Berhubung sibuk banget kerjaan dan nulis buku tentang TD. Mudah2an forum mau jadi penerbitnya. Ini cerita yang baru ane sempat tulis sedikit... Taba, Soleh, Calik, dan Sukra, kali ini merencanakan menginap di bedeng yang sudah mereka bangun beberapa minggu lalu di tengah hutan bakau. Sekalipun daerah situ adalah rawa-rawa mereka berhasil menemukan tempat yang kering karena posisinya lebih tinggi dari sekitarnya. Mereka juga telah mempersiapkan perlengkapan untuk menginap disana; beras dalam periuk, sereh dan merang untuk mengusir nyamuk, golok, dan tali-tali yang mereka buat dari serabut kelapa sehari sebelumnya.
Selain Taba, ketiga temannya sudah mendapat ijin dari orang tuanya untuk bermalam di hutan bakau. Sudah biasa bagi orang tua di kampung singkek untuk melepas anak-anaknya yang remaja untuk bermalam di hutan bakau. Biasanya anak-anak itu akan berburu kepiting-kepiting besar yang biasa bersarang diantara sela-selar akar bakau. Nantinya selain dikonsumsi sendiri, biasanya kepiting ini dijual ke pengepul (tengkulak) ikan di dermaga untuk di jual lagi ke Marunda atau bahkan sampai ke daerah pasar ikan di Batavia.
Taba tahu ibunya pasti marah besar dengannya karena kepergian tanpa ijin ini, tapi dia sudah meninggalkan surat untuk ibunya di kamar tidur ibunya. Untungnya dia dan ibunya termasuk mampu baca tulis dibandingkan warga umumnya di kampung singkek. Mungkin karena ayahnya adalah seorang pedagang yang biasa berhubungan dengan banyak orang asing (Cina, Belanda, Arab, Pribumi) mengharuskan istri dan anaknya untuk belajar baca dan tulis dalam huruf Arab dan huruf latin.
Setelah menaiki sampan lebih dari satu jam dari kampung mereka mengarungi rawa-rawa, akhirnya mereka sampai di bedeng tersebut. Mula-mula Sukra lah yang pertama kali menyadari ada yang tidak beres dengan bedeng mereka, di luar bedeng nampak ada bekas-bekas api unggun yang nampak baru.
“Kayaknya bedeng kite ada dipakai orang nih?” kata Sukra, sambil memeriksa bekas api unggun. Sukra berbadan paling kecil diantara mereka, kabarnya keluarganya berasal dari Mataram.
“Sialan!” maki Calik yang bergigi agak tonggos, dia terus saja memaki sambil melihat sekeliling sambil terus memaki. Dia berharap dapat menemukan orang yang telah menggunakan bedeng mereka.
“Kayaknya kite bereskan aja dulu deh bawaan kite,” Taba memotong makian Calik, “ baru nanti setelah selesai kite coba cari tahu siapa orang yang telah menggunakna tempat kita. Bagaimana?”
Yang lainnya pun akhirnya setuju. Hanya Soleh yang nampaknya agak kuatir akan kejadian itu, dan itu tergambar dalam wajahnya. Melihat ini Sukra pun bertanya, “lu lagi mikirin apaan Leh? Muka lu kok, ayam gue waktu sakit?
“Gue kuatir, jangan-jangan tempat kite n’ni dah dipakai sama rampok-rampok dari Marunda. Lu pada kan dah pada dengar kalau di Marunda akhir-akhir ini banyak perampokan. Kali-kali aje noh pada rampok ngumpetnya di tempat kite. Mungkin kan?” Soleh menjelas sikap kuatirnya.
“Kalau emang rampok yang make tempat kite, lansung ‘beri’ aja!” sahut Calik sambil tangannya memainkan pukulan.
“Lo kata gampang lawan rampok?” balas Soleh “Biar kate, kita dah diajarin main pukulan ame Bang Hadi, tetap aja lawan kita tuh orang gede. Kagak sebanding tenaganye.”
“Betul kata Soleh, Lik,” dukung Sukra, “nah, di Marunda itu yang namanya jagoan juga pasti juga ada banyak, tapi gak ada satupun diantara mereka yang bisa nangkap tuh rampok. Terusnye kita juga gak tahu tuh jumlah tuh rampok, kalau die sendirian mungkin kita bisa keroyok rame-rame tapi aklau die lebih dari sat atau bahakan lebih dari kite, pegimane ngelawannye? Pikir dong Lik!”
Belum sempat Calik membalas perkataan Sukra, suara dayug yang mengayuh terdengar dari jarak yang tidak jauh, dan itu cukup untuk mengaggetkan mereka dan menghentikan pembicaraan sesaat.
“Siape tuh?” Tanya Taba memecah ketegangan.
“Jangan-jangan itu rampoknya kali?” jawab Soleh yang wajahnya kini nampak menegang dan hampir menangis.
“Ssttt…” Calik meminta mereka semua diam. Telunjuknya menunjuk ke kumpulan semak dekat sebuah pohon bakau besar. Semuanya paham apa yang dimaksud dengan Calik. Mereka pun semua lari mengendap-ngendap menuju semak itu untuk bersembunyi, sementara sampan terus mendekat dan akhirnya sampai di tempat bedeng mereka.
Jumlah mereka ada lima orang, berpakaian ringkas seperti para pendekar umumnya, dua orang membawa senjata golok, sementara yang lainnya ada yang menggunakan rantai besi dan tangan kosong. Penampilan mereka menyiratkan bahwa mereka bukanlah orang-orang biasa, melainkan para pendekar yang sudah berpengalaman.
Salah seorang dari mereka yang berbobot tubuh paling besar dengan santainya melenting dari sampan dan sampai di daratan lebih dahulu, sampan pun bergoyang-goyang karena kehilangan keseimbangan secara tiba-tiba.
“Hai kebo!! Lu tuh mau bikin kita semua jatuh dari sampan”, maki salah seorang dari mereka yang berwajah paling halus. Yang lainnya malah tertawa terkikik karena kemarahan si wajah halus ini, karena cara bicaranya yang seperti perempuan.
Si besar pun menjawab “Hai banci, masih untung tak ku lempar kau tadi ke dalam rawa.” Karakter bicaranya menunjukan orang seberang, “Aku tuh lansung meloncat ke darat karena tak tahan tangan kau yang selalu meraba-raba pahaku”
Mendengar kata-kata itu makin meledaklah tawa yang lain-lain.
“Udah, gak usah ribut lagi!” sela salah seorang diantara mereka. Bajunya hitam-hitam dan mengenakan golok. “Sampai dengan saat ini belum juga kita berhasil menemukan si buta itu. Padahal sudah hampir tiga malam kite mencarinya di hutan bakau ini.”
“Tenang aja Jat, die pastinya bakal kita temuin juga. Bukankah saat bentrokan terakhir dulu lo dah berhasil ngeracunin die pakai golok lo?” sela si pemegang rantai.
“Iye sabetan gua dah berhasil ngelukain die, walaupun gak dalam tapi racunnya pasti menyebar cepat. Apalagi dia terus menerus bergerak, pastinya tuh racun dah sampai ke jantung dan bikin dia koit. Sekalipun die punya ilmu dalaman yang tinggi, walau gak koit tapi pastinya die sekarat.”
“Aku akui, ilmu si buta itu hebat luar biasa. Rombongan kita tujuh orang hanya tersisa lima, padahal kita semua dikenal sebagai jago di tempat asal kita masing-masing.” Sahut si besar.
Pembicaraan itu seakan memutar kembali memori mereka ke masa satu bulan sebelumnya. Saat ini mereka dikumpulkan oleh salah seorang saudagar keliling dari Batavia untuk diperkenalkan ke salah seorang janda pegawai VOC. Walaupun mereka tadinya tidak begitu saling mengenal masing-masing, karena berasal dari tempat yang berbeda, tetapi dikarenakan kepentingan yang sama, mereka akhirnya memutuskan untuk menjadi sekutu untuk sementara.
Si janda sendiri punya latar belakang cukup unik, dia adalah blasteran Belanda dan Jepang yang lahir di Jepang, ketika bertemu suaminya salah seorang pegawai VOC mereka lansung jatuh cinta dan akhirnya memutuskan untuk ikut serta sang kekasih ke Batavia. Mereka berharap tidak perlu kerja lama-lama setelah menghasilkan 2 – 3 ton gulden, mereka berencana akan pension dini dan kembali ke Belanda. Mereka banyak terpikat dengan cerita sukses para pegawai VOC yang katanya berhasil menjadi orang kaya mendadak di Batavia.
Tapi rupanya itu hanyalah impian semu yang dialami oleh banyak pasangan muda lain ketika mereka membayangkan tentang Batavia. VOC pada masa itu senang dalam pengawasan ketat pihak kerajaan, karena tingginya korupsi dalam tubuh VOC. VOC tadinya diharapkan dapat menjadi sumber kas bagi kerajaan Belanda lewat perdagangan di daerah kolonial, pada awalnya berjalan cukup baik. VOC boleh dikatakan sebagai perusahaan tertua di dunia yang modalnya terbagi atas saham. Dalam hal ini kerajaan adalah pemegang saham yang dominant baru setelahnya beberapa bangsawan dan cendikiwan yang berpengaruh. Setelah beberapa dasawarsa VOC malah menjadi merugi, biaya operasional naik berkali-kali lipat dari biaya umumnya, dan akhirnya timbul dugaan penggelembungan biaya yang dilakukan oleh para pejabat VOC demi untuk memperkaya diri.
Biaya hidup yang tinggi di Batavia, ditambah lingkungan yang saling pamer kekayaan menyebabkan pasangan muda ini ikut terpengaruh. Demi untuk menutupi gaya hidup ala Batavia ini, akhirnya si suami terbawa juga dalam jaringan korupsi yang ada di VOC walau awalnya dijalankan dengan rasa bersalah yang tinggi. Demi menutupi rasa bersalah itu mereka akhirnya jadi sering ke gereja dan termasuk dalam daftar penyumbang terbesar di gereja. Tetapi sayangnya si suami mengambil terlalu banyak, menimbulakan keirian di kalangan pegawai lainnya. Akhirnya laporan korupsi sang suami sampai juga je pejabat kerajaan yang kemudian memutuskan untuk melakukan audit ke Batavia. Mendengar hal ini, para pejabat VOC di Batavia pun memutuskan untuk mengumpankan si karyawan muda mereka demi menghindari audit yang lebih besar, mereka butuh kambing hitam.
Si suami pun terseret, dan diadili di Batavia. Tetapi karena kasusnya dianggap sebagai kasus nasional kerajaan. Akhirnya diputuskan membawa si suami untuk diadili di Belanda. Karena rasa malu, dan kecewa karena penghianatan, akhirnya sang memutuskan untuk bunuh diri di selnya di Batavia, sehari sebelum pemulangannya ke Belanda.
Akhirnya si janda harus terlunta-lunta di Batavia, karena dia bukan warga asli Belanda statusnya sebagai janda pegawai VOC tidak diakui. Dengan sisa harta yang ada, dan kecantikan blasteran Jepang dan Belanda miliknya, dia memulai usaha baru. Dia membuka klub bagi tempat bersantai VOC, dia mendpatkan ijinnya setelah berselingkuh dengan salah seorang pejabat VOC. Klubnya tidak hanya menyediakan tempat minum dan restaurant, tetapi juga menyediakan para perempuan penghibur, yang berasal dari Melayu, Sunda, dan Cina bagi para pegawai VOC. Usahanya pun makin maju, dan dia makin dikenal sebagai seorang pengusaha perempuan yang hebat sekalipun dimusuhi oleh gereja dan istri-istri pegawai VOC. Dan dia dikenal dengan sebutan “Nyai Jepun”.
Suatu ketika “Nyai Jepun” lewat koleganya seorang pedagang cina keliling memutuskan untuk memanggil beberapa Jawara tangguh dari beberapa daerah. Walapun awalnya sulit, dikarenakan tidak setiap Jawara bersedia menjual kehaliannya, tetapi kahirnya Nyai Jepun mampu mengumpulan tujuh orang. Mereka adalah; Bang Djajat pendekar dari Kulon gelarnya si golok tujuh langkah, Yanwenka juga dari Kulon, Ki Sawung dari tanah Sumatera tapi namanya dikenal di tataran Sunda, Sup Yusup pendekar besenjatakan palu dan gada, Tangan Awan pendekar banci yang katanya berasal dari Mataram, Aryanav jawara dari daerah Depok.