumi adalah bersifat tenaga tumbal, tenaga yang muncul untuk mementahkan dan mengenyahkan serangan yang mengancam, Upasara sadar. Akan tetapi ternyata tenaga itu sekarang ini tak sepenuhnya bisa dikuasai. Tenaga murni itu mengalir dengan sendirinya!

 Karena sebelum keluar, Upasara telah sungsang-sumbel dan hampir saja binasa. Toh tak bisa keluar.

 Upasara bercekat.

 Tubuhnya basah oleh keringat.

 Sesaat tadi, ia merasa kematian telah datang menjemput secara paksa. Untuk pertama kalinya, Upasara merasa enggan menerima kematian. Saat ini berbeda dari saat ia membuang tenaga dalamnya, berbeda dari ketika Nyai Demang mengamuk. Upasara merasa masih ada ganjalan untuk meninggal.

 Masih ingin membalas dendam kematian Pak Toikromo!

 Ataukah perasaan ini yang membuat tenaga murni muncul tak terduga? Rasanya tak mungkin juga. Karena kini, ketika Upasara mencoba mengerahkan kembali, malah dadanya yang terasa sakit.

 Kalau tenaga murni macet, kematiannya hanyalah soal waktu. Maka Upasara menjadi bercekat, tubuhnya berkeringat, seolah sedang menghadapi malaikat maut.

 "Ilmu bisa menjadi iblis bisa menjadi dewa, tak perlu ditanyakan."

 "Siapa gurumu?"

 "Sudah saya katakan, saya adalah murid Ngabehi Pandu yang terhormat, senopati Keraton Singasari. Teman baik yang terhormat Mpu Raganata, sahabat erat Eyang Sepuh."

 Upasara sengaja menyebut nama tokoh-tokoh besar, agar Bintulu tak menjadi ganas karenanya. Karena dengan mendengar nama-nama besar itu, bisa mengingatkan akan sesuatu. Perhitungan Upasara, sekali lagi, berdasarkan dugaan bahwa Bintulu adalah tokoh sakti angkatan tua yang kembali.

 Dugaan itu benar, akan tetapi Bintulu tetap menggelengkan kepala.

 "Mana aku kenal nama cecunguk-cecunguk itu?

 "Tapi aku bisa memaksamu mengatakan siapa sebenarnya."

 Bintulu menggenggam tongkat kurusnya.

 "Begitu sombong Paman Bintulu menyebut dengan kata kotor pada pendiri Nirada Manggala!"

 Kali ini upaya Upasara menemukan hasilnya. Kalau nama Eyang Sepuh, Mpu Raganata maupun Ngabehi Pandu tak dikenali, nama Perguruan Awan ternyata membuat Bintulu menahan napas sejenak.

 "Apa hubunganmu dengan si Bejujag itu?"

 Upasara tak tahu siapa yang dimaksudkan dengan si Bejujag, yang bisa diartikan sebagai seorang yang kurang ajar. Jangan-jangan salah satu nama yang bisa dihubungkan dengan pendiri Perguruan Awan. Dan itu bisa berarti...

 "Kalau memang kamu murid si Bejujag dan sengaja mau mengintip ilmu Tongkat Penggiring Bebek, inilah kesempatan terbaik. Aku akan membunuhmu dalam satu gerakan."

 Ternyata tetap saja niat Bintulu untuk membunuh!

 "Tak perlu main sembunyi."

 Belum Upasara mengerti sepenuhnya, sesosok bayangan telah muncul sambil mengertakkan gigi dan mengayunkan tongkatnya secara keras.

 "Kakang Galih!"

 Teriakan Upasara lebih mencerminkan nada kuatir dibandingkan kegembiraan.

 Karena Upasara menyadari bahwa Galih Kaliki yang suka menyerang secara sembrono bisa menghadapi bahaya melawan Bintulu yang mampu memainkan tongkat kurusnya.

 Gebukan tongkat galih asam ke arah caping Bintulu tak dihiraukan. Hanya tongkat penggiring bebek disebatkan untuk menangkis.

 Tongkat kurus bagai bambu yang sedang tumbuh menghadapi tongkat perkasa dari hati pohon asam.

 Luar biasa!

 Upasara seakan tak percaya pada matanya.

 Bahkan Galih Kaliki melongo.

 Tongkat galih asam terpotong di bagian ujungnya. Terpotong dengan goresan miring!

 Inilah yang tak dinyana tak disangka.

 Tongkat galih asam sudah lama malang melintang di dunia persilatan. Puluhan atau ratusan kali diadu dengan segala senjata tajam pilihan. Akan tetapi selama ini tak pernah mengalami lecet sekali pun. Maka sungguh tak terbayangkan, hanya dengan sekali sabetan, tongkat perkasa itu somplak!

 Tenaga ajaib macam apa yang dimiliki dalam diri Bintulu dengan tongkat penggiring bebek, yang kelihatannya terayun-ayun terguncang angin?

 "Kakang Galih... tahan"

 Jeritan Upasara terlambat. Galih Kaliki telah mengeprukkan tongkat ke arah caping Bintulu untuk kedua kalinya. Kali ini dengan tenaga penuh.

 Bintulu menggenggam tongkat penggiring bebek dengan dua tangan dan tubuhnya berputar keras. Cepat sekali. Upasara sampai mundur terdesak oleh angin.

 Tongkat galih asam membentur tongkat penggiring bebek untuk kedua kalinya. Upasara menahan getaran dalam tubuhnya.

 Tongkat galih asam somplak, terlempar ke udara dan jatuh di dekat tubuh Galih Kaliki yang juga ambruk. Pada sebelah kanan dadanya terlihat goresan yang dalam hingga ke pangkal paha sebelah kiri. Luka menganga dan seakan terlihat tulang-tulang tubuh Galih Kaliki yang dilewati sabetan tongkat kurus itu terputus.

 Ajal Galih Kaliki telah sampai sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Sebelum sempat bertegur sapa dengan Upasara!

 Alis mata Upasara bersatu. Seluruh darahnya seakan mengalir ke wajah. Darah dendam kesumat membahana. Tangannya gemetar meraih tongkat galih asam yang telah somplak.

 "Hmmm, jadi si Bejujag itu menyembunyikan kangkam dalam galih?" Baru sekarang Upasara sadar bahwa tongkat yang selama ini dipergunakan oleh Galih Kaliki adalah sarung pedang! Pedang hitam yang tipis. Kangkam Galih yang agaknya dikenali oleh Bintulu!

 Seumur hidupnya Galih Kaliki tak pernah mengetahui hal ini. Bahkan tak akan percaya andai diberitahu bahwa tongkat andalannya ini sebenarnya hanyalah sarung pedang! Warangka.

 Upasara tak banyak berpikir. Kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih dengan pandangan bulat.

 "Apa pun yang kamu katakan, aku siap menuntut balas kematian orangtua dan kakangku."

 "Edan. Hari ini aku membunuh dengan perasaan senang."

 Bintulu bergerak. Upasara tak melihat gerakan, hanya merasakan angin tajam menerjang keras ke arahnya. Dengan sepenuh tenaga, Upasara mengangkat tongkat Kangkam Galih—pedang yang tersimpan dalam galih— untuk menangkis dan menerjang.


 Akan tetapi karena tenaganya kurang tersalur sempurna, di samping pedang tipis hitam itu sangat berat, Upasara menjadi sempoyongan. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya justru terbanting sebelum langkah ketiga!

 Bintulu mengeluarkan teriakan dingin sambil meloncat tinggi!

 Agaknya tak menduga bahwa Upasara melakukan gerakan yang tak sepenuhnya dikuasai dan disadarinya. Nyatanya memang begitu.


 Sewaktu menangkis tadi, Upasara menggerakkan pedang dengan serangan yang masih bisa dihafal dan diketahui. Hanya karena tenaga dalamnya tak terkuasai, tenaga membawa pedang hitam itu membuatnya terhuyung jatuh. Akan tetapi di luar dugaannya, justru sewaktu tubuhnya akan menyentuh tanah ada tenaga menolak yang membuat Upasara tegak.

 Begitu tegak, Upasara berniat menyerang kembali. Akan tetapi kejadian berulang. Tubuhnya terseret oleh tenaga Kangkam Galih. Sehingga makin limbung.

 Agaknya justru ini yang membuat Bintulu kaget dan meloncat tinggi.

 Kalau tadi bisa membunuh Galih Kaliki tanpa mengubah posisi kaki dari tempatnya berdiri, sekarang perlu menghindar!

 Dodot, Kain Panjang untuk Hamba Sahaya

 MENGETAHUI ada tenaga yang memberontak dari tubuhnya, Upasara tak mau menahannya. Ia memusatkan pikirannya, dan membiarkan tenaganya tersalur ke arah Kangkam Galih.

 Dalam sekejap, Upasara telah memainkan jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika secara lengkap dan sempurna. Angin berkesiuran memancar dari tubuhnya, mengepung Bintulu yang berloncatan. Karena agaknya Bintulu tak ingin tongkat penggiring bebek bersentuhan dengan Kangkam Galih. Ini yang membuat dalam sekejap Upasara bisa mendesak mundur.

 Bintulu meloncat mundur sekali lagi, akan tetapi kali ini Upasara menyabet dengan ganas.

 Caping Bintulu terayun ke atas!

 Barulah Upasara bisa melihat Bintulu.

 Dan cemas dengan sendirinya.

 Yang berada di depannya ternyata lelaki yang sudah tua, dengan rambut putih beberapa helai. Selebihnya adalah wajah yang tanpa bentuk sama sekali! Hanya ada semacam lubang untuk hidung—ataukah mulut?— selebihnya gumpalan daging. Bahkan Upasara tak bisa menemukan mana bagian matanya.

 Begitu banyak peristiwa ditemui Upasara, akan tetapi sekali ini tak terjangkau oleh akal sehatnya.

 Bintulu, jelas tokoh sakti mandraguna dari suatu masa yang telah lewat. Dilihat dari usianya, bukan tidak mungkin lebih tua dari Mpu Raganata. Kemampuan dan ilmu silatnya sungguh tiada tara. Galih Kaliki saja bisa disabet dalam dua gerakan!

 Hati kecil Upasara terusik rasa iba.

 Bintulu pastilah mengalami sesuatu yang sangat kejam di masa lalu. Sehingga wajahnya hancur lumat. Tak tersisa mata atau mulut! Neraka iblis macam apa yang telah terjadi?

 Kalau dilihat dari sisi ini, Bintulu perlu dikasihani. Akan tetapi Bintulu pula yang telah menewaskan orangtuanya, Pak Toikromo! Dan juga Galih Kaliki!

 Dan Upasara telah bersumpah untuk membalas dendam.

 "Edan!

 "Sungguh edan. Apakah si Bejujag itu mampu menyimpan dan mengembalikan nyawa manusia? Apakah ia telah menjadi Maha wiku seperti yang diinginkan?

 "Edan.

 "Wulung, apakah yang kamu mainkan barusan ilmu Menyimpan Nyawa si Bejujag?"

 Biar bagaimanapun, Upasara masih mempunyai jiwa ksatria. Hatinya tergetar melihat penderitaan Bintulu. Maka dengan hormat, Upasara melakukan sembah. Setelah mengembalikan caping untuk menutupi wajah Bintulu, barulah Upasara mundur dan menjawab.

 "Paman Sepuh Bintulu, yang baru saja saya mainkan adalah jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika, atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Yang kalau diteruskan dengan Delapan Jurus Penolak Bumi, dikenal sebagai ajaran Kitab Bumi.

 "Apakah Paman Sepuh mengenali?"

 "Edan.

 "Bagaimana mungkin kamu tanyakan aku mengenali atau tidak, kalau aku yang menciptakan?"

 Ganti Upasara yang menjublak. Berbagai perasaan datang-pergi silih berganti.

 "Aku tidak tanya nama jurus mainan anak-anak. Yang kutanyakan apakah si Bejujag itu telah mampu melatih tenaga dalam Menyimpan Nyawa!"

 "Maaf, Paman Sepuh, yang saya latih adalah pernapasan seperti yang diajarkan dalam Bantala Parwa."

"Ngawur!

 "Aku tidak menciptakan cara berlatih napas semacam itu. Itu pasti akal-akalan si Bejujag yang suka main gila.


 "Wulung, kamu ini manusia macam apa sehingga begitu beruntung dalam hidupmu?"


 Kembali Upasara terguncang.


 Apa maksud omongan Bintulu yang seperti berusaha menjelaskan sesuatu ini?


 "Kamu beruntung mempelajari cara pernapasan Menyimpan Nyawa. Itulah latihan pernapasan yang dikembangkan oleh si Bejujag, padahal ilmu yang murni, akulah yang menemukan. Akulah yang menciptakan apa yang kamu sebut sebagai Bantala Parwa atau Kitab Bumi.


 "Tapi Bejujag itu memang nasibnya selalu lebih baik. Kami bertiga sama-sama manusia berkain dodot, kain panjang dan lebar, sebagai tanda hamba sahaya. Tanda pengenal kaum paminggir, kaum yang tak diperhitungkan secara resmi. Kaum pinggiran, kaum dodot.


 "Edan.


 "Bejujag percaya bahwa cara berlatih napas Menyimpan Nyawa adalah cara berlatih yang sempurna. Karena tenaga murni latihan ini adalah tenaga yang tak akan pernah bisa hilang. Tenaga yang kekal abadi.


 "Aku tak percaya di jagat raya ini ada cara berlatih pernapasan seperti itu. Tapi baru saja kurasakan bahwa Bejujag kampungan itu berhasil."

 Terdengar helaan napas berat.

***
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 07/10/2010 14:23
2 bab berikut ini adalah penggambaran bagaimana Upasara Wulung mendapatkan kembali tenaga dalamnya. Disini juga sarat dengan filosofi pada dunia persilatan. Silahkan dinikmat...

***

 Upasara seperti tersadar. Bahwa Paman Sepuh Bintulu mengatakan apa adanya tentang cara pernapasan yang disebut Menyimpan Nyawa. Semacam latihan pernapasan, di mana setiap kali dilakukan dua kali dari biasanya.

 Dalam Bantala Parwa yang dipelajari, hal inilah justru yang membuatnya bingung dan putus asa. Karena seolah latihan pernapasan mengulang, dan selalu dimulai dengan penolakan! Ternyata justru inilah intisarinya!

 Tenaga murni Upasara telah dikeluarkan hingga habis tuntas. Akan tetapi, sebenarnya dalam dirinya masih tersimpan penuh tenaga murni itu. Hanya saja, tenaga murni semacam ini tak bisa dipergunakan secara langsung. Harus diubah lebih dulu. Diubah menjadi tenaga murni yang bukan cadangan. Tenaga murni yang bukan simpanan.

 Itu pula sebabnya, seakan tenaga murni itu hanya bisa keluar pada saat maut nyaris merenggut! Karena pada saat seperti itu, secara tidak sadar tenaga dalam Menyimpan Nyawa bisa keluar. Dan mengetahui bahwa tenaga murni itu harus diubah lebih dulu, membuat Upasara sadar sepenuhnya.

 Bahkan kini tenaga dalamnya yang dulu bisa dihadirkan kembali!

 Tenaga murni yang tersimpan itu diubah menjadi tenaga murni yang bisa digunakan sewaktu-waktu. Dengan demikian tenaga murni yang sebenarnya tetap terjaga utuh. Ini yang disebut Paman Sepuh Bintulu sebagai cara melatih pernapasan Menyimpan Nyawa.

 Satu kata kunci saja, membuat Upasara bisa menemukan kembali tenaga dalamnya.

 Dan yang memberitahu, justru musuh besarnya. "Terima kasih atas penjelasan Paman Sepuh."

 "Edan


 "Selama ini aku mempelajari, menciptakan, ternyata sia-sia belaka. Bejujag itu masih bisa mengatasi."

 Upasara menyembah dengan hormat dan tulus.

 "Maafkan saya, Paman Sepuh, siapakah tokoh sakti yang selalu Paman Sepuh sebut sebagai Manusia Kurang Ajar?"

 "Siapa lagi kalau bukan Bejujag yang paling kurang ajar?"

 "Apakah... apakah... yang Paman Sepuh maksudkan Eyang Sepuh yang mendirikan Perguruan Awan?"

 Caping Bintulu bergoyang-goyang.

 "Bejujag itu menyukai nama kosong. Untuk apa kalian begitu menghormatinya dengan memakai sebutan Eyang Sepuh dengan nada begitu hormat? Ia tak lebih dari si Kurang Ajar yang tak tahu malu, mengakali ilmuku."

 Kali ini Upasara yang menghela napas berat.

 Seluruh tokoh di tanah Jawa begitu menghormati nama agung Eyang Sepuh—mulai dari penduduk biasa, para ksatria, pendeta, sampai dengan Raja—akan tetapi kini dengan enteng saja disebut Bejujag yang mencuri ilmu!

 "Paman Sepuh, tadi Paman Sepuh menyebut bertiga. Siapa tokoh yang bertiga?"

 "Edan.

 "Wulung, kenapa kamu memaksa aku mengingat nama manusia yang tak berbakat itu? Manusia yang lebih mementingkan duniawi daripada yang rohani. Manusia yang lebih mementingkan raga dibandingkan nyawa? Manusia yang lebih mementingkan nata atau kebangsawanan daripada dodot sebagai asal-usulnya sendiri?"

 Bagi Upasara, kini segalanya lebih jelas.

 Pada masa yang telah lama, ada tiga kaum dodot yang menjadi ksatria. Mereka bertiga ini kelak kemudian hari terkenal dengan nama yang harum. Yang paling kurang ajar, kemudian menjadi Eyang Sepuh, tokoh yang paling dihormati. Yang dianggap mementingkan keragaan, menjadi Mpu Raganata. Yang ketiga, atau yang pertama, adalah yang tak pernah dikenal selama ini. Yang sekarang dipanggil Upasara sebagai Paman Sepuh Bintulu.

 Ada benarnya, kalau diingat bahwa Eyang Sepuh yang kemudian mendirikan Perguruan Awan, dan Mpu Raganata yang mengabdi kepada Baginda Raja Sri Kertanegara.

 Agaknya Paman Sepuh Bintulu yang terus-menerus mempelajari dan menciptakan ilmu.

 Kalau benar begitu, kenapa sekarang muncul dari pertapaannya? Apa yang mampu menggerakkan?
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 07/10/2010 14:27
(lanjutan)

 Janji di Tepi Kali Brantas

 Upasara gegetun sekali.

 Menyesal karena kini berhadapan dengan Paman Sepuh Bintulu, yang dalam sesaat membuatnya berada dalam posisi yang berlawanan. Sebagai tokoh tua yang dihormati, yang ternyata adalah tokoh seangkatan dengan Eyang Sepuh. Akan tetapi juga seorang tokoh ganas yang telah menewaskan Pak Toikromo serta Galih Kaliki.

 Upasara gegetun karena mau tidak mau ia akan berhadapan dengan Paman Sepuh.

 Namun agaknya Paman Sepuh seperti tak memedulikan itu semua.

 "Wulung, aku ingin menjajal ilmu Menyimpan Nyawa."

 "Maaf, Paman Sepuh."

 "Cuma aku sudah berjanji kepada si Bejujag dan kepada orang Keraton yang sebenarnya lebih pantas memakai dodot. Kami bertiga berjanji akan bertemu di tepi Kali Brantas sambil menunggu datangnya tetamu yang akan meramaikan pertemuan.

 "Edan.

 "Kalau murid Bejujag seperti kamu, apa murid-muridku bisa menghadapimu?"

 Upasara berpikir cepat.

 "Paman Sepuh juga mempunyai murid-murid?"

 "Bukan murid," suara Paman Sepuh menyesak. "Mereka orang edan tujuh turunan yang akan kusabet wajahnya!"

 "Maaf, bolehkah saya lancang bertanya, siapa murid dan sebutan Paman Sepuh?"

 Caping Paman Sepuh Bintulu bergoyang kembali.

 "Tadi kamu sudah memanggil Bintulu. Itu juga namaku. Kamu panggil Paman Sepuh, itu juga namaku.

 "Kenapa kamu meributkan nama?

 "Murid, aku tak tahu namanya. Aku cuma ingat kumisnya licik."

 "Apakah yang mempunyai gelar Ugrawe?"

 "Edan.

 "Bisa jadi."

 Sangat pantas sekali. Ugrawe sakti mandraguna dengan ilmu dan jurus-jurus Banjir Bandang Segara Asat, atau Banjir Bah Laut Kering. Ilmu yang menyedot tenaga dalam lawan. Selama ini asal-usul Ugrawe sangat gelap. Ternyata ia murid Paman Sepuh.

 Akan tetapi kalau disebutkan murid-murid, berarti ada yang lain.

 "Siapa murid Paman Sepuh yang lain?"

 "Edan.

 "Mana pernah aku mengingat nama?"

 Upasara menggigit bibirnya.

 Lalu dengan satu tarikan napas berat, Upasara berusaha menerangkan. Bahwa Eyang Sepuh kini telah tidak ketahuan kabar beritanya sejak menghilangkan diri. Bahwa Mpu Raganata telah gugur sewaktu pasukan Gelang-Gelang yang dipimpin Ugrawe dan Raja Muda Jayakatwang menyerbu Keraton Singasari. Dan Ugrawe sendiri telah gugur.

 "Tak mungkin.

 "Bejujag itu pasti akan muncul. Raga itu sudah jadi bangsawan, tapi masih akan datang. Kami sudah saling berjanji. Lagi pula akan datang ksatria lain. Mana mungkin mereka ingkar atau mati lebih dulu?

 "Wulung, kamu pikir kami belajar dan melatih diri untuk apa kalau tidak untuk pamer?"

 Berkelebat gambaran masa lampau tentang tiga pemuda, tiga ksatria yang sangat gandrung ilmu kanuragan. Masing-masing kemudian menciptakan ilmu yang menjadi tonggak seluruh ilmu silat yang ada.

 Paman Sepuh Bintulu .menciptakan apa yang kemudian dikenal sebagai Bantala Parwa. Sementara Eyang Sepuh lewat Perguruan Awan mengembangkan sebuah perguruan yang tetap memperlihatkan ciri-ciri kaum dodot, kaum hamba sahaya yang hidup larut bersama alam. Tonggak yang ditancapkan Eyang Sepuh adalah cara melatih pernapasan yang disebut oleh Paman Sepuh sebagai Menyimpan Nyawa. Ada banyak persamaan antara ilmu Bantala Parwa dan ilmu Menyimpan Nyawa.

 Sementara itu, Mpu Raganata lain lagi. Jalan hidupnya menjadi pengabdi raja, dan tetap mempunyai jarak dengan kekuasaan Keraton. Tonggak ciptaannya dalam ilmu kanuragan ialah ilmu Weruh Sadurunging Winarah.

 Dibandingkan dengan ilmu Bantala Parwa, memang dasar-dasar ilmu Weruh Sadurunging Winarah mempunyai perbedaan. Barangkali karena memang perjalanan nasib tokoh-tokoh yang menciptakan berlainan.

 Mestinya pada suatu hari mereka saling berjanji akan bertemu di tepi Kali Brantas. Untuk saling menguji. Dan di samping itu juga akan diundang datang para ksatria dari negeri seberang.

 Kalau Mpu Raganata secara jelas terlihat kehadirannya, dan Eyang Sepuh terasakan kehadirannya lewat Perguruan Awan, Paman Sepuh Bintulu mengasingkan diri dan terus melatih ilmu secara murni.

 Dan tak cukup tahu apa yang telah terjadi.

 Kalau dipikir-pikir, ketiga ksatria ini sangat aneh. Ilmu mereka begitu tinggi, pencarian mereka begitu mendalam, akan tetapi perjalanan hidup mereka sangat berbeda satu dari yang lain. Toh begitu akan saling bertemu.

 Upasara yakin, jika Eyang Sepuh masih ada, entah di mana, pasti akan muncul lagi!

 Apa pun keadaan dan tingkat keresiannya sekarang ini, Eyang Sepuh tak akan ingkar janji kepada sahabatnya di masa lalu.

 Upasara bisa mengerti kalau Paman Sepuh Bintulu menjadi orang yang mempunyai perangai aneh. Wajahnya yang hancur menjadi satu petunjuk hidupnya yang sengsara. Ditambah sekian puluh tahun tak pernah bergaul—dan mungkin sekali malah dikhianati oleh muridnya yang bernama Ugrawe—Paman Sepuh Bintulu menjadi tak begitu pedulian. Apa atau kenapa main bunuh saja.

 Kebetulan dua di antara korbannya adalah Pak Toikromo dan Galih Kaliki!

 Hal ini yang tak bisa dibiarkan oleh Upasara.

 Upasara tak meragukan sedikit pun bahwa Bantala Parwa adalah ciptaan Paman Sepuh Bintulu. Sekurangnya beliaulah yang menyusun dan menuliskan dalam klika. Dan kitab itu yang dicuri begitu saja oleh Ugrawe! Karena dunia luar mengetahui Kitab Bumi itu dari Ugrawe.

 Upasara sendiri mengenal Kitab Bumi dari Kawung Sen, yang mencuri dari Ugrawe. Sangat mungkin sekali Kitab Bumi ciptaan Paman Sepuh Bintulu mirip dengan yang dikembangkan Eyang Sepuh yang kemudian dikenal dengan jurus-jurus Tepukan Satu Tangan. Dengan perbedaan pokok pada cara pengaturan napas yang disebut Menyimpan Nyawa.

 Upasara juga gegetun karena sebab lain.

 Ilmu membuka tempat Menyimpan Nyawa diketahui justru setelah korban berjatuhan. Bukan sebelumnya!

 Inilah yang membuat gegetun. Nyawa Pak Toikromo tak bisa kembali lagi. Galih Kaliki tak mungkin hidup kembali.

 Upasara tenggelam dalam renungannya

 Siapa yang mengatur ini semua? Siapa yang meletakkan pada situasi yang menyayat ini?

 Apa sebenarnya yang dikehendaki Dewa Segala Dewa dengan jalan hidupnya sekarang ini?

 Ini masih harus ditambah dengan sejumlah pertanyaan lain. Siapa murid Paman Sepuh Bintulu yang setara dengan Ugrawe, yang selama ini tak dikenali? Apakah ia sama jahatnya dan malang melintang di dunia persilatan, ataukah masih menyembunyikan diri? Apa yang akan terjadi di tepi Kali Brantas jika ternyata yang muncul ksatria-ksatria dari tanah seberang? Menjadi pertarungan terakhir?

 Satu hal yang membuat Upasara terusik.

 Paman Sepuh Bintulu, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata mengatakan berasal dari kaum dodot. Dari kelompok paminggir, yang juga berarti bukan anak-cucu langsung para raja. Sebenarnya dalam hal ini bisa disamakan dengan dirinya, dengan Paman Jaghana!

 Sekilas ingatan Upasara kembali ke Perguruan Awan.

 Dengan peraturan yang tegas, tak ada anak buah Perguruan Awan yang direstui menjadi prajurit atau senopati. Paman Wilanda adalah contoh utama. Ketika masuk sebagai prajurit, tidak dianggap sebagai warga Perguruan Awan lagi. Hanya karena suatu peristiwa yang memperlihatkan jiwa luhurnya dan keinginannya menjadi warga Perguruan Awan, Paman Wilanda bisa diterima kembali.

 Upasara sendiri bisa melihat dirinya berada dalam posisi yang berada di sisi sana dan di sisi sini sekaligus. Ia dibesarkan dalam lingkungan Keraton sejak lahir. Akan tetapi ia tetap dianggap kaum dodot, kaum hamba sahaya. Seumur-umur berada di Keraton, darahnya tetap tak bisa menjadi biru.

 Dan ini salah satu kegagalannya untuk mempersunting Gayatri yang sekarang menjadi permaisuri Raja Majapahit.

 Upasara baru menyadari bahwa Paman Sepuh Bintulu sudah lenyap entah sejak kapan.

 Ia menghela napas, bersemadi.

 Mengubah tenaga murni yang tersimpan menjadi tenaga murni yang bisa digunakan. Agar semua tenaga murni cadangan bisa semuanya secara leluasa dipergunakan. Dan ini berkat jasa petunjuk Paman Sepuh Bintulu, yang akan dilawannya!

***

 Mbalela, Dosa Utama

 PENGEMBALIAN tenaga murni Upasara tak mengalami kesulitan sedikit pun. Dengan memusatkan pikiran, Upasara mulai menjalin tenaga murni yang tersimpan.

 Semua urat tubuh dan lubang kulitnya meregang, seakan mengeluarkan asap putih. Mula-mula seperti dog amun-amun atau uap air di kejauhan, seperti fatamorgana. Makin lama makin tebal, menyelimuti tubuh Upasara.

 Dari jidat, seakan terlihat cahaya menurun ke sepanjang hidung, melebar ke arah samping. Pipinya merona, kemudian daun telinga, bibir, dan akhirnya seluruh wajah.

 Sementara dadanya tetap naik-turun dengan teratur.

 Semburat warna itu terus menurun dan menyebar ke seluruh anggota tubuh, hingga ke ujung jari tangan serta kaki. Kembali menggumpal, terpusat di pusar. Dan dengan mengendalikan jalan pikiran, tenaga itu bisa dikendalikan. Ke arah tangan, kaki, tersimpan di punggung. Aliran tenaga itu mengikuti kemauan Upasara. Ke mana pikirannya ditujukan, ke arah itulah tenaga tersalurkan.

 Selesai bersemadi, Upasara merasa rongga dadanya sangat lega. Perasaan segar seakan kembali dilahirkan dari kegelapan yang mengimpit.

 Apa yang dilakukan kemudian ialah menguburkan Galih Kaliki dengan rasa hormat, berdoa di depan gundukan tanahnya.

 "Kakang Galih... harap Kakang bisa tenang, untuk sementara Dewa yang Maha Menentukan. Saya akan selalu mengenang jiwa Kakang yang luhur dan jujur. Saya tak akan hidup tenteram sebelum membalas sakit hati Kakang.

 "Maafkan, saya akan meninggalkan Kakang untuk sementara. Untuk menyusuri Kali Brantas. Di sana semua dendam akan tuntas."

 Baru kemudian dengan perasaan sedikit lega, Upasara melanjutkan perjalanan. Agar tidak terlalu menarik perhatian, Upasara membungkus Kangkam Galih dengan tongkat yang telah pecah. Disatukan kembali dengan getah pohon. Meskipun tidak sempurna, akan tetapi untuk sementara terlihat seperti tongkat biasa.

 Dalam perjalanan kali ini, Upasara merasakan betapa bedanya sebagai manusia biasa dan sebagai pendekar silat. Jarak jauh tidak terlalu menjadi masalah. Perjalanan bukan sesuatu yang melelahkan. Bisa sekaligus melatih dan memperlancar tenaga pernapasan.

 Lebih dari itu semua, keadaan sekitar seperti dengan mudah bisa terjaga, bisa diawasi dengan sempurna. Dengan mudah Upasara bisa mengetahui pada jarak tertentu ada sepasukan prajurit atau setidaknya beberapa ksatria sedang melakukan perjalanan. Langkah dan tarikan napas mereka bisa dirasakan Upasara.

 Sungguh berbeda ketika tenaga simpanannya belum diubah.

 Saat itu bahkan tak mengetahui pertempuran-ah, tak bisa disebut pertempuran-lebih tepat pembunuhan atas diri Pak Toikromo. Upasara menyadari bahwa Paman Sepuh Bintulu bisa melakukan satu gerakan untuk menghancurkan rumah, pedati, dan menyobek tubuh Pak Toikromo. Jarak kemampuan dalam kanuragan antara Pak Toikromo dan Paman Sepuh Bintulu kelewat jauh.

 Kalau saja semua pemulihan tenaganya terjadi lebih awal!

 Kalau saja Paman Sepuh Bintulu bertemu dengannya lebih dulu!

 Akan tetapi dalam kehidupan ini, ada yang tak bisa bersandarkan kepada kalau saja. Justru karena sejak awalnya serba tak terjadi tanpa kalau saja.

 Bukankah Paman Sepuh Bintulu bisa bersikap manis kepada Pak Toikromo, misalnya meminta makanan? Kalau saja perjalanan hidup Paman Sepuh Bintulu tak begitu pahit, ia tak akan main bunuh seenaknya.

 Tak lebih dua puluh kali tarikan napas, Upasara merasakan bahwa suara prajurit makin terdengar jelas. Upasara berusaha menghindar. Mencari jalan lain, karena tak ingin mengganggu dan terganggu. Pikirannya hanyalah mencari tepi Kali Brantas untuk mengadakan perhitungan, dan barangkali bisa lebih terbuka mengenai siapa-siapa yang akan datang.

***
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 07/10/2010 15:57
satu kalimat yang saya sangat terkesan dari buku Senopati Pamungkas adalah ini:

"Keutamaan dalam mempelajari ilmu silat, sebenarnya bukanlah sekadar menghafal gerakan atau cara berlatih napas untuk menghimpun tenaga.

Akan tetapi, lebih dari semua itu adalah menyelami kearifan yang tertulis atau tersembunyi dalam baris-baris kidungan. Itulah sesungguhnya inti, sukma ajaran silat."


salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: ajigineng on 07/10/2010 16:44
saya geram sama upasara disini.....(emosi heheh) kebenran tidak selalu menurut yg kita rasakan benar....dengan menghilangkan ilmunya  dia tidak bisa berbuat apa apa sehingga sampai hilang nyawa orang karena kelalainya..  toh akhirnya dia menggali dan mengembangkan lagi ilmunya setelah terpojokan oleh keadaan....nasi sdh menjadi bubur..disinilah proses pendewasaan upasara meningkat "eling lan waspodo" merasuki seluruh persendianya..... elingterhadap apa yg menjadi tanggung jawabya baik dengan sang pencipta pun dengan sesama dan ciptan-Nya....waspada terhadap segala tanda2, bahasa alam(wahyu,kata hati,nuluri) yang dia terima baik dr sang pencipta maupun ibu pertiwi...untuk meneruskan.."laku" dia sampai pada titik.." bali awor sih marang Gusti Ingkang Maha Suci"..
mengenai bangkitnya enrgi dr dlam tubuh upasara..menurut saya inilah energi ilahi/zat hidup yg ada di dalam tubuh kita....tentunya ini tidak bisa hilang ..hilangnya ya kalu mati...tetapi energi ini juga tdk bisa digunakan
semau gue tampa melatihnya dengan benar dan "sing pener", atau tampa
password....

@mas mpcrb...tdk harus berjodoh mas.... hanya niat dan ketekunan saja .... suami2 yg dikatakan berjodoh dengan istrinyapun..masih suka selingkuh mas..ehehheheh....nah saat ini kita2 inimasih suka selingkuh dengan bule2,amoy2 yang putih kenyes2 dan mengairahkan.... padahal cewek madura tidak kalah kuwalitasnya.....hanya bedanya cewek madura kulitnya kuning/coklat....gak menarik mas....nah kebetulan yg suak ama kilt2 berwarna ini bule2 itu mas....hihiihi keslahan ada pada mata..nih (mata uang,mata pencaharian) heheheh...nah kalu di bedakin,dilulurin sehingga kulitnya jd putih penampilanya trendy,gaya,modis..elegan dan smart...tampa menghilangkan jati dirinya....ini akan menarik pemuda2 kita deh...
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: ajigineng on 07/10/2010 16:59
@mas mpcrb...bahfa buykan hanya menhpalakan gerak atau tata nafas ..tetapi sangta penting memyelami kearifan..yg tersirat di dlm kidung2.... itulah mas...maka saya sagak menyayangan kalu saat ini kebanyakan kita hanya selalu mengumbar vidio2 gerak ,tata nafas seolah kita sagat bga ditotonton oleh bayak orang..padahal kita sedang di "telanjangi"....jarang sekali yang menapilakn atau mewartakan filosofi2 dr perguruan , agar orang tahu bahwa silat ini tidak hanya gedubrak-gedabruk...tetapi memilki ajaran ahlak yag tinggi sebagi warisan nenek moyang dan leluhur bangsa ini......
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: samber gledek on 07/10/2010 17:06
lain memang kalau para pakar yang bertutur. Sarat dengan makna . he...he..

Salam
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 07/10/2010 17:22
saya geram sama upasara disini.....(emosi heheh) kebenran tidak selalu menurut yg kita rasakan benar....dengan menghilangkan ilmunya  dia tidak bisa berbuat apa apa sehingga sampai hilang nyawa orang karena kelalainya..  toh akhirnya dia menggali dan mengembangkan lagi ilmunya setelah terpojokan oleh keadaan....nasi sdh menjadi bubur..

Hal itu menurut saya wajar mas. Terkadang manusia mengalami pergolakan batin ketika mempelajari sesuatu. Apalagi, dikatakan kalau ketika ia mempelajari Kitab Bumi, lalu mempelajari Penolak Kitab Bumi, batinnya terjadi peperangan. Peperangan pengetahuan, peperangan kebijaksanaan, keilmuan sehingga saking tidak tercapainya solusi, maka dibuatlah solusi extreem dengan meninggalkan semua keilmuan, semua tenaga dalam. Saya memahami ini sebagai suatu perjalanan hidup, suatu jalan yang ditempuh yang kadang menimbulkan korban. Bisa korban waktu, korban pikiran, korban tenaga, atau nyawa. Ia gagal dalam laku batin untuk memahami dua kitab tersebut ditambah lagi pergolakan pengalaman yang kurang menyenangkan seperti mencintai wanita yang juga ingin dinikahi raja (cinta tak bersambut), dan banyak lagi. Sehingga jalan satu-satunya adalah dengan membuang semuanya.

Memang begitulah yang juga sering kita alami ketika mengalami pergolakan batin. Apapun keputusannya pasti ada konsekwensinya.

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 07/10/2010 17:33
@mas mpcrb...bahfa buykan hanya menhpalakan gerak atau tata nafas ..tetapi sangta penting memyelami kearifan..yg tersirat di dlm kidung2.... itulah mas...maka saya sagak menyayangan kalu saat ini kebanyakan kita hanya selalu mengumbar vidio2 gerak ,tata nafas seolah kita sagat bga ditotonton oleh bayak orang..padahal kita sedang di "telanjangi"....jarang sekali yang menapilakn atau mewartakan filosofi2 dr perguruan , agar orang tahu bahwa silat ini tidak hanya gedubrak-gedabruk...tetapi memilki ajaran ahlak yag tinggi sebagi warisan nenek moyang dan leluhur bangsa ini......

Ini sangat benar sekaligus juga yang menurut saya sangat dilematis. :(

Silat memang mengajarkan praktisinya untuk (cenderung) menjadi 'soft' meskipun yang dipelajari adalah seni membunuh. Tapi terbelenggu pada kondisi terlalu 'tradisional' juga tidak baik di dalam pelestarian silat. Sudah ada contoh silat yang di Indonesia sudah tidak ada lagi, tapi di luar sana malah ada. Banyak juga dari silat tradisional yang mulai runtuh ditelan perkembangan gelombang budaya zaman.

Di saat sekarang, anak-anak sekolah sudah sangat dicekoki dengan olahpikir logis, logika-logika kritis, membiasakan untuk diskusi, terkadang panas, dan boleh mengkritisi, bahkan sering kali diganggap tidak sopan. Hal ini akan berbenturan dengan filosofi silat dimana faktor 'laku' menjadi penting, faktor penanaman filosofi, faktor tolok ukur hati (roso, rumengso). Dimanakah menariknya aspek filosofi silat dibanding aspek kecanggihan teknologi? Filosofi silat juga menurut saya adalah 'teknologi' dalam bentuknya yang lain. Tapi ia bisa jadi kurang menarik dibandingkan teknologi modern. Bukan salah filosofinya, tapi bisa jadi karena 'wujud' penggambarannya yang tidak semenarik teknologi. Berbicara beladiri, yang menarik adalah aspek fight karena bahkan orang bodohpun bisa melihat dan memberikan penilaian. Filosofi hanya bisa direnungkan oleh mereka-mereka yang berpikir. Tanpa adanya proses berpikir, hal itu jelas sangat sulit. Apalagi, bombardir teknologi modern di abad ini sangat deras dibanding bombardir 'teknologi' filosofi keilmuan silat. Di abad sekarang, masyarakat muda dididik untuk berpikir seperti ilmuwan, seperti scientist. Sehingga terkadang, ketika mulai belajar keilmuan silat tradisional, jiwanya menolak (karena sejak bertahun-tahun di masa sekolah selalu diajarkan logika kritis). Lucunya, ini paradox dengan kondisi zaman yang (katanya) sarat dengan logika berpikir modern. Pada kenyataannya masyarakat logis 'cetakan' dari ilmu pengetahuan modern malah terkadang tidak rasional dalam bertindak. Pendidikan logika-logika kritis tidak dibarengi dengan aspek humanis. Betapa banyak kegagalan sistem modern buatan manusia bukan karena kegagalan teknologi, tapi kegagalan aspek humanis. Ketidakseimbangan ini diperparah dengan tontonan-tontontan media yang lebih sering menunjukkan kekerasan, pembunuhan sadis (tapi kalau menunjukkan aspek sadis pada silat malah dilarang), dan kekerasan-kekerasan lainnya.

Kalau sudah begini, metode penyampaian filosofi harus sudah diubah agar bisa sesuai dengan konteks dimana zaman itu berada. Konsekwensinya tentu akan mereduksi makna silat itu sendiri.

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: parewa on 07/10/2010 19:08
Senangnya hati baca ss.com...... 8) [[peace2]]
Dari novel silat bisa menjadi diskusi yg sangat berbobot...... [top] [top] [top]
Salut untuk mas mpcrb dan mas ajigineng..... GRP melayang deh...... [top] [top] [top]

Salam.



Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 08/10/2010 00:18
terima kasih GRP-nya kang, mungkin lebih tepatnya buat kang ajigineng dengan penjelasannya yang sangat dalam pada makna.  [top]

Inilah kenyataan kita sekarang. Anak-akan sekarang, lebih banyak olahpikir dibanding olahraga (apalagi olahrasa). Coba kita ajak anak kita buat latihan, ada aja alesannya. Coba deh ajak main ke Timezone, main Playstation, dijamin langsung ngacir. :)

Lingkungan, disukai atau tidak, telah membentuk pola pikir demikian. Diajari untuk olahpikir, tapi kenyataannya lelaku, tindakan, mereka sering tidak rasional. Tapi kalau diajari olahrasa, mereka akan pikir-pikir dulu. Inilah kondisi wolak-waliking jaman, kebolak-balik. Menempatkan posisi yang tidak semestinya hanya karena ingin berada pada kondisi 'aman'. Olahpikir lebih bisa membuat kondisi 'having fun' buat mereka. Dan ini kurang bisa di dapat pada silat. Sisi 'having fun' inilah yang mungkin bisa digali.

Dulu, mainan anak-anak jawa sarat dengan aspek filosofis, olahraga, dan beberapa malah mengarah pada kanuragan. Tapi sekarang? Bahkan orang Keraton sendiri sudah mulai melupakan jenis mainan anak seperti itu. Bentengan, gobak sodor, tokle, lumbungan, dsb, sudah jangan harap bisa kita lihat lagi sekarang. Kalaupun ada, mungkin 1 diantara 1 juta anak yang masih memainkannya dengan aktif. Arahnya sudah bergeser. Menghadirkan lagi bentuk seperti itu, dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Disinilah sebenarnya tantangannya.

Ramainya MMA diminati adalah karena ia sangat realistis, sarat dengan aspek praktis. Begitu latihan beberapa kali, sudah bisa membawa 'oleh-oleh' yakni teknik bertarung. Ya, meski baru kulitnya, tapi mereka tidak peduli. Sedangkan 'oleh-oleh' dari silat belum terasa. Kalau dibilang akan mendapat sehat, tentu MMA juga sama. Fitness juga dapet sehat. Ngapain harus silat? Aspek-aspek ini kurang bisa digarap 'cantik' di dalam silat. Tidak heran banyak produser luar yang tidak tertarik untuk menggarap silat secara ekslusif seperti halnya KungFu dan Karate. Bukan berarti tidak ada. Secara isi, silat sangat matang dan lengkap, tapi terkadang 'bungkusnya' lecek sehingga orang yang sedari kecil sudah dicekoki dengan aspek-aspek logis kritis, menganggapnya remeh. Yang beruntung hanya yang berjodoh. Tapi kalau jodoh tidak kunjung datang, berarti kepunahan siap menghadang. Salah siapa kalau sudah begini?

Dunia terhentak menyaksikan film Ong Bak, Chocholate. Bahkan sequel-nya dibuat lagi dengan Ong Bak 2. Sisi praktis aspek fight dari Muay Thai benar-benar keluar dan mengguncang. PaddlePop membuat versi Kombatei untuk Ninjutsu, KungFu, dan ThaiBoxing. Pasti ada pertimbangan. Tidak apalah, kita lupakan saja hal itu.

Yang masih segar dalam ingatan kita adalah 'turun gunungnya' para biksu Shaolin untuk melakukan demonstrasi dan peragaan di banyak negara (termasuk Indonesia) beberapa tahun yang lalu. Pertunjukan dikemas sangat baik, menampilkan keragaman gerakan, jurus, teknik chi, aplikasi chi, pematahan benda keras, kekuatan raga, dsb. Responnya sangat positif, reaksi masyarakat sangat bagus. Apa mungkin silat bisa melakukan hal yang sama seperti 'turun gunungnya' Shaolin?

Saya masih ingat, dulu senior selalu memberikan wejangan untuk 'lelaku', kerjakan dulu, kalau mentok, barulah nanti bertanya. Tapi anak zaman sekarang kebalik, malah nanya-nanya dulu, ngerjainnya belakangan. Apalagi kalau jawabannya nyerempet2 ke arah bukan akal, maka dianggap klenik. Semakin rasional mereka berpikir, semakin silat menjadi (cenderung) terpinggirkan. Jika kang ajigineng mengatakan kalau silat adalah kasunyatan, itu memang benar, tapi itu tidak bisa 'dilihat' oleh anak zaman sekarang. Sehingga tidak heran kecenderungan silat menjadi kurang diminati menjadi semakin terasa. Mengangkat aspek realistis dari silat inilah yang akan membuat lebih menarik sekaligus yang bikin serba salah.

Bagaimana meramu konsep sehingga silat terlihat sebagai 'jalan' dan bukan sebagai 'alat', itu yang kemudian jadi pemikiran saya pribadi. Bentuknya yang paling afdol jelas film. Dunia menjadi terbuka matanya dengan filosofi KungFu setelah David Caradine bermain pada film serial KungFu. Ia dikisahkan bertualang dari satu tempat ke tempat lain, sambil membawa falsafah KungFu yang diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Sangat realistis dan bagus sekali. Masalahnya, siapa yang mau mengangkat tema ini pada silat? Akhirnya balik pada masalah klasik, masalah pendanaan. Kalau tidak menjual, orang tidak mau mendanai. Kalau tidak prospek, orang tidak mau melirik.

Saya pribadi selalu mengatakan kalau mendobrak ini, sama halnya mendobrak pakem. Bahkan National Geographic yang mengangkat KungFu melalui wawancara dengan para guru-guru KungFu juga merasakan demikian. Tujuan anak-anak belajar KungFu tidak sama seperti dulu, untuk masuk pada aspek moral, aspek filosofis, menuju pencapaian kesalehan pribadi. Kebanyakannya malah ingin menjadi artis, main film terkenal, dan menjadi kaya. Akhirnya sekolah kungfu nasional yang didirikan hanyalah sebagai tempat 'koleksi jurus' dan 'koleksi sertifikat'. Ruhnya hilang, otomatis esensi kungfunya juga jadi hilang. KungFu yang dipelajari tidak bedanya sebagai 'alat', bukan 'jalan'. Tidak beda dengan pistol, senapan, kayu, batu. Sudah kehilangan 'ruh'. Sudah tidak adanya 'donatur' tetap entah tuan tanah, cukong, atau sejenisnya, membuat para guru KungFu harus bekerja menghidupi dirinya dan perguruannya. Tidak jarang, menarik anggota sebesar-besarnya. Kualitas dinomorduakan. Kalau sudah begini, ya tentu nilai filosofis akan termarginalkan dengan sendirinya.

Kita sepakat kalau silat memang tidak akan hilang dari bumi ini, tapi bisa jadi silat hilang dari lingkungan kita, dari negeri kita. Contoh nyata sudah terasa. Apakah perguruan kita berikutnya? Wallahualam... semoga jangan...

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 14/10/2010 12:42
Back to topik (SS dan TT).

Di dalam buku Tembang Tanahair, ada percakapan menarik antara Adipati Kedhe dan Racek di suatu gua. Sarat juga dengan makna silat.

Saya mulai..

***

"Saya tak tahu persis, apakah ada aturan tertentu bagaimana cara membaca coretan pada dinding gua itu. Hanya rasanya, tokoh sakti yang menamakan dirinya Dewa Maut mencoret sekenanya saja. Satu bagian di dinding ini, satu bagian berikutnya di dinding yagn lainnya, dan bagian ketiga di dekat lorong pertama.

Sebenarnya secara tidak langsung kamu sudah mempelajarinya. Sudah mengetahui dari awal hingga akhir apa yang dicoretkan disini. Mempelajari begitu saja, sebagimana KUmbakarna melatih tenaga dalam dengan tidur. Dewa menilai sebagai tapa, dan ingin memberikan karunia, tapi Kumbakarna menolak. Karena merasa tidak bertapa dan tidak meminta sesuatu.

Racek, dalam ilmu silat, seperti yang kamu lihat dalam peperangan, dalam pertarungan, dalam perkelahian, intinya selalu sama. Mengerahkan tenaga, berusaha melebihi tenaga lawan.

Tenaga itu bisa dibagi dua.
Yaitu tenaga dalam.
Dan tenaga luar."
"Ya."
"Sejauh yang saya ketahui seseorang yang menciptakan sendiri ajaran ilmu silatnya selalu memakai kasatmata, yang terlihat oleh mata.

Ada bentuk wadag, ada wujudnya.

Memakai pengerahan tenaga bumi, tenaga air, tenaga seekor singa, seekor burung, dan lain sebagainya.

Kecuali barangkali tenaga dalam yang diciptakan Ksatria Lelananging Jagat, yaitu tenaga Tanahair. Meskipun demikian, sejauh yang pernah didengar, pengertian Tanahair itu sendiri juga diwujudkan dalam bentuk yang wadag.

Dalam gua ini, yang kemudian disebut Gua Mata, Dewa Maut yang sakti memakai bentuk nyata mata.

Itulah sebabnya di bagian awal, diberitahukan mengenai pengertian-pengertian. Kita hanya menangkap satu pengertian, yaitu melihat. Akan tetapi Dewa Maut bisa mengurai perbedaannya menjadi melotot, mencicil, mendelik, melirik, meliling, seperti melihat pada bayi, dan gerakan yang ada dalam lirik yang dituliskan.

Semua akan ada artinya dalam pengerahan tenaga dalam. Tenaga untuk ngliling, berbeda dengan tenaga untuk melirik. Demikian juga yang lainnya.

Begitu juga halnya dengan pemusatan tenaga, sebagai inti untuk dikerahkan. Dewa Maut merinci pengerahan tenaga itu seperti bentuk mata.

Bagian mana yang tepat untuk dikerahkan, sangat tergantung pada dengan siapa kita berhadapan.

"Bagaimana dengan gerakan tangan atau yang dinamakan jurus?", tanya Racek.

"Dewa Maut tidak menjelaskan. Yang diterangkan hanyalah asal tenaga dan bagaimana menyalurkannya. Gerakannya bisa apa saja, atau jurus yang mana saja.", jawab Adipati Kedhe.

"Bisa kamu sendiri yang menentukan. Bukankah ketika saya muntah darah kamu bisa membopong dan merangkul? Bukankah tanpa mempelajari lebih dulu kamu bisa menendang?.

Nyatanya bisa.", lanjut Kedhe.

"Bagi yang menguasai tenaga dalam, tidak ada bedanya antara ada kembangan atau tidak ada kembangan.

Tidak ada bedanya antara ada jurus atau tidak ada jurus.

Yang punya jurus bisa sulit menghadapi yang tidak punya jurus. Seperti kamu ini.

Pada akhirnya akan mengikuti kreteg hati. Menjadi sederhana di ujungnya."

Racek mengangguk, "Saya masih belum mengerti".

"Tidak apa-apa Racek. Kamu begitu polos, begitu murni, tidak heran, kamu lebih bisa memahami tenaga dalam dibanding jurus.", lanjut Kedhe.

***
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: ajigineng on 14/10/2010 17:39
wah...memang dlm dialog ini serat dengan makna bgaimana orang harus mempelajari sebuah keilmuaan...ada yg menurut pakemnya ada yang tdk menurut pakem..yang menurut pakem...terlebih dahulu manyiapak wadah/raga dengan berlatih jurus,kmd berlatih olah napas,kemudian olah rasa dan olah batiniahnya....yg tidakmenurut pakem bisa berlatih batiniahnya dulu, olah rasanya dulu atau hanya olah jurusnya dulau..... yg menjadi benang merahnya adalah...olah napas.... dimana ketikan orang mumpuni didlam olah napas walu tdk memiliki jurus tetap bisa menendang dan memukul dan hasilnya bisa berbahaya,...sedang orang yg berlatih olah gerak.jurus otomatis secratdk langsung nalurinya juga latihan napas...(ini yg terkadang kita tdk menyadari) misalkan silat kampung2 kalu ditanya apa ada ajaran ilmu TD..dijawab tidak..tetapi ketika mengerkan jurus mereka mengambil napas terus menahanya dan bergerak jurus..baru keluar setelah selesai..ini belajar jurus plus TD...dan pada akhirnya bagi orang awam yg tdk didasari oleh keilmuan dia akan bergerak menurut nalurinya....ketika berhadapan dengan bahaya dll....dalambahsa jawa=krenteke ati....
Nah akan lebih baik semua didasari dengan sutau kesadran pribadi..bahwa mempelajari sesutu sebaiknya memilik dasar pengetahuan,kalu tidakmemiliki ya akan dapat dari guru,kalu tidak ada guru ya akan dapat dr guru sejati kalu tidak ada guru sejati..bergurulah pada Allah.....
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 14/10/2010 22:31
Benar sekali mas :)

Itulah sebabnya kenapa saya hanya memilih bab-bab tertentu atau percakapan-percakapan tertentu pada SP dan TT yang memang ada kaitannya dengan silat di dunia nyata. Agar memang bisa diambil makna dan didiskusikan untuk menjadi manfaat pembaca SS semua.

Inti dari kisah tersebut adalah dalam mempelajari sesuatu harus ada dasar pengetahuan. Sisi mana yang diambil, bergantung para karakteristik. Disini mulai ada perbedaan. Dimana Adipati Kedhe disimbolkan sebagai orang yang belajar gerak/jurus terlebih dahulu, baru tenaga dalam melalui olah nafas. Sedangkan Racek, belajar tenaga dalam dulu baru kemudian dikenalkan dengan jurus. Dua proses pembelajaran yang berbeda, tetapi menuju ke suatu jalan yang sama.

Proses mersudi yang berlainan, tapi mengarah pada hasil akhir yang hampir sama. Ada yang sangat berbakat menguasai gerak/jurus, tapi lemah olahrasa. Ada juga yang sebaliknya. Pada akhirnya, kembali kepada nafas, kembali kepada rasa, pada roso. Kalau sudah masuk pada tahap roso, tidak ada bedanya antara yang mengerti jurus dan yang kurang mengerti jurus. Pada akhirnya mengarah pada kesederhanaan. Ini benar sekali.

Kepolosan hati, ketulusan hati, sangat diperlukan di dalam berlatih olahrasa. Karena mereka yang hatinya lebih murni, lebih mudah menyerap pengetahuan mengenai olahrasa. Disimbolkan oleh Racek, yang seumur hidupnya tidak pernah mengenal ilmu silat, tetapi memiliki teknik tenaga dalam yang cukup hebat hanya karena ia belajar begitu saja, mengalir begitu saja, tidak punya ambisi, tidak berniat jadi hebat. Ia yang tidak berniat bisa malah jadi bisa. Ia yang tidak berniat menguasai, malah bisa menguasai. Jernih, polos, tulus, lepas, murni.

Kedua karakteristik ini terjadi disekeliling kita. Sebagian menyadarinya, sebagian tidak.

salam.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: harunhdr on 15/08/2011 07:06
Luar biasa dalamnya khasanah silat di tanah air ini. Adakah novel sejenis yang mengangkat silat sebagai acuannya ? Terutama dari wilayah selain Jawa.
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: anaknaga on 22/12/2011 10:05
mohon para penggemar cersil (Cerita Silat) mengunduh nya di

http://kangzusi.com/Silat_Indonesia.htm

kayaknya lengkap tuh.  :)
Title: Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
Post by: mpcrb on 22/12/2011 17:33
Wuiih mantep mas linknya.   [top]

Matur nuwun mas anaknaga. :)

Salam.