Berikut ini cerita yang sama menariknya, yakni ketika Upasara Wulung bertemu dengan pencipta keilmuan yang selama ini dia pelajari dari Kitab Bumi. Dengan kata lain, Upasara Wulung bertemu dengan pencipta kitab bumi. Bab ini juga sangat sarat makna. Silahkan dinikmati....
***
Bejujag, Tokoh Paling Kurang Ajar
UPASARA berkeringat dingin.
Dalam detik-detik terakhir, tubuhnya meringkuk dengan kedua tangan berusaha melindungi. Kesiuran angin sangat tajam merobek. Gerakan Upasara adalah gerakan seadanya, sebisanya seperti perlindungan diri terakhir.
Bahkan kedua matanya tertutup.
Terdengar suara keras, dan pohon mangga di sebelahnya roboh, terpotong melintang dari satu sisi kanan ke kiri bawah!
Pohon mangga saja terbelah terkena kesiuran angin tongkat penggiring bebek Bintulu!
"Ilmu iblis apa yang kamu mainkan, Wulung?"
Dalam nada geram, terdengar juga kesan kagum.
Upasara sendiri tak bisa menjawab segera. Tak bisa menerangkan dengan jelas. Bahwa dari tubuhnya masih bisa keluar tenaga murni Bantala Parwa. Tenaga dalam yang sudah dimusnahkan itu ternyata masih tersimpan, dan secara tiba-tiba muncrat keluar, berhasil menangkis kesiuran angin maut Bintulu.
Bahwa inti tenaga murni Penolak Bumi adalah bersifat tenaga tumbal, tenaga yang muncul untuk mementahkan dan mengenyahkan serangan yang mengancam, Upasara sadar. Akan tetapi ternyata tenaga itu sekarang ini tak sepenuhnya bisa dikuasai. Tenaga murni itu mengalir dengan sendirinya!
Karena sebelum keluar, Upasara telah sungsang-sumbel dan hampir saja binasa. Toh tak bisa keluar.
Upasara bercekat.
Tubuhnya basah oleh keringat.
Sesaat tadi, ia merasa kematian telah datang menjemput secara paksa. Untuk pertama kalinya, Upasara merasa enggan menerima kematian. Saat ini berbeda dari saat ia membuang tenaga dalamnya, berbeda dari ketika Nyai Demang mengamuk. Upasara merasa masih ada ganjalan untuk meninggal.
Masih ingin membalas dendam kematian Pak Toikromo!
Ataukah perasaan ini yang membuat tenaga murni muncul tak terduga? Rasanya tak mungkin juga. Karena kini, ketika Upasara mencoba mengerahkan kembali, malah dadanya yang terasa sakit.
Kalau tenaga murni macet, kematiannya hanyalah soal waktu. Maka Upasara menjadi bercekat, tubuhnya berkeringat, seolah sedang menghadapi malaikat maut.
"Ilmu bisa menjadi iblis bisa menjadi dewa, tak perlu ditanyakan."
"Siapa gurumu?"
"Sudah saya katakan, saya adalah murid Ngabehi Pandu yang terhormat, senopati Keraton Singasari. Teman baik yang terhormat Mpu Raganata, sahabat erat Eyang Sepuh."
Upasara sengaja menyebut nama tokoh-tokoh besar, agar Bintulu tak menjadi ganas karenanya. Karena dengan mendengar nama-nama besar itu, bisa mengingatkan akan sesuatu. Perhitungan Upasara, sekali lagi, berdasarkan dugaan bahwa Bintulu adalah tokoh sakti angkatan tua yang kembali.
Dugaan itu benar, akan tetapi Bintulu tetap menggelengkan kepala.
"Mana aku kenal nama cecunguk-cecunguk itu?
"Tapi aku bisa memaksamu mengatakan siapa sebenarnya."
Bintulu menggenggam tongkat kurusnya.
"Begitu sombong Paman Bintulu menyebut dengan kata kotor pada pendiri Nirada Manggala!"
Kali ini upaya Upasara menemukan hasilnya. Kalau nama Eyang Sepuh, Mpu Raganata maupun Ngabehi Pandu tak dikenali, nama Perguruan Awan ternyata membuat Bintulu menahan napas sejenak.
"Apa hubunganmu dengan si Bejujag itu?"
Upasara tak tahu siapa yang dimaksudkan dengan si Bejujag, yang bisa diartikan sebagai seorang yang kurang ajar. Jangan-jangan salah satu nama yang bisa dihubungkan dengan pendiri Perguruan Awan. Dan itu bisa berarti...
"Kalau memang kamu murid si Bejujag dan sengaja mau mengintip ilmu Tongkat Penggiring Bebek, inilah kesempatan terbaik. Aku akan membunuhmu dalam satu gerakan."
Ternyata tetap saja niat Bintulu untuk membunuh!
"Tak perlu main sembunyi."
Belum Upasara mengerti sepenuhnya, sesosok bayangan telah muncul sambil mengertakkan gigi dan mengayunkan tongkatnya secara keras.
"Kakang Galih!"
Teriakan Upasara lebih mencerminkan nada kuatir dibandingkan kegembiraan.
Karena Upasara menyadari bahwa Galih Kaliki yang suka menyerang secara sembrono bisa menghadapi bahaya melawan Bintulu yang mampu memainkan tongkat kurusnya.
Gebukan tongkat galih asam ke arah caping Bintulu tak dihiraukan. Hanya tongkat penggiring bebek disebatkan untuk menangkis.
Tongkat kurus bagai bambu yang sedang tumbuh menghadapi tongkat perkasa dari hati pohon asam.
Luar biasa!
Upasara seakan tak percaya pada matanya.
Bahkan Galih Kaliki melongo.
Tongkat galih asam terpotong di bagian ujungnya. Terpotong dengan goresan miring!
Inilah yang tak dinyana tak disangka.
Tongkat galih asam sudah lama malang melintang di dunia persilatan. Puluhan atau ratusan kali diadu dengan segala senjata tajam pilihan. Akan tetapi selama ini tak pernah mengalami lecet sekali pun. Maka sungguh tak terbayangkan, hanya dengan sekali sabetan, tongkat perkasa itu somplak!
Tenaga ajaib macam apa yang dimiliki dalam diri Bintulu dengan tongkat penggiring bebek, yang kelihatannya terayun-ayun terguncang angin?
"Kakang Galih... tahan"
Jeritan Upasara terlambat. Galih Kaliki telah mengeprukkan tongkat ke arah caping Bintulu untuk kedua kalinya. Kali ini dengan tenaga penuh.
Bintulu menggenggam tongkat penggiring bebek dengan dua tangan dan tubuhnya berputar keras. Cepat sekali. Upasara sampai mundur terdesak oleh angin.
Tongkat galih asam membentur tongkat penggiring bebek untuk kedua kalinya. Upasara menahan getaran dalam tubuhnya.
Tongkat galih asam somplak, terlempar ke udara dan jatuh di dekat tubuh Galih Kaliki yang juga ambruk. Pada sebelah kanan dadanya terlihat goresan yang dalam hingga ke pangkal paha sebelah kiri. Luka menganga dan seakan terlihat tulang-tulang tubuh Galih Kaliki yang dilewati sabetan tongkat kurus itu terputus.
Ajal Galih Kaliki telah sampai sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Sebelum sempat bertegur sapa dengan Upasara!
Alis mata Upasara bersatu. Seluruh darahnya seakan mengalir ke wajah. Darah dendam kesumat membahana. Tangannya gemetar meraih tongkat galih asam yang telah somplak.
"Hmmm, jadi si Bejujag itu menyembunyikan kangkam dalam galih?" Baru sekarang Upasara sadar bahwa tongkat yang selama ini dipergunakan oleh Galih Kaliki adalah sarung pedang! Pedang hitam yang tipis. Kangkam Galih yang agaknya dikenali oleh Bintulu!
Seumur hidupnya Galih Kaliki tak pernah mengetahui hal ini. Bahkan tak akan percaya andai diberitahu bahwa tongkat andalannya ini sebenarnya hanyalah sarung pedang! Warangka.
Upasara tak banyak berpikir. Kedua tangannya menggenggam Kangkam Galih dengan pandangan bulat.
"Apa pun yang kamu katakan, aku siap menuntut balas kematian orangtua dan kakangku."
"Edan. Hari ini aku membunuh dengan perasaan senang."
Bintulu bergerak. Upasara tak melihat gerakan, hanya merasakan angin tajam menerjang keras ke arahnya. Dengan sepenuh tenaga, Upasara mengangkat tongkat Kangkam Galih—pedang yang tersimpan dalam galih— untuk menangkis dan menerjang.
Akan tetapi karena tenaganya kurang tersalur sempurna, di samping pedang tipis hitam itu sangat berat, Upasara menjadi sempoyongan. Tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya justru terbanting sebelum langkah ketiga!
Bintulu mengeluarkan teriakan dingin sambil meloncat tinggi!
Agaknya tak menduga bahwa Upasara melakukan gerakan yang tak sepenuhnya dikuasai dan disadarinya. Nyatanya memang begitu.
Sewaktu menangkis tadi, Upasara menggerakkan pedang dengan serangan yang masih bisa dihafal dan diketahui. Hanya karena tenaga dalamnya tak terkuasai, tenaga membawa pedang hitam itu membuatnya terhuyung jatuh. Akan tetapi di luar dugaannya, justru sewaktu tubuhnya akan menyentuh tanah ada tenaga menolak yang membuat Upasara tegak.
Begitu tegak, Upasara berniat menyerang kembali. Akan tetapi kejadian berulang. Tubuhnya terseret oleh tenaga Kangkam Galih. Sehingga makin limbung.
Agaknya justru ini yang membuat Bintulu kaget dan meloncat tinggi.
Kalau tadi bisa membunuh Galih Kaliki tanpa mengubah posisi kaki dari tempatnya berdiri, sekarang perlu menghindar!
Dodot, Kain Panjang untuk Hamba Sahaya
MENGETAHUI ada tenaga yang memberontak dari tubuhnya, Upasara tak mau menahannya. Ia memusatkan pikirannya, dan membiarkan tenaganya tersalur ke arah Kangkam Galih.
Dalam sekejap, Upasara telah memainkan jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika secara lengkap dan sempurna. Angin berkesiuran memancar dari tubuhnya, mengepung Bintulu yang berloncatan. Karena agaknya Bintulu tak ingin tongkat penggiring bebek bersentuhan dengan Kangkam Galih. Ini yang membuat dalam sekejap Upasara bisa mendesak mundur.
Bintulu meloncat mundur sekali lagi, akan tetapi kali ini Upasara menyabet dengan ganas.
Caping Bintulu terayun ke atas!
Barulah Upasara bisa melihat Bintulu.
Dan cemas dengan sendirinya.
Yang berada di depannya ternyata lelaki yang sudah tua, dengan rambut putih beberapa helai. Selebihnya adalah wajah yang tanpa bentuk sama sekali! Hanya ada semacam lubang untuk hidung—ataukah mulut?— selebihnya gumpalan daging. Bahkan Upasara tak bisa menemukan mana bagian matanya.
Begitu banyak peristiwa ditemui Upasara, akan tetapi sekali ini tak terjangkau oleh akal sehatnya.
Bintulu, jelas tokoh sakti mandraguna dari suatu masa yang telah lewat. Dilihat dari usianya, bukan tidak mungkin lebih tua dari Mpu Raganata. Kemampuan dan ilmu silatnya sungguh tiada tara. Galih Kaliki saja bisa disabet dalam dua gerakan!
Hati kecil Upasara terusik rasa iba.
Bintulu pastilah mengalami sesuatu yang sangat kejam di masa lalu. Sehingga wajahnya hancur lumat. Tak tersisa mata atau mulut! Neraka iblis macam apa yang telah terjadi?
Kalau dilihat dari sisi ini, Bintulu perlu dikasihani. Akan tetapi Bintulu pula yang telah menewaskan orangtuanya, Pak Toikromo! Dan juga Galih Kaliki!
Dan Upasara telah bersumpah untuk membalas dendam.
"Edan!
"Sungguh edan. Apakah si Bejujag itu mampu menyimpan dan mengembalikan nyawa manusia? Apakah ia telah menjadi Maha wiku seperti yang diinginkan?
"Edan.
"Wulung, apakah yang kamu mainkan barusan ilmu Menyimpan Nyawa si Bejujag?"
Biar bagaimanapun, Upasara masih mempunyai jiwa ksatria. Hatinya tergetar melihat penderitaan Bintulu. Maka dengan hormat, Upasara melakukan sembah. Setelah mengembalikan caping untuk menutupi wajah Bintulu, barulah Upasara mundur dan menjawab.
"Paman Sepuh Bintulu, yang baru saja saya mainkan adalah jurus-jurus Dwidasa Nujum Kartika, atau Dua Belas Jurus Nujum Bintang. Yang kalau diteruskan dengan Delapan Jurus Penolak Bumi, dikenal sebagai ajaran Kitab Bumi.
"Apakah Paman Sepuh mengenali?"
"Edan.
"Bagaimana mungkin kamu tanyakan aku mengenali atau tidak, kalau aku yang menciptakan?"
Ganti Upasara yang menjublak. Berbagai perasaan datang-pergi silih berganti.
"Aku tidak tanya nama jurus mainan anak-anak. Yang kutanyakan apakah si Bejujag itu telah mampu melatih tenaga dalam Menyimpan Nyawa!"
"Maaf, Paman Sepuh, yang saya latih adalah pernapasan seperti yang diajarkan dalam Bantala Parwa."
"Ngawur!
"Aku tidak menciptakan cara berlatih napas semacam itu. Itu pasti akal-akalan si Bejujag yang suka main gila.
"Wulung, kamu ini manusia macam apa sehingga begitu beruntung dalam hidupmu?"
Kembali Upasara terguncang.
Apa maksud omongan Bintulu yang seperti berusaha menjelaskan sesuatu ini?
"Kamu beruntung mempelajari cara pernapasan Menyimpan Nyawa. Itulah latihan pernapasan yang dikembangkan oleh si Bejujag, padahal ilmu yang murni, akulah yang menemukan. Akulah yang menciptakan apa yang kamu sebut sebagai Bantala Parwa atau Kitab Bumi.
"Tapi Bejujag itu memang nasibnya selalu lebih baik. Kami bertiga sama-sama manusia berkain dodot, kain panjang dan lebar, sebagai tanda hamba sahaya. Tanda pengenal kaum paminggir, kaum yang tak diperhitungkan secara resmi. Kaum pinggiran, kaum dodot.
"Edan.
"Bejujag percaya bahwa cara berlatih napas Menyimpan Nyawa adalah cara berlatih yang sempurna. Karena tenaga murni latihan ini adalah tenaga yang tak akan pernah bisa hilang. Tenaga yang kekal abadi.
"Aku tak percaya di jagat raya ini ada cara berlatih pernapasan seperti itu. Tapi baru saja kurasakan bahwa Bejujag kampungan itu berhasil."
Terdengar helaan napas berat.
***