+-

Video Silat

Shoutbox

30/12/2023 22:12 anaknaga: Mudik ke Forum ini.
Mampir dulu di penghujung 2023..
07/11/2021 17:43 santri kinasih: Holaaaaas
10/02/2021 10:29 anaknaga: Salam Silat..
Semoga Sadulur sekalian sehat semua di Masa Pandemi Covid-19. semoga olah raga dan rasa dapat meningkatkan daya tahan tubuh kita. hampur 5 tahun tidak ada yang memberikan komen disini.
23/12/2019 08:32 anaknaga: Tidak bisa masuk thread. dah lama tidak nengok perkembangan forum ini.
salam perguruan dan padepokan silat seluruh nusantara.
02/07/2019 18:01 Putra Petir: Akhirnya masuk jua... wkwkwk
13/12/2016 10:49 Taufan: Yuk ke Festival Kampung Silat Jampang 17-18 Desember 2016!!!
20/09/2016 16:45 Dolly Maylissa: kangen diskusi disini
View Shout History

Recent Topics

Berita Duka: Alamsyah bin H Mursyid Bustomi by luri
10/07/2022 09:14

PPS Betako Merpati Putih by acepilot
14/08/2020 10:06

Minta Do`a dan bimbingan para suhu dan sesepuh silat :D. SANDEKALA by zvprakozo
10/04/2019 18:34

On our book: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
13/03/2017 14:37

Siaran Radio ttg. Musik Pencak Silat di Stasiun "BR-Klassik / Musik der Welt" by Ilmu Padi
12/01/2017 16:19

Tentang buku kami: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
17/10/2016 20:27

Hoby Miara Jin by anaknaga
19/09/2016 04:50

TALKSHOW SILAT - Silat Untuk Kehidupan by luri
22/06/2016 08:11

Thi Khi I Beng by aki sija
17/08/2015 06:19

[BUKUTAMU] by devil
09/06/2015 21:51

Daftar Aliran dan Perguruan di Indonesia by devil
01/06/2015 14:01

SILAT BERDO'A SELAMAT by devil
01/06/2015 13:59

Persilatan Jurus Lima (Sabandar) by Marsudi Eko
14/05/2015 19:36

Kebugaran Merpati Putih by mpcrb
22/04/2015 16:16

PAWAI JAMBORE PENCAK 2015 by luri
20/04/2015 16:20

SilatIndonesia.Com

Author Topic: Tembang Tanpa Syair  (Read 52854 times)

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #75 on: 22/07/2012 13:14 »
Selamat menikmati kembali  :-*


Tembang Tanpa Syair - Bagian 35

Cengkraman Bambu Raut



Aku duduk istirahat di sebuah batu yang cukup besar. Peluh membasahi tubuhku. Segar sekali rasanya. Aku melihat ayah keluar dari tenda dengan membawa dua buah bambu raut.

Aku tersenyum. Ingatanku serasa kembali ke masa lalu.

Aku ingat pertama kali menggunakan bambu raut ketika SMP. Itupun karena aku yang meminta. Kejadiannya ketika ayah sedang mengajariku tata gerak di halaman rumah, secara tidak sengaja tanganku berbenturan dengan tangan ayah. Aku terkejut karena tangan ayah kurasakan bagai batu. Keras sekali. Sampai sakit tanganku saat berbenturan dengan tangan ayah. Termasuk juga ketika ayah mengajariku materi tangkap kunci, aku merasakan cengkraman tangan ayah luar biasa kencang saat menangkap tanganku. Kalau dikeraskan lagi mungkin tulang lenganku akan patah. Saat itu aku bertanya pada ayah mengapa tangan ayah bisa begitu keras seperti ini.

"Ayah, tangan ayah keras sekali sih. Kenapa bisa begitu ya yah? Tangan Aa kalo benturan sama temen ngga sekeras itu yah.", tanyaku penasaran.

Ayah tersenyum.

"Tunggu sebentar, ada yang ingin ayah tunjukkan padamu.", jawab ayah singkat. Ayah kemudian berjalan masuk ke dalam rumah, dan tidak lama kemudian keluar dengan membawa sebuah alat yang terbuat dari bambu.

Bambu raut yang ayah bawa ukurannya kira-kira sepanjang lebar bahu ayah atau kurang lebih lima puluh sentimeter. Tersusun atas bambu-bambu kecil yang jumlahnya enam puluh buah dan diikat oleh dua buah karet ban yang dipotong selebar dua ruas jari dan dipasang berjarak satu kepalan dari ujung bambu.

"Inilah yang ayah gunakan sehingga lengan ayah bisa seperti yang Aa rasakan itu.", ucap ayah.

"Pake ini yah?", tanyaku.

"Ya benar. Ini namanya bambu raut atau biasa juga disebut 'lidi'. Ini adalah medium latihan yang khas dari silat ayah ini.", jawab ayah singkat.

"Dalam menggunakan bambu raut ini harus menggunakan tata nafas agar maksimal. Hasilnya nanti seperti yang Aa rasakan saat berbenturan dengan tangan ayah. Tangan akan menjadi keras bagai cadas dari mulai ujung jarinya. Keras, tapi lentur. Tidak kaku.", lanjut ayah.

"Ayah tentu saja akan mengajarkannya kepadamu karena latihan bambu raut ini sudah wajib dilakukan sejak materi dasar. Karena ini diajarkan sejak masih dasar, seperti latihanmu saat ini, maka ke depannya kamu tidak perlu khawatir lagi kalau berbenturan dengan tangan siapapun juga. Tanganmu sudah siap untuk itu.

Kamu tidak akan merasa sakit. Tapi sebaliknya, lawanmulah yang akan merasakan sakit jika berbenturan dengan tanganmu.", ucap ayah.

"Oooh... pantas saja ayah tidak pernah ragu untuk melakukan gerakan yang sifatnya menangkap atau mencengkram atau menangkis. Karena memang tangan ayah sudah terbentuk sedemikian rupa sebagai hasil dari latihan bambu raut ini.", ucapku dalam hati.

"Jika tanganmu sudah siap dengan benturan, artinya gerakanmu akan lebih baik lagi. Sebab seringkali terjadi kamu sudah punya gerakan yang mantap, tapi ketika lawanmu menyerang dan kamu menangkis kemudian kamu jadi meringis, maka berikutnya dipastikan kemampuan gerakanmu akan menurun. Bahkan bisa hilang sama sekali. Kamu harus menggantinya dengan gerakan yang lain.

Tapi kalau tanganmu sudah siap, maka semua gerakan yang berhubungan dengan tangan akan dapat kamu lakukan secara maksimal. Tak ada kekhawatiran untuk melepas gerakan tangan serangan, dan tak ada keraguan untuk menggunakan gerakan tangan tangkisan.", ucap ayah.

Dan sejak saat itu, mulailah ayah mengajariku latihan bambu raut yang disertai dengan tata nafasnya. Saat itu ayah hanya mengajariku satu bentuk saja, yakni bentuk 'meremas'.

"Aa, halooo... kok ngelamun?", tanya ayah sambil menyentuh dahiku dengan telunjuknya.

Aku terkejut.

"Ah, aku kok jadi melamun nih", gumamku dalam hati.

"Eh, iya yah. Saat lihat ayah bawa bambu raut, Aa lagi ingat dulu saat pertama kali latihan ini sama ayah nih.", jawabku sekenanya.

"Ayo bangun, kita latihan lagi untuk bentuk yang lain.", ucap ayah.

"Baik yah!", jawabku bersemangat.

Aku berdiri dan berjalan mengikuti ayah dari belakang. Kira-kira sepuluh meter, ayah berhenti dan berbalik lalu langsung melempar bambu raut yang ada di tangan kanannya. Jarak aku dan ayah kurang lebih tiga meter.

"Tangkap!", ucap ayah keras.

Aku terkejut.

Meski terkejut, tapi secara reflek tangan kananku langsung bergerak cepat dan tepat sekali menangkap bagian tengah dari bambu raut yang ayah lemparkan kepadaku.

TAP!!

"Bagus!", puji ayah.

"Kita akan lanjutkan latihan bambu raut ini. Ayah pernah memberimu satu jenis latihan yakni bentuk 'meremas' pada bambu raut ini. Ayah lihat lenganmu sudah cukup keras. Seharusnya kamu sudah tidak perlu terlalu khawatir dengan benturan.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

Aku membenarkan ucapan ayah. Bahwa memang setelah aku rutin berlatih dan dilatih olah nafas dengan medium bambu raut, aku merasa lenganku mulai kokoh. Tidak membesar seperti halnya para binaragawan, tapi rasanya keras, liat, dan lentur. Benturan pada lenganku terasa biasa saja. Apalagi kalau aku sudah menarik nafas halus dan menyalurkan pada lengan, rasanya otot-otot dan nadi-nadi pada lenganku seperti pipa karet yang kalau kena benturan bisa 'membal' sehingga tidak membuat tanganku sakit. Sebaliknya, justru yang membenturkulah yang merasa kesakitan.

Ini sudah pernah aku coba pada si Sukri teman kelasku. Sukri juga menjadi anggota salah satu beladiri. Suatu hari aku dipanggil oleh Sukri untuk menjadi teman latihannya. Tapi setelah terjadi beberapa kali benturan, aku disuruh berhenti oleh si Sukri. Katanya, tanganku keras sekali. Padahal aku hanya latihan satu jenis saja yakni latihan 'meremas' yang dibarengi dengan olah nafas. Persis seperti yang ayah pernah latihkan kepadaku.

"Sekarang, ayah akan tambahkan satu jenis lagi. Yakni latihan 'mencengkram'. Kalau latihan 'meremas' sudah membentuk lenganmu menjadi kokoh bagai cadas. Latihan 'mencengkram' ini akan meningkatkan kemampuan daya tangkapmu dan daya cengkrammu seperti rajawali.

Periksa dulu kuku-kukumu. Tidak boleh ada yang panjang. Sebab kalau panjang, bisa luka saat kamu melakukan latihan ini.

Bambu raut ini nanti harus kamu cengkram dengan kuat dengan jari-jarimu. Masuk hingga ke dalam. Dan kamu harus mempertahankan kekuatan cengkraman ini sepanjang nafas yang kamu olah.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

"Siap yah!", jawabku mantap.

Ayah kemudian memberi contoh cara cengkraman yang benar saat berlatih.

"Perhatikan. Posisi seperti meremas, tapi dengan ujung-ujung jari yang lebih menekuk ke dalam. Jari-jari agak sedikit direnggangkan. Saat dibarengi dengan nafas, maka saat itu pula seluruh jari-jari tangan kamu lesakkan masuk ke dalam sela-sela bambu raut ini dengan keras. Lalu gerakkan pergelangan tanganmu secara berlawanan. Kalau pergelangan tangan kananmu ditekuk kebawah, maka pergelangan tangan kirimu ditekuk keatas. Lakukan dengan maksimal, keras, bertenaga. Paham?", ucap ayah.

"Paham yah. Ini hampir sama dengan yang latihan meremas khan yah? Hanya bedanya kalau yang ini menggunakan cengkraman.", jawabku.

"Ya, benar sekali.", lanjut ayah.

"Ada yang ingin Aa tanyakan lagi?", tanya ayah.

"Tidak yah. Sudah jelas.", jawabku singkat.

"Baiklah kalau begitu. Ambil posisi duduk simpuh, lalu kita mulai latihannya. Ayah yang akan memberikanm aba-aba.", ucap ayah.

Aku menurut.

Aku menggeser satu langkah. Lalu langsung duduk simpuh. Kedua tangan diluruskan setinggi bahu dengan kepalanku memegang kokoh bambu raut pada lokasi dua kepalan dari ujung bambu raut.

"Persiapan! Buang nafas.... Tahaaaan.... Tariiik...!", perintah ayah lantang.

Dan latihanpun dimulai.



(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

luri

  • Administrator
  • Pendekar Muda
  • *****
  • Thank You
  • -Given: 138
  • -Receive: 39
  • Posts: 711
  • Reputation: 215
  • Perguruan: -
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #76 on: 23/07/2012 07:57 »
wiiii... berlanjut....
 [top]

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #77 on: 24/07/2012 13:06 »
Tembang Tanpa Syair - Bagian 36

Benturan Bambu Raut



Peluhku luar biasa membasahi tubuh ini. Kaos yang kukenakan benar-benar sudah basah oleh keringat yang membanjir. Tubuh ini rasanya segar sekali. Kedua lenganku terasa begitu kencang. Setiap aku mengepalkan jari-jariku, ada serasa hawa hangat yang mengalir. Lembut. Demikian juga setiap aku mengeraskan lenganku, hawa hangat itu kembali mengalir di lenganku. Jari-jariku serasa menebal. Tanpa sadar, aku memandangi kedua telapak tanganku sendiri.

"Kenapa? Ada yang aneh yang Aa rasakan dengan tangannya?", tanya ayah sambil tersenyum.

"I..iya yah. Tangan ini serasa dialiri hawa hangat yang lembut. Setiap kali Aa keraskan kepalan Aa, hawa hangat itu muncul dan menjalari lengan. Telapak tangan Aa juga terasa begitu hangat...", jawab Aa.

Ayah kembali tersenyum.

"Bagus kalau begitu. Latihanmu sudah mulai menampakkan hasil. Sekarang, luruskan tanganmu ke depan.", pinta ayah.

Aku menurut.

Masih dalam posisi duduk simpuh. Aku meluruskan kedua tanganku ke depan setinggi bahu. Ayah kemudian mendekat, dan duduk persis di sampingku. Ayah kemudian memejamkan mata dan menyentuh jari-jari tanganku, punggung tanganku, pergelangan tanganku, detak nadiku, lenganku, ujung siku, bisep, trisep, dan hingga pangkal lengan.

Setelah itu ayah kembali membuka mata.

"Hmmm.. sudah lumayan. Ada beberapa bagian yang belum sempurna kamu latih, termasuk ada jalur-jalur yang harus diperbaiki. Tapi tidak apa-apa. Itu semua proses. Kalau kamu rajin melatih olah nafas Pengolahan dan olah nafas Bambu Raut ini, nanti akan lancar dengan sendirinya.", ucap ayah.

"Berdirilah... kita lanjutkan latihannya dengan benturan bambu raut", lanjut ayah.

Ayah kemudian berdiri dan mengambil jarak di langkah di depanku. Di tangan kanan dan kirinya ada dua buah bambu raut yang dipegang pada jarak satu jengkal dari ujung bambu.

"Benturan bambu raut? Itu seperti apa yah...", tanyaku penasaran sambil ikut berdiri.

"Ayah akan melakukan serangan dengan menggunakan bambu raut ini ya. Apapun serangan ayah, kamu tangkis dengan gerakan tangan tangkisan. Boleh dengan tangkisan atas, boleh dengan tangkisan bawah, boleh dengan punggung siku, punggung tangan, atau bagian lain lenganmu. Paham?", pinta ayah.

Meski aku belum mengerti. Aku mengangguk.

"Waspada dengan serangan. Gunakan nalurimu untuk menangkis!", lanjut ayah.

Tanpa aba-aba lagi, ayah langsung menyerang dengan mengayunkan bambu raut di tangan kirinya ke arah leherku. Ayunan bambu raut ayah ini begitu keras dan cepat.

TRAK!!

Dilanjutkan dengan tangan kirinya mengayunkan bambu raut ke arah pinggang kananku.

TRAK!!

Dua tangkisan secara reflek aku lepaskan.

"Eh...!", aku menjerit perlahan dan terkejut, lalu mundur satu langkah.

"Kenapa?", tanya ayah sambil tersenyum.

"Ini, kok rasanya lain ya yah...", jawabku sambil melihat kedua tanganku.

Ayah kembali tersenyum.

"Kita coba lagi. Waspada pada serangan!", lanjut ayah.

Kembali ayah mengayunkan bambu raut di tangan kanannya ke arah pinggang kiriku. Tangan kiriku melakukan gerakan tangan tangkisan yang bernama Tangkisan Bawah. Tepat sekali mengenai telapak tanganku.

TRAK!!

Begitu bambu raut dapat aku tangkis, berikutnya ayah melakukan gerakan tusukan ke arah ulu hatiku. Cepat sekali. Secara reflek aku menggeser langkahku dengan sikap Leyek Belakang tapi ke arah samping. Bersamaan dengan itu aku lanjutkan dengan gerakan tangan tangkisan bernama Punggung Siku Kebawah.

TRAK!!

"Eh... ini... ini...", aku kembali terkejut. Dan mundur satu langkah ke belakang. Jarakku dengan ayah kini sekitar dua langkah setengah.

Aku hanya melihat ayah tersenyum.

"Hati-hati!", ucap ayah.

Selesai berucap, ayah kembali menyerangku. Kaki kanan ayah melangkah maju dan tebasan bambu rautnya mengarah ke kedua leherku. Ya, dua-duanya!

Secara reflek aku menggerakkan kedua tanganku dengan memasang punggung siku untuk menerima benturan kedua bambu raut yang mengarah ke leherku. Keras.

Kepalanku menghadap ke atas agak menyamping dan berada sedikit melewati kepalaku. Mataku tetap tertuju pada tubuh ayah. Seolah serangan dari kanan dan kiriku itu tidak ada. Fokusku tetap pada tubuh ayah di depanku.

TRAKK!!

Begitu bambu raut tertangkis, ayah langsung menggeser posisinya. Kaki kanan yang tadi berada di depan dibuat maju setengah langkah lagi bersamaan dengan kaki kirinya melakukan Tendangan Depan. Lurus, cepat, keras, bertenaga, mengarah ke ulu hatiku.

PLAK!

Aku terpaksa menangkisnya. Karena gerakanku tidak cukup cepat untuk menghindar akibat dari efek benturan bambu raut sebelumnya. Kalau aku coba menghindar, aku pasti akan kena telak. Tak ada jalan lain, hanya menangkis saja satu-satu cara. Kugunakan gerak tangan Tangkisan Bawah.

Aku terdorong mundur setengah langkah. Meski demikian, aku menyiapkan kembali kuda-kuda sikap pasang. Kedua tanganku kembali bersiaga. Pandanganku menatap tajam ke depan. Konsentrasiku penuh. Meski demikian, aku tetap waspada pada kedua bambu raut di tangan ayah.

Tiba-tiba aku melihat ayah melemparkan bambu rautnya ke udara. Tinggi. Secara reflek mataku mengikuti arah lemparan bambu raut ayah. Tapi justru dalam sepersekian detik itu, tiba-tiba aku merasa tubuh ayah semakin mendekat. Dan naluriku mengatakan kalau tubuhku berada dalam bahaya.

Benar saja, serangan Tendangan Depan ayah langsung merangsek maju. Tak ada jalan lain lagi, mundur juga pasti kena karena jarakku hanya satu langkah saja. Secara naluri aku merapatkan kedua tanganku di depan dada, mengeraskan untuk bersiap menerima serangan.

BUGGH!!

Aku terdorong keras hingga mundur tiga langkah. Tendangan ayah cukup keras mengenai kedua lenganku di depan dada. Untung saja naluriku tepat. Kalau tidak, tentunya dada ini yang akan terkena dengan telak.

Bersamaan dengan itu, bambu raut yang ayah lemparkan jatuh tepat di samping kananku.

"Bagus! Cukup. Kita istirahat terlebih dahulu.", ucap ayah.

Aku melihat ayah kemudian langsung duduk sila.

Aku menurut. Aku berjalan perlahan. Setelah berjarak kira-kira satu setengah langkah, aku juga duduk sila.

"Tadi ayah lihat Aa seperti terkejut. Ada apa?", tanya ayah sambil tersenyum.

"Iya yah. Aa kaget karena saat tadi tangan Aa membentur bambu raut, seperti ada rasa 'tik' di hati ini. Begitu rasa 'tik' itu muncul, secara naluri bagian tangan yang membentur itu mengeras dengan sendirinya sehingga benturan itu tidak terasa menyakitkan.", jawabku.

"Ya, itu benar. Salah satu tahapan lanjutan dari gerakan adalah merasakan dampak saat benturan terjadi. Atau yang kamu sebut dengan rasa 'tik' itu. Misal, ayah menyerang dan Aa menangkis, atau kebalikannya. Tentunya terjadi benturan. Pada tahap ini kamu harus mau berbenturan terlebih dahulu. Sebab dengan benturan itu nantinya akan membentu rasa di dalam tubuhmu. Dan rasa ini bisa kamu pergunakan untuk menganalisa dampak. Nalurimu nanti akan memberitahu apakah benturanmu bisa kamu teruskan, atau harus kamu alihkan.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

Benar sekali. Saat benturan terjadi, tanganku seperti ada rasa yang lain. Demikian juga dengan hatiku. Dulu, aku masih ingat ketika aku berbenturan dengan serangan lawan dan aku meringis karenanya. Pada saat itu, tenaga lenganku seperti menurun dan bahkan menghilang. Rasa nyeri akibat benturan ini membuat ada sebagian yang hilang.

Tapi sekarang rasanya sungguh berbeda. Lenganku benar-benar terasa berbeda. Kepercayaan diriku lebih baik lagi. Benturan pada lenganku kini tidak aku takutkan.

"Ingat, tetap waspada dan tetap siaga. Sebab kondisi benturan itu ada tiga jenis. Pertama adalah benturan yang lebih rendah darimu. Kedua adalah benturan yang lebih tinggi darimu. Dan ketiga adalah benturan setingkat denganmu.

Benturan yang lebih rendah darimu, sudah jelas kamu yang menang. Lawan akan merasa kesakitan. Tapi untuk benturan yang lebih tinggi darimu, kemungkinannya kamu akan kesakitan. Jangan coba-coba untuk berbenturan, tapi sebaiknya kamu hindari atau alihkan. Dan memindahkan atau mengalihkan benturan ini tidak akan bisa kamu lakukan kecuali rasa di hatimu sudah terbentuk dan nalurimu sudah jalan dengan baik. Sebab selain waktunya harus pas, tenaga yang kamu gunakan juga harus benar. Harus ada sambung rasa dengan cepat. Salah sedikit, kamu yang cedera sendiri. Jelas?", lanjut ayah.

"Jelas yah. Oh ya, bagaimana dengan benturan yang setingkat yah?", tanyaku penasaran karena ayah hanya menjelaskan secara singkat benturan pertama dan kedua saja.

"Kalau yang itu, nanti kamu akan mengetahui sendiri jawabannya.", jawab ayah singkat sambil tersenyum.

"Iya yah...", ucapku sambil tangan kananku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

"Ingat, bisalah merasa. Dan jangan merasa bisa.", lanjut ayah.


(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #78 on: 25/07/2012 14:00 »
Tembang Tanpa Syair - Bagian 37

Tusukan Bambu Raut



Angin pagi yang berhembus mengenai kulitku. Rasanya sangat menyegarkan. Beberapa dedaunan berjatuhan. Tidak ada kendaraan yang lewat di dekat tempat kami berkemah sehingga suara gemericik air sangat jelas terdengar, meskipun jaraknya agak jauh.

Aku dan ayah masih duduk sila saling berhadapan.

"Jadi, tangan ayah yang bisa seperti itu dilatihnya sama bambu raut ini ya yah?", tanyaku memulai pembicaraan.

"Di dalam silat ayah ini ada beberapa medium yang dipergunakan untuk berlatih. Kebanyakan disertai dengan olah nafas karena memang disitulah keistimewaannya. Bahwa penguasaan di dalam setiap tingkatannya didasarkan pada tata nafas yang kamu kuasai. Tata geraknya sendiri lebih banyak menyatu bersama tata nafas yang ada. Dan bambu raut adalah salah satu dari sekian banyak medium yang dipergunakan saat latihan.", jawab ayah.

Aku melihat ayah memegang ujung bambu raut dengan tangan kirinya, jaraknya kira-kira satu kepalan dari ujung bambu raut. Kemudian ujung satunya ditempelkan ke tanah. Bambu raut itu membentuk kemiringan dengan sudut kira-kira lima belas derajat.

"Selain teknik meremas yang sudah kamu latih, kemudian teknik mencengkram yang baru saja kamu latih. Ada juga teknik jari. Salah satunya adalah teknik empat jari dan teknik satu jari. Perhatikan.", ucap ayah.

Aku melihat ayah merapatkan jari-jari tangan kanannya dengan ibu jari sedikit tertekuk. Kemudian keempat jari tangan yang merapat itu ditusukkan ke dalam jalinan bambu raut di tangan kiri ayah dengan posisi searah dengan posisi jalinan bambu raut. Aku melihat ayah menarik nafas halus sebelum tusukan empat jari tangan kanan ayah bergerak.

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

Keempat jari tangan kanan ayah masuk ke dalam sela-sela jalinan bambu raut. Terus menembus hingga kebelakangnya. Jari-jarinya benar-benar masuk ke dalam jalinan bambu raut hingga seluruh ruasnya. Jalinan bambu raut yang dipegang ayah menjadi melebar, longgar, akibat dari tusukan keras jari-jari tangan kanan ayah. Ayah melakukan tusukan itu sebanyak lima kali. Kemudian secara cepat ayah menukar posisi. Tangan kanan ayah kini sudah memegang ujung bambu raut, dan jari-jari tangan kiri langsung dirapatkan untuk kemudian ditusukkan kembali ke bambu raut yang kini dipegang dengan tangan kanan.

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

Lima kali ayah melakukan tusukan dengan tangan kiri. Kemudian berlanjut dengan mengganti posisi pegangan bambu raut ke tangan kiri. Demikian seterusnya bolak-balik. Ayah melakukan itu sebanyak tiga puluh lima kali tusukan kanan dan kiri secara bergantian. Setelah itu berhenti.

"Itu untuk yang empat jari. Tapi nanti saat kamu latihan, cukup satu tangan terlebih dahulu saja. Kalau sudah lancar, barulah bergantian seperti ayah tadi.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

"Ada juga yang menggunakan satu jari. Misal, ibu jari terlebih dahulu", lanjut ayah.

Aku melihat tangan kiri ayah memegang bambu raut seperti posisi semula, yakni dipegang pada satu kepalan setelah ujung atas, dan ujung yang bawah ditempelkan ke tanah. Kemiringan sudut yang dibentuknya sekitar lima belas derajat.

Tangan kanan ayah membentuk kepalan yang menghadap ke depan, akan tetapi ibu jarinya dibuka ke samping. Ibu jari yang terbuka ini kemudian ditusukkan ke dalam jalinan bambu raut yang ada.

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

Ibu jari tangan kanan ayah yang ditusukkan ke dalam bambu raut itu masuk hingga seluruh ruasnya. Akibatnya, jalinan bambu raut menjadi lebih longgar. Setelah itu ayah mengganti dengan ibu jari tangan kirinya. Posisi pegangan bambu raut dipindahkan ke tangan kanan.

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

Ibu jari tangan kiri kini ditusukkan ke dalam bambu raut seperti halnya yang tangan kanan. Setelah dilakukan lima kali. Ayah berhenti, lalu menatapku.

"Sudah lihat?", tanya ayah.

"Iya yah. Kelihatannya mudah yah.", jawabku sambil tersenyum.

"Coba saja.", ucap ayah sambil tersenyum juga.

Aku penasaran.

Aku coba mempraktekkan apa yang barusan ayah lakukan. Tangan kiriku memegang bambu raut pada ujung atasnya, lalu ujung bawahnya aku tempelkan ke tanah, kemudian sudutnya kubentuk sekitar lima belas derajat. Setelah semua aku rasa pas, kemudian jari-jari tangan kananku aku rapatkan dan bersiap untuk aku tusukkan dengan keras.

SRAK!

"Awh...", aku terkejut sambil menjerit. Secara reflek jari-jari tangan kananku aku tarik kembali dan langsung aku kibas-kibaskan ke udara.

"Kenapa?", tanya ayah sambil tersenyum.

"Sakit yah. Jari-jari tangan Aa ngga bisa sampai menembus seperti yang tadi ayah lakukan nih.", ucapku protes.

"Tentu saja. Meski terlihat sederhana, tapi tidak sesederhana prakteknya. Apalagi kalau sudah menggunakan olah nafasnya. Akan lebih berat.", ucap ayah.

"Tapi justru pada hal yang sederhana inilah kamu melatih lenganmu secara utuh. Dari ujung jari hingga pangkal lengan. Sebab latihan bambu raut ini memiliki teknik-teknik dari ujung jari tangan, telapak tangan, sisi telapak tangan, punggung telapak tangan, punggung siku, ujung siku, bisep, trisep, hingga semua yang ada di lenganmu itu. Lengkap.", lanjut ayah.

Aku mengangguk bersemangat.

"Tapi gunanya untuk apa yah jari-jari yang dilatih itu? Apakah untuk mencengkram atau menangkap saja?", tanyaku penasaran.

"Tentu saja tidak, nak.", jawab ayah.

"Ayo berdiri.", pinta ayah.

Aku menurut.

Aku langsung berdiri, bersamaan dengan ayah yang juga langsung berdiri.

"Mendekat kesini. Coba kunci tangan ayah. Gunakan teknik apapun yang kamu kuasai.", pinta ayah sambil menjulurkan tangan kanannya.

Aku menurut.

Aku menangkap tangan kanan ayah, lalu bergerak memutar ke belakang sambil menekuk tangan ayah ke belakang punggungnya dengan tangan kananku. Bersamaan dengan itu tangan kiriku mencengkram bahu kanan ayah agar lebih kuat. Posisi badan ayah kini agak sedikit membungkuk akibat kuncian pada lengan kanannya.

"Sudah selesai?", tanya ayah.

"Tangan yang memegang bahu kanan ayah ini lemah loh...", lanjut ayah.

Bersamaan dengan itu aku melihat tangan kiri ayah memegang jari-jari tangan kiriku yang menyentuh bahu ayah, lalu salah satu jarinya menekan salah satu tempat di ruas kedua buku-buku kepalan tanganku dengan keras. Aku hanya merasa titik itu seperti ditekan oleh sebuah kayu yang keras hingga aku langsung berteriak kesakitan.

"Awh...!!!", aku berteriak kesakitan dan secara reflek melepas pegangan tangan kiriku.

Pada masa sepersekian detik tersebut, ayah berteriak perlahan.

"Lepas!!!", teriak ayah.

Dan dengan sedikit meliukkan tubuhnya, peganganku sudah terlepas. Bahkan kini berganti tanganku yang dikunci oleh ayah. Bedanya, salah satu jari ayah menekan salah satu titik di punggung kepalan tanganku. Titik yang ditekan ini entah mengapa membuat lengan kananku jadi lemas mendadak. Posisi tubuhku kini sedikit berbungkuk.

Dan aku sama sekali tidak bisa berkutik!

"Bagaimana kalau sekarang?", tanya ayah.

Aku tidak menjawab pertanyaan ayah. Aku coba berontak, tapi lenganku benar-benar terasa lemas. Kalau aku mencoba bergerak, rasa nyeri tiba-tiba saja menyerang bahu kananku dan kembali aku terbungkuk karenanya.

Kira-kira dua puluh detik ayah mengunciku. Setelah itu aku merasa perlahan tekanan tangan ayah mengendur, dan dilepas. Ayah kemudian menepuk bahu kananku tiga kali.

"Kamu lihat manfaatnya, bukan? Dengan ditambah pengetahuan mengenai syaraf tubuh, otot, dan tulang, kamu bisa menangkal hal-hal yang berhubungan dengan kuncian. Pada jari, pada ruas jari, pada punggung tangan, pada lengan, bahu, bisep, trisep, dan sebagainya. Kamu bisa menekan titik-titik tertentu pada tubuh yang mengakibatkan terganggunya pasokan aliran darah pada titik yang kamu tekan tersebut. Lebih jauh lagi, kalau ditekan pada titik mematikan maka aliran darah bisa berbalik dan terhenti. Akibatnya akan sangat fatal pada lawanmu.

Nah, penekanan terhadap titik-titik tersebut hanya bisa kamu lakukan dengan baik apabila jarimu dan rasa jarimu terlatih dengan baik juga.", ucap ayah.

Aku mengangguk membenarkan ucapan ayah.

"Nak, bahwa seni beladiri pada dasarnya melakukan eksplorasi pada tubuh manusia. Jauh lebih tua dibanding kedokteran modern. Eksplorasi jiwa raga. Seutuhnya.

Dan bambu raut ini adalah salah satu medium untuk lebih mengenalkanmu pada sisi lain tubuh manusia. Selain untuk tangan, juga ada untuk kaki. Tapi itu nanti saja.

Latihlah.

Latihlah dengan serius dan penuh penghayatan.", lanjut ayah.

Aku melihat ayah menimang-nimang bambu raut yang entah kapan sudah ada di tangannya lagi.

Aku mengangguk, dan menunduk.

"Ayah, aku pasti akan melatihnya dengan baik.", ucapku dalam hati.


(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

anaknaga

  • Anggota Tetap
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 1
  • -Receive: 0
  • Posts: 43
  • Reputation: 121
  • Sahabat Silat
    • Email
  • Perguruan: SKM & MP back to Ahlusunnah Salaf
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #79 on: 06/08/2012 17:00 »
To be continued Mas goeng..

 ;D
AnakNaga
BabyNaga
CicitNaga

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #80 on: 27/03/2013 11:52 »
Tembang Tanpa Syair – Bagian 38

Jawaban Sesungguhnya

Sore ini ayah ingin mengajakku berlatih dibelakang lereng. Disana terdapat air terjun dan juga sungai yang jernih. Rasanya akan sangat menyenangkan nanti. Aku sudah tidak bersabar. Dari dalam tenda, aku mengenakan celana hitam silat dengan bersemangat. Kaos berwarna putih aku lipat dan kemudian kuselempangkan ke bahu kiriku. Ayah bilang tidak usah pake baju, karena nanti juga akan basah-basahan.

Terdengar suara ayah dari luar tenda.

"Aa, sudah selesai belum?", tanya ayah.

"Sebentar lagi yah...", jawabku singkat.

Pandanganku berkeliling di dalam tenda, mencoba mencari handuk kecil kesayanganku. Sebuah handuk berwarna biru muda yang sudah lusuh.

"Ah, ini dia yang kucari...", gumamku perlahan.

Handuk itu ternyata ada dibawah tumpukan baju-baju dan celanaku.

Secepatnya aku ambil dan bergegas keluar karena ayah sudah menungguku.

"Aku sudah siap yah!", ucapku.

Ayah tersenyum melihatku, lalu membalik badan dan berjalan menuju belakang lereng. Aku mengikuti ayah dari belakang. Hatiku sangat senang. Pandanganku melihat kekiri dan kekanan. Indah sekali suasana sore ini. Entahlah, barangkali karena hatiku riang gembira maka suasana menjadi sangat berbeda, menjadi begitu indah. Perasaan hati memang mengikuti rasa fisik.

"Lho kok tertinggal?", ucap ayah dari kejauhan.

"Eh... kok bisa?", aku kaget.

Jarakku dengan ayah menjadi cukup jauh. Padahal tadi hanya berjarak sekitar satu meteran, kini sudah berjarak sekitar sepuluh meteran. Jauh sekali. Aku berlari kecil berusaha menyusul ayah.

Tidak berapa lama, posisiku kembali berada berjarak sekitar satu meter dari ayah.

Perlahan, aku mulai mendengar suara percikan air. Suara gemericik air ini sangat indah dan menyejukkan hati. Ditambah lagi suasana sore yang memang asri.

Ayah berjalan menuju sebuah batu sebesar kerbau yang berada tidak jauh dari pinggir sungai. Kemudian meletakkan bungkusan kecil diatasnya. Aku mengikuti ayah. Kaos putih dan handuk yang kubawa juga kuletakkan disamping bungkusan ayah.

Aku melihat ayah melihat kesekeliling, memejamkan mata, kemudian menarik nafas halus dan membuangnya perlahan.

"Disana tempatnya ... ", ucap ayah sambil tangan kanannya menunjuk kearah timur.

Arah yang ditunjuk ayah adalah wilayah sungai dengan ketinggian air sekitar satu pinggang. Tidak terlalu dalam. Lokasinya agak dekat dengan rimbunan pohon-pohon dan lokasi disitu memiliki aliran air yang cukup deras dari hulu. Terhalang oleh sebuah batu besar. Akan tetapi justru air yang mengalir kesana menjadi lebih lancar. Airnya sangat jernih hingga dari kejauhanpun aku bisa melihat dasar sungainya.

Aku melihat ayah berjalan perlahan. Aku mengikutinya dari belakang. Kakiku kemudian menyentuh air sungai dan masuk hingga sebatas mata kaki. Berjalan lagi beberapa langkah, mulai agak dalam hingga sebatas betis. Kemudian berjalan lagi beberapa langkah, hingga kemudian airnya sudah setinggi pinggangku. Sementara tinggi air itu bagi ayah hanya setinggi paha saja.

"Cari tempat yang Aa bisa duduk dan tingginya air mencapai leher, jangan lebih.", pinta ayah.

Aku menurut.

Aku coba turunkan tubuhku dan mencoba duduk sila.

"Ah, pas sekali disini yah...", jawabku perlahan.

Benar saja, saat aku duduk sila secara sempurna, tubuhku terendam air. Tapi hanya setinggi leher saja, tidak sampai ke mulut sehingga air tidak mungkin tertelan.

"Bagus...", ucap ayah.

"Pejamkan matamu, lalu bernafaskan dengan santai. Biarkan tubuhmu melakukan penyesuaian terlebih dahulu pada tekanan air yang mengenai setiap pori-pori tubuhmu.", pinta ayah.

Aku mengangguk.

Perlahan aku pejamkam kedua mataku. Kuletakkan punggung telapak tanganku di kedua lutut. Aku mulai mengatur nafas. Benar saja, tarikan nafas dan hembusan nafas menjadi lebih berat. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan air yang mengenai tubuhku, terutama dadaku. Tapi rasanya menjadi sangat nyaman setelah itu.

"Kalau tubuhmu sudah merasa lebih nyaman, sekarang coba kamu lakukan nafas Garuda dengan nafas kasar, mendesis, tapi tanpa menunduk. Lakukan dengan maksimal, dengan pengejangan maksimal", lanjut ayah.

Aku menuruti perintah ayah. Kedua tanganku aku rapatkan didepan dada. Telapaknya saling mendorong satu sama lain. Tulang lenganku terasa berderak-derak. Aku memejamkam mata. Setelah itu aku menghembuskan nafas keras, mendesis, melalui mulut.

"Cesssshhhhhhh....."

Setelah 'habis', kemudian menahannya tiga hingga lima detik, dan kemudian menghirup nafas perlahan dari hidung. Merasakan benar setiap udara yang masuk ke dalam tubuhku. Merasakan benar oksigen yang masuk ke dalam paru-paruku. Setelah aku rasa 'penuh', kemudian aku 'menelan' nafas itu dan menahannya di dada. Kedua lengan aku keraskan maksimal dari ujung jari hingga ke pangkal lengan. Perlahan kuluruskan kedua lenganku hingga menjulur ke depan dengan telapak tangan menghadap ke depan. Lalu membukanya keduanya perlahan kesamping hingga sejajar bahu. Terus digerakkan hingga kebelakang. Hingga tidak bisa bergerak lagi. Setelah itu kembali ke posisi semula lagi. Dari belakang, kugerakkan kembali sejajar bahu, dan kemudian terus hingga lurus ke depan. Merapatkan kembali kedua telapak tangan di depan dada. Saling mendorong lebih keras, dan kemudian menghembuskan nafas dengan keras, mendesis. Tanpa mengurangi pengejangan kedua lengan. Setelah itu aku kembali membuka mata.

Aku terdiam.

Rasanya ada yang berbeda.

Tapi aku tidak tahu apa itu.

"Lakukan lagi...", pinta ayah.

Aku menurut. Kulakukan lagi nafas Garuda seperti sebelumnya.

Setelah selesai, lagi-lagi rasa yang berbeda itu muncul di hati ini.

"Lakukan lagi...", lanjut ayah.

Aku kembali menurut. Ayah memintaku berulang-ulang untuk melakukan lagi, lagi dan lagi.

Aku menghitung, paling tidak sudah sembilan kali aku melakukan ini. Keringatku sudah mulai bercucuran pada keningku. Nafasku agak memburu. Aku segera mengusapnya dengan telapak tanganku. Terpaan air dari telapak tanganku saat mengusap keringat di keningku membasahi wajahku dan memberikan kesegaran.

"Bagus. Atur nafasmu terlebih dahulu. Tenangkan.", ucap ayah.

Aku memejamkan mata. Mengatur irama nafasku sedemikian rupa.

Tidak berapa lama, aku terkejut. Rasa aneh itu kembali lagi.

"Cukup. Sekarang lakukan nafas Garuda tapi dengan nafas halus, lembut, dan tanpa pengejangan sama sekali. Konsentrasikan pada nafasmu.", pinta ayah.

Aku menurut.

Perlahan kurapatkan kedua telapak tanganku di depan dada. Lemas, perlahan. Kupejamkan kedua mataku, lalu kubuang nafas perlahan. Setelah 'habis', kutahan tiga hingga lima detik, kemudian menghirup nafas perlahan dari hidung sebanyak-banyaknya hingga mengisi paru-paru dengan maksimal. Lalu perlahan kudorongkan kedua telapak tanganku ke depan, perlahan sekali.

DHEG!

Rasa itu kembali muncul lebih jelas. Seluruh lenganku serasa diselimuti oleh sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Seperti ada aliran energi lembut yang membungkus kedua lenganku. Nyaman sekali. Saat kemudian gerakan tanganku kembali ke bentuk semula, sesaat sebelum kedua telapak tanganku bersentuhan, aku merasakan aliran energi lembut ini saling bersentuhan halus. Tapi tidak berbenturan. Malah saling mengait dan melebur. Tepat saat kedua telapak tanganku bersentuhan energi lembut ini seperti bergerak tidak hanya pada kedua lenganku, tapi juga di dadaku dan seluruh tubuhku. Rasa hangat yang nyaman kemudian menjalar dari kedua telapak tangan hingga ke seluruh tubuh. Ini sungguh sangat nyaman. Hatiku sepertinya enggan untuk membuka kedua telapak tangan ini. Sebuah sensasi yang unik yang baru pertama kali kurasakan. Tapi karena kemampuan manusia dalam menahan nafas sangat terbatas, maka aku terpaksa harus membuang nafas.

Ya, aku terpaksa. Karena memang hati ini enggan untuk melepaskan rasa ini. Tapi tetap harus aku lepaskan.

Setelah itu aku kemudian membuka mata.

Aku melihat ayah tersenyum.

"Bagaimana rasanya? Menarik, bukan?", ucap ayah.

Aku tidak menjawab.

Rasa ini memang tidak bisa aku ucapkan dengan kata-kata. Hanya bisa aku simpan dalam hati. Karena memang tidak bisa dilukiskan. Kalaupun bisa kugambarkan, barangkali hanya sebagian kecil saja.

Aku jadi teringat ucapan ayah, "nak, di dalam silat ayah ini pengetahuan rasa hanya bisa didapatkan dengan menjalani sendiri. Tidak dengan 'katanya'. Tidak dengan 'kata si A begini' atau 'kata si B begini'.  Tapi kamulah yang akan menjadi sumber pengetahuan bagi dirimu sendiri.

Kalau kamu menjalaninya dengan benar, maka pengetahuan rasa itu akan datang kepadamu.

Kalaupun kamu bertanya pada yang sudah mengalami, jawabannya seringkali tidaklah dapat memuaskanmu. Kenapa demikian? Sebab jawaban sesungguhnya ada ketika kamu menjalaninya."

Ayah, aku mulai memahami ucapan ayah.

"Ingatlah baik-baik ucapan ayah ini...", ucap ayah.

Aku mengangguk.

"Orang mencari pengetahuan rasa itu harus dengan menjalankan, harus dengan melakukan. Dilakukan dengan serius, sungguh-sungguh. Agar kelak mendapatkan pengetahuan rasa yang baik.

Untuk mendalaminya diperlukan ketenangan, keheningan, mata hati.

Mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar dengan mata hati", lanjut ayah.

Aku terdiam. Tapi hati ini sangat damai mendengar penjelasan ayah.


(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #81 on: 28/03/2013 16:56 »
Tembang Tanpa Syair – Bagian 39

Rasa Yang Menuntunmu

Aku duduk bersama ayah dibawah pohon besar yang terletak didekat sungai. Angin semilir menerpa wajahku. Celana hitam panjangku masih basah. Ya, kami memang selesai berlatih di sungai. Ada pelajaran yang kudapat dari latihan disungai.

Sementara itu, dari dalam bungkusan kantong plastik hitam, aku melihat ayah mengeluarkan sebotol air mineral dan dua buah apel.

"Minum dulu...", ucap ayah. Sambil tangannya mengambil sebotol air mineral dan menyerahkannya kepadaku.

Aku menerimanya dengan tangan kanan.

"Terima kasih yah...", jawabku singkat.

Kubuka tutup botolnya, dan segera menenggaknya. Ah, rasanya segar sekali. Hampir setengah botol kuhabiskan sendiri. Setelah itu, kututup kembali dan kuletakkan botol itu ke dalam bungkusan hitam.

"Yah, boleh nanya ngga?", tanyaku.

Ayah melihatku lalu tersenyum.

"Tentu saja. Apa yang ingin kamu tanyakan?", jawab ayah.

"Yah, bisakah latihan di air seperti ini diganti dengan latihan di kolam renang? Sepertinya lebih praktis dan tidak perlu jauh-jauh harus ke sungai.", tanyaku penasaran.

"Sebenarnya latihan seperti ini bisa dimana saja. Tapi memang ada manfaat yang lebih bila dibandingkan di kolam renang. Pada pola latihan silat tradisional, latihan alam seperti ini yang berada di lokasi yang jauh dari penduduk, kemudian seringkali terpencil, dan penuh dengan rimbun pepohonan seringkali diasumsikan negatif oleh masyarakat. Masyarakat lebih banyak menganggap latihan-latihan di alam yang jauh dari pemukiman itu bersifat klenik. Padahal sesungguhnya tidak demikian adanya.", jawab ayah.

Aku tertegun. Ayah sepertinya mengerti isi hatiku.

Memang, beberapa hari ini aku terus memikirkan mengapa latihan di alam terbuka dengan tempat-tempat yang ayah pilihkan khusus itu terasa sangat berbeda dibanding latihan di rumah. Aku sendiri belum tahu kenapa. Dan aku juga masih belum tahu bagaimana cara ayah membawaku berlatih di tempat-tempat yang seperti ini. Apakah hanya sekedar memilih saja, ataukah ada alasan lain. Barangkali, karena usiaku yang sudah mulai menginjak remaja, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul di hati ini. Beberapa mungkin bersifat seperti pertentangan, tapi hampir sebagian besar bisa dijawab ketika aku menjalani. Kalupun ternyata saat menjalaninya mendapat jalan buntu, biasanya petunjuk ayah sering membuatku tercerahkan. Bahkan beberapa malah seperti membuat jalan baru.

"Orang-orang yang menganggap latihan alam seperti ini bersifat klenik, pada dasarnya belum memahami bagaimana latihan ini sesungguhnya.

Sebagai contoh, air sungai yang mengalir dari hulu ke hilir ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan air kolam renang. Bahkan pada kolam renang arus sekalipun. Di dalam aliran air ini, terkandung muatan-muatan listrik statis hewan-hewan sungai yang ada di dalamnya. Molekul air yang teresonansi dari getaran alam disekitarnya juga sekaligus menambah manfaat yang lebih besar dibanding air kolam renang.

Selain itu, suasana yang tenang akan membuat ketenangan batinmu yang pada akhirnya akan mengeluarkan hormon tertentu di dalam tubuh untuk bereaksi pada efek psikologis yang bersifat menenangkan.

Bukankah itu semua bermanfaat?", lanjut ayah.

Aku mengangguk.

"Tidak hanya itu. Suatu saat nanti, kamupun harus bisa menemukan tempat yang sesuai dengan getaran nalurimu sendiri.

Saat ini, tempat ini adalah tempat yang dulu ayah dapatkan ketika berlatih sendiri. Dulu, naluri ayah menuntun untuk datang ke tempat ini. Dan ternyata tempatnya sungguh indah dan bersih. Jadi, ketika niatmu bersih, maka nalurimu akan bersih. Kalau nalurimu bersih, maka rasa yang akan menuntunmu juga bersih. Kalau semuanya sudah bersih, maka tempat yang akan kamu tuju juga bersih, akan bermanfaat. Bagi dirimu. Jiwa dan raga.", ucap ayah.

DHEG!

Dadaku seperti dipalu godam. Ucapan ayah benar-benar masuk ke dalam hatiku yang terdalam.

"Kalau niatmu bersih, maka nalurimu akan bersih. Kalau nalurimu bersih, maka rasa yang akan menuntunmu juga bersih. Kalau semuanya bersih, maka tempat yang kamu tuju juga akan bersih, akan bermanfaat. Bagi dirimu. Jiwa dan raga."

Ayah, aku mulai mengerti maksud ayah.

"Sebagai contoh, coba kamu pejamkan kedua matamu. Lalu konsentrasikan pada pendengaranmu.", pinta ayah.

Aku menurut.

Perlahan kupejamkan kedua mataku, lalu kupusatkan rasaku pada pendengaranku.

Ada banyak suara yang terdengar. Suara daun tertiup angin, suara gemericik air sungai, suara ikan yang berlompatan, suara rumput yang tertiup angin, dan banyak lagi.

"Pilihlah satu suara yang terkecil, lalu konsentrasikan disitu.", lanjut ayah.

Aku mengikuti instruksi ayah. Aku memilih suara daun tertiup angin.

"Tidak, jangan suara daun tertiup angin. Pilih yang lain, yang lebih halus.", ucap ayah.

"Eh...", gumamku dengan terkejut.

Darimana ayah tahu apa yang aku pikirkan.

"Jangan berpikir, rasakan!", lanjut ayah.

"Ugh..., baiklah yah.", gumamku dalam hati.

Aku tidak berani membantah perintah ayah. Perlahan aku menenangkan pikiran. Benar saja, suasana alam disekitar sini sangat memudahkan untuk konsentrasi.

Sepuluh detik.

Dua puluh detik.

Tiga puluh detik.

TIK... TIK... TIK...

"Eh, suara apa itu?", gumamku dalam hati.

Aku mendengar suara seperti air jatuh ke batu. Tapi kecil sekali. Halus sekali. Sekejap aku berpikir, maka suara tik tersebut langsung hilang.

Aku atur nafasku sekali lagi dengan mengkonsentrasikan pada pendengaranku. Menenangkan diri, melemaskan seluruh syaraf di tubuh ini. Perlahan, suara itu terdengar. Ya, suara itu benar-benar terdengar lagi!

Terdengar jelas!

Menjadi sangat jelas!

"Benar, suara itu. Pertahankan, lalu ikuti nalurimu dan beritahu ayah dimana letaknya.", pinta ayah.

Aku lebih menenangkan diri, membiarkan rasa naluriku bergerak. Perlahan, kepalaku bergerak ke arah kanan.

DHEG!

Rasa itu muncul lagi di hati. Getaran naluriku seperti menyelinap dari hati hingga ke pendengaran, lalu kemudian seperti menelusuri getaran suara yang kuterima oleh telingaku.

"Ayah, letaknya disana. Ada tetesan air yang jatuh pada batu kecil. Tetesan air itu jatuh dari salah satu ujung daun yang berasal dari pohon yang salah satunya menancap didinding batu yang ada air terjunnya.", jawabku sambil tangan kananku menunjuk ke suatu arah. Mataku masih terpejam.

"Bagus. Buka matamu...", pinta ayah.

Aku menurut. Kubuka kembali mataku.

"Lihatlah, bahwa niat dapat membawa getaran nalurimu menelusuri gelombang frekwensi suara yang kamu tangkap. Jadi, tidak semata-mata harus menggunakan telapak tangan untuk memancarkan, juga tidak melulu harus menggunakan kulitmu sebagai media. Tapi melalui organ-organ yang Allah sudah berikan padamu, kamu bisa melewatkan rasa getaran naluri ke dalamnya. Dan ia akan bekerja, sesuai niat yang kamu inginkan.", jelas ayah.

"Lebih jauh lagi, pendengaranmu bisa kamu arahkan pada suara apapun yang kamu inginkan. Bahkan detak jantung dari kejauhanpun bisa kamu dengarkan.

Kuncinya ada pada rasa hati. Rasa hati yang bersih.", ucap ayah.

"Latihan di alam, sama sekali bukan klenik dan tidak klenik. Tapi justru dapat menjadi pembelajaran bagimu untuk mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah. Baik yang ada pada dirimu sendiri, ataupun yang ada di alam. Tujuannya satu, agar mata hatimu bisa kamu rasakan.

Karena rasa dari mata hati itu akan menuntunmu dalam kebenaran.", lanjut ayah.

Aku menundukkan kepala, luhur sekali ajaran silat ini.


(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

mpcrb

  • Pendekar Muda
  • **
  • Thank You
  • -Given: 20
  • -Receive: 91
  • Posts: 759
  • Reputation: 266
  • Sahabat Silat
    • My profile on Kompas cetak (you have to be Kompas member)
    • Email
  • Perguruan: Merpati Putih
Re: Tembang Tanpa Syair
« Reply #82 on: 02/04/2013 14:28 »
Tembang Tanpa Syair – Bagian 40

Beban Bukanlah Beban


Malam ini suasana begitu sunyi. Bahkan suara hewan malampun hampir tak terdengar. Angin seolah berhenti berhembus. Bulan tampak jelas sekali diatas sana. Tak terhalangi oleh awan. Bulatannya utuh, sempurna. Cahayanya yang merupakan pantulan dari cahaya matahari menyeruak menyinari sekitar seolah mampu melumerkan  apapun yang disinarinya.

Api unggun di depan tenda kami belum dinyalakan. Kata ayah belum perlu. Sebab terangnya sinar rembulan sudah cukup untuk menerangi sekitar. Aku dan ayah duduk saling berhadapan. Saling duduk sila. Didepanku terdapat sebuah benda kotak yang terbuat dari semen seukuran bata. Beratnya kira-kira dua kilogram. Ayah akan mengajariku tata nafas Pengolahan tingkat dasar dengan menggunakan beban.

Sebelumnya, aku memang sudah pernah berlatih olah nafas itu. Tapi aku sendiri tidak pernah menanyakan mengapa harus mengunakan beban seperti itu. Aku belum berani, dan memang belum terpikirkan. Aku melatih dan mengikuti begitu saja instruksi dari ayah. Apa adanya, tanpa membantah, tanpa menanyakan ini dan itu. Suatu saat, aku pernah tak sengaja menanyakan ini kepada ayah. Tapi ayah selalu tersenyum dan menjawab, "nanti, kalau sudah saatnya". Selalu saja seperti itu. Itulah sebabnya aku enggan menanyakan lagi.

Suasana semakin sunyi.

"Nak, masih ingatkah kalau dulu kamu pernah bertanya mengapa latihan nafas di dalam silat yang ayah ajarkan padamu ini makin lama makin berat?", tanya ayah memecah kesunyian.

Ayah seperti tahu apa yang ada di hatiku.

"Benar yah. Kalau berkenan, Aa ingin mengetahuinya.", jawabku singkat.

"Baiklah. Memang sudah saatnya kamu tahu. Tunggu sebentar, ada yang ingin ayah tunjukkan padamu.", ucap ayah.

Aku melihat ayah kemudian berdiri,lalu berjalan masuk ke dalam tenda. Tidak berapa lama ayah keluar dan menuju mobil. Ayah kemudian membuka pintu belakang mobil, dan mengeluarkan dua bungkusan besar yang sepertinya sudah ayah siapkan. Pintu belakang mobil kemudian ditutup kembali. Aku melihat ayah berjalan sambil membawa dua bungkusan. Satu bungkusan di tangan kiri, dan satu bungkusan di tangan kanan.

Setelah sampai di depanku, ayah kemudian mengeluarkan isinya satu per satu.

Dari bungkusan yang dibawa oleh tangan kiri, aku melihat ayah mengeluarkan bola tenis, bata semen seperti yang ada didepanku, pot semen yang tengahnya sudah dilubangi sedalam satu ruas jari, bambu raut. Sementara yang dikeluarkan ayah dari sebelah kanan adalah beban halter pinggir, kemudian halter tengah, dan sebuah bambu yang dibuat seperti busur panah kembar yang ujung busurnya diikat dengan tali.

Aku sebenarnya sudah pernah melihat itu semua.

"Ini semua adalah medium yang dipergunakan untuk berlatih olah nafasmu." ucap ayah.

"Ada lagi yang lain, tapi ayah simpan di ruangan gudang. Nanti, kalau sudah saatnya maka kamu akan mempelajarinya...", lanjut ayah.

"Ayah, apakah beban-beban ini tidak terlalu ringan yah? Bata semen ini beratnya hanya dua kilogram saja. Buat Aa terasa sangat ringan yah. Bahkan saat melakukan olah nafaspun ya mengangkatnya biasa saja.", tanyaku penasaran.

Jujur, memang demikianlah adanya. Beban ini menurutku terlalu ringan. Kalaupun ingin membentuk kekuatan otot, maka seharusnya digunakanlah beban yang lebih berat. Bahkan untuk halterpun menurutku terlalu ringan. Dulu, ayah juga pernah mengajariku olah nafas yang menggunakan halter.

"Memang demikian adanya nak. Beban ini, bukanlah ditujukan untuk membuat lenganmu seperti atlet binaragawan. Fungsinya sangat berbeda. Tidak sama dengan saat kamu lihat di tempat-tempat fitness dimana beban tersebut ditingkatkan apabila ototmu sudah memiliki kemampuan untuk mengangkat beban yang lebih berat.

Olah nafas dalam silat ini tidak memandang seperti itu adanya.", jawab ayah.

Dheg!

Hatiku terkejut mendengarnya.

"Trus, itu untuk apa yah?", tanyaku penasaran.

"Sesungguhnya beban ini dipergunakan adalah untuk media penyaluran tenaga, dan bukan untuk memperbesar otot. Yang dilatih adalah tenaga halus, dan bukan tenaga kasar yang berasal dari ototmu. Bukan membuatku kuat karena ototnya mengembang seperti atlet, tetapi memberimu pemahaman dan kemampuan untuk menyalurkan tenaga pada medium yang kamu gunakan.", jawab ayah.

Aku melihat ayah mengambil sebuah bata semen yang ada di dekatnya. Bata semen yang baru saja ayah keluarkan tadi dari bungkusan plastik. Bentuknya sama persis dengan yang ada didepanku. Beratnya juga dipastikan sama.

Ayah kemudian menimang-nimang bata semen ini, lalu menyelipkan diantara empat jarinya dan ibu jarinya.

"Ambillah satu bata semen yang ada di depanmu itu.", pinta ayah.

Aku menurut.

Aku sedikit membungkuk dan mengambil sebuah bata semen yang ada di depan lutut kananku. Kemudian menempatkannya diantara empat jari dan ibu jariku. Persis seperti yang ayah lakukan.

"Coba tekan yang keras... keras sekali...", pinta ayah.

Aku menurut.

Aku tekan dengan ujung-ujung jariku dengan kuat. Otot lenganku mengembang. Jariku mengeras.

Tiga detik...

Lima detik...

Sepuluh detik...

Lima belas detik...

Tidak terjadi apa-apa.

Tanganku mulai sedikit gemetar karena tampaknya kemampuan ototku sudah hampir mencapai maksimum pengejangan.

"Cukup...", ucap ayah.

Begitu mendengar aba-aba tersebut, aku langsung mengendurkan tekanan ujung jariku pada bata semen ini. Keringat mulai keluar dari pori-pori lenganku.

"Lihatlah, kalau yang kamu lakukan adalah berusaha menguatkan lengan saja dengan menekan bata semen itu dengan ujung jari, ya kamu hanya akan dapat itu saja.

Tetapi inti sesungguhnya bukan disitu.", lanjut ayah.

"Perhatikan...", ucap ayah.

Aku melihat jari-jari ayah menekan pelan saja bata semen itu. Tak terlihat sama sekali adanya pengerasan pada lengan kanan ayah seperti yang tadi kulakukan.

Tiga detik kemudian...

BRAK!!!

Bata semen itu hancur!

"Ah!!!", tanpa sadar aku menjerit kecil.

"Itu... itu bata semennya hancur yah!", ucapku.

"Ba... bagaimana caranya yah?", tanyaku penasaran.

Mataku mendelik tak percaya. Rasanya seperti perbedaan antara langit dan bumi terhadap apa yang kulakukan dengan apa yang ayah lakukan.

Bata semen itu benar-benar hancur! Hancur menyerpih!

"Lihatlah, hasilnya sungguh sangat berbeda bukan?", ucap ayah sambil tersenyum.

Ayah kemudian menepuk-nepuk telapaknya untuk membersihkan debu-debu yang menempel akibat hancurnya bata semen ditangannya tadi.

"Beban ini bukanlah beban bagi ragamu. Bukanlah untuk sekedar membesarkan  ototmu. Tapi ia adalah medium penyaluran tenagamu. Kamu harus memahami benar ini.

Saat kamu melakukan latihan olah nafas dengan beban, kamu harus menutup matamu. Beradalah dalam kegelapan. Setelah itu, lakukan upaya sungguh-sungguh untuk menentramkan pikiranmu, menerangkan hatimu, dan menghidupkan rasamu.

Jadi, untuk bisa memahami penyaluran, sesungguhnya harus dimulai dengan bagaimana caramu menemukan terangnya hati. Sebab tanpa hati yang terang, maka segala macam yang tampak tidak dapat dilihat dan dimaknai dengan benar dan tepat. Apalagi untuk hal-hal yang tidak tampak.

Disitulah kuncinya.", ucap ayah.

"Kalaupun pada suatu saat nanti kamu harus beralih pada beban yang lebih berat, ya tidak masalah. Berarti ragamu sudah mampu menyesuaikan diri. Yang penting, jangan mengarah pada kekuatan otot dulu tujuannya, tapi bagaimana kamu memahami penyaluran tenaga. Itu yang lebih penting, dan itulah tujuan utama dari beban ini.", lanjut ayah.

Dadaku seperti dipalu godam.

Aku menunduk malu.

Ayah, aku mulai mengerti sekarang.


(bersambung)
Belajar memahami hidup dalam kehidupan...

 

Powered by EzPortal