+-

Video Silat

Shoutbox

30/12/2023 22:12 anaknaga: Mudik ke Forum ini.
Mampir dulu di penghujung 2023..
07/11/2021 17:43 santri kinasih: Holaaaaas
10/02/2021 10:29 anaknaga: Salam Silat..
Semoga Sadulur sekalian sehat semua di Masa Pandemi Covid-19. semoga olah raga dan rasa dapat meningkatkan daya tahan tubuh kita. hampur 5 tahun tidak ada yang memberikan komen disini.
23/12/2019 08:32 anaknaga: Tidak bisa masuk thread. dah lama tidak nengok perkembangan forum ini.
salam perguruan dan padepokan silat seluruh nusantara.
02/07/2019 18:01 Putra Petir: Akhirnya masuk jua... wkwkwk
13/12/2016 10:49 Taufan: Yuk ke Festival Kampung Silat Jampang 17-18 Desember 2016!!!
20/09/2016 16:45 Dolly Maylissa: kangen diskusi disini
View Shout History

Recent Topics

Berita Duka: Alamsyah bin H Mursyid Bustomi by luri
10/07/2022 09:14

PPS Betako Merpati Putih by acepilot
14/08/2020 10:06

Minta Do`a dan bimbingan para suhu dan sesepuh silat :D. SANDEKALA by zvprakozo
10/04/2019 18:34

On our book: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
13/03/2017 14:37

Siaran Radio ttg. Musik Pencak Silat di Stasiun "BR-Klassik / Musik der Welt" by Ilmu Padi
12/01/2017 16:19

Tentang buku kami: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
17/10/2016 20:27

Hoby Miara Jin by anaknaga
19/09/2016 04:50

TALKSHOW SILAT - Silat Untuk Kehidupan by luri
22/06/2016 08:11

Thi Khi I Beng by aki sija
17/08/2015 06:19

[BUKUTAMU] by devil
09/06/2015 21:51

Daftar Aliran dan Perguruan di Indonesia by devil
01/06/2015 14:01

SILAT BERDO'A SELAMAT by devil
01/06/2015 13:59

Persilatan Jurus Lima (Sabandar) by Marsudi Eko
14/05/2015 19:36

Kebugaran Merpati Putih by mpcrb
22/04/2015 16:16

PAWAI JAMBORE PENCAK 2015 by luri
20/04/2015 16:20

SilatIndonesia.Com

Author Topic: Tembang Tanpa Syair  (Read 52857 times)

hahaha..

  • Anggota
  • **
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 0
  • Posts: 7
  • Reputation: 109
  • Sahabat Silat
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #60 on: 15/10/2011 05:30 »

mengikuti om..
mohon maaf, sepertinya rada mulai jauhan dikit ama 'bela diri'..
makin seru acara 'serang diri' nya..

stem2 cell tadi2 nya dah rada2 asyik om.. mulai napak2 alur kuntulnya..

but, this's great, thanks om, salam.

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #61 on: 15/10/2011 21:45 »
@mas "hahaha",

Perjalanan masih panjang mas.

Buku ini akan menjelaskan hal yang berbeda seperti pada kebanyakan yang mas anut dalam sesuatu yang disebut dengan 'beladiri'. Jadi, kalau harapannya akan muncul teknik-teknik dahsyat, pertarungan maut yang tidak berkesudahan, mungkin itu akan jauh dari harapan mas. Atau seperti buku Kenji, atau Ashura, atau Chinmi. Saya mencoba mengambil dimensi yang berbeda. Pada 5 jilid pertama (buku kesatu, kedua, s/d kelima), itu akan membahas bagaimana perjalanan belajar seorang anak manusia dalam sudut pandang yang lain. Jilid 6, barulah akan mulai penerapan-penerapan keilmuan tersebut. Entah dalam melawan musuh, ataupun melawan diri sendiri.

Akan tetapi kalau ingin merenungi apa makna dari beladiri, makna dari keilmuan, bagi diri sendiri, dan kaitannya secara vertikal dan horizontal, barangkali Tembang Tanpa Syair akan bisa membawa manfaat.

Apalagi, kalau yang membacanya adalah seorang praktisi Merpati Putih, maka akan banyak kunci-kunci yang saya buka perlahan. Terkadang disamarkan, terkadang perlu direnungi, bahkan terkadang to the point. Tergantung mau melihat manfaat dari sisi apa.

Nanti, akan ada bagian yang khusus membahas fenomena getaran pada aspek-aspek lain, tidak hanya stem cell. Ada juga bagaimana ilmu getaran MP diterapkan pada normalisasi diabetes, pada tunanetra, dsb.

Intinya, keep in touch... ;)

Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca tulisan-tulisan saya.

Salam.
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #62 on: 13/11/2011 02:22 »
Tembang Tanpa Syair - Bagian 26

Ada Bulan Dalam Cangkir



Suasana malam ini cukup hening. Suara jangkrik dan hewan malam sudah mulai terdengar. Angin berhembus sepoi-sepoi, menerbangkan beberapa dedaunan kecil. Api unggun  ang ada di tengah juga terlihat tenang. Lidah apinya tidak begitu aktif menjalar kesana-kemari.


Aku duduk di dekat api unggun. Beralaskan tikar kecil yang terbuat dari karet. Sementara ayah juga duduk di dekat api unggun, dengan alas berupa tikar kecil yang terbuat dari karet yang sama tetapi beda warna. Warna tikar kecilku hijau, sementara ayah berwarna biru. Tampak ayah sedang memasukkan ranting-ranting kecil yang sudah kering ke dalam perapian api unggun. Ada satu tikar lagi yang berwarna coklat.


"Yah, kapan mulai latihannya?", tanyaku memecah kehingan.


Ayah tersenyum ke arahku. Beberapa rambut putihnya terlihat seperti menyala oleh pantulan api unggun.


"Sebentar lagi.


Akan ada seseorang yang nanti akan menemanimu latihan untuk malam ini saja.", jawab ayah.


Aku mengerutkan dahi. Heran.


"Maksud ayah? Nanti ada yang datang lagi kesini? Malam-malam begini yah?", tanyaku penasaran.


"Iya. Benar sekali. Sebentar lagi juga sampai.", jawab ayah singkat.


Aku hanya manggut-manggut. Meskipun masih tidak mengerti, siapa yang ayah maksud akan datang malam ini untuk menemaniku latihan.


Belum hilang rasa keterkejutanku, dari kejauhan terdengar suara kendaraan mendekat.


Aku menoleh.


Sorot lampunya sudah mulai terlihat.


Sebuah sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang menuju ke arahku. Dikemudikan oleh seorang laki-laki paruh baya berjaket hitam dan mengenakan helm berwarna hitam. Motor itu melambat, lalu mengambil tempat parkir disebelah mobil ayah. Aku masih penasaran dan memandangi siapa laki-laki itu. Aku hanya menatap punggungnya sambil melihat ia membuka helm hitamnya. Laki-laki itu membalik badan, dan mulai berjalan ke arah kami, ke arah api unggun. Dengan bantuan sinar rembulan dan pancaran api unggun seadanya aku melihat kalau laki-laki ini mengenakan kacamata hitam. Aku tersenyum. Aneh juga malam-malam begini mengenakan kacamata hitam.


Aku melihat ayah berdiri untuk menyambutnya. Secara spontan aku juga ikut berdiri.


"Selamat datang mas Giman... Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk hadir memenuhi permintaan saya...", ucap ayah sambil menyalami laki-laki itu.


Salaman antara ayah dan laki-laki yang dipanggil 'Mas Giman' itu terlihat sangat hangat. Bahkan sudah menggunakan kedua tangan. Kira-kira dua puluh detikan mereka bersalaman sambil tersenyum. Aku bisa merasakan getaran damai dan persahabatan yang besar dari keduanya.


"Oh ya, ini kenalkan anakku. Namanya Akbar. Panggil saja Aa...


Aa, ini kenalkan mas Giman. Teman ayah...", ucap ayah sambil mengenalkanku kepada laki-laki yang dipanggil 'Mas Giman'.


Aku langsung mendekat dan menyalami Mas Giman. Aku mencium punggung tangannya, terasa hangat.


"Ayahmu sering bercerita mengenaimu. Bapak belum sempat bertemu muka denganmu. Bersyukurlah malam ini bapak bisa bertemu dengan kamu. Kamu sudah besar juga nak...", ucap laki-laki yang dipanggil 'Mas Giman' itu.


"Terima kasih pak.",  jawabku.


Tidak mungkin aku memanggilnya 'mas' seperti yang ayah lakukan, karena memang perbedaan usia diantara kami yang cukup besar. Usia pak Giman aku perkirakan antara 50 tahunan. Rambutnya sudah lebih banyak yang memutih dibandingkan ayah. Usianya juga lebih tua dibandingkan ayah.


"Ssst... jangan panggil 'Pak', panggil saja 'Mas'. Biar terdengar muda ya... Hehehe", ucap Pak Giman sambil tertawa kecil.


Aku tidak berani menjawab. Agak heran dan langsung menoleh ke arah ayah untuk meminta persetujuan.


Aku melihat ayah tersenyum dan mengangguk kecil.


"I... i... iya pak! Eh maaf ... Mas! ", jawabku agak kikuk.


Aku melihat ayah dan pak Giman saling berpandangan, lalu tertawa secara bersamaan.


"Hahahaha..."


Sementara aku hanya garuk-garuk kepala saja yang tentu saja sama sekali tidak gatal. Tertawa itu juga sekaligus mencairkan kekakuan yang ada. Baiklah, mulai sekarang aku akan memanggilnya 'Mas Giman' seperti yang ayah izinkan.


"Ayo, silahkan duduk mas...", ucap ayah mempersilahkan mas Giman untuk duduk.


Mas Giman mengambil tempat pada tikar yang sudah disediakan, lalu duduk bersila di depan api unggun. Ayah kembali beranjak duduk, barulah kemudian aku berani duduk kembali.


"Aa, nanti kamu akan berlatih bersama mas Giman ya. Apapun latihannya, pahami ya. Ayah ada perlu dulu malam ini.", ucap ayah.


Meskipun aku kurang memahami maksud ayah, tapi aku mengangguk. Ada perlu? Malam ini? Ayah mau kemana malam-malam begini di tempat seperti ini? Beberapa pertanyaan menggelayut di benakku.


"Mas Giman, jangan sungkan ya. Air minum, makanan, semua tersedia.", lanjut ayah.


Aku melihat mas Giman mengangguk.


"Ok... selamat berlatih ya... Saya tinggal dulu ya... Ada yang harus dilakukan.", ucap ayah sambil berdiri.


"Baik mas. Hati-hati mas.", jawab mas Giman.


"Iya yah...", jawabku.


Mataku memandangi punggung ayah yang bergerak menjauh sambil berjalan perlahan. Ayah kulihat berjalan menuju jalan setapak yang mengarah di belakang bukit di dekat air terjun itu. Entah apa yang akan dilakukannya. Sementara aku sendiri masih duduk berdua bersama mas Giman di dekat api unggun.


"Anu, pak... eh maaf.. mas, hehehe, kira-kira kita latihan apa ya malam ini?", tanyaku memberanikan diri.


Suasana memang sudah mulai cair setelah ayah dan mas Giman tertawa. Meskipun aku sedikit kagok. Tapi perlahan aku mulai bisa mengikuti suasana.


"Kata ayahmu malam ini mas Giman diminta ngajarin kamu sesuatu mengenai latihan getaran.", jawab mas Giman.


Dheg!


Aku kaget juga mendengar jawabannya.


"Eh, mas Giman bisa getaran juga?", tanyaku penasaran.


"Alhamdulillah bisa dikit-dikit aja sih. Mas Giman sudah latihan semenjak kamu masih umur enam tahunan kalau tidak salah. Dulu mas Giman ini tukang pijet ayahmu loh. Ingat tidak?", jawab mas Giman polos.


Aku mengerutkan dahi. Kalau usiaku saat itu enam tahunan, berarti ya sudah sepuluh tahunan mas Giman berlatih getaran bersama ayah. Seingatku, tukang pijit ayah yang dulu sering aku lihat itu buta atau tuna netra. Aku masih belum yakin.


"Mas Giman tukang pijit ayah? Bukannya seingat Aa kalau tukang pijit ayah itu tuna netra?", tanyaku lebih penasaran.


Aku melihat mas Giman tersenyum.


"Benar sekali nak, memang mas Giman ini seorang tuna netra...", jawab mas Giman.


Mas Giman kemudian melepas kacamata hitamnya. Lalu terlihatlah bentuk bola mata yang khas tuna netra. Agak pucat di tengahnya, pergerakan mata yang kurang teratur, dan arah pandangan yang tidak lumrah.


Aku sangat terkejut melihat ini.


"Lho, kalau mas Giman tuna netra, trus gimana caranya bisa naik motor dari rumah hingga sampai ke tempat ini mas? I.. i... ini rasanya mustahil!", ucapku dengan penuh keterkejutan.


Aku melihat mas Giman kembali tersenyum.


"Semua berkat ilmu getaran yang diajarkan dari ayahmu kepada mas Giman sehingga mas Giman bisa seperti ini...", jawab mas Giman.


"Sudah... ngobrolnya nanti saja. Nanti setelah latihan, mas Giman akan ceritakan bagaimananya. Sekarang ini, mas Giman diminta ayahmu untuk memperhalus latihan getaranmu. Mas Giman sendiri tidak tahu sudah sampai sejauh mana latihanmu. Mas Giman hanya diminta ayahmu untuk menajamkan pemahaman mengenai getaran deteksi. Itu aja pesen dari ayahmu.", lanjut mas Giman.


"I... iya mas...", ucapku.


"Baiklah, sekarang kamu lakukan saja langsung getaran pribadi. Mas Giman ingin tahu sejauh mana. Ambil jarak agak jauh saja dari api unggun ini.", pinta mas Giman.


Aku menurut.


Aku berdiri, dan berjalan sekitar lima langkah menjauh dari api unggun. Kemudian kembali duduk bersila dan memejamkan mata. Aku merapatkan kedua tangan, melakukan doa dalam hati memohon keselamatan dan kemudahan. Selesai berdoa, aku kembali membuka mata. Aku melihat mas Giman sudah mengambil tempat di tikar tempatku duduk. Jarak antara aku dengan mas Giman terpaut sekitar lima langkah.


"Silahkan dimulai...", ucap mas Giman.


Aku mengangguk.


Kupejamkan mataku. Aku menggerakkan kedua telapak tanganku di depan pusar. Kiri dibawah dan kanan diatas. Telapaknya saling berhadap-hadapan. Ada ruang kosong sekitar satu jari diantaranya.  Niatku untuk getaran kubentuk. Konsentrasiku perlahan mulai penuh, dan memuncak. Kusatukan semuanya pada rasa. Setelah itu aku menghirup nafas ringan dari hidung. Menurunkannya ke bawah pusar sambil memancarkannya. Kedua telapak tangan ini mulai bereaksi. Setelah itu kunaikkan tenaga getaran ini menuju jantung, dan kualirkan pada kedua lenganku dengan fokus pada telapak tangan. Pancaran pada kedua telapak tangan mulai begitu terasa. Semakin tebal. Nyata.


"Bagus... pertahankan! Sekarang serap getaran alam dari langit dan bumi lalu gabungkan dengan getaran pribadimu...", ucap mas Giman.


Eh... mas Giman tahu juga istilah-istilah itu. Aku kembali menurut. Karena instruksi yang seperti ini juga sering diperintahkan oleh ayah saat ayah melatihku. Niatku kini mengarah pada getaran alam, konsentrasiku memusat. Setiap tarikan nafas ini menarik getaran alam dari langit dan bumi. Bumi, melalui bagian tubuh yang menempel di tanah. Dan langit, melalui bagian tubuh yang tidak menempel di tanah.


Menggabungkan keduanya.


Menggabungkan semuanya.


Mengolahnya menjadi daya.


Saat semua menyatu, seluruh jiwa ragaku seperti melebur. Terasa seperti berkelana di hamparan sunyi. Denyutan kecil mulai terjadi di ubun-ubunku. Terasa juga hingga otak kecilku. Merambati setiap permukaan kulitku. Perlahan namun pasti, guratan abstrak mulai terbentuk. Seperti 'melihat' keadaan sekeliling bagai riak gelombang bak batu dijatuhkan ke sungai. Seluruh tubuhku mulai bereaksi, kepekaan yang meningkat ratusan kali lipat. Ruang kosong diantara kedua telapak tanganku yang berada di depan pusar seperti sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Sudah terasa sangat 'penuh'. Kedua telapak tanganku semakin tertolak untuk melebar.


"Bagus... pertahankan! Sekarang dorong kedua tanganmu perlahan ke depan sambil memperbesar ruang diantara kedua telapak tanganmu pada posisi sejajar...", ucap mas Giman.


Aku menurut. Rasanya memang sudah begitu 'penuh'. Aku menggerakkan perlahan kedua tanganku ke depan sambil memperbesar ruang kosongnya. Sementara itu 'tarikan' getaran alam dari bumi dan langit masih terus terjadi. Getaran pribadiku jadi 'pemancing'.  Lebar ruang kosong itu kini sudah satu meter. Uuh, itupun masih terasa 'penuh'. Aku lebarkan lagi hingga kedua tanganku terentang lebar ke kanan dan kiri. Pancaran getaran pribadiku yang berinteraksi dengan getaran alam dari bumi dan langit mulai semakin terasa jelas. 'Rabaan' dari kedua telapak tangan ini semakin kuat.


"Bagus sekali!..", ucap mas Giman.


"Sekarang ... 'raba'-lah sekelilingmu...", pinta mas Giman.


Aku mengikuti ucapan mas Giman. Kedua telapak tanganku mulai 'meraba' ke sekelilingku. Semua mulai 'terlihat'. Perbedaan hitam dan putih pada setiap yang terkena 'rabaan' ini. Indah sekali. Guratan-guratan abstrak yang luar biasa.


Pohon, batu, kayu, ranting, dedaunan yang sudah ditanah, dedaunan yang baru jatuh, dedaunan yang sedang jatuh. Aliran udara. Air. Api, lidah api yang bergerak kesana kemari. Semua 'terlihat' meski tampak 'terlihat' berbeda. Mas Giman sendiri tampak 'bercahaya' dalam 'pandanganku'.


"Hebaaat...!", puji mas Giman.


"Sekarang berdirilah... dengan tetap mempertahankan kondisi seperti itu...", ucap mas Giman.


Aku menurut. Perlahan aku berdiri. Eh, aliran getaran dari langit dan bumi semakin deras masuk ke tubuh ini. Pancaranku mulai melebar ke sekeliling.


"Bagus...! Di tangan mas Giman ada suatu benda. Coba deteksi apa ini...", pinta mas Giman.


Segera setelah mas Giman selesai, kedua tanganku kuarahkan ke posisi mas Giman. Bagiku kini mudah sekali mendeteksi posisi mas Giman. Pancaran getaran dari kedua tanganku mengarah pada lokasi tempat mas Giman duduk. Pancaran getaranku mengenai obyek yang ada dalam pegangan tangannya.


Drrt... drrt... drrt..!


Sentuhan antara getaran yang kupancarkan dan obyek yang ada di tangan mas Giman begitu terasa. Pantulannya jelas sekali. Terbayang dan berbayang.


"Ranting kayu!", jawabku dengan mantap.


"Bagus...! Sekarang berjalanlah mendekat, lalu raih ranting ini...", pinta mas Giman sekali lagi.


Aku menurut.


Dengan tetap mengarahkan kedua telapak tanganku pada arah obyek yang dipegang mas Giman, aku bergerak perlahan sambil melangkah kecil. Aku mengikuti rasa yang ada pada kedua telapak tanganku. Semakin dekat, 'sentuhan' getaran yang kupancarkan dengan obyek yang ada di tangan mas Giman semakin terasa.


Satu langkah.


Dua langkah.


Tiga langkah.


Empat langkah.


Empat langkah setengah.


'Sentuhan' itu semakin besar saja. Aku gerakkan tangan kananku perlahan sambil mengikuti rasa getaran yang ada. Dengan sedikit membungkuk, aku mencoba mengambil ranting kayu di tangan mas Giman.


Teppp!


Ranting itu berhasil kuraih.


Aku tersenyum.


"Bagus sekali...! Cukup saja dulu. Sekarang, tutup kembali getaranmu...", ucap mas Giman.


Aku menurut.


Ranting itu kuletakkan disamping kaki kananku. Dengan masih berdiri, aku mengatupkan kedua tanganku perlahan. Kemudian 'memutus' aliran getaran alam dari langit dan bumi sehingga kembali pada getaran pribadiku. Dengan beberapa tarikan nafas ringan, aku menarik kembali tenaga getaranku ke bawah pusar. Kembali dari hamparan sunyi. Pusarku terasa menghangat. Perlahan, aku membuka mata lalu berjalan sedikit melewati mas Giman untuk duduk di tikar tempat ayahku duduk.


"Hebat...! Hebat sekali...!", puji mas Giman.


Sejak tadi, aku terus dipuji dan dipuji. Tanpa sadar perasaanku seperti melambung tinggi. Aku merasa nyaman mendengarnya. Entahlah, seperti ada yang menggelitiki hatiku dan ingin terus mendengar kalimat-kalimat seperti itu. Selama ini, ayah hampir tidak pernah memujiku. Meskipun aku berhasil melakukan apa yang ayah mau, tapi tetap saja yang keluar dari ucapannya adalah hal-hal yang biasa-biasa saja. Mendengar mas Giman memujiku berulang kali tanpa sadar menimbulkan suatu perasaan aneh di hatiku.


"Kamu rupanya berlatih dengan sangat baik... Mas Giman sampe bingung mau ngapain ya? Sebab kalau mas Giman lihat, kamu keliatannya sudah memahami bahwa getaran itu sebenarnya cuman konversi dari power saja. Itu bisa mas Giman 'lihat' saat kamu mengerahkan getaran pribadimu. Dan kamu juga keliatannya sudah mulai bisa menggabungkan getaran dari langit dan bumi dengan getaran pribadimu. Sampe situ sebenernya udah lebih dari cukup. Saat mulai deteksi, kamu juga bisa memancarkan pada lokasi mas Giman. Dan akhirnya kamu bisa nyentuh obyek dan mengambil ranting di tangan mas Giman ini. Semua udah terwakili kayaknya. Makanya mas Giman bingung mau ngapain lagi nih?", ucap mas Giman sambil senyum-senyum.


Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa.


"Gini aja deh... Mas Giman pengen kamu dekatkan kedua telapak tangan kamu ke api unggun ini. Lalu pancarkan getaranmu kesitu. Setelah itu rasakan. Paham?", tanya mas Giman.


Aku mengangguk.


"Paham. Trus, setelah itu gimana mas?", jawabku sambil bertanya balik.


"Nah, kalau sudah bisa kamu rasakan, mas Giman pengen kamu harus bisa merasakan adanya 'kehidupan' di api unggun ini. Gimana?", tanya mas Giman kembali.


Keningku berkerut. Aku masih belum paham maksud dari mas Giman. Mas Giman tampaknya menyadari kebingunganku.


"Jangan dipikirkan... tapi rasakan. Kebanyakan mikir malah jadi bingung sendiri loh. Hehehe.


Gini, mas Giman kasih petunjuknya aja ya...", ucap mas Giman.


Aku melihat tangan kanan mas Giman masuk ke saku kanan celananya, lalu mengeluarkan secarik kertas. Setelah itu mas Giman mengarahkan telapak tangan kirinya pada kertas tersebut dan membacanya.


Aku terkejut. Apa mataku tidak salah lihat??? Membaca tulisan di kertas? Seorang tuna netra? Bagaimana bisa?


"He... hebat sekali mas Giman ini...!", gumamku dalam hati.


Tanpa sadar aku memujinya. Memang, sejak awal aku mengetahui kalau mas Giman seorang tuna netra, aku sudah mulai kagum kepadanya. Apalagi sampai mampu naik sepeda motor sendirian. Aku tidak bisa membayangkan jarak yang ditempuh, berkelok-kelok, bertemu lampu merah, perempatan, kendaraan-kendaraan lain baik yang searah maupun yang berlawanan, dan sebagainya. Apalagi sekarang ditambah dengan membaca tulisan di kertas. Uuh, kemampuan seperti apa lagi yang bisa dilakukan oleh ilmu getaran ini? Sejauh ini, aku belum pernah dijelaskan banyak hal oleh ayah. Ayah hanya bilang kalau ilmu ini sangat istimewa. Itu saja. Tapi sejauh mana keistimewaannya, aku sendiri tidak tahu. Saat ini, aku memang bisa merasakan ini dan itu dengan getaran, tapi tak pernah kusangka bisa sejauh ini. Bahkan aku merasa ilmu getaran itu bisa jauh lebih dari yang aku lihat pada sosok mas Giman ini.


Mas Giman mulai membaca tulisan yang ada di kertas putih itu dengan telapak tangannya.


"Dari alam semesta menjadi sebuah kekuatan,


Diolah jadi rasa,


Peraba menjadi daya cipta yang dilihat oleh naluri.


Dikendalikan oleh mata hati.", lanjut mas Giman.


Mas Giman mengulangi kata-kata itu hingga beberapa kali.


Aku terdiam mendengar ucapan mas Giman, memejamkan mata, lalu meresapkan dalam hati.


"Dah... itu aja sih. Jelas khan?", tanya mas Giman.


Aku mengangguk.


"Iya mas Giman... jelas...", jawabku mantap.


"Ok. Kalau gitu, selamat merasakan ya. Mas Giman mau rebahan dulu di depan tenda. Kalau udah ketemu adanya 'kehidupan' di api unggun itu. Kasih tau mas Giman ya. Atau bangunin mas Giman ya.", ucap mas Giman.


"Iya... Ini ga akan lama kok mas Giman. Hehehe...", jawabku dengan yakin.


Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #63 on: 13/11/2011 02:22 »
Mas Giman tidak menjawabnya, tapi langsung berdiri dan berjalan melewatiku menuju tikar panjang di depan tenda. Setelah itu beliau rebahan disitu.


Aku memandangi api unggun itu. Mulai bertanya apakah ada 'kehidupan' disitu seperti yang dimaksud oleh mas Giman. Penasaran, aku geser tempat dudukku. Lalu telapak tangan kananku kuhadapkan pada api unggun. Mataku terpejam, lalu kupancarkan getaran melalui telapak tanganku pada api unggun itu.


Lima detik. Sepuluh detik. Aku tidak merasakan adanya keanehan. Hanya terasa 'sentuhan' antara getaranku dengan energi panas dari api unggun itu.


Penasaran, aku coba lagi. Sekarang dengan dua tangan. Kupancarkan lagi getaran melalui kedua telapak tanganku pada api unggun itu.


Sepuluh detik. Dua puluh detik. Tiga puluh detik. 'Rasa'-nya masih sama. Tidak ada keanehan. Tapi kenapa mas Giman bilang ada 'kehidupan' pada api unggun ini?


Aku terduduk diam. Entah berapa lama. Ini menjadi lebih sulit dari yang aku perkirakan.


Perlahan aku tertunduk. Memejamkan mata. Membuka telapak tangan, dan mencoba lagi. Hasilnya sama saja. Aku tidak menemukan 'rasa' yang aneh disitu. Mencoba lagi dan lagi. Entah sudah berapa banyak aku mencoba. Hingga peluhku sudah mulai sebesar jagung.


Aku putuskan untuk istirahat dulu. Tenggorokan ini rupanya sudah mulai terasa kering. Aku berdiri dan berjalan menuju rak minuman yang sudah ayah buat sebelumnya. Sebuah cangkir yang berukuran cukup besar aku ambil. Lalu kuisi dengan air secukupnya hingga setinggi tiga perempat cangkir lebih. Kuteguk satu kali. Segar sekali air ini di tenggorokanku. Sambil membawa cangkir tersebut, aku kembali ke tempat dudukku di dekat api unggun.


Aku mulai merenung. Sambil memandangi api unggun di depanku. Sinar bulan mulai menyeruak, rupanya awan-awan yang ada mulai bergerak akibat pengaruh angin musim. Uuh, Ini ternyata tidak semudah tadi. Sebelumnya aku begitu lancar. Hingga mas Giman berulang kali memujiku. Aku melihat ke arah mas Giman yang masih berbaring. Aku tidak tahu apakah beliau tertidur atau sedang senyum-senyum saja.


Tangan kananku kembali meraih cangkir air minum. Sesaat sebelum meminum airnya, cangkir itu terhenti di depanku. Pandangan mataku tertumbuk pada pantulan bentuk bulan yang tercermin di air. Meski tidak rapi benar karena terbentuk riak-riak air, tapi aku tahu kalau itu pasti bulan yang terpantul di air.


Dheg...!


Aku merasa menemukan sesuatu.


Aku buru-buru meletakkan cangkirku kembali di tanah. Kini kupilih yang lebih datar. Mataku kini mengamati benar bentuk bulan yang tercermin disitu. Awalnya, karena masih ada riak gelombang disitu, bentuk bulan menjadi 'rusak'. Tapi setelah aku diamkan beberapa waktu seiring dengan riaknya yang mulai menghilang, bentuk bulan mulai terlihat jelas. Eh, aku bisa melihat bulan dari cangkir ini.


Tiba-tiba aku teringat ucapan ayah, "hidup ini adalah proses yang amat rumit, ada banyak hambatan dan halangan di dalamnya. Kalau kamu ingin naik ke level yang tinggi, maka hambatan dan halangan itu harus kamu lalui, harus kamu hilangkan. Pisahkan dulu antara energi positif dan negatif. Barulah setelah itu kamu akan bisa naik setingkat lebih tinggi. Diam adalah suatu sikap. Tenang adalah suatu sikap. Hening adalah suatu sikap. Semuanya menuju mata hati."


Aku tersenyum.


Bulan dalam cangkir itu tidak akan bisa terlihat jelas kalau riak gelombang pada air di cangkir masih banyak. Kalaupun terlihat, maka bentuknya tidak seperti yang sebenarnya. Cangkir itu harus aku tenangkan dulu, didiamkan, agar riak gelombangnya menjadi lembut.


Didiamkan. Ditenangkan. Dilembutkan.


Diam adalah suatu sikap. Tenang adalah suatu sikap. Hening adalah suatu sikap. Semuanya menuju mata hati.


Hening... menuju mata hati.


"Ayah... aku mulai paham...", ucapku dalam hati.


Aku mulai memejamkan mata, diam, tenang. Kedua telapak tangan aku hadapkan pada api unggun tersebut. Memancarkan getaran terhadapnya. Perlahan, aku masuk pada tahap 'bulan dalam cangkir'. Masuk pada tahap hening, menuju mata hati.


"Eh.. ini... ini... kok bisa???", ucapku perlahan secara spontan.


Aku terkejut.


Api ini menjadi terasa berbeda! Sangat berbeda!





(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #64 on: 18/11/2011 19:58 »
Tembang Tanpa Syair - Bagian 27

Bukan Mata Ini Yang Buta


Aku langsung melompat kaget saat 'sentuhan' getaranku mengenai api unggun itu. Aku berdiri terdiam. Rasa yang sangat unik itu benar-benar lain saat sebelum aku masuk pada tahap 'bulan dalam cangkir'. Perbedaannya nyata sekali. Saat masuk dalam tahap hening, saat ketika hambatan-hambatan itu aku singkirkan dan mulai 'menjernihkan' hati, maka aku seperti tertarik masuk lebih dalam lagi.

Aku bergegas menuju tempat mas Giman beristirahat. Membungkukkan badan, lalu memanggilnya perlahan.

"Mas Giman...", ucapku perlahan memanggilnya.

Mas Giman menoleh.

"Gimana?", tanya mas Giman bersemangat.

"I... iya mas...", jawabku terbata-bata.

Aku melihat mas Giman buru-buru duduk menghadap ke arahku.

"Wuiih... cepat sekali! Beneran udah?", puji mas Giman.

Aku mengangguk.

"Sejujurnya Aa ngga tau sih apa ini yang dimaksud oleh mas Giman. Tapi memang rasanya sangat berbeda dibanding sebelumnya.", ucapku bersemangat.

Aku melihat mas Giman tersenyum.

"Duduklah dulu...", pinta mas Giman.

Aku menurut. Aku mengambil tempat duduk di dekat salah satu sudut tikar yang diduduki oleh mas Giman. Tikar itu cukup lebar. Lebarnya cukup untuk dua orang dewasa tidur disitu.

"Tadi, susah? Atau mudah?", tanya mas Giman.

"Awalnya sih susah mas. Aa udah coba berkali-kali, tapi tetap 'rasa'-nya sama saja. Diulangi sampe beberapa kali juga ga ada pengaruh.", jawabku.

"Trus?", tanya mas Giman penasaran.

"Ya akhirnya Aa istirahat dulu. Minum dulu pake cangkir yang itu...", jawabku sambil telunjuk tangan kananku menunjuk pada cangkir yang saat ini masih berada di dekat api unggun.

"Saat kemudian ingin minum lagi, ga sengaja Aa melihat pantulan bulan pada air di dalam cangkir. Pantulannya saat itu masih terlihat samar dan tidak jelas. Karena terhalang oleh riak gelombang air di dalam cangkir. Tapi setelah Aa letakkan cangkir itu di tempat yang agak datar, trus Aa memperhatikan  pantulan bulan yang ada di dalam air, Aa serasa dapet ide mas.", lanjutku.

"Oh ya?", ucap mas Giman.

Kepalanya manggut-manggut.

"Setelah didiamkan beberapa saat, riak gelombangnya sudah mulai 'hilang' dan di dalam cangkir ini kini terlihat 'wajah' bulan itu mas. Aa teringat ucapan ayah kalau hidup ini adalah proses yang amat rumit. Ada saja halangan dan rintangannya. Timbul ide, kalau ingin terlihat 'bulan dalam cangkir' maka gelas harus didiamkan, ditenangkan, dilembutkan. Tenang adalah suatu sikap untuk menuju keheningan. Kalau tidak tenang, tidak akan bisa masuk pada hening. Kalau tidak hening, maka tidak akan bisa masuk pada mata hati. Kalau nalar tidak pas, tunda dulu. Kalau hati tidak yakin, jangan teruskan. Kalau mantap dua-duanya, barulah dilanjutkan. Begitu mas yang dulu ayah katakan. Kalau kondisi itu digabung dengan tahap 'bulan dalam cangkir', maka hasilnya menjadi sangat berbeda.", ucapku menjelaskan singkat dengan bersemangat.

"Hebaaat... ayah hebat punya anak hebat!", puji mas Giman.

Aku hanya garuk-garuk kepala saja.

"Ah mas Giman ini bisa aja... Muji-muji mulu...", jawabku malu-malu sambil tersenyum simpul.

"Trus, bagaimana 'rasa' api itu sekarang?", tanya mas Giman.

"Saat Aa masuk pada tahap 'bulan dalam cangkir', Aa merasa seperti ada denyutan kecil pada api itu mas. Seperti ada 'detak jantung' kecil pada api itu. Berdetak. Berdenyut. Denyutannya terasa sekali. Meski sangat kecil dan halus. Begitu konsentrasi buyar dikit, denyutan itu hilang sudah.", jawabku menjelaskan.

"Ya, seperti itulah. Akan ada 'rasa' yang berbeda manakala hati kita jernih. Saat kita tidak berambisi terhadap sesuatu. Atau lebih tepatnya, saat kita ikhlas.", ucap mas Giman singkat.

Aku mengangguk. Membenarkan ucapan mas Giman.

Saat aku ingin sekali merasakan, aku malah tidak bisa merasakan. Saat aku bernafsu ingin sekali mengetahui bagaimana rasanya, aku malah tidak bisa mencapai itu. Saat aku terus memikirkan seperti apa rasanya, aku malah buyar. Tapi saat aku 'melepas' keinginan, maka seluruh sel-sel dan syaraf di tubuhku seperti generator yang sangat kuat. Plong. Tanpa hambatan. Sepertinya, saat aku 'terprogram' untuk ingin sekali merasakan 'rasa'-nya, maka aku semakin tidak bisa merasakan apa-apa. Tapi semakin aku ikhlas, maka 'rasa' itu muncul dengan sendirinya. Kuat, dan menguat.

"Anu... mas, boleh nanya ga?", tanyaku kepada mas Giman.

"Boleh. Silahkan...", jawab mas Giman.

"Apakah dulu ayah mengajarkan getaran ke mas Giman sama seperti yang ayah ajarkan ke Aa?", tanyaku penasaran.

Jujur, aku ingin tahu. Karena banyak hal yang aku tidak ketahui mengenai ilmu ini. Saat melihat sosok mas Giman, aku jadi lebih bisa melihat banyak hal lagi mengenai ilmu getaran. Menjadi sangat menarik dan unik. Apalagi ilmu ini ternyata banyak berbicara mengenai 'rasa'. Bukan rasa seperti halnya kulit kita dicubit atau rasa seperti halnya kulit kita kena dingin dan panas. Tapi 'rasa' di dalam rasa. Ada kontak dengan mata hati. Sesuatu yang lebih dalam lagi

"Beda...", jawab mas Giman singkat.

"Beda?", tanyaku dengan kening berkerut.

"Iya. Sebenarnya pengetahuanmu mengenai getaran jauh lebih baik dibanding mas Giman loh. Termasuk kemampuanmu yang kamu tunjukkan itu.", ucap mas Giman.

"Dulu, ayahmu hanya mengajarkan tiga jenis kemampuan kepada mas Giman. Pertama, kemampuan untuk meningkatkan orientasi mobilitas. Begitulah bahasa ayahmu. Intinya, meski buta, mas Giman masih punya potensi untuk dikembangkan. Potensi naluri. Dan inilah yang dilatih oleh ayahmu kepada mas Giman. Kedua, kemampuan deteksi benda, termasuk di dalamnya perbedaan jarak dan bentuk. Ini mengarah pada kemampuan halang rintang. Bagaimana menghindari halangan dan rintangan. Ketiga, kemampuan deteksi warna. Itu saja dulu mas Giman dapetnya.", lanjut mas Giman.

"Memangnya dulu mas Giman mau langsung latihan getaran sama ayah?", tanyaku penasaran.

"Ya awalnya sih ngga tau dan ngga mau. Tapi karena ayahmu bilang kalau waktu yang dipake buat latihan akan digantikan sebagai ongkos pijat. Ya mas Giman jadi mau. Hehehe.", jawab mas Giman.

"Awalnya memang sulit, karena mas Giman sendiri ga tau itu latihan apa. Mas Giman ikutin aja terus, karena ya setiap selesai latihan, mas Giman khan dibayar sebesar ongkos pijat normal selama satu hingga dua jam.

Saat latihannya masuk pada materi deteksi ruang kosong-isi itulah mas Giman baru menyadari kalau yang dikatakan ayahmu itu benar adanya.", lanjut mas Giman.

"Deteksi ruang kosong – isi? Maksudnya?", tanyaku kembali.

Aku melihat mas Giman tersenyum.

"Ya setelah ayahmu mengajarkan mas Giman beberapa bentuk olah nafas yang disebut dengan olah nafas Pengolahan tingkat dasar, setelah itu mas Giman disuruh membentuk gerakan seperti ini...", jawab mas Giman.

Tangannya bergerak di depan dada tapi dengan telapak tangan tidak bersentuhan.

"Pada ruang kosong diantara kedua telapak tangan mas Giman ini terasa sesuatu. Seperti 'bola' air yang sangat lunak. Hangat.", lanjut mas Giman.

Aku mengangguk. Latihannya agak mirip seperti yang pernah ayah ajarkan padaku.

"Setelah itu mas Giman mendorongkan kedua telapak tangan ini ke depan, dan diminta oleh ayahmu untuk membedakan rasa saat ada benda dan tidak ada benda. Termasuk juga naluri saat ada benda dan tidak ada benda. Mas Giman bisa merasakan di hati ini kalau benda itu ada disitu. Kalau dipindah, ya naluri mas Giman bisa merasakan kalau benda itu sudah tidak pada tempatnya lagi. Sudah dipindah. Itulah pengertian dari kosong-isi. Dan memang rasanya sangat berbeda sekali saat ada benda dan saat tidak ada benda.", ucap mas Giman.

"Meskipun heran dan aneh, tapi mas Giman mulai merasakan manfaatnya. Setelah latihan itu, setiap kali mas Giman menggerakan tangan kemana saja mas Giman bisa merasakan keberadaan benda disekitar mas Giman. Dari 'rabaan' itu. Rasanya sangat unik dan menyenangkan. Apalagi saat mas Giman 'meraba' permukaan meja, mas Giman bisa merasakan ada benda disitu. Meski mas Giman belum tahu apa bendanya. Tapi mas Giman bisa merasakannya dan bisa meraihnya. Lambat laun, kemampuan kepekaan melakukan 'rabaan' itu meningkat secara drastis.", lanjut mas Giman.

"Kok bisa? Memangnya mas Giman melatih sendiri di rumah?", tanyaku penasaran.

"Mas Giman sih sebenernya gak melatih secara khusus. Tapi ya karena mas Giman buta, rasa 'rabaan' itu sesuatu yang baru buat mas Giman. Akhirnya ya setiap saat selalu terpakai kemampuannya. Semakin lama, semakin peka dan semakin mudah merasakan keberadaan benda di sekeliling mas Giman. Awalnya dari telapak tangan, kemudian setelah itu merembet sendiri ke bagian yang lain.", jawab mas Giman.

"Setelah kira-kira tiga bulanan, mas Giman sudah bisa melakukan apa yang disebut ayahmu sebagai tahap deteksi benda pada model 'halang-rintang', yakni mas Giman harus bisa melewati tonggak-tonggak kayu yang disiapkan secara acak oleh ayahmu. Dan mas Giman tidak boleh nabrak.", lanjut mas Giman.

"Trus, mas Giman bisa?", tanyaku.

Aku melihat mas Giman mengangguk.

"Tentu saja. Karena kepekaan mas Giman dilatih setiap saat, maka proses melewati tonggak-tonggak itu menjadi cukup mudah untuk mas Giman. Sekarang, setiap kali bagian tubuh mas Giman bergerak, maka mas Giman bisa merasakan keberadaan benda di sekelilingnya. Naluri mas Giman terus menerus diasah untuk itu.", jawab mas Giman.

"Seperti sekarang ini... disitu ada tali. Ada tikar. Itu batas tikarnya. Ada batu disitu. Disebelah kanan ini ada sendal mas Giman. Di belakangnya ada tali. Di depan situ ada cangkir minummu. Termasuk juga kaos yang kamu pakai itu berwarna biru. Dan banyak lagi...", lanjut mas Giman.

Aku melihat tangannya bergerak perlahan ke kanan dan ke kiri. Bergantian antara tangan kanan dan kiri. Terkadang dengan telapak tangan terbuka ke atas, terkadang dengan telapak tangan terbuka ke bawah. Juga kepala mas Giman yang bergerak perlahan ke kanan dan ke kiri. Seolah merasakan pada pipi kanan dan kiri.

"Eh... benar juga...", gumamku dalam hati.

"Semua karena mas Giman melatih ini...", ucap mas Giman sambil tangan kanannya mengarah di tengah dadanya.

"Semua karena mas Giman melatih hati... mata hati. Ilmu getaran ini akan menajamkan mata hati. Tajam, peka. Peka terhadap diri sendiri, peka terhadap sekeliling.", lanjut mas Giman.

Aku mengangguk kembali. Membenarkan ucapan mas Giman. Itu jugalah yang sering dikatakan oleh ayah. Hanya saja, latihan yang ayah berikan pada mas Giman begitu sederhana. Sangat berbeda dengan latihan yang diberikan ayah kepadaku. Hanya melakukan olah nafas tingkat dasar, lalu ditambah latihan tertentu untuk peningkatan kepekaan tubuh sudah membuat mas Giman bisa seperti ini? Hebat sekali. Aku semakin kagum pada mas Giman, dan juga pada ayah. Dengan kecerdasannya, ayah memberikan materi tingkat dasar dengan penerapan yang berbeda untuk tunanetra. Dan berhasil.

Latihannya sangat sederhana. Tidak ada hal-hal yang aneh atau klenik di dalamnya. Dimulai dari belajar melakukan bentuk-bentuk olah nafas tertentu yakni nafas Pengolahan dan Nafas Pembinaan untuk tingkat dasar, kemudian dilanjutkan dengan latihan kepekaan yakni dari membedakan antara ruang kosong dan ruang berisi benda. Terus saja seperti iti dipertajam dan diperhalus hingga bisa menemukan perbedaan rasa antara kosong-isi. Aku mulai paham, keberhasilan mas Giman dengan cepat adalah karena mas Giman memang tidak punya ambisi untuk bisa. Mas Giman mengikuti begitu saja setiap latihan dan instruksi dari ayah tanpa penolakan, tanpa bertanya, dan tanpa memikirkan. Mas Giman melakukannya. Terus dan terus. Seluruh sel-sel syarafnya mengikuti setiap proses latihan. Dan di rumah, mas Giman mengasahnya terus menerus. Tentu saja, sebagai seorang tuna netra, mas Giman tidak mengenal kapan siang dan malam menggunakan teori jam. Baginya sama saja. Siang ataupun malam, hanya kegelapan yang menemani. Tidak ada bedanya antara merah dan biru. Semua hanya berada pada gradasi antara hitam dan putih. Dengan ilmu getaran ini, sosok mas Giman seperti 'dilahirkan kembali'. Terasa sekali semangatnya, peningkatan kemampuannya, dan apa yang bisa dilakukan olehnya.

"Setelah mulai berkenalan dengan konsep warna pada getaran, mas Giman mulai memandang lain pada apa yang diajarkan oleh ayahmu ini. Juga terhadap sosok ayahmu itu.", ucap mas Giman.

Aku melihatnya tersenyum kecil. Terasa sekali ada penghormatan pada nada bicaranya.

"Setiap kali mas Giman ingin berterima kasih, ayahmu selalu menolak dan mengatakan agar berterima kasihlah pada Allah SWT dan juga yang menemukan ilmu getaran ini. Yakni para sesepuh, guru ayah, dan guru dari guru ayah, gurunya dari gurunya guru ayah, hingga terus pada silsilah para pendahulunya. Ayahmu hanyalah sebagai perantara saja. Begitu kata ayahmu.", lanjut mas Giman sambil tersenyum.

"Ada kalimat dari ayahmu yang selalu mas Giman kenang dan teringat. Setiap kali mengingatnya, mas Giman selalu ingin menangis.", ucap mas Giman.

"Sesaat setelah mas Giman sudah dianggap berhasil melakukan apa yang ayahmu minta, ayahmu berkata seperti ini...", lanjut mas Giman sambil bercerita.

***

"Mas Giman, masih ingat dulu pertama kali mas Giman mengeluh pada saya mengenai keadaan mata mas Giman yang buta? Nah, bagaimana sekarang setelah saya latih?", ucap ayah.

"Iya mas. Ini jauh lebih baik sekarang...", jawab mas Giman.

"Alhamdulillah. Sesungguhnya bukan mata mas Giman yang buta. Tapi hati yang di dalam dada mas Gimanlah yang buta. Yang merasa minder, ketakutan, kekhawatiran karena merasa kekurangan. Kalau hati mas Giman dilatih, maka mas Giman akan mendapatkan 'penglihatan' mas Giman kembali. 'Penglihatan' yang tidak kalah hebatnya dengan mata orang normal. Beratus-ratus kali lipat lebih baik dari mata normal. Lebih luas, lebih jauh, dan lebih tajam...", ucap ayah.

"Ini adalah jodoh, bahwa ilmu ini bisa bermanfaat untuk mas Giman. Bersyukurlah pada Allah SWT.", lanjut ayah.

"Ingatlah, bahwa bukan mata ini yang buta tapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada. Yang buta ialah mata hati. Jadi, kalau 'mata' dan 'telinga' di dalam dadanya ini belum berfungsi, maka orang itu akan buta. Ia tak akan bisa melihat apa-apa. Tak akan bisa melihat makna.", tutup ayah.

***

Aku melihat mas Giman mengatupkan kedua kelopak matanya. Bola matanya agak bergerak-gerak. Sepertinya ada desakan perasaan yang ingin keluar setelah menceritakan ini.

Suasana menjadi sunyi.

"Jadi ya mas Giman latihannya seperti itu saja selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun.", ucap mas Giman memecah kesunyian.

Aku melihat mas Giman berusaha tersenyum.

"Loh, trus tadi khan mas Giman juga tau istilah-istilah getaran pribadi, bumi, angkasa, dan sebagainya.", tanyaku lebih penasaran sambil berusaha mencairkan suasana.

"Nah, kalo itu ceritanya panjang. Hehehe...", jawab mas Giman sambil tertawa kecil.

"Termasuk juga kenapa tempat ini yang dipilih oleh ayahmu. Itu juga ada sejarahnya. Disini juga dulu ayahmu mengajarkan materi lanjutan kepada mas Giman. Makanya mas Giman bisa tahu istilah-istilah itu. Mas Giman sih ngga minta, ayahmu yang mau. Katanya itu jodoh. Kalo jodoh, ga usah dikejar juga dateng sendiri atau didatengi. Justru kalo semakin berambisi, malah menjauh.", lanjut mas Giman.

Aku mulai paham.

"Terima kasih mas Giman atas ceritanya. Ini banyak memberikan pengetahuan buat Aa...", ucapku tulus.

Aku melihat mas Giman mengangguk.

"Ayo, sekarang kita belajar getaran untuk deteksi...", ucap mas Giman bersemangat.

Aku melihat mas Giman berdiri dan berjalan melewatiku. Mas Giman berhenti kira-kira ditempatku duduk.

"Sini, kita mulai...", pinta mas Giman.

Aku mengangguk.

"Siap mas!", jawabku bersemangat.




(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #65 on: 31/01/2012 16:01 »
Tembang Tanpa Syair - Bagian 28


THEG...



Mas Giman berdiri. Berjalan perlahan. Mengambil jarak kira-kira lima meter dari tempatku, bergerak menuju salah satu pohon di seberang api unggun. Aku memandangi punggungnya yang berjalan menjauh.

Setelah sudah dekat dengan pohon, beliau kemudian berbalik. Tangannya melambai ke arahku, memintaku untuk mendekatinya. Aku menurut, lalu berjalan perlahan menuju arah yang sama. Baru lima langkah berjalan, mas Giman menyuruhku berhenti.

"Stop... disitu saja...", ucap mas Giman.

Aku berhenti.

"Malam ini, mas Giman akan ajarkan sesuatu yang mas Giman dapatkan dari ayahmu. Entah apakah ini sudah pernah kamu dapatkan atau belum, mas Giman tidak tahu. Nanti kamu rasakan saja.", ucap mas Giman.

Aku mengangguk.

"Yang mas Giman ajarkan ini adalah kemampuan untuk mengolah naluri, untuk melakukan sambung rasa. Agar kamu mengikuti kreteg hati. Agar bisa merasakan 'theg' di hati. Caranya mudah, kamu tidak perlu melakukan hal yang aneh-aneh, tidak pula harus melakukan sesuatu yang tidak wajar.

Mas Giman hanya minta kamu tutup mata kamu. Lalu ikuti gerakan tangan mas Giman. Kalau mas Giman angkat tangan kiri, maka kamu ikuti dengan mengangkat tangan kiri. Kalau mas Giman angkat tangan kanan, maka kamu ikuti dengan mengangkat tangan kanan. Paham?", lanjut mas Giman.

"Aa paham mas..", jawabku.

"Baiklah. Sekarang tutup matamu. Tutup dengan sempurna. Kalau ragu, kamu boleh pakai penutup mata.", ucap mas Giman.

Aku mengeluarkan penutup mata dari saku celanaku. Bentuknya seperti kacamata tidur, terbuat dari kain yang berwarna hitam pekat, sebagian memiliki karet untuk membuat posisinya tetap dan tidak bergeser. Penutup mata ini dikaitkan pada kedua telinga, persis seperti saat kita mengenakan kacamata. Aku mengenakan penutup mata itu dengan kedua tanganku. Memastikan posisinya pas dan nyaman. Memastikan pula tidak ada cahaya yang masuk ke dalamnya.

"Aa sudah siap mas...", jawabku.

"Bagus. Sekarang, kamu lakukanlah dulu niat yang bersih. Niat untuk belajar getaran naluri. Setelah itu, berdoa dalam hati kepada Allah, memohon keselamatan dan kemudahan dalam latihanmu kali ini... Doanya biasa saja, tak perlu macam-macam karena memang tidak ada doa khusus untuk ini.", ucap mas Giman.

Aku menurut. Aku menarik nafas halus dari hidung. Perlahan, lalu menahannya di dada. Dilanjutkan dengan berdoa dalam hati memohon kemudahan dan keselamatan diri dalam latihan kali ini. Beberapa detik kemudian dadaku terasa menghangat. Selesai berdoa, aku membuang nafas halus dari mulut perlahan. Sekaligus menyiapkan niat yang bersih dan konsentrasi untuk mengikuti instruksi dari mas Giman. Pembukaan ini sama seperti yang ayahku selalu ajarkan kepadaku. Berdoa, dan berniat yang bersih saat melakukan aktivitas. Niat yang tanpa fokus. Niat yang tulus. Niat yang ikhlas.

Dingin angin malam terasa merayapi kulitku. Terpaan angin juga kurasakan menyusup dari pakaian yang kukenakan.

"Tidak usah menggunakan tenaga. Cukup gunakan saja getaran nalurimu... Berniatlah kalau kamu ingin mengikuti gerakan dari mas Giman. Seperti itu saja.

Sekarang, mana tangan mas Giman yang bergerak dan bagaimana gerakannya, kamu ikuti. Bersiaplah...", ucap mas Giman.

Aku menurut. Aku konsentrasi pada hatiku. Membiarkan naluriku menuntun untuk menggerakkan tangan yang mana yang sesuai dengan perintah naluriku.

Aku teringat ucapan ayah.

Naluri, adalah potensi dasar dari manusia. Potensi dasar yang memungkinkan manusia bisa bertahan hidup, bisa membedakan, dan bisa melahirkan banyak pengetahuan. Potensi yang menuntun manusia pada gerakan. Gerakan fisik, gerakan pikiran, gerakan hati, dan gerakan yang lainnya. Sesuatu yang dimiliki oleh siapapun. Sesuatu yang bisa mengarahkan manusia untuk melakukan sesuatu, merasakan sesuatu, atau untuk mendeteksi sesuatu. Sesuatu yang bisa menghubungkan perasaan antara seorang ibu dengan anaknya, antara seorang ayah dengan anaknya, antara seseorang dengan orang lain. Dalam hati, ketika sudah muncul 'kreteg' atau 'theg', maka 'kreteg' itulah sinyal penanda kamu harus melakukan apa. Nanti tubuhmu akan mengikuti dengan sendirinya. Diikuti saja. Demikian ucapan ayah.

Sepuluh detik, lima belas detik berlalu... Tidak terasa apa-apa.

Dua puluh detik berlalu, tiga puluh detik berlalu... Masih belum terasa apa-apa. Aku menggelengkan kepala. Mencoba berkonsentrasi lagi. Tiga detik, lima detik berlalu. Masih belum terasa apa-apa juga. Otot-ototku perlahan mulai mengeras.

Aku mulai ragu.

"Kuatkan niatmu. Jangan ragu. Yakinlah pada dirimu sendiri. Yakinlah pada hatimu. Biarkan ia menuntunmu. Biarkan ia menuntunmu untuk mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar, dengan mata hati.", ucap mas Giman seperti memahami kebimbanganku.

Eh, ucapan itu seperti yang pernah dikatakan oleh ayahku. Perlahan aku kendurkan otot-otot tubuhku yang tadi sempat mengeras. Rileks. Aku mencoba masuk pada tahap bulan dalam cangkir. Diam adalah suatu sikap. Tenang adalah suatu sikap. Hening adalah suatu sikap. Semuanya menuju mata hati.

Lima detik belalu... sepuluh detik...

Theg.

"Eh.. ini ... ini...", gumamku dalam hati. Aku merasakan seperti ada yang sesuatu yang menggetarkan hati ini.

Aku tiba-tiba ingin sekali menggerakkan lengan kiriku. Aku ingin sekali mengangkat lengan kiri itu setinggi bahu ke arah depan. Aku ikuti 'kreteg' rasa hatiku. Aku ikuti 'theg' di hatiku. Inikah yang namanya 'theg' itu seperti yang dulu ayah katakan dan mas Giman maksudkan?

Aku gerakkan lengan kiriku setinggi bahu ke arah depan. Satu detik, dua detik, tiga detik, kemudian muncul kembali rasa itu...

Theg.

"Eh... ini... muncul lagi...", gumamku dalam hati lagi. Aku merasakan seperti ada sesuatu yang memintaku menurunkan lengan yang sedang aku angkat sekarang. Aku ikuti saja. Perlahan aku turunkan lengan kiriku hingga kembali ke samping tubuhku.

"Bagus..!", ucap mas Giman terdengar jelas.

"Sekarang ikuti lagi gerakan mas Giman... Ikuti kata hatimu", lanjut mas Giman.

Lima detik, sepuluh detik berlalu...

Theg..

"Eh... rasa ini muncul lagi...", gumamku dalam hati.

Sekarang, aku ingin sekali menggerakkan lengan kananku setinggi bahu tapi ke arah samping. Perlahan, aku turuti, dan aku gerakkan lengan kananku menyamping sampai setinggi bahu. Lalu aku gerakkan ke depan perlahan hingga sejajar dan kemudian meninggi ke atas. Aku ikuti saja 'theg' dihatiku. Membiarkan tubuhku dituntun oleh rasa apa yang muncul di hati ini.

"Bagus...!", ucap mas Giman keras.

"Sekarang, kamu berjalanlah mendekat kesini. Perlahan saja. Niatkan dalam hatimu untuk naluri halang rintang dan berhenti tepat di depan mas Giman dalam jarak satu langkah.", lanjut mas Giman.

Aku menurut.

Aku mulai melangkah perlahan. Dimulai dari setengah langkah kecil kaki kanan. Lalu satu langkah besar. Maju lagi setengah langkah kaki kiri. Maju lagi satu langkah kaki kanan.

Theg...

Rasa itu muncul kembali di hati. Memintaku untuk berhenti. Aku terdiam. Gerakanku terhenti. Aku mencoba untuk maju, tapi 'theg' di hati ini seolah tidak mengizinkanku untuk maju. Tubuh ini jadi tertahan. Hasratku ingin sekali melangkah maju, tapi hati ini menolaknya.

"Jangan dibenturkan antara rasa hatimu dan keinginanmu. Kalau keinginanmu untuk melangkah tapi terhalang oleh rasa hatimu, maka ikuti saja rasa hatimu. Ingat, rasa di dalam rasa akan menuntunmu ke dalam kebenaran. Kuatkan niatmu untuk naluri halang rintang. Niatkan untuk mencari jalan untuk maju, menuju kehendaku berada di depan mas Giman.", ucap mas Giman.

Aku menurut.

Aku menunggu 'sinyal' di hati ini ini. Lima detik, sepuluh detik.

Theg...

Rasa itu kembali muncul di hati ini. Aku ingin sekali menggeser tubuhku ke samping kiri. Aku ikuti saja. Satu langkah besar ke samping kiri. Lalu perlahan aku ingin sekali melangkah maju. Satu langkah, dua langkah.

Theg...

Tubuhku kembali 'macet'. Berhenti. Belajar dari pengalaman sebelumnya, aku tidak boleh membenturkan keinginanku dengan rasa hatiku. Aku memilih untuk mengikuti rasa hatiku. Satu detik, dua detik, lima detik.

Theg..

Aku ingin sekali melangkah ke kanan. Aku ikuti. Aku biarkan kakiku bergerak ke kanan mengikuti naluri. Bahuku juga tiba-tiba seperti terdorong ke belakang sehingga arah tubuhku kini berjalan menyamping. Langkahku kini berubah, berganti menjadi berjalan menyamping. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah.

Theg...

Aku kembali terhenti. Tubuhku kembali 'macet'. Tidak bisa bergerak. Aku kembali konsentrasi dan niatkan untuk halang rintang, untuk mengikuti 'kreteg' hati ini.

Perlahan, aku mulai bisa merasakan sinyal-sinyal itu. Aku mulai terbiasa dengan sinyal-sinyal itu. Kaki kiriku  melangkah ke depan, diikuti dengan kaki kananku. Sementara kedua tanganku masih menjuntai di samping. Rileks. Aku maju satu langkah, dua langkah, lalu aku ingin sekali menggeser bahu kanan ini. Aku turuti. Lalu berjalan kembali ke depan. Satu langkah, dua langkah.

Theg...

Aku terhenti. Maju tidak bisa. Ke kanan juga tidak bisa. Ke kiri tidak bisa. Mundur juga demikian.

"Bagus... itu sudah benar!", ucap mas Giman perlahan.

Eh, suaranya terasa sangat dekat. Jangan-jangan aku memang sudah berhenti tepat pada jarak satu langkah di depan mas Giman.

Penasaran, aku membuka penutup mataku dengan kedua tanganku. Mengusap mataku perlahan. Mataku samar melihat sosok mas Giman di depanku. Benar saja. Aku melihat mas Giman tepat berada satu langkah di depanku.

Aku heran.

Bagaimana bisa?

"Kamu heran mengapa kok bisa ya?", ucap mas Giman sambil tersenyum seolah memahami keherananku.

"I... iya mas Giman...", jawabku masih dengan keheranan.

"Ayo kita duduk saja dulu di batu itu...", pinta mas Giman sambil tangan kanannya menunjuk ke arah batu yang cukup besar di dekat kami.

Aku mengikuti dari belakang.

Mas Giman memilih batu yang cukup besar. Sementara aku memilih batu yang berukuran sedang. Aku menunggu penjelasan dari mas Giman.

"Ketahuilah, bahwa manusia sesungguhnya memiliki daya naluri yang hebat. Kalau ini dilatih, maka ini akan menjadi gelombang nalurimu. Semakin dilatih, akan semakin tajam. Kamu akan bisa 'merasakan' sekitarmu. Lebih jauh lagi, kamu akan bisa 'membaca' alam sekitar. Semakin tajam, akan semakin luas. Semakin menembus.

Sebagai contoh, dari jarak beratus atau beribu kilometer, seorang ibu bisa merasakan ada musibah terhadap anaknya. Atau seorang anak yang menyayangi ibunya, bisa merasakan kalau ibunya sedang jatuh sakit meskipun terpisah oleh jarak ribuan kilometer. Daya naluri tidak mengenal jarak dan waktu. Sebab jarak dan waktu hanyalah persepsi kita saja. Suatu keadaan untuk mempermudah fenomena dalam memahami sesuatu.", jawab mas Giman menjelaskan.

"Anu... maaf mas Giman, apa maksudnya jarak dan waktu itu hanya persepsi kita saja? Aa masih belum mengerti", tanyaku dengan penasaran.

"Baiklah. Coba tunjukkan pada mas Giman apa yang dimaksud dengan jarak satu meter?", tanya mas Giman.

"Satu meter itu seratus sentimeter. Kira-kira sepanjang segini mas.", jawabku sambil memungut ranting yang aku perkirakan panjangnya satu meter.

"Coba letakkan ranting itu didepanmu dengan jarak dua meter...", pinta mas Giman.

Aku menurut. Aku meletakkan ranting itu di depanku kira-kira berjarak dua meter. Setelah itu aku kembali duduk di atas batu.

"Ambil ranting itu kembali..", pinta mas Giman.

Aku menurut. Ini mudah saja.

Aku menunduk sedikit sambil membungkukkan badan sehingga maju sedikit dari tempat dudukku. Tangan kananku meraih ranting kayu tadi dengan mudah. Aku tersenyum. Sambil duduk, aku menimang-nimang ranting kayu tersebut.

"Letakkan kembali ditempatnya...", pinta mas Giman.

Meski heran, tapi aku menurut. Aku letakkan kembali dengan jarak kira-kira dua meter dari tempatku.

"Sekarang, tutup mata kananmu dengan telapak tangan kanan. Tahan..", pinta mas Giman.

Aku masih belum mengerti, tapi aku menurut saja. Aku tutup mata kananku dengan telapak tangan kananku.

Satu detik, dua detik, lima detik, sepuluh detik.

"Sekarang, kamu ambil lagi kayu itu dengan tangan kirimu dengan tetap masih menutup mata kananmu.", lanjut mas Giman.

Aku menurut. Ah ini sih sama seperti yang tadi.

Aku menunduk sedikit sambil membungkukkan badan seperti gerakan sebelumnya. Tangan kiriku yang bebas aku gerakkan untuk berusaha meraih ranting kayu yang ada di depanku.

"Eh...", aku terkejut.

Aku tidak bisa menyentuh ranting kayu itu dengan tepat seperti tadi. Ranting itu tidak berhasil aku raih. Aku gerakkan ujung tangan kiriku kembali untuk mencoba meraihnya.

"Eh... masih tidak kena!", aku sangat terkejut.

"Mas Giman... kok bisa?", tanyaku keheranan.

"Duduklah kembali. Buka lagi mata kananmu.", ucap mas Giman sambil tersenyum.

"Jadi, jarak hanyalah persepsi saja toh?

Sederhananya, persepsi dari ruang yang ditangkap oleh matamu dengan benda lalu diterjemahkan oleh otak untuk kemudian kamu dikenalkan sebagai pengetahuan jarak.", lanjut mas Giman.

"Kalau misalkan matamu berada dalam kondisi yang kurang normal dari biasanya, entah dengan kamu tutupi satu atau dua-duanya. Maka pengetahuan jarak yang sebelumnya jelas menjadi tidak jelas lagi. Pengetahuan jarak yang sebelumnya ada menjadi tidak ada lagi. Otakmu perlu menyesuaikan lagi dengan keadaan baru yang ada. Otakmu harus menafsirkan ulang agar bisa dikenali.", imbuh mas Giman.

Aku mengangguk. Mulai memahami maksud dari mas Giman.

"Nalurilah yang menjadi awal mula pengetahuan yang kemudian menuntunmu untuk menciptakan dan mendefinisikan 'jarak'.

Dengan kata lain, kamu bisa kembali pada hakekat pengetahuan 'jarak' meski hanya dengan mengandalkan naluri. Yakni naluri yang terlatih, yang dilatih, yang didasarkan pada niat yang bersih dan diarahkan dengan kehendak yang tulus.", lanjut mas Giman.

Aku mulai paham.

"Ketika pengetahuan mengenai getaran nalurimu mengembang, ia akan menimbulkan pengetahuan baru. Nah, pengetahuan baru inilah yang kamu tangkap dengan rasa. Gelombang nalurimu akan bisa kamu kendalikan selama kuncinya kamu selalu pegang.

Kuncinya adalah niat yang bersih dan hati yang ikhlas...", tutup mas Giman.

Aku menunduk. Mendengarkan dengan seksama penjelasan dari mas Giman.

"Ok. Mas Giman rasa itu saja dulu untuk malam ini. Mas Giman istirahat dulu ya. Kalau kamu mau nerusin latihan, mas Giman gak bisa nememin ya.", ucap mas Giman.

"Iya mas Giman, tidak apa-apa. Terima kasih atas penjelasannya.", jawabku.

Aku melihat mas Giman berdiri dari batu tempatnya duduk, lalu berjalan perlahan menuju tenda. Membuka pintu tenda, dan masuk ke dalamnya untuk beristirahat. Aku sendiri masih duduk di tempat yang sama. Masih memikirkan ucapan mas Giman tadi.

Saat melewatiku, mas Giman menepuk pundak kiriku.

"Suatu saat nanti, kamu akan merasakan manfaat dengan melatih nalurimu...", ucap mas Giman.



(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #66 on: 31/01/2012 22:21 »
Tembang Tanpa Syair - Bagian 29

Naluri Yang Membentuk Pengetahuan 'Jarak'


Aku duduk di depan api unggun yang nyalanya mulai mengecil. Aku mengangkat wajah sedikit, mencoba memandang langit. Terlihat awan berarak menutupi rembulan. Malam ini bukanlah malam bulan purnama, tapi sinarnya cukup cerah untuk menerangi sekitar. Dingin angin malam menyapu kulitku, menyelusup pada setiap bagian pakaianku. Merasakan benar terpaan angin kecil pada kedua pipiku.

Aku mencoba memahami ucapan dari mas Giman. Ini sesuatu yang baru buatku. Selama ini memang aku diajarkan banyak hal oleh ayah. Ayah mengajarkanku teknik beladiri. Ayah mengajarkanku juga olah nafas. Dasar-dasar untuk olah rasa, serta mengajariku salah satu keilmuan yang dinamakan 'getaran' yang penerapannya untuk 'tutup mata'. Aku sendiri belum tahu sejauh mana penerapannya. Tapi yang aku lihat pada sosok mas Giman sungguh luar biasa. Tapi apa yang diberikan oleh mas Giman ini sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lain. Yang rasanya unik. Rasanya seperti melengkapi.

Aku memejamkan mata. Menarik nafas perlahan, menahannya di dada sebentar, kemudian menghembuskannya perlahan. Aku memutar telapak tanganku sehingga menghadap ke atas. Tanpa sadar aku memandangi kedua telapak tanganku. Masih terasa ada denyutan-denyutan kecil disana. Aku menghadapkan kedua telapak tanganku dengan jarak sekitar tiga puluh sentimeter. Terasa ada 'sesuatu' diantaranya. Sesuatu yang lunak, hangat, membentur kulit telapak tanganku. Seperti ada 'bola' pada ruang diantara kedua telapak tanganku. Semakin lama semakin 'nyata'. Semakin terasa.

"Bagaimana kalau aku gabungkan, antara naluri dengan deteksi dengan getaran pribadiku.", gumamku dalam hati. Aku mengepalkan kedua tanganku dengan cepat.

Bersemangat.

Semangatku untuk mencoba sesuatu yang baru kembali bergelora. Aku bangun, lalu mulai memasang penutup mata hitam dengan kedua tanganku. Aku memejamkan mata, berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dan keselamatan dalam latihan kali ini. Aku selalu ingat ucapan ayah agar jangan pernah lupa berdoa dalam melakukan aktivitas apapun dalam hidup ini.

Perlahan, aku mulai masuk pada tahap 'bulan dalam cangkir'. Diam itu suatu sikap. Tenang itu suatu sikap. Hening itu suatu sikap. Semuanya menuju mata hati. Kalau tidak diam tidak akan bisa masuk pada tenang. Kalau tidak tenang tidak akan bisa masuk pada hening. Kalau tidak hening tidak akan bisa masuk pada mata hati. Perlahan, guratan abstrak mulai terbentuk. Seluruh permukaan kulitku seperti dirambati ribuan semut. Pori-pori ini terasa melebar. Tubuh ini mulai terasa 'membesar'. Ubun-ubun ini kemudian mulai 'berdenyut'. Aku melepas getaran pribadi untuk 'menyentuh' getaran alam. Saat kemudian sinkron, ditandai dengan munculnya 'theg' di hati ini dan aliran 'denyut arus' yang terasa di tubuh ini, aku mulai berjalan perlahan.

Derrr..., sebelah kananku terasa ada benda.

Derrr..., sebelah kiriku terasa ada benda.

Aku meraba ke kanan dan ke kiri dengan telapak tanganku.

Drrt... drrt.. terasa seperti ada 'sentuhan' di telapak tanganku.

"Tidak, aku ingin menggunakan getaran naluri untuk ini. Karena menggunakan getaran naluri ini bisa lebih menghemat penggunaan tenagaku.", gumamku dalam hati.

Aku kemudian berdiri tegak. Rileks. Kedua tangan menjuntai kesamping pinggang. Aku menarik nafas dengan halus, perlahan, dari hidung. Tubuh ini terasa membesar. Konsentrasi pada niat aku perkuat. Niat untuk berjalan menuju pohon yang berjarak sekitar sepuluh meteran lebih dengan tanpa menyentuh obyek atau benda.

Theg...

Rasa itu muncul di hati. Aku seperti tertarik ke depan. Aku ikuti kemana gerakannya.Satu langkah, dua langkah, aku seperti oleng ke kanan. Aku ikuti saja. Aku melangkah dengan bergeser ke kanan.

Theg...

Aku terhenti. Saat berhenti, secara reflek aku menggerakkan telapak tanganku seperti 'mengusap' ke depan. Getaran pribadiku memancar. Terasa ada 'benda' di depan. Aku mendeteksi seperti 'pohon kecil' yang rimbun yang berada di depanku. Aku kembali menjuntaikan tanganku kesamping. Membiarkan getaran naluri menuntunku untuk menghindari 'benda' di depanku ini.

Theg...

Rasa itu kembali muncul. Tubuhku seperti ingin bergerak ke kiri. Aku ikuti saja. Perlahan aku melangkahkan kaki kiri ke samping. Satu langkah, kemudian bahu kananku maju bersamaan dengan langkah kaki kananku maju. Kini tubuhku miring dengan menghadap ke kiri. Aku melangkah dengan menggeser kaki kanan dan kiri. Melewati benda yang kurasakan seperti pohon kecil. Setelah dua langkah, kemudian tubuhku kembali menghadap ke depan.

Bahu kiriku terasa ingin bergerak. Aku ikuti kemana gerakan itu mengarah. Ke kanan, ke kiri, memutar, ke samping, mundur satu langkah, aku ikuti semua. Kecuali saat berhenti, barulah aku memancarkan getaran pribadiku ke sekeliling untuk mendeteksi obyek di sekitar tubuhku. Setelah itu membiarkan kembali naluriku menuntunku menuju lokasi yang aku inginkan, yakni pada pohon terjauh yang berjarak sekitar sepuluh meter dari api unggun.

Semua aku lakukan dengan sadar.

Perlahan, aku mulai bisa membedakan rasa saat getaran naluri itu keluar dan saat getaran pribadiku memancar. Kombinasi keduanya sungguh luar biasa. Aku jadi lebih ringan dalam berjalan dan melewati halang rintang menuju tempat yang aku inginkan. Tidak berapa lama, aku terhenti. Pancaran getaran pribadiku mendeteksi sebuah pohon besar di depan. Rupanya aku sudah sampai.

Aku tersenyum puas. Hasilnya cukup menggembirakan.

Aku membalik badan. Mencoba melakukan sekali lagi dengan target arah lokasi yang berbeda. Target lokasiku kini adalah tenda mas Giman. Aku harus berhenti tepat di depan tikar saat aku dan mas Giman ngobrol sebelum ini.

Aku kembali berkonsentrasi. Menguatkan niat untuk menuju lokasi yang aku inginkan. Satu detik, tiga detik, lima detik, sepuluh detik, lima belas detik.

Theg...

Rasa itu kembali muncul di hati. Aku mulai berjalan. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Berbelok ke kanan satu langkah, berbelok ke kiri satu langkah, miring ke kanan, memutar tubuh, atau mundur satu langkah, kemudian menyamping, semua aku ikuti. Rasanya sangat menyenangkan. Aku mulai bisa menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Perlahan, gerakanku mulai lebih cepat dari sebelumnya. Caraku melangkah juga mulai cepat. Tidak berapa lama aku kembali terhenti. Naluriku mengatakan aku sudah 'sampai' di depan tikar.

Aku tebarkan getaran deteksi. Benar saja. Di bawah memang terasa ada perbedaan obyek antara tanah dengan benda lain. Entah mengapa aku langsung tahu kalau itu adalah tikar.

"Bagaimana kalau aku gabungkan saja getaran pribadiku dengan rasa naluri ini?", gumamku dalam hati sambil diliputi rasa penasaran.

Aku membalik badan. Kemudian mulai melakukan 'pembesaran' tubuh. Saat mulai melakukan pembesaran tubuh, aku menunggu 'theg' itu muncul kembali. Saat muncul, maka aku akan langsung 'menyisipkan' naluriku kesitu. Satu detik, tiga detik, lima detik, sepuluh detik.

Theg...

Rasa itu kembali muncul. Tapi ini agak berbeda dibanding tadi. Rasanya tubuh ini seperti 'menembusi' benda-benda yang ada disekitar yang terlewati oleh getaran pribadiku. Perlahan, aku mulai merasakan 'jarak' antara diriku dengan benda-benda di sekitar. Perlahan pula ia semakin lebar, meluas ke area sekitar perkemahanku.

"Apakah ini yang dimaksud 'jarak' oleh mas Giman tadi ya?", ucapku dalam hati.

Aku kemudian mencoba menentukan berapa langkah antara tubuhku dengan obyek terdekat. Pada 'pohon kecil' yang berada di dekatku, aku 'merasa' itu akan bisa aku raih dalam empat langkah.

Aku kemudian bergerak. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah.

Tapp..., aku langsung meraih benda yang kurasakan sebagai 'pohon'.

Kena!

Sebuah ranting dengan dedaunan yang cukup rimbun berhasil aku raih.

Pas.

Tepat sekali.

Aku kemudian 'merasakan' jarak antara aku berdiri dengan api unggun sekitar tiga langkah. Aku berjalan menuju api unggun. Satu langkah, hawa panasnya mulai terasa di kulitku. Dua langkah, hawa panasnya terasa lebih tebal. Dua setengah langkah, aku merasakan hawa panas api unggun itu semakin besar pada kulit kakiku. Setengah langkah lagi kakiku pasti akan masuk ke dalam api unggun.

Aku tersenyum.

Aku mulai memahami konsep 'jarak' dari rasa yang kudapatkan ini. Benar seperti yang dikatakan oleh mas Giman. Aku akan mendapatkan sebuah pengetahuan baru ketika aku mulai bisa memaksimalkan potensi tubuh ini. Pengetahuan 'jarak' yang selama ini kudapat melalui organ optik bernama mata, kini bisa kudapatkan melalui naluri.

Aku terdiam. Perlahan, aku 'memutus' getaran pribadiku dengan getaran alam ini. Rasa seperti dirambati ribuan semut mulai berkurang. Setelah aku rasa cukup, penutup mata hitam ini aku buka kembali.

"Uuuh, haus juga.", gumamku dalam hati.

Aku berjalan ke belakang tenda untuk mengambil air minum. Dengan menggunakan gelas air minum yang aku gunakan sebelumnya, aku mengisinya sampai penuh. Lalu berjalan perlahan menuju api unggun. Setelah itu duduk kembali.

"Bismillahirrahmaniraahim..", ucapku perlahan sebelum meneguknya.

Segarnya air putih ini membasahi tenggorokanku. Satu teguk, dua teguk. Rasanya nikmat sekali. Beberapa tetesnya terjatuh di dekat daguku. Rasanya dingin, segar, dan menyejukkan.

"Alhamdulillah...", ucapku perlahan setelah selesai meminumnya.

Aku duduk terdiam sambil memandangi api unggun. Aku teringat ucapan ayah.

"Nak, ada saat dimana kamu harus menggunakan nalurimu. Ada saat dimana kamu harus percaya pada nalurimu. Agar nalurimu benar, maka kamu harus melatihnya dengan cara menyesuaikannya dengan niat dan kehendakmu. Awali dengan niat yang baik dan kehendak yang baik. Maka potensi nalurimu akan bangkit secara baik. Kamu bisa menggabungkan dengan potensi yang lain yang kamu miliki. Apa saja. Semakin dilatih, semakin ia akan bisa memberikan sinyal-sinyal terhadap perubahan di sekitarmu dan apa yang ada di sekelilingmu. Tugasmulah nanti yang akan menangkap makna dari sinyal-sinyal itu. Ada masa dimana suatu hari nanti kamu akan mendapatkan kebimbangaan dan kesulitan. Kalau masa itu tiba, maka percayalah pada tuntunan naluri yang didasarkan pada niat yang bersih dan ikhlas.", ucap ayah.

"Ayah, ucapan ayah sekarang ini mulai bisa Aa mengerti. Terima kasih ayah.", gumamku dalam hati.


(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #67 on: 01/02/2012 16:56 »
Tembang Tanpa Syair - Bagian 30

Tenaga Awal


Malam ini aku duduk sendiri di depan perapian api unggun yang mulai mengecil. Aku meletakkan gelas besar yang berisi air di sampingnya. Sudah ada tiga gelas air putih aku minum sampai sekarang. Sesekali aku memandangi api ini. Memasukkan beberapa ranting kering ke dalamnya agar apinya tetap terjaga. Sementara itu, dari tenda di belakangku sudah mulai terdengar suara nafas mas Giman yang sedang tertidur. Sepertinya mas Giman sudah cukup lelah. Setelah menempuh perjalanan jauh naik motor, kemudian mengajariku selama beberapa jam. Tenaganya pasti sudah cukup terkuras. Dari deru nafasnya aku perkirakan mas Giman sudah tertidur lelap.

Aku teringat ayah. Sejak sekitar jam tujuh malam ayah belum kembali. Aku mengambil jam tangan di saku sebelah kananku. Aku lihat saat ini sudah menujukkan pukul sebelas. Sudah menjelang tengah malam. Entah apa yang ayah lakukan disana.

Udara yang dingin dan air minum yang cukup banyak memasuki tubuh ini membuatku ingin buang air kecil. Aku teringat dengan sungai kecil yang memiliki air terjun di belakang perkemahan kami ini. Aku rasa itu adalah tempat yang pas.

Aku langsung berdiri. Berjalan perlahan menyusuri jalan setapak menuju sungai kecil. Kira-kira sepeminuman teh, aku sudah sampai disana. Suara riak air sungai mulai terdengar dan mulai jelas. Deburan gelombang air yang menghantam bebatuan juga terdengar. Apalagi suara derasnya air terjun yang jatuh juga sangat jelas terdengar.

Disana suasananya agak remang. Cahaya rembulan lebih banyak tertahan oleh rimbunnya dedaunan di sekitar sungai yang berair terjun itu. Aku berjalan perlahan, mencoba mengambil tempat di dekat air terjun.

"Eh, siapa itu?", gumamku dalam hati.

Perlahan, aku bisa melihat kalau di depan air terjun itu ada sesosok bayangan manusia yang sedang duduk bersila. Bersila dibawah sebuah batu yang cukup besar. Batu itu jaraknya cukup jauh dari pinggir sungai. Disekitarnya ada beberapa batu yang lebih kecil yang terlihat menyembul dari dasar sungai. Tetap saja, kalau harus melewati batu-batu kecil itu tentu sangat licin dan kemungkinan terpeleset sangat besar. Rasanya agak sulit kalau harus melompat. Selain teksturnya yang licin, juga riak air yang membasahi tentu akan cukup menyulitkan orang biasa untuk sampai kesitu. Kecuali dengan berenang. Ya, dengan berenang tentu akan bisa sampai disitu. Posisi orang itu menghadap ke air terjun. Ia tampak bertelanjang dada. Hanya mengenakan celana hitam saja. Rambutnya terkena angin hempasan air terjun sehingga terlihat melambai-lambai. Ia duduk kokoh bagai gunung.

Aku mengerutkan kening, mencoba melihat lebih konsentrasi lagi. Memastikan sosok yang sedang duduk bersila di depan air terjun itu. Perlahan, aku mulai mengenalinya.

"Lho, bukannya itu ayah?", ucapku dalam hati.

"Sedang apa ayah disitu ya?", lanjutku dalam hati.

Aku penasaran.

Apa yang sedang ayah lakukan di tempat itu.

Rasa penasaranku timbul. Aku ingin tahu, apa yang ayah lakukan disitu. Rasa penasaranku ini rupanya menghilangkan keinginan untuk buang air kecil. Aku melihat hampir tanpa berkedip. Jarak aku berdiri dengan ayah sekitar sepuluh meter. Aku masih berdiri, menunggu apa yang akan terjadi kemudian.

Sekitar satu menitan kemudian, aku melihat ayah merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Ini mirip dengan bentuk awal pada olah nafas yang bernama Nafas Garuda seperti yang sudah ayah ajarkan kepadaku dan yang biasa aku lakukan. Aku melihat ayah perlahan sekali mendorongkan kedua telapak tangannya yang terbuka ke depan, lalu merentangkannya kesamping setinggi bahu. Perlahan sekali.

"Eh... itu... itu...", aku hampir melompat, dan hampir saja aku menjerit kecil karena terkejut.

Apa mataku tidak salah melihat?

Air terjun itu tertahan!

Kemudian tersibak mengikuti arah gerakan tangan ayah yang merentang ke samping. Jatuhnya air terjun seperti terhalang oleh sesuatu yang tidak terlihat sehingga terlihat melebar ke samping.

Aku sampai mengusap mataku beberapa kali. Khawatir salah lihat. Tapi ini nyata. Air terjun itu benar-benar tersibak!

Aku melihat ayah perlahan merapatkan kembali tangannya yang tadi merentang ke samping. Menutup bentuk olah nafas Garuda sehingga kedua telapak tangan kembali dirapatkan ke depan dada. Seiring dengan pergerakan tangan ayah, air terjun itu kembali normal. Jatuhnya air terjun itu kembali seperti biasa. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Owh..!", aku tanpa sadar berteriak kecil.

Teriakan kecil ini rupanya membuat ayah langsung berdiri dan memutar badan menghadapku. Tanpa berkata apa-apa, ayah langsung melompat dengan cepat pada bebatuan kecil yang seperti menjadi 'jalan' menuju ke pinggiran sungai. Lincah sekali, dan cepat. Aku sampai tertegun melihatnya. Cepat sekali, dan ringan. Aku melihat ayah dari seberang sungai segera mengambil baju yang rupanya disangkutkan pada sebuah dahan pohon kecil. Setelah itu berjalan perlahan menuju ke arahku. Tidak berapa lama, ayah berdiri di depanku.

"Sudah selesai latihannya?", tanya ayah sambil tersenyum.

Ayah tidak menanyakan apakah aku mengintip atau tidak latihannya tadi. Ayah justru menanyakan latihanku dengan mas Giman.

"Anu... i... iya sudah yah. Mas Giman juga sudah tertidur pulas keliatannya. Aa ini mau ke sungai, mau buang air kecil.", jawabku apa adanya.

"Baiklah. Ayah tunggu nanti di depan api unggun ya.", ucap ayah sambil berjalan menuju perkemahan.

Aku mengangguk

"Iya yah...", jawabku singkat.

Aku langsung buru-buru mencari tempat yang sedikit tersembunyi untuk buang air kecil. Setelah selesai dan bersih-bersih, aku buru-buru berjalan menuju perkemahan, mengikuti jalan setapak yang menuntunku ke sungai ini.

Saat memasuki wilayah perkemahan, aku melihat ayah sedang duduk bersila di depan api unggun. Sesekali rambutnya terkena desiran angin malam dan melambai-lambai. Aku berjalan mendekat, lalu duduk di samping ayah.

Suasana hening.

Beberapa saat kemudian aku melihat ayah mengambil ranting kecil, lalu mematahkannya dan memasukkannya ke dalam api unggun.

"Gimana latihannya tadi? Lancar?", tanya ayah sambil tersenyum dan menatap ke arahku.

"Alhamdulillah lancar yah. Tadi Aa latihan getaran naluri.", jawabku.

"Bagaimana hasilnya?", tanya ayah.

"Kata mas Giman sih sudah cukup bagus. Sudah mulai bisa mengikuti. Meski pada awalnya agak macet dan Aa cukup kesulitan. Tapi setelah dibimbing oleh mas Giman, Aa mulai mengerti maksudnya yah. Tadi Aa belajar memahami 'jarak'.", jawabku lebih lengkap.

"Bagus kalau begitu...", ucap ayah.

"Dalam belajar keilmuan, ataupun belajar apa saja, memecah kebuntuan dari suatu proses sangatlah penting. Tujuannya agar berhasil. Terkadang, kemampuan kita belum nyampe ke arah situ. Kalau didiamkan, tentu akan lebih macet. Maka kita harus dibimbing oleh orang yang tepat, agar kebuntuan atau macet itu bisa lancar jadinya.

Sengaja ayah bawa mas Giman kesini, karena mas Giman punya sesuatu yang selalu dilatihnya. Yakni naluri. Keadaannya yang buta, membuatnya harus bisa memaksimalkan potensi lain untuk menggantikan apa yang sudah dipahami oleh otak. Dan potensi naluri itulah yang sepenuhnya dimiliki oleh mas Giman.

Kemampuan naluri ini jangan kamu remehkan. Karena ia menjadi salah satu aspek mendasar dari keilmuan silat yang ayah ajarkan kepadamu. Getaran dan naluri adalah pakem dasar pengembangan keilmuan ini.", lanjut ayah.

Aku mengangguk. Entah kenapa, ucapan ayah kali ini bisa lebih mudah aku mengerti.

"Naluri, menjadi peletak dasar tumbuh kembangnya kemampuan dan pengetahuan manusia.", ucap ayah.

"Sejak kita semua masih di dalam kandungan, adalah naluri yang menjadi tenaga penggerak untuk menjaga kelangsungan hidup. Saat kemudian kita lahir ke dunia, lalu didekatkan pada air susu ibu, maka naluri yang menggerakkanmu untuk mendekati sumbernya dan meminumnya. Kalau ada masalah pada 'rasa' air susu ibu, maka nalurilah yang menggerakanmu untuk menangis dan tidak mau meminumnya.. Tak pernah ada yang memerintah. Ia sudah diilhamkan oleh Allah dari awalnya untuk membawa manusia menjalani hidup ini secara dinamis untuk pertama kalinya. Saat kita dalam bahaya, maka naluri yang pertama kali memberitahu kita.

Ada banyak hal dalam hidup ini yang tertolong berkat naluri. Ada banyak kejadian dalam hidup ini yang terbantukan dengan naluri.", ucap ayah menjelaskan.

Aku mendengarkan ucapan ayah dengan seksama.

"Tenaga naluri, adalah tenaga dasar kehidupan. Tenaga dasar untuk bergerak. Tenaga dasar untuk bisa menggerakkan. Naluri adalah tenaga awal.", lanjut ayah.

Aku menunduk. Mencoba meresapkan setiap ucapan ayah.



(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #68 on: 02/02/2012 23:19 »
Tembang Tanpa Syair - Bagian  31

Diam, Tenang, Hening


Aku masih duduk bersama ayah di depan api unggun. Sesekali aku mengikuti ayah memasukkan patahan ranting-ranting kecil ke dalam api unggun. Kalau rantingnya terlalu panjang, aku patahkan dulu menjadi lebih kecil baru kemudian aku masukkan ke dalamnya. Kalau rantingnya terlalu besar, aku memilih ranting yang lebih kecil.

Suasana menjadi sunyi untuk beberapa saat.

"Yah, apakah tenaga naluri ini bisa digunakan dengan bebas?", tanyaku memecah kesunyian.

"Tentu saja nak", jawab ayah.

Trak...

Suara ranting patah terdengar. Aku menoleh, melihat ayah mematahkan ranting yang agak panjang menjadi beberapa bagian. Lalu memasukkannya ke dalam api unggun.

"Bagaimana caranya yah?", tanyaku lagi.

Trak...

Suara ranting patah kembali terdengar. Aku menoleh. Tidak seperti tadi, ranting yang ayah patahkan cukup besar, tapi ringan saja ayah patahkan sepertinya.

"Ah, paling itu ranting yang sudah rapuh...", gumamku dalam hati.

"Naluri adalah tenaga awal, pemberian dari Yang Maha Hening. Agar bisa mengenalinya dengan baik, kamu harus bisa merasakan hening.

Hening...hening...hening...", jawab ayah tanpa menoleh.

Trak...

Suara patahan ranting kembali mengusik telingaku. Aku kembali menoleh. Keningku berkerut. Ranting yang ayah patahkan lebih besar dan lebar. Tentunya cukup sulit kalau hanya menggunakan jari. Tapi ayah mematahkan ranting itu dengan mudah saja. Aku mulai terpengaruh oleh cara ayah mematahkan ranting.

"Kamu harus bisa masuk pada tahap hening. Awalnya mungkin lambat. Tapi seiring latihan, kamu akan lebih cepat masuk pada tahap hening.

Diam adalah suatu sikap. Tenang adalah suatu sikap. Hening adalah suatu sikap. Semuanya menuju mata hati.

Kalau tidak diam, tidak akan bisa mencapai tenang. Kalau tidak tenang, tidak akan bisa mencapai hening. Kalau tidak hening, tidak akan bisa mencapai mata hati.", lanjut ayah.

Trak...

Kini aku benar-benar memperhatikan saat ayah mematahkan ranting-ranting sebagai bahan pembakaran api unggun. Caranya mematahkan ranting-ranting itu sangat menarik perhatianku. Entah ayah sengaja atau tidak melakukan itu. Dari mulai ranting yang kecil, sedang, bahkan yang tebal sekalipun kelihatannya mudah saja ayah patahkan. Aku masih belum mengerti bagaimana ayah melakukan itu.

Penjelasan ayah tadi sering sekali aku dengar. Meskipun ada beberapa yang aku belum mengerti.

"Yah, Aa sering denger ucapan tadi. Diam adalah suatu sikap, tenang adalah suatu sikap, hening adalah suatu sikap, semuanya menuju mata hati. Maksudnya gimana sih yah?", tanyaku kembali dengan penasaran. Aku sering mendengar ayah mengatakan ini.

Aku melihat ayah tersenyum agak lebar sehingga beberapa giginya terlihat.

"Penasaran?", tanya ayah.

"I...iya yah...", jawabku sambil tersenyum dan garuk-garuk kepala dengan tangan kiriku. Tentu saja kepala yang tidak gatal.

"Diam itu sederhananya adalah suatu sikap, yakni sikap ragawi yang melibatkan panca indra. Ragamu sadar, indramu mengenali.

Meski demikian, sikap diam sendiri belum tentu melibatkan hati secara tepat. Karena pada tahap ini kamu masih lebih banyak berada pada pemahaman indrawi. Masih ada kemungkinan kamu untuk melakukan sesuatu karena suatu pamrih. Misal karena ingin dilihat orang, karena ingin diakui orang, karena ingin dianggap hebat, karena ingin mendapat pujian, atau karena kepentingan tertentu.

Jadi, sikap diam adalah suatu sikap yang paling mendasar. Ia adalah 'kulit'.

Ragamu sadar, indramu mengenali.

Diam akan membuatmu menjadi tenang. Dan tenang adalah sikap untuk menuju hening.", jawab ayah.

"Hening, sederhananya adalah sikap untuk melibatkan hati. Hati harus tulus dan ikhlas. Ini adalah tahap kesadaran hati. Tahap kamu masuk lebih dalam, ke arah dalam. Ke arah hati. Menuju mata hati.

Hatimu sadar, mata hatimu mengenali.", lanjut ayah.

Trak...

Lagi-lagi suara ranting patah ini kembali menyita perhatianku. Aktivitasku sendiri jadi terhenti. Aku jadi hanya mendengarkan penjelasan ayah dan menyaksikan ayah mematahkan ranting-ranting itu.

Aku melihat ayah terhenti memasukkan patahan ranting-ranting itu ke dalam api unggun. Setelah itu ia tersenyum.

"Baiklah, dari pada bingung. Kita coba saja...", jawab ayah.

Ayah berdiri terlebih dahulu. Di tangan kanannya ada sebuah ranting sepanjang kira-kira satu meter. Aku melihat ayah melihat ke sekeliling. Tidak berapa lama, tangan kanan ayah yang memegang ranting itu menunjuk ke suatu tempat. Jaraknya kira-kira tiga meter dari tempatku duduk. Letaknya mendekati batu saat sebelumnya aku dan mas Giman duduk.

"Duduklah disitu.", ucap ayah.

Aku menurut.

Aku langsung berdiri dan duduk di tempat yang ditunjuk oleh ayah. Posisi dudukku dengan bersila seperti biasa. Rileks dan santai. Punggung tangan kanan menempel di atas lutut kanan, dan punggung tangan kiri menempel di atas lutut kiri. Badanku tegak. Nafasku ringan.

"Sekarang, pejamkan matamu, dan diamlah. Ingat, ragamu sadar, indramu mengenali.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

Aku mulai memejamkan mata.

Lima detik, sepuluh detik, dua puluh detik, tiga puluh detik.

Nguuung..., terdengar suara nyamuk di telinga kananku. Beberapa saat kemudian aku merasakan nyamuk itu hinggap dan mulai 'menggigit'.

"Uuh, rasanya mulai gatal!", gumamku dalam hati.

Secara reflek aku menepuk perlahan lokasi gatal itu dengan telapak tangan kiriku. Meski perlahan, tapi suasana hening di malam itu membuat tepukanku terdengar cukup jelas.

Plek.

"Eiit... satu, tidak boleh bergerak. Diam.", ucap ayah.

"Anu... yah, nyamuk yah. Gatal..", jawabku.

"Ssst... dua, tidak boleh ngomong. Diam.", ucap ayah lagi.

Aku langsung terdiam.

Aku senyum sendiri. Sudah kena dua 'kartu kuning' dari ayah karena tidak bisa diam.

Nguuung..., terdengar lagi suara nyamuk. Kali ini di telinga kiriku. Pasti ia akan 'menggigit' tubuhku lagi. Benar saja, belum selesai aku membayangkan, nyamuk itu sudah mulai hinggap di lengan kiriku.

"Huh, nyamuk ini bikin konsentrasiku buyar saja...", ucapku dalam hati.

Lengan kiriku bergerak-gerak perlahan, mencoba mengusir nyamuk itu dari tubuhku. Mulutku juga aku buka sedikit sekali sambil berusaha meniup ke arah lokasi nyamuk itu hinggal di lenganku.

"Ssst... Tiga, jangan bergerak... Diam. Kuatkan hatimu!", ucap ayah sekali lagi.

"Uuh, aku sudah kena tiga kartu 'kuning' dari ayah.", gumamku dalam hati. Aku tidak berani tersenyum. Cukup dalam hati saja.

Susah juga ternyata. Aku membandingkan saat dulu latihan bersama ayah di dekat rumah. Kebetulan rumahku selalu terjaga kebersihannya sehingga yang namanya nyamuk saja hampir tidak pernah ada di waktu malam. Sehingga meskipun aku bertelanjang dada, tapi masih tetap nyaman karena terlepas dari gigitan nyamuk. Sedangkan disini, nyamuknya mendadak menggigitku saat aku sedang latihan.

Aku masih ingat, kalau dulu saat latihan di alam terbuka, ayah selalu mengajariku tata gerak dan teknik. Sehingga meskipun bertelanjang dada, tentu saja nyamuk tidak akan mendekat karena aktivitasku yang tidak berhenti bergerak. Lain dengan sekarang. Rasanya, duduk diam satu menit saja susah sekali. Ada saja gangguan terhadap raga ini. Gangguan pertama ini adalah nyamuk-nyamuk. Ternyata, diam saja sulit juga. Padahal itu masih tahap 'kulit', masih tahap ragawi kata ayah.

Aku sudah tidak punya pilihan lain.

"Ya sudahlah... terserah kamu saja nyamuk. Mau menggigit yang mana saja terserah. Mau lengan terserah, mau pipi terserah, mau kakiku juga terserah.", ucapku dalam hati. Aku sudah tidak punya keinginan apa-apa lagi.

Aku pasrah saja.

Nguuung..., nyamuk yang datang kini bertambah banyak. Sepertinya membawa teman karena merasa mendapat 'korban'.

Aku senyum.

Pasrah.

Ikhlas.

'Ckiitt', salah satu nyamuk tampaknya menggigit lengan kananku. 'Ckit', nyamuk lainnya menggigit lengan kiriku. Gatal sekali. Tapi aku biarkan saja.

Aku tersenyum.

Pasrah.

Ikhlas.

Dua puluh detik, tiga puluh detik, aku 'nikmati' rasa gatal ini.

Perlahan, rasa gatal itu mulai 'menghilang'. Perlahan, telingaku seperti menjadi semakin jernih. Suara-suara alam sekitar serasa menjadi semakin dekat, semakin besar saja. Perlahan, suara nafaskupun bahkan terdengar jelas sekali. Suara gemericik air di kejauhan terdengar. Suara ranting-ranting yang terbakar juga terdengar. Suara angin yang menerbangkan dedaunan juga terdengar.

Dan perlahan pula, suara hembusan angin dari lintasan nyamuk yang terbang di dekat kulitku menjadi semakin kecil. Mengecil. Suara-suara yang tadi aku dengar mulai mengecil, semakin kecil. Entah kenapa aku hanya merasakan tarikan dan hembusan nafas ini.

Tubuh ini serasa 'melebur'.

Theg...

Rasa di hati saat berlatih getara naluri dengan mas Giman terasa kembali. Tapi sekarang menjadi lebih jelas. Otot-otot yang bergerak kecil menjadi sangat terasa. Perlahan, dari jauh seperti ada sinar putih yang aku lihat. Mula-mula seperti satu titik kecil. Lalu makin lama makin terang dan besar. Aku seperti 'tersedot' ke dalamnya. Beberapa detik kemudian aku seperti berada di ruang yang berbeda.

Gelap.

Perlahan, aku membuka 'mata'. Samar-samar nampak banyak guratan cahaya. Indah sekali. Aku sangat terpesona melihatnya. Entah berapa lama aku 'melihat' itu.

"Cukup, kembalilah. Tarik nafas halus dari hidung, lalu tahan di dada.", ucap sebuah suara di 'telingaku'. Entah suara siapa. Tapi yang pasti aku bisa 'merasakan' niatnya yang baik.

Aku menurut.

Aku menarik nafas halus, perlahan, dari hidung, lalu tahan di dada. Saat melakukan itu, aku seperti kembali 'tersedot' dan merasakan lagi dinginnya udara dan gatalnya gigitan nyamuk.

"Bagus. Sekarang buka matamu.", ucap ayah.

Aku membuka mata.

"Eh, rasanya kok lebih jernih dari sebelumnya ya?", gumamku dalam hati.

"Bagaimana? Sudah mulai paham?", tanya ayah.

Aku mulai mengangguk.

"Iya, sedikit yah...", jawabku.

"Tidak apa-apa. Tidak semua harus kamu pahami sekaligus dalam satu saat. Bertahap saja. Nanti juga akan ketemu sendiri jalannya.", ucap ayah.

"Sudah malam. Lebih baik kita tidur saja dulu. Besok nanti dilanjutkan lagi. Ayah masuk ke tenda dulu ya. Kalau masih mau latihan, ya teruskan saja.", lanjut ayah.

Aku mengangguk.

"Iya yah. Aa masih mau minum dulu sebentar.", jawabku.

Aku melihat ayah berjalan menuju tenda. Membuka pintu tenda, lalu masuk ke dalamnya. Sementara aku sendiri masih duduk disitu. Memikirkan yang baru saja terjadi.



(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #69 on: 01/03/2012 14:34 »
Tembang Tanpa Syair - Bagian 32

Peka!


Aku duduk sendiri di depan api unggun. Udara mulai terasa dingin. Dinginnya merambati kulitku, merambati sekujur tubuhku. Sesekali kutengadahkan wajahku, memandangi langit, kemudian memejamkan mata. Menghirup udara perlahan. Sangat terasa udara yang masuk melalui hidungku ini. Aku menahan udara yang kuhidup di dada, lalu turun perlahan melalui diafragma, turun lagi ke perut, hingga ke di bawah pusar. Perlahan, perutku mulai menghangat. Hangat ini aku naikkan ke dada, lalu aku salurkan ke jantung. Dari jantung aku distribusikan ke seluruh tubuh hingga menyisakan kesegaran dan kehangatan. Cukup untuk melawan dinginnya udara malam ini. Aku melakukan itu hingga beberapa kali. Setelah dirasa cukup, aku merasakan tubuhku kembali segar.

Aku masih memikirkan latihanku di hari pertama ini. Rasanya sungguh berbeda dibanding saat berlatih di halaman rumah bersama ayah. Meskipun aku juga sudah beberapa kali berlatih di alam terbuka, tetap saja latihan malam ini memiliki kesan yang berbeda dibanding sebelumnya. Terlebih dengan hadirnya mas Giman yang memberikan pengetahuan baru buatku.

Tiba-tiba aku teringat ucapan ayah,

"Nak, kalau kamu berlatih tanpa ambisi, maka kamu akan cepat berhasil. Karena seluruh sel-sel tubuhmu akan lebih mudah menerima petunjuk alam melalui hatimu. Melatih hal-hal yang mendasar, tidak kalah penting dibanding melatih keilmuan tingkat tinggi. Karena semua yang tinggi selau berawal dari yang dasar. Rasa yang sedemikian tinggi selalu berawal dari rasa yang mendasar. Pengetahuan yang tinggi selalu bermula dari pengetahuan dasar.".

Entah kenapa ucapan itu membuatku jadi bersemangat. Aku langsung berdiri, dan berjalan sekitar tiga meter, mencari tempat yang agak jauh dari api unggun. Sebelum tidur, aku ingin berlatih getaran satu kali lagi.

Aku duduk bersila. Memejamkan mata, kemudian menarik nafas halus melalui hidung, perlahan, menahannya di dada, untuk kemudian berdoa dalam hati memohon keselamatan dari Allah SWT, Sang Maha Pelindung sekaligus memohon kemudahan dari Allah SWT Sang Maha Membolak-balik Hati. Selesai berdoa, aku membuang nafas halus perlahan melalui mulut.

Aku mulai latihan dasar getaran. Dimulai dari melakukan Nafas Pembinaan yang dilakukan secara bolak-balik. Setelah dilakukan, olah nafas ini membuat seluruh tubuhku menjadi hangat. Apalagi bagian dada dan perutku, terasa sangat hangat. Kemudian masuk pada Nafas Pembersih. Sebelum masuk pada latihan nafas pembersih, ayah selalu menyarankan agar terlebih dahulu dimulai penyikapan hati, dari dalam, dari hati terlebih dahulu. Jernihkan hati. Bersihkan niat. Tenangkan diri. Heningkan mata hati.

Bersih.

Jernih.

Tenang.

Hening.

Aku menggeser arah tempat dudukku ke arah Selatan. Kemudian Timur, Utara, dan Barat. Setelah itu kembali ke arah Selatan. Melakukan kira-kira tujuh menitan pada setiap arahnya.

Rasa hati ini begitu plong, lepas, tenang, damai. Tanpa sadar aku tersenyum. Nafas pembersih yang terasa mengena. Mengena pada fisik dan juga hati. Mencoba mendapatkan kembang dan juga inti. Fisik bersih luar dan dalam adalah kembangnya. Organ bersih, darah bersih, juga kembangnya. Sedangkan hati bersih adalah intinya.

Dimulai dari yang dalam, dari hati. Kemudian menarik energi pembersih dari alam ke dalam tubuh ini dari luar ke dalam, seiring tarikan nafas yang memenuhi tubuh ini dan membersihkan tubuh ini. Sehingga semua menjadi bersih. Dari kulit menuju inti, dari kembang ke inti. Setelah itu masuk pada latihan getaran pribadi, dilanjutkan dengan nafas segitiga angkasa, bumi, gabungan. Terakhir, ditutup dengan aplikasi. Ayah hanya memintaku untuk banyak-banyak melakukan pengenalan getaran pribadiku dengan benda-benda di alam ini. Dengan kayu, dengan batu, dengan air, dengan tanah, dengan udara, dan sebagainya. Saat aku menanyakan mengapa aku harus melakukan itu, selalu dijawab oleh ayah bahwa nanti aku akan mengetahui sendiri manfaatnya.

Aku sebarkan getaranku pada benda-benda di sekitarku. Perlahan, satu per satu aku 'sentuhkan' getaran pribadiku dengan alam ini. Sambil merasakan benar rasa yang ada di hati ini saat bersinggungan. Suasana alam rasanya menjadi begitu tenang. Rasanya hanya tinggal aku dan apa-apa yang aku 'sentuh' saja.

Dengan pemahaman yang berkembang seperti sekarang ini, rasanya menjadi sungguh sangat berbeda. Entah berapa lama aku melakukan ini. Setelah aku rasa cukup, aku menghirup nafas perlahan dengan halus sambil merapatkan kedua telapak tanganku di depan dada. Bersamaan dengan itu, aku menarik kembali getaran pribadiku.

Aku buka mata perlahan. Rasanya sangat segar. Pikiran terasa lebih jernih, pandangan mata juga jernih. Aku tersenyum, dan bersyukur.

"Terima kasih Allah. Terima kasih kepada yang telah menemukan ilmu getaran ini.", ucapku dalam hati, menirukan ucapan ayah setiap kali selesai berlatih getaran. Ayah selalu bilang bahwa berterima kasihlah terhadap apapun yang menghasilkan kebaikan kepada diri kita dan alam semesta. Doakan pada mereka-mereka yang memberikan kebaikan kepada kita dan alam semesta ini. Sebab doa yang diucapkan dalam hati, apalagi dengan hati yang tulus ikhlas, akan didengar oleh alam semesta. Akan dirasakan oleh alam semesta. Dan akan dikembalikan dalam bentuk kebaikan-kebaikan yang banyak.

Aku menggeser dudukku ke dekat api unggun. Memandangi lidah api yang bergerak kesana kemari. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat ucapan ayah,

"Nak, sesungguhnya ada tujuan yang luhur saat silat ini mengajarkan getaran untuk kepekaan. Bahwa kalau sudah bisa merasakan kepekaan getaran pribadi, lalu sudah bisa merasakan kepekaan getaran alam, maka seharusnya kamu juga harus bisa peka terhadap masalah-masalah sosial yang ada. Kamu harus peka terhadap kesulitan keluargamu, kerabatmu, tetanggamu, sahabat-sahabatmu, dan juga teman-temanmu. Inilah intinya.

Kalau kamu hanya bisa peka terhadap dirimu sendiri, dan benda-benda mati disekitarmu, tapi kamu tidak peka terhadap masalah sosial di sekitarmu, maka sesungguhnya kamu masih terperangkap dalam tahap kulit saja. Kamu masih terbius oleh kembangnya. Kembang, memang indah, tapi seringkali bisa membuatmu terlena. Terlena oleh pengakuan. Ingin dianggap. Ingin diakui.

Getaran untuk tutup mata, untuk kepekaan, harus bisa ditransformasikan menjadi alat kontrol sosial dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di sekitarmu. Dengan demikian ia akan mengejawantah menjadi ajaran, menjadi cara hidup. Keilmuan yang menjadi ajaran."

Aku membenarkan ucapan ayah itu, dan rasanya mulai memahami ketika dulu ayah berkata bahwa sukma dari ajaran silat bukanlah pada penguasaan ilmu-ilmu tingkat tinggi semata tetapi intinya adalah bagaimana kita memahami ajaran yang ada dibalik keilmuan itu. Ajaran yang akan membentuk sikap, cara pandang, cara hidup.

"Nak, selanjutnya, adalah tugasmu untuk menolong dengan ikhlas sesuai dengan kemampuanmu. Ilmu getaran untuk kepekaan akan bertransformasi menjadi solusi pada masalah-masalah sosial di sekitarmu yang dibarengi dengan pertolongan pada yang membutuhkan sesuai dengan kapasitasmu dan kemampuanmu. Kamu lakukan itu semua dengan ikhlas. Ikhlas, dan ikhlas. Itulah sesungguhnya inti dari ajaran getaran untuk kepekaan ini. Peka terhadap diri sendiri, peka terhadap alam sekitar, dan peka terhadap masalah-masalah sosial di sekitarmu.

Ketika itu sudah kamu capai, maka kembangnya dapat intinya juga dapat.

Lengkap.

Sempurna.

Paripurna.

Kembang dan isi."

Tanpa sadar kepalaku tertunduk. Mataku terpejam, terasa sangat panas. Perlahan, dari sudut mataku yang terpejam menetes bulir-bulir air mata.

"Ayah, aku mulai bisa memahami maksud ayah. Aku mulai bisa mengerti makna yang selama ini tidak bisa aku mengerti. Terima kasih ayah.", ucapku dalam hati.

Aku bersyukur pada Allah.



(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #70 on: 01/03/2012 14:41 »
Tembang Tanpa Syair - Bagian 33

Sambung Rasa



Aku membuka mata. Pandanganku menatap langit-langit tenda yang ada. Telingaku mendengar suara percakapan di luar tenda. Tidak berapa lama, disusul oleh bunyi motor yang dinyalakan dan dipacu perlahan. Aku memasukkan tanganku pada saku celana kanan, lalu mengeluarkan sebuah jam tangan berwarna hitam. Terlihat pukul tujuh lewat lima belas menit.

"Aaaaah! Sudah lebih dari pukul tujuuh! Waaah... aku kesiangan!", teriakku dengan keras.

Aku terkejut melihat waktu saat ini sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Langsung saja aku bangun dan berlari keluar dari tenda. Melihat ke sekeliling. Aku melihat ayah sedang menyapu area di sekitar tenda. Sementara itu aku memandangi ke sekeliling, aku tidak melihat ada motor mas Giman lagi. Berarti yang aku dengar suara motor tadi pastilah suara motor mas Giman. Padahal aku belum sempat berterima kasih atas pengajaran latihannya dan nasehat-nasehatnya tadi malam. Aku sendiri melihat ayah berhenti menyapu dan memandang ke arahku. Tanpa sadar aku garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

"Kamu dapat salam dari mas Giman. Lain kali nanti latihan lagi katanya.", ucap ayah.

"Iya yah. Maaf ya yah kalau Aa kesiangan...", jawabku.

"Iya sudah tidak apa-apa. Sana mandi dulu di sungai dibelakang tenda kita. Setelah itu sarapan dulu. Sudah ayah siapkan roti bakar dengan selai nanas kesukaanmu. Ayah letakkan disitu.", ucap ayah sambil menunjuk pada sebuah meja kecil di dekat bekas perapian api unggun.

Terlihat disana ada sebuah piring yang diatasnya ada dua potong roti bakar dengan selai nanas. Tanpa sadar perutku berbunyi. Rasanya 'naga-naga' di dalamnya harus segera diberi makan.

"Baik yah...", jawabku.

Aku berjalan ke samping tenda, mengambil handuk berwarna coklat yang tergantung pada seutas tali yang dibentuk sedemikian rupa seperti jemuran. Tak lupa pula aku mengambil sebuah plastik kecil yang berisi peralatan mandi seperti sabun mandi, sikat gigi, dan pasta gigi. Setelah itu berjalan menuju sungai. Aku menyusuri jalan setapak di balik bukit. Tidak berapa lama, suara air sungai bergemericik terdengar sangat jelas. Pandanganku menyapu ke sekeliling. Terlihat indah sekali suasananya. Aku berjalan mengambil tempat agak ke pinggir, di dekat sebuah batu besar. Disitu ada sebuah pohon setinggi tubuhku dengan ranting-ranting yang terlihat kokoh. Cocok sekali untuk meletakkan baju dan celana panjangku disitu. Pantulan sinar matahari pada air sungai mengenai mataku. Memancing semangatku untuk segera mandi.

Aku melepas baju dan celanaku, menggantungkannya pada ranting pohon tersebut . Kini aku hanya mengenakan celana pendek. Plastik hitam yang berisi alat-alat mandi aku bawa dengan cara digelayutkan pada bahu kananku. Lalu berjalan menuju sungai. Telapak kakiku menyentuh air sungai. Rasanya dingin menyegarkan. Dilanjutkan dengan mencelupkan terlebih dahulu sebatas mata kaki, lalu perlahan hingga sebatas lutut. Diikuti dengan kaki kiri, mulai dari telapak, lalu sebatas mata kaki, hingga sebatas lutut.

Dingin.

Menyegarkan.

Aku berjalan perlahan lebih ke tengah lagi. Dalam tiga langkah, pinggangku mulai terendam. Aku menghirup nafas perlahan, panjang. Memasukkan banyak sekali oksigen ke dalam paru-paruku.

Segarnya.

Plastik yang berisi alat-alat mandi aku letakkan pada sebuah batu yang berukuran cukup besar di dekatku. Aku merendahkan tubuhku hingga terendam seluruhnya. Lalu menegakkan kembali tubuhku. Kini air sudah membasahi seluruh tubuhku, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Luar biasa segarnya. Sambil bernyanyi-nyanyi kecil, aku mulai mengeluarkan sabun mandi dari plastik hitam yang kubawa. Baunya yang wangi membuatku menjadi lebih bersemangat. Acara mandiku kali ini ditutup dengan aktivitas menggosok gigi.

Aku memasukkan semua alat mandi ke dalam plastik hitam, dan bersiap untuk berjalan menuju pohon dimana aku menggantungkan baju, celana, dan handuk coklat. Aku memejamkan mata. Menghirup lagi udara pagi yang segar sekali melalui hidungku secara perlahan. Merasakan benar setiap aliran udara yang masuk ke tubuh ini. Setelah itu berjalan perlahan. Baru saja berjalan satu langkah, aku tiba-tiba merasakan telapak tanganku seperti bersinggunggan sesuatu di dalam air. Secara reflek aku membuka mata lalu melihat ke arah tangan yang tersentuh sesuatu, ternyata tidak ada apa-apa disitu. Tapi aku yakin benar kalau barusan telapak tanganku seperti menyentuh sesuatu. Penasaran, aku naik ke batu besar tempat aku meletakkan plastik hitam. Barangkali saja tersentuh ikan lewat. Aku lihat tidak ada ikan disitu. Lalu, apa yang menyentuh telapak tanganku tadi?

Aku turun kembali ke dalam air. Penasaran, aku memejamkan mata. Konsentrasiku kuarahkan pada kedua telapak tanganku. Aku menghirup nafas halus dari hidung, perlahan. Memusatkan seluruhnya pada rasa.

"Eh... ini... kok rasanya begini?", aku terkejut.

Telapak tanganku seperti mengenai sebuah lapisan halus. Rasanya bisa aku 'pegang'. Aku renggangkan keseluruh jariku, rasanya semakin jelas saja. Kemudian aku perlahan menggenggam lapisan halus tersebut., setelah itu melepasnya lagi. Membuka kedua telapak tanganku, lalu menggesernya perlahan. Memutar pergelangan tanganku sehingga telapak tanganku menghadap ke atas dengan tetap masih di dalam air. Sentuhannya kok berbeda sekali. Tidak sama seperti saat aku baru masuk ke dalamnya tadi. Aku sangat menikmati ini. Unik. Perpaduan antara dingin, lembut, halus, dengan sensasi seperti ada aliran listrik halus yang merambati telapak tanganku. Sungguh sangat unik.

Aku membuka mata, melepas kembali konsentrasiku. Rasa dingin aliran air normal kembali terasa. Rasa yang sama seperti saat aku pertama kali masuk ke dalam sungai ini. Aku masih belum mengerti kenapa bisa begitu.

Tanpa sadar aku merasakan perutku berbunyi.

"Ah, rupanya sudah mulai lapar nih", ucapku dalam hati.

Aku bergegas berjalan ke pinggir sungai. Setelah sebelumnya mengeringkan tubuh dengan handuk dan menukar celana yang basah dengan yang kering, aku mengalungkan bajuku di leher. Tidak memakainya. Dan berjalan kembali menyusuri jalan setapak menuju tenda. Roti bakar dengan selai nanas itu sudah menungguku.

Dari jauh, aku melihat ayah sepertinya sudah selesai menyapu. Patahan-patahan ranting dan daun-daun yang berjatuhan sudah rapi tersusun di suatu tempat di dekat tenda. Sementara ayah sendiri sedang duduk sila di dekat meja sambil memejamkan mata. Raut mukanya terlihat tenang, damai. Caranya menghirup nafas juga terlihat sangat teratur, perlahan, lembut, landung.

Aku berjalan dengan mengambil arah dari belakang tenda, lalu masuk ke dalamnya melalui pintu tenda satunya. Dan segera mengganti baju dan celana. Tidak berapa lama, aku sudah keluar dengan baju baru yang lebih bersih. Baju itu berwarna putih, berupa kaos lengan pendek. Sementara celananya masih tetap aku menggunakan celana hitam silat yang kedua ujungnya terdapat lima jahitan selebar setengah sentimeter. Aku berjalan mendekat menuju meja, lalu duduk dan segera mengambil roti bakar isi selai nanas. Dengan terlebih dahulu berdoa, mulailah roti bakar itu aku makan.

Rasanya enak sekali. Selai nanasnya begitu manis. Kombinasi mentega, coklat, dan selai nanas yang luar biasa mantap. Hebat juga ayah membuatnya. Rasanya tidak kalah dengan roti bakar yang biasa sering aku aku beli di dekat rumah, agak ke kanan sedikit disebelah warung. Ini benar-benar enak, atau memang aku yang sedang lapar. Sementara ayah sendiri masih memejamkan mata. Sepertinya tidak terpengaruh dengan kehadiranku di dekatnya.

Sambil makan, aku memperhatikan ayah. Aku melihat bagaimana ia duduk. Aku melihat bagaimana ia menghirup nafas, menahannya, lalu mengeluarkannya perlahan. Menghirup nafas lagi perlahan, halus, lalu menahannya, dan mengeluarkannya lagi. Setelah beberapa tarikan nafas, aku seperti melihat ada sesuatu yang aneh. Setiap kali ayah menghirup nafas, aku seperti merasakan ada tarikan ke arah ayah. Saat kemudian ayah membuang nafas perlahan, aku seperti merasakan ada dorongan yang menjauhi ayah. Aku mengkerutkan dahiku. Penasaran, aku perhatikan benar-benar.

"Eh, iya beneran...", ucapku dalam hati.

Satu roti bakar sudah aku habiskan. Tinggal satu lagi. Aku urungkan untuk memakannya karena aku penasaran dengan pemandangan di depanku ini. Tanpa sadar aku mengikuti cara ayah bernafas. Menghirup perlahan dari hidung, menahannya, kemudian membuang perlahan. Aku hitung, ayah menghirup nafas dari hidung dengan perlahan, halus, lembut, kira-kira lima detik. Lalu menahannya kira-kira lima detik, dan kemudian membuangnya perlahan selama lima detik juga. Sangat teratur sekali. Aku terpengaruh. Ritme nafasku kini mengikuti ritme nafas ayah.

Satu kali.

Dua kali.

Tiga kali.

Empat kali.

Lima kali.

Enam kali.

Tepat di hitungan ketujuh, saat aku menahan nafas, lalu menghitung dalam hati... satu... dua... tiga... empat... lima... enam... tujuh... delapan...

"Uhuk-uhuk!", aku terbatuk dan tersenggal-senggal.

Ritme ayah berubah. Aku yang tanpa sadar mengikuti ritmenya seperti terperangkap sendiri hingga ketika ayah menahan nafas lebih lama, aku jadi terbawa dan mengikutinya. Sementara ritme awalku yang setiap lima detik berganti antara menarik nafas, menahan, dan membuang nafas, menjadi kacau karenanya. Ritme nafasku langsung berantakan. Buyar.

Aku melihat ayah membuka mata dan tersenyum. Sementara aku masih tersengal dengan mata sedikit mendelik karena berusaha menahan batuk.

"Uhuk-uhuk!", aku kembali batuk dan tesenggal-senggal.

"Atur nafasmu...", ucap ayah.

Aku menurut. Aku menarik nafas halus perlahan, lama, menahannya di dada, lalu mengeluarkannya perlahan. Tanpa ritme, hanya berusaha agar keluar dari ritme awalnya. Setelah tiga tarikan nafas, aku mulai mendapati ritmeku sendiri.

"Minum dulu...", lanjut ayah sambil menyodorkan air minum.

Aku menerimanya.

"Terima kasih yah...", jawabku. Tanpa ragu, langsung aku minum saja dengan tetap berdoa terlebih dahulu dalam hati. Setelah kerongkonganku basah oleh air dingin pemberian ayah, perlahan aku mulai bisa menguasai diriku lagi. Aku melihat ayah menggeser posisi duduknya dan sedikit memutar hingga sekarang berhadapan denganku dengan jarak yang dibatasi oleh meja kecil.

"Kenapa? Ritme nafasmu jadi kacau ya?", tanya ayah sambil tersenyum.

"I... iya yah. Kok bisa yah?", jawabku penasaran.

"Nanti kamu akan belajar dan mengetahui maknanya. Yang jelas, bahwa semua di dalam alam ini punya pola, punya ritme yang khas. Dan ritme itu sesungguhnya adalah getaran. Dengan kata lain, setiap benda di alam ini punya getaran yang khas. Apapun itu. Baik yang melekat di tubuhmu, luar dan dalam, yang kasat mata, maupun yang tidak kasat mata. Getaran kayu, batu, tanah, air, sangatlah khas. Masing-masing punya pola sendiri. Getaran kulit, daging, tulang, otot, dan yang lainya juga sangatlah khas. Ada polanya sendiri. Ada ritmenya sendiri.", ucap ayah menjelaskan.

Aku mengangguk. Mendengarkan seksama penjelasan ayah.

"Ketika kamu sudah bisa menyesuaikan dengan polanya, maka terjadilah resonansi, terjadi apa yang disebut dengan sambung rasa. Kamu akan mendapat pengetahuan baru. Pengetahuan mengenai karakteristik obyek yang beresonansi terhadapmu. Pada tahap ini, kamu bisa memanipulasi atau kamu bisa dimanipulasi.", lanjut ayah.

Aku mengangguk.

Rasanya aku mulai mengerti. Barangkali, itu juga yang aku rasakan saat di sungai tadi. Saat telapak tanganku seperti menyentuh sesuatu. Mungkin saja saat itu terjadi resonansi antara getaranku dengan getaran air. Saat aku merasakan benar segarnya air, lalu seluruh tubuhku rasanya ingin melebur bersama air sungai itu. Akibatnya justru diluar perkiraan. Sambung rasa malah terjadi antara getaranku dengan getaran air sungai itu sehingga menghasilkan rasa dingin yang unik, khas, yang berbeda dengan yang kurasakan sebelumnya. Sama-sama air, tapi rasa yang aku dapat sungguh berbeda.

"Ketika getaran pribadimu sudah terbentuk dan sudah bisa kamu rasakan benar. Maka proses pemahaman getaran alam hanya tinggal masalah waktu saja.

Meski demikian, kamu harus selalu ingat bahwa niatmu yang menyatu dengan getaran jangan dibuat main-main. Sebab niat ini akan menentukan bagaimana sifat dari getaranmu, dan niat ini akan menentukan hasil akhir. Meskipun getaran yang sama yang kamu pancarkan, tapi kalau niatmu tidak baik, maka efeknya bisa sedemikian berbeda. Sambung rasa yang terjadi bisa berakibat tidak baik. Bagi dirimu dan bagi alam sekitar.

Kalau niat kita bersunggu-sungguh, maka seluruh unsur tubuh, seluruh sel dan jaringan, tenaga, getaran pribadi dan naluri, segera menyesuaikan diri pada yang diniatkan tersebut.

Akan menyambung.

Akan merasa.

Sambung rasa.

Kalau niatnya menyembuhkan, otomatis semua unsur tubuh, getaran yang keluar, akan mendukung itu. Sebaliknya kalau niatnya menghancurkan atau menyerang, sikap seluruh tubuh termasuk getaran dan nalurinya,  akan terprogram kesana. Kalau niatnya belum menyatu, ragu-ragu, maka terjadilah salah hasil akhir, yang seharusnya penyembuhan, salah penyaluran, malah membuat jadi kesakitan.

Menjadi bertambahlah kesadaran, makin punya daya atau tenaga lebih, harus makin hati-hati, jangan sampai salah niat.

Camkan itu...", tegas ayah.

Aku mengangguk.

"Iya yah, Aa akan ingat selalu nasehat ayah...", jawabku mantap.

"Ya sudah kalau begitu, ayo kita latihan tata gerak. Kita mulai dari pemahaman-pemahaman mendasar mengenai gerak silat yang ayah ajarkan ini.", ucap ayah.

"Baik yah!", jawabku bersemangat.



(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #71 on: 01/03/2012 14:57 »
Tembang Tanpa Syair - Bagian 34

Duduk Sempurna, Berdiri Sempurna



Ayah memilih lokasi sedikit menjauh dari tenda. Sekitar sepuluh meter, di tempat yang cukup datar dengan permukaan tanah yang sedikit berbatu. Aku berdiri berhadapan dengan ayah. Jarak kami sekitar tiga meter satu sama lain.

"Pagi ini, ayah akan mengajarkanmu bagaimana duduk sempurna dan berdiri sempurna. Ini adalah materi yang paling mendasar dari tata gerak beladiri.", ucap ayah.

"Sikap siap, heaaa!", ucap ayah cukup keras.

Mendengar aba-aba itu, aku langsung menegakkan tubuhku sambil kedua tanganku menjuntai disamping badan dengan ujung jari terbuka dan menghadap ke bawah. Pandangan mata ke depan, lurus, fokus.

"Sikap Sempurna, heaaa!", ucap ayah dengan lantang.

Aku memutar pergelanganku hingga telapak tangannya menghadap ke atas sambil menggerakkan kedua tangan ke arah ketiak lalu mendorongnya ke depan dimulai dari menyilang di depan dada sambil memutar kembali pergelangan tangan pada posisi kanan diatas kiri dibawah dengan telapak yang menghadap ke bawah hingga kedua siku lurus dan telapak yang bersilangan. Setelah itu aku menurunkan kedua tangan sambil mengepalkan ke samping tubuh, sejajar dengan samping tubuh. Aku menggerakkan dengan luwes dengan tambahan sedikit pengerasan tangan hingga terlihat luwes tapi tetap bertenaga.

"Bagus!

Lakukan Duduk Sempurna dalam tiga hitungan.

Duduk Sempurna, hitungan pertama, heaaa!", ucap ayah lantang.

Pada hitungan pertama ini, tangan kiriku aku tarik hingga samping pinggang sambil terkepal. Bersamaan dengan itu aku geser sedikit telapak kaki kiri ke arah kiri sambil menekuk sedikit lutut kiri dan memutar tubuh hingga menghadap ke kiri. Ujung jari kakiku sekarang sejajar arahnya dengan tubuhku yang mengarah ke kiri. Pandangan masih ke depan. Pergelangan kepalan tangan kanan sedikit ditekuk ke dalam membentuk posisi gerak serangan tangan bernama Ayunan. Sementara kaki kananku ditarik sedikit mendekati kaki kiri dengan lutut yang  ditekuk secukupnya dengan hanya menyentuhkan bantalan depan kaki pada tanah, telapak dan tumit tidak menyentuh tanah. Porsi kaki menahan berat tubuh adalah sembilan puluh persen pada kaki kiri dan sepuluh persen pada kaki kanan.

"Duduk Sempurna, hitungan kedua, heaaa!", lanjut ayah lantang.

Pada hitungan kedua ini, lutut kiriku aku tekuk lebih rendah lagi hingga menyentuh tanah sementara tulang kering dan punggung telapak kaki kiri juga sejajar dengan tanah. Posisi lutut kiri yang menyentuh tanah berada dibelakang telapak kaki kanan. Secara otomatis karena lutut kiri diturunkan sangat rendah, maka lutut kanan menjadi tertekuk rendah sehingga telapak kaki kanan pada akhirnya menyentuh sempurna pada tanah. Posisi tangan kiri masih di pinggang, sedangkan tangan kanan digerakkan mengayun dari bawah ke atas membentuk gerak tangan Tangkisan Atas dengan sisi telapak tangan kanan yang ditekuk ke depan. Arah pandangan mata sejajar dengan ujung kuku jari tengah tangan kanan. Porsi kaki menahan berat tubuh adalah sembilan puluh lima persen pada kaki kiri dan lima persen pada kaki kanan.

"Duduk sempurna, hitungan ketiga, heaaa!", ucap ayah lantang.

Pada hitungan ketiga ini, aku menyentuhkan pinggulku ke tanah sepenuhnya, lalu menarik kaki kanan diatas betis kaki kiri sehingga membentuk posisi duduk bersila dengan punggung telapak kaki kanan yang berada di atas betis kaki kiri sedikit keatas ke arah pergelangan lutut. Sementara posisi kedua tangan mengepal dan diletakkan diatas kedua lutut dengan  punggung tangan menghadap ke atas. Badan rileks tapi tegak, pandangan mata menatap fokus ke depan.

"Bagus!  Sekarang, kembali berdiri sempurna dalam tiga hitungan. Hitungan pertama, heaaa!", lanjut ayah lantang.

Pada hitungan pertama posisi dari Duduk Sempurna persiapan untuk berdiri sempurna adalah dengan menarik tangan kiri mengepal kesamping pinggang kiri. Bersamaan dengan melewatkan telapak kaki kanan di depan lutut kiri dan memutar pinggang sedikit ke arah kiri. Sementara tangan kanan diluruskan dengan posisi kepalan sedikit tertekuk ke dalam membentuk posisi gerak serangan tangan Ayunan. Porsi berat badan masih berada di kaki kiri yang masih menempel pada tanah.

"Berdiri Sempurna, hitungan kedua, heaaa!", ucap ayah keras.

Pada hitungan kedua ini akan membentuk gerakan yang sama dengan hitungan kedua pada saat melakukan Duduk Sempurna.

"Berdiri Sempurna, hitungan ketiga, heaaa!", ucap ayah lantang.

Pada hitungan ketiga, kaki kanan ditarik ke arah kanan hingga jaraknya selebar bahu dan ujung-ujung jari kaki mengarah ke depan. Sementara kedua tangan digerakkan dari bawah pinggang hingga menyilang di depan dada dan langsung diturunkan ke bawah hingga sejajar dengan pinggang seperti posisi awal Sikap Sempurna.

"Lakukan terus seperti itu, mulai dari Sikap Siap, Sikap Sempurna, dan Duduk Sempurna. Lakukan selama sepuluh menit, perlahan.", perintah ayah.

Aku agak terkejut juga karena aku hanya diminta melakukan Sikap Berdiri Sempurna dan Duduk Sempurna saja. Meskipun aku masih kurang paham maksud ayah, tapi aku tidak berani membantahnya. Aku menurutinya. Sementara ayah hanya melihat aku melakukan dua gerakan itu saja terus.

Tiga menit.

Lima menit.

Tujuh menit.

Sembilan menit.

Sepuluh menit.

"Uuuh, mulai terasa lelah juga nih", gumamku dalam hati.

"Jangan berhenti. Lanjutkan untuk sepuluh menit berikutnya...", perintah ayah.

Meski aku terkejut, tapi ya lagi-lagi aku tidak berani membantah. Aku turuti saja, meski aku tidak tahu kenapa ayah menyuruhku melakukan ini terus. Hanya Sikap Berdiri Sempurna dan Duduk Sempurna saja.

Lima menit.

Sembilan menit.

Sepuluh menit.

"Sudah yah...", ucapku. Dua puluh menitan melakukan dua gerakan ini, tak terasa peluhku juga mulai bercucuran.

"Sepuluh menit terakhir, lakukan lagi. Setelah itu boleh istirahat sebentar...", perintah ayah lagi.

"Se...sepuluh menit lagi yah?", tanyaku penasaran.

"Iya, lakukan saja...", jawab ayah.

"Ba... baik yah...", ucapku.

Aku kembali memulai dua gerakan itu. Sikap Berdiri Sempurna dan Duduk Sempurna. Aku masih belum mengerti, apa maksud ayah.

Satu menit.

Lima menit.

Sembilan menit.

Sepuluh menit.

"Selesai yah...", ucapku.

Ayah tidak menjawab. Ayah hanya mengangguk saja.

"Istirahat dulu.

Istirahat selama satu menit. Setelah itu, lakukan lagi selama sepuluh menit. Istirahat lagi satu menit, ulangi lagi selama sepuluh menit. Istirahat satu menit, dan terakhir lakukan selama sepuluh menit lagi.", pinta ayah.

Aku terkejut. Kalau dihitung, berarti sekitar satu jam aku hanya melakukan dua gerakan ini saja.

"Apa ya kira-kira maksud ayah?", gumamku dalam hati.

"Jangan bertanya dulu, lakukan saja.", perintah ayah.

Ayah seperti mengerti isi hatiku. Aku tersenyum kecut, dan mengangguk. Tidak berani membantah atau mempertanyakan. Aku percaya ayah punya maksud tersendiri yang aku belum tahu.

Tiga puluh menit berikutnya aku hanya melakukan dua gerakan itu saja.

"Cukup... istirahat dulu.", ucap ayah.

Aku menurut.

Ayah ternyata sudah membawa satu gelas air minum.

"Minum dulu...", lanjut ayah sambil menyodorkan gelas berisi air minum.

Setelah berdoa dalam hati, aku langsung meneguk air minum itu. Segar sekali membasahi tenggorokan ini.

"Duduklah...", pinta ayah.

Wah, justru ini yang ditunggu-tunggu. Aku langsung duduk sambil meluruskan kaki. Sementara ayah duduk berada sekitar dua meter di depanku.

"Kamu mungkin heran mengapa ayah memintamu melatih dau bentuk ini hampir satu jam?", tanya ayah.

"Iya yah.", jawabku singkat.

"Pertama, jangan sepelekan bentuk dasar. Jangan sepelekan gerakan dasar. Ada tujuan penting saat kamu merubah posisi dari berdiri ke duduk. Bahkan posisi berdiripun harus kamu rasakan benar.", ucap ayah.

"Merasakan posisi berdiri?", tanyaku spontan penasaran.

"Benar. Banyak hal yang terjadi saat berdiri yang tidak kamu sadari. Bahwa berdiri sempurna, bukanlah sekedar berdiri biasa saja. Kalau sekedar dilakukan dalam waktu satu atau dua menit, hal itu tidak akan terasa. Tapi kalau dilakukan selama paling tidak sepuluh menit, maka rasanya akan berbeda.", jawab ayah.

Aku mengerutkan dahi. Tidak mengerti apa yang ayah maksudkan.

"Berdirilah. Disitu saja tidak apa-apa. Lakukan posisi Sikap Sempurna. Setelah itu diamlah, tahan selama sepuluh menit.", perintah ayah.

Aku menurut. Aku langsung berdiri dan melakukan posisi Sikap Sempurna. Diam mematung dengan pandangan lurus ke depan. Satu menit, dua menit, rasanya pundak dan punggung ini mulai pegal. Lima menit, pinggang juga mulai berasa pegal, leher mulai bereaksi, membuatku ingin sekali menggerakkan tubuh ini. Setelah kira-kira tujuh menitan rasanya keseimbanganku mulai terganggu.

"Tetap diam, pertahankan kondisi itu dengan pikiranmu. Aturlah pembagian berat tubuh agar seimbang. Rasakan benar bagaimana gravitasi bumi mempengaruhimu. Jangan ada pengejangan.", ucap ayah.

Aku mengikuti perintah ayah. Sambil tetap membuka mata dan memandang lurus ke depan, aku mulai mempertahankan kondisi tubuh itu dengan pikiranku.

Tiga menit berikutnya, rasa pegal pada pundak dan punggung ini mulai menghilang. Aku bisa merasakan bahwa saat terjadi rasa pegal pada pundak dan punggung itu dikarenakan posisinya yang tidak segaris, posisi yang tidak merata pada pembagian berat tubuh. Sehingga terjadi penekanan pada bagian-bagian tertentu saja. Setelah lima menit, rasa pegal pada pinggang, leher, mulai menghilang. Aku heran.

"Eh, kok bisa ya?", gumamku dalam hati.

Lima menit lagi berikutnya, aku merasakan otot-otot yang ada pada tubuh ini saling berkontraksi satu sama lain. Kalau keseimbanganku mulai bergeser ke kanan, maka pikiranku akan mengarahkan agar seimbang lagi. Perlahan, aku mulai mengerti bahwa ketika seseorang berdiri, ada banyak gaya yang mempengaruhinya. Proses keseimbangan, proses-proses mekanik lain pada tubuh ternyata bisa aku rasakan saat pikiranku berusaha mengendalikan kondisi berdiriku ini. Gravitasi bumi yang mempengaruhiku terasa sekali, kemana tekanannya, lalu bagaimana aku harus memindahkannya.

"Cukup!", ucap ayah.

Aku menurut. Lalu kembali berdiri seperti biasa.

"Eh, kok jadi tidak pegal ya yah? Tidak seperti sebelumya.", tanyaku.

Ayah kemudian berdiri.

"Benar nak. Sikap Berdiri Sempurna, meski sepele, tapi sungguh banyak yang terjadi di dalamnya, banyak yang bisa kamu dapatkan manfaatnya. Mulai dari merasakan benar pembagian berat tubuhmu, bagaimana gravitasi mempengaruhimu, bagaimana kamu memindahkan ketidakseimbangan menjadi seimbang, bagaimana kamu menyalurkan perbedaan tekanan sehingga kamu jadi seimbang lagi, dan banyak lagi.", jawab ayah.

Aku mengangguk. Mulai memahami maksud ayah.
"Pada akhirya, kamu akan memahami bagaimana tubuh ini bergerak hanya dari mempelajari sikap Berdiri Sempurna. Dengan memahami ini, kamu akan tahu bagaimana ototmu bekerja, bagaimana mereka saling terhubung satu sama lain, saling menguatkan, dan saling menetralkan. Bagaimana koordinasi antar tulang, koordinasi antar otot, syaraf, dan sebagainya.", lanjut ayah.

"Bahkan, pada sebuah pukulan sederhana, kalau dilandasi dengan pemahaman cara tubuh dalammu bergerak, maka bisa menghasilkan daya yang luar biasa. Normalnya, daya pukulan dibentuk dengan memaksimalkan jarak. Tapi kalau kamu memahami cara tubuh dalammu bergerak, kamu bisa mengganti jarak itu dengan bagaimana tenaga pada rangkaian koordinasi ototmu menimbulkan daya. Dan ini yang kamu lepaskan. Efeknya tidak kalah dibanding jarak yang selama ini umum kamu kenal.", ucap ayah.

Aku tertegun mendengar penjelasan ayah. Masih belum mengerti sepenuhnya.

"Coba pukul ayah disini...", pinta ayah sambil jarinya menunjuk dada. Ayah berdiri dengan posisi kaki selebar bahu. Posisi yang sama dengan sikap sempurna.

"Dipukul yah?", tanyaku penasaran.

"Iya, pukul saja tidak apa-apa...", jawab ayah.

Aku bersiap mengambil jarak secukupnya, lalu melepas gerak tangan serangan bernama Pukulan Datar.

Bhugg!

Pukulanku terasa keras mengenai. Tapi ayah sama sekali tidak bergeser. Posisinya masih tetap disitu. Padahal pukulan ini paling tidak akan mendorong ayah. Tapi ini sama sekali tidak bergerak. Yang aku rasakan, tenaga pukulanku seperti terserap. Hilang.

"Pukul lagi... Lebih keras...", pinta ayah.

Aku menurut. Aku mengambil jarak secukupnya, lalu kembali melayangkan Pukulan Datar dengan tenaga yang lebih keras.

Bhugg!

Rasanya tenaga pukulanku seperti lenyap begitu saja. Blas... seperti hilang.

"Eh, kok bisa begini...?", aku berteriak kecil.

"Menarik, bukan? Dengan memahami bagaimana rasa yang terjadi saat tubuhmu mengalami sesuatu, maka itu bisa kamu manfaatkan untuk banyak hal. Termasuk mengarahkan tenaga benturan ke bumi melalui kaki. Mengendalikan pikiranmu agar secepat terjadi benturan, maka secepat itu juga kamu memindahkan aliran tenaganya ke tempat lain.", ucap ayah.

"Jadi, sikap Berdiri Sempurna, dan Duduk Sempurna, memiliki fungsi dasar yang penting dalam memahami bagaimana tubuhmu bekerja pada perpindahan berat tubuh. Perpindahan berat tubuh, kalau digabungkan dengan rasa, maka lebih jauh lagi akan terkait dengan gaya gravitasi, tekanan tenaga pada kulitmu, pada otot-ototmu, pada dagingmu, pada tulangmu, dan bagaimana ia mengalir.", lanjut ayah.

Aku mengangguk. Mulai bisa memahami maksud ayah.

"Lanjutkan latihannya. Ada sesuatu yang ingin ayah tunjukkan padamu setelah ini.", ucap ayah.

"Baik yah...", jawabku.

Aku melihat ayah berjalan menjauh dari tempat latihan kami.

Aku kembali memulai berlatih sikap Berdiri Sempurna, kemudian sikap Duduk Sempurna. Dari duduk, kemudian berdiri perlahan. Dari berdiri, kemudian duduk perlahan. Merasakan seluruh tubuh ini bergerak. Mana yang tertahan, mana yang tertekan, mana yang pegal, mana yang ringan, mana yang kuat, mana yang lemah. Pikiranku mengendalikan, hatiku merasakan.

Setelah aku lakukan berulang-ulang, aku mulai mengerti maksud ayah. Saat ini, tidak hanya sikap Berdiri Sempurna dan Duduk Sempurna saja, aku tambahkan dengan gerak dasar langkah berupa kuda-kuda Tengah Sedang dan kuda-kuda Tengah Rendah. Bagaimana kaki bergeser, bagaimana tumpuan dari kaki kiri ke kaki kanan, dari kaki kanan ke kaki kiri. Tumpuan pada kedua kaki. Menjaga agar tetap tegak, punggung lurus dengan leher. Pundak, bahu, semuanya. Rasanya benar-benar berbeda.

Aku teringat ucapan ayah,

"Berlatih gerakan, tidak hanya bisa menirukan gerakan saja, tapi juga harus bisa memahami apa yang tersembunyi dibalik setiap gerakan."



(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

silau

  • Anggota Tetap
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 1
  • -Receive: 0
  • Posts: 20
  • Reputation: 8
  • Sahabat Silat
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #72 on: 05/03/2012 17:54 »
trims mas mpcrb, kisahnya menjadi inspirasi untuk mersudi.

jelas
bening
jernih
tenang
hening


anaknaga

  • Anggota Tetap
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 1
  • -Receive: 0
  • Posts: 43
  • Reputation: 121
  • Sahabat Silat
    • Email
  • Perguruan: SKM & MP back to Ahlusunnah Salaf
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #73 on: 13/03/2012 13:43 »
mas gunggung..

sudah dua bulan belum update Cersil nya nih..
tak tunggu Cersil Sampeyan.. :)
AnakNaga
BabyNaga
CicitNaga

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #74 on: 13/03/2012 17:45 »
@anaknaga,

Bagian 34 itu yang terbaru loh, terbit 1 Maret 2012. Cek deh di tanggalnya :)

Kalau mau yang buku ketiga, bisa di download disini:

https://skydrive.live.com/?cid=12ea94da72decb15&id=12EA94DA72DECB15!127

:D
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

 

Powered by EzPortal