+-

Shoutbox

30/12/2023 22:12 anaknaga: Mudik ke Forum ini.
Mampir dulu di penghujung 2023..
07/11/2021 17:43 santri kinasih: Holaaaaas
10/02/2021 10:29 anaknaga: Salam Silat..
Semoga Sadulur sekalian sehat semua di Masa Pandemi Covid-19. semoga olah raga dan rasa dapat meningkatkan daya tahan tubuh kita. hampur 5 tahun tidak ada yang memberikan komen disini.
23/12/2019 08:32 anaknaga: Tidak bisa masuk thread. dah lama tidak nengok perkembangan forum ini.
salam perguruan dan padepokan silat seluruh nusantara.
02/07/2019 18:01 Putra Petir: Akhirnya masuk jua... wkwkwk
13/12/2016 10:49 Taufan: Yuk ke Festival Kampung Silat Jampang 17-18 Desember 2016!!!
20/09/2016 16:45 Dolly Maylissa: kangen diskusi disini
View Shout History

Recent Topics

Kejuaraan Pencak Silat Seni Piala Walikota Jakarta Selatan by luri
24/09/2024 15:38

Kejuaraan Pencak Silat Seni Tradisi Open Ke 3 by luri
24/09/2024 15:35

Kejuaraan Terbuka Pencak Silat Panglima TNI 2024 Se-Jawa Barat by luri
24/09/2024 15:22

Berita Duka: Alamsyah bin H Mursyid Bustomi by luri
10/07/2022 09:14

PPS Betako Merpati Putih by acepilot
14/08/2020 10:06

Minta Do`a dan bimbingan para suhu dan sesepuh silat :D. SANDEKALA by zvprakozo
10/04/2019 18:34

On our book: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
13/03/2017 14:37

Siaran Radio ttg. Musik Pencak Silat di Stasiun "BR-Klassik / Musik der Welt" by Ilmu Padi
12/01/2017 16:19

Tentang buku kami: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
17/10/2016 20:27

Hoby Miara Jin by anaknaga
19/09/2016 04:50

TALKSHOW SILAT - Silat Untuk Kehidupan by luri
22/06/2016 08:11

Thi Khi I Beng by aki sija
17/08/2015 06:19

[BUKUTAMU] by devil
09/06/2015 21:51

Daftar Aliran dan Perguruan di Indonesia by devil
01/06/2015 14:01

SILAT BERDO'A SELAMAT by devil
01/06/2015 13:59

SilatIndonesia.Com

Author Topic: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair  (Read 48735 times)

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #45 on: 07/10/2010 14:02 »
Berikut ini cerita yang sama menariknya, yakni ketika Upasara Wulung bertemu dengan pencipta keilmuan yang selama ini dia pelajari dari Kitab Bumi. Dengan kata lain, Upasara Wulung bertemu dengan pencipta kitab bumi. Bab ini juga sangat sarat makna. Silahkan dinikmati.... ;)

***

 Bejujag, Tokoh Paling Kurang Ajar

 UPASARA berkeringat dingin.

 Dalam detik-detik terakhir, tubuhnya meringkuk dengan kedua tangan berusaha melindungi. Kesiuran angin sangat tajam merobek. Gerakan Upasara adalah gerakan seadanya, sebisanya seperti perlindungan diri terakhir.

 Bahkan kedua matanya tertutup.

 Terdengar suara keras, dan pohon mangga di sebelahnya roboh, terpotong melintang dari satu sisi kanan ke kiri bawah!

 Pohon mangga saja terbelah terkena kesiuran angin tongkat penggiring bebek Bintulu!

 "Ilmu iblis apa yang kamu mainkan, Wulung?"

 Dalam nada geram, terdengar juga kesan kagum.

 Upasara sendiri tak bisa menjawab segera. Tak bisa menerangkan dengan jelas. Bahwa dari tubuhnya masih bisa keluar tenaga murni Bantala Parwa. Tenaga dalam yang sudah dimusnahkan itu ternyata masih tersimpan, dan secara tiba-tiba muncrat keluar, berhasil menangkis kesiuran angin maut Bintulu.

 Bahwa inti tenaga murni Penolak Bumi adalah bersifat tenaga tumbal, tenaga yang muncul untuk mementahkan dan mengenyahkan serangan yang mengancam, Upasara sadar. Akan tetapi ternyata tenaga itu sekarang ini tak sepenuhnya bisa dikuasai. Tenaga murni itu mengalir dengan sendirinya!

 Karena sebelum keluar, Upasara telah sungsang-sumbel dan hampir saja binasa. Toh tak bisa keluar.

 Upasara bercekat.

 Tubuhnya basah oleh keringat.

 Sesaat tadi, ia merasa kematian telah datang menjemput secara paksa. Untuk pertama kalinya, Upasara merasa enggan menerima kematian. Saat ini berbeda dari saat ia membuang tenaga dalamnya, berbeda dari ketika Nyai Demang mengamuk. Upasara merasa masih ada ganjalan untuk meninggal.

 Masih ingin membalas dendam kematian Pak Toikromo!

 Ataukah perasaan ini yang membuat tenaga murni muncul tak terduga? Rasanya tak mungkin juga. Karena kini, ketika Upasara mencoba mengerahkan kembali, malah dadanya yang terasa sakit.

 Kalau tenaga murni macet, kematiannya hanyalah soal waktu. Maka Upasara menjadi bercekat, tubuhnya berkeringat, seolah sedang menghadapi malaikat maut.

 "Ilmu bisa menjadi iblis bisa menjadi dewa, tak perlu ditanyakan."

 "Siapa gurumu?"

 "Sudah saya katakan, saya adalah murid Ngabehi Pandu yang terhormat, senopati Keraton Singasari. Teman baik yang terhormat Mpu Raganata, sahabat erat Eyang Sepuh."

 Upasara sengaja menyebut nama tokoh-tokoh besar, agar Bintulu tak menjadi ganas karenanya. Karena dengan mendengar nama-nama besar itu, bisa mengingatkan akan sesuatu. Perhitungan Upasara, sekali lagi, berdasarkan dugaan bahwa Bintulu adalah tokoh sakti angkatan tua yang kembali.

 Dugaan itu benar, akan tetapi Bintulu tetap menggelengkan kepala.

 "Mana aku kenal nama cecunguk-cecunguk itu?

 "Tapi aku bisa memaksamu mengatakan siapa sebenarnya."

 Bintulu menggenggam tongkat kurusnya.

 "Begitu sombong Paman Bintulu menyebut dengan kata kotor pada pendiri Nirada Manggala!"

 Kali ini upaya Upasara menemukan hasilnya. Kalau nama Eyang Sepuh, Mpu Raganata maupun Ngabehi Pandu tak dikenali, nama Perguruan Awan ternyata membuat Bintulu menahan napas sejenak.

 "Apa hubunganmu dengan si Bejujag itu?"

 Upasara tak tahu siapa yang dimaksudkan dengan si Bejujag, yang bisa diartikan sebagai seorang yang kurang ajar. Jangan-jangan salah satu nama yang bisa dihubungkan dengan pendiri Perguruan Awan. Dan itu bisa berarti...

 "Kalau memang kamu murid si Bejujag dan sengaja mau mengintip ilmu Tongkat Penggiring Bebek, inilah kesempatan terbaik. Aku akan membunuhmu dalam satu gerakan."

 Ternyata tetap saja niat Bintulu untuk membunuh!

 "Tak perlu main sembunyi."

 Belum Upasara mengerti sepenuhnya, sesosok bayangan telah muncul sambil mengertakkan gigi dan mengayunkan tongkatnya secara keras.

 "Kakang Galih!"

 Teriakan Upasara lebih mencerminkan nada kuatir dibandingkan kegembiraan.

 Karena Upasara menyadari bahwa Galih Kaliki yang suka menyerang secara sembrono bisa menghadapi bahaya melawan Bintulu yang mampu memainkan tongkat kurusnya.

 Gebukan tongkat galih asam ke arah caping Bintulu tak dihiraukan. Hanya tongkat penggiring bebek disebatkan untuk menangkis.

 Tongkat kurus bagai bambu yang sedang tumbuh menghadapi tongkat perkasa dari hati pohon asam.

 Luar biasa!

 Upasara seakan tak percaya pada matanya.

 Bahkan Galih Kaliki melongo.

 Tongkat galih asam terpotong di bagian ujungnya. Terpotong dengan goresan miring!

 Inilah yang tak dinyana tak disangka.

 Tongkat galih asam sudah lama malang melintang di dunia persilatan. Puluhan atau ratusan kali diadu dengan segala senjata tajam pilihan. Akan tetapi selama ini tak pernah mengalami lecet sekali pun. Maka sungguh tak terbayangkan, hanya dengan sekali sabetan, tongkat perkasa itu somplak!

 Tenaga ajaib macam apa yang dimiliki dalam diri Bintulu dengan tongkat penggiring bebek, yang kelihatannya terayun-ayun terguncang angin?

 "Kakang Galih... tahan"

 Jeritan Upasara terlambat. Galih Kaliki telah mengeprukkan tongkat ke arah caping Bintulu untuk kedua kalinya. Kali ini dengan tenaga penuh.

 Bintulu menggenggam tongkat penggiring bebek dengan dua tangan dan tubuhnya berputar keras. Cepat sekali. Upasara sampai mundur terdesak oleh angin.

 Tongkat galih asam membentur tongkat penggiring bebek untuk kedua kalinya. Upasara menahan getaran dalam tubuhnya.

 Tongkat galih asam somplak, terlempar ke udara dan jatuh di dekat tubuh Galih Kaliki yang juga ambruk. Pada sebelah kanan dadanya terlihat goresan yang dalam hingga ke pangkal paha sebelah kiri. Luka menganga dan seakan terlihat tulang-tulang tubuh Galih Kaliki yang dilewati sabetan tongkat kurus itu terputus.

 Ajal Galih Kaliki telah sampai sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Sebelum sempat bertegur sapa dengan Upasara!

 Alis mata Upasara bersatu. Seluruh darahnya seakan mengalir ke wajah. Darah dendam kesumat membahana. Tangannya gemetar meraih tongkat galih asam yang telah somplak.

 "Hmmm, jadi si Bejujag itu menyembunyikan kangkam dalam galih?" Baru sekarang Upasara sadar bahwa tongkat yang selama ini dipergunakan oleh Galih Kaliki adalah sarung pedang! Pedang hitam yang tipis. Kangkam Galih yang agaknya dikenali oleh Bintulu!

 Seumur hidupnya Galih Kaliki tak pernah mengetahui hal ini. Bahkan tak akan percaya andai diberitahu bahwa tongkat andalannya ini sebenarnya hanyalah sarung pedang! Warangka.

 Upasara tak banyak berpikir. Kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih dengan pandangan bulat.

 "Apa pun yang kamu katakan, aku siap menuntut balas kematian orangtua dan kakangku."

 "Edan. Hari ini aku membunuh dengan perasaan senang."

 Bintulu bergerak. Upasara tak melihat gerakan, hanya merasakan angin tajam menerjang keras ke arahnya. Dengan sepenuh tenaga, Upasara mengangkat tongkat Kangkam Galih—pedang yang tersimpan dalam galih— untuk menangkis dan menerjang.


 Akan tetapi karena tenaganya kurang tersalur sempurna, di samping pedang tipis hitam itu sangat berat, Upasara menjadi sempoyongan. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya justru terbanting sebelum langkah ketiga!

 Bintulu mengeluarkan teriakan dingin sambil meloncat tinggi!

 Agaknya tak menduga bahwa Upasara melakukan gerakan yang tak sepenuhnya dikuasai dan disadarinya. Nyatanya memang begitu.


 Sewaktu menangkis tadi, Upasara menggerakkan pedang dengan serangan yang masih bisa dihafal dan diketahui. Hanya karena tenaga dalamnya tak terkuasai, tenaga membawa pedang hitam itu membuatnya terhuyung jatuh. Akan tetapi di luar dugaannya, justru sewaktu tubuhnya akan menyentuh tanah ada tenaga menolak yang membuat Upasara tegak.

 Begitu tegak, Upasara berniat menyerang kembali. Akan tetapi kejadian berulang. Tubuhnya terseret oleh tenaga Kangkam Galih. Sehingga makin limbung.

 Agaknya justru ini yang membuat Bintulu kaget dan meloncat tinggi.

 Kalau tadi bisa membunuh Galih Kaliki tanpa mengubah posisi kaki dari tempatnya berdiri, sekarang perlu menghindar!

 Dodot, Kain Panjang untuk Hamba Sahaya

 MENGETAHUI ada tenaga yang memberontak dari tubuhnya, Upasara tak mau menahannya. Ia memusatkan pikirannya, dan membiarkan tenaganya tersalur ke arah Kangkam Galih.

 Dalam sekejap, Upasara telah memainkan jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika secara lengkap dan sempurna. Angin berkesiuran memancar dari tubuhnya, mengepung Bintulu yang berloncatan. Karena agaknya Bintulu tak ingin tongkat penggiring bebek bersentuhan dengan Kangkam Galih. Ini yang membuat dalam sekejap Upasara bisa mendesak mundur.

 Bintulu meloncat mundur sekali lagi, akan tetapi kali ini Upasara menyabet dengan ganas.

 Caping Bintulu terayun ke atas!

 Barulah Upasara bisa melihat Bintulu.

 Dan cemas dengan sendirinya.

 Yang berada di depannya ternyata lelaki yang sudah tua, dengan rambut putih beberapa helai. Selebihnya adalah wajah yang tanpa bentuk sama sekali! Hanya ada semacam lubang untuk hidung—ataukah mulut?— selebihnya gumpalan daging. Bahkan Upasara tak bisa menemukan mana bagian matanya.

 Begitu banyak peristiwa ditemui Upasara, akan tetapi sekali ini tak terjangkau oleh akal sehatnya.

 Bintulu, jelas tokoh sakti mandraguna dari suatu masa yang telah lewat. Dilihat dari usianya, bukan tidak mungkin lebih tua dari Mpu Raganata. Kemampuan dan ilmu silatnya sungguh tiada tara. Galih Kaliki saja bisa disabet dalam dua gerakan!

 Hati kecil Upasara terusik rasa iba.

 Bintulu pastilah mengalami sesuatu yang sangat kejam di masa lalu. Sehingga wajahnya hancur lumat. Tak tersisa mata atau mulut! Neraka iblis macam apa yang telah terjadi?

 Kalau dilihat dari sisi ini, Bintulu perlu dikasihani. Akan tetapi Bintulu pula yang telah menewaskan orangtuanya, Pak Toikromo! Dan juga Galih Kaliki!

 Dan Upasara telah bersumpah untuk membalas dendam.

 "Edan!

 "Sungguh edan. Apakah si Bejujag itu mampu menyimpan dan mengembalikan nyawa manusia? Apakah ia telah menjadi Maha wiku seperti yang diinginkan?

 "Edan.

 "Wulung, apakah yang kamu mainkan barusan ilmu Menyimpan Nyawa si Bejujag?"

 Biar bagaimanapun, Upasara masih mempunyai jiwa ksatria. Hatinya tergetar melihat penderitaan Bintulu. Maka dengan hormat, Upasara melakukan sembah. Setelah mengembalikan caping untuk menutupi wajah Bintulu, barulah Upasara mundur dan menjawab.

 "Paman Sepuh Bintulu, yang baru saja saya mainkan adalah jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika, atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Yang kalau diteruskan dengan Delapan Jurus Penolak Bumi, dikenal sebagai ajaran Kitab Bumi.

 "Apakah Paman Sepuh mengenali?"

 "Edan.

 "Bagaimana mungkin kamu tanyakan aku mengenali atau tidak, kalau aku yang menciptakan?"

 Ganti Upasara yang menjublak. Berbagai perasaan datang-pergi silih berganti.

 "Aku tidak tanya nama jurus mainan anak-anak. Yang kutanyakan apakah si Bejujag itu telah mampu melatih tenaga dalam Menyimpan Nyawa!"

 "Maaf, Paman Sepuh, yang saya latih adalah pernapasan seperti yang diajarkan dalam Bantala Parwa."

"Ngawur!

 "Aku tidak menciptakan cara berlatih napas semacam itu. Itu pasti akal-akalan si Bejujag yang suka main gila.


 "Wulung, kamu ini manusia macam apa sehingga begitu beruntung dalam hidupmu?"


 Kembali Upasara terguncang.


 Apa maksud omongan Bintulu yang seperti berusaha menjelaskan sesuatu ini?


 "Kamu beruntung mempelajari cara pernapasan Menyimpan Nyawa. Itulah latihan pernapasan yang dikembangkan oleh si Bejujag, padahal ilmu yang murni, akulah yang menemukan. Akulah yang menciptakan apa yang kamu sebut sebagai Bantala Parwa atau Kitab Bumi.


 "Tapi Bejujag itu memang nasibnya selalu lebih baik. Kami bertiga sama-sama manusia berkain dodot, kain panjang dan lebar, sebagai tanda hamba sahaya. Tanda pengenal kaum paminggir, kaum yang tak diperhitungkan secara resmi. Kaum pinggiran, kaum dodot.


 "Edan.


 "Bejujag percaya bahwa cara berlatih napas Menyimpan Nyawa adalah cara berlatih yang sempurna. Karena tenaga murni latihan ini adalah tenaga yang tak akan pernah bisa hilang. Tenaga yang kekal abadi.


 "Aku tak percaya di jagat raya ini ada cara berlatih pernapasan seperti itu. Tapi baru saja kurasakan bahwa Bejujag kampungan itu berhasil."

 Terdengar helaan napas berat.

***
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #46 on: 07/10/2010 14:23 »
2 bab berikut ini adalah penggambaran bagaimana Upasara Wulung mendapatkan kembali tenaga dalamnya. Disini juga sarat dengan filosofi pada dunia persilatan. Silahkan dinikmat...

***

 Upasara seperti tersadar. Bahwa Paman Sepuh Bintulu mengatakan apa adanya tentang cara pernapasan yang disebut Menyimpan Nyawa. Semacam latihan pernapasan, di mana setiap kali dilakukan dua kali dari biasanya.

 Dalam Bantala Parwa yang dipelajari, hal inilah justru yang membuatnya bingung dan putus asa. Karena seolah latihan pernapasan mengulang, dan selalu dimulai dengan penolakan! Ternyata justru inilah intisarinya!

 Tenaga murni Upasara telah dikeluarkan hingga habis tuntas. Akan tetapi, sebenarnya dalam dirinya masih tersimpan penuh tenaga murni itu. Hanya saja, tenaga murni semacam ini tak bisa dipergunakan secara langsung. Harus diubah lebih dulu. Diubah menjadi tenaga murni yang bukan cadangan. Tenaga murni yang bukan simpanan.

 Itu pula sebabnya, seakan tenaga murni itu hanya bisa keluar pada saat maut nyaris merenggut! Karena pada saat seperti itu, secara tidak sadar tenaga dalam Menyimpan Nyawa bisa keluar. Dan mengetahui bahwa tenaga murni itu harus diubah lebih dulu, membuat Upasara sadar sepenuhnya.

 Bahkan kini tenaga dalamnya yang dulu bisa dihadirkan kembali!

 Tenaga murni yang tersimpan itu diubah menjadi tenaga murni yang bisa digunakan sewaktu-waktu. Dengan demikian tenaga murni yang sebenarnya tetap terjaga utuh. Ini yang disebut Paman Sepuh Bintulu sebagai cara melatih pernapasan Menyimpan Nyawa.

 Satu kata kunci saja, membuat Upasara bisa menemukan kembali tenaga dalamnya.

 Dan yang memberitahu, justru musuh besarnya. "Terima kasih atas penjelasan Paman Sepuh."

 "Edan


 "Selama ini aku mempelajari, menciptakan, ternyata sia-sia belaka. Bejujag itu masih bisa mengatasi."

 Upasara menyembah dengan hormat dan tulus.

 "Maafkan saya, Paman Sepuh, siapakah tokoh sakti yang selalu Paman Sepuh sebut sebagai Manusia Kurang Ajar?"

 "Siapa lagi kalau bukan Bejujag yang paling kurang ajar?"

 "Apakah... apakah... yang Paman Sepuh maksudkan Eyang Sepuh yang mendirikan Perguruan Awan?"

 Caping Bintulu bergoyang-goyang.

 "Bejujag itu menyukai nama kosong. Untuk apa kalian begitu menghormatinya dengan memakai sebutan Eyang Sepuh dengan nada begitu hormat? Ia tak lebih dari si Kurang Ajar yang tak tahu malu, mengakali ilmuku."

 Kali ini Upasara yang menghela napas berat.

 Seluruh tokoh di tanah Jawa begitu menghormati nama agung Eyang Sepuh—mulai dari penduduk biasa, para ksatria, pendeta, sampai dengan Raja—akan tetapi kini dengan enteng saja disebut Bejujag yang mencuri ilmu!

 "Paman Sepuh, tadi Paman Sepuh menyebut bertiga. Siapa tokoh yang bertiga?"

 "Edan.

 "Wulung, kenapa kamu memaksa aku mengingat nama manusia yang tak berbakat itu? Manusia yang lebih mementingkan duniawi daripada yang rohani. Manusia yang lebih mementingkan raga dibandingkan nyawa? Manusia yang lebih mementingkan nata atau kebangsawanan daripada dodot sebagai asal-usulnya sendiri?"

 Bagi Upasara, kini segalanya lebih jelas.

 Pada masa yang telah lama, ada tiga kaum dodot yang menjadi ksatria. Mereka bertiga ini kelak kemudian hari terkenal dengan nama yang harum. Yang paling kurang ajar, kemudian menjadi Eyang Sepuh, tokoh yang paling dihormati. Yang dianggap mementingkan keragaan, menjadi Mpu Raganata. Yang ketiga, atau yang pertama, adalah yang tak pernah dikenal selama ini. Yang sekarang dipanggil Upasara sebagai Paman Sepuh Bintulu.

 Ada benarnya, kalau diingat bahwa Eyang Sepuh yang kemudian mendirikan Perguruan Awan, dan Mpu Raganata yang mengabdi kepada Baginda Raja Sri Kertanegara.

 Agaknya Paman Sepuh Bintulu yang terus-menerus mempelajari dan menciptakan ilmu.

 Kalau benar begitu, kenapa sekarang muncul dari pertapaannya? Apa yang mampu menggerakkan?
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #47 on: 07/10/2010 14:27 »
(lanjutan)

 Janji di Tepi Kali Brantas

 Upasara gegetun sekali.

 Menyesal karena kini berhadapan dengan Paman Sepuh Bintulu, yang dalam sesaat membuatnya berada dalam posisi yang berlawanan. Sebagai tokoh tua yang dihormati, yang ternyata adalah tokoh seangkatan dengan Eyang Sepuh. Akan tetapi juga seorang tokoh ganas yang telah menewaskan Pak Toikromo serta Galih Kaliki.

 Upasara gegetun karena mau tidak mau ia akan berhadapan dengan Paman Sepuh.

 Namun agaknya Paman Sepuh seperti tak memedulikan itu semua.

 "Wulung, aku ingin menjajal ilmu Menyimpan Nyawa."

 "Maaf, Paman Sepuh."

 "Cuma aku sudah berjanji kepada si Bejujag dan kepada orang Keraton yang sebenarnya lebih pantas memakai dodot. Kami bertiga berjanji akan bertemu di tepi Kali Brantas sambil menunggu datangnya tetamu yang akan meramaikan pertemuan.

 "Edan.

 "Kalau murid Bejujag seperti kamu, apa murid-muridku bisa menghadapimu?"

 Upasara berpikir cepat.

 "Paman Sepuh juga mempunyai murid-murid?"

 "Bukan murid," suara Paman Sepuh menyesak. "Mereka orang edan tujuh turunan yang akan kusabet wajahnya!"

 "Maaf, bolehkah saya lancang bertanya, siapa murid dan sebutan Paman Sepuh?"

 Caping Paman Sepuh Bintulu bergoyang kembali.

 "Tadi kamu sudah memanggil Bintulu. Itu juga namaku. Kamu panggil Paman Sepuh, itu juga namaku.

 "Kenapa kamu meributkan nama?

 "Murid, aku tak tahu namanya. Aku cuma ingat kumisnya licik."

 "Apakah yang mempunyai gelar Ugrawe?"

 "Edan.

 "Bisa jadi."

 Sangat pantas sekali. Ugrawe sakti mandraguna dengan ilmu dan jurus-jurus Banjir Bandang Segara Asat, atau Banjir Bah Laut Kering. Ilmu yang menyedot tenaga dalam lawan. Selama ini asal-usul Ugrawe sangat gelap. Ternyata ia murid Paman Sepuh.

 Akan tetapi kalau disebutkan murid-murid, berarti ada yang lain.

 "Siapa murid Paman Sepuh yang lain?"

 "Edan.

 "Mana pernah aku mengingat nama?"

 Upasara menggigit bibirnya.

 Lalu dengan satu tarikan napas berat, Upasara berusaha menerangkan. Bahwa Eyang Sepuh kini telah tidak ketahuan kabar beritanya sejak menghilangkan diri. Bahwa Mpu Raganata telah gugur sewaktu pasukan Gelang-Gelang yang dipimpin Ugrawe dan Raja Muda Jayakatwang menyerbu Keraton Singasari. Dan Ugrawe sendiri telah gugur.

 "Tak mungkin.

 "Bejujag itu pasti akan muncul. Raga itu sudah jadi bangsawan, tapi masih akan datang. Kami sudah saling berjanji. Lagi pula akan datang ksatria lain. Mana mungkin mereka ingkar atau mati lebih dulu?

 "Wulung, kamu pikir kami belajar dan melatih diri untuk apa kalau tidak untuk pamer?"

 Berkelebat gambaran masa lampau tentang tiga pemuda, tiga ksatria yang sangat gandrung ilmu kanuragan. Masing-masing kemudian menciptakan ilmu yang menjadi tonggak seluruh ilmu silat yang ada.

 Paman Sepuh Bintulu .menciptakan apa yang kemudian dikenal sebagai Bantala Parwa. Sementara Eyang Sepuh lewat Perguruan Awan mengembangkan sebuah perguruan yang tetap memperlihatkan ciri-ciri kaum dodot, kaum hamba sahaya yang hidup larut bersama alam. Tonggak yang ditancapkan Eyang Sepuh adalah cara melatih pernapasan yang disebut oleh Paman Sepuh sebagai Menyimpan Nyawa. Ada banyak persamaan antara ilmu Bantala Parwa dan ilmu Menyimpan Nyawa.

 Sementara itu, Mpu Raganata lain lagi. Jalan hidupnya menjadi pengabdi raja, dan tetap mempunyai jarak dengan kekuasaan Keraton. Tonggak ciptaannya dalam ilmu kanuragan ialah ilmu Weruh Sadurunging Winarah.

 Dibandingkan dengan ilmu Bantala Parwa, memang dasar-dasar ilmu Weruh Sadurunging Winarah mempunyai perbedaan. Barangkali karena memang perjalanan nasib tokoh-tokoh yang menciptakan berlainan.

 Mestinya pada suatu hari mereka saling berjanji akan bertemu di tepi Kali Brantas. Untuk saling menguji. Dan di samping itu juga akan diundang datang para ksatria dari negeri seberang.

 Kalau Mpu Raganata secara jelas terlihat kehadirannya, dan Eyang Sepuh terasakan kehadirannya lewat Perguruan Awan, Paman Sepuh Bintulu mengasingkan diri dan terus melatih ilmu secara murni.

 Dan tak cukup tahu apa yang telah terjadi.

 Kalau dipikir-pikir, ketiga ksatria ini sangat aneh. Ilmu mereka begitu tinggi, pencarian mereka begitu mendalam, akan tetapi perjalanan hidup mereka sangat berbeda satu dari yang lain. Toh begitu akan saling bertemu.

 Upasara yakin, jika Eyang Sepuh masih ada, entah di mana, pasti akan muncul lagi!

 Apa pun keadaan dan tingkat keresiannya sekarang ini, Eyang Sepuh tak akan ingkar janji kepada sahabatnya di masa lalu.

 Upasara bisa mengerti kalau Paman Sepuh Bintulu menjadi orang yang mempunyai perangai aneh. Wajahnya yang hancur menjadi satu petunjuk hidupnya yang sengsara. Ditambah sekian puluh tahun tak pernah bergaul—dan mungkin sekali malah dikhianati oleh muridnya yang bernama Ugrawe—Paman Sepuh Bintulu menjadi tak begitu pedulian. Apa atau kenapa main bunuh saja.

 Kebetulan dua di antara korbannya adalah Pak Toikromo dan Galih Kaliki!

 Hal ini yang tak bisa dibiarkan oleh Upasara.

 Upasara tak meragukan sedikit pun bahwa Bantala Parwa adalah ciptaan Paman Sepuh Bintulu. Sekurangnya beliaulah yang menyusun dan menuliskan dalam klika. Dan kitab itu yang dicuri begitu saja oleh Ugrawe! Karena dunia luar mengetahui Kitab Bumi itu dari Ugrawe.

 Upasara sendiri mengenal Kitab Bumi dari Kawung Sen, yang mencuri dari Ugrawe. Sangat mungkin sekali Kitab Bumi ciptaan Paman Sepuh Bintulu mirip dengan yang dikembangkan Eyang Sepuh yang kemudian dikenal dengan jurus-jurus Tepukan Satu Tangan. Dengan perbedaan pokok pada cara pengaturan napas yang disebut Menyimpan Nyawa.

 Upasara juga gegetun karena sebab lain.

 Ilmu membuka tempat Menyimpan Nyawa diketahui justru setelah korban berjatuhan. Bukan sebelumnya!

 Inilah yang membuat gegetun. Nyawa Pak Toikromo tak bisa kembali lagi. Galih Kaliki tak mungkin hidup kembali.

 Upasara tenggelam dalam renungannya

 Siapa yang mengatur ini semua? Siapa yang meletakkan pada situasi yang menyayat ini?

 Apa sebenarnya yang dikehendaki Dewa Segala Dewa dengan jalan hidupnya sekarang ini?

 Ini masih harus ditambah dengan sejumlah pertanyaan lain. Siapa murid Paman Sepuh Bintulu yang setara dengan Ugrawe, yang selama ini tak dikenali? Apakah ia sama jahatnya dan malang melintang di dunia persilatan, ataukah masih menyembunyikan diri? Apa yang akan terjadi di tepi Kali Brantas jika ternyata yang muncul ksatria-ksatria dari tanah seberang? Menjadi pertarungan terakhir?

 Satu hal yang membuat Upasara terusik.

 Paman Sepuh Bintulu, Eyang Sepuh, maupun Mpu Raganata mengatakan berasal dari kaum dodot. Dari kelompok paminggir, yang juga berarti bukan anak-cucu langsung para raja. Sebenarnya dalam hal ini bisa disamakan dengan dirinya, dengan Paman Jaghana!

 Sekilas ingatan Upasara kembali ke Perguruan Awan.

 Dengan peraturan yang tegas, tak ada anak buah Perguruan Awan yang direstui menjadi prajurit atau senopati. Paman Wilanda adalah contoh utama. Ketika masuk sebagai prajurit, tidak dianggap sebagai warga Perguruan Awan lagi. Hanya karena suatu peristiwa yang memperlihatkan jiwa luhurnya dan keinginannya menjadi warga Perguruan Awan, Paman Wilanda bisa diterima kembali.

 Upasara sendiri bisa melihat dirinya berada dalam posisi yang berada di sisi sana dan di sisi sini sekaligus. Ia dibesarkan dalam lingkungan Keraton sejak lahir. Akan tetapi ia tetap dianggap kaum dodot, kaum hamba sahaya. Seumur-umur berada di Keraton, darahnya tetap tak bisa menjadi biru.

 Dan ini salah satu kegagalannya untuk mempersunting Gayatri yang sekarang menjadi permaisuri Raja Majapahit.

 Upasara baru menyadari bahwa Paman Sepuh Bintulu sudah lenyap entah sejak kapan.

 Ia menghela napas, bersemadi.

 Mengubah tenaga murni yang tersimpan menjadi tenaga murni yang bisa digunakan. Agar semua tenaga murni cadangan bisa semuanya secara leluasa dipergunakan. Dan ini berkat jasa petunjuk Paman Sepuh Bintulu, yang akan dilawannya!

***

 Mbalela, Dosa Utama

 PENGEMBALIAN tenaga murni Upasara tak mengalami kesulitan sedikit pun. Dengan memusatkan pikiran, Upasara mulai menjalin tenaga murni yang tersimpan.

 Semua urat tubuh dan lubang kulitnya meregang, seakan mengeluarkan asap putih. Mula-mula seperti dog amun-amun atau uap air di kejauhan, seperti fatamorgana. Makin lama makin tebal, menyelimuti tubuh Upasara.

 Dari jidat, seakan terlihat cahaya menurun ke sepanjang hidung, melebar ke arah samping. Pipinya merona, kemudian daun telinga, bibir, dan akhirnya seluruh wajah.

 Sementara dadanya tetap naik-turun dengan teratur.

 Semburat warna itu terus menurun dan menyebar ke seluruh anggota tubuh, hingga ke ujung jari tangan serta kaki. Kembali menggumpal, terpusat di pusar. Dan dengan mengendalikan jalan pikiran, tenaga itu bisa dikendalikan. Ke arah tangan, kaki, tersimpan di punggung. Aliran tenaga itu mengikuti kemauan Upasara. Ke mana pikirannya ditujukan, ke arah itulah tenaga tersalurkan.

 Selesai bersemadi, Upasara merasa rongga dadanya sangat lega. Perasaan segar seakan kembali dilahirkan dari kegelapan yang mengimpit.

 Apa yang dilakukan kemudian ialah menguburkan Galih Kaliki dengan rasa hormat, berdoa di depan gundukan tanahnya.

 "Kakang Galih... harap Kakang bisa tenang, untuk sementara Dewa yang Maha Menentukan. Saya akan selalu mengenang jiwa Kakang yang luhur dan jujur. Saya tak akan hidup tenteram sebelum membalas sakit hati Kakang.

 "Maafkan, saya akan meninggalkan Kakang untuk sementara. Untuk menyusuri Kali Brantas. Di sana semua dendam akan tuntas."

 Baru kemudian dengan perasaan sedikit lega, Upasara melanjutkan perjalanan. Agar tidak terlalu menarik perhatian, Upasara membungkus Kangkam Galih dengan tongkat yang telah pecah. Disatukan kembali dengan getah pohon. Meskipun tidak sempurna, akan tetapi untuk sementara terlihat seperti tongkat biasa.

 Dalam perjalanan kali ini, Upasara merasakan betapa bedanya sebagai manusia biasa dan sebagai pendekar silat. Jarak jauh tidak terlalu menjadi masalah. Perjalanan bukan sesuatu yang melelahkan. Bisa sekaligus melatih dan memperlancar tenaga pernapasan.

 Lebih dari itu semua, keadaan sekitar seperti dengan mudah bisa terjaga, bisa diawasi dengan sempurna. Dengan mudah Upasara bisa mengetahui pada jarak tertentu ada sepasukan prajurit atau setidaknya beberapa ksatria sedang melakukan perjalanan. Langkah dan tarikan napas mereka bisa dirasakan Upasara.

 Sungguh berbeda ketika tenaga simpanannya belum diubah.

 Saat itu bahkan tak mengetahui pertempuran-ah, tak bisa disebut pertempuran-lebih tepat pembunuhan atas diri Pak Toikromo. Upasara menyadari bahwa Paman Sepuh Bintulu bisa melakukan satu gerakan untuk menghancurkan rumah, pedati, dan menyobek tubuh Pak Toikromo. Jarak kemampuan dalam kanuragan antara Pak Toikromo dan Paman Sepuh Bintulu kelewat jauh.

 Kalau saja semua pemulihan tenaganya terjadi lebih awal!

 Kalau saja Paman Sepuh Bintulu bertemu dengannya lebih dulu!

 Akan tetapi dalam kehidupan ini, ada yang tak bisa bersandarkan kepada kalau saja. Justru karena sejak awalnya serba tak terjadi tanpa kalau saja.

 Bukankah Paman Sepuh Bintulu bisa bersikap manis kepada Pak Toikromo, misalnya meminta makanan? Kalau saja perjalanan hidup Paman Sepuh Bintulu tak begitu pahit, ia tak akan main bunuh seenaknya.

 Tak lebih dua puluh kali tarikan napas, Upasara merasakan bahwa suara prajurit makin terdengar jelas. Upasara berusaha menghindar. Mencari jalan lain, karena tak ingin mengganggu dan terganggu. Pikirannya hanyalah mencari tepi Kali Brantas untuk mengadakan perhitungan, dan barangkali bisa lebih terbuka mengenai siapa-siapa yang akan datang.

***
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #48 on: 07/10/2010 15:57 »
satu kalimat yang saya sangat terkesan dari buku Senopati Pamungkas adalah ini:

"Keutamaan dalam mempelajari ilmu silat, sebenarnya bukanlah sekadar menghafal gerakan atau cara berlatih napas untuk menghimpun tenaga.

Akan tetapi, lebih dari semua itu adalah menyelami kearifan yang tertulis atau tersembunyi dalam baris-baris kidungan. Itulah sesungguhnya inti, sukma ajaran silat."


salam.
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

ajigineng

  • Anggota Tetap
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 4
  • Posts: 73
  • Reputation: 8
    • Email
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #49 on: 07/10/2010 16:44 »
saya geram sama upasara disini.....(emosi heheh) kebenran tidak selalu menurut yg kita rasakan benar....dengan menghilangkan ilmunya  dia tidak bisa berbuat apa apa sehingga sampai hilang nyawa orang karena kelalainya..  toh akhirnya dia menggali dan mengembangkan lagi ilmunya setelah terpojokan oleh keadaan....nasi sdh menjadi bubur..disinilah proses pendewasaan upasara meningkat "eling lan waspodo" merasuki seluruh persendianya..... elingterhadap apa yg menjadi tanggung jawabya baik dengan sang pencipta pun dengan sesama dan ciptan-Nya....waspada terhadap segala tanda2, bahasa alam(wahyu,kata hati,nuluri) yang dia terima baik dr sang pencipta maupun ibu pertiwi...untuk meneruskan.."laku" dia sampai pada titik.." bali awor sih marang Gusti Ingkang Maha Suci"..
mengenai bangkitnya enrgi dr dlam tubuh upasara..menurut saya inilah energi ilahi/zat hidup yg ada di dalam tubuh kita....tentunya ini tidak bisa hilang ..hilangnya ya kalu mati...tetapi energi ini juga tdk bisa digunakan
semau gue tampa melatihnya dengan benar dan "sing pener", atau tampa
password....

@mas mpcrb...tdk harus berjodoh mas.... hanya niat dan ketekunan saja .... suami2 yg dikatakan berjodoh dengan istrinyapun..masih suka selingkuh mas..ehehheheh....nah saat ini kita2 inimasih suka selingkuh dengan bule2,amoy2 yang putih kenyes2 dan mengairahkan.... padahal cewek madura tidak kalah kuwalitasnya.....hanya bedanya cewek madura kulitnya kuning/coklat....gak menarik mas....nah kebetulan yg suak ama kilt2 berwarna ini bule2 itu mas....hihiihi keslahan ada pada mata..nih (mata uang,mata pencaharian) heheheh...nah kalu di bedakin,dilulurin sehingga kulitnya jd putih penampilanya trendy,gaya,modis..elegan dan smart...tampa menghilangkan jati dirinya....ini akan menarik pemuda2 kita deh...

ajigineng

  • Anggota Tetap
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 4
  • Posts: 73
  • Reputation: 8
    • Email
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #50 on: 07/10/2010 16:59 »
@mas mpcrb...bahfa buykan hanya menhpalakan gerak atau tata nafas ..tetapi sangta penting memyelami kearifan..yg tersirat di dlm kidung2.... itulah mas...maka saya sagak menyayangan kalu saat ini kebanyakan kita hanya selalu mengumbar vidio2 gerak ,tata nafas seolah kita sagat bga ditotonton oleh bayak orang..padahal kita sedang di "telanjangi"....jarang sekali yang menapilakn atau mewartakan filosofi2 dr perguruan , agar orang tahu bahwa silat ini tidak hanya gedubrak-gedabruk...tetapi memilki ajaran ahlak yag tinggi sebagi warisan nenek moyang dan leluhur bangsa ini......

samber gledek

  • Anggota Senior
  • ****
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 4
  • Posts: 462
  • Reputation: 35
    • Email
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #51 on: 07/10/2010 17:06 »
lain memang kalau para pakar yang bertutur. Sarat dengan makna . he...he..

Salam

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #52 on: 07/10/2010 17:22 »
saya geram sama upasara disini.....(emosi heheh) kebenran tidak selalu menurut yg kita rasakan benar....dengan menghilangkan ilmunya  dia tidak bisa berbuat apa apa sehingga sampai hilang nyawa orang karena kelalainya..  toh akhirnya dia menggali dan mengembangkan lagi ilmunya setelah terpojokan oleh keadaan....nasi sdh menjadi bubur..

Hal itu menurut saya wajar mas. Terkadang manusia mengalami pergolakan batin ketika mempelajari sesuatu. Apalagi, dikatakan kalau ketika ia mempelajari Kitab Bumi, lalu mempelajari Penolak Kitab Bumi, batinnya terjadi peperangan. Peperangan pengetahuan, peperangan kebijaksanaan, keilmuan sehingga saking tidak tercapainya solusi, maka dibuatlah solusi extreem dengan meninggalkan semua keilmuan, semua tenaga dalam. Saya memahami ini sebagai suatu perjalanan hidup, suatu jalan yang ditempuh yang kadang menimbulkan korban. Bisa korban waktu, korban pikiran, korban tenaga, atau nyawa. Ia gagal dalam laku batin untuk memahami dua kitab tersebut ditambah lagi pergolakan pengalaman yang kurang menyenangkan seperti mencintai wanita yang juga ingin dinikahi raja (cinta tak bersambut), dan banyak lagi. Sehingga jalan satu-satunya adalah dengan membuang semuanya.

Memang begitulah yang juga sering kita alami ketika mengalami pergolakan batin. Apapun keputusannya pasti ada konsekwensinya.

salam.
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #53 on: 07/10/2010 17:33 »
@mas mpcrb...bahfa buykan hanya menhpalakan gerak atau tata nafas ..tetapi sangta penting memyelami kearifan..yg tersirat di dlm kidung2.... itulah mas...maka saya sagak menyayangan kalu saat ini kebanyakan kita hanya selalu mengumbar vidio2 gerak ,tata nafas seolah kita sagat bga ditotonton oleh bayak orang..padahal kita sedang di "telanjangi"....jarang sekali yang menapilakn atau mewartakan filosofi2 dr perguruan , agar orang tahu bahwa silat ini tidak hanya gedubrak-gedabruk...tetapi memilki ajaran ahlak yag tinggi sebagi warisan nenek moyang dan leluhur bangsa ini......

Ini sangat benar sekaligus juga yang menurut saya sangat dilematis. :(

Silat memang mengajarkan praktisinya untuk (cenderung) menjadi 'soft' meskipun yang dipelajari adalah seni membunuh. Tapi terbelenggu pada kondisi terlalu 'tradisional' juga tidak baik di dalam pelestarian silat. Sudah ada contoh silat yang di Indonesia sudah tidak ada lagi, tapi di luar sana malah ada. Banyak juga dari silat tradisional yang mulai runtuh ditelan perkembangan gelombang budaya zaman.

Di saat sekarang, anak-anak sekolah sudah sangat dicekoki dengan olahpikir logis, logika-logika kritis, membiasakan untuk diskusi, terkadang panas, dan boleh mengkritisi, bahkan sering kali diganggap tidak sopan. Hal ini akan berbenturan dengan filosofi silat dimana faktor 'laku' menjadi penting, faktor penanaman filosofi, faktor tolok ukur hati (roso, rumengso). Dimanakah menariknya aspek filosofi silat dibanding aspek kecanggihan teknologi? Filosofi silat juga menurut saya adalah 'teknologi' dalam bentuknya yang lain. Tapi ia bisa jadi kurang menarik dibandingkan teknologi modern. Bukan salah filosofinya, tapi bisa jadi karena 'wujud' penggambarannya yang tidak semenarik teknologi. Berbicara beladiri, yang menarik adalah aspek fight karena bahkan orang bodohpun bisa melihat dan memberikan penilaian. Filosofi hanya bisa direnungkan oleh mereka-mereka yang berpikir. Tanpa adanya proses berpikir, hal itu jelas sangat sulit. Apalagi, bombardir teknologi modern di abad ini sangat deras dibanding bombardir 'teknologi' filosofi keilmuan silat. Di abad sekarang, masyarakat muda dididik untuk berpikir seperti ilmuwan, seperti scientist. Sehingga terkadang, ketika mulai belajar keilmuan silat tradisional, jiwanya menolak (karena sejak bertahun-tahun di masa sekolah selalu diajarkan logika kritis). Lucunya, ini paradox dengan kondisi zaman yang (katanya) sarat dengan logika berpikir modern. Pada kenyataannya masyarakat logis 'cetakan' dari ilmu pengetahuan modern malah terkadang tidak rasional dalam bertindak. Pendidikan logika-logika kritis tidak dibarengi dengan aspek humanis. Betapa banyak kegagalan sistem modern buatan manusia bukan karena kegagalan teknologi, tapi kegagalan aspek humanis. Ketidakseimbangan ini diperparah dengan tontonan-tontontan media yang lebih sering menunjukkan kekerasan, pembunuhan sadis (tapi kalau menunjukkan aspek sadis pada silat malah dilarang), dan kekerasan-kekerasan lainnya.

Kalau sudah begini, metode penyampaian filosofi harus sudah diubah agar bisa sesuai dengan konteks dimana zaman itu berada. Konsekwensinya tentu akan mereduksi makna silat itu sendiri.

salam.
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

parewa

  • Administrator
  • Calon Pendekar
  • *****
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 6
  • Posts: 601
  • Reputation: 50
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #54 on: 07/10/2010 19:08 »
Senangnya hati baca ss.com...... 8) [[peace2]]
Dari novel silat bisa menjadi diskusi yg sangat berbobot...... [top] [top] [top]
Salut untuk mas mpcrb dan mas ajigineng..... GRP melayang deh...... [top] [top] [top]

Salam.



« Last Edit: 07/10/2010 19:10 by parewa »

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #55 on: 08/10/2010 00:18 »
terima kasih GRP-nya kang, mungkin lebih tepatnya buat kang ajigineng dengan penjelasannya yang sangat dalam pada makna.  [top]

Inilah kenyataan kita sekarang. Anak-akan sekarang, lebih banyak olahpikir dibanding olahraga (apalagi olahrasa). Coba kita ajak anak kita buat latihan, ada aja alesannya. Coba deh ajak main ke Timezone, main Playstation, dijamin langsung ngacir. :)

Lingkungan, disukai atau tidak, telah membentuk pola pikir demikian. Diajari untuk olahpikir, tapi kenyataannya lelaku, tindakan, mereka sering tidak rasional. Tapi kalau diajari olahrasa, mereka akan pikir-pikir dulu. Inilah kondisi wolak-waliking jaman, kebolak-balik. Menempatkan posisi yang tidak semestinya hanya karena ingin berada pada kondisi 'aman'. Olahpikir lebih bisa membuat kondisi 'having fun' buat mereka. Dan ini kurang bisa di dapat pada silat. Sisi 'having fun' inilah yang mungkin bisa digali.

Dulu, mainan anak-anak jawa sarat dengan aspek filosofis, olahraga, dan beberapa malah mengarah pada kanuragan. Tapi sekarang? Bahkan orang Keraton sendiri sudah mulai melupakan jenis mainan anak seperti itu. Bentengan, gobak sodor, tokle, lumbungan, dsb, sudah jangan harap bisa kita lihat lagi sekarang. Kalaupun ada, mungkin 1 diantara 1 juta anak yang masih memainkannya dengan aktif. Arahnya sudah bergeser. Menghadirkan lagi bentuk seperti itu, dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Disinilah sebenarnya tantangannya.

Ramainya MMA diminati adalah karena ia sangat realistis, sarat dengan aspek praktis. Begitu latihan beberapa kali, sudah bisa membawa 'oleh-oleh' yakni teknik bertarung. Ya, meski baru kulitnya, tapi mereka tidak peduli. Sedangkan 'oleh-oleh' dari silat belum terasa. Kalau dibilang akan mendapat sehat, tentu MMA juga sama. Fitness juga dapet sehat. Ngapain harus silat? Aspek-aspek ini kurang bisa digarap 'cantik' di dalam silat. Tidak heran banyak produser luar yang tidak tertarik untuk menggarap silat secara ekslusif seperti halnya KungFu dan Karate. Bukan berarti tidak ada. Secara isi, silat sangat matang dan lengkap, tapi terkadang 'bungkusnya' lecek sehingga orang yang sedari kecil sudah dicekoki dengan aspek-aspek logis kritis, menganggapnya remeh. Yang beruntung hanya yang berjodoh. Tapi kalau jodoh tidak kunjung datang, berarti kepunahan siap menghadang. Salah siapa kalau sudah begini?

Dunia terhentak menyaksikan film Ong Bak, Chocholate. Bahkan sequel-nya dibuat lagi dengan Ong Bak 2. Sisi praktis aspek fight dari Muay Thai benar-benar keluar dan mengguncang. PaddlePop membuat versi Kombatei untuk Ninjutsu, KungFu, dan ThaiBoxing. Pasti ada pertimbangan. Tidak apalah, kita lupakan saja hal itu.

Yang masih segar dalam ingatan kita adalah 'turun gunungnya' para biksu Shaolin untuk melakukan demonstrasi dan peragaan di banyak negara (termasuk Indonesia) beberapa tahun yang lalu. Pertunjukan dikemas sangat baik, menampilkan keragaman gerakan, jurus, teknik chi, aplikasi chi, pematahan benda keras, kekuatan raga, dsb. Responnya sangat positif, reaksi masyarakat sangat bagus. Apa mungkin silat bisa melakukan hal yang sama seperti 'turun gunungnya' Shaolin?

Saya masih ingat, dulu senior selalu memberikan wejangan untuk 'lelaku', kerjakan dulu, kalau mentok, barulah nanti bertanya. Tapi anak zaman sekarang kebalik, malah nanya-nanya dulu, ngerjainnya belakangan. Apalagi kalau jawabannya nyerempet2 ke arah bukan akal, maka dianggap klenik. Semakin rasional mereka berpikir, semakin silat menjadi (cenderung) terpinggirkan. Jika kang ajigineng mengatakan kalau silat adalah kasunyatan, itu memang benar, tapi itu tidak bisa 'dilihat' oleh anak zaman sekarang. Sehingga tidak heran kecenderungan silat menjadi kurang diminati menjadi semakin terasa. Mengangkat aspek realistis dari silat inilah yang akan membuat lebih menarik sekaligus yang bikin serba salah.

Bagaimana meramu konsep sehingga silat terlihat sebagai 'jalan' dan bukan sebagai 'alat', itu yang kemudian jadi pemikiran saya pribadi. Bentuknya yang paling afdol jelas film. Dunia menjadi terbuka matanya dengan filosofi KungFu setelah David Caradine bermain pada film serial KungFu. Ia dikisahkan bertualang dari satu tempat ke tempat lain, sambil membawa falsafah KungFu yang diterapkan pada kehidupan sehari-hari. Sangat realistis dan bagus sekali. Masalahnya, siapa yang mau mengangkat tema ini pada silat? Akhirnya balik pada masalah klasik, masalah pendanaan. Kalau tidak menjual, orang tidak mau mendanai. Kalau tidak prospek, orang tidak mau melirik.

Saya pribadi selalu mengatakan kalau mendobrak ini, sama halnya mendobrak pakem. Bahkan National Geographic yang mengangkat KungFu melalui wawancara dengan para guru-guru KungFu juga merasakan demikian. Tujuan anak-anak belajar KungFu tidak sama seperti dulu, untuk masuk pada aspek moral, aspek filosofis, menuju pencapaian kesalehan pribadi. Kebanyakannya malah ingin menjadi artis, main film terkenal, dan menjadi kaya. Akhirnya sekolah kungfu nasional yang didirikan hanyalah sebagai tempat 'koleksi jurus' dan 'koleksi sertifikat'. Ruhnya hilang, otomatis esensi kungfunya juga jadi hilang. KungFu yang dipelajari tidak bedanya sebagai 'alat', bukan 'jalan'. Tidak beda dengan pistol, senapan, kayu, batu. Sudah kehilangan 'ruh'. Sudah tidak adanya 'donatur' tetap entah tuan tanah, cukong, atau sejenisnya, membuat para guru KungFu harus bekerja menghidupi dirinya dan perguruannya. Tidak jarang, menarik anggota sebesar-besarnya. Kualitas dinomorduakan. Kalau sudah begini, ya tentu nilai filosofis akan termarginalkan dengan sendirinya.

Kita sepakat kalau silat memang tidak akan hilang dari bumi ini, tapi bisa jadi silat hilang dari lingkungan kita, dari negeri kita. Contoh nyata sudah terasa. Apakah perguruan kita berikutnya? Wallahualam... semoga jangan...

salam.
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #56 on: 14/10/2010 12:42 »
Back to topik (SS dan TT).

Di dalam buku Tembang Tanahair, ada percakapan menarik antara Adipati Kedhe dan Racek di suatu gua. Sarat juga dengan makna silat.

Saya mulai..

***

"Saya tak tahu persis, apakah ada aturan tertentu bagaimana cara membaca coretan pada dinding gua itu. Hanya rasanya, tokoh sakti yang menamakan dirinya Dewa Maut mencoret sekenanya saja. Satu bagian di dinding ini, satu bagian berikutnya di dinding yagn lainnya, dan bagian ketiga di dekat lorong pertama.

Sebenarnya secara tidak langsung kamu sudah mempelajarinya. Sudah mengetahui dari awal hingga akhir apa yang dicoretkan disini. Mempelajari begitu saja, sebagimana KUmbakarna melatih tenaga dalam dengan tidur. Dewa menilai sebagai tapa, dan ingin memberikan karunia, tapi Kumbakarna menolak. Karena merasa tidak bertapa dan tidak meminta sesuatu.

Racek, dalam ilmu silat, seperti yang kamu lihat dalam peperangan, dalam pertarungan, dalam perkelahian, intinya selalu sama. Mengerahkan tenaga, berusaha melebihi tenaga lawan.

Tenaga itu bisa dibagi dua.
Yaitu tenaga dalam.
Dan tenaga luar."
"Ya."
"Sejauh yang saya ketahui seseorang yang menciptakan sendiri ajaran ilmu silatnya selalu memakai kasatmata, yang terlihat oleh mata.

Ada bentuk wadag, ada wujudnya.

Memakai pengerahan tenaga bumi, tenaga air, tenaga seekor singa, seekor burung, dan lain sebagainya.

Kecuali barangkali tenaga dalam yang diciptakan Ksatria Lelananging Jagat, yaitu tenaga Tanahair. Meskipun demikian, sejauh yang pernah didengar, pengertian Tanahair itu sendiri juga diwujudkan dalam bentuk yang wadag.

Dalam gua ini, yang kemudian disebut Gua Mata, Dewa Maut yang sakti memakai bentuk nyata mata.

Itulah sebabnya di bagian awal, diberitahukan mengenai pengertian-pengertian. Kita hanya menangkap satu pengertian, yaitu melihat. Akan tetapi Dewa Maut bisa mengurai perbedaannya menjadi melotot, mencicil, mendelik, melirik, meliling, seperti melihat pada bayi, dan gerakan yang ada dalam lirik yang dituliskan.

Semua akan ada artinya dalam pengerahan tenaga dalam. Tenaga untuk ngliling, berbeda dengan tenaga untuk melirik. Demikian juga yang lainnya.

Begitu juga halnya dengan pemusatan tenaga, sebagai inti untuk dikerahkan. Dewa Maut merinci pengerahan tenaga itu seperti bentuk mata.

Bagian mana yang tepat untuk dikerahkan, sangat tergantung pada dengan siapa kita berhadapan.

"Bagaimana dengan gerakan tangan atau yang dinamakan jurus?", tanya Racek.

"Dewa Maut tidak menjelaskan. Yang diterangkan hanyalah asal tenaga dan bagaimana menyalurkannya. Gerakannya bisa apa saja, atau jurus yang mana saja.", jawab Adipati Kedhe.

"Bisa kamu sendiri yang menentukan. Bukankah ketika saya muntah darah kamu bisa membopong dan merangkul? Bukankah tanpa mempelajari lebih dulu kamu bisa menendang?.

Nyatanya bisa.", lanjut Kedhe.

"Bagi yang menguasai tenaga dalam, tidak ada bedanya antara ada kembangan atau tidak ada kembangan.

Tidak ada bedanya antara ada jurus atau tidak ada jurus.

Yang punya jurus bisa sulit menghadapi yang tidak punya jurus. Seperti kamu ini.

Pada akhirnya akan mengikuti kreteg hati. Menjadi sederhana di ujungnya."

Racek mengangguk, "Saya masih belum mengerti".

"Tidak apa-apa Racek. Kamu begitu polos, begitu murni, tidak heran, kamu lebih bisa memahami tenaga dalam dibanding jurus.", lanjut Kedhe.

***
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

ajigineng

  • Anggota Tetap
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 4
  • Posts: 73
  • Reputation: 8
    • Email
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #57 on: 14/10/2010 17:39 »
wah...memang dlm dialog ini serat dengan makna bgaimana orang harus mempelajari sebuah keilmuaan...ada yg menurut pakemnya ada yang tdk menurut pakem..yang menurut pakem...terlebih dahulu manyiapak wadah/raga dengan berlatih jurus,kmd berlatih olah napas,kemudian olah rasa dan olah batiniahnya....yg tidakmenurut pakem bisa berlatih batiniahnya dulu, olah rasanya dulu atau hanya olah jurusnya dulau..... yg menjadi benang merahnya adalah...olah napas.... dimana ketikan orang mumpuni didlam olah napas walu tdk memiliki jurus tetap bisa menendang dan memukul dan hasilnya bisa berbahaya,...sedang orang yg berlatih olah gerak.jurus otomatis secratdk langsung nalurinya juga latihan napas...(ini yg terkadang kita tdk menyadari) misalkan silat kampung2 kalu ditanya apa ada ajaran ilmu TD..dijawab tidak..tetapi ketika mengerkan jurus mereka mengambil napas terus menahanya dan bergerak jurus..baru keluar setelah selesai..ini belajar jurus plus TD...dan pada akhirnya bagi orang awam yg tdk didasari oleh keilmuan dia akan bergerak menurut nalurinya....ketika berhadapan dengan bahaya dll....dalambahsa jawa=krenteke ati....
Nah akan lebih baik semua didasari dengan sutau kesadran pribadi..bahwa mempelajari sesutu sebaiknya memilik dasar pengetahuan,kalu tidakmemiliki ya akan dapat dari guru,kalu tidak ada guru ya akan dapat dr guru sejati kalu tidak ada guru sejati..bergurulah pada Allah.....

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #58 on: 14/10/2010 22:31 »
Benar sekali mas :)

Itulah sebabnya kenapa saya hanya memilih bab-bab tertentu atau percakapan-percakapan tertentu pada SP dan TT yang memang ada kaitannya dengan silat di dunia nyata. Agar memang bisa diambil makna dan didiskusikan untuk menjadi manfaat pembaca SS semua.

Inti dari kisah tersebut adalah dalam mempelajari sesuatu harus ada dasar pengetahuan. Sisi mana yang diambil, bergantung para karakteristik. Disini mulai ada perbedaan. Dimana Adipati Kedhe disimbolkan sebagai orang yang belajar gerak/jurus terlebih dahulu, baru tenaga dalam melalui olah nafas. Sedangkan Racek, belajar tenaga dalam dulu baru kemudian dikenalkan dengan jurus. Dua proses pembelajaran yang berbeda, tetapi menuju ke suatu jalan yang sama.

Proses mersudi yang berlainan, tapi mengarah pada hasil akhir yang hampir sama. Ada yang sangat berbakat menguasai gerak/jurus, tapi lemah olahrasa. Ada juga yang sebaliknya. Pada akhirnya, kembali kepada nafas, kembali kepada rasa, pada roso. Kalau sudah masuk pada tahap roso, tidak ada bedanya antara yang mengerti jurus dan yang kurang mengerti jurus. Pada akhirnya mengarah pada kesederhanaan. Ini benar sekali.

Kepolosan hati, ketulusan hati, sangat diperlukan di dalam berlatih olahrasa. Karena mereka yang hatinya lebih murni, lebih mudah menyerap pengetahuan mengenai olahrasa. Disimbolkan oleh Racek, yang seumur hidupnya tidak pernah mengenal ilmu silat, tetapi memiliki teknik tenaga dalam yang cukup hebat hanya karena ia belajar begitu saja, mengalir begitu saja, tidak punya ambisi, tidak berniat jadi hebat. Ia yang tidak berniat bisa malah jadi bisa. Ia yang tidak berniat menguasai, malah bisa menguasai. Jernih, polos, tulus, lepas, murni.

Kedua karakteristik ini terjadi disekeliling kita. Sebagian menyadarinya, sebagian tidak.

salam.
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

harunhdr

  • Anggota Tetap
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 0
  • Posts: 53
  • Reputation: 26
    • Email
  • Perguruan: Kateda
Re: Senopati Pamungkas dan Tembang Tanahair
« Reply #59 on: 15/08/2011 07:06 »
Luar biasa dalamnya khasanah silat di tanah air ini. Adakah novel sejenis yang mengangkat silat sebagai acuannya ? Terutama dari wilayah selain Jawa.

 

Powered by EzPortal