Katanya mau bikin tempat khusus buat posting cerita silat??? Mana??? Nih deh aku kirim cerita silat garapanku sendiri 8)
TABA, SANG NAGA MUARA TAWAR
[/b]
Kampung Singkek, Muara Tawar, abad ke-18, ketika suasana tegang antara Kerajaan Banten dengan Penguasa Batavia mulai terasa mendingin. Perang yang menghabiskan sumber daya bagi kedua belah pihak dari mulai jaman Sultan Ageng Tirtayasa rupanya lebih banyak merugikan posisi Kerajaan Banten dibandingkan VOC, apalgi dibawah pemerintahan yang lemah seperti Sultan Arifin. Tetapi rupanya ketegangan itu tidak pernah sampai ke kampung singkek sekalipun jaraknya tidak terlalu jauh dari Pelabuhan Periuk yang sedang dalam tahap pemugaran. Begitu juga saat tentara yang berasal dari Demak menyerbu Batavia pada beberapa masa yang lalu, sekalipun jalur tentara Demak melewati tidak jauh dari Kampung Singkek, tetap saja seakan-akan kampong tersebut tak pernah tercatat pada peta.
Kampung singkek adalah perkampungan Nelayan yang berada di pinggiran sungai payau. Para Nelayan disana membutuhkan waktu sekitar 15 menit berperahu dari dermaga kecil mereka untuk sampai di muara dan akhirnya ke laut. Mereka memang sengaja memilih tempat jauh dari pinggir pantai, berbeda dengan perkampungan nelayan yang lain, ini disebabkan karena lebatnya hutan bakau yang di sepanjang pantai dan menyebabkan daerah tesebut memiliki rawa-rawa air payau di sepanjang pantainya. Ditambah lagi saat pasang tiba, posisi rawa-rawa pun menjadi tinggi dan harus dilewati dengan sampan.
Di daerah inilah Taba lahir, di perkampungan yang sepi dan tenang dekat dengan rawa-rawa air payau. Ayahnya mencoba mencari rejeki di daerah Periuk, dan hanya pulang ke kampungnya tiap seminggu sekali. Kata ibunya dengan rasa jengkel disana ayahnya punya istri muda lagi, karena itu sekarang makin jarang pulanglah ayahnya. Taba tidak begitu paham dengan kejengkelan ibunya, sebab sudah biasa bagi sebagian laki-laki dewasa di kampungnya untuk mempunyai istri lebih dari satu, apabila mereka termasuk ke dalam golongan orang mampu. Taba sendiri merasa memang begitulah keadaannya, dibandingkan dengan teman-temannya yang anak nelayan, dia memiliki pakai yang lebih beragam bahkan dia memiliki pakaian yang bagus untuk dipakai seandainya dia dan ibunya diundang selamatan atau pernikahan oleh orang di kampungnya. Pokoknya oleh teman-temannya Taba disejajarkan dengan anak-anak juragan kapal yang ada di kampung tersebut.
Karena Kampung Singkek adalah kampung yang kecil maka hanya ada satu juragan kapal disana, Kong Ma’ruf, yang memiliki kapal hamper 10 unit disana, dan istri yang juga 10 orang. Selain Kong Mar’ruf sebenarnya ada beberapa juragan kapal lainnya yang berasal dari Marunda yang memiliki istri muda di kampung Singkek tetapi mereka tidak menjalankan usahanya disana. Dengan demikian praktis hanya Kong Ma’ruf lah yang resmi sebagai juragan kapal di Kampung Singkek. Sebagai juragan kapal Kong Ma’ruf juga dikenal sebagai jagoan di kampung Singkek. Kabarnya permainan pukulannya bahkan dikenal tidak hanya dikenal di Marunda, bahkan sampai terdengar di Pasar Ikan dan daerah barat seperti Kedawung. Ilmu main pukulnya ini dia dapatkan ketika masih muda merantau ke darah Kulon dan daerah Tarik Kolot.
Karena kehebatannya inilah, dulu ketika seseorang dari Batavia datang dan mencoba menempatkan sesorang sebagai Bek disana dan menjadikan kampung Singkek sebagai bagian administrative dari Batavia, “Bek” itu dan orang-orangnya lansung diusir oleh Kong Ma’ruf. Sempat terjadi perkelahian sengit antara mereka yang tentu saja kemudian dimenangkan oleh Kong Ma’ruf. Semenjak kejadian itu, tak pernah ada lagi orang dari Batavia yang datang kesana, mungkin juga karena posisi kampung Singkek yang tidak strategis, sehingga membuat mereka enggan mebuang-buang waktu disana.
Permainan pukulan Kong Ma’ruf ini juga diturunkan ke anak-anaknya terutama Bang Hadi, anak tertuanya. Lewat dia, sebagain besar anak-anak kampung Singkek termasuk Taba belajar ilmu pukulan Kong Ma’ruf. Bang Hadi tidak hanya mengajarkan silat tetapi juga mengjarkanmengaji kepada anak-anak disana. Dulu waktu kecilnya Bang Hadi pernah dititipkan di daerah Kebon Kacang, untuk belajar mengaji pada salah seorang habib disana.
Sudah hampir tiga tahun dari semenjak usia sembilan tahun, Taba belajar pukulan dan mengaji dari Bang Hadi. Sekarang ini usianya genap 12 tahun, dia gemar sekali berburu kepiting di hutan payau bersama anak-anak kampungnya, kadang-kadang dia sampai menginap di tengah rawa-rawa hutan payau hingga berhari-hari dan akhirnya pada saat pulang di hadiahkan pukulan dari dangdang oleh ibunya, tapi dia tak pernah kapok.
Kali ini Taba sedang berada di hutan payau lagi, tetapi dia tidak pernah menyangka kepergiannya kali ini akan menimbulkan petualangan yang akan tidak pernah dia lupakan seumur hidupnya. Menjadikan dirinya harus memilih jalan yang penuh dengan pertempuran dan menjadikan namanya dikenal bahkan tidak hanya di Batavia, bahkan pelosok-pelosok daerah lainnya. Di sinilah cerita dimulai;
Kalau diterima ceritanya dilanjutin tapai kalau tidak berkenan yah cukup sekian...
( Di Edit paragrafnya sama pendekar, biar dibacanya lebih mantaaap,)