Forum Sahabat Silat

Bahasa Indonesia => Silat Diskusi Umum => Cerita Silat => Topic started by: mpcrb on 12/08/2011 15:50

Title: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 12/08/2011 15:50
Silahkan dinikmati tulisan cerita silat kacangan dari saya. Semoga bisa menghibur. Salam

***

Tembang Tanpa Syair - Bagian 1

Aku dan Ayah

Cuaca hari ini begitu cerah. Hamparan rumput yang tertata rapi. Luas, menghampar, terang, seolah mampu membelokkan cahaya matahari. Hijau, tak beralasan. Suara aliran sungai yang airnya begitu jernih terdengar dari kejauhan. Jernih, bening, mendamaikan. Hijau daun dan semilir angin melengkapi semua itu. Sebuah pertunjukan keindahan alam yang tiada duanya. Sangat sayang untuk dilewatkan oleh mata.
 
Tampak dua orang sedang duduk bersila sambil memejamkan mata. Kedua tangan menjuntai santai dengan punggung tangan bersentuhan diatas lutut, telapak tangan menghadap ke langit. Semuanya bertelanjang dada. Hanya mengenakkan celana panjang hitam khas petani. Yang satu tampak masih begitu muda, sekitar 10 tahunan. Ditemani oleh seorang lelaki paruh baya, berusia sekitar 30 tahunan.
 
Mata keduanya terpejam dengan sangat rapat. Hampir tanpa celah. Hembusan dan tarikan nafas terlihat begitu teratur pada keduanya. Lembut, terukur, mengalir, terkendali. Cahaya matahari yang menyentuh tubuhnya seperti iri karena seolah tidak diperhatikan. Sungai tampak cemburu karena kilaunya seolah tidak diperhatikan. 5 menit, 10 menit, 15 menit, 20 menit, 25 menit, 30 menit berlalu. Pori-pori kulit keduanya terlihat semakin mengembang, bertambah lebar. Perlahan namun pasti pori-pori sang laki-laki paruh baya ini kembali normal seiring dengan mata yang mulai terbuka perlahan. Sedangkan anak muda di sebelahnya masih tetap terpejam rapat.
 
"Ayah, sudah selesaikah latihannya?", tanya anak yang masih sangat muda ini kepada laki-laki paruh baya disebelahnya yang dipanggil dengan sebutan 'Ayah'. Ia memberanikan bertanya meski matanya masih terpejam.
 
"Iya nak. Sudah. Hasil latihanmu tampaknya lebih baik sekarang. Bahkan gerakan kelopak mata ayahpun sudah bisa kamu rasakan.", jawab laki-laki paruh baya yang dipanggil dengan sebutan 'Ayah' ini sambil tersenyum. Mendengar jawaban dari sang ayah, sang anak pun membuka matanya perlahan.
 
"Bagaimana perasaanmu kali ini?", tanya sang ayah.
 
"Segar sekali yah. Rasanya setiap hembusan angin, gerakan dedaunan, ranting, dan bahkan aliran sungai seolah terdengar begitu jelas", jawab sang anak.
 
"Benar nak. Lima tahun sudah kamu melatih ini, seharusnya kamu sudah bisa merasakan itu semua. Ketahuilah, yang disebut dengan mendengar tidak hanya dengan telinga. Yang disebut melihat juga tidak hanya dengan mata. Hati yang lebih penting. Lihatlah sekelilingmu dengan hatimu. Maka semua akan tampak lebih jelas dan indah. Kamu akan bisa melihat dan mendengar yang sebelumnya tidak bisa kamu lihat dan dengar.", jelas sang ayah.
 
"Iya yah. Terima kasih yah", jawab sang anak.
 
"Ya sudah, sekarang kita akhiri dengan berdoa kepada Sang Pencipta, Allah SWT, Tuhan Sekalian Alam, Sang Penguasa Sejati Alam Raya, Sang Pemilik Sejati Diri ini. Jangan lupakan, bahwa setiap aktivitasmu harus diawali dan diakhiri dengan berdoa. Ingat selalu itu.", lanjut sang ayah.
 
"Baik yah. Aa akan selalu mengingat pesan ayah.", jawab sang anak yang menyebut dirinya dengan sebutan 'Aa'.
 
"Mari kita berdoa. Kita syukuri setiap apa yang kita dapatkan. Besar maupun kecil, banyak maupun sedikit. Syukuri setiap tarikan dan hembusan nafas yang keluar masuk pada tubuh ini. Mari nak.", lanjut sang ayah.
 
Keduanya memejamkan mata kembali sambil merapatkan kedua tangan di depan dada. Suasana menjadi hening kembali. Raut wajah keduanya kembali tenang, lembut, serius, lepas, dan khusyuk. Kira-kira sepeminuman teh, keduanya membuka mata bersamaan dengan diturunkannya kembali posisi tangan di atas paha. Rileks, santai.
 
Sang ayah tersenyum.
 
"Lihatlah kesekelilingmu nak, apa yang kamu lihat?", tanya sang ayah mengawali.
 
"Sungai. Rumput. Tanah. Pohon. Daun. Ranting. Batu. Air. Awan. Hijau, coklat, biru, putih, orange, abu-abu yah.", jawab sang anak sambil pandangannya menyapu ke sekeliling.
 
"Bisakah kamu melihat apa yang ada dibalik daun? Bisakah kamu melihat apa yang ada dibawah akar? Bisakah kamu melihat apa yang ada dibalik ranting? Bisakah kamu melihat apa yang ada dibawah sungai? Apa yang ada di dalam cahaya matahari?", tanya sang ayah sambil tersenyum.
 
"Aa tidak bisa yah. Mata Aa tidak bisa melihat seperti itu", jawab sang anak.
 
"Benar. Dan itulah batas pandangan matamu nak. Itulah yang maksimal yang bisa kau lihat. Mata adalah jendela dunia. Dengannya kamu bisa melihat indahnya dunia. Dengannya kamu bisa melihat semaraknya alam raya. Tapi mata itu ruang yang kecil nak. Ia hanya bisa melihat yang bisa dikenali oleh bentuk dan warna. Ia hanya jendela. Mata hanyalah jendela hati.", lanjut sang ayah.
 
"Maksudnya yah?", tanya sang anak.
 
"Mata hanyalah jendela hati. Meski kamu bisa melihat segalanya, tapi kamu tetap tidak akan bisa melihat segalanya. Mungkin pada awalnya akan terdengar membingungkan ucapan ayah ini. Kalau kamu ingin melihat segalanya, maka jangan gunakan jendela itu. Biarkanlah hatimu yang melihat. Maka hatimu adalah duniamu. Lihatlah dunia ini dengan hatimu, tidak dengan matamu. Sebab suatu saat matamu bisa menipumu. Tapi hati tidak.", jawab sang ayah.
 
"Iya yah", ujar sang anak.
 
"Sesungguhnya bukan mata ini yang tidak bisa melihat, bukan telinga ini yang tidak bisa mendengar, tapi hati yang di dalam dada ini yang tidak bisa melihat dan mendengar. Karena itu, bukalah hatimu, lihatlah dengan hatimu, latihlah hatimu. Dan biarkan ia menjadi duniamu", lanjut sang ayah.
 
"Aa masih belum paham yah", tanya sang ayah.
 
"Tidak apa-apa. Ingat-ingat saja pesan ayah ini. Suatu hari nanti kamu akan mengerti. Kita sudahi latihan pagi ini. Ayo kita sarapan dulu", tutup sang ayah.
 
Wajah Aa tersenyum. Ia tahu, meski ia belum mengerti maksud ucapan sang ayah, tapi ia percaya pada ayahnya. Keduanya kemudian berdiri. Menepuk-nepuk celana untuk membersihkan rumput yang menempel dan kemudian berjalan perlahan menuju sebuah rumah gubuk sederhana yang berada tidak jauh dari situ. Sang ayah berjalan di depan, sedangkan Aa sedikit agak dibelakang.
 
Rumah gubuk itu begitu sederhana. Tak ada jendela. Hanya sebagai tempat bernaung saat teriknya matahari dan melindungi dari derasnya air hujan. Dibuat seadanya namun tampak kokoh. Hanya ada sebuah jalan masuk tanpa pintu. Di tengahnya terlihat ada sebuah bungkusan besar hitam yang tampaknya sudah dipersiapkan. Tidak berapa lama keduanya sampai di rumah gubuk tersebut. Sang anak, yang dipanggil Aa, mengambil posisi duduk didekat pintu. Sang ayah, duduk agak ke tengah. Ia membuka bungkusan hitam besar. Mengeluarkan isinya, dan meletakkannya di tengah.
 
 
(bersambung)


Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 12/08/2011 15:51
Tembang Tanpa Syair - Bagian 2

Hitam Bukanlah "Hitam"


Di tengah rumah gubuk itu sudah terlihat ada dua nasi bungkus, dua buah kerupuk, dan dua botol air minum. Sang ayah memberikan sebuah nasi bungkus kepada Aa. Diterima dengan suka cita.
 
"Terima kasih ayah", sesaat setelah menerima nasi bungkus pemberian sang ayah.
 
"Iya, sama-sama", jawab sang ayah.
 
Ketika Aa ingin membuka nasi bungkus tersebut, tiba-tiba tangan sang ayah memberikan simbol untuk melarang. Aa bingung dengan wajah tidak mengerti.
 
"Tunggu sebentar. Ayah ingin lihat sejauh mana latihanmu. Coba kamu pejamkan matamu, lalu katakan pada ayah apa yang ada di dalam nasi bungkusmu itu. Kalau tepat, kamu boleh memakannya semua. Kalau salah, lauknya untuk ayah saja.", tanya sang ayah sambil tersenyum.
 
Aa mengangguk. Ia mengerti maksudnya dan mengikuti permintaan sang ayah. Bungkusan itu ia letakkan kembali di tengah. Lalu ia memejamkan mata sambil berdoa kepada Sang Pencipta agar diberi kemudahan dalam melakukan ini. Raut wajahnya terlihat tenang tapi serius. Perlahan, ia berkonsentrasi pada rasa diseluruh tubuhnya. Pori-pori kulitnya mulai melebar. Ia melihat warna hitam dalam pandangan mata terpejamnya. Ia kemudian mencoba menajamkan rasa untuk mencoba membuka selubung penghalang rasa seperti yang pernah diajarkan oleh ayahnya. Perlahan namun pasti, corak putih lembut mulai terlihat. Guratan abstrak mulai terlihat. Gambaran seperti siaran televisi rusak dengan garis-garis warna hitam dan putih dan kombinasi warna diantara hitam dan putih itu. Pusarnya mulai menghangat. Ia naikkan rasa hangat tersebut ke dada, lalu mengalirkan ke jantung, dan menyalurkannya pada telapak tangan kanannya untuk kemudian dipancarkan. Bersamaan dengan itu ia juga mengalirkan rasa hangat ini terus ke atas, ke leher, melewati tenggorokan, lalu ke kepala dan ke ubun-ubun. Mengalir, menembus, memancar. Ia buka telapak tangan kanannya, kemudian rasa itu ia pancarkan pada nasi bungkus di depannya. Corak yang terlihat saat terpejam makin jelas. Hitam putih mulai terbayang dan berbayang. Ia kemudian tersenyum.
 
"Rendang. Timun. Cabe hijau. Telur dadar. Nasi putih.", jawab Aa dengan mantap.
 
"Ada lagi?", tanya sang ayah.
 
Aa terdiam. Wajahnya terlihat semakin serius. Ia memompa kembali rasa hangat dari pusarnya ke dada, lalu mengalirkan kembali ke telapak tangannya sembari meneruskan ke leher, kepala dan ubun-ubun, lalu memancar. Ia konsentrasikan semuanya pada rasa. Ia percayakan pada aliran rasa dan guratan yang terlihat dalam pandangan mata terpejamnya. Ia tersenyum kembali.
 
"Di dalam nasi putihnya ada Paru goreng ya yah", jawab Aa.
 
"Bagus. Hasil latihanmu sudah bertambah baik. Cukup. Buka matanya.", ujar sang ayah sambil tersenyum. Ia tampak sangat puas melihat perkembangan hasil latihan Aa.
 
Aa kemudian membuka kembali matanya setelah terlebih dahulu mengembalikan keadaan ke kondisi normal. Menarik kembali hawa hangat ke bawah pusar. Lalu menguncinya disitu. Guratan abstrak juga ia normalkan kembali. Tak lupa ia berdoa kembali kepada Sang Pencipta atas semua usahanya itu. Bersyukur atas keberhasilannya. Ia tersenyum lebar, karena itu berarti lauknya bisa ia nikmati semuanya.
 
"Ayo Aa dibuka nasi bungkusnya. Ini ayah kasih bonus kerupuk buat Aa. Hehehe. Jangan lupa, sebelum makan, mari kita berdoa terlebih dahulu agar makanan ini membawa berkah bagi kita semua.", lanjut sang ayah.
 
"Iya yah", jawab Aa.
 
Keduanya kemudian membuka nasi bungkus masing-masing. Tak lupa sang ayah memberikan sebuah kerupuk pada Aa sebagai bonus keberhasilannya. Keduanya lalu memejamkan mata, berdoa kepada Tuhan Sang Pemberi Rezeki dan Sang Pemberi Nikmat atas apa yang terhidang di depan. Sesaat kemudian doa pun selesai. Keduanya kembali membuka mata.
 
Aa membuka nasi bungkusnya. Tepatlah seperti yang tadi diucapkan. Sepotong rendang, timun, sambal cabe hijau, dan telur dadar. Aa kemudian membongkar nasi putih, dan benarlah ada sepotong paru goreng tersembunyi di dalamnya.
 
"Ayah sempet aja masukin paru goreng ke dalam nasi putih", goda Aa.
 
"Hehehe, ayah sengaja melakukan ini untuk menguji sejauh mana hasil latihanmu. Pada tahapan ini, memang seharusnya tidak ada masalah untuk melihat adanya paru goreng yang ayah sembunyikan di dalam nasi putih ini. Perkembangan hasil latihanmu sudah cukup baik. Ya sudah, ngobrolnya nanti saja. Kita makan saja dulu. Setelah itu istirahat dan lanjut kembali latihannya.", jawab sang ayah.
 
"Baiklah yah", lanjut Aa.
 
"Dulu, Aa pernah bertanya khan mengapa semua itu bisa terjadi? Nanti setelah makan, ayah akan jelaskan mengapa itu bisa terjadi.", tutup sang ayah.
 
"Iya yah", angguk Aa mantap.


 
(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 12/08/2011 15:53
Tembang Tanpa Syair - Bagian 3

Memaknai Aliran


Angin berhembus agak kencang, matahari sudah naik sepenggalah, cahayanya sudah mulai terasa lebih panas bagi alam sekitar. Panas, tapi tidak membakar. Sebagian dari sinarnya mencoba menyeruak masuk melalui celah-celah atap rumbia di rumah gubuk. Sebagian lagi mengenai langsung pipi lelaki separuh baya yang dipanggil 'Ayah' yang sedang duduk di dalamnya. Hangat, lembut. Bulir-bulir keringat dari tubuh keduanya terlihat bercahaya oleh siraman cahaya yang masuk. Tampak Aa sedang merapihkan tempat makan. Mengambil nasi bungkus yang sudah habis, lalu memasukkannya kembali ke dalam kantong plastik hitam besar. Tangannya terlihat cekatan untuk usia anak sepuluh tahunan. Tidak berapa lama, sisa-sisa makanan dan bungkusan sudah dibersihkan. 
 
"Aa, sebelum kita lanjutkan latihan, kita sholat Dhuha dulu", ucap sang ayah mengawali pembicaraan.
 
"Iya yah", jawab Aa.
 
Sang ayah menggeser duduknya, kemudian mengambil tas besar di samping kanannya, lalu mengeluarkan dua potong baju. Sang ayah mengambil satu yang berwarna putih, bercorak batik dengan motif awan, dan mengambil satu lagi yang berwana coklat dengan jenis baju lengan panjang bercorak abstrak untuk diberikan pada Aa. Tidak berapa lama, keduanya sudah mengenakan baju dan berdiri perlahan. Ayah sedikit merapihkan bajunya yang terlipat di bagian bawah. Sedangkan Aa terlihat sedang merapihkan lengan bajunya yang tergulung.
 
Mereka kemudian keluar dari rumah gubuk, mengenakan sandal yang ada di depan jalan masuk, tanpa pintu, kemudian berjalan memutar, menuju air pancoran yang ada di belakang gubuk yang berjarak kurang lebih dua puluhan langkah.
 
Terdengar suara gemericik air pancoran yang jatuh. Cukup deras sehingga suaranya terasa begitu keras dan jelas. Pancoran itu terbuat dari bambu yang tengahnya telah dilubangi. Dibelakang salah satu ujungnya ada tempat penampungan air alami berupa cerukan tanah selebar kira-kira dua meter dengan dalam kira-kira setengah meter. Ujung bambu masuk ke tengah genangan air, sedangkan ujung satunya lagi menjadi pancoran air dibawahnya. Untuk mencapai tempat penampungan air diatas bambu, harus melewati anak tangga batu alami yang sudah disusun sedemikian rupa. Tingginya sekitar dua meter. Agak licin karena mulai ditumbuhi lumut. Terlihat ada beberapa akar-akar mengambang diatas genangan air pada cerukan. Sebagian genangan diam, sebagian lagi berputar-putar. Kanan kirinya pohon cukup rimbun, dengan daun-daun yang menghijau. Sebagian ranting dan dedaunan yang telah tua telah jatuh.
 
Sang ayah terlihat memandang ke atas, lalu pandangannya tertuju pada tumpukan akar yang mengapung di atas air.
 
"Aa, naik ke atas dulu. Ada yang ingin ayah tunjukkan", tanya sang ayah.
 
"Iya", Aa mengangguk.
 
Sang ayah kemudian menaiki anak tangga batu alami satu persatu hingga mencapai puncak anak tangga. Lalu berjalan mendekati cerukan tanah tempat penampuangan air. Di belakangnya terlihat Aa mengikuti. Sang ayah berdiri disamping cerukan tanah. Aa ikut berdiri juga disampingnya. Sang ayah menengok ke sekeliling. Matanya seperti sedang mencari sesuatu. Ia tersenyum. Pandangannya kemudian terhenti pada sepotong ranting kecil yang berada di sebelah kiri sebatang pohon besar yang tak jauh dari cerukan sungai tersebut. Ia berjalan mendekat, membungkuk, dan mengambil sepotong ranting kering. Lalu berjalan kembali ke posisinya semula. Sambil memandang aliran air dan akar-akar yang mengambang di atasnya, ia tersenyum kembali.
 
"Aa, bagaimana menurut Aa aliran airnya?", tanya sang ayah.
 
"Lancar sekali yah.", jawab Aa sambil tersenyum.
 
"Bagaimana kalau sekarang?", tanya sang ayah.
 
Sang ayah kemudian membungkuk, lalu tangannya menggerakkan ranting pada beberapa tumpukan akar yang mengambang di atas permukaan air. Memutarnya perlahan sehingga tumpukan akar itu jadi semakin banyak. Lalu perlahan menggiringnya pada lubang bambu tempat air mengalir sehingga sebagian besar menutupi lubang.
 
"Kalau gitu sih aliran airnya pasti terhambat yah. Bahkan bisa macet sama sekali.", jawab Aa.
 
Sang ayah kembali berdiri.
 
"Benar nak. Dan seperti itulah juga tenagamu. Kalau lancar, maka aliran tenaga akan lancar juga. Kalau terhambat, maka aliran tenaga juga akan terganggu.", lanjut sang ayah.
 
"Apa yang bisa bikin terhambat yah?", tanya Aa.
 
"Begini, ada hal-hal yang masih menjadi hijab atau penghalang untuk masuk ke tahap selanjutnya. Masih ingat ketika dulu ayah ajarkan bagaimana cara menguatkan konsentrasi pada Aa?", ujar sang ayah sambil tersenyum dan menoleh.
 
"Iya yah, Aa masih ingat", jawab Aa sambil mengangguk.
 
Aa kemudian terdiam. Ingatannya seperti dibawa kembali pada kira-kira dua tahunan yang lalu. Ayahnya mengajak untuk menonton pertandingan silat di Bandung. Ia berangkat berdua saja naik bis dari depan jalan rumahnya pagi-pagi jam setengah enam. Sejak umur lima tahun ia sudah diajarkan gerakan silat dari ayahnya. Ia mulai suka karena sering melihat ayahnya melakukannya di waktu pagi, atau siang, atau malam sebelum tidur. Terkadang, tanpa disadari ia suka menirunya. Lama kelamaan jadi hafal sendiri. Saat ayahnya kemudian mengajarkannya, ia jadi lebih paham. Gerakan silat yang diajarkan ayahnya cukup sederhana, mudah ditiru dan dihafalkan. Ayahnya dulu menjelaskan bahwa gerakan harus diikuti dengan teknik nafas. Harus seiring sejalan, bersamaan, harus paralel. Di dalam bis inilah pertama kalinya ayah mengajarkan bagaimana cara berkonsentrasi dan mengumpulkan tenaga di bawah pusar melalui olah nafas. Yang dilakukannya dulu hanya duduk diam, badan rileks, pikiran rileks. Konsentrasi hanya pada aliran nafas dan rasa tubuh yang masuk dan keluar ke tubuh ini. Polanya buang-tahan-tarik-tahan, dengan interval yang sama. Saat buang dengan interval tertentu, saat tahan dengan interval tertentu, saat tarik dengan interval tertentu, dan saat tahan dengan interval tertentu pula. Interval ini harus sama untuk semuanya. Ritmenya harus sama. Pada awalnya cukup sulit ia lakukan. Maklum, sebagai anak berusia delapan tahunan ia belum punya pikiran untuk bertanya ini itu. Dilakukan saja instruksi ayahnya apa adanya. Meski cukup sulit pada awalnya, tapi lama kelamaan ia mulai terbiasa dan mulai bisa merasakan sedikit demi sedikit. Perlahan ia merasakan pusarnya menghangat. Tubuhnya ringan. Segar. Pikirannya terasa lebih terang dan lebih baik. Telinganya juga menjadi lebih peka. Suara di sekitar menjadi semakin jelas terdengar, semakin besar, seolah sangat dekat. Hampir empat jam perjalanan ke Bandung setengahnya diisi dengan latihan seperti ini. Rasa dingin dari AC di dalam bis sudah tidak begitu terasa lagi. Ia merasakan sensasi yang sangat hangat pada pusarnya. Pertama kali dalam hidupnya ia merasakan hal baru yang menarik seperti ini. Di sampingnya, ayahnya pun melakukan hal yang sama. Perjalanan saat itu diwarnai dengan aksi diam. Semuanya asyik dengan latihan masing-masing. Bis yang berbelok kanan dan kiri tidak dihiraukan. Semua larut dan tenggelam pada latihannya. Hingga tanpa terasa bis sudah mencapai terminal. Kami hentikan latihan setelah terdengar teriakan kondektur yang dengan lantang menyebutkan nama terminal yang terkenal di kota Bandung itu, Cicaheum namanya.
 
"Yah, apa sih yang bikin aliran tenaga jadi terhambat?", tanya Aa mengulangi lagi.
 
"Apa yang ayah akan jelaskan, mungkin belum akan kamu pahami saat ini. Tidak apa-apa nak, dengarkan saja baik-baik. Pemahaman tidak musti harus datang pada saat itu juga. Suatu hari nanti kamu akan menemukan jawabannya.", jawab sang ayah.
 
Sang ayah menghela nafas perlahan.
 
"Nak, ketahuilah, bahwa kehidupan ini sangat rumit. Ada banyak hal yang bisa terjadi di dalamnya. Ada banyak hal yang bisa menghambat. Saat seseorang ingin bertahan hidup, terkadang ia terhambat oleh rasa takutnya sendiri. Saat seseorang ingin mendapatkan kesenangan, terkadang ia terhambat oleh rasa bersalahnya. Saat seseorang ingin menjadi lebih kuat, terkadang ia terhambat oleh rasa malu. Saat seseorang mulai merasakan cinta dan ingin mencintai, terkadang ia terhambat oleh kesedihan dirinya. Saat seseorang ingin menjadi benar, terkadang ia terhambat oleh kebohongan-kebohongan yang pernah diperbuatnya. Saat seseorang ingin mendapatkan pengetahuan, terkadang ia terhambat oleh khayalan dan ilusi dirinya. Atau saat seseorang ingin mendapatkan daya linuwih, terkadang ia terhambat oleh hal-hal duniawi. Nah, ketakutan, rasa bersalah, rasa malu, kesedihan, kebohongan, khayalan atau ilusi, dan hal-hal duniawi itu terkadang menghambat diri kita untuk maju atau untuk naik setingkat lebih tinggi. Lebih jauh lagi, hambatan-hambatan itu membuat aliran tenaga kita menjadi terhalang dari yang semestinya. Persis seperti tumpukan akar-akar yang menutupi lubang bambu ini. Kita harus bisa melewati hambatan-hambatan itu semua. Hambatan-hambatan yang ayah sebutkan itu adalah hambatan psikologis, yakni hambatan mental. Ada juga jenis hambatan fisik yang berkaitan dengan pengetahuan mengenai tubuh manusia. Tapi nanti saja ayah jelaskan untuk hambatan yang terakhir itu. Biar Aa tidak bingung.", jelas sang ayah.
 
Aa mengangguk. Meski ia belum sepenuhnya bisa memahami penjelasan ayahnya, tapi ia bisa mengingat dengan baik setiap ucapan ayahnya. Ayahnya tak pernah bosan untuk mengulangi dan mengulangi setiap penjelasan yang ada. Terkadang, disertai contoh, atau bahkan contohnya bisa diambil dari buku belajarnya. Ia terkadang bertanya-tanya dalam hati, dari mana ayahnya bisa mendapat pengetahuan sebanyak itu?
 
"Ya sudah. Nanti kita lanjutkan lagi. Sambil latihan nanti akan lebih jelas. Ayo, kita turun. Ambil wudhu dulu. Kita selesaikan sholat Dhuha terlebih dahulu. Berdoa semoga Allah membukakan hati dan pikiran kita untuk menerima pengetahuan.", tutup sang ayah.
 
"Iya yah", jawab Aa sambil mengangguk mantap.
 
 
 
(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 12/08/2011 15:54
Tembang Tanpa Syair - Bagian 4

Kuatkan Dasar Filosofimu Nak!


"Assalamualaikum warahmatullah", kepala sang ayah menengok ke kanan.
 
"Assalamualaikum warahmatullah", kepala sang ayah menengok ke kiri.
 
Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Di sampingnya Aa mengikuti, tepat setelah salam yang kedua. Aa pun mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Aa kemudian mencium punggung tangan kanan ayahnya. Saat mencium punggung tangan ayahnya, telapak tangan kiri bergerak menyentuh kepala Aa. Aa merasa damai sekali. Serasa ada getaran yang masuk ke tubuhnya. Nyaman. Mereka telah selesai menunaikan sholat Dhuha.
 
"Mari kita tutup dengan berdoa. Diawali dengan berdzikir. Dzikir sebagai pengakuan kebesaran Allah, Sang Maha Pencipta. Bahwa manusia itu tiada daya dan upaya melainkan karena izin Allah. Tak ada satu lembar daunpun akan jatuh melainkan Allah tahu. Tak ada satu detakan jantung ditubuh kita terjadi melainkan Allah mengizinkannya. Tak ada satu aliran nafaspun yang akan terhenti melainkan Allah mengizinkannya. Perbanyak rasa syukur terhadap apapun.", pinta sang ayah.
 
Aa mengangguk.
 
Mereka menundukkan kepala. Khusyuk, dan mulai berdzikir. Selesai dzikir, kedua tangan sang ayah menengadah ke langit, diikuti oleh Aa. Mereka berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kepada Tuhan Yang Maha Pencipta.
 
Alam seperti hening. Waktu seolah berhenti. Cahaya matahari seolah diam. Angin seperti enggan berhembus. Sungai seolah tak bergerak. Getaran doa di dalam hati mereka seolah mampu memerangkap alam semesta untuk diam. Hanya kepasrahan yang ada, hanya keikhlasan yang muncul. Perkenankanlah setiap doa kami ya Allah, pinta sang ayah dalam hati.
 
Tidak berapa lama, doa selesai. Mereka kembali membuka mata dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya.
 
"Ayo, kita lanjutkan latihannya. Buka lagi bajumu. Letakkan saja disitu. ", ucap sang ayah sambil berdiri dan jari tangan kanannya menunjuk pada sebuah kayu yang ada disebelah tempat sholat. Tak lupa, ayahnya juga membuka baju putih bercorak batiknya dan meletakkannya pada tempat yang ia tunjuk. Aa ikut berdiri. Mengikuti perintah ayahnya. Membuka baju coklat berlengan panjang, dan meletakkannya pada tempat yang ayahnya tunjuk.
 
Keduanya kemudian berjalan menuju halaman rumput di depan rumah gubuk. Tempat yang tadi pagi sudah digunakan untuk latihan. Di tengah lapangan, mereka berhadapan dengan jarak kira-kira dua meter.
 
"Sikap Siap! Heaa!", teriak sang ayah.
 
Aa melakukan apa yang diperintah.
 
Sikap siap, kedua kaki selebar bahu. Badan rileks, dengan kedua lengan berada di samping badan. Jari-jari tidak mengepal, tapi terbuka rapat dengan ujung jari menghadap ke tanah.
 
"Sikap sempurna! Heaa!"
 
Sikap sempurna, tumit kaki digeser ke arah luar sehingga telapak menjadi sejajar. Kedua telapak tangan yang terbuka dinaikkan mulai dari samping tubuh hingga mendekati ketiak, kemudian disilangkan di depan dada dengan pergelangan tangan keduanya yang bergesekan dimana tangan kanan berada diatas tangan kiri. Kemudian ditarik dengan cara diturunkan mengayun kembali kearah pinggang sambil mengepal, tetapi sedikit lebih ke depan.
 
Gerakkan Aa tampak mantap. Ia sudah terbiasa melakukan ini sejak umur lima tahun. Sejak ia sering melihat ayahnya berlatih, dan sejak ia sering menirukannya.
 
"Aa tahu makna gerakan tadi?", tanya sang ayah.
 
Aa menggeleng. Ia memang sering melakukannya, tapi ia belum pernah diajarkan manfaat dari masing-masing gerakannya. Tujuan dari masing-masing gerakannya untuk apa. Ia hanya mengikuti, menirukan, dan menghafal gerakan.
 
"Di dalam silat yang ayah ajarkan ini, menyerang dapat juga sekaligus bertahan. Bertahan dapat juga sekaligus menyerang. Menyerang dan bertahan itu suatu kesatuan. Kemarilah.", ucap sang ayah.
 
Aa kemudian mendekat.
 
"Coba pukul ayah. Terserah bagian yang mana saja. Dada boleh, leher boleh, kepala juga boleh.", pinta sang ayah. Terlihat sang ayah dengan posisi sikap siap.
 
Aa kemudian memukul dengan tangan kanannya. Kepalan kecilnya menuju dada ayahnya. Ayahnya kemudian melakukan gerakan Sikap Sempurna. Aneh, pukulannya jadi tertangkis oleh gerakan menyilang tangan kanan di atas tangan kiri pada sikap sempurna yang dilakukan. Pukulannya berada diantara pertemuan pergelangan tangan kanan dan kiri ayahnya. Sama sekali tidak mengenai sasaran. Tidak hanya itu saja, ayahnya bahkan memutar pergelangan tangan kanannya untuk menangkap pukulannya, menariknya ke bawah, tepat ke arah pinggang agak ke depan. Aa jadi terpelanting, terjatuh di samping ayahnya. Ia terbanting! Sedangkan ayahnya masih berada dalam posisi Sikap Sempurna!
 
Aa mencoba bangun. Ia masih bingung, kenapa ia bisa terbanting?
 
"Lihatlah nak. Bertahan sekaligus menyerang. Menyerang sekaligus bertahan. Inilah dasar filosofi aliran beladiri yang ayah ajarkan. Setiap gerakan memiliki makna. Jangan pernah meremehkan setiap gerakan apapun, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Sikap Sempurna, meski tampak sederhana, tapi berisi teknik bertahan sekaligus menyerang. Bertahan sekaligus menyerang. Menyerang sekaligus bertahan.", jelas sang ayah.
 
"Iya yah. Tadi Aa terbanting. Itu berarti bertahan sekaligus menyerang ya yah? Terus bagaimana yang menyerang sekaligus bertahannya yah?", tanya Aa.
 
"Coba Aa berdiri lagi di depan ayah", pinta sang ayah. Aa mengikuti.
 
Sang ayah kemudian melakukan kembali Sikap Sempurna. Saat kedua tangannya bersilangan, tiba-tiba ayah mengarahkan silangan tersebut ke leher Aa. Memutar sedikit pergelangannya sehingga kedua telapak tangannya menutupi leher Aa. Bersamaan dengan itu, ayah menarik tangan kanannya ke bawah, membentuk posisi Sikap Sempurna. Gerakan ini membuat Aa kehilangan keseimbangan karena lehernya ikut tertarik ke bawah. Dan ia terpelanting kembali di samping ayahnya. Ia terjatuh dua kali!
 
"Bagaimana?", tanya sang ayah sambil tersenyum.
 
Aa kembali bangun.
 
"Coba lagi yah. Aa akan coba siap-siap", jawab Aa. Tampaknya ia penasaran dan ingin mencoba sekali lagi. Ia kembali berdiri di depan ayahnya pada jarak serang. Ia tampaknya masih penasaran kenapa bisa terbanting.
 
Sang ayah mengulangi kembali posisi Sikap Sempurna. Aa kali ini membiarkan tangan ayahnya menyentuh lehernya seperti tadi, tapi saat kemudian tersentuh, tangan kanan Aa melakukan pukulan ke arah rusuk ayahnya. Tiba-tiba gerakan ayahnya jadi melentur, ia melepaskan tekanan tangan kanan di lehernya dan menggerakkan tangan kanannya mengayun ke bawah membentuk posisi Sikap Sempurna. Gerakan tiba-tiba ini otomatis menangkis pukulan yang diarahkan ke rusuk ayahnya. Bersamaan dengan itu, tangan kirinya yang sengaja dibiarkan terlambat kembali menarik leher Aa hingga kembali terjatuh, terbanting. Aa jatuh tiga kali dengan bantingan! Meski demikian, Aa tersenyum. Aa tampak seperti menemukan 'sesuatu'.
 
"Sudah paham?", tanya sang ayah sambil tersenyum.
 
Aa mengangguk.
 
"Bagus nak. Bertahan sekaligus menyerang, dan menyerang sekaligus bertahan. Ada banyak pengembangan yang bisa dilakukan dari sebuah gerakan sederhana. Ingat baik-baik filosofi ini.", jelas sang ayah.
 
 
 
(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 12/08/2011 15:56
Tembang Tanpa Syair - Bagian 5

Pusaran Waktu Yang Berlalu, Menyatulah Dengan Rasamu!


Hari demi hari berlalu. Rumput hijau sudah mulai menguning. Daun rumbia di atap rumah gubuk juga sudah mulai berwarna coklat tua, beberapa bahkan sudah jatuh karena mengering. Putaran waktu di alam ini seolah hampir tak terasa. Enam tahun sudah tempat itu selalu menjadi tempat latihan kami. Menjadi saksi dua anak manusia yang masih tetap rutin melatih dan berlatih, berlatih dan melatih. Tanah yang amblas karena hentakan kaki, bambu pancoran, cerukan air, ranting, undakan anak tangga batu, dan sungai, menjadi saksi bisu yang masih ada hingga kini.
 
Namaku Akbar, tapi lebih suka dipanggil Aa. Aku anak tertua, dari empat bersaudara. Terdiri dari tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Adik perempuanku yang cantik, secantik ibuku, sekolah di lain kota karena kebetulan ibuku menjadi PNS di luar kota tempat kelahiranku. Konon kota kelahiranku sering disebut dengan istilah Kota Wali, beberapa juga menyebutnya dengan istilah Kota Udang. Meski demikian, tiap sebulan sekali pasti pulang dan berkumpul. Apalagi kalau liburan, pasti ayah sering mengajak kami berkemah di alam terbuka. Usiaku saat ini enam belas tahun. Jauh lebih besar, tegap, dan tinggi dibanding enam tahun yang lalu. Dan aku bersekolah di sebuah SMU favorit di daerahku, dekat dengan rumah orang tuaku.
 
Hari ini, ayah ingin menjelaskan hal-hal yang lebih mendalam mengenai latihanku. Aku sangat senang setiap kali ayah bercerita, karena mudah dimengerti dan ayah tidak segan untuk mempraktekkannya. Kami akan berlatih di tempat yang sama. Aku tidak tahu mengapa ayah suka sekali berlatih di tempat itu. Aku pernah bertanya seperti itu, tapi ayah katakan kalau suatu hari nanti aku akan tahu mengapa tempat itu yang ayah pilih. Seiring pemahaman, aku akan lebih memahami. Begitu katanya.
 
Aku berjalan keluar kamar, hanya mengenakan celana latihan hitam seperti biasa. Jahitan bagian bawahnya sudah agak terlepas. Mungkin karena seringnya dipakai dan dicuci mengakibatkan warnanya mulai memudar. Aku membuka pintu rumah. Dari jauh aku lihat ayah sudah menunggu. Ayah duduk sila sambil memejamkan mata. Ayah bertelanjang dada seperti biasa. Wajahnya terlihat tenang, serius, damai. Meski demikian, beberapa rambutnya sudah terlihat memutih. Jenggotnya juga beberapa sudah banyak yang memutih. Meski demikian, otot-otot ayah masih terlihat kokoh. Ayah tidak pernah lupa untuk berlatih. Ayah selalu meluangkan waktu untuk berlatih setiap harinya. Kata ayah, berlatihlah sebanyak kita makan nasi.
 
Aku kemudian menghampiri. Dan duduk di depan ayah sambil bersila. Perlahan ayah membuka kelopak matanya. Ayah tersenyum. Lalu menyuruhku untuk melakukan rangkaian gerak dasar dan rangkaian gerak praktis dengan terlebih dahulu berdoa.
 
Aku berdoa sambil duduk sila. Mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada, lalu memejamkan mata. Selesai berdoa, aku kembali membuka mata dan berdiri sempurna. Berjalan mundur sekitar 3 meteran untuk bersiap melakukan gerakan yang diminta oleh ayah.
 
"Lakukan Gerakan Tangan Serangan. Lakukan dengan perlahan-lemas.", pinta ayah.
 
Aku mengikuti apa yang ayah perintahkan. Dimulai dari kuda-kuda tengah sedang, kemudian kuda-kuda tengah rendah, kemudian membentuk sikap leyek. Yakni kondisi badan yang agak condong ke arah kanan dengan sedikit memutar bahu kiri ke arah depan sehingga tubuh menghadap ke kanan. Lutut kaki kanan agak ditekuk dan kaki kiri lurus sejajar dengan arah punggung. Kedua tangan berada di samping pinggang. Perlahan aku melakukan gerakan tangan serangan seperti pukulan datar, pukulan silang, sodokan datar, sodokan silang, tebasan, tebangan, keprukan, ujung siku datar, ujung siku ke atas, ujung siku ke bawah, dan yang lainnya. Aku melakukannya dengan perlahan, lemas. Kata ayah, gerakan yang perlahan-lemas ini sangat berguna untuk mengenali bentuk dan merasakan aliran tenaga.
 
"Bagus! Sekarang kamu lakukan gerakan yang sama, tetapi lakukan dengan pelan dan bertenaga!", pinta ayah.
 
Aku melakukan apa yang ayah perintahkan. Aku masih ingat, ayah selalu melatihku dalam empat pola yakni pelan, cepat, lemas, dan bertenaga. Ayah mengkombinasikan dari keempat pola tersebut seperti pelan-lemas, pelan-bertenaga, lemas-cepat, cepat-bertenaga, dan sebagainya. Jadi, latihan gerak selalu mengikuti empat pola tersebut atau kombinasi dari empat pola tersebut. Tidak heran, saat latihan gerak bersama ayah aku bisa menghabiskan waktu 1 jam hanya untuk gerakan tangan serangan saja. Aku selalu diingatkan oleh ayah agar tidak boleh mengeluh dan tidak boleh menyerah. Belajar itu harus dengan usaha yang keras, dan jangan bosan untuk diulang-ulang. Begitulah kata ayah. Ayah juga pernah berkata kalau gerakan yang pelan-bertenaga berguna untuk merasakan kemana tenaga mengalir.
 
"Bagus! Sekarang kamu lakukan dengan cepat-bertenaga!", pinta ayah.
 
Aku melakukan kembali apa yang ayah perintahkan. Pukulanku kini dipercepat dan dengan tenaga maksimal. Awalnya saat pertama kali ayah melatihku seperti ini, aku sampai serasa kehabisan nafas. Otot-otot tubuhku serasa bergetar kelelahan. Tapi lama kelamaan, seiring peningkatan kemampuan fisikku, aku mulai terbiasa. Apalagi ketika ayah mulai mengajariku olah nafas. Kata ayah, bentuk yang cepat-bertenaga ini berguna untuk penerapan gerakan.
 
Ayah tersenyum melihatku.
 
"Bagus! Cukup!", ucap ayah.
 
Aku menghentikan gerakanku. Dan mengambil posisi duduk sila kembali di depan ayah.
 
Latihan untuk memahami tata gerak dari ayah tampaknya sudah selesai. Keringatku sudah sebesar bulir-bulir jagung. Berkilauan terkena cahaya matahari. Rasanya segar sekali.
 
Ada banyak hal yang aku dapatkan. Tidak hanya bagaimana melakukan gerakan dengan benar, tapi juga ada apa dibalik setiap gerakan tersebut. Kata ayah, gerakan harus dimaknai. Gerakan harus dipahami, harus didalami. Gerakan jangan hanya sekedar dilakukan. Jangan hanya menjadi bentuk tanpa jiwa. Merasakan bentuk, juga harus merasakan jiwa. Gerakan harus dijiwai. Untuk bisa menjiwainya, maka harus kenal dengan filosofinya. Begitu kata ayah.
 
Aku pernah bertanya pada ayah, apa tujuan dari filosofi itu?
 
"Nak, filosofi itu sudah direnungkan oleh para pendahulu kita. Merupakan petunjuk pemahaman keilmuan yang justru untuk kebaikan hasil latihan. Filosofi keilmuan dimanfaatkan sebagai akar pijakan bagi kita. Meski demikian, cara dulu guru ayah menjelaskan pada ayah akan bisa berbeda dengan cara ayah menjelaskannya kepadamu. Ada beberapa hal yang ayah bisa berikan apa adanya, bisa jelaskan apa adanya. Tapi ada beberapa hal yang ayah harus sesuaikan dengan cara pikirmu. Beberapa bahkan tidak bisa ayah terapkan persis seperti keadaan aslinya. Istilahnya, ambil apinya, dan bukan abunya.", jelas ayah.
 
"Gerakan silat yang ayah ajarkan memang tidak terlalu kaya, tapi khas. Kamu sudah pernah melihat aliran beladiri lain yang berisi jurus-jurus atau gerakan-gerakan yang lebih kaya dari apa yang ayah pernah ajarkan. Silat yang kamu pelajari ini tidak punya jurus. Hanya dinamai gerak saja atau gerakan saja. Dianggap khas karena gerakannya seringkali menyatu dengan aplikasi olah nafas. Hampir semua bentuk baku, rangkaian gerak yang ayah ajarkan, akan saling dukung dengan hasil atau penerapan olah nafasnya. Meski demikian, ketika nanti sudah masuk pada gerak naluri, bisa jadi akan ada sedikit pergeseran, meskipun tidak menyimpang. Misal, ayah tidak pernah mengajarkan gerakan yang berbentuk cakar macan, tapi ketika nanti latihan naluri dan tiba-tiba terbentuk gerakan tersebut ketika menangkis dan menyerang, itu tidak masalah. Itu nalurimu untuk mengantisipasi gerakan lawan.", lanjut ayah.
 
"Di dalam memahami tata gerak, pertama, kamu harus melakukan gerakan dengan benar. Disini kamu harus melihat gerakan dan menirunya. Nalarmu berperan disini. Untuk menirukan bentuk, untuk menirukan gerak."
 
"Kedua, kamu harus menghafalnya. Nalarmu diuji disini. Sejauh mana kamu bisa mengingatnya."
 
"Ketiga, kamu harus mengulang-ulangnya dengan pola kombinasi pelan, lemas, cepat, bertenaga. Disini, karena kamu sudah hafal, maka penggunaan nalar akan dikurangi dengan meningkatkan rasa dan tubuh untuk menghayati tata gerak. Sehingga nantinya akan di dapat gerak reflek yang hafal, penuh penjiwaan, ada dinamika semangat, tenaga, dan tempo yang pas."
 
"Terakhir, barulah dilatih dengan dilambari penghayatan getaran, yang bila digabung dengan latihan gerak naluri maka tata gerak akan menjadi perbendaharaan beladirimu yang menyatu dengan rasa dan tubuh, menjadi perbendaharaan gerak naluri beladiri."
 
"Paham?", tanya ayah.
 
Aku mengangguk. Aku mulai memahami maksud ayah selama ini. Dulu aku sekedar menirukan gerakan ayah. Kemudian ayah menyuruhku menghafalkannya. Setelah itu ayah selalu melatih dan menyuruhku berlatih terus dengan berulang-ulang. Bahkan aku sering melihat ayah melakukan satu gerakan yang sama berulang-ulang hingga 1 jam. Setelah ayah menjelaskan ini, pikiranku baru terbuka. Dulu, karena masih berusia sepuluh tahunan, pengertianku mungkin belum seperti sekarang. Meskipun ayah juga mengatakan hal yang sama enam tahunan yang lalu, tapi pemahamanku tidak seperti sekarang ini. 
 
"Iya yah. Aa mulai mengerti.", jawabku sambil mengangguk mantap sekali lagi.
 
"Yah, apakah belajar gerakan ini ada batasnya?", aku memberanikan bertanya.
 
"Nak, kalau hanya dibaca dan dipikir, ilmu tata gerak beladiri yang ayah ajarkan ini sebentar saja pasti sudah tuntas dan mentok.", jawab ayah sambil tersenyum.
 
Ayah kemudian berdiri dan mendekatiku. Ia duduk kembali di depanku tapi lebih dekat.
 
"Pejamkan matamu", pinta ayah.
 
Aku menurut. Kedua mataku aku pejamkan.
 
"Suatu gerakan harus bisa menyatu dengan ini.", ucap ayah sambil menggerakkan lengannya. Aku merasakan telapak tangan ayah yang hangat menyentuh dadaku.
 
"Gerakan itu harus menyatu dengan rasa,", lanjut ayah sambil menepuk-nepuk dadaku.
 
Aku tertawa kecil. Memang benar. Aku merasa sudah hafal Gerakan Dasar, aku juga hafal Rangkaian Gerak Praktis, dan juga rangkaian gerak yang lainnya. Tapi saat ayah menjelaskan filosofinya dan penerapannya, rasanya masih sangat luas sekali. Rasanya apa yang aku lakukan ini belum apa-apa. Aku membuka mata. Melihat ayah memejamkan mata sambil menengadahkan wajahnya kepada ke langit. Jenggotnya tampak bergerak tertiup angin.
 
"Berbatas tapi tak berujung... Bertepi tapi tak berbatas... Suatu hari nanti kamu akan paham...", ayah berkata sambil menghela nafas.
 
 
 
 
(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 12/08/2011 15:57
Tembang Tanpa Syair - Bagian 6

Tubuh Ini, Pemahaman Ini


KRIIIIING...
 
Bel sekolah terdengar nyaring. Aku membereskan buku-buku pelajaran, memasukkan ke tasku sekedarnya saja. Aku melihat pak guru juga sedang merapihkan buku-buku di meja beliau. Setelah terlihat rapi, beliau kemudian memberi isyarat padaku. Aku mengerti isyaratnya. Aku kemudian berdiri dan memulai untuk memimpin doa.
 
"Siaaaaap! Mari kita tutup pelajaran hari ini dengan membaca doa. Berdoooaaaa! Mulai!", ucapku lantang.
 
Aku kemudian menundukkan kepala. Membaca surat Al Fatihah di dalam hati. Diikuti juga oleh teman-temanku yang lain.
 
Oh ya, aku adalah Ketua Murid di kelasku. Aku dipilih oleh teman-temanku melalui sebuah pemilihan yang alot. Dari tiga calon yang ada, aku hanya menang tipis. Kini, sudah tugasku untuk memimpin kelas untuk berdoa saat pelajaran usai.
 
"Berdoa.. selesai!", ucapku lantang sekaligus mengakhiri pelajaran hari ini. Aku mengangkat kepalaku dan duduk kembali. Teman-teman yang lain juga terlihat sudah mengangkat kepala dan mulai asyik dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang memasukkan buku, ada yang membetulkan tali sepatu, ada beberapa teman perempuan yang berdandan, ada yang membetulkan kerudungnya. Aku duduk di barisan paling belakang, dekat dengan tembok. Bagian belakang kursiku menempel dengan tembok kelas. Aku seharusnya duduk berdua bersama Andi. Tapi hari ini dia tidak masuk. Katanya sedang sakit. Rencanaku nanti sore selepas latihan aku mau menengoknya.
 
"Baiklah anak-anak, sampai ketemu besok ya. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh", ucap pak guru sambil berdiri dan berjalan meninggalkan ruang kelas. Beliau adalah pak Djauhari. Sosoknya tinggi jangkung, agak kurus dengan muka oval dan rambut yang mulai memutih. Beliau adalah guru Bahasa Inggris di sekolahku.
 
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh!", jawab kami serentak.
 
"Aa, nanti jadi gak nih traktir makan?", tanya Herman sambil menengok ke belakang. Ia duduk di kursi di depan mejaku.
 
Aku terkejut, lalu memberi isyarat diam pada Herman.
 
"Ssst..! Jangan berisik!", pintaku pada Herman. Tapi ia tidak menggubrisku, dan malah berdiri di atas kursi sambil berteriak lantang.
 
"Hooiii... teman-temaaan! Ada yang ulang tahun niiiih!", teriak Herman lantang sambil telunjuknya mengarah kepadaku. Ia keliatan sangat gembira melakukan itu. Sedangkan aku sendiri yang mulai panik.
 
"Eh iya nih, si Aa ulang tahun niiih!... Mana tim penyeraaaaang!", teriak Risa. Ia duduk di sebelah kananku persis. Ia berdiri dan juga menunjuk kepadaku. Tim penyerang? Haah, pasti ada yang akan membawa benda-benda untuk dilempari ke tubuhku. Kalau tidak telur ayam, tepung, air diplastik, mungkin cat. Haduuuh... bagaimana ini? Tanyaku dalam hati.
 
Aku melihat Roni tiba-tiba berdiri, ia duduk paling depan. Di tangannya tergenggam sebuah telur ayam. Rupanya ia sudah mempersiapkannya. Entah sejak kapan mereka sudah merencanakan ini. Gawat, ia pasti akan melemparku dengan telur itu. Aku bangun dari kursi. Aku selempangkan tasku di bahu dan berdiri sejajar, mengambil jarak setengah meter dari tembok kelas belakang. Kakiku aku rentangkan selebar bahu. Benar saja, Roni tiba-tiba berjalan mendekat dan melemparku dengan telur itu! Aku terkejut. Secara reflek tubuhku aku miringkan bersamaan dengan menggeser tumit kaki kanan ke belakang empat puluh lima derajat dan tumit kaki kiri depan sehingga membentuk sikap leyek belakang. Posisi tubuhku yang tadinya menghadap ke depan, menjadi menghadap ke kiri. Di tempat yang sempit karena terhalang oleh kursi di kanan kiri, sikap leyek belakang sangat efektif untuk menghindari serangan. Entah kenapa tubuhku menganggap lemparan telur itu sebagai serangan sehingga secara reflek bergerak menghindar. Telur itu tidak mengenaiku, tapi menghantam tembok belakangku. Hancur berantakan. Pecahannya berhamburan kesana kemari. Tubuhku melompat ringan ke depan sehingga berada di sebelah Herman, menghindari pecahan telur dan isinya.
 
Aku teringat, dulu ayah mengajariku bagaimana penerapan gerakan silat yang ayah ajarkan pada beberapa kondisi. Di tempat yang luas, di ruang yang sempit, di tempat dimana aku berada tersudut di pojok, saat kakiku tidak boleh digerakkan, saat mataku harus ditutup, dan kondisi-kondisi lain yang cukup menyulitkan. Tujuannya agar aku bisa menerapkan gerakan sesuai dengan keadaan. Ayah bilang kalau gerakan harus luwes, fleksibel, menyesuaikan dengan keadaan, menyesuaikan bentuk, dan keluar dari hati. Antara bentuk dasar dan penerapan tidak musti harus sama persis seratus persen. Beberapa memang bisa diterapkan utuh, tapi beberapa tidak dan harus disesuaikan. Ayah juga bilang kalau saat kita berdiri, maka lebar tubuh kita adalah sasaran tembak bagi lawan. Lebar kepala, lebar bahu, lebar kaki, lebar lengan, lebar paha, semuanya adalah sasaran tembak bagi lawan. Lawan akan tergerak untuk mengarah pada bagian yang ia lihat. Kalau ia melihat dada kita, maka lebar bahu itulah area yang bisa ia kenai. Untuk menghindarinya maka bentuk harus diubah. Dengan menggeser posisi, maka lebar bisa diperkecil. Kalau tubuh kita sedang menghadap ke depan dan kemudian memutar pinggang sehingga bahu kita menjadi menghadap ke depan, maka area yang bisa dikenai oleh lawan akan berubah, akan mengecil atau bahkan hilang. Perubahan bentuk itu bisa dilakukan dengan pergeseran, dengan langkah, atau lompatan, atau dengan menggerakkan bagian lain seperti pinggang, lutut, tumit, atau dengan gerakan khas lainnya. Dan itulah yang terjadi. Tubuhku secara reflek berusaha menghindar dari serangan lemparan telur.
 
Pecahan telur dan beberapa isinya mengenai Risa. Bajunya kotor. Ia terlihat marah.
 
"Roniiii...!! Awass lu yaaa! Malah gue yang kotor niiiih...!", teriak Risa sambil memandang marah pada Roni. Ia mengambil potongan kertas, meremasnya menjadi bulatan lalu melemparkannya kepada Roni. Roni terlihat ketakutan. Ia berlari keluar ruangan kelas. Risa kelihatannya masih kesal, dan ia bersiap berlari mengejar Roni untuk "membalas dendam". Ia membawa sebuah buku di tangan kanannya. Tampaknya buku itu akan digunakannya untuk memukul si Roni.
 
"Amppuuuunn Riiisss... Gue ga sengajaaa... Gue pengen lempar si Aa! Ampuuunn...! Hahahahahahaha!", teriak Roni sambil lari. Ia tertawa terbahak-bahak. Mungkin dipikirannya, meski gagal melemparku dan membuatku kotor, setidaknya ada yang menjadi "korban". Huh, dasar si Roni. Tapi ia belum sepenuhnya lolos dari "bahaya", karena di belakang si Risa mengejarnya. Teman-teman yang lain menertawakan tingkah mereka yang lucu.
 
Aku ikut tersenyum. Ron, malang nian nasibmu kali ini. Rasakan!
 
Aku bersyukur karena baju sekolahku tidak kotor karena lemparan telur ayam dari Roni. Aku segera bergegas keluar ruangan agar aman dari "serangan" lain. Aku berjalan lebih cepat mendekati pintu.
 
"Hoiii.. tungguuu! Gue ikuuut!", teriak Herman.
 
Ia langsung melompat dari tempat duduknya dan berusaha mengejarku. Aku menoleh ke arah Herman. Tanpa sengaja aku melihat wajah Herman yang seperti memberi kode pada teman yang lain yang berada di dekat pintu keluar dengan bibirnya. Naluriku berkata kalau "serangan" belum usai. Benar saja. Selesai aku menoleh dan akan berjalan kembali ke pintu keluar, Cahyo, yang duduk di dekat pintu keluar tiba-tiba berdiri. Di tangannya terlihat sudah tergenggam dua butir telur ayam. Tiba-tiba ia langsung melemparku dengan telur ayamnya. Lemparannya lurus, mengarah ke dada. Tubuhku reflek menghindar. Aku memiringkan tubuh sehingga lemparan itu tidak mengenai tubuhku. Bahaya, arah miring tubuhku malah membuat lebih dekat dengan tempat Cahyo berdiri. Telur itu menabrak tembok. Pecahannya berhamburan kemana-mana.
 
Merasa gagal, Cahyo berusaha melempar sekali lagi. Tampaknya ia penasaran. Jarak Cahyo dan aku hanya tinggal satu setengah meter. Aku terlalu terbawa putaran pinggang saat memiringkan tubuhku. Lemparan kedua rasanya tidak bisa aku hindari. Tiba-tiba perut ini menghangat. Rasa hangatnya naik ke dada, ke leher, hingga kemudian berhenti di belakang kepala, tepat di otak kecil bagian belakang. Belakang kepalaku langsung menghangat. Bersamaan dengan itu, dunia yang aku lihat menjadi seolah melambat. Mulut Cahyo yang tertawa terbahak-bahak terlihat sangat jelas gerakannya. Lemparan tanggannya seolah menjadi slow motion, menjadi gerak lambat. Telur yang melayang di udara juga terlihat begitu jelas. Tangan kananku aku gerakkan. Telapak tangan kananku aku buka dan aku gerakkan menyongsong arah lemparan telur tapi memotong di tengah jalur, dan kemudian aku tarik perlahan seiring telur yang menyentuh telapak tanganku. Telur tidak membentur keras dan pecah, telur tetap utuh, dan mengikuti arah. Telapak tanganku jadi peredam. Aku membiarkan tanganku mengikuti arah lintasan telur itu. Aku mengikutinya. Bersamaan dengan itu, tubuhku ikut mundur dua langkah. Jarak ini kemudian membuat tenaga lemparan telur terhenti. Aku berhasil menangkap lemparan telur itu dengan telapak tanganku. Aku turunkan kembali rasa hangat yang memenuhi otak kecil di belakang kepalaku. Dunia kembali menjadi normal. Kecepatannya menjadi normal.
 
Cahyo hanya bengong melihat telurnya aku tangkap.
 
Tanpa menunggu lebih lama, aku bergegas berlari keluar ruangan dengan cepat. Sambil tidak lupa meletakkan telurnya di meja Cahyo.
 
"Kabuuuuurrr!!!", teriakku lantang sambil berlari.
 
Aku langsung berlari keluar dari ruangan, mengarah pada anak tangga. Kelasku berada di lantai 2, disebelah pojok dari bangunan baru. Tingginya sekitar lima meter. Dengan dua buah kelompok anak tangga yang masing-masing terdiri dari sepuluh undakan anak tangga. Aku berjalan cepat menuruni anak tangga. Lalu bergegas menuju kantin yang berjarak sekitar dua puluh meter dari tangga.
 
Dari atas, aku melihat Herman berteriak menunjukku.
 
"Itu dia! Si Aa ke kantiiiiiinnnn!!!", teriak Herman lantang. Beberapa teman juga menyorakiku. Mereka tampak gembira karena target buruannya sudah ditemukan kembali.
 
Aku tertawa sambil terus berjalan cepat menuju kantin. Aku duduk di depan penjual es. Itu adalah es kesukaanku. Es yang dijajakannya dibuat dari serutan es batu yang diberi air santan. Setelah itu dituangkan susu coklat di atasnya. Aku paling suka meminumnya sambil memakan roti yang memang disediakan disitu. Aku memesan satu.
 
Aku memandang ke sekeliling. Kantin sekolahku cukup luas. Di dalamnya ada penjual gorengan, ada penjual nasi kuning, ada nasi rames, ada juga nasi empal sapi. Selain es susu coklat tadi, aku paling suka nasi empal sapi. Rasanya enak, harganya juga tidak terlalu mahal. Penjualnya bernama Atun, tidak tahu kenapa dipanggil begitu. Padahal ia seorang laki-laki. Jadi aku menyebutknya nasi empal Atun.
 
Sambil duduk, aku teringat kejadian dimana aku berhasil menangkap telur yang dilempar dari jarak satu setengah meter tanpa pecah. Tiba-tiba ingatanku seperti terbang di masa lalu, saat berlatih bersama ayah. Saat itu ayah mengajarkanku makna dari cepat dan lambat. Bagaimana cepat bisa mengalahkan lambat, dan bagaimana lambat bisa mengalahkan cepat. Kata ayah, cepat dan lambat itu ada pada persepsi, ada pada apa yang kita tangkap di otak kita. Otak kita bisa menterjemahkan sesuatu sebagai 'cepat' dan otak kita bisa menterjemahkan sesuatu sebagai 'lambat'. Ada perbedaan pada sudut pandang yang melakukan. Yang cepat bisa dibuat jadi lambat. Yang lambat juga bisa dibuat jadi cepat. Setelah selesai berlatih gerak, ayah selalu melatih olah nafas kepadaku. Latihan olah nafas selalu ditutup dengan meditasi. Aku harus duduk sila memejamkan mata. Kedua tanganku menjuntai dengan punggung tangannya berada di atas lutut. Ibu jari dan jari tengah dipertemukan sehingga membentuk seperti lingkaran. Saat itu, aku harus berkonsentrasi pada nafas yang aku hirup. Setiap kali menghirup nafas, aku disuruh membayangkan tenaga yang aku keluarkan dari seluruh tubuh ditarik masuk dan disimpan ke bawah pusar. Terus saja seperti itu. Dianggap selesai ketika aku bisa merasakan detak jantungku pada ujung ibu jari dan jari tengah yang menempel dan suhu tubuhku sudah normal, sudah bisa merasakan angin dingin di sekitarku. Saat itu yang aku rasakan aliran hangat mengalir dari seluruh tubuhku menuju ke bawah pusar. Setelah dirasa cukup oleh ayah, aku harus 'menutup' aliran tenagaku. Cara menutupnya cukup dengan sugesti, dengan niat dan konsentrasi. Terkait dengan cepat dan lambat, ayah berkata bahwa bentuk meditasi seperti tadi bisa berguna untuk membuat persepsi pada otak. Kalau dialirkan ke otak kecil di belakang kepala, maka apa yang ditangkap oleh pandangan mata akan terlihat oleh otak seperti melambat. Benda yang dilihat sendiri sebenarnya tidak melambat, tetapi persepsi otak terhadap apa yang dilihat akibat dari teknik ini akan membuat gerakan cepat terlihat lambat. Sehingga kita bisa melakukan antisipasi terhadap sesuatu. Pada awalnya aku tidak memahami ucapan ayah. Meskipun sudah dicoba berapa kalipun, yang aku lihat tetap saja sama, tidak melambat. Normal normal saja. Tapi barusan saat Cahyo melempar telur, aku benar-benar merasakan apa yang ayahku katakan. Aku melihat dunia seperti melambat. Sehingga aku bisa melakukan antisipasi terhadap telur yang dianggap sebagai 'ancaman' bagiku. Barangkali, ketika dulu aku berlatih bersama ayah, aku belum mendapatkan kondisi yang aku anggap sebagai ancaman bagiku, sehingga aku tidak bisa mengeluarkan potensi yang sebenarnya. Sedangkan tadi, ketika tubuhku menganggap lemparan telur sebagai ancaman, maka aku bereaksi dengan secara alamiah, mengikuti naluriku, mengikuti apa yang dulu pernah diajarkan kepadaku. Dan hasilnya persis seperti yang dijelaskan ayahku. Cepat dan lambat sesungguhnya ada persepsi, pada cara kita memandang. Cepat bisa dilawan dengan lebih cepat. Lambat bisa dilawan dengan cepat. Cepat juga bisa dilawan dengan lambat. Bukan lambat, tetapi "lambat". Sebab ketika sudah masuk pada ranah persepsi, maka cepat bukanlah "cepat" dan lambat bukanlah "lambat".
 
Aku tersenyum.
 
"Ayah, aku mulai paham. Terima kasih ayah.", ucapku dalam hati.
 
 
 
 
(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: Bayu Umbara on 13/08/2011 11:40
Assalamualaikum Wr.Wb,
selamat melaksanakan ibadah puasa mas agung,
mohon maaf atas kekhilafan saya selama ini, mudah2an puasa kita semua di terima Allah SWT, amiin YRA.
Sebelumnya terima kasih banyak atas pencerahannya mas dari kisah Tembang tanpa Syair ini yang sangat sarat dengan nilai-nilai kehidupan dan pencerahan batin, saya sangat salut sekali dengan mas agung ini yang bisa menuangkan kisahnya dengan bahasa yang sangat enak dibaca dan mudah difahami, memang mas agung ini punya bakat jadi penulis, mudah2an bisa terealisasi dalam bentuk buku mas agung, saya tunggu bukunya nih mas, mudah2an semua perjalanan batin mas agung bisa dituangkan dalam kisah ini, sehingga bisa jadi pencerahan buat kita semua.
saya ijin untuk mengcopi tulisannya mas, sekali lagi apreasiasi buat karya mas agung, sayang sekarang ga ada fasilitas GRP hehehe.
terima kasih
salam
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: ogebang on 13/08/2011 11:48
Mantep ne...
Jadi inget kajian Khoo Ping Hoo...xixixi...
Khataman wajib ngabuburit Ramadhan jaman SD _ SMP dahulu...
Ditunggu lanjutannya...Bro...

Salam
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 13/08/2011 18:19
Tembang Tanpa Syair - Bagian 7

Kalah Atau Salah?


Kantin ini sudah mulai sepi. Yang terlihat hanyalah para pedagang yang sedang membereskan dagangannya. Aku masih duduk di kursi panjang ini. Aku menunggu lebih lama, menunggu lebih sepi. Sekolahku ini muridnya cukup banyak. Terdiri dari sembilan kelas untuk kelas satu, sembilan kelas untuk kelas dua, dan sebelas kelas untuk kelas tiga. Dengan rata-rata satu kelas terdiri dari tiga puluh hingga empat puluh orang. Bisa dibayangkan berapa jumlah muridnya apabila pulang sekolah.


Siang ini aku berencana menengok Andi, teman sebangku yang tidak masuk karena sakit. Rumah Andi cukup jauh dari sekolahku. Kira-kira lima belas menit apabila berjalan kaki. Tapi cukup lima menit saja kalau naik angkot.


Aku bersiap untuk beranjak dari kursi panjang ini.


"Berapa A?", tanyaku pada pedagang es susu coklat.


"Biasa... Tiga ribu aja A sama rotinya...", jawab sang pedagan sambil tersenyum.


Satu gelas es susu coklat dihargai dua ribu rupiah, sedangkan rotinya dihargai seribu rupiah. Aku mengeluarkan selembar lima ribuan dari saku celana sebelah kananku, lalu memberikannya pada sang pedagang es.


"Ini A...", lanjutku.


Uangku diterimanya. Ia terlihat memasukkan pada kotak tempat penyimpanan uang di belakang tempat gelas, lalu mengambil selembar uang dua ribuan dan memberikannya kepadaku.


"Terima kasih A...", ucap sang pedagang.


"Iya, sama-sama A..", jawabku.


Aku memasukkan uang kembalian ke saku sebelah kananku. Lalu mengambil tas dan diselempangkan ke bahu kananku. Aku memutar tubuh, dan beranjak dari kursi panjang tersebut. Pandanganku masih mengarah pada kumpulan teman-teman yang sedang keluar dari pintu gerbang sekolah. Sudah tidak sebanyak tadi. Ya sudah, aku putuskan untuk pulang.


Aku berjalan santai dari kantin menuju pintu gerbang. Aku harus melewati sebuah lapangan voli yang belum disemen dan sebuah lapangan basket yang sudah disemen. Jarak antara kantin sekolah dengan pintu gerbang kira-kira berjarak lima puluhan meter. Cukup jauh juga. Maklum, sekolah favorit ini penuh dengan bangunan-bangunan fasilitas penunjangnya. Termasuk juga lapangan-lapangan olahraga yang disediakan.


Aku sudah melewati lapangan bola voli. Sesaat ketika sepatuku menyentuh semen di lapangan basket, tiba-tiba hatiku menjadi gelisah. Hmmm, ada apa ini? Aku paksakan untuk melangkah. Tapi rasa di hati ini malah semakin kuat. Aku terdiam di tengah lapangan. Aku seperti merasakan akan ada sesuatu. Tapi aku tidak tahu apa itu?


"Ah sudahlah!", jawabku dalam hati.


Aku kuatkan niat dan langkah untuk keluar dari pintu gerbang. Niatku sudah bulat. Aku ingin menengok Andi!


Seiring kuatnya niatku, maka rasa yang gelisah itu mulai menghilang.


Dari jauh terlihat pak Madi, penjaga pintu gerbang sekolah. Terlihat sedang membereskan kunci dan rantai pintu. Beliau menyapaku.


"Pulang A?", tanya pak Madi ramah.


Langkahku terhenti.


"Iya pak. Mari pak, saya pamit dulu...", jawabku ramah dengan kepala sedikit menunduk hormat. Pak Madi hanya tersenyum sambil juga menganggukkan kepala.


Aku meneruskan langkahku keluar dari pintu gerbang. Berjalan terus menuju pintu keluar sekolah yang letakknya berdekatan dengan jalan raya. Sekolahku berada di dekat jalan raya, namanya Jl. Dr. Cipto Mangunkusumo. Salah satu jalan protokol di kotaku. Di depan sekolahku terdapat sebuah halte. Disebut halte angkot, karena tidak ada bus di kotaku. Trotoar terlihat sepanjang jalan.Di sebelah kiri sekolahku, kira-kira berjarak dua ratusan meter, terdapat sebuah pasar yang cukup besar, merupakan salah satu pasar utama di kotaku, namanya Pasar Gunung Sari. Persis di depan pasar tersebut terdapat sebuah mall yang terbesar di kotaku. Dipisahkan oleh sebuah jalan raya yang lebarnya kira-kira lima mobil. Mall terbesar itu bernama Grage Mall. Tempat yang sering dijadikan tempat nongkrong anak sekolah. Meskipun seharusnya tidak boleh demikian. Tetapi entah mengapa pengelola mall membiarkan anak sekolah berkeliaran disana menggunakan baju sekolah.


Aku sudah berjalan keluar dari pintu keluar sekolah. Berbelok ke sebelah kiri, menaiki trotoar pejalan kaki dan meneruskan jalan menuju ke arah pasar. Deretan setelah sekolahku juga terdapat ruko-ruko yang di depannya ada halaman ruang kosong untuk parkir mobil atau motor.


Dari jarak kira-kira lima puluhan meter, aku melihat ada beberapa pemuda yang mendekati adik kelasku. Aku tahu persis dia adik kelasku karena baju yang dipakainya. Meski demikian, aku tidak tahu namanya. Mereka terdiri dari tiga orang. Dua orang yang berbadan sedang dan satu orang yang berbadan besar dan tegap. Ah, dahiku mengerenyit. Tampaknya mereka sedang berusaha memaksa adik kelasku untuk menyerahkan barang berharganya. Aku melihat adik kelasku memegang erat tasnya. Sedangkan dua orang pemuda tadi mencoba merebutnya. Pemuda yang berbadan besar dan tegap hanya menonton saja.


Tiba-tiba dadaku bergemuruh. Emosiku naik. Aku tidak senang dengan pemandangan ini. Aku percepat langkahku untuk mendekati mereka.


"Lepaskan! Lepaskan!", teriak adik kelasku.


"Sudah diam! Sini berikan tasmu!", hardik salah satu pemuda yang mencoba merebut tasnya. Pemuda yang satunya hanya menyeringai sambil menunjukkan wajah seramnya. Tampaknya ia berusaha agar korban ketakutan.


Jarakku hanya tinggal lima meteran saja. Pemuda yang berbadan paling besar dan paling tegap menoleh ke arahku.


"Hei kalian! Hentikan!", teriakku lantang sambil jari telunjukku mengarah pada kedua pemuda tersebut bergantian.


Aku menggeser tasku ke arah punggung. Aku tahu, sebentar lagi pasti akan terjadi perkelahian. Meskipun ayah selalu berpesan agar sebisa mungkin menghindari perkelahian, tapi aku tidak bisa melihat keadaan seperti ini di depan mataku. Entahlah, apakah aku sok jagoan atau bagaimana. Yang jelas, batinku tidak bisa menerima keadaan ini.


Kedua pemuda tersebut menoleh ke arahku. Salah satunya tertawa. Salah satunya lagi berjalan ke arahku.


"Hahaha, mau ada yang jadi jagoan ya disini?", ucap pemuda yang berjalan ke arahku itu. Pandangan matanya tajam menusuk ke arahku. Jaraknya hanya sekitar satu meteran di depanku.


Aku berdiri terdiam. Kedua bahuku aku lemaskan, tangan menjuntai ke bawah.


Pemuda itu semakin mendekatiku dan ia langsung mencengkram kerah bajuku dengan tangan kanannya.


"Lu mau jadi jagoan disini?!!", hardik sang pemuda. Cengkraman kerah bajuku semakin diperkeras.


"Nggak mas. Tapi tolong lepaskan adik kelas saya.", tanyaku pada sang pemuda. Aku mencoba ramah dan tidak berusaha menekan pada intonasi suaraku. Tak disangka, pemuda di depanku ini tampak semakin marah dengan jawabanku.


"Eeh, lu siapa hah! Seenaknya aja main perintah! Lu mau gua hajar?!!", hardik si pemuda lebih keras sambil mendorongku ke belakang. Cengkramannya tidak ia lepaskan.


Dheg!


Aku terdiam. Tiba-tiba pusarku terasa menghangat. Rasa hangatnya bergerak naik. Alirannya terasa lebih cepat memenuhi seluruh tubuhku. Dadaku semakin bergemuruh.


Secara reflek tangan kiriku menangkap tangan kanan yang mencengkeram kerahku, lalu memutarnya dengan cepat dan menariknya ke atas lebih tinggi dari kepalaku. Bersamaan dengan itu, tangan kananku bergerak cepat ikut membantu menguatkan pegangan tangan kiriku pada tangan pemuda itu. Lalu menekuknya ke arah pingggang kanan si pemuda sehingga ia menjadi terbungkuk. Setelah itu kaki kiriku aku geser ke belakang dengan cepat sambil kedua tanganku menarik tangan si pemuda tersebut ke arah lutut kiriku. Gerakan ini membuat tubuh si pemuda terbanting dengan lengan terpuntir dan kepalanya berada di bawah lutut kiriku!


BUGGH!!!


Ia terbanting keras.


"Uuuughh!!", teriak pemuda ini.


Tidak berhenti sampai disitu, aku memutar lengannya sambil mengunci siku pemuda tersebut dengan lutut kiriku.


"Aaaaaakkh!", pemuda itu berteriak kesakitan.


Gerakanku masih berlanjut. Tangan kananku aku lepas dan langsung memukul urat leher besar di sebelah kanan. Pemuda itu tampak lemas. Ia pingsan!


Oooh tidak! Aku lupa! Aku tidak boleh melakukan ini! Urat leher besar kanan adalah daerah sensitif, yang kalau terkena serangan keras akibatnya bisa menghentikan aliran darah dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Ah, aku merasa bersalah.


Sesaat aku jadi teringat saat latihan bersama ayah. Saat itu, ayah mengajariku mengenai titik-titik rawan di dalam tubuh manusia. Titik-titik dimana apabila serangan kita diarahkan kepadanya akan bisa membawa rasa sakit dan penderitaan berat bagi lawan. Ayah pernah berkata bahwa ketika gerakan dilakukan, maka ia umumnya terdiri dari alat penyasar serangan dan sasaran serangan. Alat penyasar disesuaikan dengan bentuk gerakan. Ada yang berupa kepalan tangan utuh, ujung jari, sisi telapak tangan, punggung telapak tangan, ujung siku, telapak tangan, atau yang lainnya. Sedangkan sasaran serangan adalah titik-titik pada tubuh yang sudah diidentifikasi sedemikian rupa. Beberapa titik menyebabkan rasa sakit yang biasa-biasa saja, tapi beberapa menyebabkan rasa sakit yang sangat dahsyat, beberapa malah bisa menyebabkan kematian. Ayahku selalu mengingatkan, bahwa pelajaran mengetahui titik-titik rawan tubuh janganlah melulu ditafsirkan sebagai cara untuk mengalahkan lawan dengan cepat. Tapi lebih jauh dari itu, pengetahuan terhadap titik-titik rawan tubuh juga bisa digunakan untuk mengobati seseorang, atau lebih jauh lagi bahkan dapat meningkatkan kemampuan kita. Tergantung ingin digunakan bagaimana pengetahuan tersebut. Ayah juga mengingatkan, bahwa pada mereka yang sudah terlatih fisik dan olah nafas, maka titik-titik rawan ini bisa sedemikian kuat, bahkan bisa disembunyikan, atau lebih jauh lagi bisa digeser. Ayah menambahkan, bahwa yang digeser atau disembunyikan bukanlah fisik dari titik tersebut, tetapi rasa yang ada di dalamnya. Jadi, tidak semua titik-titik ini menjadi rawan. Tergantung dengan siapa kita berhadapan. Tetap waspada, dan jangan lengah. Begitulah pesan ayah. Meski demikian, ayah tidak pernah bosan mengingatkan agar sebisa mungkin menahan amarah, menahan emosi.


Maafkan aku ayah, aku sudah melanggar nasehatmu. Aku terpaksa melakukan ini. Tubuhku bergerak sendiri. Mengikuti naluriku. Mengikuti 'theg' di hatiku. Aku ingin memberi pelajaran pada orang-orang jahat ini.


Aku berdiri kembali, membiarkan pemuda ini tergeletak pingsan di sebelah kiriku. Aku menoleh pada pemuda yang satunya.


"Hei! Lu apain temen gua hah! Sialan lu!", teriak pemuda yang satunya. Ia berlari menuju ke arahku.


Tiba-tiba ia meloncat sambil menendang dengan kaki kanannya. Tendangannya cukup keras. Aku menggeser kaki kananku melebar ke arah kanan sambil menekuk lutut kanan. Bersamaan dengan itu pinggangku aku putar sedemikian rupa sehingga tubuhku yang tadinya menghadap ke depan menjadi menghadap ke kanan. Ini adalah posisi leyek depan. Posisi yang bisa digunakan menghindar. Tendangan lawan otomatis tidak mengenai tubuhku. Aku melanjutkan gerakan.


Tangan kiriku aku gerakkan untuk melakukan tangkisan bawah, bergerak mengayun dengan lintasan dari atas ke bawah dan mengenai pergelangan kaki kanan pemuda tersebut. Sesaat setelah terasa mengena aku langsung mencengkram celana yang terpegang oleh tangan kiriku. Aku memutar tumit kaki kananku empat puluh lima derajat dan menarik kaki kiriku dengan cara menyeret memendek sehingga kaki kanan pemuda itu mendekat ke badanku. Ini adalah sikap leyek belakang. Tangan kananku melakukan gerakan yang disebut dengan Punggung Siku Datar yakni salah satu serangan tangan dimana punggung siku digunakan sebagai alat penyasarnya. Adapun sasarannya adalah sendi lutut kaki pemuda tersebut.


"Aaakh!!!", pemuda itu berteriak.


Aku mengenai persendian lutut kanannya dengan keras. Meskipun aku sudah mengurangi tenagaku, tapi tak urung tetap membuat pemuda itu berteriak kesakitan. Kalau saja aku lepas kendali, aku pasti sudah mematahkan persendian lutut pemuda itu. Beruntung aku teringat pesan ayah agar tetap terkendali dan terkontrol meskipun dalam situasi sesulit apapun. Aku harus membereskan pemuda ini dengan cepat.


Gerakanku berlanjut. Kaki kananku aku geser mendekati tubuh pemuda itu sambil aku melakukan serangan yang disebut dengan Ujung Siku Datar. Serangan ini aku arahkan pada ulu hatinya. Sesuai dengan namanya, alat penyasarnya adalah ujung siku.


BUKK!!


Pemuda itu tidak bersuara. Ulu hatinya terkena seranganku dengan telak. Ia terjatuh, mengaduh. Berguling-guling sebentar sambil memegangi ulu hatinya, lalu pingsan!


Aku terkejut. Apakah aku sekeras itu memukul? Rasanya biasa saja.


Aku terngiang ucapan ayahku bahwa ketika seseorang sudah melatih tata gerak dengan pengulangan yang sangat banyak sedemikian rupa, maka gerakannya akan menjadi sangat akurat, sangat bertenaga. Apalagi kalau pada saat yang bersamaan juga ia melatih olah nafas dan digabungkan dengan penerapan tata geraknya. Maka efeknya bisa sangat dahsyat. Tanpa olah nafas saja efeknya bisa sangat membahayakan, apalagi digabung secara bersamaan. Aku tertegun. Masih dengan posisi ujung siku tangan kananku membentuk serangan.


Dua pemuda sudah roboh.


Pemuda yang satu lagi tampak cukup tenang. Ia terlihat lebih percaya diri dibanding teman-temannya. Ia juga lebih tegap dan kuat dibanding dua temannya. Ia berjalan mendekatiku dan berhenti kira-kira satu meter di depanku.


"Hmm, kamu keliatannya boleh juga...", ucap pemuda tersebut kalem.


Aku terdiam. Tidak menanggapi ucapannya. Tenang itu biasanya menghanyutkan. Begitu kata ayah saat memberikan nasehat kepadaku. Berhati-hatilah terhadap orang yang tenang, sebab bisa jadi ia menyimpan sesuatu.


"Maafkan saya kak. Tadinya saya hanya ingin teman-teman kakak ini tidak mengganggu adik kelas saya. Itu aja kak.", ucapku memulai. Pusarku kembali menghangat. Aku mulai waspada.


Pemuda ini mulai berjalan mengitariku. Aku semakin waspada.


"Sudahlah, tidak usah banyak omong! Terima saja ini... huh!", teriak pemuda itu yang serta merta langsung menyerang dengan pukulan lurus ke arah kepalaku. Kuda-kudanya terlihat begitu lebar dengan kaki kanan di depan dan sedikit ditekuk.


Tidak mau kepalaku jadi sasaran serangan lawan, aku melangkah ke samping menghindari serangan pukulan dengan sikap leyek dengan tangan kiriku melakukan gerakan tangkisan bernama Tangkisan Atas, yakni tangkisan dengan menggunakan sisi telapak tangan yang sedikit ditekuk ke arah luar.


TAKKK!!


Aku berhasil menangkisnya.


"Huh, gerakan ini lagi! Sudah aku baca!", ucap pemuda itu. Ia langsung mengganti serangannya dengan melangkah maju dan melakukan pukulan yang kedua dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ia simpan di pinggang kanan.


Melihat ini, kaki kiriku aku gerakkan memutar ke arah belakang kaki kananku sehingga sedikit melewatinya. Putaran ini sekaligus dibarengi putaran pinggangku dengan tangan kananku melakukan gerakan tangkisan dengan punggung tangan. Gerak langkah ini disebut dengan Srimpet, sedangkan gerak tangkisannya disebut dengan Potongan.


PLAKK!!


Punggung tanganku berhasil menangkis serangan pukulannya. Kaki kananku secara reflek berusaha menendang ke arah tubuh pemuda itu dengan keras dengan Tendangan Samping menggunakan sisi telapak kaki kananku.


Pemuda itu menggeser tubuhnya ke arah kiri. Ia berusaha menjauh. Aku tidak tinggal diam. Aku langsung mendekatinya dan melakukan serangan Pukulan Datar, yakni sebuah pukulan lurus dengan kepalan tangan yang aku arahkan di dadanya.


BUGGH!!


Seranganku mengenainya. Pemuda itu terdorong mundur. Ia tampaknya tidak merasa kesakitan seperti dua pemuda tadi. Padahal pukulanku cukup keras mengenai dadanya. Meski sedikit di atas ulu hatinya. Aku yakin cukup keras. Tapi rupanya belum cukup keras.


"Lumayan! Pantas lu berani sok jagoan!", ucap pemuda tersebut. Ia tidak mengelus dadanya atau mengurut dadanya. Ia terlihat biasa saja. Kepalanya manggut-manggut. Wajahnya kini terlihat serius. Tangannya kirinya terlihat masuk ke kantong celana sedangkan tangan kanannya mengelus-elus dagunya yang tidak berjenggot.


Aku kembali berdiri dengan kaki sejajar bahu. Jarak kami hanya sekitar satu setengah meter.


Tiba-tiba tangan kiri pemuda itu bergerak ke arah wajahku dan melemparkan sesuatu. Sekilas terlihat seperti pasir-pasir yang dilemparkan. Aku tidak tahu apa yang dilemparkan, apakah pasir atau bukan.


"Terima ini!", ucap pemuda itu mendadak.


"Uuuuh!", aku mencoba menutup kedua mata dengan tanganku. Tapi terlambat. Sebagian pasir mengenai mataku. Perih terasa. Aku langsung mundur tiga langkah. Mencoba menjaga jarak, sambil tanganku berusaha mengusap-usap kedua mataku yang perih.


"Uuuh, bahaya ini. Perihnya tetap terasa!", batinku dalam hati.


Aku hanya mendengar suara langkah kaki di depanku. Tiba-tiba dadaku terasa nyeri karena ditendang oleh pemuda itu.


BUGGGH!!


Aku terpental sampai tiga meteran. Jatuh berguling-guling di tanah. Aku langsung berusaha berdiri, dengan masih memejamkan mata. Serangan itu tidak begitu sakit aku rasakan. Aku lebih mengkhawatirkan mataku. Uuh sial, mataku masih perih.


Disaat seperti ini, aku teringat kembali latihan bersama ayah. Ayah mengajarkanku suatu materi yang ia sebut dengan Getaran Tutup Mata. Kata ayah, ini adalah salah satu seni rahasia dari aliran beladirinya. Memungkinkan orang yang melatihnya mampu mengembangkan daya kepekaan sedemikian rupa sehingga ia tidak membutuhkan daya lihat optik seperti mata. Penglihatannya diganti dengan rasa. Rasa adalah penglihatannya. Sebuah daya kepekaan sedemikian rupa untuk menangkap gelombang, untuk menangkap getaran. Sebab getaran adalah gelombang. Semua yang bergetar akan memancarkan gelombang. Dan itu bisa kita rasakan, kata ayah. Air, batu, kayu, sungai, cahaya matahari, kulit, urat, otot, darah, semua memiliki getaran pada tingkatannya masing-masing. Dan semuanya memancarkan gelombang. Itulah yang dirasakan.


Aku kemudian menjadi lebih tenang. Aku pusatkan konsentrasi pada rasa. Pada warna hitam di 'pandangan' mataku. Aku mencoba menembus selubung penghalang rasa seperti yang pernah diajarkan oleh ayahku. Perlahan, pori-pori kulitku mulai membesar seiring dengan guratan abstrak putih mulai terbentuk. Gambaran seperti siaran televisi rusak mulai terlihat. Hitam dan putih. Terbayang dan berbayang. Semua yang berada di sebelah kananku, di sebelah kiriku, di depanku, di belakangku, di atasku, menjadi begitu sangat terasa. Setiap langkah dari pemuda itu sangat terasa. Aliran udara di sekitar tubuhnya. Bahkan hingga detak jantungnya pun terasa sekali. Sosok pemuda di depanku 'terlihat' mendekat. Jaraknya semakin dekat.


Aku terdiam. Waspada.


"Mampus lu!", teriak pemuda itu sambil kaki kanannya menendang keras ke arahku.


Aku menggeser kakiku ke arah kanan. Serangan kaki itu luput.


Pemuda itu kaget karena serangannya gagal.


"Sialan lu! Nih, gua beri lagi!", hardik pemuda itu. Ia kemudian menendang kembali dengan kaki kirinya.


Aku kembali menggeser kakiku, menjauh sedikit dari serangannya. Serangan kedua itu luput lagi.


"Kurang ajar! Nih!", pemuda itu terlihat maju merangsek sambil memukul dengan tangan kanannya dengan arah lintasan memutar ke arah pelipis mata kananku. Tapi sebelum serangan itu sampai ke pelipis kananku, aku maju menyongsong serangannya sambil melakukan Tangkisan Atas dan Pukulan Datar secara bersamaan. Sasaran dari pukulan datarku adalah hidung pemuda itu.


Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 13/08/2011 18:19
PLAKK!! DHUESSS!!!


Pemuda itu terjerembab. Ia terjatuh dan mengaduh sambil memegangi hidungnya. Darah 'terlihat' mengucur dari hidungnya. Aku kembali mengambil posisi siap. Barangkali pemuda itu masih punya rencana lain.


Ia kemudian berdiri, lalu berlari. Pemuda itu meninggalkan teman-temannya yang tergeletak. Ia tampak tidak peduli.


"Awas lu!!", teriak pemuda itu sambil berlari menjauh dan memegangi hidungnya. Aku hanya merasakan pemuda itu semakin menjauh. Ia terus berlari, dan aku tidak mempedulikannya.


Suasana kemudian jadi hening. Aku hanya merasakan dua orang yang masih tergeletak pingsan. Uuh, mataku harus aku bersihkan. Aku kemudian menebar getaran deteksi ke sekelilingku. Mencoba mencari pedagang teh botol di sekitarku. Ketemu. Pedagang itu ada tidak jauh dari sebelah kiriku. Aku menghampirinya sambil masih tetap memejamkan mata.

"Mas, beli Aqua satu ya", tanyaku. Tanganku langsung mengambil sebotol Aqua. Membuka tutupnya, lalu menuangkannya ke mataku sambil aku usap-usap. Aku mencoba membersihkan mataku dari rasa perih. Aku mengembalikan seluruh rasa getaran yang tadi aku gunakan ini kepada organ optikku kembali. Setelah itu aku mencoba membuka mata. Masih agak perih dengan pandangan sedikit kabur. Aku tuangkan kembali air Aqua itu pada kedua mataku. Aku usap-usap perlahan. Tidak berapa lama pandangan mataku sudah mulai normal. Alhamdulillah. Aku bersyukur tidak terjadi apa-apa pada kedua mataku.

"I...i..iya mas", jawab pedagang itu. Ia barangkali bingung bagaimana aku bisa menghampirinya dan mengambil Aqua dengan tepat meskipun mataku terpejam.

Aku tersenyum. Ini pertama kalinya aku menguji kemampuan Getaran Tutup Mata pada situasi sebenarnya. Meski ada banyak pertanyaan, tapi saat ini aku cukup puas. Terutama saat aku melakukan serangan terakhir. Sesungguhnya sebelum serangan pemuda itu akan disarangkan kepadaku, sesaat sebelum serangan itu sampai, getaran 'niat' dari pemuda itu bisa aku rasakan benar. Aku sebenarnya sudah tahu kaki kanannya akan menendangku. Aku juga tahu kemudian kaki kirinya mencoba menendangku lagi. Dan pada serangannya yang ketiga, aku sudah bisa merasakan getaran 'niat' dari pemuda itu untuk melakukan serangan tangan berupa pukulan melingkar. Itulah sebabnya aku bisa menghindar dengan sempurna. Aliran getaran dari 'niat' dan bagian tubuh pemuda itu terasa di hatiku dan merambati seluruh tubuhku. Sehingga aku bisa melakukan antisipasi dengan benar.

Meski demikian, ada satu hal yang masih jadi pertanyaan di benakku. Yakni saat sebelumnya aku berhasil memukul dada pemuda itu, tapi ia tampak tidak kesakitan. Padahal pukulanku cukup keras kulayangkan ke dadanya. Aku ingin menanyakan nanti pada ayah kenapa bisa begitu. Aku juga ingin minta maaf karena sudah melanggar nasehatnya dengan berkelahi di jalanan. Sesuatu yang ayahku sangat tidak sukai.

Aku terngiang ucapan ayah.

"Getaran adalah gelombang. Gelombang adalah getaran. Getaran dari sukma sejati. Gelombang dari sukma sejati. Seni ini sangat istimewa. Mengembangkan ini akan membuka cakrawala pengetahuan beladiri yang sama sekali baru. Akan membuka ranah pengetahuan baru. Sebuah evolusi yang benar-benar evolusi. Bukan sekedar pengembangan, tetapi benar-benar evolusi. Belum pernah dibukukan sebelumnya. Belum pernah dipikirkan sebelumnya. Gabungan tradisional dengan modern. Satu ruang tumbuh yang baru. Yang suatu hari nanti akan kamu tempati, asalkan kamu masih di jalan pendekar dan ilmuwan.", ucap ayah.





(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 14/08/2011 14:18
Tembang Tanpa Syair - Bagian 8

Kalau bisa merusak, apa kamu bisa memperbaiki?


Aku membersihkan bekas telapak sepatu dari pemuda yang terakhir menendangku itu. Aku tepuk-tepuk agar debunya berjatuhan. Serangan itu tidak begitu terasa sakit. Karena hawa hangat yang mengalir dari bawah pusarku dan naik ke dada seperti 'membersihkan' efek benturan dari serangan itu. Aku melihat kedua orang pemuda yang masih pingsan. Tiba-tiba muncul rasa iba pada mereka. Aku jadi teringat nasehat ayah. Aku kemudian berjalan mendekati salah satunya.


Yang paling dekat denganku adalah pemuda yang terkena ulu hatinya. Aku berjongkok sambil mencoba mengangkat setengah bagian tubuhnya sehingga ia berada dalam posisi duduk dengan kaki lurus. Masih tetap berjongkok, aku menggeser tubuhku di depan tubuhnya, lalu mengangkat tangan kanannya sehingga ketiaknya terbuka. Aku mencubit urat besar di tengah-tengah ketiak kanan pemuda itu dengan cukup keras menggunakan ibu jari dan jadi telunjuk tangan kananku, kemudian melakukan hal yang sama pada ketiak kirinya. Mencubit urat besar di tengah-tengah ketiak kiri pemuda itu dengan tangan kiriku. Setelah itu, aku langsung memutar ke belakang tubuhnya, dan melakukan totokan dengan ujung jari telunjuk kanan pada dua titik di bahunya agak dekat dengan leher. Lalu menepuk-nepuk punggungnya dengan telapak tangan kananku.


Pemuda itu pun tersadar.


Aku langsung berdiri dan mendekati pemuda satunya yang masih tergeletak pingsan. Melakukan hal yang sama, yakni mencubit urat besar di tengah ketiaknya kemudian menotok dua titik di bahunya agak dekat dengan leher, lalu menepuk-nepuk punggungnya dengan telapak tanganku. Ia pun juga tersadar.


Keduanya terduduk. Kesadaran mereka mulai berangsur pulih.


Pengetahuan ini aku dapatkan dari ayahku. Bagaimana cara menyadarkan seseorang yang pingsan. Kata ayah, seorang yang belajar beladiri, selain bisa merusak juga harus bisa memperbaiki. Jangan hanya bisa merusak tanpa bisa memperbaiki. Aspek beladiri harus seiring sejalan dengan aspek pengobatan. Aspek kanuragan, sebisa mungkin dibarengi dengan aspek kahusadaan. Begitu kata ayah. Lebih lanjut lagi, kalau seseorang sudah bisa menghancurkan apakah ia bisa merakit ulang kembali? Kalau kita bisa merusak, apakah kita bisa memperbaiki kembali? Itu adalah sesuatu yang ayah minta aku ingat benar-benar.


Aku kemudian berdiri, dan membiarkan mereka disitu. Aku ingin meneruskan perjalanan ke arah lampu merah di ujung jalan. Saat itu aku melihat ke sekeliling, dan mendapati beberapa orang dewasa yang memandang ke arahku. Ada tukang becak, ada pedagang teh botol, ada pengendara motor yang berhenti. Mereka tampak tersenyum melihatku. Salah satunya bahkan mengangkat dua ibu jari tangannya, sebagai simbol pengakuan atas sesuatu. Mulutnya berkata tanpa suara, "Bagus dik!". Aku bisa membaca gerak bibirnya yang mengatakan seperti itu. Barangkali dia menonton dari awal hingga akhir perkelahianku. Aku tersenyum padanya sambil sedikit menundukkan kepalaku. Tanganku tanpa sadar menggaruk-garuk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Ah, aku malah jadi kikuk. Lebih baik aku bergegas meninggalkan tempat itu daripada aku jadi bingung sendiri nantinya.


Aku melihat sekeliling, adik kelasku rupanya sudah pergi entah sejak kapan. Ya sudah, biar sajalah. Yang penting dia selamat. Aku bersyukur karena aku sendiri selamat, adik kelasku selamat, dan pemuda yang pingsan ini sudah tersadar kembali. Pemuda yang paling besar dan tegap, meskipun lari, tapi tentunya dia juga selamat. Aku yakin ia agak sedikit cedera, tetapi selama ia masih bisa berlari, berarti cederanya tidak terlalu parah. Semoga saja demikian, batinku.


Aku berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Kira-kira lima puluh meteran, aku menoleh ke belakang. Dari jauh aku lihat salah satu pemuda itu sudah berdiri dan mencoba menolong temannya untuk berdiri. Kemudian mereka berjalan berlawanan arah denganku sambil salah satunya dirangkul. Syukurlah, mereka sudah bisa berjalan lagi. Aku tersenyum. Hatiku menjadi lega sekarang. Entah mengapa, rasanya ada suatu perasaan yang sulit aku jelaskan saat mengalami semua itu. Aku teruskan perjalanan. Niatku hari ini untuk menengok Andi yang masih sakit di rumahnya.


Sambil berjalan, aku teringat pada ayah. Selama ini, aku hanya berlatih bersama ayah. Menirukan gerakan, mengulang-ulangnya, kemudian menerapkan gerakan dalam situasi yang menurutku berada dalam skenario dan rancangan ayah. Mungkin karena berlatih bersama ayah, perasaanku kurang lepas, aku tidak mengalami keadaan yang bikin aku deg-degan. Lebih jauh lagi, barangkali aku belum mengalami kondisi yang mengancam nyawaku, sehingga potensi diriku belum sepenuhnya keluar. Ayah pernah berkata, bahwa latihan adalah awal. Penerapan yang sesungguhnya ada pada pertarungan. Meski latihanku benar, belum tentu penerapan pada pertarungan juga benar. Meski pengetahuan gerakanku cukup banyak, belum tentu gerakan itu akan keluar dengan baik pada pertarungan. Gerakan harus disesuaikan dengan keadaan. Dan setiap yang berlatih beladiri, pasti akan mengalami pertarungan. Kita akan menyadari berharganya ilmu beladiri kita manakala kita berhadapan dengan situasi yang mengancam nyawa kita, dan kita bisa tertolong dan menolong karenanya. Demikianlah ayah menjelaskan.


"Yah, apakah pertarungan itu artinya perkelahian?", tanyaku.


"Perkelahian adalah salah satu dari pertarungan. Seorang yang belajar silat, pasti akan mengalami pertarungan dalam hidupnya. Entah yang bersifat fisik, seperti perkelahian, atapun yang bersifat non fisik. Suatu pertarungan tidak akan berhenti sampai diketahui hasilnya. Jadi, kalau kamu belum siap dengan pertarungan, maka kamu lebih baik jangan bertarung dulu atau sebisa mungkin hindarilah suatu pertarungan. Tapi kalau kamu, karena suatu hal, terpaksa harus masuk di dalam suatu pertarungan, maka hadapilah sebaik-baiknya. Keluarkan semua potensimu.", jawab ayah.


"Meski demikian, tetaplah bijak dengan kekuatanmu, dengan teknik-teknikmu, dengan gerakan-gerakanmu, dan dengan pengetahuanmu. Tetaplah baik dengan musuhmu, bahkan apabila ia menyakitimu pun, berusahalah tetap baik terhadapnya. Dalam batas yang wajar.", jawab ayah.


Aku mengangguk.


"Yah, kenapa Aa dilarang berkelahi sedangkan ayah mengajari teknik untuk berkelahi?", tanyaku kembali.


"Nak, jawaban dari pertanyaanmu ini akan kamu dapatkan nanti, dalam pertarunganmu sendiri. Jika saat itu tiba, maka hikmah akan menjadi jawabannya. Seperti apa? Ayah juga nanti ingin mendengar sendiri jawabannya dari kamu nak.", jawab ayah sambil tersenyum dan menepuk pundakku.


Aku kembali mengangguk.


"Yah, adakah pertarungan yang paling hebat yah?", aku memberanikan diri bertanya kembali.


"Ada, yakni pertarungan dengan dirimu sendiri. Pertarungan dengan hawa nafsumu. Itulah pertarungan yang paling besar, dan itulah pertarungan yang sesungguhnya. Lawan berkelahimu tidak akan pernah ada di dekatmu setiap saat. Ia akan ada hanya pada suatu saat, tapi tidak setiap saat. Ketika lawanmu ada, maka ia akan tetap terlihat oleh panca indramu. Tapi hawa nafsu itu sesuatu yang lain. Ia tidak terlacak oleh panca indramu. Ia akan mengikutimu setiap saat. Ia akan selalu menjadi bagian dari dirimu yang mencoba terus untuk mengalahkanmu. Setiap saat, dan selalu pada setiap saat yang tidak pernah kamu duga-duga atau harapkan. Saat kamu bisa mengalahkan hawa nafsumu, maka kamu sudah melewati pertarungan terbesarmu.", jawab ayah.


"Kamu, nafasmu, jiwamu, ragamu, nafsumu, hatimu, pikiranmu, dan yang lainnya adalah suatu kesatuan. Sebagian saling mempengaruhi satu sama lain. Ada pengaruh yang membangun, juga ada yang merusak. Ada yang menguatkan, ada yang melemahkan. Meski hawa nafsumu adalah musuhmu, tapi ia juga potensimu, bisa menjadi kekuatanmu. Latihlah, kuasailah, taklukkan olehmu sendiri.", lanjut ayah.


Ingatanku saat latihan bersama ayah tiba-tiba dibuyarkan oleh suara klakson dari sebuah sepeda motor di belakangku.


"Hoiii...!", teriak seseorang dengan lantang.


Aku menoleh. Terlihat pengendara motor menggunakan helm yang bagian depannya tidak memiliki kaca. Lho, itu khan Herman, teman sekelasku. Aku menghentikan langkahku. Herman dengan sepeda motornya langsung berbelok memotong jalanku dan berada persis di depanku.


"Mo kemana bro?!", ucap Herman mengulangi.


"Man, gue pengen nengok Andi nih.", jawabku.


"Oh ya? Ya udah, yuk barengan aja!", jawab Herman. Tangan kirinya meraih helm berwarna hitam yang tergantung di stang motor kirinya. Dan langsung melemparkannya kepadaku.


"Tangkap!", pintanya.


Aku dengan sigap menangkap helm Herman. Lalu memakainya di kepalaku.


Ah, kebetulan nih. Lumayan lah ada tumpangan, batinku. Aku tersenyum lebar.


"Siiiip!", aku langsung melompat ke belakang Herman.


"Waduuh, ini jok apa batu sih Man? Keras amat!", tanyaku protes. Pantatku serasa membentur batu, padahal itu adalah jok motor.


"Hahaha, itu campuran jok ama batu!", jawab Herman sambil tertawa.


"Dasar lu yaaa! Hahahaha", ucapku sambil tertawa. Aku jitak saja kepalanya perlahan.


Ia pun memacu sepeda motornya menembus udara siang hari yang mulai memanas. Aku menengok ke belakang, melihat kembali tempat perkelahianku dari kejauhan. Disana sudah sepi. Nanti, sepulang dari menengok Andi, aku ingin menemui ayah. Aku ingin menanyakan suatu hal padanya.





(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 14/08/2011 14:21
Assalamualaikum Wr.Wb,
...
saya ijin untuk mengcopi tulisannya mas, sekali lagi apreasiasi buat karya mas agung, sayang sekarang ga ada fasilitas GRP hehehe.
terima kasih
salam

Waalaikum salam kang Bayu.

Marhaban ya ramadhan. Mohon maaf juga kalau saya ada salah kata kang selama ini.

Silahkan di copy kang. Itu tulisan bebas untuk didistribusikan. Barangkali saja ada manfaat. Amin.


Salam.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: harunhdr on 15/08/2011 06:46
  ^:)^ [pray2]Mohon dilanjutkan ceritanya....menarik dan aplikatif. Tulisan dari seorang yang memang "berilmu"
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 15/08/2011 14:05
Tembang Tanpa Syair - Bagian 9

Sukma Ajaran Silat


"Syalalalala... syalalalala...", aku bersenandung di kamar mandi. Aku sedang membilas tubuhku dengan air yang disemprotkan dari shower. Segar sekali rasanya. Air di daerahku ini segar sekali. Berasal dari pegunungan, yakni Gunung Ciremai. Agak dingin, meski tidak sedingin air di Puncak, Bogor. Tetapi segarnya mampu menyaingi.

Setelah aku selesai menengok Andi bersama Herman, aku langsung pulang. Sore ini aku ingin bertanya pada ayah mengenai sesuatu yang menjadi pertanyaan di hatiku tadi siang.

Tiba-tiba senandungku terhenti karena pintu kamar mandi digedor dengan cukup kencang.

"Kakaaak... cepetaaan dooonk!", teriak Ayu lantang. Ia menggedor pintu kamar mandiku. Ayu adalah adik pertamaku. Dia cantik sekali. Secantik ibuku. Ia bersekolah di salah satu SMP favorit, tapi agak jauh dari rumah. Setiap hari, ia berangkat naik sepeda. Sesekali naik angkutan umum atau angkot. Aku pernah bertanya, kenapa tidak mau diantar oleh ayah atau ibu? Ia hanya menjawab kalau ia sudah cukup besar, dan tidak mau merepotkan. Kalau cuma berangkat sekolah saja sih bisa sendiri, katanya. Aku tersenyum. Adikku ini juga cukup mandiri. Mungkin karena ayah selalu mengajarkan kami untuk belajar mandiri makanya pola pikir untuk keadaan yang satu itu agak seragam antara aku dan adik-adikku.

Aku melanjutkan bersenandung, tidak mempedulikannya.

"Kakaaaaaaaak! Cepetaaaaaann..!", teriak Ayu kedua kali. Tangannya makin keras menggedor pintu kamar mandi.

Uuh, aku terpaksa menghentikan lagi senandungku.

"Iya.. iya... sabaaar! Kakak bentar lagi yaaaaaa...! Ini lagi handukan niiih.", jawabku dari dalam kamar mandi.

Tidak berapa lama, pintu kamar mandi kubuka. Belum sempat aku keluar dari pintu kamar mandi, Ayu sudah menerobos masuk.

"Minggirr... minggiiirr.. Iiiih! Cepetan..!", ucapnya. Tubuhnya memaksa masuk. Kedua tangannya mendorong tubuhku ke tembok. Aku tergeser, otomatis memberinya jalan. Tidak berhenti sampai disitu saja, setelah melewatiku, tangannya kembali mendorongku hingga aku benar-benar keluar dari kamar mandi secara paksa.

"Iya iya ... Sabaar Yuuu...!", teriakku agak kesal.

Terlambat. Aku sudah terdorong keluar kamar mandi.

BRUGG!!
 
Pintu kamar mandi ditutup.

"Huh!", aku hanya mendengusl.

"Awas yaaaaa!", ancamku dari luar kamar mandi.

"Biariiin!... Weeekkk!", suara Ayu dari dalam kamar mandi, ia terdengar mengejek.

Aku berjalan menuju kamarku. Meski kesal, aku tidak marah. Begitulah tingkah adikku ini. Karena hanya ia satu-satunya yang perempuan, barangkali ia jadi tampak berbeda. Aku, sebagai anak tertua, harus bisa mencoba memahami keadaannya. Kata ayah, anak tertua memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Terkadang, saat adik-adikku bertengkar, aku menjadi penengah untuk mereka. Bahkan kalau adik-adikku terjadi keributan karena suatu hal, hingga hampir terjadi perkelahian, aku harus menghentikan mereka. Ayah sangat melarang perkelahian diantara keluarga. Oh iya, semua adikku diajari silat yang sama oleh ayah. Jadi tidak heran kalau saat ada keributan, tangan dan kaki sering nyelonong sendiri tanpa sadar. Pipi adik keduaku, Bayu, pernah memar kena tinju yang paling bungsu, yakni Taufan. Sebaliknya, pipi Taufan juga pernah memar kena tinju kakaknya, Bayu. Kalau sudah begini, mereka pasti akan kena hukuman. Biasanya mereka disuruh menulis 'Aku tidak akan memukul adikku lagi' atau 'Aku tidak akan memukul kakakku lagi' sebanyak lima ratus kali sambil ayah menunggu mereka selesai menulis. Kalau masih bandel, hukuman ditingkatkan sampe seribu kali tulisan. Tidak menyakitkan buat mereka, tapi cukup membuat mereka kapok. Kalau dipikir-pikir, lucu juga. Tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Semuanya pesilat. Meski demikian, saat kumpul bersama, ayah selalu menegaskan bahwa silat yang dipelajarinya tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, apalagi sampai berkelahi antar saudara. Sebagai keluarga, harus saling asah, saling asih, dan saling asuh. Begitu kata ayah.

Aku sudah selesai ganti baju. Sore ini aku memakai celana hitam latihan dan kaos hitam. Aku berjalan ke depan untuk menemui ayah. Aku melihat dari balik kaca samping pintu, ayahku sedang duduk membaca koran. Sesekali pandangannya melihat ke depan.

Aku berjalan mendekatinya, lalu duduk di kursi di samping ayah. Ayahku menoleh.

"Gimana sekolahmu hari ini?", tanya ayah.

"Allhamdulillah baik yah", jawabku.

Ayah tersenyum dan kemudian kembali membaca koran. Suasana hening sejenak.

"Anu.. yah, begini.. ada yang ingin Aa tanyakan sama ayah", tanyaku memecah keheningan. Aku menggaruk-garuk kepalaku meskipun tidak gatal sama sekali.

Aktivitas ayah terhenti, terdiam, lalu ayah lalu meletakkan korannya di atas meja dan menoleh ke arahku.

"Ada apa A?", jawab ayah.

"Sebelumnya, maafkan Aa ya yah karena Aa sudah melanggar nasehat ayah.", ucapku.

"Aa... tadi... tadi... berkelahi di jalan.", lanjutku dengan lirih. Kepalaku sedikit menunduk. Hati ini berdetak lebih kencang. Aku khawatir ayah akan marah.

Ayah memutar kursinya sehingga menghadap ke arahku.

"Trus kamu menang?", tanya ayah sambil tersenyum.

"I...i..iya yah. Kok tahu?", jawabku. Aku mengangkat kembali kepalaku dengan heran.

"Wajahmu mengatakan demikian. Ada raut penyesalan, juga sekaligus kebanggaan. Tak ada bekas luka pukul pada wajahmu, juga tanganmu. Jadi ya kemungkinannya kamu menang.", lanjut ayah.

"A...ayah marah ga?", tanyaku penuh kekhawatiran.

"Ayah tidak marah nak. Kalau kamu, karena suatu hal, masuk ke dalam suatu pertarungan yang tidak dapat kamu hindari, ya mau tidak mau harus kamu hadapi sebaik-baiknya.", jawab ayah sambil tersenyum dan menepuk pundak kananku dengan tangan kanannya.

Aku masih ingat nasehat itu.

"Yah, waktu Aa berkelahi, Aa melawan tiga orang yah. Yang pertama Aa jatuhkan dengan Tangkap Kunci 3, trus Aa pukul urat lehernya sampe pingsan. Yang kedua Aa jatuhkan dengan Ujung Siku Datar ke arah ulu hatinya. Ia pingsan juga. Tapi yang ketiga, Aa yakin mukul dengan keras di dadanya. Tapi keliatannya ia ngga kesakitan. Dan biasa-biasa aja. Malah bisa nyerang balik. Ia melempar pasir ke mata Aa. Perih yah. Aa jadi ga bisa buka mata. Tapi Aa ingat sama latihan Getaran Tutup Mata dari ayah.", ucapku menerangkan kejadian perkelahian itu.

"Setelah itu bagaimana?", tanya ayah.

"Ya Aa bisa menghindari dua serangannya. Di serangan ketiga Aa bisa memukul hidungnya yah pake Tangkisan Atas dan Pukulan Datar secara bersamaan. Trus dia lari ninggalin temen-temennya yang pingsan. Aa trus nyari tukang teh botol, beli air Aqua buat bersihkan mata Aa. Tadinya Aa mau langsung pergi saja, tapi Aa kasihan lihat mereka yang pingsan. Aa bangunin mereka pake  teknik cubitan di tengah ketiak kanan dan kiri seperti yang dulu ayah ajarkan.", jawab Aa.

Ayahku kembali tersenyum.

"Anu.. yah, waktu Aa mukul pemuda yang ketiga, dia keliatannya ngga apa-apa yah. apakah pukulan Aa waktu itu kurang keras ya yah?", tanyaku.

Senyum ayah melebar, berdiri dari tempat duduknya.

"Sini, ikut ayah...", ucap ayah.

Ayah berjalan menuju halaman samping rumah. Disitu ada sebuah paviliun kecil. Bersebelahan dengan pohon asem yang sengaja ditanam oleh ayah. Kata ayah paviliun itu sudah dijadikan gudang, tempat menyimpan barang-barang. Aku sendiri tidak tahu barang apa saja yang disimpan disana. Jarang melihatnya. Yang aku tahu, disitu katanya tempat dimana barang-barang yang sering ayah gunakan sebagai latihan.

Aku berdiri, lalu berjalan mengikuti ayah.

Kami sampai di depan pintu paviliun yang dijadikan gudang itu. Aku berdiri disamping ayah.

Ayah membuka pintu. Di dalamnya terlihat ada banyak sekali barang-barang. Aku tidak bisa mengenali semuanya. Ada beberapa yang cukup familiar dengan pengetahuanku, ada juga yang tidak. Di sudut ruangan, terlihat ada tumpukan beton cor selebar dua jengkal orang dewasa. Tampak kokoh. Disampingnya ada beberapa potong besi berwarna hijau yang berbentuk seperti gagang pompa. Di sebelahnya lagi ada beberapa potong besi berwarna hijau juga tapi lebih pendek dari gagang pompa dan lebih datar, tapi lebih tebal. Ada juga terlihat seperti plat besi berwarna hitam. Aku tidak tahu itu untuk apa. Sedikit bergeser ke kiri, aku melihat ada dua buah batu bata yang sudah disemen. Ada juga pot yang sudah di semen. Bagian atas pot itu berlubang sedalam satu ruas jari. Tampaknya digunakan untuk mencengkram. Ada juga sebuah bambu raut yang diikat dengan karet, sebuah halter dengan beban samping, sebuah halter dengan beban tengah. Tidak jauh dari situ, menggantung di seutas tali sebuah benda yang asing bagiku. Benda itu terbuat dari rotan, berbentuk seperti busur ganda yang ujungnya diikat dengan karet. Lalu dua buah meja kecil. Aku tidak tahu untuk apa itu semua.

"Aa, tolong keluarkan ini, ini, ini, ini, ini, dan ini. Letakkan saja di luar.", pinta ayah.

Ayah menunjuk pada batu bata yang sudah disemen, pot semen berlubang, rautan bambu, halter pinggir, halter tengah, dan bambu busur yang tergantung. Aku menuruti perintahnya. Aku keluarkan satu persatu benda-benda yang diminta oleh ayah. Meletakkannya di luar, kira-kira tiga meter di depan paviliun tersebut.

Aku juga melihat ayah mengeluarkan dua buah besi penyangga. Meletakkannya agak jauh dari tempatku meletakkan benda-benda yang diminta ayah. Lalu ayah balik lagi, dan mengambil beberapa beton cor, dan dua buah gagang pompa yang paling tebal. Aku tidak tahu apa yang akan ayah lakukan. Ini sangat asing buatku.

Ayah kemudian menutup pintu paviliun, dan berjalan menuju benda-benda yang aku bawa.

"Duduklah dulu...", tanya ayah.

"Iya yah", jawabku.

Aku dan ayah duduk hampir bersamaan. Kami berada di dekat benda-benda ini.

"Nak, kamu tahu benda-benda apa ini?", tanya ayah.

Aku menggeleng.

"Benda-benda ini adalah benda yang digunakan untuk melatih satu tahap lain dari beladiri, yakni tahap olah nafas.", ucap ayah.

"Selama ini kamu sudah belajar gerak, menghafalnya, mengulanginya, dan menerapkannya dengan cukup bagus. Lebih jauh lagi, kamu bahkan sudah mengalami satu pertarungan dalam hidupmu. Ayah yakin, saat itu yang bertarung bukan hanya ragamu, tapi juga hatimu.

Kamu juga sudah ayah ajari beberapa teknik olah nafas yang mengarah pada salah satu seni rahasia beladiri ini, yakni olah nafas Getaran. Olah nafas jenis ini akan menghasilkan apa yang disebut dengan Tenaga Getaran. Tapi ayah sengaja belum mengajarkanmu olah nafas untuk meningkatkan kekuatan tenagamu. Atau istilahnya olah nafas Power.", lanjut ayah.

Aku terdiam. Berusaha mencerna penjelasan-penjelasan ayah. Benar sekali. Saat itu tidak hanya ragaku yang bertarung, tapi batinku juga ikut bergemuruh. Termasuk ketika terakhir aku mencoba menolong para pemuda yang pingsan juga hatiku berkecamuk. Antara menolong atau tidak.

"Di dalam mempelajari suatu keilmuan, ada yang menurut pakemnya dan ada yang tidak menurut pakem. Yang menurut pakem, biasanya menyiapkan dulu raga atau tubuh untuk berlatih gerak atau jurus, baru kemudian berlatih olah nafas, kemudian olah rasa, dan olah batin. Adapun yang tidak menurut pakem bisa berlatih olah batinnya dulu, atau olah rasanya dulu, atau olah nafasnya dulu, atau hanya jurusnya dulu. Akan tetapi, tetap ada benang merahnya ... yakni olah nafas. Dimana ketika seseorang mumpuni di dalam olah nafas, walau tidak memiliki jurus tetap bisa menendang dan memukul dengan hasil yang berbahaya.", ucap ayah.

"Yah, apakah hanya berlatih gerakan saja tidak maksimal?", tanyaku.

"Tidak selalu demikian nak. Entah disadari atau tidak, saat seseorang berlatih gerakan atau berlatih jurus, maka ia secara naluri juga melatih nafasnya. Misalkan ketika menggerakan jurus atau gerakan tertentu, seseorang tentu mengambil nafas, menahannya, atau menyalurkannya pada suatu bentuk gerakan, barulah kemudian mengerahkan jurusnya. Tentunya ini sama saja dengan belajar jurus atau belajar gerakan plus olah nafasnya, meskipun tidak ia sadari. Kalau ditanya, apakah ada olah nafasnya, jawabnya selalu tidak ada. Padahal sebenarnya ada, tapi mungkin tidak spesifik ke arah olah nafas murni, tapi sudah menyatu pada gerakan jurusnya. Sudah menempel di gerakannya. Yang demikian itu tentu akan berbeda pada mereka yang melakukan gerakan saja tanpa mengolah nafasnya dan yang melakukan gerakan dengan mengolah nafasnya. Hasilnya akan lain. Efeknya juga lain. ", jawab ayah.

"Bukankah tanpa belajar, seseorang bisa memukul? Tanpa belajar terlebih dahulu seseorang bisa menendang? Bisa membopong? Berlari? Yang kesemuanya itu dilakukan dengan menghirup dan membuang nafas? Akan tetapi, akan lebih baik apabila semua didasari dengan suatu kesadaran pribadi bahwa mempelajari sesuatu sebaiknya memiliki dasar pengetahuan. ", lanjut ayah.

"Untuk saat ini, kamu pahami saja dulu bahwa ada yang disebut dengan tenaga luar, dan ada yang disebut dengan tenaga dalam.", ucap ayah menegaskan.

Aku mengangguk.

Aku jadi paham mengapa pukulanku seperti tidak bermakna pada pemuda yang terakhir itu. Aku mengerahkan tenaga luar, dan mengenai tempat yang bukan titik mematikan. Pada dua serangan luarku sebelumnya, aku mengarah pada urat leher dan ulu hati, yang tentunya merupakan titik-titik yang menyakitkan. Tidak heran efeknya seperti yang diharapkan. Sedangkan ketika aku memukul dada pemuda yang ketiga, pukulanku tidak mengenai titik mematikan, meskipun tenagaku cukup besar. Tapi sepertinya kekuatan tubuh pemuda itu lebih besar dari kekuatan pukulanku. Kekuatan pukulan luarku kalah dengan kekuatan luar tubuhnya.

Aku melihat ayah memandang ke langit. Ia memejamkan mata. Terdengar desahan lirih dari bibirnya. Dengan masih terpejam, ayah melanjutkan.

"Orang yang belajar silat dengan harapan untuk menjadi kuat, belumlah mencapai sukma dari ajaran silat itu sendiri. Keutamaan dalam mempelajari ilmu silat, sebenarnya bukanlah sekadar menghafal gerakan atau cara berlatih napas untuk menghimpun tenaga atau untuk menghasilkan yang lebih jauh dari itu. Akan tetapi, lebih dari semua itu adalah menyelami kearifan yang tertulis atau tersembunyi dalam baris-baris kidungan, atau di dalam keilmuan itu sendiri. Itulah sesungguhnya inti, sukma ajaran silat.", lanjut ayah. Ucapannya agak bergetar ketika mengatakan ini.

Wajah ayah memandang ke arah pohon di dekat paviliun. Aku tahu ayah tidak memandang pohon tersebut, tetapi ia sedang memikirkan sesuatu.

"Belajar silat, belajarlah bijaksana...", ucap ayah dengan tenang.

Suasana menjadi hening. Aku menunduk, mencoba merenungi setiap penjelasan ayah.



(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 15/08/2011 17:00
Tembang Tanpa Syair - Bagian 10
Apa Yang Paling Berharga Pada Dirimu, Nak?


Aku mengangkat wajahku. Aku melihat wajah ayah sudah tidak menghadap ke langit lagi. Ayah kini menatapku.

"Ayah tidak menyalahkan mereka-mereka yang belajar beladiri untuk mencari kekuatan. Tapi ayah harap, tujuanmu bukan itu. Mereka-mereka yang mencari kekuatan, hanya akan mendapat kekuatan. Karena hanya itulah yang mereka kejar. Tapi mereka-mereka yang tidak mencari kekuatan, akan mendapatkan lebih dari sekedar kekuatan. Sebaliknya, kekuatan akan mendatangi mereka, akan menempel bersama mereka. Seperti bayang-bayangmu di siang hari.", ucap ayah memecah keheningan.

Aku mengangguk.

"Apa yang akan kamu lihat dan kamu dapatkan ini, adalah sesuatu yang harus kamu perhatikan benar-benar. Resapkan maknanya. Lihat isinya, jangan kulitnya.", ucap ayah.

Aku kembali mengangguk. Badanku bergetar. Wajahku berbinar. Aku menjadi begitu bersemangat.

"Apa yang paling berharga pada dirimu nak?", tanya ayah.

Aku tertegun. Pertanyaan ini menyentak hatiku. Wajahku terlihat bingung. Jujur, aku tidak tahu apa jawaban dari pertanyaan ini. Aku melihat ayah tersenyum. Aku yakin ayah sudah tahu apa jawabanku.

Ayah kemudian berdiri. Aku melihatnya berjalan menuju ke paviliun, membuka pintu, masuk ke dalamnya, dan keluar dengan membawa sebuah ember hitam yang cukup besar. Ayah kemudian mengisinya dari kran air di sebelah kanan paviliun. Ember itu cukup besar. Kilauan airnya terlihat akibat dari pantulan cahaya matahari yang mengenainya. Ayah mendekatiku, lalu meletakkan ember itu di depanku. Ember hitam itu kini berjarak setengah meter dariku. Tingginya sekitar satu seperempat meter dan berisi penuh air.

"Berdirilah. Mendekat kemari...", pinta ayah.

Aku menurut. Aku berdiri, dan mendekat persis di depan ember hitam berisi air.

"Celupkan kepalamu kesini. Celup sampai lehermu.", ucap ayah sambil tangannya menunjuk ke air.

Dengan masih bingung, aku menurutinya. Kepalaku aku benamkan ke dalam air hingga sebatas leher.

Sepuluh detik, dua puluh detik, aku masih kuat. Tiga puluh detik berlalu, dadaku rasanya sudah tidak kuat. Oksigen yang mengisi paru-paruku sudah sangat menipis sepertinya. Harus segera keluar dari air untuk mendapatkan oksigen. Aku langsung menggerakkan kepalaku untuk keluar dari air.

BLEP..BLEP..BLEP..!

"Ouuugghh!", aku terkejut, tapi tidak bisa berteriak. Karena aku merasakan ayahku menahan kepalaku dengan tangannya. Kepalaku terbenam lagi ke dalam air!  Dadaku seperti mau pecah! Air bahkan sempat masuk ke tenggorokanku karena terminum tanpa sengaja. Aku mencoba berontak, tapi tenagaku tidak cukup untuk melawan tenaga dari tekanan tangan ayah. Aku hanya bisa menahan tubuhku dengan memegang pinggiran ember hitam.

"Aaaaaghh..!", aku hanya berteriak dalam hati. Dadaku serasa mau pecah. Rasanya sudah tidak ada lagi udara di paru-paruku. Air sudah cukup banyak masuk lewat mulut dan hidungku. Urat-urat leherku menegang, terlihat kemerahan dengan jelas sekali. Tanganku semakin mencengkram pinggiran ember hitam. Aku tidak kuasa untuk berontak.

Kira-kira sekitar lima belas detik ayah menahan kepalaku di dalam air. Ayah kemudian melepasku, tepat setelah batas maksimal kemampuanku menahan udara sudah habis.

Aku langsung menyentak kepalaku ke atas sambil menghirup udara sebanyak-banyaknya. Nafasku tersengal-sengal. Mulut dan hidungku mengeluarkan air. Rasanya pedas sekali. Aku terbatuk-batuk. Sambil berusaha menormalkan kembali aliran nafasku. Aku jatuh terduduk. Wajahku rasanya masih memerah, nafasku masih tidak beraturan. Perlahah-lahan, air tidak keluar lagi dari hidung dan mulutku. Rasanya kini sudah mulai nyaman. Aku juga sudah tidak tersengal-sengal lagi seperti tadi.

"Uhuk.. uhukk!", aku terbatuk lagi. Badanku membungkuk. Tanganku memegang pinggangku. Aku terbatuk lagi, mengeluarkan dahak yang berisi cukup banyak air. Sekilas aku melihat ayahku hanya tersenyum.

Ayah membiarkanku mengatur nafasnya agar kembali normal. Kira-kira tiga menitan, aku sudah mulai biasa lagi. Aku bersihkan sisa-sisa air di wajahku dengan lengan baju kanan dan kiriku.

"Sudah mendingan?", tanya ayah.

"I..i..iya yah... Sudah..", jawabku dengan terbata-bata. Aku langsung terduduk. Mencoba mengatur nafasku kembali. Sepertinya wajahku masih memerah.

Ayah kemudian menghampiriku, dan duduk disamping kananku. Ia terlihat memandangi ember yang berisi air. Sebagian dari airnya berjatuhan di sekitar ember. Agak basah disekitarnya.

"Kamu tahu nak, itulah yang paling berharga pada dirimu.", ucap ayah.

Aku terdiam.

"Nafas.

Itulah yang paling berharga pada dirimu dalam beladiri.", lanjut ayah.

Dheg, dadaku seperti dipukul dengan palu godam. Aku seperti tersentak. Ucapan ayah sangat mengena di hatiku.

"Dirimu bukanlah apa-apa tanpa nafas. Tanpa nafas, kamu hanya seonggok daging dan tulang yang berjalan. Jagalah ia baik-baik, maksimalkan potensinya. Karena tidak ada perbaikan terhadapnya. Kalau kulitmu kamu tersayat oleh benda tajam, kulitmu bisa melakukan regenerasi lagi, dan akan terbentuk kulit baru. Kalau ginjalmu bermasalah, kamu bisa mencangkok ginjal milik orang lain. Kalau matamu buta, kamu bisa mendapatkan mata dari donor sehingga kamu bisa mendapatkan penglihatanmu kembali. Kalau tanganmu atau kakimu diamputasi, kamu bisa menggunakan tangan robot untuk menggantikan fungsinya. Semua bagian wadag dari tubuhmu bisa tergantikan, baik yang sejenis ataupun melalui teknologi. Tapi tidak ada yang bisa menggantikan nafasmu.", ucap ayah serius.

"Kalau kamu melakukan olah nafas nanti seperti halnya kamu menghayati kejadian tadi, maka latihanmu niscaya tidak akan sia-sia karena kamu tidak punya ambisi selain menyadari hakekat keberadaan nafasmu. Kamu akan cepat maju!", lanjut ayah.

Aku seperti menemukan sesuatu. Aku mulai memahami maksud ayah.





(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: samber gledek on 16/08/2011 17:07
Pemahaman dan penghayatan yang luar biasa...
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 17/08/2011 16:04
Tembang Tanpa Syair - Bagian 11

Kesadaran Inderawi


Ayah berdiri, lalu berjalan menuju besi penyangga yang di sampingnya terdapat beberapa beton cor dan beberapa besi yang bercat hijau serta berbentuk seperti gagang pompa. Ayah lalu mengatur jarak dua besi penyangga tersebut, membungkuk dan mengangkat dua buah beton cor. Ayah meletakkannya di atas besi penyangga tersebut. Tanpa sekat. Beton cor itu panjangnya kira-kira enam puluh sentimeter dengan lebar kira-kira dua puluh lima sentimeter dan tinggi kira-kira delapan sentimeter.

Tangan ayah kemudian melambai kepadaku. Memberi tanda agar aku mendekat.

Kondisiku sudah normal kembali. Nafas juga sudah teratur. Aku bangun lalu berjalan ke tempat ayah.

Aku berdiri kira-kira satu meter di depan dari besi penyangga yang di atasnya terdapat dua buah beton cor yang ditumpuk tanpa sekat.

"Pukullah beton cor ini semampumu. Patahkan. Gunakan sisi telapak tanganmu atau gunakan bawah kepalan tanganmu atau telapakmu, atau apa saja. Terserahmu saja, gunakan bagian tubuhmu yang dirasa paling kuat.", pinta ayah.

Aku mengangguk.

Aku mundur setengah langkah, mengatur jarak, mengatur kuda-kuda. Kaki kiriku aku letakkan di depan dengan lutut sedikit tertekuk, berada sedikit di luar melebihi besi penyangga di depanku. Kaki kananku aku geser ke belakang. Saat ini kakiku membentuk posisi Kuda-kuda Kiri Depan. Aku akan memukul beton cor itu dengan tangan kananku, menggunakan alat penyasar sisi telapak tanganku. Tangan kananku aku julurkan, sisi telapak tangannya menyentuh beton cor paling atas. Aku konsentrasi. Serius. Aku tahu ini tidak mudah. Beton cor itu tampaknya sudah lama ada di paviliun. Tentunya tingkat kekerasannya sudah sangat lumayan. Aku angkat tangan kananku hingga melewati kepala dengan lintasan seperti busur, lalu mengeraskan sisi telapak tanganku. Pandangan mataku masih terfokus pada beton cor itu. Setelah hatiku terasa yakin, secepatnya aku pukulkan pada beton cor itu. Aku mengandalkan benar kekuatan tanganku ini.

BRAKK!!!

Beton cor itu patah! Patahannya berjatuhan. Besi penyangganya agak sedikit bergoyang akibat tumbukan tadi.

Aku tersenyum puas. Meski terasa agak sedikit nyeri dan ngilu pada pergelangan tangan, tapi aku berhasil mematahkannya.

Aku melihat ayah mengatur kembali jarak besi penyangganya. Ayah mengambil kembali beberapa beton cor yang masih utuh, dan meletakkannya pada posisi menumpuk di atas dua besi penyangga tadi. Satu, dua, tiga, empat tumpuk beton cor tanpa sekat! Deg, jantungku berdetak lebih kencang. Aku jadi mulai ragu. Empat tumpuk beton cor tanpa sekat. Dua beton cor yang tadi saja sudah membuat pergelangan tanganku sedikit ngilu dan terasa agak sedikit nyeri di sisi telapak tangan yang terbentur dengannya, apalagi ini empat tumpuk dan tanpa sekat!

"Bagaimana kalau sekarang? Ayo, coba lagi.", tanya ayah sambil tersenyum.

Aku terdiam. Jujur saja, hatiku tidak yakin. Tingkat kekerasan, jumlah, dan tanpa sekat, benar-benar menggentarkan hati ini. Aku tidak yakin pukulanku sanggup mematahkan tumpukan beton cor tersebut. Aku tidak yakin tenagaku cukup besar untuk melakukan itu semua.

"Anu.. yah.. Begini ... ituuu.. ", jawabku sekenanya. Tangan kiriku menggaruk-garuk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Wajahku menyeringai, dengan senyum yang tidak enak untuk dipandang mata tentunya.

Ayah sepertinya melihat keraguanku. Ayah tersenyum. Tangannya diletakkan diatas tumpukan beton cor tersebut.

"Disinilah bedanya nak.", ucap ayah.

"Tenaga luar dan tenaga dalam memiliki porsinya sendiri. Masing-masing punya ruangnya sendiri, meskipun bisa saja tumpang tindih tanpa disadari. Yang jelas, pengetahuan terhadap keduanya tetap harus kamu pahami. Bahwa ada yang terlihat oleh mata dan bisa terasa oleh panca indra kemudian bisa kamu rasakan, itu memang benar. Tapi ada juga yang tidak terlihat oleh panca indramu tapi bisa dirasakan. Satu beton cor ini, bisa dipatahkan oleh orang biasa. Dua beton cor tanpa sekat, bisa dilakukan oleh yang cukup terlatih. Tapi empat tumpukan beton cor tanpa sekat, akan sulit dilakukan oleh yang biasa-biasa saja, bahkan yang terlatih pada tenaga luar sekalipun. Lebih dari itu, hanya yang memahami tenaga dalamlah yang bsia melakukannya. Sekuat apapun seseorang pada tenaga luar, suatu hari nanti ia akan menyadari keterbatasan tenaga luarnya.", lanjut ayah.

"Tenaga luar terkait dengan daya inderawi.", ucap ayah.

Aku melihat wajah ayah tampak serius. Ayah kemudian menyentuhkan ujung tiga jari pada beton cor paling atas, menekuk pergelangan tangannya ke arah atas sehingga ada ruang antara telapak tangannya dengan beton cor. Ruang itu tidak lebih dari setengah jengkal saja. Sesaat aku melihat ayah menarik nafas ringan dari hidungnya, kemudian langsung membenturkan telapak tangannya perlahan.

PLEK, BRAAAKKK!!!

Uuh, beton cor itu hancur berantakan! Pecahannya berhamburan.

Aku melompat mundur secara reflek dengan sangat terkejut. Tidak mengira kalau tepukannya yang terlihat ringan ternyata bisa mematahkan beton cor tersebut. Tidak, itu bukan cuma patah, tapi hancur!

Ini baru pertama kalinya aku melihat ayah 'beraksi'. Selama ini aku hanya berlatih dan dilatih dengan ayah. Melihat ayah melakukan suatu gerakan, kemudian menyuruhku untuk mengulanginya. Kemudian kami saling berlatih bersama, mencoba penerapan gerakan, tangkap kunci, membanting, dan sejenisnya. Beberapa juga duduk bersama, berlatih olah nafas Getaran. Memberiku pengarahan untuk melakukan ini dan itu. Dan terakhir, mengujiku. Tapi belum pernah aku melihat ayahku melakukan sesuatu yang membuat mataku terbelalak.

"I..i..itu betonnya ha.. hancur yah..! Ba... bagaimana caranya yah?", tanyaku terbata-bata. Keterkejutanku masih belum hilang. Aku tidak bisa membayangkan seandainya tubuh manusia yang terkena serangan tersebut.

Ayah hanya tersenyum.

"Pada tenaga kasar, seseorang menggunakan kekuatan ragawi untuk melakukannya. Ada yang berasal dari jarak, ada yang berasal dari otot, ada yang berasal dari kulit, ada juga yang berasal dari tulang. Atau kekuatan yang dihasilkan diantaranya. Dengan latihan tertentu, seseorang membentuk kekuatan parsial pada salah satunya, lalu menggabungkannya dengan yang lain. Misal, melatih kekuatan otot dengan mengangkat beban berat, melakukan push up untuk meningkatkan kekuatan tangan, melakukan sit up untuk meningkatkan kekuatan otot perut, atau melakukan penempaan-penempaan lain sedemikian rupa. Keras pada fisiknya, pada raganya. Ia melatih daya ragawi sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah kekuatan. Orang ini menyadari daya inderawi sehingga mampu mengolah sedemikian rupa daya ragawi sehingga menghasilkan kekuatan. Orang-orang yang demikian mulai tumbuh adanya kesadaran inderawi.", jawab ayah.

"Sedangkan yang kamu lihat tadi sama sekali berbeda. Ayah tidak menggunakan daya ragawi, tetapi ayah menggunakan tenaga getaran untuk melakukannya. Tenaga getaran yang didapat dari olah nafas. Tenaga getaran yang sama dengan yang pernah kamu latih. Tetapi dalam pemahaman yang berbeda. Meski demikian, penerapan tenaga getaranmu ayah arahkan untuk tutup mata dan gerakan naluri. Memungkinkanmu untuk memfungsikan daya kepekaan sehingga menghasilkan satu kemampuan tambahan pada gerak di ragamu. Kamu juga sudah pernah merasakan manfaatnya ketika berkelahi dengan para pemuda itu, bukan?", lanjut ayah.

Aku mengangguk. Meresapi kebenaran ucapan ayah. Meski ada beberapa hal yang aku kurang paham. Kalau tenaga getaranku sama dengan yang dimiliki ayah, tetapi kenapa bisa berbeda pada penerapannya?

"Yah, apakah tenaga getaran Aa bisa digunakan untuk melakukan seperti tadi?", tanyaku. Aku jadi penasaran.

"Tentu saja. Tapi nanti, setelah bangkitnya kesadaranmu.", jawab ayah sambil tersenyum.

"Bangkitnya kesadaran?", aku bertanya kembali.

"Benar nak. Bangkitnya kesadaran.

Kesadaran, bukanlah sekedar melek atau membuka mata atau terjaga. Tetapi kemampuan memahami dan merasakan sesuatu. Saat ini, kesadaranmu berada pada apa yang disebut dengan kesadaran inderawi. Jangan merasa bisa, tetapi bisalah untuk merasa. ", jawab ayah.

"Duduklah...", pinta ayah.

Aku menurut.

Ayah kemudian duduk juga di depanku.

"Kesadaran mewakili fungsi jiwa.", ucap ayah.

"Kesadaran inderawi merupakan tingkat kesadaran terendah dalam diri seseorang yang berfungsi ketika ia melakukan interaksi tertentu dengan lingkungannya. Karena kesadaran mewakili fungsi jiwa, maka tingkatan kesadaran inderawi juga menggambarkan kualitas jiwa yang terendah.
 
Seseorang dikatakan berada dalam kesadaran inderawinya jika ia menyadari dan bisa memahami diri dan lingkungan sekitarnya dengan bertumpu pada fungsi panca inderanya. Ia bisa memahami apa yang dilihatnya. Ia bisa mengerti segala yang didengarnya. la bisa menikmati apa-apa yang dibaui oleh indera penciumannya, dikecap oleh lidahnya, dan dirasakan oleh kulitnya.
 
Ketika seseorang berada pada kesadaran inderawinya, maka ia memperoleh nuansa pemahaman terhadap segala yang terjadi sangat riil, dan cenderung materialistik. Seringkali, diantara kita bertumpu kepada kemampuan inderawi secara berlebihan.

Kadang kita hanya percaya kepada sesuatu jika sesuatu itu bisa dijangkau oleh indera. Kita hanya bisa memahami jika telah melihat dengan mata kepala sendiri, atau telah mendengarnya, mencium dan merasakannya. Sesuatu yang tidak terdeteksi oleh panca indera, bakal tidak kita akui sebagai keberadaan. Atau setidak-tidaknya, kita tidak merasa perlu untuk memikirkannya, dan kemudian mengacuhkannya.", lanjut ayah.
 
"Orang yang demikian sebenarnya telah terjebak pada pola pikir materialistik dan terbelakang.", tegas ayah.

"Kenapa bisa begitu yah?", aku memberanikan bertanya. Rasa penasaran menyelimuti hatiku.

"Tentu saja nak. Perlu kamu ketahui, bahwa sistem kerja inderawi kita sangatlah terbatas. Sehingga, lucu juga, kalau kita bergantung kepada yang sangat terbatas itu untuk memahami realitas. Pasti hasilnya juga akan begitu terbatas. Semakin rendah kualitas inderawi kita, maka semakin jelek juga hasil pemahaman kita.
 
Sebagai contoh, apa yang terjadi pada orang yang buta warna. Kalau seorang penderita buta warna bersikeras bahwa realitas warna yang ada di sekitarnya adalah seperti yang dia pahami. Tentu saja banyak orang normal yang akan menertawakannya. Sebab orang yang buta warna memang tidak paham bahwa alam sekitarnya berwarna-warni.
 
Atau pada orang yang mengalami buta warna total, ia hanya bisa memahami dunia dalam warna hitam-putih atau abu-abu saja. Gradasi warna merah, jingga, kuning, sampai putih, baginya hanya terlihat sebagai warna abu-abu tua sampai abu-abu muda, dan paling ekstrim adalah putih. Atau sama sekali tidak berwarna, atau bahkan hanya hitam pekat saja. Padahal bagi kita yang tidak buta warna, kita melihat bahwa dunia ini berwarna warni demikian indah. Tidak seperti yang dia pahami lewat keterbatasan penglihatannya. Kalau ia memaksakannya seperti yang raganya pahami, maka ia telah terjebak pada keterbatasannya sendiri.", jawab ayah.

Aku mengangguk.
 
"Kalau kita mau introspeksi, sebenarnya penglihatan kita pun demikian terbatasnya. Bahkan, pada orang yang memiliki penglihatan yang dianggap paling 'sempurna' sekalipun. Mengapa bisa demikian? Karena, sistem kerja penglihatan kita ternyata demikian menipu. Tidak menceritakan yang sebenarnya terjadi. Apa yang kita lihat sebenarnya bukan realitas. Sesungguhnya antara kenyataan dan apa yang kita lihat atau kita pahami adalah dua hal yang berbeda. Kita bukan melihat benda yang sesungguhnya, kecuali sekadar bayang-bayang yang tertangkap oleh lensa mata kita, diteruskan ke retina, dan kemudian ke otak sebagai pulsa-pulsa listrik belaka. Sehingga, pusat penglihatan di otak kita itu pun sebenarnya tidak pernah berinteraksi langsung dengan benda yang kita lihat. Sel penglihatan di otak hanya berinteraksi dengan pulsa-pulsa listrik yang berasal dari retina. Jadi kalau pulsa-pulsa listrik itu mengalami distorsi, maka pusat penglihatan itu bakal salah dalam memahami penglihatan tersebut. Kefahaman yang disimpulkan oleh sel penglihatan itu sangat bergantung kepada kualitas jalur penglihatan mulai dari lensa mata, retina, saraf-saraf penglihatan sampai kepada sel-sel otak yang terkait dengan proses melihat itu.

Padahal, ketajaman lensa mata tidaklah terlalu tinggi. Misalnya, lensa mata kita tidak mampu melihat benda-benda yang terlalu kecil. Seperti pori-pori benda, bakteri, virus, sel, molekul, atom, dan apalagi partikel-partikel sub atomik seperti proton, neutron, dan elektron.
 
Lensa mata manusia juga hanya bisa menangkap benda-benda yang cukup besar. Namun, tidak terlalu besar. Jika terlalu besar, juga tidak bisa terlihat. Gajah di pelupuk mata misalnya, pasti malah tidak kelihatan. Jadi, yang sedang-sedang saja.
 
Belum lagi, melihat dalam kegelapan. Pasti juga tidak mampu. Atau sebaliknya, melihat di tempat yang terlalu terang, malah silau. Singkat kata, penglihatan kita begitu terbatasnya sehingga banyak hal yang tidak bisa kita pahami dengan hanya sekedar melihat.", lanjut ayah.

Aku mengangguk mantap. Aku mulai bisa mencerna ucapan ayah.

"Demikian pula, indera yang lain seperti penciuman, pendengaran, pengecap dan peraba. Mereka tidak kalah sering menipu kita. Jika suatu saat, kita ke rumah sakit, kita bakal membaui adanya aroma obat-obatan yang menyengat. Tapi jika kita berada di sana dalam waktu yang cukup lama, tiba-tiba kita tidak merasa membaui aroma yang menyengat lagi. Kenapa demikian? Karena hidung kita telah beradaptasi. Jadi ia telah menggeser pemahaman kita. Seakan-akan sudah tidak ada aroma obat lagi, padahal sebenarnya sensitivitas penciuman kita yang menurun karena sudah beradaptasi atau berkompromi.", jelas ayah.

Aku terdiam.

"Karena itu, percaya yang terlalu berlebihan kepada panca indera kita juga bisa menyebabkan kekeliruan dalam memahami suatu kenyataan.", ayah menegaskan.

Ayah kemudian berdiri.

"Tunggu sebentar, ada yang ingin ayah tunjukkan padamu.", ucap ayah.

Tanpa menunggu aku menjawab, ayah berjalan menuju dapur.

Aku duduk diam, termenung, mencoba meresapi setiap ucapan ayah. Hmm, kesadaran inderawi. Itu istilah yang sangat baru bagiku. Tapi sangat mengena. Memang benar, selama ini aku terpaku mengandalkan apa yang bisa ditangkap oleh panca indraku. Bahkan, saat belajar getaranpun, sesungguhnya aku tidak memahami benar mengapai itu bisa terjadi. Aku hanya melakukan apa yang ayah instruksikan, melatihnya berulang-ulang, kemudian jadilah seperti itu hasilnya. Aku bisa mendayagunakan secara lebih fungsi inderaku. Kepekaan kulitku bertambah. Ada kekuatan lain. Tapi aku tidak menyadarinya.

Aku merasakannya tapi belum bisa menyadarinya.

Dari jauh, aku melihat ayah membawa dulu mangkok di kedua tangannya. Mangkok sebelah kanan berwarna hijau, sedangkan mangkok sebelah kiri berwarna merah. Ayah semakin mendekat. Aku jadi bisa melihat isi di dalam kedua mangkok tersebut. Yang berwarna hijau aku lihat berisi air yang di dalamnya terdapat es batu seukuran dadu dalam jumlah yang cukup banyak. Air di dalamnya pasti berasa dingin. Sedangkan mangkok yang berwarna merah terlihat berisi air tanpa es batu.

Ayah lalu meletakkan kedua mangkok tersebut di depanku dan duduk kembali.

"Celupkan tangan kananmu dari ujung jari hingga pergelangan tangan pada air es di mangkok hijau itu nak", pinta ayah.

Aku menurut. Aku celupkan tangan kananku pada mangkok hijau itu. Terasa dingin di kulitku.

"Cukup.", ucap ayah. Kira-kira dua puluh detik sudah tanganku dicelupkan ke air es yang dingin. Tangan kananku terasa dingin. Apalagi dari ujung dari hingga ke pergelangan.

"Coba sekarang kamu celupkan pada air di mangkok merah itu", pinta ayah sambil menunjuk pada mangkok merah.

Aku menurut. Aku celupkan tangan kananku pada mangkok merah itu. Baru tiga perempat telapak tangan aku celupkan, aku sudah terkejut.

"Aaaaaahh!", aku berteriak karena terkejut. Secara reflek, aku tarik tangan kananku dari mangkok hijau itu.

"Panas sekali yah...!", ucapku. Tanganku secara reflek aku kibas-kibaskan untuk mengurangi rasa panas yang ada.

Ayah hanya tersenyum.

"Sekarang, coba kamu celupkan tangan kirimu dari ujung jari hingga pergelangan pada mangkok merah ini", tanya ayah kembali.

Dengan sedikit ragu, aku menurut. Tangan kiriku aku celupkan kesitu. Terasa airnya hangat. Eh, ini benar-benar air hangat. Sama sekali tidak panas. Kenapa bisa terasa panas oleh tangan kananku ya? Aku keheranan.

"Kok bisa yah?", tanyaku sambil tersenyum dengan wajah heran.

"Kamu lihat nak, kulit, sebagai indera perasa juga tidak kalah pembohongnya. Kalau kita berkali-kali meraba benda kasar, maka ketika kita meraba benda halus kepekaannya juga menjadi berkurang. Atau, kita mencelupkan tangan kita ke dalam air dingin beberapa waktu, kemudian ganti mencelupkannya ke air hangat. Maka, kita seperti merasakan mencelupkan tangan ke air panas. Kenapa demikian? Karena, kulit kita juga melakukan adaptasi dan kompromi terhadap lingkungannya. Ia juga bisa plin-plan di dalam menterjemahkan sesuatu.", jawab ayah.

"Kesadaran yang dibentuk hanya berdasarkan panca indera dapat menjebak kita dalam kekeliruan yang sangat mendasar. Panca indera tidak cukup digunakan untuk memahami kenyataan. Karena ternyata, kenyataan yang terhampar di sekitar kita berbeda dengan yang tertangkap oleh mata, telinga dan seluruh panca indera, apalagi oleh hati.", lanjut ayah.
 
Ayah menepuk pundakku.

"Nak, kesadaran inderawi adalah kesadaran yang paling rendah tingkatannya. Hanya anak-anak yang masih kecil saja yang bertumpu sepenuhnya kepada pemahaman panca inderanya untuk membangun pemahaman terhadap realitas di sekitarnya. Orang yang lebih dewasa pasti akan bertumpu pada kesadaran yang lebih tinggi dari sekadar itu. Jadi, kunci memahami tenaga adalah bangkitnya kesadaran baru dari kesadaran inderawi yang sudah ada.", ucap ayah.

"Tenaga adalah kesadaran. Ia adalah pemahaman.", lanjut ayah.

Aku tertunduk. Rasanya aku seperti mulai memahami sesuatu.





(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: Taufan on 17/08/2011 16:26
Speechless lah pokona mah  [top]
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 18/08/2011 16:29
Tembang Tanpa Syair - Bagian 12

Legenda Yang Baru Akan Dimulai

 

Aku melihat ayah berdiri, berjalan mendekati benda yang terbuat dari besi berwarna hijau seperti gagang pompa. Ayah membungkukkan badannya, kemudian mengambil dua buah, lalu berjalan kembali mendekatiku. Ayah berdiri tegak. Dua buah gagang pompa besi berwarna hijau itu dipegang di belakang pinggangnya dengan dua tangan. Kepalanya sedikit menengadah, keningnya agak sedikit berkerut, dan matanya mulai dipejamkan.

"Nak, dulu, saat ayah mempelajari ilmu ini, pematahan atau penghancuran benda keras polanya ya seperti tadi. Benda keras tersebut diletakkan pada satu alat penyangga, kemudian dipatahkan atau dihancurkan. Ada kekurangan dan kelebihan pada cara ini. Benda keras dalam keadannya yang seperti ini adalah benda diam atau sebut saja benda yang statis. Kamu memukul benda diam. Tentu saja pemusatan tenagamu, pendekatan langkahmu, teknik yang kamu gunakan, termasuk penyaluran tenaganya jauh lebih mudah. Kamu jauh lebih mudah menerapkan teknikmu pada benda mati yang statis.", ucap ayah sambil masih memejamkan mata.

"Tapi lawanmu itu bergerak. Lawanmu adalah gerakan.", ayah menoleh ke arahku sambil membuka matanya.

Raut wajahnya terlihat serius saat mengatakan ini. Serasa menembus ke sukma. Aku tertegun dengan pandangan mata ayah. Eh, bener juga ya, pikirku. Saat aku memukul dua beton cor tanpa sekat, aku bisa konsentrasi penuh, aku bisa mengatur tempo, jarak, ritme, dan memaksimalkan kekuatan. Tapi belum tentu aku bisa melakukan itu pada lawan yang bergerak. Aku reflek mengangguk.

"Selama ini yg selalu menjadi permasalahan dalam uji pematahan benda keras statis adalah efektifitasnya pada pertarungan sesungguhnya. Hampir tidak ada korelasi antara kemampuan pematahan benda keras statis dgn kemampuan tarung praktisi beladiri.", lanjut ayah.

Tangannya kini terlihat menimang-nimang dua gagang pompa besi berwarna hijau itu. Ayah tiba-tiba melemparkan satu gagang pompa tersebut ke udara. Gagang pompa itu terlihat berputar meninggi kira-kira tiga meteran, lalu mulai jatuh kembali akibat dari efek gravitasi bumi. Aku hanya melihat kepala ayah memandang tanpa berkedip pada gagang pompa yang dilemparkan itu, kemudian tangan ayah menebas dengan cepat menggunakan sisi telapak tangan kanannya pada saat gagang pompa tersebut mencapai ketinggian kepala ayah dengan jarak satu lengan dari tubuhnya.

TRAKKK!!!

Gagang pompa berwarna hijau itu patah jadi dua. Salah satu patahannya terlempar cukup jauh.

Aku melihat ayah kembali melemparkan gagang pompa yang satunya. Gagang pompa itu juga berputar di udara, meninggi kira-kira empat meteran. Lebih tinggi dari sebelumnya. Tidak seperti tadi, dimana mata ayah terlihat seperti elang yang ingin menyambar kelinci, fokus, tidak berkedip, tapi sekarang aku melihat ayah memejamkan mata, lalu menarik kaki kanannya sedikit ke belakang. Saat ketinggian gagang pompa tersebut mencapai kepala ayah, kaki kanannya bergerak cepat menendang dengan Tendangan Sabit, yakni tendangan melingkar dengan punggung kaki sebagai alat penyasarnya.

TRAKKK!!!

Tendangannya tepat mengenai gagang pompa sehingga patah jadi dua. Patahannya terlempar lebih jauh dari yang pertama. Aku terkejut. Bagaimana bisa ayah melakukan itu? Wajahku berbinar dengan rasa penasaran.

Ayah kemudian mengambil sebuah lagi gagang pompa berwarna hijau, membalikkan badan dan berjalan kembali ke arahku.

"Coba kamu patahkan gagang pompa dragon ini dengan satu serangan. Ayah nanti akan melemparkannya kepadamu. Bentuk serangannya terserah saja. Boleh seperti ayah tadi, menggunakan sisi telapak tangan, atau boleh dengan tendangan.", pinta ayah.

Aku mematuhinya.

Aku mundur dua langkah, lalu memasang kuda-kuda sikap pasang pesilat. Kaki kiri di depan, sedikit ditekuk, kaki kanan di belakang juga sedikit di tekuk. Jarak kedua kaki tidak terlalu lebar, juga tidak terlalu pendek. Senyaman aku berdiri saja. Aku berencana akan mematahkan gagang pompa besi itu dengan tebasan sisi telapak tangan kananku karena aku berpikir kalau itulah yang paling mudah. Konsentrasi lebih aku arahkan pada sisi telapak tanganku ini.

"Bersiaplah!", ucap ayah.

Aku mengangguk siap.

Ayah kemudian melemparkan satu gagang pompa berwarna hijau ke arahku perlahan. Aku hanya melihat putarannya mengarah ke tubuhku. Uuh, bagaimana ini? Aku kesulitan menentukan titik pukul dari benda yang bergerak seperti ini. Titik pukul sasarannya selalu berubah-ubah. Gagang pompa itu mendekat. Tanpa berpikir lagi, aku langsung menebas tangan kananku mengarah ke gagang pompa tersebut. Tangan kananku terasa mendapat benturan, tapi aku tidak tahu dengan bagian yang mana dari gagang pompa itu.

TAKKK!!!

Gagang pompa itu terpental cukup jauh.

Tapi ia tidak patah!

"Ehhh..!", aku terkejut.

Aku melihat ayah tersenyum.

"Kamu lihat nak, sungguh tidak mudah untuk menyerang sasaran yang bergerak. Apalagi kalau kamu berorientasi pada pikiran. Akan ada banyak kesalahan pada penerapan. Akibatnya kamu jadi tidak tepat pada sasaran. Tempo, ritme, dan kekuatan seranganmu menjadi kacau. Tidak mudah bukan?", ucap ayah.

Ah benar sekali! Ini memang sangat berbeda dibanding saat aku memukul dua beton cor tanpa sekat tadi. Tadi, aku hampir kesulitan melihat titik sasarannya. Kalaupun terlihat, gerakan benda yang berubah-ubah membuat titik sasaran juga seolah seperti berubah. Akhirnya membuat timbulnya keragu-raguan apakah seranganku bakal mengena atau tidak. Tepat atau tidak. Keragu-raguan yang berbeda dibanding saat aku memukul beton cor.

"Setelah nanti kamu jalani latihan olah nafas untuk Power, ayah akan mengujimu dengan dua pola yakni benda mati statis, dan benda mati dinamis.", lanjut ayah.

"Duduklah..", pinta ayah sambil ayah duduk terlebih dahulu.

Aku menurut.

Aku duduk berhadapan kembali dengan ayah.

"Kamu tahu, mengapa ayah ingin agar kamu melakukan dua pola seperti itu?", tanya ayah.

Aku menggeleng.

"Pada pola yang pertama, yang menjadi pakem dari yang sudah ada. Ia merupakan bagian dari sesuatu yang harus kamu jalani dan berguna untuk menguji hasil latihanmu. Karena tidak mungkin mengujikan kekuatan teknik pada tubuh manusia.. Salah satu kegunaan lainnnya adalah untuk mengukur sejauh mana kemampuan tahap awalmu. Seolah ingin menjelaskan kalau yang tidak bergerak saja membutuhkan kekuatan, teknik, ketepatan waktu, tempo, dan sasaran yang pas. Apalagi yang bergerak. Tentu akan lebih sulit lagi. Pola itu tetap memiliki manfaat.", lanjut ayah.

"Sedangkan pola yang kedua, berguna untuk menciptakan kondisi pertarungan yang sebenarnya, dengan penerapan teknik dan power yang sebenarnya, yang menyesuaikan dengan sasaran, arah, dan bentuk. Kamu akan belajar banyak hal dengan melakukan pola yang kedua ini.

Setidaknya, bisa didapat suatu korelasi yg lebih baik antara kemampuan tenaga dengan kemampuan beladirimu. Sebagai contoh, nanti ayah akan melemparkan sepuluh sasaran dalam waktu satu menit ke arahmu. Kamu harus bisa mematahkannya atau menghancurkannya. Dari situ nanti akan bisa dilihat tingkat kemampuan penerapan hasil olah nafasmu dalam suatu pertarungan. Ini jauh lebih lebih baik dibanding uji pematahan dua beton cor statis.

Ayah nanti akan melemparkan sepuluh sasaran dalam waktu satu menit ke berbagai arah atas, bawah, kiri, kanan, tengah, dan arah yang lainnya, kamu nanti boleh mematahkannya dengan berbagai teknik pukulan dan tendangan dengan menggunakan bermacam anggota tubuh misalnya pisau tangan, pukulan, sodokan, ujung siku, punggung siku, kaki, dan sebagainya. Kamu jadi terkondisikan untuk mengerahkan tenaga pada sasaran yg bergerak. Mencoba melatih rasa, ritme, pola, getaran, power, dan tempo yang pas pada suatu serangan.

Dari sini juga bisa terlihat tingkat staminamu dalam pertarungan yang sesungguhnya, terutama pada seberapa cepat staminamu habis dalam suatu pertarungan dan seberapa cepat tingkat pemulihannya.

Ayah juga sudah merencanakan untuk melakukan beberapa sesi uji, misalnya pada sesi pertama sepuluh sasaran per menit kemudian istirahat sepuluh sampai dua puluh detik, sambil kamu berusaha memulihkan staminamu dengan suatu teknik pemulihan stamina, kemudian dilanjutkan sesi berikutnya yakni dua puluh sasaran per menit. Lama kelamaan, beban sasaran akan diperberat. Pada akhirnya, ini akan membentuk cara bertarungmu yang sesungguhnya. Kamu akan mendapatkan korelasi antara tata gerak, olah nafas, dan pematahan benda keras secara maksimal. Kamu akan teruji!", jelas ayah.

"Ini akan menjadi legenda...!", tegas ayah.

Aku melihat mata ayah berbinar. Aku terkejut, tak kusangka ayahku sampai berpikir ke arah ini. Terasa sekali semangatnya yang membara. Seperti merasuk ke jiwaku. Darahku seperti mendidih. Aku ikut terbawa oleh keyakinan ayah. Ya Allah, doakan aku mampu melewati semua ini.

 

 

(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: samber gledek on 19/08/2011 13:29
Sambil menyimak sebetulnya ini adalah bagian dari pelontaran TD yang sebenarnya. Ketika benda bergerak yang akan kita serang maka mungkin TD yang dikeluarkan tinggal 25% karena yang 75% dipakai untuk berbagai gerakan yang lain..

Mangstab mas...dilanjut
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 23/08/2011 14:32
Tembang Tanpa Syair - Bagian 13

Ambang Batasmu Adalah Kesadaran Rasional

 
Aku duduk terdiam. Batinku serasa berkecamuk. Aliran darah ini serasa semakin cepat, membuat detak jantungku meningkat. Apa yang sudah ayah jelaskan, peragakan, semuanya membuka cakrawalaku belajar silat selama ini. Aku tertegun, ternyata masih banyak hal yang belum aku mengerti. Secara reflek kepalaku menunduk.
 
"Bangunlah..., ada yang ingin ayah tunjukkan padamu.", pinta ayah. Ucapannya menyadarkan lamunanku.
 
Aku melihat ayah berjalan menuju paviliun, membuka pintu paviliun, dan kemudian masuk. Beberapa saat kemudian ayah keluar dengan membawa tiga buah senjata di tangannya. Aku melihat ayah membawa sebilah golok, sebuah toya, dan sepotong kayu tipis seperti pedang. Ayah berjalan mendekatiku. Kira-kira jarak satu meteran, ayah membungkuk untuk kemudian meletakkan toya dan sepotong kayu tipis seperti pedang di bawah. Di tangannya kini hanya ada sebilah golok.
 
Golok itu pendek, berkilauan terkena cahaya matahari. Masih terlihat ketajamannya.
 
"Nak, kamu tahu apa ini?", tanya ayah sambil menimang-nimang golok tersebut dengan kedua tangannya. Pandangan matanya melihat pada golok tersebut.
 
"Golok yah...", jawabku.
 
"Kamu tahu fungsinya?", tanya ayah. Pandangan mata ayah masih memandang golok tersebut. Kini golok tersebut berada di dalam genggaman tangan kanan ayah. Sementara tangan kirinya mengusap sisi terlebar golok tersebut dengan tiga jarinya dari batang golok hingga ujungnya.
 
"Banyak yah. Bisa untuk menyembelih hewan, bisa untuk memotong sesuatu, bisa juga untuk menjadi senjata di dalam suatu pertarungan, atau hal-hal lain yang membutuhkan kekuatan dan ketajaman dari golok tersebut", jawabku mantap.
 
"Benar nak. Itu adalah beberapa fungsi dari golok. Kalau kamu masih mengandalkan kesadaran inderawi ketika melihat golok, maka itulah yang umumnya akan ditangkap oleh kebanyakan orang.
 
Ayah sudah katakan sebelumnya, bahwa kesadaran inderawi adalah tingkat kesadaran terendah. Kalau kau bertumpu sepenuhnya terhadap kesadaran inderawi dalam membangun pemahaman terhadap realitas di sekelilingmu, maka itu menggambarkan kualitas jiwa yang terendah.", ucap ayah.
 
Pandangannya kini menatapku.
 
"Adakah yang salah dengan itu yah?", tanyaku.
 
"Tidak ada yang salah dengan kesadaran inderawi nak. Ia menempati porsinya sendiri sebagai cikal bakal suatu proses tumbuh. Tapi ia harus tetap kamu lewati nak.", jawab ayah serius.
 
Golok yang sudah digenggam di tangan kanannya diturunkan. Tangan kanannya kini menjuntai ke bawah dengan santai. Sementara tangan kirinya menjulur ke depan dengan seluruh ujung jari terbuka dan menghadap ke arah dadaku. Jarak ujung jari ayah sekitar tiga puluh sentimeter tepat di depan dadaku.
 
"Kamu lihat, apakah tangan ayah bisa menjangkau tubuhmu?", tanya ayah.
 
Aku menggeleng.
 
"Tidak sampai yah.", jawabku. Jelas tidak mungkin sampai, karena ada ruang kosong sekitar tiga puluh sentimeter dari ujung jari ayah yang menghadap ke dadaku dengan tubuhku.
 
"Bagaimana kalau sekarang", tanya ayah.
 
Aku melihat ayah menggerakkan tangan kanannya yang menggenggam golok sedikit melingkar ke arah bahu kiriku. Sisi golok itu kini menempel di bahu lengan kiriku. Ujung goloknya melewati tubuhku.
 
"Bagaimana kalau ayah tusukkan golok ini dengan posisi dan arah yang sama dengan tangan kiri ayah?", tanya ayah.
 
Aku terkejut.
 
"Eh, Aa pasti kena yah.", jawabku.
 
"Bagaimana supaya kamu tidak kena?", tanya ayah kembali.
 
"Aa harus mundur, menjauhi dari jarak dan arah serangan golok. Mundur satu langkah sudah cukup.", jawabku.
 
"Benar nak. Cobalah kamu mundur.", pinta ayah.
 
Aku menurut, dan mundur satu langkah. Aku melihat kini ujung golok ayah dan tubuhku semakin menjauh. Kira-kira sekitar tiga puluhan sentimeter.
 
Ayah tersenyum.
 
Aku melihat ayah membungkuk, lalu meletakkan goloknya disamping toya. Kini ayah mengambil toya dengan tangan kanannya, lalu menggenggam ujungnya. Ayah kemudian menusukkan perlahan toya tersebut ke arah yang sama dengan arah golok. Ujung toya itu mengenai dadaku.
 
"Kalau ini?", tanya ayah.
 
"Kena yah. Karena toya lebih panjang dari golok. Mundur satu langkah tidak akan cukup. Aa harus mundur satu langkah lagi, atau menghindar", jawabku.
 
"Benar nak, itulah yang harus kamu lakukan saat berhadapan dengan senjata. Kamu harus mengetahui sifat serangan senjata tersebut, agar kamu bisa dengan benar keluar dari jangkauan senjata tersebut.", lanjut ayah.
 
Aku mengangguk.
 
Ayah kemudian menurunkan tongkatnya hingga salah satu ujungnya menempel ke tanah. Ayah menggerakkan tangan kanannya ke kiri, yakni ke samping kanan tubuhku, hingga ke samping kiri tubuhku setengah lingkaran sehingga ujung tersebut menggores permukaan tanah dan menyebabkan terjadinya ceruk yang tidak terlalu dalam. Terlihat cerukan tersebut membentuk goresan setengah lingkaran.
 
"Kalau kamu perhatikan, ayah sama sekali tidak menggeser posisi ayah. Tapi ayah menggunakan golok dan toya ini sebagai kepanjangtanganan ayah agar bisa menyentuhmu. Senjata bisa memperpanjang jarak, bisa juga menambah daya kekuatan. Sejauh mana kamu memahami pengetahuan dan sifat dari senjata itu, maka potensi untuk keluar dari jangkauannya atau bahkan mematahkannya akan semakin besar. Demikianlah arti senjata secara inderawi.", ucap ayah.
 
Aku kembali mengangguk.
 
"Ambil golok itu. Lalu mundur tiga langkah.", pinta ayah.
 
Aku menurut. Aku berjalan mendekati golok, lalu membungkukkan badan, mengambil golok dengan tangan kananku, kemudian mundur kira-kira tiga langkah. Pada saat yang bersamaan, aku melihat ayah mengambil kembali dua buah besi yang berbentuk seperti gagang pompa berwarna hijau.
 
"Bersiaplah. Patahkan kembali gagang pompa besi ini...", ucap ayah.
 
Aku bersiap. Tangan kananku yang menggenggam golok juga telah siap. Kaki kananku aku tarik sedikit ke belakang. Entah kenapa aku jadi lebih percaya diri saat menggenggam golok ini. Tidak seperti saat aku berusaha menebas dengan sisi telapak tanganku sebelumnya.
 
Aku melihat gagang pompa itu sudah dilempar oleh ayah. Gagang pompa itu mendekatiku, dengan berputar cukup keras. Setelah aku yakin sudah masuk pada jarak serang, tanpa ragu aku sabetkan golok di tanganku menyongsong gagang pompa tersebut. Aku merasakan terjadinya benturan antara golok dengan gagang pompa.
 
TRAAANG!!!
 
Aku melihat gagang pompa itu patah jadi dua. Salah satu patahannya terlempar cukup jauh. Meski aku sendiri tidak yakin bagian mana dari gagang pompa itu yang berhasil aku kenai, tapi kenyataannya gagang pompa itu telah patah jadi dua. Tentunya berkat golok ini.
 
Aku melihat ayah tersenyum.
 
"Sekali lagi..!", teriak ayah.
 
Gagang pompa besi berwarna hijau itupun melayang kembali mendekati tubuhku. Lebih cepat dan keras dari sebelumnya. Putarannya sangat acak. Meski demikian, aku tetap yakin pada diriku. Aku tebaskan kembali golok itu menyongsong gagang pompa besi yang kedua.
 
TRAAANG!!!
 
Gagang pompa besi yang baru dilemparkan oleh ayah kembali patah jadi dua. Salah satu potongannya terlempar di sepotong kayu yang berbentuk seperti pedang.
 
Aku tersenyum. Golok ini bertugas dengan baik.
 
"Kemarilah...
 
"Duduklah kembali...", pinta ayah.
 
Aku menurut. Aku berjalan mendekat.
 
Aku melihat ayah duduk. Akupun mengikutinya.
 
"Kamu lihat nak, dengan menggenggam golok, maka kepercayaan dirimu bertambah, keyakinanmu terhadap keadaan yang membahayakan keselamatan jiwamupun bertambah. Kamu tidak ragu untuk menyerang gagang pompa yang ayah lemparkan kepadamu. Meskipun kamu tidak tahu bagian mana yang bakal kena, tapi kamu tetap yakin. Karena kamu sadar sepenuhnya kalau tanganmu tidak akan cedera saat melakukan tebasan tadi. Kamu percaya pada golok itu sebagai perpanjangan tanganmu. Kamu sudah melewati tahap kesadaran inderawi pada saat itu.", ucap ayah.
 
Aku mengangguk. Eh, benar sekali yang diucapkan ayah.
 
"Seseorang yang telah memiliki banyak pengalaman, dan sudah makan asam garam kehidupan bakal berusaha memahami realitas kehidupan ini dengan melakukan eksplorasi lebih jauh, daripada sekadar bertumpu pada panca indera. Mereka akan mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang lain. Bahkan, akan menyimpulkan dari berbagai penelitian yang berkait dengan masalah tersebut.
 
Khasanah pengalaman manusia dalam menghadapi persoalan hidupnya itulah yang kemudian disebut sebagai ilmu pengetahuan. Ia dikembangkan berdasarkan rasionalitas persoalan yang berkembang dengan kebutuhan kehidupan manusia.
 
Maka, orang yang telah menggunakan berbagai khasanah keilmuan untuk memahami realitas hidupnya, ia telah mencapai kesadaran tingkat kedua yaitu Kesadaran Rasional.", lanjut ayah.
 
"Kesadaran Rasional?", tanyaku.
 
"Benar nak, kesadaran rasional.", jawab ayah.
 
"Pada saat kesadaran seperti itu telah bangkit, maka ia tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada hasil pengamatan panca inderanya. Melainkan membandingkan dengan hasil-hasil pengamatan yang lain, Misalnya melalui alat-alat bantu yang lebih canggih. Atau analisa-analisa matematis dan perhitungan keilmuan lainnya. Ia, karenanya lantas mendapatkan kesimpulan yang lebih 'benar' dan lebih mendekati kenyataan dibandingkan sekadar menggunakan panca indera.
 
Golok, dan toya ini adalah salah satunya. Termasuk pengetahuan yang didapat darinya, yakni timbulnya keberanianmu untuk menebas gagang pompa tersebut.", lanjut ayah.
 
Aku mengangguk. Aku mulai mengerti penjelasan ayah. Selama aku sekolah, aku sudah sering menggunakan alat-alat bantu yang cukup modern di laboratorium sekolahku untuk melakukan suatu penelitian. Sejauh ini, aku hanya bersikap biasa-biasa saja. Menganggap semua alat-alat tersebut ya sekedar alat-alat saja, tapi tidak memahami makna dibalik terbentuknya alat-alat itu.
 
"Sebagai contoh. Kalau kita menggunakan mata untuk mengamati sebatang logam, maka kita akan mengatakan bahwa logam itu adalah benda padat yang tidak berlubang-lubang, tidak tembus penglihatan. Akan tetapi jika kita menggunakan sinar X atau mikroskop elektron untuk 'melihat' sepotong logam itu, kita bakal melihat sesuatu yang berbeda, bahwa logam tersebut bukanlah benda yang 'terlalu padat'. la benda yang berpori-pori dan ‘keropos’. Benda yang ternyata berisi ruang kosong yang amat banyak.
 
Contoh lainnya, kita tidak bisa melihat janin di dalam rahim seorang ibu, dengan mata telanjang. Tapi, kini kita bisa 'melihatnya' dengan menggunakan alat bantu, USG. Dengan demikian, pemahaman mengenai pekembangan janin di dalam rahim menjadi jauh lebih baik ketimbang hanya sekadar menggunakan mata telanjang, atau menggunakan teropong suara yang ditempelkan ke perut ibu yang sedang hamil, seperti dilakukan para bidan zaman dulu.", ucap ayah.
 
Aku melihat ayah menengadah, wajahnya dihadapkan pada langit.
 
"Atau, ketika seseorang berusaha memahami tentang langit. Tentu saja, pemahamannya akan menjadi jauh lebih baik dan maju ketika dia belajar ilmu astronomi yang menggunakan banyak alat bantu berupa rumus matematis maupun teleskop, dibandingkan dengan hanya menggunakan mata telanjang untuk memahami bintang-bintang dan benda langit yang berjumlah triliunan.
 
Pendek kata, ketika kesadaran rasional itu muncul, dan kemudian dibarengi dengan menggunakan pendekatan ilmiah dan rasional, maka seseorang akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang alam semesta dan lingkungan hidupnya. Tiba-tiba seseorang akan menyadari betapa canggih dan hebatnya alam semesta tempatnya hidup. Dia telah memperoleh kesadaran baru terhadap realitas yang terhampar di sekitarnya.
 
Pada tingkat kesadaran rasional ini, seseorang tiba-tiba bisa 'melihat' lebih besar dan luas dari apa yang dilihat oleh matanya. Ia bisa 'mendengar' lebih tajam dibandingkan dengan pendengaran telinganya. la bisa ‘mencium’ lebih peka daripada penciuman hidungnya. Dan bisa merasakan lebih halus daripada kehalusan indera pengecap dan perabanya.", lanjut ayah.
 
Aku merasakan kebenaran ucapan ayah. Saat dulu aku mengamati sel dengan menggunakan mikroskop pada saat pelajaran Biologi di sekolahku, mataku bisa melihat bentuk sel dengan benar. Termasuk ketika pelajaran Fisika, aku melihat bentuk gelombang apakah transversal atau longitudinal, aku menggunakan Osciloscope. Atau saat melihat bintang saat studi tour tahun kemarin di Boscha, aku menggunakan telescope agar mataku bisa melihat bintang. Tapi kalau tidak menggunakan mikroskop, sel tumbuhan itu sama sekali tidak terlihat. Kalau tidak menggunakan Osciloscope, bentuk gelombang itu tidak akan terlihat. Kalau tidak menggunakan telescope, bintang itu tidak akan terlihat dengan jelas.
 
"Nak, kesadaran rasional akan membuat seseorang melihat dunia ini dengan berbeda. Bukan hanya seperti yang ia amati selama ini. Banyak hal yang tadinya tidak terdeteksi, kini bermunculan. Ia telah bisa 'melihat', 'mendengar', 'mencium' dan sekaligus 'merasakan' dunia, dengan menggunakan rasionya atau akalnya berdasarkan pengetahuan yang ada. Disitulah teknologi muncul. Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran...", ucap ayah.
 
"Kesadaran rasional adalah ambang batas tertinggi dari fungsi inderawi...", lanjut ayah sambil matanya kembali menatapku.
 
Aku mengangguk, memahami maksud dari ucapan-ucapan ayah. Aku mulai mengerti, kalau ternyata memang banyak hal-hal hebat yang dihasilkan dari kesadaran jenis ini. Saat dimana panca indera yang terbatas mulai dibantu dan terbantu dengan alat-alat dan teknologi modern.
 
"Dan ambang batas itu harus kamu lewati agar masuk pada tahap selanjutnya ...", tegas ayah.
 
Aku tertegun. Keningku berkerut.
 
"Ambang batas? Tahap selanjutnya?", tanyaku.
 
Ayah tidak menjawab. Ayah kemudian mengambil sepotong kayu tipis yang berbentuk seperti pedang di samping kanannya dengan tangan kanannya.
 
"Ini adalah pedang kayu nak. Tipis. Kalaupun kamu benturkan dengan gagang pompa itu, niscaya yang patah malah pedang kayu ini. Kekuatan ragawi dari pedang kayu ini tidak sekuat seperti gagang pompa itu. Itulah yang akan kamu tangkap dari fungsi inderawimu, dan itulah juga yang akan ditafsirkan dari kesadaran rasionalmu.", jawab ayah.
 
Aku mengangguk.
 
Ayah mengambil potongan gagang pompa yang kebetulan jatuh di dekat pedang kayu tersebut. Ayah kemudian berdiri, lalu melemparkan potongan gagang pompa tersebut ke udara. Aku melihat gagang pompa itu meninggi sekitar empat meteran. Mata ayah tidak berkedip menatap gagang pompa yang masih melayang di udara tersebut. Tiba-tiba ayah menebasnya dengan pedang kayu tipis.
 
TRAKKK!!
 
Aku terkejut.
 
Potongan gagang pompa tersebut patah jadi dua! Uuh, bagaimana bisa? Secara material, kayu tipis seperti itu tidak akan bisa mematahkan gagang besi!
 
Aku melihat ayah tersenyum.
 
"Ada satu lagi yang menarik nak...", ucap ayah.
 
Aku melihat ayah menancapkan pedang kayu tipis itu ke tanah, lalu pandangannya melihat ke sekeliling. Seperti ada yang sedang dicari oleh ayah. Ayah kemudian mendekati sebatang rumput yang cukup panjang. Memetiknya. Lalu kembali ke tempat awal. Sambil berjalan, ayah juga terlihat mengambil sebuah potongan gagang pompa yang berada tidak jauh dari situ. Di tangan kanannya kini terdapat sepotong rumput yang panjangnya kira-kira dua puluh sentimeter dan di tangan kirinya kini terdapat sepotong patahan gagang pompa besi.
 
Aku melihat tangan kiri ayah memegang patahan gagang pompa, sikunya agak ditekuk, lalu diturunkan sedikit di bawah dadanya dengan jarak sekitar empat puluh sentimeter. Sedangkan tangan kanannya memegang sepotong rumput yang salah satu ujungnya ditekand dengan ibu jari dan jari telunjuk yang ditekuk sedemikian rupa. Aku melihat ayah menempelkan rumput tersebut di atas patahan gagang pompa. Wajahnya terlihat serius. Sesaat kemudian ayah menghirup nafas ringan, lalu mengangkat rumput itu meninggi sekitar dua puluh sentimeter, dan membenturkannya ke patahan gagang pompa yang dipegang oleh tangan kiri ayah.
 
TRAKKKKK!!
 
Patahan gagang pompa itu kembali patah!
 
Aku sangat terkejut.
 
"Ini tidak mungkin!", gumamku dalam hati. Bagaimana bisa? Sepotong rumput yang tampak lemah seperti itu bisa mematahkan sepotong gagang pompa pendek? Aku heran, dan juga terkejut. Aku hanya melihat ayah kembali tersenyum. Nampaknya ia memahami kebingunganku.
 
"Kamu lihat nak, bahkan sepotong rumput ini bisa menjadi sesuatu yang berbeda. Kesadaran inderawimu tidak akan bisa menerima ini, termasuk juga kesadaran rasionalmu akan menolak hal ini. Pengetahuan ilmiahmu akan membantah keras kejadian tadi. Mereka adalah ambang batasmu.", ucap ayah.
 
"Ba...ba..bagaimana ayah melakukannya yah?", tanyaku keheranan. Jujur aku bingung. Dan memang benar, nalarku tidak bisa menerima keadaan tadi. Kalau saat ayah mematahkan dengan sisi telapak tangannya atau tendangannya, aku masih bisa menerima. Kalau tadi aku mematahkannya dengan golok di tanganku, aku juga bisa menerimanya. Tapi penerimaanku mulai goyah saat melihat bagaimana pedang kayu yang tipis bisa menebas sepotong besi. Aku jauh lebih tergoyahkan saat sepotong rumput bisa mematahkan sepotong gagang pompa yang sudah terpotong pendek.
 
Ayah berjalan mendekatiku, lalu memberikan rumput itu padaku. Kedua tangannku agak bergetar menerima rumput itu. Benar. Itu hanya rumput biasa. Tidak ada yang istimewa darinya. Aku merabanya, mengamatinya dari ujung ke ujung, pada setiap bagiannya. Uuh, tidak ada yang istimewa. Ini benar-benar rumput. Sama dengan yang setiap hari aku lihat. Sama dengan yang saat ini sedang aku duduki. Ini memang rumput!
 
Ayah kemudian menyentuhkan ujung telunjuk tangan kanannya di dadaku.
 
"Semua karena ini nak...", ucap ayah. Sambil ujung jari tersebut diketuk-ketukkan perlahan di dadaku.
 
"Semua karena pemahaman. Karena kesadaran. Kesadaran. Lewatilah ambang batasmu itu nak...", tegas ayah.
 
Aku kembali tertegun. Entah mengapa batinku serasa bergetar, bergelora. Entah mengapa juga pikiranku jadi lebih terang benderang saat ini. Aku jadi mulai bisa menangkap benang merah dari latihan ayah terhadapku selama ini.
 
"Bisalah merasa ... jangan hanya merasa bisa...", lanjut ayah.
 
 
 
 
(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: samber gledek on 24/08/2011 11:10
Pemahan ilmu lewat cerita ternyata lebih pas ..dilanjut mas..
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 24/08/2011 14:32
Tembang Tanpa Syair - Bagian 14

Ada 'Rasa' Di Dalam Rasa

 
"Raport sudah dibagikan. Mulai besok, kalian libur selama dua minggu. Masuk kembali tanggal sebelas maret ya. Daftar ulang mulai dari tanggal dua. Ingat, jangan lupa untuk mengisi liburan kalian dengan kegiatan yang berguna. Selamat siang anak-anak, dan selamat menjalani liburan!", ucap pak Endang. Beliau adalah guru Fisika di sekolahku, sekaligus juga sebagai wali kelasku.
 
"Selamat siang paaaaak...!", jawab anak-anak serempak dengan semangat.
 
Setelah itu, suasana hening sejenak. Aku melihat pak guru membereskan buku-buku diatas mejanya, lalu berjalan keluar ruangan kelas.
 
"Horeeeee... libuuur panjaaaaang! Liburr panjaaaang! Libuuuuur panjaaang!", tiba-tiba Herman berteriak dengan lantang. Persis setelah pak guru keluar dari ruangan kelas. Ia kemudian naik ke atas meja, lalu menari-nari dengan riangnya. Herman terlihat sedang menirukan gaya berjoget Jaipongan. Tapi tidak sama persis, bahkan gerakannya parah sekali. Aku tertawa kecil melihatnya. Teman-teman yang lainnya juga demikian. Risa, yang terkenal cerewet juga ikut tertawa lebar melihat gerakan-gerakan Herman. Tapi Herman cuek saja. Ia tetap saja bernyanyi dengan gerakan Jaipongan semaunya.
 
 
Hari ini adalah hari terakhir aku belajar di kelas dua. Besok sudah liburan. Ah, tak terasa sudah aku melewati kelas dua ini dan bersiap masuk ke kelas tiga. Oh iya, aku akan menempati kelas 3 IPA 2 nanti. Letak kelas baruku ada di ujung tangga pada lantai dua bangunan baru. Aku masuk tiga besar, dan ditempatkan secara otomatis oleh wali kelasku pada kelas IPA. Aku sendiri tidak menolaknya.
 
Aku melirik Andi, teman duduk di sampingku. Eh buku-bukunya sudah dirapihkan.
 
"A, gue cabut dulu yaa..! Udah ditunggu nyokap nih...", ucap Andi kepadaku.
 
"Ok Ndi, hati-hati ya... Met liburan yaaa!", jawabku.
 
"Iya, met liburan juga ...! Eh, yayangmu dateng tuh...", ucap Andi. Pandangan matanya mengarah ke pintu kelas. Aku spontan menoleh, dan memang benar, aku melihat Dewi sedang berdiri di pintu kelas.
 
"Ciaooo!", ucap Andi. Ia langsung berdiri dari tempat duduk dan berjalan cepat menuju pintu keluar kelas. Langkahnya lebar sekali. Ia kemudian terlihat menyapa Dewi di pintu.
 
"Dew, ditungguin Aa tuh...", ucap Andi dengan cukup keras. Matanya melirik ke arahku.
 
Dewi tidak mempedulikannya. Ia berjalan masuk dan mendekatiku. Dewi kemudian duduk disamping tempat dudukku. Dewi berkulit sawo matang, muka oval, dan cukup manis. Ia kemudian memukul lengan kiriku dengan lembut.
 
"Gimana? Dapet rangking ga?", tanya Dewi.
 
"Alhamdulillah Dew.", jawabku.
 
"Iiiiih kamu pinteeeer siiih!", ucap Dewi. Ia mencubit lengan kiriku dengan cukup keras.
 
Aku meringis sambil menggerakkan tangan kananku untuk mengelus-elus bekas cubitan Dewi di lengan kiriku.
 
"Awww.. kok dicubit sih? Sakit tau!", ucapku dengan masih meringis.
 
"Kalau kamu sih gimana?", tanyaku sambil tertawa kecil.
 
"Hmmmm... Seperti biasa ... Ngga dapet! Hehehehe", jawab Dewi semangat. Ia menatap ke arahku.
 
"Dasar!", ucapku sambil berusaha untuk membalas dengan menjitak kepalanya. Tapi jitakan yang memang tidak kena, hanya sekedar bentuk gerakannya saja.
 
Ia kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi.
 
"Liburan nanti mau kemana A?", tanya Dewi dengan lembut. Matanya menatap wajahku.
 
Uuh, aku jadi grogi. Kelembutan ini benar-benar membuatku grogi.
 
Ingatanku melayang pada awal kali kamu bertemu dan berkenalan.
 
***
 
Jujur, aku memang suka dengan gadis ini. Dan kelihatannya dia juga suka denganku. Perkenalan kami tidak sengaja, ketika ada acara kegiatan sekolah saat masa orientasi siswa baru. Aku diminta jadi bagian dari tim keamanan sekolah pada kegiatan tersebut. Saat itu Dewi belum aku kenal dengan baik. Maklum, jumlah murid di sekolahku sangat banyak. Apalagi Dewi lain kelas, dan aku orangnya agak tertutup. Meski aku mengetahuinya pun mungkin hanya sebatas kenal muka tapi tidak kenal nama. Saat aku sedang melakukan inspeksi mendadak pada satu kelompok siswa baru yang sedang ditatar, aku melihat ada seorang gadis yang sedang duduk dengan wajah yang terlihat pucat. Ia tampak kelelahan. Aku kemudian mendekatinya. Jarak kami sekitar dua meteran.
 
"Eh, kamu sakit?", tanyaku.
 
Gadis itu diam saja. Wajahnya terlihat semakin pucat. Aku kenal wajahnya, tapi tidak tahu namanya.
 
"Ya sudah, ikut gue aja dulu ke ruang kesehatan yuk?", pintaku.
 
Gadis itu mengangguk. Ia bangun dari tempat duduknya. Berusaha untuk berjalan. Tapi baru berjalan satu langkah, ia sudah mulai lunglai. Tangannya meraih ujung meja dan berpegangan disitu. Ia hampir terjatuh. Secara reflek aku memegangnya, dan berusaha memapahnya menuju ruang kesehatan. Tangan kanannya aku arahkan ke bahuku, lalu aku memapahnya sambil berjalan menuju ruang kesehatan. Terasa lemah sekali.
 
Ruang kesehatan itu berada di depan ruang guru. Berukuran empat kali lima meter. Cukup besar memang. Masih terawat, dan memiliki pendingin sehingga terasa cukup nyaman. Di dalamnya terdapat dua buah ranjang standar untuk pasien dengan sprei berwarna putih. Ada juga dua lemari untuk obat-obatan dan alat-alat kesehatan lainnya. Temboknya dicat dengan warna putih. Diantara dua ranjang terdapat sekat dengan kain putih.
 
Aku memasuki ruang kesehatan. Pandanganku menyapu ke sekeliling, berusaha mencari tempat yang baik untuk gadis ini. Di dalamnya terlihat ada dua orang siswa baru yang sedang duduk. Mereka juga tampak kelelahan.
 
"Kamu tiduran saja di ranjang itu ya..", ucapku.
 
Gadis itu mengangguk.
 
Aku memapahnya mendekati ranjang ruang kesehatan yang letaknya paling dekat. Gadis itu kemudian merebahkan tubuhnya disitu. Aku mengatur posisi bantal putih agar kepalanya nyaman saat rebahan. Kemudian berjalan menuju ujung ranjang untuk melepas sepatunya, agar ia lebih nyaman. Tanganku mulai dengan membuka ikatan tali sepatunya. Sesekali aku mencuri lirik pada wajahnya. Meski sedang sakit, ia terlihat manis. Gadis itu tersenyum. Ia tahu aku mencuri lirik pada wajahnya. Aku menjawab senyum. Hatiku jadi dag dig dug. Tanganku sudah selesai membuka ikatan tali sepatu kanannya. Perlahan aku menarik sepatunya. Ia terlihat meringis.
 
"Sakit?", tanyaku dengan kening aku kerutkan seolah ikut merasakan sakit.
 
Gadis itu menggeleng. Ia tersenyum.
 
"Nggak...", jawabnya perlahan.
 
Aku melanjutkan untuk membuka ikatan sepatu di kaki kirinya. Mencoba melepas sepatu kirinya perlahan, khawatir membuatnya meringis lagi. Sesekali, aku masih mencuri lirik pada wajahnya.
 
Aku meletakkan sepatunya dibawah ranjang.
 
"Sepatunya disini ya...", ucapku sambil menunjuk ke arah sepatu di bawah ranjang.
 
"Iya, terima kasih ya... Kamu baik...", ucapnya lirih. Matanya menatapku. Ini pertama kalinya pandangan mata kami beradu. Hatiku benar-benar dag dig dug tak karuan. Ia benar-benar manis.
 
"Sa.. sama-sama ya. Terima kasih juga ...", ucapku dengan agak grogi.
 
"Nama kamu siapa?", tanya gadis itu.
 
"Aku Akbar, biasa dipanggil Aa.", jawabku.
 
"Kalau kamu?", tanyaku.
 
Gadis itu kemudian menggerakkan tangan kanannya dengan sikap seperti ingin berjabat tangan.
 
"Aku Dewi...", jawabnya sambil tersenyum.
 
Aku terdiam sesaat.
 
Aku membalas jabatan tangannya. Terasa telapak tangannya yang lembut dan jari jemarinya yang mungil. Saat bersentuhan, terasa ada getaran aneh di hati ini. Hatiku semakin dag dig dug tak karuan.
 
"Iya, met kenal ya Wi..", ucapku.
 
"Dew...Dewiii..!", seorang gadis tampak masuk dengan tergesa-gesa sambil berteriak.
 
Aku menoleh.
 
Gadis yang baru masuk itu tingginya kira-kira seratus enam puluh lima sentimeter, agak tambun, berkulit agak putih, berambut ikal. Di mulutnya terdapat sebuah permen Lolipop. Pandangannya menyapu ke sekeliling, lalu terfokus melihat Dewi yang sedang berbaring di ranjang. Ia kemudian berjalan dengan bergegas.
 
"Aduuuh Deew... elu kenapa siiih?", tanyanya. Ia tampak menjadi begitu sibuk. Pandangannya seperti menyusuri setiap bagian tubuh Dewi dari ujung kaki sampai ujung rambut.
 
"Eh ini siapa? Kok pegang-pegang tangan elu sih Dew?", lanjutnya. Tangannya kemudian berkacak pinggang sambil matanya menatap ke arahku.
 
"Eh iya, maaf ... maaf...", ucapku berulang-ulang.
 
Aaah, aku tersadar. Ternyata tangan kami masih saling berpegangan. Secara reflek aku menarik tanganku. Wajahku rasanya memerah. Dewi juga kelihatan tersenyum malu. Aku langsung berdiri.
 
"Rin, gue gak apa-apa kok... Mungkin cuman kelelahan aja. Untung ada Aa", jawab Dewi perlahan. Ia menoleh ke arahku.
 
"Hayoooo.... ehem ehem... suit suiiitt...!", goda gadis yang dipanggil Rin. Mungkin namanya Rini, atau Airin, ah aku tidak tahu. Di kemudian hari aku baru tahu kalau namanya Rini.
 
"Mana dipanggilnya Aa pulaaaa...", ucap Rini sambil terus menggoda kami.
 
Daripada aku bertambah grogi, lebih baik aku keluar saja dari ruangan kesehatan itu. Toh sudah ada Rini yang menemani. Setidaknya aku lebih tenang.
 
"Gu...gue tinggal dulu ya...", ucapku pada mereka berdua.
 
Aku bergegas akan meninggalkan tempat itu. Sesaat sebelum aku balik badan, Dewi kembali memegang tanganku. Hatiku dag dig dug kembali.
 
"Terima kasih sekali lagi ya A", ucap Dewi sambil tersenyum.
 
"I...iya Dew... Cepet sehat ya...", jawabku. Aku langsung melepaskan pegangannya dan langsung balik badan, berjalan dengan cepat menuju pintu keluar. Dari sudut mata, aku masih melihat Rini tertawa cekikikan. Barangkali ia merasa lucu melihat tingkahku yang grogi seperti ini. Uuuh,, aku memang grogi nih.
 
Itulah perkenalan awalku dengan Dewi.
 
***
 
"Iiih.. ditanya kok diem aja sih?", ucapan Dewi membuyarkan lamunanku.
 
Aku menoleh ke arahnya. Wajah manis itu kembali terlihat.
 
"Blom tau nih Dew. Biasanya sih ayah mengajakku untuk liburan. Blom tanya sama ayah nih.", jawabku.
 
"Mmmmmm, kalau misalkan ... sore ini ... kita nonton mau gak?", tanya Dewi dengan perlahan.
 
Dheg.. hatiku dag dig dug kembali. Menonton bersama Dewi? Sesuatu yang belum pernah aku pikirkan sebelumnya.
 
"Bo... boleh aja. Tapi nanti ada yang marah ga?", jawabku sedikit terbata-bata.
 
Dewi menggeleng.
 
"Sini, pinjem pulpen ama kertas", pinta Dewi.
 
Aku menurut. Meski aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Aku mengeluaran pulpen hitam dengan secarik kertas lalu memberikannya pada Dewi.
 
"Husss...! Jangan nyontek ya...! Sana..sana...", gurau Dewi sambil tangan kirinya melakukan gerakan untuk mengusir.
 
Aku hanya melihat ia menuliskan sesuatu di secarik kertas itu, lalu melipatnya dan memberikannya padaku.
 
"Nih... bacanya nanti saat Dewi keluar ya...", ucap Dewi.
 
Aku mengangguk.
 
Aku melihat Dewi bangun dari tempat duduknya, lalu ia memutar badan dan beranjak pergi dengan centilnya.
 
"Daahhh!", lanjut Dewi sambil tangannya melambai ke arahku.
 
Aku hanya melihat ia berjalan dengan riang keluar dari ruangan kelas.
 
Tiba-tiba bahu kananku disikut dengan perlahan oleh Risa.
 
"Ehem... jadi juga nih kencan ama si Dewi?", goda Risa. Kelopak mata atasnya terlihat naik turun. Sambil mulutnya tersenyum lebar.
 
Aku langsung menutup mulutku dengan satu jari telunjuk kanan, memberi isyarat kepadanya agar diam.
 
"Sssst...!", ucapku perlahan.
 
Risa paham isyarat ini. Dia lalu mengangkat dua ibu jarinya, memberikan isyarat 'TOP DAH!'. Ia cekikikan, dan langsung ngacir keluar ruangan.
 
Dengan penasaran, aku membuka kertas yang dilipat tadi yang sudah ditulisi oleh Dewi.
 
-------------------------------------------
gue tunggu di halte depan sekolah
sekarang!
kita nomat di Studio 21 Cirebon Mall
jam 2
-------------------------------------------
 
Aku tersenyum. Eh, beneran jadi nonton nih sama Dewi. Nonton yang jam 2 nanti. Teman-teman biasa menyebut dengan istilah 'nomat' atau 'nonton hemat'. Karena pada jam 2 harga tiket lebih murah dari biasanya. Memang rata-rata yang menonton itu pelajar. Tak terasa, hatiku berbunga-bunga. Dengan sigap, aku langsung berjalan menuju pintu ruangan kelas. Menuruni tangga dari lantai dua, dan berjalan kembali menuju pintu gerbang sekolah.
 
Halte sekolahku berada tepat di depan pagar sekolah, sebelah kiri dari pintu gerbang, berada pada trotoar pejalan kaki. Ada sebuah bangku panjang untuk duduk sekitar enam orang. Halte tersebut ditopang oleh dua pilar di sebelah kanan dan kirinya.
 
Aku sudah melewati pintu gerbang sekolah. Kepalaku menoleh ke kiri, aku melihat Dewi sedang duduk di ujung bangku. Aku berjalan mendekatinya. Ia melihatku, dan melambaikan tangan ke arahku sambil tersenyum.
 
Aku duduk di sampingnya.
 
"Tunggu bentar ya..., sopir papah sedang jemput kesini. Nanti kita naik mobil saja.", ucap Dewi.
 
Aku mengangguk.
 
Kira-kira tiga puluh menitan kemudian, Dewi menunjuk ke seberang jalan.
 
"Tuh, mobilnya datang...", ucap Dewi.
 
Aku mengikuti arah telunjuk Dewi. Melihat ada sebuah mobil Toyota Avanza berwarna silver metalik yang sedang melintas di seberang. Kaca supir tidak ditutup. Supir itu terlihat melambai ke arah Dewi.
 
Dewi berdiri dan berjalan menuju pinggiran trotoar yang mengarah ke jalan raya. Akupun mengikutinya.
 
Tidak berapa lama, mobil Toyota Avanza itu berhenti di depan kami. Dewi membuka pintu belakangnya, lalu ia langsung masuk. Aku sendiri masih berdiri di luar pintu yang terbuka.
 
"Sini ... masuk...", pinta Dewi.
 
Aku menurut. Aku masuk, dan duduk disamping Dewi. Pintu mobilpun aku tutup. Suasana menjadi lebih hening.
 
"Ke Cirebon Mall ya pak", ucap Dewi kepada supirnya.
 
"Iya Neng", jawab supir tersebut.
 
Mobilpun melaju menuju Cirebon Mall.
 
Lima belas menit kemudian kami sampai di depan Cirebon Mall. Dewi meminta untuk diturunkan di depan saja, sementara pak supirnya diminta untuk kembali ke tempat papahnya.
 
Kami berjalan masuk ke dalam mall, lalu menaiki tangga berjalan. Di ujung tangga berjalan itu, tepatnya di lantai dua, terlihat tempat pembelian tiket bioskop di Studio 21. Dewi langsung menuju kesana dan membeli tiket sementara aku melihat-melihat poster film lain. Film yang ingin ditontonnya adalah Spiderman. Aku melihatnya memegang tiket, lalu ia berbalik ke arahku sambil melambai-lambaikan tiketnya sambil mulutnya berucap "Spiderman" tanpa suara, hanya gerak bibirnya saja. Ia berjalan mendekatiku.
 
"Para penonton yang terhormat, pintu theater tiga telah dibuka. Anda dipersilahkan untuk masuk.", terdengar suara dari pengeras suara Studio 21.
 
"Eh, udah mau mulai nih A. Ayuk..!", tanya Dewi. Ia kemudian menarik tanganku. Kamipun masuk.
 
Kami mendapat tiket dengan nomor kursi B2 dan B3. Aku sendiri duduk di nomor kursi B2, sedangkan Dewi duduk di nomor kursi B3. Letaknya agak di pojok, dekat dengan tembok bioskop.
 
Lima menit kemudian lampu di dalam bioskop mulai dipadamkan. Suasana mulai gelap, pertanda film pun akan segera dimulai. Benar saja. Semburat cahaya dari atas terlihat, lalu film pun dimulai.
 
Di dalam bioskop, hatiku tidak henti-hentinya dag dig dug. Apalagi saat tangan dewi memegang tanganku. Aku bertambah kikuk dan grogi. Ingin kulepas, tapi kok rasanya tidak kuasa. Hatiku merasa bahagia berpegangan tangan seperti ini. Meski ini baru pertama kalinya dalam hidupku sedekat ini bersentuhan dengan lawan jenis.
 
"Uuh, kenapa bisa begini?", gumamku dalam hati.
 
Deg ... deg ... deg ...
 
Dewi semakin manja, ia melingkarkan lenganku di lenganku. Lalu bahunya ia senderkan di bahuku. Sentuhan ini membuatku benar-benar kacau.
 
Aku mulai berkeringat dingin. Padahal saat itu ruangan bioskop cukup dingin. Tapi keringatku tak berhenti keluar.
 
Deg ... deg ... deg
 
Hatiku semakin tidak karuan. Keringatku bertambah banyak saja. Rasanya, aku ingin memeluknya saja. Atau ingin menciumnya saja. Uuh, darah mudaku bergejolak. Aku jadi mabuk kepayang. Hatiku berperang dengan keinginanku sendiri. Ada sesuatu yang berontak di hatiku ini. Ada yang meronta, ada yang membantah, ada juga yang menginginkannya.
 
Aku seperti dibisiki oleh seseorang, atau mungkin sesuatu, atau entahlah. Hati kecilku benar-benar seperti berkata, "jangan, belum waktunya, belum menjadi hak mu...".
 
Aku terdiam. Tiba-tiba aku teringat pesan ayah.
 
***
 
"Nak, di dalam diri kita ini ada 'rasa' yang ada di dalam rasa. Sesuatu yang lebih murni. Ia adalah hati kecilmu. Ia adalah mata hati. Ia juga yang akan menuntunmu dalam kebenaran. Kalau kamu sudah merasakan itu, ikutilah nak. Maka kamu akan selamat.", ucap ayah.
 
"Kapan itu akan muncul yah?", tanyaku. Aku tidak tahu apa yang ayah jelaskan, tapi aku berusaha mengingatnya.
 
"Nanti, akan ada suatu masa dimana kamu merasakan benturan di hatimu. Antara ya dan tidak, antara mengikuti keinginan dan meninggalkan keinginan, antara maju dan mundur, antara harus dan biarkan, diantara suatu kebimbangan. Pada saat itu hati kecilmu akan membisikimu, memberi tahumu, memberimu alarm, pertanda. Kalau itu sudah kamu rasakan, ikutilah, karena ia adalah mata hati yang akan menuntunmu...", lanjut ayah.
 
"Mencari sampai mendapat tindakan yang benar dengan menggunakan mata hati...", tegas ayah.
 
Aku mengangguk, dan tertunduk.
 
***
 
Setelah mengingat itu, aku jadi tenang. Aku jadi tahu apa yang harus aku lakukan.
 
Aku menggeser tempat dudukku, lalu menepis halus tangan Dewi yang melingkar di lengan kananku.
 
"Ssst... nanti gue ga bisa konsentrasi nih nontonnya...", ucapku perlahan. Berusaha agar Dewi tidak tersinggung dengan sikap penolakanku.
 
"Iya deeeh... iyaaa...", jawab Dewi perlahan. Ia kemudian menarik tangannya yang melingkar di lenganku. Lalu duduk normal seperti biasa.
 
Aku lega.
 
Ayah, aku mulai mengerti arti dari rasa di dalam rasa. Aku mulai mengerti makna dari 'mata hati' yang dulu ayah jelaskan.
 
 
 
 
(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: samber gledek on 25/08/2011 13:00
KOmbinasi cerita mangstab..ternyata silat bisa digabung rasa dengan cinta...dilanjut mas...kayak dulu nunggu cerita apai di bukit menoreh..
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 26/08/2011 13:12
Tembang Tanpa Syair - Bagian 15

Hidup Atau Mati



Aku berjalan bersama Dewi menuju tempat parkir mall. Tempat parkir mobil itu berjarak kira-kira dua puluh meter dari pintu keluar mall arah sebelah kiri. Kami harus melewati parkiran motor terlebih dahulu, kemudian melewati KFC, dan sebuah masjid yang cukup besar. Setelah itu, barulah parkir mobil. Selesai menonton film Spiderman, aku mengantar Dewi. Menurut Dewi, supirnya sudah menunggu di parkiran mobil. Ini pertama kalinya aku menonton bioskop bersama seorang gadis. Hatiku masih berbunga-bunga. Aku yakin hati Dewi pun sama.
 
Kami berjalan beriringan.
 
"Mau dianter ga pulangnya?", tanya Dewi. Ia menatapku lembut. Tatapan ini tidak pernah aku lupakan.
 
Aku tersenyum.
 
"Ga usah. Kamu dulu saja ga apa-apa. Kebetulan aku mau ada perlu untuk ke Gramedia dulu. Mau lihat-lihat buku.", jawabku lembut. Hatiku sebenarnya ingin bersamanya, tapi aku belum berani. Aku berikan alasan untuk ke Gramedia dulu untuk menolak halus ajakannya. Istilah anak-anak muda zaman sekarang itu ‘jaim’ alias ‘jaga image’.
 
"Yeee, kok ga bilang dari tadi sih?", ucap Dewi sambil cemberut. Bibirnya agak manyun. Wajahnya menjadi lucu. Ia menghentikan langkahnya.
 
"Iya iya, nanti lain kali kita jalan-jalan ke Gramedia ya.", jawabku sambil tertawa kecil.
 
Aku kemudian berdiri di depannya.
 
"Jangan marah ya...", pintaku lembut. Sambil kedua telapak tanganku aku rapatkan di depan wajah membentuk posisi memohon.
 
"Huh!", jawab Dewi. Ia membuang wajahnya ke arah kiri. Mukanya masih cemberut, bibirnya juga masih agak manyun. Dewi ternyata manja.
 
"Iya... iya... gue janji. Nanti, gue akan ajak ke Gramedia... Ok?", ucapku sambil tanganku membentuk simbol V dengan jari telunjuk dan jari tengah. Aku menegakkan punggung, wajah kubuat serius seperti sedang upacara bendera.
 
Dewi mulai melunak, ia menoleh ke arahku.
 
"Beneran ya? Awas loh kalau bohong!", tanya Dewi. Telunjuk tangan kanannya kini sedang menunjuk keningku.
 
"I swear... by the moon and the stars in the skies. And I swear like the shadow that’s by your side...", jawabku sambil bernyanyi sekenanya saja lagu 'I Swear' dari Backstreet Boys sambil memasang tampang serius. Nada suaraku memang asal saja, yang penting liriknya benar.
 
"Iiiih.. ga usah nyanyi deh! Jelek tau! Minggir sana!", ucap Dewi geram. Ia mencubit lenganku. Menyuruhku minggir karena memang aku sengaja menghalangi jalannya. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia langsung melangkah maju sambil menggerakkan bahunya untuk menggeser posisi berdiriku. Aku otomatis tergeser ke samping kanan. Ia berjalan melewatiku. Berjalan dengan cepat sambil kepalanya sedikit menengadah dengan manja. Di depan, tidak jauh dari tempatku berdiri, terlihat mobil Toyota Avanza warna silver metalik.
 
Aku meringis. Cubitan itu cukup keras, meski tidak menyakitkan. Aku mengikuti Dewi dari belakang, berjalan menuju mobil. Supir Dewi yang sedang duduk kemudian berdiri dengan tergesa setelah melihat kedatangan Dewi. Kami berhenti di dekat pintu belakang mobil. Pak Supir itu tersenyum padaku. Akupun tersenyum membalasnya.
 
Ia kemudian segera membuka pintu mobil untuk Dewi dengan sedikit membungkukkan badan.
 
"Silahkan Neng", ucap pak supir.
 
Aku melihat Dewi masuk ke dalam mobil. Setelah itu pak supir menutupkan pintu untuknya dan kemudian menuju tempat duduknya. Pintu kaca mobil tempat Dewi duduk terlihat membuka perlahan.
 
"Gue pulang dulu ya A.", tanya Dewi sambil menatapku.
 
"Iya... hati-hati di jalan. Sampai ketemu nanti ya...", jawabku sambil mengangguk.
 
Dewi juga mengangguk. Tangan kanannya kemudian membentuk isyarat seolah sedang menelpon. Aku paham maksudnya, yakni bahwa aku harus menelponnya. Perlahan, kaca mobil itu kembali tertutup. Suara mesin mobil yang baru dinyalakan pun terdengar. Aku mundur beberapa langkah, mengambil jarak aman dan memberikan ruang pada mobil Dewi.

Aku naik ke trotoar.

Aku melihat Dewi dari balik kaca belakang mobil. Ia melambai ke arahku sambil tangannya sesekali membentuk simbol gerakan sedang menelpon yang berarti aku harus menelponnya nanti. Aku juga kemudian balas  melambai padanya sambil tersenyum dan mengangguk. Setelah melihat anggukanku, barulah Dewi kembali duduk seperti biasa.
 
Perlahan, mobil itupun melaju. Aku hanya menatap bagian belakang dari mobil itu yang makin lama makin menjauh.
 
Aku bersiap untuk pulang. Perjalanan dari mall ini ke rumahku sekitar tiga puluh menitan dengan dua kali naik angkutan umum. Pertama, aku harus naik angkutan umum 06 dan turun di pasar Gunung Sari. Lokasi yang dekat dengan pertarungan pertamaku dahulu. Setelah itu aku melanjutkan naik angkutan umum 04 menuju depan jalan rumahku. Angkutan umum 06 itu memang sering berhenti cukup lama di depan mall ini. Aku melihat kondekturnya berteriak ke arahku sambil melambaikan tangannya.
 
"Nol enam! Nol enam! Nol enam!", teriak pak kondektur.
 
Aku mengangguk. Kondektur itu langsung mendekatiku, lalu tangannya seolah melindungiku dan membimbingku untuk masuk. Entah melindungi dari apa. Aku tersenyum. Barangkali, itu kebiasaan yang berlaku untuk para kondektur. Seolah memberi tanda kalau itu adalah penumpangnya, kondektur lain tidak boleh mengambilnya.
 
Aku berjalan mendekati tempat duduk di samping supir yang kosong. Kondektur itu kemudian membukakan pintu untukku, mempersilahkanku untuk duduk. Aku menurut dan duduklah kini disamping pak supir yang tersenyum ke arahku. Uuh, nyaman juga ternyata dibukakan pintu oleh orang lain. Mungkin, ini juga yang dirasakan oleh Dewi saat ia dibukakan pintu mobilnya oleh supir.
 
Tidak berapa lama, kondektur itu langsung melompat dan bergantungan di samping pintu masuk angkutan umum di sebelah kiri.
 
"Tariiiik piiiiiiir!", teriak pak kondektur.
 
Mobil angkutan umum 06 pun melaju.
 
Aku paling suka duduk di depan, sebelah pak supir. Alasannya, karena aku senang mempelajari bagaimana cara seorang supir mengemudikan kendaraannya. Aku memperhatikan bagaimana gerakan kakinya, koordinasi antara tangan dan kaki, melihat bagaimana cara dia berhenti, cara melaju, cara berganti kopling, dan sebagainya. Meski belum punya mobil, aku yakin suatu hari nanti pengetahuan ini akan berguna untukku.
 
Kira-kira lima belas menitan berlalu.
 
"Kiri.. kiri... stop di depan pak!", pintaku pada pak supir. Aku melihat pasar Gunung Sari di depanku.
 
Ia pun melambatkan kendaraannya. Berhenti kira-kira tiga puluh meter dari pasar itu. Aku membuka pintu mobil dan bersiap untuk turun. Tidak lupa aku memberikan uang dua ribu rupiah sebagai ongkos. Pak kondektur kemudian menutupkan pintu depan untukku. Mobilpun kembali melaju.
 
Aku berhenti tepat di depan tempat dimana dulu aku mengalami pertarungan pertamaku. Aku masih teringat, beberapa bulan yang lalu tempat ini menjadi saksi bisu perkelahianku. Pohon yang sama. Tanah yang sama. Ruko yang sama. Parkiran yang sama.
 
"Itu dia orangnya!!!", teriak seseorang membuyarkan lamunanku.
 
Aku terkejut.

Dari arah kiri aku melihat ada dua pemuda orang berjalan mendekatiku. Salah satunya menunjuk ke arahku. Di belakangnya juga terlihat ada tiga orang pemuda lagi berjalan. Hidung salah satunya terlihat diperban dengan kain kasa dan dibalut oleh plester. Semuanya total ada lima orang.
 
"Itu dia bang orangnya! Orang itu yang sudah menghajar adik abang!", teriak pemuda yang menunjuk itu. Aku masih ingat wajahnya. Ia adalah pemuda yang dulu pingsan saat aku pukul ulu hatinya.
 
Lima orang kini sudah berdiri berjejer di depanku. Salah satu pemuda, yang badannya cukup besar bertanya.
 
"Apa benar orang ini yang pernah memukulmu?", tanpa pemuda itu. Ia menoleh ke arah kanan, ke arah pemuda yang hidungnya diperban.
 
Pemuda yang hidungnya diperban itupun mengangguk.
 
"Benar bang! Dia orangnya! Kita hajar saja bang! Beri dia pelajaran!", ucap pemuda yang hidungnya diperban itu semangat. Ia juga menunjuk ke arahku.
 
"Sabar kak... ada apa ini?", tanyaku pada yang badannya terlihat paling besar. Aku memberanikan bertanya, meskipun aku tahu ketiga orang itu adalah pemuda yang dulu pernah mengeroyokku dan kalah. Rupanya mereka dendam dan menungguku di tempat yang sama. Mereka tahu aku sering lewat situ.
 
"Udah bang, ga usah pake jawab segala! Kita beresin aja nih orang!", ucap salah satu pemuda lainnya dengan lantang.
 
Kelima orang itu kini mengambil jarak satu sama lain. Beberapa melingkariku dari belakang.
 
Aku mulai waspada. Dalam posisi seperti ini sangat berbahaya bagiku mendapati lawan yang melingkari dari depan dan belakang. Aku harus mengambil posisi dimana semuanya terlihat olehku. Pandanganku menyapu ke sekeliling, berusaha mencari celah dan juga mencari jarak yang terdekat. Aku melihat pemuda yang ulu hatinya pernah aku serang berada paling dekat denganku.
 
"Hajaaar!", teriak pemuda di belakangku.
 
Teriakan itu menjadi reflek bagiku untuk bergerak menyerang pemuda yang terdekat. Tubuh pemuda itu sedikit terbuka. Aku menggunakan gerak langkah serangan bernama Jlontrotan, yakni tendangan samping dengan sisi telapak kaki sedemikian rupa dengan kombinasi langkah lebar. Sasaranku adalah ulu hati pemuda itu.
 
DUESSS!
 
"Aaaakkh!", teriak pemuda yang terdekat denganku.
 
Ia terpelanting dan bergulingan di tanah. Tangannya memegangi perutnya. Ia tampak sangat kesakitan. Hanya beberapa detik mengaduh, kemudian ia pingsan. Aku terkejut. Tendanganku mengenainya. Rasanya biasa saja, tapi ia terpental cukup jauh dengan sangat kesakitan seperti itu.
 
Aku melihat ada celah kosong saat pemuda itu terpelanting. Secepatnya aku berlari keluar dari jarak kepungan mereka. Aku berlari menuju tembok salah satu ruko yang dijadikan usaha cuci cetak film.
 
"Kurang ajar! Kepuuuung!", teriak salah satunya. Ia tidak mempedulikan temannya yang sudah pingsan.
 
Keempat pemuda itupun berlari ke arahku.
 
Lariku terhenti saat berada di depan tembok. Aku lalu membalik badan. Di belakangku ini ada sebuah tembok. Pemuda-pemuda itu sudah tidak bisa lagi mengelilingiku dari belakang.
 
Keempat pemuda itupun berhenti kira-kira dua meter dariku. Mereka saling mengambil jarak satu sama lain.
 
Bagian bawah pusarku menghangat. Hangatnya naik hingga ke dada. Lalu perlahan merambati leher, kepala, serta kedua lengan dan kakiku. Kewaspadaanku meningkat. Aku tahu ini sudah bukan main-main lagi. Meski demikian, aku berusaha untuk tenang, agar konsentrasiku tidak buyar.
 
Salah seorang pemuda itu mendekatiku dengan cepat, dan kemudian berusaha memukulku dengan pukulan melingkar. Ia rupanya akan menyasar pelipis kiriku. Sebelum tangannya mengeluarkan pukulan, aku maju satu langkah menyongsongnya, kemudian melakukan serangan tangan tangkisan bernama Tangkisan Atas dengan sisi telapak tangan kiriku bersamaan dengan tangan kananku melakukan Sodokan Atas dengan lintasan dari bawah ke arah dagu menggunakan telapak tangan kanan.
 
TAKK!! DHEESS!!
 
Pemuda itu terangkat hampir satu meter! Lehernya agak tertekuk ke belakang. Aku melihat ada cucuran darah menetes. Ia jatuh cukup keras ke tanah dengan kepala bagian belakang dulu. Dan terdiam. Tak ada suara lagi. Hanya terlihat ada darah keluar dari mulut dan hidungnya. Ia pingsan seketika.
 
Eh, aku kembali terkejut. Tak kusangka seranganku berakibat sangat fatal terhadapnya.
 
"Sialan lu! Kita habisi saja bang!", teriak salah satu pemuda. Ia terlihat memasukkan tangannya di balik bajunya, lalu mengeluarkan sebuah benda seperti bulan sabit yang masih terbungkus. Ia dengan cepat membuka bungkusnya. Ia mengeluarkan sebuah senjata. Clurit! Senjata itu berkilauan terkena pantulan cahaya matahari.
 
Pemuda yang hidungnya diperban juga mengikutinya. Ia mengambil sesuatu dari balik bajunya, lalu mengeluarkan benda yang sama. Sedangkan pemuda yang satunya lagi terlihat mundur. Ia terlihat waspada dan menjaga kedua temannya. Entah apa yang direncanakannya.
 
Di hadapanku kini sudah ada dua orang pemuda bersenjatakan clurit.
 
"Uuh, bagaimana ini?", gumamku dalam hati.
 
"Mampus luh!!!", teriak pemuda di sebelah kiriku sambil menyabetkan clurit ke arahku. Ia yang paling dekat denganku. Jaraknya denganku sekitar satu meteran saja. Tebasannya sedikit menyilang, ia rupanya ingin menyasar leherku. Ia benar-benar ingin menghabisiku.
 
Ini gawat!
 
Tanpa berpikir panjang, aku gerakkan tangan kiriku menangkis tebasan clurit itu dengan sebelumnya aku kepalkan tangan kiriku dengan keras agar otot-ototku mengejang. Seluruh lengan kiriku terasa sangat panas. Aku menutup jalur lintasan clurit ke arah leher dengan lengan kiriku sambil terkepal.
 
CRAK!
 
Aku merasakan tanganku membentur cluritnya. Aku tidak tahu di bagian yang mana benturan itu terjadi. Sesaat, gerakannya menjadi terhenti. Ruang waktu sesaat itu aku gunakan dengan cepat untuk menyerang balik. Kepalan tanganku bergerak lurus menyasar wajahnya. Aku menggunakan serangan tangan bernama Pukulan Datar.
 
DHUES!
 
Pukulan lurusku mengenai wajahnya. Pemuda itu terdorong mundur satu langkah sambil mengaduh. Tangan kirinya terlihat memegangi hidungnya.
 
"Uuuukh!", teriak pemuda itu kesakitan. Matanya terlihat terpejam.
 
Aku tidak mau menunggu ia siap kembali. Aku bergerak maju, mengikuti langkah mundurnya. Ia kini berada dalam jarak serangku. Langsung saja aku melakukan Tendangan Sabit kaki kanan ke arah pinggang kirinya. Keras, cepat, bertenaga.
 
BUKK!
 
Tubuhnya tertekuk. Clurit di tangan kanannya terlepas. Ia mengaduh perlahan sebelum jatuh, dan pingsan.
 
Aku kembali mengambil posisi siap. Jarakku dengan tembok bertambah renggang.
 
"Sialan lu! Mampus lu!", teriak pemuda yang hidungnya diperban.
 
Ia langsung menebaskan clurit itu ke arahku. Cepat sekali. Aku tidak sempat melihat arah clurit itu. Yang aku tahu lengan kiri atasku terasa agak panas. Aku hanya merasakan agak perih pada lengan kiriku. Aku langsung mundur dan mengambil jarak. Rasa sakit itu tak begitu kurasakan karena pikirannya terfokus pada pertarungan ini. Aku langsung mengambil posisi aman di dekat tembok.
 
Pemuda itu terlihat mengayun-ayunkan cluritnya. Ia menyeringai, dan bersiap untuk menyerang lagi.
 
Aku waspada. Pemuda ini terlihat memiliki dasar ilmu beladiri. Serangannya cepat dan terarah.
 
Bagian bawah pusarku semakin memanas. Panasnya kini menjalari dadaku. Aku mengarahkan hawa panas itu memutar ke bawah tulang ekor, melewati tulang belakang, terus hingga ke leher, dan berhenti di kepala bagian belakang yang dekat dengan sambungan leher atas. Aku pusatkan disitu. Aku hanya merasakan kepala belakangku menghangat. Pandangan mataku menjadi semakin jernih. Suara-suara di telingaku mulai mengecil, menghilang. Aku berada dalam keheningan. Efek ‘lambat’-pun kembali muncul. Gerakan ayunan clurit pemuda itu terlihat 'melambat' dalam pandangan mataku. Aku bisa melihat jelas arah ayunannya, bahkan gerakan bibir pemuda itupun terlihat. Sekelilingku seolah menjadi 'melambat'. Aku hanya melihat ia mengatakan "Mati!" dengan mengayunkan cluritnya mengarah ke perutku dari kiri ke kanan.
 
Lintasan clurit itu 'terlihat' begitu jelas dan lambat. Aku jadi punya cukup waktu untuk menghindarinya. Aku menggeser kaki kananku ke belakang, sambil menarik perutku agar menjauh dari jarak jangkauan cluritnya.
 
Merasa serangannya gagal, pemuda itu kembali menebaskan cluritnya ke tubuhku. Ia memutar pergelangannya, mengubah arah clurit menyilang ke atas. Lintasannya berubah, dari bawah ke atas. Putaran pergelangannya begitu 'terlihat' oleh mataku. Tak menunggu ia selesai melakukan serangan, aku langsung melangkah maju, memutar pinggang, dan merapatkan tubuhku di depannya dengan posisi dan arah yang sama dengannya. Punggungku kini berada dekat sekali dengan dadanya sementara tangan kananku masih memegang pergelangan tangan pemuda itu. Aku langsung memutarkan tubuhku ke arah kiri dengan cepat sambil menarik tangannya.
 
Pemuda itu ikut berputar dengan keras. Punggungnya mengenai tembok di belakangku. Keras sekali. Kepalanya menghantam tembok dengan cukup keras.
 
BUKKK!
 
"Aduuh!", ia berteriak kesakitan.
 
Seranganku tidak berhenti sampai disitu saja, aku menggerakkan kaki kiriku mendekatinya dan langsung menyarangkan Sodokan Datar tangan kanan ke arah dada pemuda itu.
 
DUKK!
 
CLANG!
 
Telapakku masih menempel di dadanya. Tak terdengar suara mengaduh. Hanya bunyi clurit yang jatuh saja yang terdengar. Aku melihatnya lemas dan tiba-tiba ia jatuh terduduk, kakinya lurus dengan pinggang tertekuk. Kepalanya juga tertekuk menunduk. Aku hanya melihat ada darah yang keluar dari sudut bibirnya.
 
Aku kembali terkejut. Eh, apa ini? Saat melakukan Sodokan Datar tadi, aku merasakan telapak tanganku seperti mengeluarkan 'sesuatu'. Entah apa itu. Seperti panas yang berlebih, atau … entahlah, aku tidak tahu. Biar sajalah. Sudah empat orang aku rubuhkan. Tinggal satu orang lagi.
 
Aku langsung memutar badan.
 
Bersiap.
 
Siaga.
 
Waspada.
 
Pemuda yang terakhir ini berjalan mendekatiku. Ia tampak begitu tenang. Di tangannya kini tergenggam kayu pemukul baseball. Aku tidak tahu darimana ia dapatkan. Pemukul baseball itu terlihat keras dan kokoh.
 
"Lu bener-bener kudu dimatiin!", ucap pemuda itu dengan tenang. Ia memukul telapak tangan kirinya perlahan berkali-kali dengan kayu pemukul baseball itu.
 
Aku merasakan ada yang hangat dan menetes dari ujung jari tangan kiriku. Aku melirik … darah. Rupanya serangan clurit itu membuatku terluka. Meski tidak terasa perih, tapi darah itu rupanya sejak tadi menetes. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Aku harus segera menyelesaikan pertarungan ini.
 
Pemuda itu semakin mendekatiku. Kira-kira jarak satu meteran, ia menebaskan kayu pemukul baseball itu ke arah kepalaku dengan lintasan vertical dari atas ke bawah.
 
Secara reflek aku menahannya dan menangkapnya dengan Tangkisan Silang Atas, yakni menggunakan dua telapak tangan yang disilangkan berhadapan setinggi kepala. Bersamaan dengan itu kaki kananku bergerak mengayun menendang keras dari bawah ke atas mengarah ke selangkangan pemuda itu.
 
PLAKK!! DHEG!
 
"Uuugh!", pemuda itu mengaduh.
 
Kayu pemukul baseball itupun terlepas. Matanya mendelik. Beberapa detik kemudian, ia terjatuh dan bergulingan di tanah sambil kedua tangannya memegang kemaluannya. Mulutnya tidak henti mengaduh. Beberapa saat kemudian, gerakannya terhenti. Ia pingsan.
 
Tubuhku masih terasa begitu panas. Hawa panas ini menjalar kemana-mana.
 
Pandangan mataku menyapu ke sekeliling. Aku hanya melihat lima orang pemuda yang terbaring pingsan. Sementara tangan kiriku masih mengeluarkan darah. Tetesannya terasa di ujung jari. Pandangan mataku juga mulai bertambah berkunang-kunang.
 
Tiba-tiba aku melihat pintu jendela ruko terbuka. Seorang wanita melambaikan tangannya kepadaku. Aku menoleh.
 
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 26/08/2011 13:12
"Dik, sini! Masuk saja dulu", pinta wanita itu dari jendela yang terbuka. Ia kemudian menunjuk pada arah pintu masuk ruko. Kelihatannya ia menyaksikan perkelahianku dengan para pemuda itu dari balik jendela ruko.
 
Aku berjalan mendekati pintu yang ditunjuk oleh wanita itu. Beberapa saat kemudian pintu itupun terbuka. Wanita tadi terlihat mempersilahkanku masuk.
 
"Duduk saja dulu, Dik. Tunggu sebentar ya...", ucap wanita itu.
 
Aku menurut. Aku duduk di kursi putar di depan kaca etalase samping kasir. Wanita itu terlihat berjalan masuk. Beberapa saat kemudian ia keluar sambil membawa segelas air teh dan sepotong kain yang agak basah.
 
"Ini, diminum saja dulu teh manisnya. Habiskan saja.", pinta wanita itu. Ia kemudian meletakkan gelas berisi teh manis itu di atas kaca etalase di depanku. Lalu duduk disampingku.
 
"Terima kasih mbak", jawabku.
 
Aku mengambil gelas berisi teh manis itu dengan tangan kananku, lalu meminumnya. Aku benar-benar menghabiskannya. Perkelahian itu membuatku haus.
 
"Bersihkan juga darahmu dengan kain ini, Dik", ucap wanita itu.
 
Aku menganguk. Lalu mengambil sepotong kain yang agak basah itu. Aku bersihkan darah yang keluar dari lengan kiriku bagian atas. Aku melihat pada sisi pergelangan tangan kiriku bagian luar. Ah, sobek. Terlihat cukup lebar. Tapi sama sekali tidak mengeluarkan darah. Darah hanya keluar dari luka di lengan kiri atas. Itu juga sobek. Tapi tidak panjang. Tubuhku masih terasa panas. Hawa panas itu masih merambati tubuhku. Keringat juga masih menetes.
 
"Mbak melihat perkelahianmu, Dik. Berandalan itu memang sering membuat ulah. Sudah banyak yang menjadi korban. Kebanyakan rata-rata dimintai uang, atau diambil benda-benda yang berharga. Kamu termasuk hebat juga bisa merobohkan semuanya.", lanjut wanita itu sambil tersenyum.
 
"Ah, saya mungkin kebetulan sedang beruntung saja mbak. Yang tiga itu dulu pernah berkelahi juga dengan saya mbak. Rupanya mereka dendam, dan membawa teman-temannya untuk mengeroyok saya. Alhamdulillah Tuhan masih melindungi saya mbak.", ucapku.
 
"Mbak, boleh pinjam telponnya tidak? Saya ingin menelpon kakak saya.", pintaku.
 
"Oh, silahkan … silahkan. Pakai saja, Dik.", jawab wanita itu. Ia kemudian berdiri dan berjalan menuju kasir. Ia mengambil gagang telpon dan memberikannya kepadaku. Aku menerimanya dengan tangan kanan.
 
"Berapa nomornya, Dik?", tanya wanita itu.
 
"Tiga dua satu satu empat lima", jawabku.
 
Aku menempelkan gagang telpon itu ke telingan kananku. Terdengar nada ketika tombol nomor ditekan, kemudian diikuti oleh nada sambung. Beberapa saat kemudian, seorang wanita menyahut.
 
"Halo..."
 
"Kak Yani, ini Aa. Ada Mas Ade gak?", tanyaku.
 
"Ada apa A?", tanya wanita yang dipanggil 'Kak Yani' itu.
 
"Dateng aja dulu ya kesini, samping pasar Gunung Sari. Di ruko Cirebon Indah, tempat cuci cetak foto. Nanti anter Aa ke rumah sakit ya. Sekarang ya kak...", ucapku.
 
"Ya udah, kamu tunggu saja disitu. Nanti kakak sama Mas Ade kesitu.", jawab kakakku. Nada suaranya terdengar agak cemas.
 
"Iya kak, makasih ya...", lanjutku.
 
Aku kemudian memberikan gagang telpon itu kembali ke wanita di belakang kasir. Ia menerimanya, dan mengembalikan ke posisinya.
 
"Terima kasih mbak", ucapku.
 
"Iya, sama-sama.", ucap wanita itu.
 
Tubuhku sudah tidak sepanas tadi rasanya. Sudah mulai agak baikan. Air teh manis itu cukup memulihkan tenagaku. Pandanganku yang tadinya berkunang-kunang, kini sudah normal lagi.
 
"Ah, bagaimana caraku bilang sama ayah ya? Ini parah sekali kejadiannya.", gumamku dalam hati. Meski aku tahu ayahku sangat bijaksana, tapi tetap saja ada kekhawatiran dan ketakutan dalam hatiku karena aku lagi-lagi melanggar nasehat ayah untuk tidak berkelahi.
 
Lima menit berlalu, kakakku belum datang. Aku lebih baik keluar saja.
 
"Mbak, sekali lagi terima kasih ya atas bantuannya. Saya keluar dulu, barangkali kakak saya sudah datang dan mencari saya.", ucapku. Aku langsung berdiri dan berjalan menuju pintu keluar yang masih terbuka.
 
"Oh ya sudah Dik, tidak apa-apa. Cepat sembuh ya Dik...", ucap wanita itu. Ia kemudian berjalan mengantarku sampai pintu. Setelah keluar kira-kira tiga langkah, aku melihat wanita itu kembali menutup pintu.
 
Aku melihat ke sekeliling. Para pemuda itu masih tergeletak pingsan. Timbul iba di hatiku. Aku bimbang, apakah aku harus menolongnya lagi atau tidak? Para pemuda ini sudah dua kali melakukan hal jahat terhadapku.

Ah, sudahlah, lebih baik aku tolong saja. Aku mantapkan niatku.
 
Aku dekati pemuda dengan hidung diperban yang tergeletak di depan tembok. Aku menunduk, membungkuk, lalu mencubit urat besar di ketiaknya sebalah kanan dan kiri secara bergantian. Kemudian menotok dua titik di pungunggnya dekat dengan leher. Terakhir, aku menepuk-nepuk punggungnya. Ia pun tersadar.
 
Kepalanya menggeleng beberapa kali. Matanya kemudian melihatku. Ia terkejut, dan bergerak mundur dengan beringsut.
 
"Ampunn.. ampunnn!", ucap pemuda itu memohon. Tangannya bergerak menutupi wajahnya untuk melindungi kalau-kalau aku memukulnya.
 
Aku berdiri.
 
"Ini terakhir kalinya gue melihat lu seperti ini! Pergi sana! Bawa temen-temen lu dari sini!", ucapku agak keras.
 
Ia semakin ketakutan. Ia makin beringsut mundur.
 
"I...iya.. ampuun..!", jawab pemuda itu.
 
TIINN... TIIN...!
 
Suara klakson motor terdengar jelas. Aku menoleh. Terlihat seorang laki-laki yang berbadan cukup besar memarkirkan motornya di samping pohon dipinggir jalan. Wajahnya agak persegi. Tubuhnya cukup kekar, terlihat cukup rutin berolah raga. Laki-laki itu kemudian berjalan tergesa ke arahku.
 
"A, ada apa ini?", tanyanya.
 
"Ga apa-apa mas Ade. Cuman berantem aja...", jawabku pada laki-laki itu.
 
Laki-laki itu adalah Mas Ade. Ia kakak iparku. Orangnya sangat baik dan penyabar.
 
"Mas, Aa minta tolong untuk dianterin ke rumah sakit ya. Ini harus dijahit nih kayaknya.", pintaku pada mas Ade sambil menunjukkan luka sobek pada lengan kiriku.
 
"Ya ampuun! Ya udah, cepetan kita ke rumah sakit.", jawab mas Ade. Ia terlihat khawatir. Lalu langsung balik badan menuju motor. Ia tidak mempedulikan para pemuda yang tergeletak di tanah itu. Aku mengikutinya.
 
Mas Ade sampai lebih dulu. Ia langsung naik dan menyalakan motornya.
 
"Mas, tolong jangan bilang-bilang sama ayah ya... Nanti bilang saja jatuh dari motor atau gimana gitu...", pintaku. Aku tahu alasanku ini konyol, tapi kalau mas Ade yang bilang, ayah biasanya percaya. Aku berharap semoga saja ayah percaya.
 
"Iya, udah cepetan naik... itu harus dijahit...!", ucap mas Ade.
 
Aku menurut. Aku langsung melompat ke belakang mas Ade.
 
Motor itupun melaju, menuju rumah sakit untuk menjahit luka sobek di lengan kiriku. Aku menoleh. Pandanganku hampa. Ada banyak yang berkecamuk di pikiranku.
 
Pertarungan ini benar-benar pertarungan hidup dan matiku. Melawan lima orang dengan tiga orang bersenjata. Dua orang malah bersenjata tajam. Aku bersyukur bisa lolos dari maut, meskipun mendapat luka akibat sabetan clurit. Aku teringat kembali pertarunganku tadi. Beberapa kali aku menggunakan gerakan silatku, sesuai dengan apa yang dulu dilatih oleh ayah. Beberapa malah tidak sama sekali. Seperti misalnya saat aku berusaha membanting dengan memutar, atau saat aku menahan pukulan kayu baseball sambil menendang kemaluan. Itu keluar begitu saja. Naluriku bergerak begitu saja mengikuti kata hatiku. Yang kurasakan tadi, ketika berada diantara hidup dan mati, tubuhku seperti melebur. Mengeluarkan potensi yang dirasa diperlukan di dalam pertarungan itu. Hawa panas yang biasanya teratur bisa aku salurkan, saat itu mengalir ke seluruh tubuhku tanpa henti. Bisa aku gunakan semaunya. Aku mengeluarkan apa yang hatiku ingin keluarkan.
 
Meski demikian, ada hal yang agak mengherankanku. Yakni saat aku melakukan serangan pada lawan, aku merasa memukul atau menendang biasa saja. Tapi efek yang ditimbulkannya sangat luar biasa. Lawan terpental, lawan pingsan, bahkan mengaduh dengan sangat kesakitan. Efek seranganku ini berbeda sekali ketika pertama kali aku berkelahi melawan tiga pemuda. Dimana pada pemuda yang ketiga, pukulanku nyaris tidak menimbulkan efek apapun. Sakitpun tidak. Pemuda itu dulu masih bisa tersenyum saat menerima pukulanku. Tapi saat ini benar-benar berbeda. Aku merasa ada 'sesuatu' pada pukulanku. Apalagi saat aku melakukan Sodokan Datar pada dada pemuda dengan hidung diperban itu. Rasanya ada yang memancar keluar dari telapak tanganku. Tapi aku masih belum tahu apa itu. Tidak sama dengan getaran yang selama ini aku pancarkan saat berlatih Tutup Mata bersama ayah. Agak berbeda rasanya.
 
Uuh, banyak pertanyaanku. Aku ingin bertanya pada ayah. Nanti, setelah selesai menjahit luka sobek ini.
 
Aku teringat ucapan ayah.
 
"Nak, saat nanti kamu berada dalam hidup dan mati, maka pada saat itu kamu akan mengetahui betapa berharganya silat yang kamu pelajari ini. Apabila kamu bisa tertolong dan menolong dengannya. Meski demikian, tetaplah bijak dengan silatmu. Belajar silat, belajarlah bijaksana…", ucap ayah.
 
Aku tersenyum. Membenarkan ucapan ayah.




(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 26/08/2011 13:21
Tembang Tanpa Syair - Bagian 16

Eureka!


Aku duduk di dalam ruangan rumah sakit. Di depanku berdiri seorang laki-laki yang cukup berumur mengenakan baju putih bersih. Aku melihat tulisan nama kecil di dada kirinya bertuliskan "dr. Bagyo".

"Coba kepalkan tanganmu", tanya dokter Bagyo.

Aku menurut, meski aku tidak mengerti maksudnya.

Tangan kiriku aku kepalkan perlahan, lalu semakin keras.

"Cukup...", pinta dokter Bagyo.

"Memangnya kenapa dok?", tanyaku memberanikan diri.

"Kamu beruntung, Dik. Kalau saja sobek ini lebih dalam sedikit saja, maka otot dan uratmu pasti akan putus. Tanganmu tidak akan bisa menggenggam erat lagi seperti tadi.", jawab dokter Bagyo.

Dheg...

Jantungku berdegup kencang. Aku terkejut.

"Alhamdulillah ya Allah, Engkau masih melingdungi hamba...", gumamku dalam hati. Aku bersyukur karena luka tebasan clurit ini tidak sampai mengenai otot dan urat lenganku. Kalau lebih dalam sedikit saja, maka tanganku ini akan menjadi cacat.

"Perkiraan ada delapan jahitan luar dan sebelas jahitan dalam. Termasuk ada empat jahitan di lengan kiri bagian atas. Tanganmu nanti akan dibius lokal dulu sebelum dijahit.", ucap dokter Bagyo.

Aku mengangguk. Aku tidak tahu bagaimana rasanya dijahit pada kulit. Ini termasuk pengalaman pertamaku.

Aku melihat dokter Bagyo mengambil beberapa peralatan, lalu diletakkan disamping kursi tempatku duduk. Ada sebuah nampan dari logam yang di dalamnya terdapat gunting, jarum suntik, alat jahit khusus, kain kasa, kapas, dan beberapa benda lain yang asing yang aku tidak tahu fungsinya untuk apa.

Dokter Bagyo mengambil sebuah jarum suntik yang masih dibungkus plastik steril dengan tangan kanannya. Ia sobek pinggirannya, lalu mengeluarkan isinya. Jarum suntik itu masih terbungkus pada ujungnya. Dokter Bagyo kemudian membuka tutupnya dan membuangnya ke tempat sampah tidak jauh dari situ. Ia kemudian mengambil sebuah benda kecil berbentuk seperti botol yang berisi cairan berwarna kekuningan. Mengangkatnya dengan tangan kiri, lalu ujung jarum di tangan kanannya ditusukkan ke tengah botol kecil tersebut. Tangan kirinya menahan botol kecil dan ujung jarum suntiknya, sementara tangan kanannya menarik pangkal jarum suntiknya sehingga isi dari botol yang berupa cairan berwarna kekuningan itu berpindah ke dalam badan jarum suntik. Beberapa tetes cairannya terlihat keluar dari ujung jarum suntik.

"Tahan sedikit ya, Dik...", ucap dokter Bagyo.

Aku melihat dokter Bagyo menyuntikkan di beberapa titik di dekat luka sobek di dekat pergelangan tangan bagian atas. Rasanya seperti digigit semut. Tidak menyakitkan. Selesai menyuntik, aku melihat dokter Bagyo meletakkan kembali suntikannya di nampan logam di samping kursiku. Ia lalu mengambil jarum jahit khusus. Bentuknya kotak, dengan ujungnya digunakan untuk menjahit dengan cara yang khas dan tidak menyakitkan. Setidaknya, begitulah penjelasan yang aku ketahui dari buku. Di zaman sekarang, proses menjahit luka sobek sudah tidak menggunakan jarum tradisional lagi seperti halnya jarum yang digunakan untuk menjahit baju. Tetapi sudah menggunakan alat khusus yang lebih mudah dan efektif. Tentunya dengan tidak menyakitkan pasien karena kecepatan dan keakuratan proses menjahit.

Kira-kira sepuluh detik kemudian, pergelangan tanganku sudah mulai terasa kebas. Terasa seperti menebal. Aku mulai tidak bisa merasakan apa-apa di sekitar pergelangan tangan itu.

Dokter Bagyo kemudian memulai proses menjahit lukaku. Luka sobek luar dan dalam. Sebelas jahitan dalam, dan delapan jahitan luar. Persis seperti yang diperkirakannya. Proses menjahit luka sobek ini sama sekali tidak terasa sakit. Hanya terasa seperti digigit oleh semut. Sekitar dua menitan saja luka sobekku sudah dijahit dan tertutup kembali. Jahitannya rapi. Bentuk lukaku terlihat seperti hewan lipan.

Dokter Bagyo meletakkan alat jahit di atas nampan logam, lalu mengambil kembali jarum suntik yang berisi obat bius lokal.

"Tahan sedikit sekali lagi ya, Dik...", ucap dokter Bagyo mengulangi.

Ia kemudian menyuntikkan di beberapa titik di dekat luka sobek lengan kiri bagian atas. Luka itu tidak selebar seperti luka di pergelangan tangan atas. Cukup empat jahitan saja kata dokter Bagyo.

Lengan kiriku bagian atas terasa kebas. Sama seperti tadi. Aku melihat dokter Bagyo kembali mengambil alat jahit yang sama, kemudian mulailah proses menjahit luka dimulai. Hanya beberapa detik saja proses jahit selesai. Ia kemudian meletakkan kembali alat jahit di nampan logam untuk kemudian mengambil kapas dengan sebuah capit logam kecil, mencelupkan kapas tersebut pada cairan obat berwarna coklat tua dan berbau menyengat. Kapas itu kemudian ditempel-tempelkan diatas luka jahitku. Membiarkan obatnya menutupi permukaan luka.

Ia melakukan hal yang sama pada bagian atas lenganku. Menempel-nempelkan kapas yang sudah basah oleh cairan obat itu beberapa kali.

Setelah dirasa cukup, ia meletakkan kembali kapas dan capit logam di atas ke nampan. Ia kemudian mengambil sebuah kain kasa dan plester. Kain kasa itu berbentuk persegi panjang. Ukurannya sudah terpotong rapi sedemikian rupa. Dokter Bagyo kemudian memasang kain kasa dan plester itu di atas luka jahit tanganku kemudian merekatkan plesternya. Ia melakukan hal yang sama untuk luka di lengan atasku. Tidak berapa lama, semua luka sudah tertutup.

"Sudah selesai, Dik...", ucap dokter Bagyo.

"Sementara ini jangan sampai kena air dulu untuk luka-luka ini. Kira-kira tiga harian. Nanti saya akan memberikan resep obat yang dioleskan sehari tiga kali pada luka jahitnya. Obat itu akan mempercepat menutupnya luka.", lanjut dokter Bagyo.

Aku mengangguk.

Dokter Bagyo kemudian berjalan menuju wastafel, membersihkan tangannya dengan air dan mencucinya dengan sabun antiseptik. Setelah itu ia kembali berjalan menuju meja dan mulai menuliskan resep.

Oh iya, di ruangan itu aku hanya berdua saja dengan dokter Bagyo. Sementara Mas Ade sendiri menunggu di luar.

"Ada pantangan makan tidak Dok?", tanyaku.

Dokter Bagyo menoleh ke arahku.

"Sementara ini sih belum ada. Tapi kalau mau lebih cepat sembuhnya, sementara hindari dulu makan telur ayam.", jawab dokter Bagyo sambil memberikan secarik kertas yang berisi resep obat untuk lukaku.

"Nanti tebus resep ini di apotik di luar ya, Dik", lanjut dokter Bagyo.

"Iya Dok, terima kasih.", ucapku sambil menerima kertas resep tersebut.

Dokter Bagyo tersenyum.

"Sama-sama Dik. Semoga cepat sembuh ya...", ucap dokter Bagyo.

"Terima kasih...", jawabku kembali. Aku langsung berdiri dari kursi dan berjalan menuju pintu keluar. Pintu itu dibuka dengan digeser ke samping kanan, dan menutup kembali secara otomatis. Aku kemudian keluar. Aku melihat mas Ade menungguku di kursi panjang yang memang disediakan di depan ruangan periksa. Ia kemudian berdiri dan menghampiriku.

"Udah selesai A?", tanya mas Ade.

"Sudah mas.", jawabku.

"Gimana kata dokternya?", tanya mas Ade kembali.

"Delapan jahitan luar, sebelas jahitan dalam untuk pergelangan tangan ini. Dan empat jahitan luar untuk lengan atas ini mas. Tapi ngga apa-apa kok. Alhamdulillah tidak sampe kena otot dan urat. Kalau sampe kena, tangan ini jadi cacat.", jawabku sambil tersenyum pahit.

"Duh, alhamdulillah kalau begitu. Kalau sampe cacat ya gawat. Haduuh… itu jahitannya banyak amat?!", ucap mas Ade. Ia terkejut.

Aku hanya tersenyum.

"Buat kenang-kenangan mas. Buat nanti cerita sama anak cucu…", jawabku sekenanya sambil bergurau.

Aku duduk di kursi panjang. Mas Ade mengikutiku, dan ia duduk disampingku.

"Mas, nanti kalau ayah nanya, bilang aja Aa jatuh dari motor ya. Jangan bilang Aa berkelahi.", pintaku.

"Ya udah, nanti mas yang akan ngomong sama ayah. Aa tenang saja.", jawab mas Ade berusaha menenangkanku.

Aku merasa sedikit lebih lega. Batinku menjadi lebih tenang. Setidaknya, aku dibantu oleh mas Ade untuk menjelaskan asal luka ini. Meskipun aku tahu, sulit bagiku untuk membohongi ayah. Kalaupun ayah mendesak, aku terpaksa akan mengatakan yang sebenarnya. Tapi kalau tidak, ya aku tidak akan memulai pembicaraan yang mengarah ke penyebab luka ini.

"Kita pulang saja sekarang...", ucap mas Ade.

Aku mengangguk.

Mas Ade kemudian bangun dan berjalan menuju tempat parkiran motor. Aku mengikutinya dari belakang.

Aku mengingat kembali perkelahian tadi. Aku sendiri masih belum mengerti mengapa tebasan clurit yang begitu keras dan cepat itu hanya menyebabkan luka luar saja. Otot dan uratku sama sekali tidak terpotong. Pada saat itu aku hanya mengejangkan tangan kiriku semaksimal mungkin saat menangkis tebasan clurit. Temasuk juga saat tebasan yang kedua yang mengarah pada lengan atasku. Apakah ada pengaruh dari melakukan pengejangan otot? Ditambah lagi saat kemudian aku merasa berada dalam kondisi hidup dan mati, aku benar-benar merasakan seolah seluruh jiwa raga ini melebur jadi satu. Setiap aliran hawa di tubuhku begitu terasa. Mengalir, dari bawah pusar, lalu ke dada, lalu ke jantung, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Terasa benar.

Lebur.

Membaur.

Mengalir.

Menjadi satu.

Aku teringat, kalau selama enam bulan terakhir ini aku sudah dilatih olah nafas untuk Power oleh ayah. Olah nafas ini disebut dengan Olah Nafas Pengolahan, terdiri dari empat belas bentuk sedemikian rupa dengan teknik nafas berbasis dada-perut. Satu bulan pertama ayah melatihku tanpa menggunakan beban pemberat. Setelah dirasa cukup, di bulan kedua ayah melatihku dengan menggunakan tambahan beban berupa batu bata yang sudah di cor semen. Beratnya sekitar empat dua kilogram. Berlatih dengan menggunakan beban pemberat ini ternyata jauh lebih melelahkan, tapi juga menghasilkan kekuatan dan daya lentur otot yang lebih baik. Dua bulan aku dilatih seperti ini. Di bulan keempat, ayah mengganti bebanku dengan dua buah pot semen yang ujungnya berlubang lima sedalam satu ruas jari. Beratnya sekitar enam kilogram. Tiga kali lipat dari yang pertama. Aku harus mencengkram pot tersebut dengan masing-masing satu ruas jari saja. Pada pelatihan untuk beban ini, ayah juga memberikan tambahan berupa bentuk Petruk, yakni berdiri dengan satu salah satu kaki sedikit tertekuk dimana kaki yang satunya lagi diangkat dan ditekuk ke arah lutut sementara satu jari menyentuh tembok untuk menjaga keseimbangan. Jari yang tidak menyentuh tembok kemudian digunakan untuk mencengkram satu pot. Dilakukan bergantian untuk kanan dan kiri. Bentuk tambahan berikutnya adalah bentuk kopstand, yakni berdiri terbalik dengan kepala dibawah yang sedikit ditahan oleh tumpuan kedua lengan. Kurang lebih dua bulanan aku dilatih olah nafas pengolahan plus beban seperti itu. Tepat di bulan keenam, ayah mengganti bebannya dengan menggunakan rautan bambu selebar lengan dengan panjang kira-kira lima puluh sentimeter. Di tengah rautan bambu itu digantungi pot semen seberat kira-kira enam kilogram. Pada penggunaan beban yang ini, bentuknya masih sama dengan yang sebelumnya, hanya berbeda pada bagaimana cara mengejangkan tangannya. Kalau sebelum penggunaan beban rautan bambu, aku cukup dengan kejang-kendor saja. Maka pada rautan bambu itu aku harus mencengkram dan memutarnya keatas dan kebawah berkali-kali. Ini jauh lebih menguras tenaga.

Aku sendiri tidak mengetahui ada apa dibalik setiap latihan itu. Yang aku rasakan hanyalah kebugaran pada tubuh ini. Otot-otot semakin kuat dan kokoh, tapi juga semakin lentur. Nafasku semakin panjang dan dalam. Dan di dalam tubuh ini terasa seperti ada ‘sesuatu’.  Rasanya, aliran hawa hangat yang dulu sering aku rasakan menjadi semakin kuat dan tebal. Menjadi semakin terasa. Aku pernah menanyakan tujuan dari latihan itu pada ayah. Dijawab oleh ayah kalau nanti saat liburan, barulah ayah akan menjelaskannya.

Sekarang ini kebetulan sudah liburan sekolah, dua minggu pula. Tapi aku mengalami perkelahian yang tidak aku kehendaki sehingga harus mendapatkan dua puluh tiga jahitan.

Kalau ayah mengajakku di awal liburan ini bisa gawat karena lukaku pasti belum sembuh benar.

Berdasarkan pengalaman dari liburan tahun sebelumnya, ayah biasanya mengajak liburan kalau tidak di tengah waktu, ya di akhir waktu liburan. Lamanya antara tiga sampai lima hari. Lokasi biasanya di alam terbuka. Seringkali di daerah pegunungan. Beberapa kali pernah di daerah pinggiran pantai.

Liburanku dengan ayah selalu diisi dengan latihan silat.

Aku tidak pernah menolaknya karena aku memang suka. Mungkin, cara ayah mengajariku silat begitu berbeda, begitu menarik, sehingga aku jadi suka.

Banyak hal-hal di dalam silat yang berguna bagi kehidupanku. Ayah selalu mengingatkan, kalau silat janganlah dijadikan tontonan, tetapi jadikanlah bagian dari tuntunan. Silat harus bisa menjadikan diri lebih baik dari sebelumnya. Silat harus bisa menjadikan diri kita bijaksana. Begitu kata ayah.

"Uuh, bagaimana ini? ", gumamku dalam hati.

Aku harus secepatnya mengobati luka ini. Paling tidak, aku masih punya tiga sampai lima hari sebelum nanti ayah mengajakku berlibur.

Lamunanku dibuyarkan oleh suara mas Ade.

"Sudah sampe rumah A. Ayah keliatannya belum datang tuh. Mobilnya belum ada.", ucap mas Ade.

Benar, mobil ayah tidak terlihat di garasi, berarti ayah belum datang.

Aku langsung melompat turun.

"Terima kasih ya mas…”, ucapku.

"Iya… Masuk gih sana…”, jawab mas Ade.

Aku melihat mas Ade memarkirkan motornya di garasi. Aku berjalan menuju depan pintu rumah. Sesampainya di depan, aku membungkuk untuk melepas sepatuku dan meletakkannya pada rak sepatu di samping kanan pintu. Kemudian bergegas masuk ke dalam menuju kamarku.

Saat berjalan itu aku tiba-tiba teringat ucapan ayah. Ucapan yang sepertinya bisa menjadi petunjuk agar aku cepat pulih dari luka sobek ini.

"Getaran adalah gelombang. Gelombang adalah getaran. Getaran dari sukma sejati. Gelombang dari sukma sejati. Seni ini sangat istimewa. Mengembangkan ini akan membuka cakrawala pengetahuan beladiri yang sama sekali baru. Akan membuka ranah pengetahuan baru. Sebuah evolusi yang benar-benar evolusi. Bukan sekedar pengembangan, tetapi benar-benar evolusi. Belum pernah dibukukan sebelumnya. Belum pernah dipikirkan sebelumnya. Gabungan tradisional dengan modern. Satu ruang tumbuh yang baru. Yang suatu hari nanti akan kamu tempati, asalkan kamu masih di jalan pendekar dan ilmuwan.", ucapan ayah terngiang di telingaku.

"Tradisional … Modern …", ucapku perlahan.

"Jalan pendekar … jalan ilmuwan …", ucapku kembali dengan perlahan.

Ah, itu dia jawabannya!

Eureka!

Aku urungkan untuk masuk ke kamarku, tapi berbelok berjalan lebih cepat menuju ruang perpustakaan. Itu adalah ruang perpusatakaan keluarga. Dibuat sedemikian rupa oleh ayah untuk penghuni keluarga atau siapapun yang senang membaca.

Di kepalaku kini sudah terpikirkan sesuatu. Aku harus mencobanya. Harus.

Sesampainya di ruang perpustakaan, terlihat ada lima lemari buku yang cukup besar. Masing-masing lemari itu terbuat dari kayu jati tebal dan tingginya kira-kira tiga meter. Masing-masingnya terdiri dari empat sekat yang dibatasi oleh papan kayu. Lebar sekatnya kira-kira satu setengah meter. Setiap sekatnya berisi kumpulan dari buku-buku pengetahuan. Ada Agama, Biologi, Kimia, Fisika, Matematika, Kedokteran, Psikologi, Militer, Komputer, Majalah, Komik, Novel, dan banyak lagi. Kebanyakan buku-buku itu dibeli oleh ayah. Jumlahnya mencapai ratusan. Aku senang berada di ruang perpustakaan itu karena aku banyak menemukan hal baru. Aku banyak menemukan pengetahuan baru. Buku benar-benar merupakan gudang ilmu. Dan niat kita membacanya adalah kuncinya. Di depan lemari-lemari tersebut ada sebuah meja bundar yang di atasnya terdapat beberapa pulpen dan kertas-kertas kosong.

Seperti yang saat ini ada di kepalaku. Sepertinya aku ingin mencoba suatu pendekatan untuk mempercepat memulihkan jahitan pada luka ini.

Tiba-tiba aku teringat dengan sel batang atau sel punca, atau juga disebut dengan stem cell. Aku pernah membaca di salah satu buku di ruang perpustakaan kalau sel batang ini sangat unik. Sifatnya hanya dua, yang pertama adalah tetap menjadi sel batang saja dan yang kedua adalah dapat menjadi sel lain yang berbeda. Kalau ia ditempelkan pada sel jantung maka ia akan menjadi sel jantung, kalau ia ditempelkan pada sel kulit maka ia akan menjadi sel kulit, kalau ia ditempelkan pada jaringan tissue otot, maka ia akan menjadi jaringan tissue otot, demikianlah seterusnya. Ia akan menjadi apa dimana ia ditempelkan. Sel ini pada awalnya ditemukan dan dikembangkan dari placenta. Sehingga tidak heran penelitian awalnya sangat banyak ditentang oleh agamawan karena dianggap ‘jahat’ sebab harus mengorbankan bayi hanya untuk mengambil placenta-nya agar bisa digunakan untuk penelitian. Belakangan juga diketahui letak konsentrasi sel batang tersebut pada tubuh manusia, meskipun tidak sebanyak seperti pada placenta. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, salah seorang professor dari Jepang berhasil menemukan bahwa sel batang juga ternyata bisa dikembangkan dari jaringan di bawah kulit. Penelitian ini membawanya mendapatkan hadiah Nobel.

Aku langsung mencari buku yang berhubungan dengan informasi mengenai sel batang ini. Pandanganku tertumbuk pada sebuah buku berwarna ungu yang bertuliskan “STEM CELL”. Aku langsung mengambilnya.

Aku membuka buku itu. Membolak-balik halamannya. Mencoba mencari informasi yang berhubungan dengan lokasi-lokasi konsentrasi sel batang di dalam tubuh manusia.

Ketemu!

Aku mengambil pulpen dan secarik kertas dari atas meja. Menuliskan lokasi konsentrasi sel batang dalam tubuh manusia. Setelah itu meletakkan kembali buku itu di tempatnya.

Aku kemudian bergegas berjalan menuju kamar.

"Tradisional … modern …", ucapku kembali sambil tersenyum.

Aku bersiap-siap untuk melakukan sesuatu yang 'baru' dalam hidupku.




(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: anaknaga on 27/08/2011 04:52
 [top] [top] [top]

Wah cerita silat yang menarik. cerita ini hasil mersudi ya mas agung?
karena sudah mulai yang cuti saya ucapkan saja selamat mudik lebaran untuk semua sahabatsilat.com team.
 [[peace2]]
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 27/08/2011 14:52
Hehehe itu cerita iseng pengisi waktu luang saja mas.   x-))

Selamat mudik lebaran juga untuk yang mudik, dan tentu yang masih sempet buka sahabatsilat lewat HP.   [top]

Bagi yang ingin membaca cersil ini yang sudah dalam bentuk kompilasi buku, silahkan download disini:

https://skydrive.live.com/?cid=12ea94da72decb15&sc=documents&id=12EA94DA72DECB15!127

Buku Kesatu, edisi perdana 'Tembang Tanpa Syair'. Jadi bisa di baca offline.

Buku kedua sedang dalam proses editing. :)

Monggo dinikmati, semoga saja ada manfaatnya...

Salam.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 29/08/2011 15:16
Tembang Tanpa Syair - Bagian 17

Tradisional Dan/Atau Modern?


Kamarku berukuran empat kali lima meter. Cukup besar. Ada cukup ruang bagiku untuk berlatih sendiri di kamar. Temboknya berwarna putih. Sebuah jam dinding berwarna biru terpaku di tembok di atas lemari agak sedikit ke atas. Letak kamarku berada di samping kamar adikku, Ayu, dan agak jauh sedikit dari kamar adik-adikku yang lainnya yakni Bayu dan Taufan.
 
Di dalam kamar aku langsung membuka baju. Dengan bertelanjang dada aku mengambil posisi duduk sila. Aku merapatkan kedua tanganku, memejamkan mata, kemudian berdoa agar diberikan kemudahan. Kemudian aku kembali membuka mata, bersiap untuk memulai latihan olah nafas yang disebut dengan Nafas Pembersih, yakni salah satu bagian olah nafas dari latihan Getaran tingkat dasar. Aku tidak perlu melakukan pemanasan lagi, karena pertarungan tadi cukup membuat tubuhku menjadi panas.
 
Aku membaca ulang tulisan pada secarik kertas yang kugunakan sebelumnya untuk mencatat lokasi konsentrasi sel batang atau sel punca atau stem cell. Tulisan yang aku sadur sebagian dari buku stem cell dan sebagian dari jurnal ilmiah dari dr. Shinya Yamanaka.
 
Ada beberapa alasan mengapa stem cell merupakan calon yang bagus dalam terapi berbasis sel. Pertama, stem cell tersebut dapat diperoleh dari pasien itu sendiri. Artinya transplantasi dapat bersifat autolog sehingga menghindari potensi rejeksi. Berbeda dengan transplantasi organ yang membutuhkan organ donor yang sesuai (match), transplantasi stem cell dapat dilakukan tanpa organ donor yang sesuai. Kedua, mempunyai kapasitas proliferasi yang besar sehingga dapat diperoleh sel dalam jumlah besar dari sumber yang terbatas. Misalnya pada luka bakar luas, jaringan kulit yang tersisa tidak cukup untuk menutupi lukanya. Dalam hal ini terapi stem cell sangat berguna. Ketiga, mudah dimanipulasi untuk mengganti gen yang sudah tidak berfungsi lagi melalui metode transfer gen. Keempat, dapat bermigrasi ke jaringan target dan dapat berintegrasi ke dalam jaringan dan berinteraksi dengan jaringan sekitarnya.
 
Stem cell dapat ditemukan dalam berbagai jaringan tubuh. Salah satunya ada pada stem cell dewasa, yang diambil dari jaringan dewasa yakni pertama pada sumsum tulang, kedua pada susunan syaraf pusat, ketiga pada adiposit atau jaringan lemak, keempat pada otot rangka, dan kelima pada pankreas. Pada lokasi-lokasi itulah nanti getarannku akan kupakai untuk 'memancing' stem cell untuk kemudian diarahkan pada luka sobek di lengan kiriku.
 
Aku mulai dari Nafas Pembersih berdasakan empat penjuru mata angin seperti yang pernah diajarkan oleh ayah. Mulai dari arah Selatan, Timur, Utara, dan Barat. Arah Selatan dan Utara berhawa dingin. Arah Timur dan Barat berhawa panas. Selatan dan Utara membersihkan kepala dan badan sedangkan Timur dan Barat membersihkan tangan dan kaki. Pertama, aku menghadap ke Selatan. Saat itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada aliran 'air dingin' yang dijatuhkan pada ubun-ubun hingga kemudian 'membersihkan' rongga kepala hingga pangkal leher. Setelah dirasa cukup, kemudian bergeser ke arah kiri menghadap Timur. Saat  itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada aliran panas yang masuk ke pangkal lenganku hingga ujung jari. Setelah dirasa cukup, kemudian bergeser ke arah kiri menghadap Utara. Saat itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada 'air dingin' yang masuk mulai dari pangkal leher hingga ke pinggang untuk membersihkan area tersebut. Setelah dirasa cukup, kemudian bergeser ke arah kiri menghadap Barat. Saat itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada aliran panas yang masuk mulai dari pangkal kaki hingga ke ujung jari kaki. Setelah dirasa cukup, kembali bergeser ke arah kiri hingga balik lagi pada arah selatan.
 
Bagaimana memahami rasa inderawi pada 'dingin' dan 'panas'? Dulu, kira-kira sepuluh tahunan yang lalu saat ayah pertama kali mengajariku, tanganku diminta untuk menyentuh es batu terlebih dahulu sambil mengatakan kalau nanti rasa seperti inilah yang coba dimunculkan. Tanganku benar-benar disentuhkan ke es batu beberapa detik. Tentu saja rasanya sangat dingin. Dinginnya merambat perlahan dari telapak tangan yang menyentuh es batu itu ke arah lengan. Menjalar seperti rambatan tetumbuhan. Seperti itulah nanti rasa dinginnya kata ayah. Sedangkan untuk hawa panas, ayah dulu membawa lilin kemudian menyalakannya. Telapak tanganku diminta didekatkan ke arah api lilin hingga hanya berjarak satu ruas jari saja. Tentu saja rasanya mula-mula hangat kemudian memanas. Merambati telapak tanganku hingga ke lengan. Menjalar seperti rambatan tetumbuhan juga. Seperti itulah nanti rasa awal yang harus aku rasakan saat berlatih nafas pembersih ini.
 
Kemudian, saat kemudian usiaku bertambah, dan aku baru sudah masuk SMU, pada suatu latihan yang sama, ayah mengatakan bahwa 'dingin' dan 'panas', janganlah sekedar dirasakan oleh panca indera saja, tetapi juga harus memahami makna dari itu. Saat menghadap ke Selatan, kepalaku 'dibersihkan' dengan hawa dingin. Sedangkan saat menghadap ke Utara, badanku juga 'dibersihkan' dengan hawa dingin. Ayah mengatakan kalau kepala dan badan itu tempat dimana pikiran dan hati berada. Pikiran, nalar, otak, berada di kepala. Sedangkan hati,, berada di badan. 'Membersihkan' ini juga harus membersihkan hakekat dari keduanya, mendinginkan keduanya.
 
Dingin.
 
Tenang.
Bersih.
 
"Kepala tidak boleh 'panas', dan hati juga tidak boleh 'panas'. Kalaupun hati terpaksa 'panas', maka kepala harus tetap 'dingin'. Kalau dua-duanya 'panas', maka akan hilanglah kontrol diri. Hilanglah apa yang disebut dengan sisi kemanusiaan kita. Kita sudah bukan manusia lagi. Dan itu tidak boleh terjadi.", kata ayah.
 
"Memahami Nafas Pembersih tidak sekedar pada hasil akhir dari manfaat nafas jenis ini, atau yang berhubungan dengan kesadaran inderawi saja pada apa yang bisa dihasilkan darinya, akan tetapi lebih jauh lagi menyelami filosofi apa yang bisa didapatkan dari nafas pembersih yang berguna untuk membuat hidup kita menjadi lebih baik dan bijak.", lanjut ayah.
 
Saat ini, aku baru memahami ucapan ayah.
 
Sembilan menit berlalu. Aku sudah selesai melakukan nafas pembersih.
 
Pikiran dan hatiku sudah sangat tenang. Tubuh ini juga rasanya ringan. Telinga seperti mendengar suara yang lebih jelas dan jernih dari biasanya. Pandangan mata juga menjadi lebih 'terang'.
 
Aku memejamkan mata, memusatkan diri pada niat dan konsentrasi. Bawah pusarku mulai menghangat. Aku 'tarik' tenaga getaranku menuju dada, merasakan dadaku mulai menghangat. Setelah itu aku alirkan tenaga getaran ini pada jantung terlebih dahulu, kemudian pada lokasi-lokasi stem cell ini berada sambil memperkuat niat dan konsentrasi untuk 'membawa' stem cell ini pada kedua luka sobek di lengan kiriku. Terakhir, aku berkonsentrasi pada seluruh bagian kulit tubuhku, untuk kemudian mencoba 'menarik' stem cell dari kulit yang dialiri tenaga getaran ini yang nantinya akan diarahkan pada dua luka sobek di lengan kiriku itu. Seluruh kulitku serasa dirambati ribuan semut yang berjalan.
 
Perlahan.
 
Merambati.
 
Setelah itu, luka sobek ini terasa agak berasa 'gatal' seperti digigiti semut. 'Gatal' yang tidak ingin digaruk. Aku tidak tahu berapa lama melakukan ini .Yang jelas, aku benar-benar 'tenggelam' pada aktivitas ini. Keringatku juga cukup banyak keluar dari tubuhku ini.
 
Aku baru membuka mata setelah menginginkannya. Artinya, tubuhku sudah merasa cukup untuk itu.
 
Aku menoleh ke arah jam dinding, ternyata sudah lima belas menit aku melakukan ini. Lumayan lama juga, gumamku dalam hati. Luka sobekku ini mulai berasa nyaman. Aku tutup kembali latihan kali ini dengan Nafas Pengendapan, menarik kembali tenaga yang sudah dikeluarkan, kemudian menyimpannya kembali di bawah pusar sambil menyisakan sedikit untuk dialirkan ke dada agar tubuhku menjadi lebih segar. Setelah itu berdoa, berterima kasih kepada Allah atas segala nikmat-Nya.
 
Aku berdiri. Berjalan menuju lemari baju yang disampingnya ada tempat untuk menggantungkan handuk. Ada dua handuk disitu, terdiri dari satu handuk besar dan satu handuk kecil. Tangan kananku meraih handuk kecil, lalu aku bersihkan badanku, terutama yang berkeringat, dengan handuk tersebut. Setelah itu aku berjalan menuju lemari, membuka pintu lemari, untuk kemudian mengambil kaos berlengan panjang dan memakainya.
 
Segar sekali rasanya tubuh ini. Tiba-tiba terdengar suara-suara aneh di perutku. Ah, tampaknya perutku sudah mulai berontak untuk diisi nih.
 
Aku berjalan menuju pintu kamar, membukanya, dan berjalan keluar menuju dapur. Sambil berjalan, aku melihat adikku, Ayu, sedang bermain bersama Bayu dan Taufan.
 
"Kakaaak… sini… ikutan main gak Kak?", tanya Ayu.
 
Aku menggeleng, sambil kedua ujung telunjuk tanganku mengarah ke perutku sendiri.
 
"Nggak Yu, nanti saja ya mainnya. Kakak lapar nih. Mau makan dulu di dapur…", jawabku. Aku melihat Ayu kembali bermain bersama adik-adiknya.
 
Aku meneruskan langkahku menuju dapur. Bersiap untuk makan karena perut ini rupanya sudah mulai berontak. Wajar saja, setelah mengalami pertarungan hidup dan mati sebelumnya aku baru meminum segelas teh manis saja. Ditambah lagi latihan nafas pembersih yang hampir setengah jam, benar-benar membuat perutku seperti 'protes' untuk diisi.
 
Sesampainya di dapur, aku melihat mbak Juju sedang mencuci piring. Mbak Juju diperbantukan oleh bundaku untuk beres-beres rumah. Aku tidak pernah sampai hati menyebutnya 'pembantu' sebab meskipun ia orang lain, tapi ia bagian dari keluargaku kini, yang juga ikut menjaga rumah dalam porsinya yang sudah ditentukan. Aku lebih suka menyebutnya dengan istilah 'mbak'. Usianya kira-kira tiga puluh tahunan, berasal dari salah satu kampung yang agak jauh di Jawa Barat.
 
Dapur itu ukurannya agak besar, kira-kira lima kali enam meter. Terdapat kaca yang mengarah ke halaman pada beberapa sisinya. Di tengahnya ada meja makan, tempat aku dan anggota keluarga yang lain makan. Meja makan itu berbentuk persegi empat, dengan empat kursi yang mengelilinginya. Meskipun kami sebenarnya memiliki ruang makan keluarga sendiri yang letaknya terpisah dari situ.
 
Mbak Juju melihatku. Ia bergegas mencuci bersih tangannya, berbalik badan, dan menyapaku.
 
"Mau makan A?", tanyanya sambil tangannya berusaha di lap dengan kain yang diikatkan di pinggangnya.
 
Aku mengangguk.
 
"Iya mbak. Laper nih perut. Ada masakan apa mbak hari ini?", jawabku.
 
"Ada semur telur dan tahu A. Tempe goreng juga ada, tapi keliatannya tadi habis karena dimakan sama Ayu. Mbak goreng dulu ya sebentar.", ucap mbak Juju.
 
Mbak Juju kemudian menyalakan kompor yang letaknya tidak jauh dari tempat mencuci piring, mengambil sebuah penggorengan, lalu mengisinya dengan minyak secukupnya. Ia lalu berjalan menuju lemari pendingin, membuka pintunya, dan mengeluarkan tempe mentah yang sudah dipotong-potong kecil. Berjalan kembali menuju tempat penggorengan. Lalu berdiri disitu, menunggu minyaknya panas.
 
Aku sendiri langsung duduk mengambil kursi yang terdekat. Sambil menunggu mbak Juju selesai menggoreng tempe, aku terpikirkan aktivitasku sebelum ini. Pandanganku aku arahkan pada salah satu kaca di depan. Aku menyentuhkan ujung siku kedua lenganku di atas meja sambil telapak tanganku menahan daguku. Sikap ini adalah sikap seperti sedang merenung.
 
Mataku terpejam.
 
Yang baru aku lakukan barusan saat dikamar adalah berusaha untuk mengobati sendiri luka sobek ini dengan menggunakan pendekatan tradisional dan modern. Aku menganggap latihan silatku ini adalah tradisional, dan pengetahuan mengenai stem cell atau sel batang ini adalah modern. Setidaknya, begitulah saat ini yang ada di pikiranku. Dianggap tradisional karena latihan seperti itu tidak berhubungan dengan ilmu pengetahuan modern. Seringkali tidak tahu alasannya mengapa begini dan mengapa begitu. Bahkan seringkali juga tidak bisa dijelaskan dengan rasio. Sedangkan stem cell atau sel batang dihasilkan dari penelitian para ilmuwan dengan berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah modern di abad 20 saat ini.
 
Dheg…
 
Tiba-tiba hatiku seperti dipalu godam.
 
Aku tiba-tiba teringat ucapan ayah mengenai kesadaran inderawi dan kesadaran rasional. Ingatanku juga melayang pada saat ayah selesai melatih olah nafas Pengolahan dengan menggunakan beban bambu raut yang ditengahnya digantung sebuah pot kecil dari semen seberat empat kilogram. Saat itu ayah berdiskusi denganku.
 
"Nak, orang-orang zaman sekarang menggolongkan silat ini sebagai tradisional. Termasuk latihan olah nafasmu barusan. Sedangkan apa yang dihasilkan di zaman sekarang dianggap sebagai modern. Menurutmu, benarkah demikian nak?", tanya ayah kepadaku.
 
Aku menggeleng.
 
"Aa belum begitu mengerti yah…", jawabku.
 
"Ketahuilah nak, silat adalah ilmu pengetahuan. Meskipun orang-orang modern tidak berani mengakuinya demikian. Silat itu dapat mengungkap pengetahuan akan banyak hal. Ia seringkali dianggap tradisional, hanya karena ia kebanyakan berasal dari kampung, tertutup, diturunkan dari generasi ke generasi yang umumnya secara tutur atau lisan, sedikit tulisan, dan seringkali susah dijelaskan dengan menggunakan metode-metode ilmiah pada saat ini. Padahal ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari silat ini sudah melampaui zamannya, sudah lebih dulu diketahui sebelum ilmu pengetahuan modern berhasil menemukannya. Silat itu sendiri sudah merupakan teknologi 'modern' dalam bentuknya yang lain.", ucap ayah.
 
"Sebagai contoh, ilmu getaran untuk tutup mata yang sudah pernah ayah ajarkan. Ilmu itu sudah lebih dulu ditemukan sebelum pengetahuan modern memahami konsep remote sensing, sebelum pengetahuan modern memahami bahwa atom suatu benda itu menyimpan karakteristik berupa warna, bentuk, sifat, dan informasi lainnya, atau sebelum konsep dualisme sifat pada Fisika Kuantum bisa diterima secara umum. Dan ada banyak hal lain lagi yang sudah ditemukan lebih dulu oleh ilmu silat ini. Ia sesungguhnya sudah modern pada zamannya. Ia sudah melampaui zamannya.", lanjut ayah.
 
"Eh, bener juga…", gumamku dalam hati. Aku mengangguk. Membenarkan ucapan ayah.
 
"Sudah belajar apa saja kamu sampai sejauh ini di sekolah?", tanya ayah.
 
"Banyak yah. Aa belajar matematika, fisika, akuntansi, kimia, biologi, sejarah, olahraga, dan banyak lagi yah…", jawab Aa.
 
"Benar nak, kamu hidup dengan belajar banyak hal. Di sekolah, sebagian besar kamu belajar hal-hal yang mengasah logika, nalar, otak. Hal-hal yang kebanyakan mengajarkan pada rasionalitas. Dimulai dari kesadaran inderawi, dan berujung pada kesadaran rasional. Pada akhirnya nanti, pengetahuanmu ini diharapkan akan mengerucut menjadi 'sesuatu'. Ingin menjadi apa nantinya pengetahuan dari kesadaran rasionalmu, ingin digunakan untuk apa nantinya pengetahuanmu, semua tergantung pada ini..", ucap ayah sambil ujung empat jari tangan kanannya ditempelkan ke tengah dadanya sambil sedikit ditepuk-tepuk perlahan.
 
"Pengetahuan itu nantinya akan bergantung pada hati, bergantung pada rasa, bergantung pada mata hati. Jika baik hatimu, maka baik pula lisanmu, baik pula tindakanmu, baik pula pada apa yang dihasilkan dari pengetahuanmu, serta baik pula apa-apa yang dihasilkan dari kombinasi diantaranya. Efeknya baik pula pada apa-apa yang dirasakan oleh sekitarmu serta alam raya ini. Demikian juga sebaliknya nak.", lanjut ayah.
 
"Ilmu silat sesungguhnya adalah ilmu pengetahuan modern. Sama sekali bukanlah tradisional dalam gambaran yang dibayangkan oleh orang-orang modern zaman sekarang.", ucap ayah menambahkan.
 
"Pengetahuan modern, memungkinkan kamu menjelaskan sesuatu. Sedangkan ilmu silat, memungkinkan kamu merasakan sesuatu. Pengetahuan modern memberimu penjelasan. Ilmu silat memberimu rasa. Silat merupakan bagian dari pengetahuan rasa.", tambah ayah.
 
"Ingatlah nak, tidak penting bagaimana kamu menafsirkan modern dan tradisional. Karena tradisional tidaklah sepenuhnya 'tradisional', dan modern tidaklah benar-benar 'modern'. Bahkan banyak beladiri yang mengklaim modern tetapi kehilangan ruh pada 'rasa'. Definisi seperti itu lebih baik disingkirkan. Ambil manfaat dari keduanya. Ambil apinya, jangan abunya. Yang jelas, ketahuilah bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh berusaha 'membaca' fenomena alam, apakah dari pendekatan fisika, kimia, biologi, matematika, medis, maupun bagian dari suatu seni beladiri, baik pada dirinya sendiri ataupun pada orang lain, niscaya akan makin menyaksikan kebesaran ilahi. Berpeluang mendapat hidayah, makin tebal keimanannya.", tegas ayah.
 
Aku menunduk. Hatiku bergetar mengingat ucapan ayah.

"Sudah siap A.", ucap mbak Juju membuyarkan lamunanku. Mbak Juju kemudian menghidangkan sepiring nasi yang berisi lauk pauk semur telur dan tahu, tidak lupa ada tiga potong tempe goreng. Setelah itu mengambil teh botol dari lemari pendingin dan meletakkannya disamping piring.

"Iya mbak, terima kasih.", jawabku sambil mengangkat kepalaku.

Melihat sepiring nasi dengan semur telur kesukaanku, hasrat makanku menjadi menggebu. Tanpa menunggu lagi, langsung aku santap hidangan di atas meja.




(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: Toyosu on 29/08/2011 23:46
Mantap mas mpcrb!!!

Ditunggu lanjutan kisahnya si Aa berlatih dengan halter samping dan tengah, lanjut ke gendewo dan busur payung. ^_^
Juga proses berlatih menguasai pasir besi, bayu seto, lembu sekilan, dan aplikasinya dalam dunia nyata...
Cerita interaksi getaran dengan alam, langit, hujan, sungai, ....
Waah pasti mantep kalau diolah dalam cerita dari mas mpcrb.

Teknik pengobatan juga boleh dibahas mas. ... Saya jadi ingat dulu mbangunin orang pingsan, gak mempan dengan narik yang di dekat ketiak, terpaksa ke yang lebih mantap di dekat selangkangan, hehehe.

Ied mubarak.
Taqabbalallahu minna wa minkum.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 05/09/2011 09:17
Tembang Tanpa Syair - Bagian 18

Fenomena Regenerasi Sel


Malam ini adalah malam ketiga di liburanku. Tiga hari ini pula aku selalu memakai kaos lengan panjang saat di rumah. Aku tidak ingin ayah atau bundaku khawatir dengan luka sobekku. Tiga hari pula aku selalu berlatih pengobatan dengan caraku sendiri. Luka ini sudah mulai merapat. Lengan kiriku sudah mulai berani terkena air. Jujur, aku sendiri heran mengapa lukaku bisa cepat merapat seperti ini. Aku hanya mencoba melakukan apa yang bisa aku lakukan. Aku coba gabungkan pengetahuan mengenai tenaga getaranku dengan ilmu pengetahuan modern berbasis stem cell atau sel batang atau yang sering disebut dengan sel punca. Mencoba mengalirkan stem cell itu pada kedua lukaku. 
 
Nyatanya berhasil. Meski aku tidak bisa menjelaskan mengapa bisa begitu. Meski aku juga tidak tahu apa benar stem cell itu yang membuat lukaku menjadi cepat merapat. Tapi nyatanya demikian. Luka ini sudah mulai kering. Sudah mulai merapat. Lebih cepat dari yang diperkirakan. Obat dari dokter masih tersisa banyak.
 
Malam ini, tempat jam sembilan malam, ayah mengajakku berlatih di halaman setelah siang tadi ayah mengatakan kalau ada sesuatu yang harus aku pelajari. Siang tadi, aku sedang menonton televisi di ruang keluarga. Dari balik kaca ruang tamu, aku melihat ayah berbicara dengan mas Ade di depan teras rumah. Pembicaraan itu tampak serius. Mas Ade pasti memberitahu lukaku ini, dan aku yakin mas Ade juga melindungiku dengan tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya bahwa luka yang kudapat ini adalah hasil dari perkelahian di jalanan. Saat itu aku melihat ayah hanya tersenyum mendengar penjelasan dari mas Ade meskipun aku tidak tahu apa yang dijelaskan oleh mas Ade. Setelah selesai menjelaskan, ayah berdiri dan berjalan masuk ke rumah, menghampiriku. Aku langsung balik badan dan kembali menonton televisi, pura-pura tidak melihat ayah.
 
Ayah duduk di samping tempat dudukku.
 
"Nanti malam, jam sembilan, kita latihan di halaman. Ada yang ingin ayah ajarkan padamu...", ucap ayah.
 
Aku mengangguk.
 
"Iya yah...", jawabku.
 
Aku masih di kamar, memandangi jam dinding yang menunjukkan pukul delapan lebih empat puluh lima menit. Masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum aku berlatih bersama ayah di halaman. Aku melepas perban yang digunakan untuk membalut luka sobek di lengan kiriku. Terlihat luka itu kini benar-benar sudah mulai merapat. Aku sengaja melepasnya karena kalau berlatih bersama ayah dan perban itu masih aku pakai, tentu akan terlihat, dan ayah tentu akan bertanya. Setidaknya, dengan melepas perban itu, suasana halaman yang agak gelap bisa menyamarkan kulit ini.
 
Setelah mengganti celana dengan celana hitam latihan, aku berjalan mendekati pintu kamar. Membukanya, dan kemudian berjalan santai menuju ruang tamu yang terbuka. Aku melihat ayah sudah berada di halaman. Ayah tampak sedang duduk bersila. Matanya terpejam. Nafasnya halus, teratur. Aku berjalan mendekati ayah. Lalu duduk di depan ayah, berjarak kira-kira dua meteran.
 
Ayah kemudian membuka mata.
 
"Bagaimana lukamu?", tanya ayah.
 
Benar saja. Ayah pasti akan bertanya masalah ini.
 
"Sudah mendingan yah. Sudah diobati. Sekarang sudah mulai merapat dan sudah mulai kering.", jawabku.
 
Hatiku masih agak khawatir kalau-kalau nanti ayah menanyakan penyebab dari luka ini.
 
"Ya sudah. Kalau begitu, dalam dua atau tiga hari ke depan ini kamu akan ayah ajarkan teknik olah nafas untuk regenerasi sel tubuh", ucap ayah.
 
Dheg...
 
Aku terkejut. Teknik olah nafas untuk regenerasi sel tubuh?
 
"Me...me...memangnya ada yah yang seperti itu?", tanyaku dengan sedikit kebingungan.
 
"Tentu saja ada nak... Silat yang ayah ajarkan ini istimewa loh. Salah satu seni yang tidak kalah istimewa dengan yang lain. Meski kebanyakan sedikit yang mau peduli dengan keistimewaannya karena rata-rata malas untuk memikirkan dan merenungkan, apalagi melatihnya secara rutin.", jawab ayah dengan tersenyum.
 
Aku menjadi bersemangat. Ini luar biasa! Aku tidak tahu kalau ada keilmuan pada silat yang ayah ajarkan yang fungsinya untuk regenerasi sel tubuh. Aku sendiri sebelumnya sudah mencoba teknikku sendiri berdasarkan pada pengetahuan stem cell yang pernah aku baca di perpustakaan. Itu kemudian memberikanku ide untuk mencoba sendiri gabungan antara tenaga getaran dengan pengetahuan stem cell. Dengan rasa penasaran yang besar, aku ingin tahu bagaimana teknik olah nafas untuk regenerasi sel yang nanti akan ayah ajarkan.
 
"Ambil jarak. Berdoa terlebih dahulu, kemudian lakukan Nafas Pembinaan, tapi cukup bentuk Nafas Garuda saja. Lakukan tiga kali. Tidak perlu pengejangan maksimal, terutama pada lengan kirimu.", pinta ayah.
 
Aku menurut.
 
Aku mundur dengan beringsut beberapa langkah, kupejamkan mataku, lalu mengambil sikap berdoa. Setelah itu barulah melakukan olah nafas yang disebut dengan Nafas Pembinaan.
 
Olah nafas ini terdiri dari empat bentuk utama. Boleh dilakukan dengan posisi duduk, atau posisi berdiri dengan kuda-kuda rendah. Bentuk pertama disebut dengan Bentuk Garuda. Gerakannya adalah merapatkan kedua telapak tangan di depan dada dengan kedua siku yang diangkat sejajar. Badan tegak. Nafasnya berdesis keras sehingga menimbulkan bunyi "sesssssssssssh". Bungkukkan badan, lalu buang nafas sampai 'habis', sampai sudah tidak bisa lagi menghembuskan nafas. Setelah itu tahan tiga sampai lima detik dalam kondisi 'kosong'. Selanjutnya tarik nafas dari hidung sambil badan kembali ditegakkan. Nafas yang dihirup, 'ditelan' dan di tahan di dada. Saat menahan nafas ini, kedua telapak tangan saling mendorong kuat, keras, bertenaga sambil telapak tangan yang bersentuhan tadi didorongkan ke depan perlahan sekali sembari otot-otot lengan dikejangkan dengan kuat. Dorong sampai maksimal, sampai kedua lengan menjadi lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke depan. Setelah itu, gerakkan ke samping badan dengan lengan tetap lurus dan telapak tangan tetap terbuka ke depan. Gerakkan perlahan, sejajar bahu hingga melewati bahu, hingga tidak bisa lagi digerakkan. Yakni saat otot bahu sudah mencapai titik akhir pergerakan. Biasanya otot bahu akan saling berdekatan. Tahan beberapa detik, lalu gerakkan kembali ke depan hingga kedua tangan lurus. Rapatkan kedua telapak tangan secara perlahan bersamaan dengan menekuk siku yang harus tetap sejajar sehingga kedua telapak tangan yang tadi dirapatkan mulai mendekat ke dada. Telapak tangan ini saling mendorong. Kuat, keras, bertenaga. Dekatkan ke arah dada, lalu kendorkan dan buang nafas kembali.
 
Aku melakukan itu sebanyak tiga kali, secara maksimal, seperti yang diminta oleh ayah.
 
Seluruh tubuhku kini sudah mulai menghangat
 
Aku membuka mataku.
 
"Bagus, nak. Sekarang, buka telapak tanganmu dan letakkan punggung tanganmu di atas lutut. Atur agar sudut yang dibentuk pada masing-masing tengah telapak tanganmu mengarah pada ulu hatimu.", pinta ayah.
 
Aku menurut. Aku buka telapak tanganku, punggung telapak tanganku aku letakkan di atas lutut, kemudian aku atur sedemikian rupa sudutnya agar mengarah pada ulu hatiku.
 
"Bagus. Sekarang, pejamkan matamu … seluruh tubuh harus rileks, tanpa ada pengejangan …", ucap ayah.
 
Aku mulai memejamkan mata.
 
"Pola nafas menggunakan nafas segitiga yakni interval antara buang, tahan, dan tarik harus sama, harus teratur, harus berada dalam keteraturan. Ingat, konsentrasi pada nafasmu.", lanjut ayah.
 
"Buang nafas perlahan dari mulut … sampai habis … lalu tarik perlahan dari hidung. Perlahan … dihayati … rasakan benar nafasmu .. .turunkan ke bawah pusar, tahan sebentar … lalu naikkan ke ulu hati … naikkan lagi ke pangkal tenggorokan … naikkan lagi ke titik diantara dua mata … naikkan lagi ke ubun-ubun … lalu buang nafas perlahan dari mulut.
 
Tarik nafas lagi perlahan dari hidung … konsentrasikan pada ubun-ubun … lalu turunkan ke otak kecil bagian belakang … tahan sebentar disana … lalu turunkan ke leher … turun lagi ke menyusuri tulang belakang … turunkan lagi ke pinggang … turunkan lagi hingga ke ujung tulang ekor … buang nafas perlahan dari mulut.
 
Tarik nafas lagi perlahan dari hidung … konsentrasikan pada ujung tulang ekor … lalu naikkan ke pinggang … naikkan lagi menyusuri tulang belakang … naikkan lagi ke leher … naikkan lagi ke otak kecil bagian belakang … tahan sebentar disana … lalu naikkan lagi ke ubun-ubun … lalu buang nafas perlahan dari mulut.
 
Tarik nafas lagi perlahan dari hidung … konsentrasikan pada ubun-ubun … lalu turunkan ke titik diantara dua mata … turunkan lagi ke tenggorokan … turunkan lagi ke ulu hati … lalu turunkan lagi ke bawah pusar … tahan sebentar disana … lalu buang nafas perlahan dari mulut.", jelas ayah.
 
Aku mengikuti setiap instruksi dari ayah. Menarik nafas, lalu menurunkannya ke bawah pusar, naik lagi pada lokasi-lokasi yang disebutkan oleh ayah. Terasa sekali ada 'sesuatu' yang 'berjalan' pada setiap titik lokasi yang disebut oleh ayah. Seperti memutari tubuhku, lalu mengalir dan seperti 'berpencar' ke seluruh tubuh. Rasanya, setiap sel-sel tubuh ini 'terisi' oleh sesuatu. Baru satu putaran saja sudah menghasilkan kesegaran yang luar biasa.
 
"Lakukan seperti itu terus hingga ayah bilang cukup…", lanjut ayah.
 
Aku menurut.
 
Rasanya sungguh sangat nyaman.
 
Aku tenggelam dalam konsentrasi melakukan olah nafas ini. Entah berapa lama, aku tidak tahu. Yang jelas, ini benar-benar sangat nyaman sekali. Setiap titik yang dilewati oleh aliran nafas ini benar-benar membawa kesegaran yang luar biasa.
 
"Cukup … sudah tujuh menit … bukalah matamu …", ucap ayah.
 
Aku membuka mata.
 
Entah apakah perasaanku saja atau bagaimana, tapi pandangan mata ini terasa lebih terang dari biasanya. Pendengaranku juga serasa lebih tajam. Tujuh menit ini benar-benar membuat tubuhku bugar dan segar luar biasa.
 
"Bagaimana perasaanmu?", tanya ayah.
 
"Nyaman sekali yah … ", jawabku.
 
"Bagus. Sekarang kamu lakukan yang sama seperti tadi, tetapi ditambah dengan visualisasi. Setiap kali kamu menarik nafas, bayangkan juga seolah ada 'air dingin' yang masuk ke tubuhmu, dan setiap jalur yang dilewati oleh 'air dingin' bayangkan menjadi terang seperti lampu halogen, seperti lampu neon yang berwarna putih terang. Paham?", tanya ayah.
 
Aku mengangguk.
 
Aku memejamkan mataku.
 
"Ingat, konsentrasilah pada nafasmu … ikhlas …", ucap ayah.
 
Aku tidak menjawab, tapi lebih tenggelam pada konsentrasiku.
 
Hening.
 
Menghayati.
 
Merasakan.
 
Ikhlas.
 
Aku tarik nafas perlahan dari hidung, lalu menurunkannya ke bawah pusar sambil membayangkan 'air dingin' memasuki tubuhku ini. Setelah itu melakukan visualisasi seperti lampu halogen atau lampu neon berwarna putih terang pada setiap titik yang dilewati. Pertama adalah bawah pusar. Dalam keheninganku, aku 'melihat' bawah pusarku menyala putih terang. Lalu aku naikkan ke ulu hati, menyala pada jalur, menyala pada ulu hati. Uuh, terang sekali. Persis seperti lampu neon. Naik lagi ke tenggorokan, naik lagi ke titik diantara dua mata, naik lagi ke ubun-ubun. Lalu aku buang nafas karena memang itu sudah batas maksimum dari menahan nafasku. Uuh, jalur yang dilewatinya benar-benar menjadi sangat terang. Aku bisa 'melihatnya'. Setelah kemudian menarik nafas yang kedua, aku konsentrasikan pada ubun-ubun, lalu turun ke otak kecil bagian belakang, tahan sebentar disana, lalu turun lagi, terus, terus, terus, pada lokasi yang sudah disebutkan oleh ayah. Dengan visualisasi ini, rasanya sungguh sangat berbeda.
 
Aku bisa 'melihat' bagian depan dan tubuhku 'menyala' terang. Pendarannya kemudian seperti merambat mengisi ke samping kanan dan kiri tubuhku. Perlahan lahan tapi pasti, warna putih itu menyebar hingga memenuhi tubuh ini. Rasanya menjadi sangat sangat nyaman.
 
Entah berapa lama aku tenggelam dalam latihan ini. Aku benar-benar bisa merasakan aliran darah ini mengalir, jantung, lengan, tenggorokan, ulu hati, kaki, ubun-ubun, otak kecil, kepala, semua bagian ini rasanya dipenuhi oleh sensasi yang luar biasa. Kulitku seperti dirambati ribuan semut.
 
"Bagus. cukup, nak… sudah sembilan menit. Selesaikan putarannya hingga kembali ke bawah pusar.", ucap ayah.
 
Aku membuka mata perlahan.
 
Benar-benar tidak terasa sudah sembilan menit aku melakukan ini. Tubuhku jauh lebih segar dan bugar. Sama seperti yang pertama tadi, hanya bedanya ketika ditambah dengan visualisasi, efeknya menjadi dua bahkan tiga kali lipat. Ayah juga dulu pernah menjelaskan kalau visualisasi itu jangan dianggap remeh. Visualisasi, meskipun hanya berada dalam pikiran, tetapi dapat memiliki efek pada tubuh fisik.
 
"Bagaimana?", tanya ayah sambil tersenyum.
 
"Istimewa yah!", jawabku dengan mantap. Tangan kananku reflek mengepal dengan ibu jari terbuka yang membentuk simbol 'hebat!'.
 
"Tidakkah kamu menyadari sesuatu nak?", tanya ayah kembali.
 
Keningku berkerut.
 
"Eh … apa ya?", gumamku dalam hati.
 
"Tidakkah kamu perhatikan, bahwa jalur yang dilintasi oleh latihan oleh nafas untuk regenerasi sel ini adalah jalur-jalur yang juga merupakan titik-titik konsentrasi dari sel punca atau sel batang atau stem cell?", ucap ayah.
 
Dheg…
 
Aku terkejut.
 
Benar juga. Setelah aku pikir-pikir, ternyata jalur ini memang jalur yang merupakan lokasi tempat titik-titik konsentrasi dari sel batang yang baru saja aku pelajari dua hari yang lalu.
 
"Ayah tahu juga mengenai sel batang ini?", tanyaku.
 
"Tentu saja nak. Dan bukankah kamu juga sudah pernah mencoba memanfaatkannya?", ucap ayah.
 
Aku kembali terkejut.
 
"Kok ayah bisa tahu?", tanyaku keheranan.
 
"Tentu saja tahu. Buku mengenai stem cell yang ada di perpustakaan belum kamu letakkan kembali ke tempatnya. Dari situ ayah jadi tahu kalau kamu berusaha melakukan sesuatu dengan lukamu ini. Dan dua hari ini ayah lihat kamu sudah tidak memakai perban lagi. Itu menandakan kamu ada kemajuan di dalam memanfaatkan potensi keilmuan yang kamu miliki. Ayah sendiri tidak tahu bagaimana caramu melakukannya, tapi nyatanya kamu berhasil.", jawab ayah.
 
Tebakan ayah sangat tepat.
 
"Benar yah, Aa coba untuk menggabungkan pengetahuan getaran Aa dengan pengetahuan mengenai sel batang ini. Barangkali saja bisa dimanfaatkan untuk mengobati luka sobek ini. Alhamdulillah berhasil yah…", ucapku agak berhati-hati.
 
Jujur aku masih agak khawatir kalau-kalau nanti ayah menanyakan bagaimana luka itu bisa terjadi.
 
"Tapi Aa tidak tahu kalau ternyata ada olah nafas untuk regenerasi sel seperti yang tadi ayah ajarkan…", lanjutku.
 
"Hehehe, apa kamu pikir silat ayah ini hanya berisi tata gerak dan getaran tutup mata saja?", ucap ayah sambil tersenyum.
 
Aku tersenyum sambil menggaruk kepalaku yang tentu saja sama sekali tidak gatal dengan tangan kiriku.
 
"Kalau kamu perhatikan, bahwa pengetahuan mengenai konsep regenerasi sel ternyata sudah jauh ditemukan oleh pengetahuan silat dibanding dengan riset mengenai hal yang sama yang terjadi baru-baru ini. Jalur-jalur yang dilewati pada olah nafas ini ternyata merupakan jalur-jalur yang merupakan titik-titik konsentrasi dari sel batang.", tanya ayah.
 
"Silat sudah menemukannya, melakukan riset secara unik, dan bahkan sudah memanfaatkannya terlebih dahulu.", lanjut ayah.
 
Aku melihat ayah mengangkat kepalanya sedikit dan memandang ke langit.
 
"Meski demikian, ilmu pengetahuan silat belumlah bisa menjelaskan mengenai fenomena ini secara gamblang. Sebab memang sifatnya bukan memberimu penjelasan yang rinci seperti halnya ilmu pengetahuan modern, tapi memberimu pengetahuan untuk merasakan fenomena tersebut. Harus dianalisa terlebih dahulu secara multidisiplin, barulah akan tergambar dengan jelas bagaimana fenomena ini bisa terjadi bagaimana ia bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan modern. Pengetahuan modern menggunakan nalar. Sedangkan silat menggunakan nalar dan rasa.
 
Kalau penggunaan nalarmu tidak dibarengi rasa, maka hasil yang kamu capai tidak mendapatkan ridho Yang Maha Kuasa, meskipun memberikan nilai guna bagi orang lain. Kalau penggunaan otakmu tidak dibarengi hati, maka akan menjadi otak-atik, membodohi orang-orang. Harus ada keselarasan antara nalar dan rasa, antara otak dan hati.
 
Kalau nalar tidak pas, jangan teruskan. Kalau hati tidak yakin, tunda dulu. Kalau mantap dua-duanya, barulah dilanjutkan. ", lanjut ayah.
 
Aku terdiam beberapa saat, mencoba merenungi ucapan ayah.
 
"Bagaimana cara silat menemukan hal-hal seperti ini yah?", ucapku memberanikan bertanya.
 
Ayah kemudian menatapku. Ia tersenyum.
 
"Cara silat menemukan hal-hal seperti itu bukan dengan pendekatan rasional semata, tetapi lebih dari itu, yakni dari pendekatan spiritual, dari tumbuhnya kesadaran spiritual sehingga terjadi 'kontak' antara dirinya dengan Tuhannya melalui mata hati sehingga ia bisa membaca 'tanda-tanda' yang diberikan oleh Tuhannya pada dirinya, dan pada alam sekitar. Barangkali, dengan cara seperti itulah, dengan mengharap tuntunan ilahi melalui mata hati, apa-apa yang dihasilkan oleh 'teknologi' silat ini dikemudian hari bisa ditemukan juga oleh ilmu pengetahuan modern yang kemudian memberimu pengetahuan untuk menjelaskan fenomena ini.", jawab ayah.
 
Aku menunduk. Membenarkan ucapan ayah.
 
"Kita sudahi dulu latihan kali ini. Ingat, latihlah olah nafas tadi setiap ada kesempatan. Itu akan sangat membantumu untuk pengobatan luka di lenganmu itu. Jangan lupa berdoa dulu, berterima kasihlah kepada Allah SWT, Sang Maha Pemberi.", lanjut ayah.
 
"Sertakan Allah dalam setiap aktivitasmu, nak.", tutup ayah.
 
Aku mengangguk.
 
Menurut.
 
Kepalaku menunduk. Batinku menjadi lebih tenang.
 



(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 05/09/2011 09:24
Tembang Tanpa Syair - Bagian 19

Persiapan Pertandingan Pertamaku


KRIIIING…!

Dering telpon di ruang tamu terdengar begitu nyaring.

Aku sendiri sedang berada di dalam kamar, sedang di kursi belajar sambil membaca-baca buku Kimia. Aku mengenakan celana pendek santai model Hawaii yang agak panjang dengan kaos putih bermotif abstrak. Suara telpon itu terdengar, tapi tidak membuatku tertarik untuk keluar kamar. Aku hanya melihat dari celah pintu kamarku yang agak sedikit terbuka. Aku menoleh ke arah jam dinding, ternyata sudah pukul empat sore.

Seorang perempuan paruh baya berkaos lengan panjang dan berkebaya batik berlari-lari kecil dari arah dapur menuju sumber suara. Ia langsung meraih gagang telpon dan mengangkatnya. Dia adalah mbak Juju.

"Assalamualaikum…", sapa mbak Juju.

"Waalaikum salam… Aa ada mbak?", ucap suara di seberang telpon.

"Oh ada. Sebentar saya panggilkan ya, Dik?", jawab mbak Juju.

Mbak Jujur meletakkan gagang telpon dalam posisi terbuka di samping pesawat telpon. Kemudian aku melihatnya berlari kecil menuju kamarku dan mengetuk pintunya perlahan.

"A, ada telpon dari temannya.", ucap mbak Juju.

Aku bangkit dari tempat dudukku.

"Iya mbak, terima kasih.", jawabku sambil berjalan menuju pintu dan membukanya. Aku melihat mbak Juju membalikkan badan dan kembali lagi ke ruang dapur.

Aku berjalan perlahan menuju meja kecil tempat pesawat terlpon itu diletakkan. Saat berjalan, sekilas dari sudut mataku aku melihat ke ruang perpustakaan. Aku melihat ayah sedang membaca buku disana. Sesampainya di depan meja kecil tempat pesawat telpon diletakkan, aku segera mengambil gagang telpon tersebut lalu mendekatkannya di telingaku.

"Assalamualaikum…", tanyaku ramah.

"Waalaikum salam. Halo Aa, ini Mita.", jawab suara merdu di ujung telpon.

Ia adalah Mita, wakil ketua OSIS di sekolahku. Ia gadis super gaul dan super sibuk. Tingginya semampai, rambut pendek, bahkan sering kali dipotong cepak. Sedikit agak tomboy. Kulit sawo matang dan berkacamata.

"Oh iya Mit, ada apa nih?", tanyaku kembali.

"Gini A, kita ada masalah sedikit nih. Masih ingat khan kalau sekolah kita ikut pertandingan pencak silat antar pelajar di acara POPKOTA?", ucap Mita.

"Iya masih lah Mit. Khan gue yang bantu ngetik proposal pengajuan ke kepala sekolah waktu itu. Yang ikut khan si Pipit sama si  Roni ya?", jawabku.

"Iya bener. Tapi ada masalah nih A. Masalahnya si Roni mendadak sakit. Kakaknya tadi nelpon. Mana pertandingannya lusa. Jadi kita kekurangan orang. Gue bingung nih A.", ucap Mita.

"Lho kok bisa? Trus gimana donk jadinya?", tanyaku.

"Ya tadi sih udah laporan sama Pak Toto. Katanya harus cari penggantinya secepatnya. Sayang banget kalo ga ada gantinya karena sekolah udah keluarin dana untuk dua orang. Gue udah coba nanya ke si Adi, tapi pas gue telpon ke rumahnya, eh udah liburan sama keluarganya. Tinggal elu doank nih kayaknya.. Elu juga khan belajar silat, gimana kalau elu aja yang gantiin si Roni? Mau ya A, pliiiisss…?", rayu Mita dengan nada memelas.

"Waduh, gue sih mau mau aja Mit. Tapi gue belum pernah ada pengalaman yang kayak gini nih…", jawabku jujur.

Memang benar, aku sendiri belum pernah ada pengalaman bertanding itu seperti apa. Aku memang pernah mengalami pertarungan, perkelahian, bahkan yang terakhir malah pertarungan antara hidup dan mati. Selain itu, aku hanya berlatih sparring bersama ayah di rumah.

"Udah deeh ga apa-apa ya A. Yang penting jangan sampe kosong aja… Plis banget ya A…", rayu Mita sekali lagi.

"Hmmm gimana ya Mit? Gue coba tanya ayah dulu deh. Soalnya minggu ini ayah ngajak liburan ke gunung nih. Satu jam lagi gue kabarin ya Mit…", jawabku.

"Ya udah deh. Tapi beneran ya A, nanti lu kontak gue ya.", ucap Mita.

"Iya…iya, bener. Nanti satu jam lagi gue pasti telpon elu. Gue mau nanya ama ayah dulu kapan berangkat liburannya.", jawabku mantap.

"Ya udah, makasih ya A. Semoga bisa … pliiiissss…", rayu Mita sambil memelas sekali lagi. Entah sudah berapa kali dia merayu seperti ini. Kasihan juga sih. Aku tidak tega mendengarnya.

"Ok. Gue pasti telpon elu. Gue tutup dulu ya Mit. Assalamualaikum…", jawabku.

"Waalaikumsalam…", tutup Mita sambil juga menutup percakapan kita.

Aku meletakkan kembali gagang telponnya. Lalu duduk disamping meja telpon. Aku berpikir apakah akan aku penuhi keinginan Mita atau tidak? Aku memandangi tangan kiriku, luka sobek ini sudah sembuh, sudah merapat dengan sempurna. Jujur, hatiku sih ingin. Meskipun aku tidak yakin bisa atau tidaknya. Sebab pasti nanti disana aku bisa ketemu sama Dewi. Dewi pasti akan ikut, karena ia juga tim dari sekolah bersama Mita dan yang lainnya. Ah, daripada bingung, lebih baik aku temui ayah. Aku ingin bertanya kapan kira-kira ayah akan mengajakku liburan. Kalau waktunya masih lama, aku akan menggantikan Roni sebagai wakil pesilat dalam pertandingan pencak silat antar pelajar. Tapi kalau tidak, terpaksa aku harus menolak permintaan Mita.

Aku mantapkan hatiku, lalu segera berdiri dan berjalan menuju ke ruang perpustakaan. Aku melihat ayah sedang membaca buku. Hanya terlihat punggungnya saja karena ayah memutar kursinya ke arah berlawanan. Aku langsung duduk di salah satu kursi yang ada di depan meja baca, tepat di depan ayah. Suara derit kursi terdengar, aku melihat ayah memutar badannya lalu tersenyum. Ia menutup buku yang sedang dibacanya, dan meletakkannya di meja di depannya.

Aku memulai terlebih dahulu percakapan dengan ayah.

"Yah, maaf Aa ganggu. Gini yah, tadi Mita, wakil ketua OSIS telpon Aa. Katanya salah satu pesilat wakil dari sekolah Aa mendadak sakit.", ucapku langsung to the point atau langsung mengarah pada pokok persoalan.

"Tidak apa-apa. Terus gimana?", tanya ayah.

"Anu… yah, Mita minta Aa buat gantiin pesilat yang sakit itu. Tapi Aa belum mengatakan iya atau tidak karena khan nanti ayah mau ajak Aa liburan.", jawabku lugas.

"Oh, bagus itu A. Itu bisa jadi pengalamanmu bertanding. Diambil aja peluangnya. Ngomong-ngomong, kapan pelaksanaannya?", ucap ayah.

"Lusa yah. Makanya Aa mau nanya dulu sama ayah.", jawabku.

"Ya sudah tidak apa-apa. Kita geser saja liburannya setelah pertandingan ini. Bagaimana?", tanya ayah.

"Kalau ayah mengizinkan ya Aa sih mau yah…", jawabku.

"Tentu saja ayah mengizinkan, nak. Sudah, sana telpon temanmu, bilang kalau kamu bersedia menggantikan pesilat yang sakit tadi.", ucap ayah sambil tersenyum ke arahku.

Aku senang sekali mendengarnya. Aku langsung berdiri dari kursi dan berterima kasih pada ayah.

"Terima kasih ya yah…", ucapku sambil tersenyum sumringah.

Ayah tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. Tapi itu sudah cukup bagiku.

Aku membalikkan badan, lalu berjalan cepat menuju meja tempat pesawat telpon diletakkan. Aku angkat gagang telponnya, lalu segera menelpon Mita. Gagang telpon itu aku dekatkan ke telingan kiriku, sambil aku jepit dengan bahu dan tangan kiriku mengangkat pesawat telponnya bersamaan dengan tangan kananku memutar nomor Mita.

Dua enam tiga kosong dua kosong.

Beberapa detik kemudian terdengar nada tunggu di telinga kiriku.

"Halo… assalamualaikum…", terdengar suara merdu. Itu pasti suara Mita.

"Waalaikumsalam… Mit, ini gue…", ucapku.

"Iya A. Gimana A jadinya? Udah kasih tau ayahmu belum?", tanya Mita.

"Sudah Mit. Ayah mengizinkan, dan kebetulan liburannya digeser beberapa hari ke depan.", jawabku.

"Horeeee…! Sip lah kalau begitu! Tengkyu berat nih A!", ucap Mita kegirangan.

"Oh iya A, sore ini ada latihan bersama di sekolah. Barangkali saja mau ketemuan sama Pipit dulu buat ngobrol-ngobrol…", lanjut Mita.

"Oh ya? Baguslah kalau begitu. Gue segera kesana aja. Gue juga mau nanya-nanya dulu sama Pipit nih mengenai aturan pertandingannya…", ucapku.

"Ya udah nanti gue sms-in si Pipit ya. Kasih tau dia kalau dia jangan pulang dulu karena elu mau dateng kesitu. Gue juga nanti nyusul kesitu…", jawab Mita.

"Ok Mit. Thanks yak… Assalamualaikum…", ucapku menutup pembicaraan.

"Waalaikumsalam…", jawab Mita.

Aku tutup gagang telponnya, lalu kembali berjalan menuju kamar.

Di dalam kamar, aku segera mengganti celana pendekku dengan celana silat berwana hitam yang tergantung di dinding kamar. Celana silat ini sudah lusuh. Warnanya juga sudah mulai pudar. Jahitan di ujungnya malah beberapa sudah terkelupas. Meskipun belum ada yang sobek. Setelah selesai mengganti celana, aku langsung keluar kamar dan berjalan menuju ruang perpustakaan menemui ayah.

Di dalam ruang perpustakaan, aku melihat ayah sedang menulis sesuatu. Aku kemudian berjalan mendekatinya. Melihatku mendekat, ayah menghentikan aktivitasnya.

"Ayah, sore ini ada latihan bersama di sekolah. Aa pamit izin mau kesana dulu ya yah. Sekalian mau nanya-nanya sama Pipit.", tanyaku.

"Baiklah. Ayah izinkan. Kamu sudah makan belum?", jawab ayah.

"Terima kasih ya yah. Aa masih belum lapar yah, nanti saja makannya sepulang dari sekolah yah", ucapku.

"Ok. Hati-hati saja di jalannya ya…", tanya ayah.

Aku mengangguk mantap. Dan langsung balik kanan berjalan meninggalkan ruang perpustakaan. Aku sempat melirik, dan melihat ayah kembali melanjutkan aktivitasnya.

Aku berjalan keluar ruang tamu dan menuju garasi. Disana ada sebuah sepeda gunung yang sering aku gunakan. Warnanya coklat tua. Joknya terbuat dari karet yang cukup tebal tapi empuk. Warnanya hitam.

Aku langsung mengambil sepeda gunungku, mengayuhnya perlahan keluar dari garasi menuju pintu keluar rumah. Aku berhenti sejenak dan turun dari sepeda sesaat setelah keluar dari pintu keluar rumah untuk menutup kembali pintunya. Setelah itu barulah aku mengambil kembali sepeda gunungku dan mengayuhnya dengan kecepatan yang cukup tinggi menuju sekolah.

Jarak dari rumahku ke sekolah kira-kira sepuluh menit dengan naik sepeda berkecepatan sedang. Atau tiga puluh menit kalau berjalan kaki. Atau lima menit saja kalau naik motor. Harus melewati jalan raya, sebuah jembatan, dan sebuah perempatan lampu merah di dekat mall yang terbesar di kotaku. Belok ke kanan, lalu melewati pasar Gunung Sari. Kira-kira seratus meter, barulah terlihat sekolahku. Aku harus memutar karena posisiku berada di seberangan sekolahku. Letak putarannya persis di dekat sekolahku. Biasanya disitu dijaga oleh pak polisi untuk mengatur lalu lintas. Tapi sore ini tidak terlihat ada pak polisi disitu.

Aku sudah sampai ke depan sekolahku. Pintu gerbang sekolahku terbuka lebar. Terlihat beberapa siswa yang sedang berjalan keluar. Aku belok kanan, menuju gerbang dalam sekolah, di dekat tempat parkir kendaraan siswa. Aku masuk ke dalam menuju lapangan di dekat masjid. Aku parkirkan sepeda gunungku di tempat parkir depan masjid. Pandanganku menyapu ke sekeliling. Di ujung lapangan, aku melihat Pipit. Ia tampaknya sedang berlatih sendirian. Terlihat ia sedang melakukan shadow boxing atau tarung bayangan.

Aku berjalan menghampirinya. Pipit tampaknya belum melihatku. Kira-kira berjarak lima meteran, aku langsung duduk saja disitu di atas aspal lapangan. Tidak jauh dari situ, aku melihat ada beberapa siswa yang sedang berlatih olahraga bola voli.

"Hei…", sapaku terlebih dahulu sambil tersenyum.

Mendengar suaraku, ia menoleh dan menghentikan kegiatannya. Lalu berjalan mendekatiku. Dan ia juga duduk di depanku.

"Eh kamu A. Tadi si Mita udah sms gue. Dia minta maaf kayaknya ga bisa dateng sore ini. Tapi dia udah cerita kalau elu nanti bakalan gantiin si Roni.", ucap Pipit sambil ia meluruskan kakinya.

"Iya nih. Jujur gue blom paham peraturan pertandingannya kayak apa nih?", tanyaku.

"Lho, elu gak nanya sama bokap?", jawab Pipit keheranan.

Aku menggeleng.

"Belum. Hehehe. Nanya sama elu ajalah. Elu khan udah pernah ikut pertandingan silat.", ucapku sambil tertawa kecil.

"Dasar!", ucap Pipit.

"Ya peraturannya banyak. Tapi sederhananya sih begini, yang boleh diserang itu bawah leher hingga pinggang. Disitu nanti ada point untuk tendangan dan pukulan. Tendangan bernilai dua, dan pukulan bernilai satu. Ada sih kombinasinya dengan langkah sebagai nilai plus. Tapi ya daripada elu ribet hafalinnya, pokoknya inget itu aja dulu deh. Tendangan nilainya dua, pukulan nilainya satu. Trus kalau elu berhasil jatuhin lawan, elu dapet nilai tiga. Tapi jatuhinnya ga boleh lebih dari tiga detik ya. Dah gitu aja gampangnya.", lanjut Pipit.

Aku mengangguk.

"Trus ada yang lainnya ga?", tanyaku.

"Ya ada nilai hukuman. Kalau elu melanggar. Pelanggarannya juga ya ada banyak juga. Mukul muka, ga boleh. Matahin sendi, ga boleh. Nusuk leher, ga boleh. Lari keluar lapangan, ga boleh. Dan ada juga yang laennya. Duh, gini aja deh, elu download aja peraturan pertandingan silat dari internet. Ada kok disana. Nah, baca deh ntar malem. Ok?", ucap Pipit sambil senyum.

"Yeee.. kalo gitu mah gue ga usah nanya ama elu lagi atuh neng…", jawabku sekenanya aja.

"Hahaha, ya emang gitu. Baca aja ya, tapi jangan lupa, download dulu…", ucap Pipit sambil tertawa.

Pipit kemudian kembali berdiri.

"Mau ikut latihan bareng?", tanya Pipit.

Aku menggeleng. Awalnya sih ingin berlatih bareng sama Pipit, tapi mendengar penjelasan mengenai peraturan pertandingan tadi, aku tiba-tiba jadi tidak ingin berlatih bersama Pipit.

"Nggak Pit, terima kasih. Gue balik dulu aja ya. Gue mau download dulu peraturan pertandingannya.", jawabku. Aku juga ikut berdiri.

"Ok.

Besok ada technical meeting sekalian penimbangan jam dua siang. Kata Mita, ntar kumpul dulu di sekolah ya. Trus nanti berangkat kesananya bareng.", ucap Pipit.

"Sip! Thanks yak...", jawabku.

Aku langsung berjalan kembali menuju area parkir di depan masjid sekolah. Mengambil sepedaku lalu bersiap mengayuhnya kembali untuk pulang.

"… Mukul muka, ga boleh. Matahin sendi, ga boleh…", aku terngiang ucapan Pipit.

"Hmmm… sepertinya ribet juga nih …", gumamku dalam hati.

Aku membayangkan, kalau gerakan silat yang diajarkan ayah tentunya akan berkurang banyak sekali karena peraturan ini. Gerakan-gerakan serangan yang diajarkan ayah, hampir sebagian besar mengarah pada daerah-daerah mematikan. Sasarannya merupakan sasaran yang tampaknya tidak diizinkan di dalam peraturan pertandingan silat. Kalau muka saja tidak boleh diserang, berarti serangan-serangan seperti Sodokan Melingkar, Sodokan Atas, Ujung Siku Ke Atas, Totokan, Tebangan, Tebasan, dan yang lainnya praktis tidak bisa dipergunakan. Terutama serangan-serangan dengan sasaran pada leher dan kepala. Kalau pematahan sendi juga tidak diizinkan, berarti gerakan-gerakan serangan kaki seperti Pengkalan, Trap Samping, Cecakan, Pancer, dan yang lainnya juga praktis tidak bisa digunakan. Termasuk di dalamnya tangkisan tangan bernama Patah Tebu atau pengembangan dari Sautan.

Pengkalan, merupakan salah satu bentuk serangan kaki dengan alat penyasar ujung tumit yang digerakkan dari bawah ke atas dengan memutar badan, sasarannya adalah selangkangan.

Trap Samping, merupakan salah satu bentuk serangan kaki dengan alat penyasar berupa sisi telapak kaki seperti halnya yang digunakan pada Tendangan Samping tetapi dengan sasaran persendian lutut. Fungsinya untuk mematahkan lutut atau tulang kering lawan.

Cecakan, merupakan salah satu bentuk serangan kaki dengan alat penyasar berupa sisi telapak kaki seperti halnya yang digunakan pada Tendangan Samping tetapi dilakukan dengan posisi berjongkok dan sedikit melompat ke depan dengan masih tetap berjongkok. Fungsinya untuk mematahkan sendi lutut atau menghancurkan tulang kering atau untuk menjatuhkan musuh secara menyakitkan pada serangan bawah.

Pancer, merupakan gerakan yang mengangkat lutut setinggi pinggang bersamaan dengan menutupkan ujung siku dari atas ke bawah ke arah lutut. Kalau yang melakukan kaki kanan, maka gerakan ujung siku yang menutupnya juga tangan kanan. Kalau diterapkan untuk menangkis, maka bentuk ini bisa digunakan untuk mematahkan persendian siku pada tangan maupun persendian lutut pada kaki.

Patah Tebu, merupakan salah satu bentuk serangan tangan tangkisan dengan alat penyasar punggung tangan bagian luar sambil membentuk kepalan. Yang disasar biasanya serangan tangan lawan dan serangan kaki lawan, terutama pada daerah persendian besar yakni sendi siku dan sendi lutut. Setelah punggung tangan bagian luar mengenai serangan lawan, maka tangan yang satunya akan melakukan tangkapan dengan punggung tangan bagian dalam dan melakukan pematahan secara berlawanan.

Sautan, merupakan salah satu bentuk serangan tangan tangkisan dengan alat penyasar punggung tangan bagian luar sambil meluruskan seluruh jari-jari sehingga telapak tangannya menghadap ke atas. Setelah punggung tangan bagian luar mengenai sasaran, maka dilakukan putaran kecil pada siku dan pergelangan tangan sambil mengganti posisi telapak tangan yang tadinya menghadap ke atas menjadi menghadap ke bawah sehingga terjadi kondisi seperti melibat. Kalau diterapkan pada serangan tangan, maka ini bisa digunakan untuk mematahkan persendian siku.

"Uuh, banyak juga sepertinya yang tidak bisa dipergunakan…", gumamku dalam hati.

Tapi untuk lebih jelasnya, aku ingin download terlebih dahulu peraturan pertandingannya. Agar aku tahu sejauh mana gerakan-gerakan silatku direduksi oleh peraturan pertandingan tersebut, sekaligus aku berusaha untuk menyesuaikan dengan peraturannya.

Aku memacu sepeda gunungku lebih cepat. Rasanya sudah tidak sabar untuk mengetahui peraturan pertandingan silat secara lebih detail. Belok kanan dan kiri hingga akhirnya masuk ke jalan utama menuju rumahku. Aku kurangi kecepatanku. Berbelok sekali lagi menuju Gang Delapan, lalu sampailah aku di depan rumah. Masuk lewat halaman, dan aku parkir sepeda gunungku di garasi.

Turun dari sepeda, aku segera berjalan menuju kamar.

Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 05/09/2011 09:24
Di kamar, aku duduk di depan meja belajar sambil memandangi laptopku. Aku sudah menyalakan modem untuk koneksi internet, dan bersiap untuk mendownload peraturan pertandingan silat seperti yang disarankan Pipit tadi di sekolah. Aku buka portal pencari yang sudah cukup terkenal, Google, lalu mulai memasukkan kata kunci pencarian. Tidak berapa lama, beberapa tautan pun terlihat. Aku memilih beberapa tautan yang teratas, sepertinya itu mengarah pada informasi peraturan pertandingan silat. Benar saja, pada salah satu tautannya mengarahkanku untuk mengunduh sebuah dokumen elektronik dalam format PDF yang dipublikasikan oleh seseorang. Aku tidak tahu siapa.

Aku coba untuk mengunduhnya.

Sambil menunggu proses unduh selesai, punggungku kusandarkan pada kursi sambil memandang keluar jendela. Aku melihat ayah sedang menyirami tanaman di halaman sambil posisi kakinya terkadang membentuk kuda-kuda rendah. Ayah mengenakan kaos coklat dengan celana silat hitam. Aku tersenyum melihatnya. Ayah memang seperti itu. Ia menjadikan aktivitas hariannya sebagai latihan. Katanya, latihan itu harus sebanyak kita makan nasi, dan latihan bisa dalam bentuk kegiatan sehari-hari. Tergantung niatnya saja, kata ayah.

Aku menoleh kembali ke arah laptopku. Hanya butuh kurang lebih satu menitan saja file tersebut berhasil diunduh. Aku langsung membukanya dan melihat isinya. Halaman demi halaman aku baca.

"Hmmm… seperti itu ya …", gumamku dalam hati.

Ada beberapa hal yang aku mengerti, dan ada beberapa hal yang aku tidak mengerti. Ah, rasanya aku harus bertanya pada ayah.

Aku langsung beranjak dari kursiku. Dengan masih membiarkan laptopku menyala, aku berjalan keluar kamar menuju halaman dimana ayah masih menyirami tanaman. Aku berjalan mendekatinya, lalu berhenti kira-kira dua meter di dekat ayah. Ada beberapa ranting kayu kecil di dekat kaki ayah dan di beberapa tempat.

"Yah, anu … begini, ayah paham ga mengenai peraturan pertandingan silat?", tanyaku.

Ayah menoleh ke arahku, lalu tersenyum.

"Ayah tahu nak, tetapi ayah tidak memahami seluruhnya.", jawab ayah.

Aku melihat ayah meletakkan ember air yang digunakan untuk menyirami tanaman. Ayah kemudian mendekatiku.

"Bagaimana kalau kita coba saja?", tanya ayah.

"Dicoba? Maksudnya gimana yah? Aa belum ngerti…", jawabku.

"Ya kita coba latih tanding saja sekarang…", ucap ayah.

Ayah lalu membungkuk dan mengambil ranting kayu kecil di dekatnya. Menggoreskan sedikit pada tanah halaman, membentuk lingkaran selebar kira-kira lima meter. Setelah itu membuang kembali ranting kayu tersebut.

Ayah menepuk-nepuk telapak tangannya, membersihkan debu-debu yang menempel disitu. Kemudian berdiri tegak menatapku. Aku kini berada di dalam salah satu sisi lingkaran yang dibuat oleh ayah.

"Jangan keluar dari lingkaran ini. Serang ayah dengan yang kamu bisa…", lanjut ayah.

Aku melihat ayah memasang sikap pasang pesilat.

Aku menurut.

Akupun memasang sikap pasang pesilat.

Aku melihat ayah mendekat, lalu menendang lurus ke arah perutku. Secara reflek aku menangkis dengan tangkisan bawah lalu melangkah maju mendekat dan melakukan pukulan lurus ke arah muka. Cepat, keras, dan bertenaga.

TAPP!

Ayah menangkap pukulanku dengan telapak tangan kanannya yang terbuka sambil wajahnya miring sedikit sehingga lintasan pukulanku keluar dari jalur.

Gerakanku terhenti.

"Serangan seperti ini tidak diizinkan!

Pukulan Datar ini boleh, tapi lintasannya yang tidak boleh…", ucap ayah.

Selesai berbicara, tangan yang memegang kepalan tanganku kemudian menyentak keras sehingga aku terdorong mundur.

Ayah kemudian merangsek maju dengan membuka serangan menggunakan Tendangan Depan kaki kanan. Aku mundur dua langkah agar keluar dari jangkauannya. Tidak berhenti sampai disitu, ayah kemudian masih menyerang dengan Tendangan Sabit ke arah pinggangku. Tendangan Sabit ini menggunakan alat penyasar punggung kaki. Keras, cepat, dan bertenaga.

Aku kembali mundur satu langkah, menjauhi jangkauan serangan kaki ayah.

Aku melihat ayah tersenyum. Tangannya melambai ke arahku, memintaku untuk mendekat.

Ah, mendekat? Mataku melihat ke bawah, oh… benar juga, aku saat ini berada di luar lingkaran. Berarti aku sudah keluar dari lingkaran.

"Memutarlah nak. Melingkar. Jangan sampai keluar dari batas lingkaran. Kalau kamu seperti ini, akan kena tegur dari wasit nantinya…", ucap ayah.

Aku mengangguk. Dan berjalan kembali masuk ke dalam area lingkaran.

Ayah mundur dua langkah dan kembali memasang sikap pasang pesilat.

Aku bersiap dengan sikap pasang pesilat. Melangkah perlahan mendekati ayah. Setelah aku perkirakan berada dalam jarak serang, kemudian aku melakukan serangan yang disebut dengan Jlontrotan, yakni serangan kaki menggunakan sisi telapak kaki dalam bentuk tendangan samping sambil melangkah jauh setengah atau satu langkah.

Aku melihat ayah menggeser tubuhnya dengan ringan. Pergelangan kaki kirinya diputar ke arah dalam, sambil kaki kanannya digeser mengikuti arah putaran pergelangan kaki kiri sehingga posisi tubuhnya kini memotong kakiku yang kini berada di depannya. Gerakan ini disebut dengan Geser Depan Dalam.

Seranganku luput.

Ayah kini berada dekat sekali dengan kakiku. Ini bahaya. Secara reflek aku langsung melanjutkan dengan serangan bernama Keprukan menggunakan tangan kiri, yakni mengepalkan kepalan tangan sambil digerakkan dari bawah ke atas secara melingkar dan kembali lagi ke bawah melalui putaran siku, segera setelah kaki kananku menyentuh tanah. Alat penyasarnya adalah punggung lengan atau punggung kepalan tangan. Sasarannya bahu dekat ke leher. Cepat, keras, bertenaga.

TAPP!

Ayah kembali menahan seranganku, dan menangkap dengan telapak tangan kiri di dekat leher ayah. Kalau tidak berhasil ditahan, tentu serangan Keprukan itu akan mengenai leher dengan keras.

Gerakanku terhenti.

"Serangan ini tidak boleh…

Bentuk maupun lintasannya dilarang!", ucap ayah.

Telapak tangan ayah kembali menyentak keras dan membuatku terdorong mundur. Ayah kemudian berdiri tegak, kedua tangannya menjuntai ke samping. Tampaknya ayah ingin menyudahi latih tanding kali ini.

Melihat ayah sudah tidak dalam sikap pasang pesilat lagi, aku juga mengikutinya. Aku kembali berdiri tegak dengan posisi santai.

"Kamu tidak bisa menggunakan semua gerakan yang sudah ayah ajarkan. Kamu harus memilih dan memilahnya, gunakan yang diizinkan saja. Gunakan yang diperbolehkan seperti yang peraturan pertandingan itu nyatakan.", ucap ayah.

Aku terdiam. Ucapan ayah seperti yang sudah aku perkirakan sebelumnya saat bersepeda menuju rumah. Aku harus memilih gerakan-gerakan yang diizinkan.

"Yah, apakah Aa bisa menang?", tanyaku berusaha memupus kebimbangan.

Ayah tersenyum. Lalu berjalan mendekatiku, dan menepuk-nepuk pundak kananku dengan tangan kanannya.

"Ayah tidak tahu nak. Kamu cari tahu sendiri besok… Menang kalah tidaklah penting. Yang paling penting adalah lakukan saja yang terbaik. Masih ada waktu besok untukmu berlatih dan menyesuaikan dengan peraturan pertandingan itu. Gunakan waktumu sebaik-baiknya, dan lakukan yang terbaik.", jawab ayah sambil berjalan melewatiku.

Aku menunduk.

Dari sudut mata, aku melihat ayah berjalan menjauh meninggalkanku sendiri di dalam lingkaran.

"Baiklah yah, akan Aa coba …", gumamku dalam hati.





(bersambung)
 
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 13/09/2011 13:34
Tembang Tanpa Syair - Bagian 20

Pertandingan Itu Bukan Pertarungan


Siang ini suasana agak mendung. Awan berarak terlihat begitu jelas. Sinar matahari seolah tertahan, tidak mampu menembus awan yang agak menghitam. Angin berhembus agak kencang. Cukup dingin. Dedaunan melambai dan berkibar karena hembusannya.

Sebuah gedung olahraga kokoh tetap tegak berdiri. Gedung itu cukup besar, luas, dan lebar. Tak goyah oleh angin, tak lekang oleh hujan. Dibatasi oleh pagar yang tinggi. Terdapat sebuah pintu gerbang utama di depannya. Pintu gerbang utama itu cukup lebar, dan terbagi menjadi dua, yakni sebelah kanan dan kiri. Yang sebelah kanan untuk pengunjung masuk, yang sebelah kiri untuk pengunjung keluar. Di depan gerbang utama tempat pengunjung masuk, terdapat sebuah spanduk besar yang bertuliskan "Selamat Bertanding Para Pesilat. Junjung Tinggi Sportifitas!". Ya, gedung itu digunakan sebagai tempat pertandingan pencak silat antar pelajar sekolah menengah umum. Tempatku berlaga untuk pertama kalinya.

Di depan gerbang utama, kira-kira empat atau lima meter, terlihat banyak pedagang yang menjajakan dagangannya. Ada banyak sekali penjual makanan dan minuman. Beberapa menjual cinderamata atau souvenir yang unik-unik. Agak menjauh sedikit, terlihat sebuah patung besar yang disekelilingnya terdapat kolam air. Patung itu menampilkan sosok Bima sedang mencengkram ular raksasa yang melilit tubuhnya.

Di luar gedung, setelah masuk dari pintu gerbang utama, terlihat banyak sekali orang yang lalu lalang. Rata-rata remaja. Banyak juga yang masih mengenakan seragam sekolah putih abu-abu. Ada juga terlihat yang menggunakan seragam perguruan silat masing-masing. Ada yang merah-merah, ada yang putih merah, ada yang biru hitam, ada yang biru putih, dan banyak lagi. Mereka keluar masuk gedung melalui pintu masuk utama dalam gedung. Pintu masuk utama itu terbagi menjadi delapan bagian. Empat pintu dipergunakan sebagai pintu masuk, dan empat pintu dipergunakan sebagai pintu keluar. Masing-masing dinomori dengan nomor satu sampai delapan.

Aku dan Pipit sedang berada dekat dengan pintu masuk utama nomor satu. Di dekat pintu itu terdapat area kosong yang cukup luas. Aku sendiri sedang duduk bersila, sementara Pipit sedang melakukan pemanasan ringan. Terlihat Pipit sedang melakukan tendangan-tendangan ringan, beberapa kali melakukan gerakan menghindar, tangkisan, dan juga bantingan. Kemarin, setelah melakukan technical meeting dan pengundian, aku mendapat nomor sembilan dan aku masuk ke kelas D. Di kelas itu, terdapat kira-kira empat pertandingan untuk mencapai final. Aku sendiri akan tanding pertama.

Aku memandang jam tangan di lengan kiriku, sudah pukul dua belas lewat empat puluh menit. Acara pertandingan akan dilaksanakan pukul satu tepat siang ini.

Mataku kupejamkan. Aku tenggelam dalam alam pikiranku. Membayangkan sedang berada di arena pertandingan, melakukan tangkisan, hindaran, serangan, bantingan, tendangan, dan sebagainya. Ini adalah shadow boxing, tetapi dalam pikiran. Tangan dan kakiku bergerak-gerak sedikit, perlahan, setiap kali pikiranku 'melakukan' sesuatu. Di dalam alam pikiranku, aku mencoba melakukan serangan tangan dan kaki yang tidak dilarang, dengan bentuk dan arah lintasan yang diizinkan.

Entah berapa lama aku melakukan ini, hingga akhirnya aku tersadarkan oleh suara tepuk tangan yang bergemuruh dari dalam gedung. Terdengar suara musik gending, disertai dengan ucapan pembuka dari pembawa acara yang bersiap untuk melanjutkan acara.

Aku membuka mata.

Aku melihat Pipit juga sudah siap-siap. Keringatnya memenuhi wajahnya. Ia menyeka dengan handuk kecil yang berada di pinggangnya.

"Sudah mau mulai A. Yuk, kita masuk...", ucap Pipit sambil berjalan menuju pintu masuk utama gedung.

Aku mengangguk.

Aku berdiri, menepuk-nepuk celana belakangku yang agak berdebu dengan telapak tangan kananku, lalu berjalan mengikuti Pipit.

Sesampainya di dalam, kami disambut oleh suara gegap gempita teriakan membahana dari para penonton.

Ruangan dalam gedung terlihat megah. Di tengahnya terdapat dua lapangan pertandingan silat berbentuk karpet persegi berwarna hijau yang memiliki area lingkaran di tengahnya. Di salah satu ujung terluarnya, terlihat papan bertuliskan "ARENA 1" dan "ARENA 2". Arena 1 diperuntukkan bagi pesilat wanita, sedangkan Arena 2 diperuntukkan bagi pesilat pria. Di kedua sudut arena, terdapat warna Merah dan Biru. Yakni tempat dimana para pesilat yang akan berlaga berada. Pertandingan menggunakan aturan IPSI. Setiap pesilat akan menggunakan pelindung tubuh yang disebut dengan Body Protector. Body Protector ini akan dipakaikan di tubuh pesilat dan diikat secukupnya dengan sabuk berwarna Merah atau Biru sesuai dengan sudut dimana pesilat tersebut berada. Para penonton sendiri berada di luar pertandingan, dibatasi oleh pagar setinggi satu meteran. Setiap kursi penonton semakin meninggi pada setiap barisnya. Jadi, akan mudah bagi para penonton untuk menyaksikan apa yang ada di tengah gedung tersebut.

Aku tersenyum. Pandanganku menoleh ke kanan, lokasi dimana tim sekolahku berada. Agak sedikit ke atas terdapat sebuah spanduk yang bertuliskan tim sekolahku "VIVA SMANDA!". Aku dan Pipit segera naik ke atas melalui tangga kecil yang ada. Terlihat ada Pak Toto, pembina Pencak Silat sekolahku. Beliau melambaikan tangannya ke arahku.

"A, sini ... cepetan! Kamu sudah mau tampil bentar lagi ...", ucap Pak Toto.

Aku melompat kecil dan langsung duduk di samping Pak Toto. Sementara Pipit duduk agak jauh, berada disebelah teman-temannya.

"Sudah siap belum?", tanya Pak Toto.

Aku mengangguk.

"Insya Allah siap pak...", jawabku mantap.

"Ya sudah, kalau begitu, nih ganti bajumu ...", ucap Pak Toto sambil memberikan sebuah seragam silat hitam.

Aku menurut.

Aku menerima seragam silat berwarna hitam yang diberikan oleh Pak Toto, lalu meletakkannya disamping. Baju seragam silat itu berwarna hitam polos, berlengan panjang. Tidak ada tanda-tanda pengenal di dada kanan dan kirinya. Standar saja. Polos.

Aku langsung ganti baju disitu. Ah, laki-laki ini, praktis dan cepat. Tidak perlu ke kamar ganti lagi.

"Jangan lupa, pakai juga pelindung kemaluanmu... Pakai sana di kamar ganti, jangan disini!", ucap Pak Toto sambil menyikutku agak keras, tapi tidak menyakitkan.

Aku meringis.

"Siap pak! Hehehe...", jawabku sambil langsung berjalan cepat menuruni tangga dan segera menuju ke kamar ganti.

Di kamar ganti, aku memakai pelindung kemaluan. Sesuai dengan peraturan pertandingan, maka pesilat diwajibkan menggunakan pelindung kemaluan. Tujuannya jelas, agar kemaluan pesilat tidak terkena efek serangan yang membahayakan. Meskipun tetap saja masih bisa kena tendang, tetapi dengan adanya pelindung ini, diharapkan efeknya tidak begitu fatal.

Kurang dari satu menit aku sudah selesai memakai pelindung tersebut. Aku berjalan menuju tempat duduk Pak Toto. Aku juga melihat Pak Toto sudah mulai turun dari tangga dan berjalan ke arahku. Beliau membawa sebuah termos yang di dalamnya berisi air, handuk kecil yang cukup dingin, dan es batu.

"Kita ke Arena 2... Pertandinganmu sudah akan dimulai...", ucap Pak Toto.

Aku mengikuti Pak Toto dari belakang. Berjalan melewati beberapa orang yang melintas ke arahku, melewati beberapa meja panitia, dan akhirnya sampai di pinggir Arena 2, pada sudut Merah. Tidak berapa jauh, aku juga melihat lawan tandingku sedang berjalan menuju sudut Biru.

Lawan tandingku memiliki tinggi badan sedikit di atasku. Badannya agak lebih besar dariku. Berambut cepak. Terlihat kekar. Ia diiringi oleh dua orang pendamping.

Aku tersenyum.

Aku membungkuk, mengambil Body Protector yang ada disitu untuk kemudian memasangnya di tubuhku. Pak Toto membantuku dari belakang, sambil beliau mengikatkan sabuk berwarna merah. Sabuk itu diikat agak kencang. Aku menggerakkan tubuhku ke kanan dan ke kiri, mencoba menyesuaikan dengan bentuk Body Protector yang terpasang. Mengatur posisi lengan dan kaki agar enak digunakan untuk memukul dan menendang. Setelah dirasa cukup nyaman, aku berdiri menghadap lawan tandingku. Memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Pak Toto sendiri mengeluarkan air minum dari termos kecil yang dibawanya, lalu memberikannya kepadaku.

"Nih, minum aja sedikit ...", ucap Pak Toto sambil menyodorkan sebotol air minum.

Aku menurut.

Aku meminumnya sedikit. Air putih itu segar sekali rasanya, melewati tenggorokanku.

Di depan, aku melihat lawan tandingku juga sudah siap. Wasit yang memimpin pertandingan juga sudah berada pada posisinya, termasuk juga posisi tiga juri penilai yang sudah menempati posisinya masing-masing.

Aku membalik tubuh, dan berhadapan dengan Pak Toto. Sementara kedua tangan Pak Toto memegang bahuku.

"Berdoa dulu...", ucap Pak Toto perlahan.

Aku menurut. Aku menundukkan kepalaku, lalu memejamkan mata. Berdoa kepada Allah SWT, agar diberikan kemudahan dan diberikan yang terbaik.

"Dari Arena Satu, panggilan Pesilat dari Sudut Merah...", ucap panitia melalui pengeras suara.

Aku membuka mata, lalu mengangguk mantap kepada Pak Toto. Aku langsung balik badan, dan kemudian berlari kecil perlahan menuju tengah arena. Melakukan penghormatan kepada para juri dan wasit serta ketua pertandingan. Setelah itu kembali pada posisiku di sudut Merah. Pandangan mataku menatap tajam pada lawan tandingku di depan.

"Dari Arena Satu, panggilan Pesilat dari Sudut Biru...", ucap panitia melalui pengeras suara.

Aku melihat lawan tandingku melakukan hal yang sama.

Wasit kemudian memberikan aba-aba agar aku dan lawan tandingku saling mendekat ke tengah arena. Setelah itu kami bersalaman terlebih dahulu. Sambil bersamalam, wasit kemudian memberikan pengarahan dan nasehat.

"Pesilat, bertanding yang sportif. Gunakan teknik-teknik yang bersih. Daerah yang boleh diserang adalah ini dan ini. Leher tidak boleh diserang. Kepala juga demikian.", ucap wasit pertandingan sambil tangannya memberikan batasan area serang yakni tubuh mulai dari bagian pinggang ke atas hingga ke bawah leher, rusuk atau samping, juga termasuk punggung. Wasit memberikan kode tangan berupa empat jari sambil memberitahu bahwa maksimal serangan adalah empat kali serangan, setelah itu harus dihentikan atau wasit yang akan menghentikannya. Wasit juga memeriksa pelindung kemaluan kami, dan memeriksa kuku kami, memastikan kalau tidak ada kuku yang panjang. Setelah pemeriksaan selesai dilakukan, wasit kemudian memberikan aba-aba kepada para juri.

"Juri satu... Juri dua... Juri tiga...", ucap wasit dengan mantap sambil matanya memandang tajam bergiliran pada setiap juri. Para juri yang disebutnya juga memberikan kode bahwa mereka telah siap.

Wasit kemudian meminta kedua pesilat mundur dua langkah. Aku segera melompat kecil untuk mundur dua langkah. Bersiap dengan sikap pasang pesilat.

"Sikap pasang! ... Mulai!", ucap wasit dengan lantang.

Pertandinganpun dimulai seiring dengan bunyi gong yang ditabuh.

Aku melangkah perlahan mendekati lawan. Tanganku tetap bergerak membentuk kembangan silat. Pandangan mataku tajam menatap lawan. Kira-kira berjarak satu meteran, lawanku berhenti dan bersiap dengan kuda-kuda kiri depan. Aku juga ikut berhenti, lalu mengatur jarak dengan posisi kuda-kuda yang sama.

Tiba-tiba, lawan menendang dengan kaki kanannya dengan cepat ke arahku. Tendangan yang lurus, mengarah ke perut. Keras, cepat, tapi tidak melecut.

Secara reflek, aku mundur setengah langkah sambil menggunakan gerak langkah yang disebut dengan Simpir. Yakni dengan menggeser kaki depan ke belakang melewati lutut depan yang sedikit ditekuk sehingga kaki kiriku yang tadinya di depan kini berada di belakang kaki kanan.

Tendangan lawan tidak mengenai tubuhku. Karena menendang keras, lepas, tapi tanpa melecut, maka tendangan lawan terbawa sendiri oleh arus tenaganya. Segera setelah kaki kanannya menyentuh matras, kaki kiriku yang dalam posisi Simpir langsung menendang dengan tendangan samping menggunakan sisi telapak kaki, mengarah ke dada lawan. Posisiku ini pas sekali untuk membalas serangan.

BUKK!

Tendangan Samping kaki kiriku telak mengenai dada lawan. Keras, cepat, bertenaga. Melecut.

Ia mengaduh dan terdorong mundur. Mukanya tampak pucat.
Bersamaan dengan kaki kiriku yang menapak matras, posisiku hanya berjarak setengah langkah saja. Aku susul dengan melangkah maju dengan geser sambil tangan kananku melakukan Pukulan Datar ke arah dada. Keras, cepat, bertenaga, sambil memutar pinggang. Tenaga putaran dari pinggang.

Melesak.

Wungkul.

Membatu.

BHEG!

Pukulanku telak bersarang di dadanya. Ia terjatuh.

"Berhenti!", teriak wasit lantang sambil tangannya menghentikan gerakanku. Lalu wasit memberikan kode untuk nilai jatuhan. Beberapa penonton bertepuk tangan.

Melihat lawan masih tergeletak dan terus memegangi dadanya, wasit memberiku kode dengan tangannya agar menuju ke sudut netral.

Aku menurut. Aku berjalan menuju sudut netral. Lalu duduk dengan meluruskan kaki. Aku menoleh, melihat lawanku di matras kesakitan sambil memegangi dadanya. Wasit sudah berada disampingnya, memeriksanya. Setelah itu menghitung satu sampai sepuluh.

Saat hitungan dimulai, lawanku terlihat mulai berhenti mengaduh. Dengan masih memegangi dadanya, ia terlihat mencoba berdiri, meskipun agak limbung. Hitungan wasit sudah mencapai tujuh, dan lawanku masih saja limbung sambil tangannya masih memegangi dadanya. Tepat di hitungan kesepuluh, wasit memberikan kode untuk menghentikan pertandingan.

Wasit kemudian menepuk kedua telapak tangannya perlahan, memberi kode kepadaku agar mendekat.

Aku menurut. Berdiri dari sudut netral, kemudian berjalan mendekati wasit.

Aku berdiri disamping kanan wasit. Pergelangan tangan kiriku dipegangnya.

"Pertandingan ini dimenangkan oleh pesilat dari ... sudut merah ... dengan menang teknik!", ucap panitia melalui pengeras suara dengan lantang.

Tepat setelah panita mengucapkan '...sudut merah', wasit mengangkat pergelangan tanganku tinggi. Memberi tanda bahwa akulah pemenang pada pertandingan tersebut.

Aku kemudian memberi hormat pada ketua pertandingan, kepada wasit dan juri, dan juga kepada tim lawan tandingku. Setelah itu balik badan dan kembali ke sudut merah. Terlihat Pak Toto mengacungkan kedua ibu jarinya ke arahku, memberi tanda 'jempol' yang menandakan 'hebat'. Sesampainya di sudut Merah, aku langsung disambut dengan pelukan oleh Pak Toto.

"Mantap A!", ucap Pak Toto sambil membuka ikatan sabuk merah dan kemudian membuka Body Protector di tubuhku.

"Minum dulu ...", lanjut Pak Toto sambil mengambil sebotol air mineral dari termos kecil. Pak Toto juga mengambil handuk kecil dari termos yang berisi es batu untuk kemudian menempelkannya pada wajahku. Dingin sekali handuk ini. Menyegarkan.

Body protector dan sabuk merah sudah terlepas dari tubuhku. Pak Toto berjalan meninggalkan arena pertandingan. Akupun mengikuti dari belakang. Aku melihat ke arah tim sekolahku, semua girang dan berteriak senang. Mereka meneriakkan yel-yel semangat. Bersuka cita karena aku menang pada pertandingan pertama.

Aku naik tangga menuju tempat dudukku. Beberapa teman menyalamiku dan mengucapkan selamat.

"Selamat ya! Hebat, kamu bisa menang teknik. Lawanmu KO!", ucap Pipit sambil menyalamiku.

"Ah, cuman kebetulan aja...", jawabku merendah.

"Huh, kebetulan apanya? Itu seranganmu telak dan bersih banget kenanya... Gak mungkin kalau kebetulan!", lanjut Pipit.

Aku hanya tersenyum.

Memang benar. Saat kemudian aku berhadapan tadi, aku seperti bisa merasakan lawan akan menendangku. Sehingga aku bisa melakukan antisipasi dengan mundur setengah langkah dengan gerak langkah bernama Simpir. Saat kemudian kaki lawan menyentuh matras, pada saat itulah aku seperti merasa ada getaran dari sentuhan kaki lawan dengan matras. Getaran itu membuatku segera menggerakkan kakiku untuk melakukan tendangan samping dengan tempo yang bersamaan dengan sentuhan telapak kaki lawan ke matras. Akibatnya, lawan mengalami kesulitan mengatur gerakan berikutnya karena ritme gerakannya sama dengan gerakanku.

Demikian juga saat lawan terdorong mundur dengan tendangan sampingku. Gerakan mundur lawan itu juga sekaligus menimbulkan getaran di tubuhku untuk menggerakkan tubuhku mengikuti arah lawan sehingga lagi-lagi ritme gerakan lawan denganku menjadi sama.

Mengalir.

Mengikuti.

Pukulan lurus yang aku sarangkan di dadanya benar-benar pukulan yang keras, membatu. Plus ditambah lagi tenaga dari putaran pinggang. Meskipun pukulanku mengenai body protector lawan, tetapi terasa seperti ada yang 'menembus'. Aku juga masih belum paham apa itu. Yang aku lihat adalah efek dari pukulanku ini cukup menyakitkan bagi lawan.

Aku menoleh ke arah kanan. Dari kejauhan kulihat lawan tandingku sedang membuka baju. Saat baju dibuka, terlihat ada warna yang agak menghitam di dadanya. Salah seorang temannya mengusapnya dengan salep atau balsem. Lalu menyuruhnya duduk. Aku mengerutkan kening. Separah itukah?

Arena 2 yang tadi digunakan untuk pertandingan pertamaku, saat ini diisi oleh nomor pertandingan berikutnya. Kemungkinan aku sendiri akan tampil dalam satu atau dua jam berikutnya. Sambil menunggu, aku menyaksikan laga dari arena satu dan arena dua. Pipit sendiri belum turun untuk laga. Menurut Pak Toto, Kemungkinan dalam dua atau tiga jam lagi atau setelah Maghrib nanti. Menurut Pak Toto juga aku akan tanding sebanyak empat kali agar mencapai final. Pertandingan ketiga sudah akan masuk ke semi final.

"Pada Arena satu ... dikarenakan pesilat Rangga kelebihan berat badan, maka pertandingan kelas D antara Pesilat Rangga dengan Pesilat Akbar tidak dapat dilanjutkan. Selanjutnya, agar dipersiapkan pesilat Akbar untuk partai berikutnya.", terdengar suara panitia melalui pengeras suara.

"Eh... itu khan kamu A. Lawanmu kelebihan berat badan. Kamu langsung naik ke partai berikutnya karena lawanmu itu mendapat Bye. Kamu tanding lagi nih...", sahut Pak Toto sambil memandang ke catatan kecil yang berisi daftar pertandingan dan skema pertandingan di tangan kanannya.

"Ganti baju dulu. Siap-siap dulu sana...!", lanjut Pak Toto sambil memandang ke arahku.

Aku menurut.

Aku segera kembali mengganti baju dengan seragam silat hitam-hitam pemberian pak Toto.

"Berarti kamu sudah masuk semi final nih. Karena diatasmu ini dapat Bye. Kamu akan ketemu sama juara satu tahun lalu A.", ucap Pak Toto sambil tangannya melingkari skema pertandinganku.

Aku berdiri dan melakukan pemanasan kecil. Meregangkan tangan dan kakiku, melakukan beberapa tendangan dan pukulan ringan. Aku melihat Pak Toto menyiapkan handuk kecil dan memasukkannya pada termos kecil.

"Ayo A, kita turun...", ucap Pak Toto sambil berjalan menuruni tangga.

Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 13/09/2011 13:35
Aku mengangguk, dan berjalan di belakang Pak Toto menuju Arena 2, menuju sudut Merah yang sebelumnya aku gunakan untuk laga pertama. Terlihat juga lawanku berjalan menuju sudut Biru. Ia tampak sepantaran denganku. Gerakannya terlihat cukup lincah.

Wasit dan juri juga terlihat sudah menempati posisinya masing-masing.

Setelah selesai memasang Body Protector, para pesilat dipanggil secara bergantian ke tengah arena. Wasit kemudian memberikan pengarahan singkat, meminta pesilat untuk saling bersalaman, memeriksa apakah pelindung kemaluan dipakai atau tidak, memeriksa kuku, dan memastikan pesilat berada dalam kondisi yang layak. Setelah itu wasit memberikan aba-aba kepada para juri bahwa pertandingan siap dimulai.

Aku mundur dua langkah. Bersiap dengan sedikit kembangan, lalu siap dengan sikap pasang pesilat. Lawanku juga terlihat demikian.

"Pesilat... mulai!", teriak wasit bersamaan dengan bunyi gong yang dibunyikan dengan keras.

Aku melangkah perlahan menuju tengah arena. Lawanku juga demikian. Kami berhenti pada jarak serang masing-masing. Lawanku melakukan pancingan dengan menggerakkan tangan kirinya. Aku tidak terkecoh.

Pada gerakan tangan pancingan yang ketiga, tiba-tiba ia menyerangku dengan tendangan sampingnya yang cepat.

Aku melangkah mundur. Tendangan itu luput.

Lawanku melanjutkan dengan tendangan depan lurus, mengarah ke perut. Tendangan yang cepat. Aku terpaksa harus menangkisnya.

PLAK!

Telapak tangan kiriku menangkis tendangan depannya keras. Aku agak terdorong mundur setengah langkah. Belum sempat aku menggeser langkahku, lawan sudah kembali menyerang dengan menyarangkan pukulan lurusnya. Uh, aku belum sempat menghindar.

BUKK!

Pukulan lurus lawan mengenai dadaku dengan telak. Keras. Aku terdorong mundur lagi setengah langkah.

"Berhenti!", teriak wasit sambil tangan kanannya direntangkan ke depan menghentikan aktivitas pesilat. Wasit memberikan aba-aba agar aku masuk kembali ke lingkaran arena dan memintaku agar mencoba untuk bermain melingkar. Oh, rupanya salah satu kakiku sudah keluar dari lingkaran. Lawanku kali ini memang agak berbeda. Kualitas tendangannya, bentuk, dan kecepatannya memang lain dibanding lawan pertamaku sebelumnya.

Aku berjalan kembali ke tengah, mengatur jarak.

"Pesilat ... mulai!", teriak wasit.

Aku melangkah maju perlahan, mendekati lawan. Aku melihat lawanku juga melakukan hal yang sama. Kami berhenti di dekat tengah lingkaran arena. Uh, lawanku melakukan gerakan tangan tipuan lagi seperti tadi. Hm, kali ini aku tidak akan terkecoh.

Gerakan tangan tipuan pertama, aku masih diam. Gerakan tangan tipuan kedua, aku juga masih diam. Tepat setelah lawan ingin melakukan gerakan tipuan yang ketiga, aku menyerang terlebih dahulu dengan tendangan depan. Cepat, keras, bertenaga. Lawanku terlihat terkejut. Ia berusaha mundur sambil menangkis sekenanya.

PLAK!

Tendangan depanku berhasil ditangkisnya. Karena terkejut, lawan tampaknya menangkis sekenanya saja. Terlihat ada celah di pinggang kirinya. Aku tidak mau menunggu terlalu lama, segera setelah kakiku menyentuh matras, aku langsung arahkan tendangan sabit kaki kanan ke pinggang lawan yang terbuka.

BUKK!

Tendangan Sabit masuk dengan telak ke pinggang lawan. Tubuhnya agak menekuk sedikit. Aku susul dengan Pukulan Datar, lurus, disertai putaran pinggang ke arah dada.

BHEGG!

Pukulan Datar masuk dengan telak. Lawan terdorong setengah langkah. Aku bersiap melanjutkan serangan dengan Tendangan Depan, lurus.

"Berhenti!", teriak wasit. Tangannya menghentikanku dengan posisi kaki agak naik sedikit. Tendanganku tertahan.

Aku menurut.

Wasit terlihat menggerakkan tangannya agar meminta lawanku bergerak melingkar. Ternyata kaki lawanku sudah keluar dari lingkaran arena pertandingan. Pantas saja dihentikan oleh wasit. Aku memutar badan. Menunggu lawanku yang berjalan ke tengah arena. Setelah itu wasit kembali memulai pertandingan.

"Pesilat ... mulai!", teriak wasit.

Tanganku bergerak membentuk kembangan, sambil melangkah maju perlahan. Aku melihat wajah lawanku agak meringis. Aku tidak tahu apakah tendanganku atau pukulanku yang membuatnya meringis. Tapi sekarang, ia tidak terlihat agresif seperti awal tadi.

Sambil melangkah perlahan, aku memperhatikan kedipan matanya. Satu kedip, lima detik. Satu kedip berikutnya, lima detik. Saat masuk ke jarak serang, dan tepat setelah kedipan ketiga, aku bergerak cepat menyamping, memotong, diagonal, ke arah kanan lawan, keluar dari jarak serangan lurusnya, persis setelah matanya terpejam beberapa saat. Saat ini, aku berada dalam posisi agak menyamping. Kaki kiriku aku sabetkan dengan menggunakan Tendangan Sabit ke dada lawan.

BHUGG!
Tendangan Sabitku mengenai dadanya. Suaranya keras. Lawanku terdorong mundur satu langkah lebih. Ia meringis kesakitan. Aku ingin mengejarnya, tapi tiba-tiba terdengar bunyi gong yang nyaring.

"Berhenti!", teriak wasit sambil menghentikan pertandingan.

Ronde pertama selesai.

Aku kembali ke sudut Merah. Terlihat Pak Toto sedang mengeluarkan handuk kecil dingin dari termos es dan kemudian memberiku air putih yang tidak terlalu dingin dari botol. Aku meminum sedikit, membasahi tenggorokanku. Sementara Pak Toto menyeka dahiku dengan handuk kecil dingin tersebut. Setelah itu memasukkan kembali handuk ke dalam termos es.

"Ronde pertama kamu sudah menang A. Main seperti tadi saja. Pertahankan!", ucap Pak Toto perlahan sambil kedua tangannya memijiti bahuku perlahan.

Aku mengangguk.

Tidak berapa lama, wasit kembali memberikan aba-aba kepada kedua pesilat agar kembali ke arena.

"Ok sip! Ronde dua ya...", ucap Pak Toto.

"Siap!", jawabku perlahan.

Aku berbalik, dan kembali berjalan ke tengah arena. Wasit memberikan aba-aba 'ronde kedua' dengan tangannya sambil membentuk simbol 'dua' dengan jarinya. Aku mundur satu langkah, menjauh dari tengah arena, dan bersiap dengan memasang kembangan.

"Pesilat ... mulai!", teriak wasit bersamaan dengan bunyi gong pada ronde kedua ini.

Aku berjalan perlahan ke tengah arena. Lawanku juga melakukan hal yang sama. Tapi, ia tampak lebih sigap kali ini. Gerakannya lebih mantap. Setelah masuk pada jarak serang, tiba-tiba lawan menyerang dengan tendangan depan kaki kanan lurus yang mengarah ke perut. Cepat, keras, dan tiba-tiba. Aku terkejut, menggeser kaki kananku ke samping sambil tangan kiriku melakukan gerak tangan Tangkisan Bawah.

PLAK!!

Tendangan lurus lawan berhasil aku tangkis. Keras. Tendangan itu terhenti, dan kakinya kembali menjejak matras. Tiba-tiba lawan melanjutkan serangan dengan tendangan sabit menggunakan kaki kirinya segera setelah kaki kanannya menyentuh matras. Rupanya ia melihat dadaku terbuka saat menangkis tadi. Cepat sekali putarannya. Posisiku tidak memungkinkan untuk mundur saat ini. Secara reflek, aku menahan tendangan sabit kaki kirinya dengan kedua tanganku yang dirapatkan di depan dada agak maju sedikit.

BHUGG!

Aku terdorong mundur. Tendangan sabit kiri lawan itu keras sekali. Meski tidak mengenai dadaku karena aku tahan dengan kedua lenganku tapi efek benturannya membuatku terdorong hingga dua langkah. Serangan lawan tadi tidak membuahkan nilai, karena tendangannya berhasil aku tahan dengan kedua lenganku. Tapi tak urung membuat suasan menjadi semakin 'panas'.

Aku kembali melangkah perlahan sambil tanganku membentuk sikap kembangan. Aku mendekati lawan, dan terhenti kira-kira satu meteran di dekat lingkaran dalam arena. Posisiku kini pada kuda-kuda kiri depan yang ringan.

Pusarku kini mulai menghangat. Aliran hangatnya naik ke dada.

Lawanku kemudian menurunkan kedua lengannya ke bawah, ia melonggarkan badannya dan tampak lunglai. Ia bersikap seolah sedang memberi tubuhnya untuk diserang. Beberapa detik kemudian, lawan tiba-tiba mencoba menyerangku dengan melakukan pukulan lurus dengan tangan kanannya ke arah dada sambil kaki digeser maju. Pukulan ini cepat sekali, tiba-tiba, dan keras. Aku terkejut.

Tanpa disadari, tangan kiriku naik dan menangkis dengan gerak tangkisan bernama Tangkisan Atas, yakni tangkisan menggunakan sisi telapak tangan. Bersamaan dengan itu tangan kananku secara reflek juga melakukan gerak tangan serangan bernama Sodokan Atas, yakni serangan dengan telapak tangan dengan lintasan dari bawah ke atas yang menyasar rahang lawan. Keras, cepat, bertenaga.

PLAK!!
DHAKK!!

Mataku hanya menyaksikan tubuh lawan terangkat ke atas setinggi satu jengkal dengan kepala yang tertekuk ke belakang. Setelah itu lawanku ambruk di depanku tak berkutik. Ia pingsan. Aku tertegun. Gerakanku terhenti pada posisi telapak tangan yang masih menghadap ke atas, masih membentuk serangan Sodokan Atas.

"Berhenti!", teriak wasit. Ia kemudian memberikan aba-aba kepadaku untuk menuju sudut netral.

Aku menurut, dan berjalan menuju sudut netral. Setelah itu aku duduk disitu sambil meluruskan kaki. Aku masih terkejut. Aku menoleh, melihat wasit sedang memeriksa lawanku. Terlihat ada darah disudut bibir lawanku. Ia masih tergeletak di atas matras tak sadarkan diri. Kemudian wasit meminta tim dokter untuk masuk. Terlihat seorang berpakaian putih yang tampaknya seorang dokter memasuki arena pertandingan ditemani dengan seorang panitia. Dokter ini kemudian memeriksa pesilat yang terbaring. Setelah itu, tangannya memberikan aba-aba untuk meminta tandu. Dokter ini kemudian berdiri dan memberitahu wasit kalau tampaknya pertandingan tidak mungkin dilanjutkan, dan pesilat ini harus dirawat. Beberapa saat kemudian, empat orang panitia datang dengan membawa tandu. Setelah melepas body protector pesilat yang terbaring, dua orang kemudian membopongnya menaiki tandu yang sudah dipersiapkan. Kemudian membawa keluar pesilat ke ruang perawatan.

Sementara itu wasit terlihat sedang berembuk dengan ketua pertandingan. Tidak berapa lama, wasit kemudian kembali ke tengah arena dan memintaku untuk berdiri dan mendekatinya.

Aku menurut.

Aku berdiri dan mendekati wasit. Setelah itu wasit memegang pergelangan tangan kiriku dengan tangan kanannya. Ia terdiam. Tampaknya menunggu informasi dari ketua pertandingan.

"Karena Pesilat sudut merah melakukan kesalahan teknik, maka pertandingan ini dimenangkan oleh pesilat dari sudut biru!", ucap ketua pertandingan lewat pengeras suara.

Wasit kemudian melepaskan pegangan tangannya. Aku kemudian memberikan penghormatan kepada ketua pertandingan, para juri, dan kembali ke tempatku. Tim pendamping lawan sudah tidak terlihat lagi, mereka kelihatannya menuju ruang perawatan untuk melihat kondisi pesilatnya.

Aku berjalan ke tempat Pak Toto, yang tampaknya mukanya terlihat datar-datar saja. Di depannya, aku hanya bisa berucap dua kata.

"Maaf, pak", ucapku lirih.

"Tidak apa-apa. Kamu sebenarnya sudah menang nilai. Tapi ya sudahlah, itu sudah terjadi. Mungkin saja itu reflekmu melakukan seperti itu.", jawab pak Toto.

Aku merasakan ada nada kekecewaan pada ucapannya.

Jujur, saat itu memang aku merasa serangan lawan benar-benar sebagai ancaman bagiku. Serangan pukulan lurus yang cepat, keras, dan tiba-tiba itu dianggap sebagai ancaman bagi tubuh ini sehingga secara reflek, naluriku bergerak sendiri untuk mempertahankan diri. Yang keluar adalah gerakan-gerakan silat yang dulu diajarkan oleh ayah. Gerakan-gerakan yang memang mematikan. Keluar begitu saja, tanpa aku kehendaki. Keluar begitu saja dari hati ini. Meskipun satu hari sebelumnya, aku sudah berusaha untuk mencoba agar tidak melakukan gerakan serangan yang dilarang, tapi pada prakteknya tetap saja terhadi hal-hal yang diluar kehendakku.

Pak Toto membantuku melepas ikatan sabuk merah dan body protector. Setelah itu menepuk-nepuk bahuku.

"Kamu sudah berusaha yang terbaik. Tidak apa-apa.", ucap Pak Toto.

Aku tersenyum pahit.

"Iya pak.", jawabku perlahan.

Pak Toto kemudian berjalan keluar dari arena. Aku mengikutinya dari belakang.
Sesampainya di tempat dimana teman-teman sekolahku berkumpul, aku langsung disoraki. Sebagian ada yang tertawa, sebagian ada juga yang memberiku selamat.

"Wuiiih... Mantap A! Ga apa-apa kalah juga, yang penting sudah bikin KO lawan!", ucap Tri, salah seorang temanku dari lain kelas.

"Gila lu! Itu lawan sampe terangkat gitu. Parah! Hahahaha", ucap Wahyu, salah seorang teman kelasku.

Sementara Pipit aku lihat hanya geleng-geleng kepala saja sambil tersenyum.

Aku duduk disamping Pak Toto, tapi agak mundur sedikit sambil aku sandarkan bahuku pada undakan tangga kursi di belakangku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa aku bisa melakukan serangan seperti itu. Aku tidak menghendakinya, tapi tubuh ini melakukan gerakan itu sendiri secara reflek tanpa sadar.

Mataku aku pejamkan. Aku teringat ucapan ayah dua hari yang lalu.

"Nak, tata gerak yang kamu latih secara berulang-ulang itu akan menjadi memori gerak, kemudian menjadi reflek, dan akhirnya menjadi nalurimu sendiri. Ia akan melekat di sanubari dan menjadi perbendaharaan gerakmu yang akan keluar dengan sendirinya manakala tubuhmu mengalami ancaman.", ucap ayah yang terngiang dalam ingatanku.

"Pertandingan, bukanlah pertarungan hidup dan mati. Ia adalah olahraga, salah satu aspek yang diangkat oleh silat. Tentunya ada batasan-batasan yang dibuat sedemikian rupa agar tidak mencederai yang bertanding. Aturan dibuat sedemikian rupa, yang walaupun terkesan menghilangkan ciri khas perguruan mereka yang ikut, akan tetapi sudah disepakati bersama bahwa demikianlah pemodelannya. Mereka yang mengikutinya harus mematuhi apa yang sudah disepakati.

Tidak hanya silat, semua jenis pertandingan beladiri tentu memiliki aturan yang khas. Aturan yang dibuat demi keselamatan yang bertanding. Kalau kamu melanggar aturan ini, maka pertandingan akan dihentikan.", lanjut ayah.

"Yah, bagaimana kalau pertandingan yang dibuat yang tidak ada aturannya?", tanyaku.

Ayah tersenyum, lalu tertawa kecil.

"Kalau pertandingan yang tidak ada aturannya ya itu namanya pertarungan. Semua teknik diizinkan. Kalau sudah demikian, peluang menangmu akan lebih besar karena gerakan silatmu adalah gerakan yang diluar aturan-aturan itu.", jawab ayah.

"Yah, apakah Aa bisa menang pada pertandingan nanti?", tanyaku pada ayah.

"Ayah tidak tahu, nak. Kamu jalani saja sendiri. Sejujurnya, rentang waktu kamu belajar silat dengan ayah dibandingkan persiapan pertandingan pertamamu jelas jauh lebih lama waktumu belajar silat bersama ayah. Tentu saja, reflekmu yang terbentuk bukanlah menyesuaikan dengan aturan pertandingan itu. Kalau melihat ini, peluang 'menang dalam laga'-mu besar. Jangan salah ya, ayah katakan peluang 'menang dalam laga', dan bukan peluang menang dalam pertandingan atau menjadi juara. Hehehe", jawab ayah.

Aku hanya tersenyum.

"Besok, kamu cukup melakukan pertarungan bayangan dalam pikiranmu. Lakukan itu seharian. Gerakan yang kamu keluarkan pada pertarungan bayangan dalam pikiranmu adalah gerakan yang diizinkan dalam aturan pertandingan. Setidaknya, itu akan bisa menahanmu untuk melakukan gerakan yang dilarang, walaupun tidak sepenuhnya.", lanjut ayah sambil tersenyum kecil.

Aku membuka mata seiring dengan suara gegap gempita yang membahana di dalam gedung.

"Benar sekali yah. Aku memang kalah dalam pertandingan ini, tapi aku menang dalam laga.", gumamku dalam hati.

Aku tersenyum.

Setelah pertandingan ini berakhir, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan pada ayah.




(bersambung)

(bagian berikutnya "Kesadaran Yang Menembus Ambang Batas")
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: belajar on 14/09/2011 14:26
mantep ceritanya euy, hampir dua jam melototin kompi gak kerasa euy... keren mas brow

Layak dibukukan nih... [top]
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 15/09/2011 18:51
Tembang Tanpa Syair - Bagian 21

Kesadaran Yang Menembus Ambang Batas


Sore itu di teras rumah, menjelang maghrib, aku sedang duduk santai sambil aku melihat adik-adikku sedang bermain di halaman. Mereka saling berkejaran. Terlihat Ayu sedang berlari mengejar Bayu. Ayu memakai kaos berwarna merah muda dengan celana pendek merah muda juga. Sedangkan Bayu memakai kaos merah sepakbola dengan celana pendek warna merah. Kaos tim nasional Garuda, kebanggaan Indonesia. Sesekali mereka tertawa, terjatuh, bangun lagi, dan kemudian kembali saling berkejaran.

"Bayu ... ayo kejaaar...!", teriak Ayu sambil berlari.

"Iyaaa...!", jawab Bayu sambil mulai mengejar.

Mereka kemudian tertawa-tawa riang.

Aku tersenyum melihat tingkah mereka. Teringat dulu masa kecilku yang tidak pernah bermain berlari-larian seperti itu. Kata ayah, waktu kecil aku cukup pendiam, tapi aku memperhatikan sekeliling. Ayah pernah berkata kalau masa kecil adalah masa penuh pembelajaran, dan merupakan masa yang penuh hikmah. Anak-anak, tidak pernah mengenal kata menyerah dalam belajar. Mereka selalu mencoba hal yang baru. Meskipun terjatuh, mereka akan bangun dan mencoba lagi. Kalaupun terjatuh lagi, maka mereka tetap akan bangun lagi. Demikian seterusnya. Ada semangat di dalam diri setiap anak yang tidak pernah mati. Seperti itulah seharusnya kita dalam hidup ini, kata ayah.

"Hei, ngelamun aja...", tegur ayah sambil menepuk pundakku.

Aku menoleh.

"Nggak yah, lagi ngeliat Ayu sama Bayu main yah.", jawabku.

Ayah kemudian duduk di samping kananku.

"Gimana dengan pertandinganmu tadi?", tanya ayah.

"Anu... kalah yah. Tapi dapet medali Perunggu.", jawabku malu-malu sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

"Bagaimana kalahnya?", tanya ayah kembali. Keningnya berkerut.

"Anu.. yah, sebenarnya di ronde pertama sudah menang nilai. Tapi itu yah, di ronde kedua, Aa ga sengaja melakukan Sodokan Atas ke rahang lawan karena lawan tiba-tiba melakukan serangan pukulan dengan mendadak. Aa tangkis pake Tangkisan Atas dengan bersamaan melakukan Sodokan Atas pada rahangnya yang terbuka. Trus kena diskualifikasi karena dianggap melakukan kesalahan teknik yang berat.", jawabku sambil tersenyum.

Ayah tersenyum.

"Bagaimana dengan lawanmu?", tanya ayah.

"Dia ditandu keluar arena yah. Pingsan. Aa gak tau seperti apa karena tidak melihat ke ruang perawatan.", jawabku.

"Kenapa kamu bisa melakukan itu?", tanya ayah.

"Aa sendiri ngga begitu mengerti yah. Gerakan itu keluar sendiri yah karena menganggap serangan pukulan yang tiba-tiba dari lawan itu sebagai ancaman. Dan ya gitu deh akhirnya. Bener seperti yang ayah bilang waktu itu, kalau tata gerak yang dilatih selama ini akan menjadi perbendaharaan naluri. Keluar begitu saja dalam bentuknya yang menyesuaikan dengan keadaan yang mengancam diri.", jawabku.

"Benar nak. Memang demikianlah adanya. Disitulah manfaat utama dari belajar tata gerak. Semakin sering dilatih, ia akan semakin menyatu dengan jiwa raga. Melekat di sanubari. Jadi, memang belajar gerak itu perlu bagi seorang pesilat. Dan tentu saja, berlatih gerak harus terus dilatih, diulang-ulang, dan diresapkan maknanya. Jangan bosan untuk diulang-ulang. Kamu memang bisa meniru gerakan lain dalam sekejap. Tetapi tetap saja, akan berbeda pada mereka yang melatihnya terus menerus dan pada mereka yang melatihnya dengan pemahaman.", ucap ayah.

Aku mengangguk, membenarkan ucapan ayah.

"Oh iya, besok pagi kita ke Gunung Ciremai. Kita akan latihan di gunung. Kamu dan ayah saja. Kita akan melakukan latihan alam. Lima hari berturut-turut. Tapi malam ini kita akan latihan sebentar. Ada yang ingin ayah ceritakan padamu.", lanjut ayah.

Aku mengangguk.

"Asyik yah! Latihan di gunung?", jawabku dengan girang. Pandangan mataku berbinar.

Ayah mengangguk.

"Benar, nak. Kita akan latihan di gunung. Ya sudah, ayah masuk dulu. Sudah mau maghrib. Kita sholat dulu. Suruh adik-adikmu masuk.", pinta ayah.

Ayah kemudian berdiri, memutar badan, dan berjalan masuk ke dalam rumah.

Aku mengangguk.

"Ayuuuu...! Bayuuuu...! sudah mau maghrib nih. Ayo masuuk..!", teriakku kepada adik-adikku yang sedang bermain di halaman.

"Yaah.. kakaak...", jawab Ayu sambil cemberut. Mukanya terlihat lucu, tapi tetap manis. Bayu tidak menjawab apa-apa. Dia hanya berdiri saja. Nafasnya terengah-engah setelah berlarian.

Tidak berapa lama, terdengar suara adzan Maghrib berkumandang.

"Tuh khaan, sudah maghrib. Ayo sini masuk.", ucapku mengulangi.

"Iya kak!", jawab Ayu lantang.

"Iya kak!", jawab Bayu juga dengan lantang hampir bersamaan dengan jawaban Ayu.

Mereka berlari cepat menuju ke arahku. Melewatiku, dan langsung masuk ke dalam rumah.

Aku berdiri, balik badan, dan berjalan perlahan masuk ke dalam rumah. Tidak lupa aku tutup pintu depan yang terbuka. Bersiap untuk melakukan sholat maghrib.

***

Aku sudah berdiri di halaman, menghadap ke kaca jendela. Dari luar kaca jendela, aku melihat kalau jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima menit. Aku memakai kaos putih lengan pendek dan celana silat berwarna hitam. Saat ini, aku sedang melakukan peregangan statis di halaman. Sambil menunggu ayah, aku lenturkan terlebih dahulu beberapa bagian dari tubuhku. Kepala, leher, lengan, bahu, pinggang, paha, lutut, kaki, persendian, semuanya. Termasuk juga melakukan posisi 'split' yakni posisi merengganggkan kaki selebar-lebarnya hingga semua menempel ke lantai.

Tidak berapa lama, aku melihat ayah sedang berjalan keluar dari pintu depan dan menuju ke arahku. Ayah memakai kaos berwarna hitam lengan pendek, juga dengan celana silat berwarna hitam. Ayah berhenti kira-kira dua meter di depanku.

"Sudah selesai peregangannya?", tanya ayah.

Aku mengangguk.

"Sudah yah.", jawabku.

"Kalau begitu, duduklah dulu.", pinta ayah.

Ayah kemudian duduk di depanku dengan posisi bersila.

Aku menurut, dan duduk di depan ayah dengan posisi yang sama.

"Nak, sebelum besok kita mulai latihan di alam terbuka, ada yang ingin ayah ceritakan padamu. Rasanya, usiamu sudah cukup untuk memahami ini. Termasuk juga ayah lihat pengalamanmu sudah mulai terbentuk.", ucap ayah.

Ayah tersenyum.

"Kisah ini terjadi dua belas tahun yang lalu. Ya, tepat dua belas tahun yang lalu. Ayah tidak akan pernah bisa melupakannya. Saat dimana ayah masih muda, masih enerjik, dan suka dengan pengakuan akan kehebatan. Saat itu, ayah berlatih seperti minum obat. Sehari bisa tiga kali. Melakukan olah nafas hampir tiap hari. Bahkan pernah melakukan olah nafas pengolahan selama tiga bulan full. Beberapa keilmuan pamungkas berhasil dikuasai, dan juga pernah dipraktekkan terhadap manusia. Hal-hal yang membuat ayah merasa menjadi manusia super. Menjadi seperti manusia setengah dewa. Merasa hebat, dan ingin sekali diakui. Saat itu, ayah suka sekali dengan pertarungan. Hampir tiap bulannya ayah mencoba apa yang sudah pernah ayah pelajari. Ayah praktekkan. Tidak tanggung-tanggung, ayah datangi preman terminal. Berkelahi disana. Menang. Beberapa bulan kemudian, ketika muncul preman-preman baru, ayah ajak mereka berkelahi. Dan menang lagi. Perkelahian ini bukanlah pertandingan. Sama sekali tidak ada aturan. Yang berdiri terakhir adalah yang menang. Pernah juga ayah menantang seorang praktisi beladiri Jepang, seorang anak tentara. Sabuk coklat. Kami berkelahi di sawah. Disaksikan seorang teman. Dan ayah menang. Dia luka parah. Kemudian ayah kembali terlibat perkelahian dengan seorang warga keturunan yang sudah sabuk hitam beladiri dari Korea. Kami berkelahi di sawah juga, dan ayah menang lagi. Silat ini sungguh sangat istimewa dan sekaligus sangat mematikan, ketika dipelajari dengan sungguh-sungguh. Entahlah, sudah berapa kali ayah berkelahi. Hampir semuanya ayah menangkan. Kondisi itu bikin ayah jadi terlena, benar-benar terlena...", lanjut ayah.

Aku melihat ayah menghela nafas. Tersenyum, tapi hambar.

"Masih ingat khan, kalau dulu Aa pernah bertanya mengenai bekas luka di tubuh ayah ini?", ucap ayah sambil membuka kaosnya.

Di bagian depan tubuh ayah terdapat beberapa luka bekas jahitan yang sudah mengering. Termasuk di pingganggnya.

Ayah kemudian memutar badannya. Terlihatlah punggungnya. Punggung ayah juga terdapat beberapa bekas jahitan yang membekas. Ada yang pendek, dan ada yang cukup panjang.

Ayah kembali memutar badan, dan memakai kembali kaosnya.

"Itulah salah satu yang didapat dari petualangan ayah, nak. Sesuatu yang tidak ayah harapkan terjadi padamu. Bahkan sampai rumah ayah dulu, didatangi oleh beberapa tentara. Mereka mencari-cari ayah beberapa kali. Akhirnya, kakekmu yang repot. Bahkan beberapa anggota suatu beladiri asing juga pernah mendatangi rumah ayah. Kakekmu kembali dibuat repot untuk menjelaskan.", ucap ayah sambil tersenyum hambar.

Aku kini mengerti asal luka di tubuh ayah. Selama ini, setiap berlatih bersama ayah sambil bertelanjang dada, aku sering melihat luka-luka itu. Tapi tidak pernah aku pertanyakan serius. Pernah suatu hari aku bertanya pada ayah mengapa tubuhnya cukup banyak luka seperti itu. Tapi ayah hanya menjawab dengan senyum. Kalaupun dijawab, selalu saja jawabannya adalah 'nanti ayah akan ceritakan. Kalau saatnya tiba'. Selalu saja seperti itu. Akhirnya aku tidak berani bertanya lagi.

"Uh, bandel juga ayah waktu mudanya...", gumamku dalam hati.

Ayah kemudian memandang ke langit. Wajahnya terlihat serius.

"Tapi, dari semua pertarungan dalam hidup ayah, hanya satu yang begitu membekas. Yakni, ketika ayah dikalahkan oleh seseorang...", ucap ayah.

"Ayah... ayah dikalahkan?", tanyaku dengan heran. Keningku berkerut.

"Benar. Ayah dikalahkan dengan telak. Sangat telak. Dikalahkan oleh seorang kakek tua, yang bahkan tanpa pertarungan sama sekali. Kekalahan yang kemudian mengubah hidup ayah, mengubah cara pandang ayah terhadap hidup ini.", jawab ayah.

Ayah tersenyum, masih dengan wajah menghadap ke langit. Pandangannya terlihat seperti sedang menerawang jauh. Entah apa yang ada di pikiran ayah saat ini. Terlihat sekali, ayah begitu mengingat keadaan itu.

"Ba... bagaimana ayah dikalahkan yah?", tanyaku kembali dengan penasaran.

Ayah menggerakkan kepalanya, dan memandang ke arahku.

"Dua belas tahun yang lalu, ayah mendatangi sebuah daerah di lereng gunung Ciremai. Daerah itu letaknya agak keatas dari arah Linggar Jati. Disekitarnya agak tinggi. Di bawahnya ada sungai panjang mengalir dengan batu-batu besar. Sungai yang panjang sekaligus cukup lebar. Arusnya cukup deras sehingga ombak yang terbentuk juga lumayan. Saat itu, ayah sedang ingin melatih sebuah keilmuan yang disebut dengan Bayu Seto.", ucap ayah.

"Bayu Seto? Apa itu yah?", tanyaku keheranan.

Ayah tersenyum.

"Saat itu ayah sedang berhasrat untuk melatih keilmuan ini dengan memukul ombak, dengan memecah ombak. Singkatnya, ia merupakan sebuah metode pukulan yang kalau dihantamkan pada manusia bisa membuat kerusakan yang parah, bisa membuat terpental hingga enam meter lebih. Dan bisa juga dipergunakan untuk memukul benda mati dari jarak jauh. Batu-batu sungai yang besar itu ingin ayah jadikan sasaran latihan. Setidaknya, begitulah dulu ayah memandangnya.", lanjut ayah.

"Oh, ada yang seperti itu yah?", tanyaku sekali lagi.

"Tentu saja, nak. Silatmu ini memiliki lebih dari dua puluhan keilmuan pamungkas. Belum termasuk keilmuan lain yang muncul akibat proses pencarian dari yang lain.", jawab ayah.

"Saat itu, ayah sedang duduk di samping sungai. Bermeditasi sebentar. Tiba-tiba bahu ayah serasa ditepuk perlahan oleh seseorang. Tepukan itu sangat lembut. Ayah langsung menoleh. Kaget, karena tiba-tiba ada seorang kakek tua berpakaian hitam di samping ayah. Wajahnya agak tirus. Ayah langsung meloncat cepat dan membentuk jarak sekitar dua meteran. Rambutnya agak panjang beriap. Seperti agak kurang terurus, tapi terkesan cukup rapih. Ayah sama sekali tidak menyadarinya, tidak merasakannya. Heran. Padahal saat itu tingkat getaran ayah pada aspek kepekaan sudah sangat baik. Tapi kakek tua itu tidak terdeteksi sama sekali. Muncul saja tiba-tiba.

Kemudian, terjadilah percakapan diantara kita.", lanjut ayah.

Aku mendengarkan cerita ayah dengan serius.

***

"Siapa kakek ini? Kenapa bisa ada disini?", tanyaku keheranan.

"Pentingkah kamu tahu siapa aku, Nak?", ucap kakek itu dengan mimik datar. Ia kemudian mengangkat sedikit dagunya.

Mengangkat dagu itu artinya menunjukkan suatu sikap kejumawaan. Sikap yang merendahkan lawan bicara didepannya. Darah mudaku langsung 'mendidih'.

"Tentu saja penting. Sebab aku ingin berlatih disini!", jawabku dengan sedikit keras.

"Kalahkan kakek dulu! Kalau kamu menang, kamu boleh berlatih disini. Tapi kalau kamu kalah, kamu juga boleh berlatih disini!", ucap kakek tua itu sambil matanya tajam menatapku.

Aku mengkerutkan keningku. Ucapannya plin-plan, tidak jelas. Kalau menang, aku boleh berlatih disini. Kalau kalah juga. Lalu apa gunanya mengalahkannya.

Kakek tua itu kini berkacak pinggang. Sikap ini jelas sangat merendahkanku.

"Kakek tua, aku tidak tahu siapa namamu. Tapi ketahuilah, aku tidak mudah untuk dikalahkan! Apa kakek tua ingin mencobaku?", tanyaku mantap.

"Sehebat apa ilmumu?", jawab kakek tua itu. Dagunya masih sedikit terangkat. Dadanya malah semakin dibusungkan.

Aku tidak suka dengan sikapnya. Emosiku mulai tersulut. Meski demikian, aku masih mencoba bersabar.

"Maaf kakek tua, aku tidak biasa ribut dengan orang yang lebih tua.

Perhatikan saja ini!", lanjutku.

Aku langsung siaga. Kedua tanganku bersedekap di depan dada. Aku memejamkan mata beberapa detik. Mengerahkan tenagaku, dan mengalirkannya ke dada. Membuka mata perlahan sambil kemudian tanganku menunjuk pada kupu-kupu yang berwarna hitam yang kebetulan sedang hinggap di salah satu pohon kecil di dekatku. Meski tanganku menunjuk, tapi mataku masih tetap mengawasi kakek tua itu. Khawatir ia akan menyerangku tiba-tiba. Jarak dengan pohon itu kira-kira empat meteran. Telunjuk kananku menunjuk dengan mantap ke arah kupu-kupu itu. Getaranku mengalir dari bawah pusar, melewati dada, menuju jantung, mengalir ke lengan kanan, dan kemudian berkumpul di ujung telunjuk. Telunjuk terasa menghangat, menebal, dan sedikit kebas. Tenaganya menggumpal dan melontar, mengarah tepat pada kupu-kupu tersebut. Tenaganya mengenai kupu-kupu itu yang langsung terjatuh. Mati.

Tidak puas dengan kupu-kupu, aku kembali menunjuk pada sisi sungai dimana beberapa ekor ikan sedang berenang. Telunjuk kananku kembali mengarah pada salah satu ikan yang terbesar. Aku 'tembakkan' kembali tenaga getaranku kearah ikan tersebut. Hanya sepersekian detik saja, ikan tersebut langsung mengambang. Mati.

"Masihkah ingin melawanku, kakek tua?", tanyaku dengan santai. Kini aku mengangkat sedikit daguku.

"Boleh juga. Tapi itu belum seberapa...", ucapnya santai.

Ucapan santai itu dengan nada merendahkan. Benar-benar membuatku gerah. Darah mudaku kembali 'mendidih'.

Aku mundur dua langkah. Mengangkat tangan kiriku ke atas sambil telapak terbuka menghadap ke depan. Sementara tangan kananku mengepal ringan disamping pinggang kanan. Aku melakukan gerakan pembuka Bayu Seto. Sasaranku adalah batu kali yang cukup besar yang letaknya agak di tengah sungai. Jaraknya kira-kira tiga meteran. Keningku berkerut, konsentrasiku meningkat. Pusar ini menghangat. Aku menyerap energi alam dengan tangan kiriku. Memutar telapak tangan perlahan sambil diturunkan perlahan. Energi alam masuk ke lengan kiriku bersamaan dengan putaran lenganku. Mengalir menuju bawah pusar. Setelah dirasa cukup, kemudian ujung siku kiri aku gerakkan mendekat ke pinggang kiri hingga menempel, sambil aku mengunci aliran energi alam yang masuk dengan mengepalkan tangan kiriku. Aliran energi alam yang masuk menjadi memusat. Mengalir ke bawah pusar. Menggumpal disitu. Digabungkan dengan tenaga getaranku untuk kemudian mengubah sifatnya. Bersamaan dengan itu, aku membuka kepalan tangan kananku perlahan. Memindahkan energi di bawah pusar tadi mengalir ke telapak tangan kanan yang terbuka. Menghubungkan rasa pada telapak tangan kanan dengan rasa pada bawah pusar berikut aliran yang ada. Perlahan telapak tangan terasa menghangat. Kemudian memanas, dan mulai terasa seperti 'menebal'. Aku mengalirkan semua energinya telapak tangan kananku. Setelah itu, langsung saja aku pukulkan lurus dengan cepat ke arah batu di tengah sungai sambil lengan kiriku ditarik ke pinggang kiri. Kesiuran anginnya terasa sekali. Tangan kananku agak bergetar karena aliran tenaga dari pusar yang mengalir menyentak.

DRAKK!!

Batu besar di tengah sungai itu hancur terbelah.

Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 15/09/2011 18:52
"Hmm, kemampuanmu lumayan!", ucap kakek tua itu. Aku yakin, mau tidak mau, ia akan memperhatikan.

"Begini saja, bagaimana kalau kita ngobrol-ngobrol saja. Aneh ya, kakek tidak merasakan hawa permusuhan dari getaran tubuhmu. Bagaimana?", tanya kakek tua itu.

Pandangannya menatap ke arahku dengan polos sambil tersenyum. Ini menjadi sedikit lucu karena tadi terlihat begitu serius dan terkesan jumawa, tapi tiba-tiba berubah drastis meskipun tangannya masih berkacak pinggang.

Emosiku mereda. Aku memang tidak memiliki permusuhan dengan kakek tua ini. Meski tadi sempat tersulut, tapi itu semata-mata karena darah mudaku bergolak melihat sikapnya yang meremehkan dan merendahkanku.

"Baiklah. Terserah kakek saja...", jawabku sekenanya.

Kakek tua itu tidak menjawab. Ia berjalan agak menjauh dari pinggiran sungai. Lalu duduk di sebuah batu berukuran sedang. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku, memberikan simbol agar aku duduk di dekat dia.

Aku berjalan mengikutinya. Aku masih tetap menjaga jarak. Karena kakek tua ini bertingkah sangat aneh dan mencurigakan. Aku aku duduk pada salah satu batu yang berjarak kira-kira dua meteran dari tempat kakek tua itu duduk.

Suasana hening selama beberapa saat. Hanya terdengar gemericik air sungai dan hempasan dedaunan yang terhembus angin.

"Nak, kemampuanmu lumayan.", ucap kakek tua itu membuka percakapan.

"Huh, akhirnya mau mengakui juga!", jawabku tegas. Aku tersenyum.

"Tapi sayang ... kamu tidak tahu arah matahari sehingga kamu tidak bisa membedakan pagi dan sore...", ucap kakek tua itu.

"Maksud kakek apa?", jawabku penasaran. Keningku berkerut heran.

Kakek tua itu mengatakan kalau aku tidak bisa membedakan pagi dan sore karena tidak tahu arah matahari. Ini sama saja artinya bahwa aku ini tidak tahu apa-apa.

"Lihatlah kupu-kupu malang itu? Ia mati sia-sia...", lanjut kakek tua. Wajahnya kini terlihat sedih.

"Lihatlah ikan malang itu? Ia juga mati sia-sia...", tambah kakek tua. Wajahnya terlihat semakin sedih.

"Bisakah kamu menghidupkannya kembali?", pinta kakek itu. Wajahnya serius memandang ke arahku.

Eh, aku terkejut. Pertanyaan ini membuatku bingung.

"Aku ... aku tidak bisa kek...", jawabku lirih. Spontan.

"Kenapa tidak bisa? Bukankah kamu bisa mematikan, kenapa kamu tidak bisa menghidupkan?", tanya kakek itu lagi.

Uh, aku benar-benar dibuat tidak berkutik dengan pertanyaannya.

Kakek tua itu seperti memahami kebingunganku.

"Nak, saat kakek melihat kemampuanmu tadi, tampaknya kamu sudah belajar banyak. Mungkin masih ada keilmuan lain yang kamu masih simpan yang belum kamu tunjukkan. Kamu mungkin sudah melakukan banyak sekali latihan berat dalam hidupmu untuk mendapatkan semua itu. Tapi sepertinya ada yang kamu lupakan nak, yakni bahwa alam raya itu 'hidup'. Bagaimana kamu memahami kehidupan kalau kamu tidak menghargai kehidupan? Bagaimana kamu memahami nafas kalau kamu tidak menghargai nafas?", ucap kakek tua itu lirih sambil memandang ke arahku.

"Ilmumu tidak asing bagi kakek tua ini. Sumbernya masih sama. Bayu Seto yang kamu tunjukkan sudah cukup lumayan. Tapi inti getarannya terlalu keras, terlalu panas. Masih terlalu liar. Masih belum seimbang. Masih belum berjiwa...", ucap kakek itu.

"Apa maksud kakek?", tanyaku dengan heran. Keningku berkerut, mataku sedikit mendelik. Penasaran.

Bagaimana ia mengerti yang aku lakukan adalah aplikasi Bayu Seto? Bagaimana ia mengerti mengenai getaran? Bagaimana ia bisa membaca isi hatiku? Uuh, banyak pertanyaan berkecamuk di hati ini.

"Bayu Seto itu harusnya seperti ini...!", ucap kakek tua itu lantang sambil mendorongkan telapak tangannya ke depan. Ia tidak menjawab pertanyaanku tadi, tapi langsung menyerangku tiba-tiba.

Telapak tangannya secara tiba-tiba mengarah tepat ke tengah dadaku!

BRASS!

Terasa kesiuran angin di depan dadaku dengan cepat.

"Akhhh... apa-apaan ini kek...!", teriakku sambil terkejut yang amat sangat. Aku hanya berpikir kalau dadaku pasti akan hancur kalau terkena pukulannya.

Ini gawat, bahaya!

Aku merasakan seperti ada sesuatu yang 'melewati' dadaku. Menembus ke belakang punggung. Tapi tenaga itu hanya lewat saja. Sama sekali tidak mencederai tubuhku. Tidak juga membuat efek penghancuran seperti saat aku menghantam batu di tengah sungai itu dengan tenaga yang sama.

"Eh.... ini ... ini ... apa ini... bagaimana bisa...?", ucapku terbata-bata beberapa detik kemudian.

Aku sangat terkejut. Heran. Tenaga yang dipakainya sama seperti yang aku lontarkan saat melakukan Bayu Seto. Aku bisa merasakannya saat ia menembus dadaku. Tapi saat menembus itu, terasa sangat berbeda. Seperti ada 'jiwa' di dalamnya. Mampu mengenaiku tanpa merusak, melewati benda tanpa menghancurkan.

Tanpa sadar, tubuhku tiba-tiba menggigil seperti orang kedinginan. Keringat dinginku mengalir membasahi.

"Si... si... siapa sebenarnya kakek ini?", tanyaku dengan masih terbata-bata. Aku berusaha menenangkan diri dari keterkejutan tadi.

"Kakek bukan siapa-siapa nak... Barangkali, ini hanyalah jodoh saja sehingga kita bisa bertemu...", jawab kakek tua itu.

Aku melihat kakek tua itu berdiri. Riapan rambut panjangnya tertiup angin. Wajahnya menjadi demikian berwibawa. Tidak seperti sebelumnya. Ia tampak begitu serius, dan berjalan mendekatiku. Kedua tangannya berada di pinggang bagian belakang.

"Nak, tahukah kamu apa itu nafas?", tanya kakek tua itu kepadaku.

"Nafas adalah udara yang kita hirup...", jawabku memberanikan diri.

"Kalau ia udara yang kita hirup, kenapa kalau ada orang yang mati tetap saja tidak bisa hidup lagi meskipun kita masukkan udara yang demikian banyak ke dalam tubuhnya. Atau bahkan memompa paru-parunya dengan udara. Ia masih tetap saja mati!", ucap kakek tua itu dengan nada meninggi.

Ia tampak tidak suka dengan jawabanku.

"Nak, kamu sudah punya kemampuan sejauh ini tapi kamu sama sekali tidak bisa menjawab apa itu nafas?!", lanjut kakek tua itu masih dengan nada yang meninggi.

"Ma... maafkan saya kek...", jawabku sambil menundukkan kepala.

"Aku sudah kalah...", gumamku dalam hati. Aku semakin menunduk, dan memejamkan mata.

Entah mengapa aku jadi tidak mampu mengangkat daguku. Aku merasa tidak memiliki cukup tenaga untuk memandang wajah kakek tua di depanku ini. Mataku terpejam. Banyak pikiran berkecamuk di kepalaku.

Aku hanya mendengar suara helaan nafas.

"Kalau cucu muridku banyak yang seperti kamu, kakek tentu akan sangat kecewa sekali... Kamu memiliki keilmuan yang tidak memiliki jiwa. Sedangkan jiwa diperlukan bagi setiap yang 'hidup'. Agar hidup untuk menghargai yang hidup. Alam raya ini 'hidup'. Ia hidup dengan caraNya. Selama kamu belum bisa menyelami ini, maka kamu tidak akan bisa memahami intisari dari keilmuan silatmu ini...

Nafas adalah jiwa ...

Camkan saja itu, nak.", lanjut kakek tua itu.

Segera setelah ucapan terakhirnya itu, aku hanya merasakan ada kesiuran angin di depanku.

Dheg.

Hatiku seperti dipalu godam. Telingaku sangat jelas mendengar kalau kakek tua itu menyebut kata 'cucu murid'.

"Kalau begitu ... kakek ini?", tanyaku sambil mengangkat wajah dan membuka mata.

Kakek tua itu sudah tidak ada.

"Eh, kemana kakek ini.", gumamku dalam hati.

Aku menengok kanan dan kiri. Berdiri cepat. Lalu memandangi sekeliling tempat itu. Benar-benar tidak ada!

Aku memejamkam mata, mencoba menajamkan rasa batin untuk 'mencari' kakek itu. Tidak terasa. Tidak ketemu. Tidak ada rasa getaran yang lain selain benda-benda yang ada disekitar tempat itu.

Aku berjalan, dan duduk di tempat kakek tua sebelumnya duduk. Masih tergiang ucapannya.

"Nafas adalah jiwa... Nafas adalah jiwa... Nafas adalah jiwa...", ucapku perlahan berulang-ulang.

"Apa itu nafas? Apa itu jiwa?", lanjutku perlahan dan berulang-ulang.

Aku hanya mengulangi pertanyaan itu. Bertanya sendiri, berbicara sendiri. Kemudian tertunduk.

Aku menenangkan diri. Memusatkan diri pada hati, pada mata hati. Perlahan, suara gemericik air sungai sudah tidak terdengar lagi. Suara hembusan angin juga sudah tidak terdengar. Suara dedaunan yang beterbangan tertiup angin juga sudah tidak terdengar. Angin yang menyentuh kulitku juga sudah tidak aku rasakan lagi. Suara-suara alam disekitarku mulai mengecil dan menghilang.

Aku tenggelam, larut dalam keheningan. Entah berapa lama.

Aku terbayang pertarunganku dengan para preman.

Aku terbayang kupu-kupu yang mati.

Aku terbayang ikan yang mati.

Tiba-tiba tubuh ini serasa melebur. Menjadi satu.

Luruh.

Lebur.

Luluh lantak.

Kemudian, setiap tarikan nafas ini terasa begitu berbeda. Setiap hembusan nafas ini juga terasa begitu berbeda. Menarik, menahan, menghembuskan, rasanya menjadi begitu lain. Setiap aliran menuju sekujur tubuh ini, terasa sekali bedanya. Saat menarik nafas, menahannya, membiarkannya mengisi setiap sel tubuh ini. Setelah itu perlahan 'habis'. Lalu paru-paru mulai 'berontak', jantung mulai 'berontak', seluruh tubuh mulai 'berontak'. Seolah akan 'mati'. Aku hirup kembali nafas perlahan. Mulai bereaksi, mulai 'hidup'. Semua menjadi 'hidup' kembali.

Mataku menjadi terasa panas.

Perlahan, setetes air mata merembes keluar dari sudut mataku yang terpejam. Lama kelamaan semakin deras. Tetesannya mengalir di leherku hingga ke dagu, hingga menetes di pahaku. Tetesan air mata itu kembali menyadarkanku. Kembali membawaku ke alam nyata. Indraku mulai mendengar kembali gemericik air. Mulai merasakan kembali hembusan angin menyentuh kulit. Mulai merasakan kembali siraman cahaya matahari pada tubuh ini.

Aku merapatkan kedua tanganku.

"Kakek... cucu murid mulai memahaminya... Terima kasih...", ucapku lirih.

Aku membuka mata. Memandang ke sekeliling. Terasa sekali sangat berbeda dari sebelumnya. Memandang bebatuan, memandang air, memandang pepohonan, memandang ikan, memandang kupu-kupu, memandang dedaunan. Telapak yang menyentuh tanah, terasa begitu berbeda.

Aku membungkukkan badan, melakukan penghormatan pada tempat itu.

Aku kalah, hanya lewat tutur. Dari seorang kakek tua. Aku kalah, karena aku merasa bisa, bukan bisa merasa.

***

"Demikianlahlah, nak.", ucap ayah selesai bercerita.

Mata ayah terlihat berkaca-kaca. Tampaknya, ayah berusaha menahan agar air matanya tidak tumpah. Entah, aku tidak tahu sejauh apa pengalaman itu berbekas di hati ayah hingga pertama kalinya aku melihat ayah begitu serius dalam menceritakan kisah hidupnya.

Aku mendengar dan mengingat semua penjelasan ayah.

"Masih ingat mengenai kesadaran inderawi dan kesadaran rasional yang dulu pernah ayah jelaskan?", tanya ayah.

Aku mengangguk.

"Masih yah...", jawabku.

"Tahap berikutnya untuk menembus ambang batas kesadaran rasional adalah tumbuhnya kesadaran jiwa. Dan malam inilah ayah akan memberimu pemahaman untuk itu... Ini akan menjadi kunci pembuka untuk latihan besok kita di gunung.", ucap ayah.




(bersambung)

(bagian berikutnya: Kesadaran Jiwa)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: samber gledek on 16/09/2011 11:04
Mangstab Mas, segera pengen tau lanjutannya. Ingat kalau komik api di bukit menoreh harus nunggu satu bulan nich...
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: silau on 20/09/2011 19:58
mas mpcrb, kok link download nya ngga ada berfungsi ya, mas tlg share lagi link nya
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 21/09/2011 11:01
Mas ynasir, seharusnya link-nya normal mas. Tapi saat saya paste ke engine forum ini tanda seru (!) tidak masuk ke dalam link secara otomatis saat saya menekan tombol Post. Jadinya ya link-nya seperti terpotong. Akibatnya tentu saja tidak ketemu link-nya.

Berikut saya quote ulang link-nya dari postingan terdahulu:


Bagi yang ingin membaca cersil ini yang sudah dalam bentuk kompilasi buku, silahkan download disini:

https://skydrive.live.com/?cid=12ea94da72decb15&id=12EA94DA72DECB15!127

Buku Kesatu, edisi perdana 'Tembang Tanpa Syair'. Jadi bisa di baca offline.

Buku kedua sedang dalam proses editing. :)

Monggo dinikmati, semoga saja ada manfaatnya...

Salam.

Perhatikan, disitu ada tanda seru (!) diikuti nomor 127 khan? Nah, link-nya harusnya begini (dalam satu kesatuan utuh):

https://skydrive.live.com/?cid=12ea94da72decb15&id=12EA94DA72DECB15!127 (https://skydrive.live.com/?cid=12ea94da72decb15&id=12EA94DA72DECB15!127)

(saya masukin ulang secara manual).

Insya Allah di akhir bulan ini buku kedua akan terbit :) Bagian 1-14 ada di buku kesatu. Bagian 15-24 ada di buku kedua.

Monggo dinikmati... :)

Salam.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: silau on 26/09/2011 10:56
terima kasih mas mpcrb, saya sudah bisa download.

Kisahnya inspiratif sekali, dus ada beberapa hal yang saya ikuti hasilnya memang mantap,  sayang beberapa "tips"nya ngga detil, "rahasia" kali ya ;D

Tapi kalau kisah ayah dan sang kakek itu memang betulan ya mas, atau lambang dari "seseorang" yang nyata?

trims.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 26/09/2011 16:20
Mas ynasir, monggo dinikmati dan dimanfaatkan sebagai salah satu bagian untuk memecah kebuntuan. Barangkali saja, dari cerita-cerita pada Tembang Tanpa Syair ini ada manfaat yang bisa dipetik. :)

Salam.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 26/09/2011 16:23
Tembang Tanpa Syair - Bagian 22

Kesadaran Jiwa


Malam ini angin berhembus agak kencang. Aku memandang ke langit, terlihat bulan yang bulatannya hampir sempurna. Cahaya pantulannya menerangi sekitar. Awan-awan juga tidak nampak adanya. Seolah tidak ingin mengganggu sinar rembulan yang menghampiri jagat ini.

Suasana di halaman ini masih hening. Hanya ada ayah dan aku. Ayah juga terlihat masih memandangi rembulan. Cukup lama.

"Yah, setelah itu apa yang ayah lakukan?", tanyaku memecah keheningan.

Ayah menoleh ke arahku.

"Ayah tidak melakukan apa-apa. Setelah itu ayah berhenti berlatih, dan lebih banyak merenung.", jawab ayah sambil tersenyum.

"Ayah merenungi semuanya. Dari mulai diri ayah sendiri hingga ke alam sekitar. Dari mulai benda-benda yang besar, hingga benda-benda yang kecil, sangat kecil. Dari mulai yang tampak, hingga yang tidak tampak. Ayah membuka kembali buku catatan latihan ayah yang sudah kusam. Mengingat kembali dari mulai ayah berlatih pertama kali hingga terakhir. Mengingat kembali semua proses latihan. Mengingat semua pertarungan ayah, perkelahian ayah, bagaimana membuat repot kakekmu, bagaimana asal mula luka di tubuh ini, bagaimana cara ayah mendapatkan keilmuan, dan banyak lagi.

Setelah itu, ayah berhenti total. Tidak mau menyentuh sama sekali keilmuan ini.", lanjut ayah sambil memandangi kedua tangannya.

Sinar bulan terlihat menerangi halaman sekitar rumah kami. Jelas sekali. Aku melihat kedua tangan ayah diputar sedikit hingga telapak tangannya menghadap ke langit. Kedua tangan ayah terlihat agak bergetar, kepala yang menunduk, dan mata yang terpejam.

Suasana kembali hening.

"Lalu kapan ayah mulai berlatih lagi setelah itu yah?", tanyaku memberanikan diri, sekaligus memecah keheningan yang ada.

Ayah membuka mata, lalu menatap ke arahku.

"Saat ayah melihatmu tidur nak. Saat itu, menjelang tengah malam, ayah menatap wajahmu saat tertidur. Disaat itulah batin ayah kemudian tergerak kembali setelah sekian lama ayah tidak merasakan getaran pada batin ini. Sorot wajahmu saat itu, wajah mungilmu, yang tertidur terlelap, memancarkan getaran ke batin ayah.", jawab ayah.

"Sa... saat Aa tertidur?", tanyaku keheranan. Keningku agak sedikit mengkerut.

"Benar nak, saat kamu tertidur. Memandangi wajah mungilmu. Saat itu, ayah merasa kalau ayah harus mewariskan keilmuan ini secara benar padamu. Kamulah pewaris keilmuan ini nantinya. Kamulah yang nanti akan membawa keilmuan ini menjadi lebih baik. Kamulah yang nanti akan menjadi generasi penerus setelah ayah. Meskipun kamu bukan pewaris berdasarkan darah keturunan, tapi kamu merupakan salah satu pewaris keilmuan. Semua yang belajar keilmuan silat ini, adalah merupakan pewaris keilmuan. Kamu yang nanti akan menjaga dan melestarikan keilmuan ini. Kamu yang nanti akan melatihnya dengan cara baik. Dan kamu juga yang nanti akan mewariskannya kembali pada orang yang tepat.", jawab ayah sambil menatapku.

"Ilmu silat ini sangat berharga nak... jangan kamu lupakan dan sia-siakan...", lanjut ayah dengan serius.

Aku mengangguk setuju.

"Setelah itu, apa yang ayah lakukan yah?", tanyaku kembali.

"Setelah itu, sambil merenung, ayah membuka kembali buku-buku catatan latihan ayah. Ayah mengulangi kembali latihan ayah dari nol. Ayah mengulangi kembali latihan ayah dari dasar. Ya... dari tingkat dasar. Latihan yang sama, tetapi dilakukan dengan pemahaman yang sama sekali baru.", jawab ayah.

"Dari mulai tata gerak, tata nafas, getaran, naluri, keilmuan pamungkas, semuanya. Ayah merenungi pada setiap bentuk yang ada. Mengulangnya. Bagaimana saat tidak menggunakan olah nafas, dengan menggunakan olah nafas, kemana aliran tenaganya, kemana aliran getarannya, dan banyak lagi. Satu persatu ayah bedah dan renungi. Hingga kemudian masuk pada tahap getaran alam. Bagaimana sinkronisasi dengan getaran alam, bagaimana memanfaatkan getaran alam, dan bagaimana memanipulasi getaran alam.", lanjut ayah.

"Memanipulasi getaran alam?", tanyaku spontan.

"Benar nak. Saat ingin masuk pada tahap keilmuan pamungkas, kamu harus mengenali getaran dirimu sendiri. Ini adalah tahap getaran pribadi. Tahap dimana kamu mengenali tenaga getaran milikmu. Setelah kamu merasakan benar, memahaminya, barulah naik pada tahap dimana kamu akan berkenalan dengan getaran alam semesta. Bumi, langit, air, angin, batu, kayu, dan banyak lagi. Tahap dimana kamu mulai 'melepas' getaran pribadimu untuk kemudian 'bersinggungan' dengan getaran alam. Pada tahap ini, kamu akan menyadari bahwa tubuhmu ternyata memiliki banyak kelebihan.", jawab ayah.

"Anu.. yah, apakah getaran itu tidak sama dengan latihan getaran Aa selama ini?", tanyaku.

Ayah tersenyum, dan kemudian menunjuk ke teras depan dimana terdapat sebuah meja yang diatasnya masih ada gelas yang berisi bekas kopi yang suka ayah minum.

"Kamu baru ayah ajarkan getaran untuk tutup mata. Kalau dibuat pemisalan, getaranmu itu saat ini bagaikan secangkir kopi di atas meja itu nak... Persis seperti itulah getaran untuk tutup mata.", jawab ayah.

"Maksudnya yah?", ucapku dengan sedikit heran.

"Getaran untuk tutup mata, itu bisa diibaratkan seperti secangkir air yang diambil dari lautan yang luas. Air itu kemudian kamu olah dan kamu tambahkan sedikit kopi dan gula secukupnya, lalu diaduk, hingga kemudian menjadi segelas kopi manis yang bisa dinikmati. Meskipun airnya sedikit, tetapi setelah diolah dan ditambahkan unsur lain, maka menjadi luar biasa rasanya, bukan? 'Air' itu, meski sedikit, mampu melahirkan hal-hal yang fenomenal yang sebelumnya barangkali tidak bisa dibayangkan oleh orang-orang. Bukankah kamu sudah merasakan manfaatnya?", lanjut ayah sambil tersenyum.

Secara reflek, aku mengangguk dan membenarkan ucapan ayah.

"Eh benar juga", gumamku dalam hati.

"Ketika kemudian getaran itu dikembangkan, hingga kemudian masuk pada getaran alam, maka pada saat itulah kamu akan menyadari potensi dirimu yang sesungguhnya. Ada potensi yang bisa membuatmu menjadi rendah hati atau malah takabur. Seperti pisau bermata dua. Kalau salah di dalam menggunakan, maka efeknya akan mencederai diri sendiri dan bahkan orang-orang di sekitarmu. Tapi kalau benar digunakan, maka ia bisa membawa kebaikan pada dirimu dan juga orang lain.", lanjut ayah.

"Aa masih belum mengerti yah...", tanyaku spontan.

"Tidak apa-apa nak. Tidak perlu semua hal kamu harus mengerti pada satu saat dengan cepat. Nanti, akan ada masanya kamu akan memahami sendiri. Berdasarkan pengetahuan dan kesadaranmu sendiri.

Yang ayah lakukan saat ini adalah memberikan pemahaman dasar. Agar kamu nanti tidak salah langkah. Sebab hal ini nantinya akan menjadi peletak dasar untuk masuk pada tahap yang lebih tinggi, sekaligus juga sebagai pembentukan mental dan karakter dirimu. Seperti halnya kamu mempelajari ilmu pengetahuan dasar di sekolah. Pengetahuan dasar seperti itu, kelak akan berguna saat kamu belajar pengetahuan lanjutan mengenainya. Pada getaran alam, kamu harus melewati tahap getaran pribadi. Setelah itu kamu akan masuk pada tahap merasakan getaran alam semesta. Terakhir, adalah tahap penyatuan dengan getaran alam semesta. Pada tahap ini, kamu akan mempunyai kemampuan untuk melakukan manipulasi terhadap alam.", jawab ayah.

"Perhatikan ini...", lanjut ayah.

Aku melihat kedua mata ayah dipejamkan, tangannya mengembang ke samping dengan rileks. Telapak tangannya terbuka menghadap ke langit. Wajahnya menjadi sangat serius. Aku menunggu apa yang akan terjadi.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Empat menit.

Lima menit.

Ayah hanya pada posisi seperti itu saja. Wajahnya memancarkan ketenangan tapi serius. Suasana alam terasa hening. Sinar rembulan sudah tidak terlihat lagi di halaman.

Ayah kemudian membuka mata, dan tersenyum.

"Sudah selesai nak...", ucap ayah.

Aku heran.

"Selesai apanya yah?", tanyaku penasaran.

"Lihatlah ke langit... ", jawab ayah sambil tangannya menunjuk ke atas.

Aku menurut, dan memandang ke langit.

Eh, aku benar-benar terkejut. Terlihat banyak sekali gumpalan awan diatas. Gumpalan awan itu menutupi sinar rembulan. Berarak. Awan-awan ini seperti awan menjelang turun hujan. Aku melihat ayah membuka telapak tangan ke atas, sambil menengadahkan kepalanya, memejamkan mata, dan tersenyum.

"Sebentar lagi akan turun rintik hujan...", lanjut ayah.

Aku penasaran. Apa benar seperti yang dikatakan ayah, sebentar lagi akan turun hujan.

Dheg.

Benar saja. Tidak berapa lama setelah ayah berkata seperti itu, wajahku terkena titik-titik air hujan yang jatuh dari langit. Ini benar-benar rintik hujan! Meskipun masih rintik kecil, tapi ini benar-benar hujan. Aku melihat ke sekeliling. Tetesan air hujan itu benar-benar mengenai alam sekitar. Ini nyata. Bagaimana bisa?

Setelah itu, aku melihat ayah mengangkat kedua tangannya lurus dengan telapak tangan terbuka. Lalu menggerakkan perlahan sekali turun ke samping. Ini seperti bentuk nafas garuda, tetapi dilakukan dengan mengangkat tangan keatas dan dengan lintasan ke samping badan. Ayah melakukan itu lima sampai tujuh kali. Lalu kembali tersenyum ke arahku.

"Sebentar lagi rintik hujan ini akan berhenti...", ucap ayah sambil menatapku.

Aku penasaran. Aku melihat ke langit. Uuh, kini awannya sudah tidak berkumpul lagi. Tapi sudah bergeser, beberapa malah terlihat membuka. Bulan yang tadi terhalang oleh kumpulan awan ini, sekarang terlihat kembali dengan jelas. Sinarnya menyeruak dan menerangi kembali sekitar. Rintik hujanpun perlahan mulai berhenti.

"Yah... itu... itu... bagaimana bisa yah?", tanyaku keheranan.

"Menarik, bukan?", ucap ayah sambil tersenyum.

Aku masih penasaran, bagaimana itu bisa terjadi.

"Itulah nak. Saat kamu bisa berinteraksi dengan alam semesta, kamu akan bisa memanipulasinya. Itu hanya sebagian kecil saja. Ada banyak hal lain yang bisa dilakukan. Kemampuan seperti itu benar-benar membuat manusia bisa terlena. Kalau tidak diiringi dengan pemberian filosofi dan nilai-nilai yang benar, dengan kerendahan hati, maka kemampuan seperti itu hanya akan membawamu pada kesombongan. Sesuatu yang tidak ayah harapkan terjadi padamu kelak.", jawab ayah.

"Perhatikan langit itu, apa yang kamu lihat?", tanya ayah.

"Ada bulan, awan, bintang-bintang yang bersinar yah...", jawabku.

"Kalau yang lebih jauh dari itu?", tanya ayah.

"Ada matahari, ada batu-batu meteor, ada sinar kosmik, nebula, planet-planet lain, satelit planet, dan banyak lagi yah.", jawabku berdasarkan pengetahuan yang aku dapat di sekolah.

"Apakah kamu melihat sinar kosmik, nebula, batu-batu meteor, atau planet-planet lain dengan matamu?", tanya ayah.

"Tidak yah. Aa tahu itu dari buku yang dipelajari di sekolah pada mata pelajaran Fisika yah", jawabku.

"Benar nak. Pada kesadaran tingkat pertama, yakni kesadaran inderawi, manusia berusaha memahami benda-benda langit sekadar dengan mata dan telinganya. Hasilnya, manusia mengenal berbagai macam bintang di langit, matahari, bulan, dan sejumlah meteor yang jatuh ke bumi.

Banyak manfaat yang telah diambil manusia lewat kesadaran inderawi ini.

Di antaranya, manusia pada abad-abad yang lalu bisa menentukan arah perjalanannya dengan berpedoman pada rasi bintang yang dikenalnya. Ia tahu arah utara, barat, selatan dan timur, berdasar posisi bintang-bintang itu. Manfaat lainnya lagi, mereka bisa menentukan pergerakan waktu dalam skala yang sederhana, berdasar posisi matahari dan bulan yang terlihat dari bumi. Dan lain sebagainya.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

"Menurutmu, yang bergerak itu bumi mengelilingi matahari atau matahari mengelilingi bumi?", tanya ayah.

Aku tersenyum.

"Tentu saja yang bergerak itu bumi mengelilingi matahari yah...", jawabku dengan yakin. Tentu saja aku yakin, karena pengetahuan ini aku dapat dari sekolah.

"Benar nak. Tapi tahukah, bahwa dulu manusia menganggap matahari berkeliling bumi. Sebagaimana juga bulan mengelilingi bumi. Kenapa demikian? Karena begitulah memang yang kelihatan dari permukaan planet bumi. Padahal, kelak terbukti, ternyata matahari bukan mengelilingi bumi sebagaimana kita lihat, melainkan justru bumilah yang mengelilingi matahari.

Kefahaman dan kesadaran bahwa bumi mengelilingi matahari itulah yang lebih mendekati kenyataan. Dan, untuk memperoleh kefahaman bahwa bumi mengelilingi matahari, manusia tidak bisa hanya mengandalkan panca inderanya, melainkan dengan menggunakan berbagai pengamatan tidak langsung dengan menggunakan teknologi yang di dalamnya melibatkan berbagai rumus matematika. Manusia telah melakukan pemahamannya dengan menggunakan fungsi akal yang lebih tinggi, lewat analisa perhitungan, dan imajinasi yang lebih abstrak.

Coba bayangkan, mata kita jelas-jelas melihat bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi, setiap hari dari timur ke barat. Tapi akal kita justru membantahnya, dan mengatakan bahwa yang berputar berkeliling justru adalah bumi terhadap matahari. Hasilnya, bisa bertolak belakang sama sekali!", jawab ayah.

"Ah... benar sekali! Mengapa aku tidak pernah terpikirkan sampai kesitu ya?", gumamku dalam hati. Aku kemudian reflek menggaruk-garuk kepalaku yang tentu saja tidak gatal.

"Demikian pula, ketika kita mencoba memahami hamparan permukaan bumi. Orang zaman dahulu meyakini bahwa bumi ini datar. Karena memang begitulah yang tampak oleh mata kita. Tetapi, perjalanan Columbus berkeliling dunia menggunakan kapal lautnya telah merubah pemahaman itu.

Ternyata bumi kita ini bulat. Manusia hewan, tumbuhan dan berbagai isi bumi sekadar 'hinggap' saja di permukaannya. Bukti itu, kini tidak bisa dibantah lagi ketika manusia bisa memotret planet bumi dari satelit. Bumi memang berbentuk bola, bulat, tapi tidak bulat utuh, melainkan seperti bulat telur yang membentuk wujud geospherical, yang mengambang dan melesat di awang-awang.

Sekali lagi manusia dihadapkan pada dua pemahaman yang sangat berbeda, ketika menggunakan tingkat kesadaran yang berbeda. Yang pertama sekadar menggunakan indera mata, dan yang kedua menggunakan rasio secara empirik. Hasilnya, radikal berbeda.", lanjut ayah.

Aku mengangguk.

"Terbukti bahwa penggunaan rasio jauh lebih unggul dibandingkan pemahaman inderawi yang demikian terbatas. Ada potensi 'imajinasi' dan 'analisa' yang tidak dimiliki oleh kesadaran tingkat pertama. Dengan potensi imajinasi serta analisa itulah manusia memiliki 'mata imajiner' yang memiliki ketajaman dan sudut pandang yang jauh lebih luas ketimbang mata kepala.", ucap ayah.

"'Mata imajiner' alias kesadaran rasional sangat bermanfaat untuk melihat realitas yang bersifat fisik, dalam skala yang lebih luas, yang berada di luar jangkauan panca indera. Pada kondisi itu, tiba-tiba manusia bisa melihat sesuatu yang berada di balik penglihatan matanya, saat menggunakan kesadaran rasionalnya.

Tetapi, 'mata imajiner' memiliki keterbatasannya ketika digunakan untuk menangkap 'makna' yang tersimpan di dalamnya.  Makna yang terkandung di dalam pesan penciptaan. Makna yang menjurus kepada adanya Dzat yang Tiada Berhingga, yang menampilkan Kecerdasan Tiada Terkira.", lanjut ayah.

"Memiliki keterbatasan?", tanyaku dengan penasaran.

"Benar nak. 'Mata imajiner' alias kesadaran rasional juga ternyata tidak sanggup melihat adanya 'sesuatu' dibalik obyek-obyek yang mereka amati di alam ini. Bahwa semua proses berjalan demikian teratur dan seimbang dengan tujuan yang sama yakni membentuk dan memfasilitasi adanya kehidupan.", jawab ayah.

"Kesadaran rasional, hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat materialistik belaka.", lanjut ayah.

"Tahukah kamu kenapa demikian?", tanya ayah.

Aku menggeleng.

"Karena sebenarnya, 'mata imajiner' alias kesadaran rasional adalah sekedar kepanjangan fungsi dari mata kepala, yang dilengkapi dengan analisa-analisa empiris. Dilengkapi dengan berbagai peralatan bantu. Tapi, substansinya masih sama ia 'melihat' dengan 'mata fisiknya'. Maka, tentu saja, ia hanya bisa menangkap hal-hal yang bersifat fisik juga.

Padahal, makna yang terkandung di balik realitas itu bersifat non fisik. Yaitu, sebuah 'kefahaman' yang sangat abstrak. Yang lebih dekat kepada 'rasa'. Dan ini adalah objek dari indera ke enam yang disebut hati.", jelas ayah.

"Jadi, pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi, manusia hanya bisa memperoleh makna itu ketika ia menggunakan hatinya sebagai sensor. Bukan lagi mata fisik...", lanjut ayah.

Aku mengangguk. Rasanya aku mulai memahami sesuatu.

Ayah terdiam. Menghela nafas perlahan sambil memejamkan mata. Aku melihat ayah menarik nafas perlahan, sambil tersenyum, dadanya mengembang, lalu membuang nafas perlahan, sambil tersenyum, dadanya mengempis. Kira-kira empat sampai lima kali ayah melakukan itu. Nafasnya ringan sekali, wajahnya ceria, seolah tersenyum pada alam, seolah tersenyum pada dirinya, dan seolah tersenyum pada semuanya. Damai. Aku bisa merasakan getaran damai yang memancar dari tubuh ayah.

"Inilah tingkat kesadaran jiwa. Sebuah kesadaran yang dibangun berdasarkan penglihatan mata hati. Sebuah proses untuk mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar dengan menggunakan mata hati.", ucap ayah.

"Ketajaman mata hati atau kesadaran jiwa ini semakin sempurna jika seseorang mencapainya secara bertahap, mulai dari kesadaran inderawi, kesadaran rasional dan kemudian kesadaran jiwa. Sebab, munculnya kesadaran pada tingkat yang lebih tinggi itu selalu dipicu oleh memuncaknya kesadaran yang lebih rendah.

Sebagai contoh, munculnya kesadaran rasional adalah ketika pemahaman inderawi sudah mentok, tidak mampu lagi. Ketika mata sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi di pusat matahari, maka di situlah terjadi stimulasi terhadap kesadaran rasional untuk berkembang. Maka, manusia lantas menggunakan potensi rasionalitasnya untuk mengungkapkan rahasia yang ada di pusat matahari itu. Bahwa di sana ada proses pembangkitan energi panas yang luar biasa dahsyat yang disebut sebagai reaksi Termonuklir.

Demikian pula, ketika mata fisik sudah tidak mampu lagi melihat sebab-musabab terjadinya keseimbangan yang mengikat dan menggerakkan benda-benda raksasa di alam semesta, maka kesadaran rasional terpicu untuk mengambil alih peran indera yang terbatas itu. Dan muncullah kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang menjelaskan terjadinya keseimbangan gravitasi di seluruh penjuru langit. Kita, lantas berada dalam kesadaran rasional tentang kenyataan tersebut.

Begitu pula dengan kesadaran jiwa, ia baru akan muncul ketika terpicu oleh ketidak mampuan kesadaran rasional dalam memahami kenyataan yang terhampar di hadapannya. Selama seseorang masih merasa bisa memahami kenyataan ini dengan Kesadaran yang lebih rendah maka ia akan menyombongkan diri tentang kemampuan itu. Pada saat yang bersamaan ia tidak akan pernah beranjak dari kesadaran rendahnya menuju kesadaran yang lebih tinggi.", lanjut ayah.

Aku menunduk. Mencoba menyelami ucapan ayah.

Suasana menjadi hening. Angin seolah berhenti berhembus.

Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 26/09/2011 16:26
"Perkembangan ilmu pengetahuan empirik yang semakin memuncak di abad-abad terakhir ini, sebenarnya telah menstimulasi munculnya kesadaran jiwa. Kemampuan mata imajiner manusia mulai menemukan batasnya. Yang dibalik batas itu, manusia mulai merasa tidak tahu apa-apa. Ada suatu rahasia besar yang 'menakutkan', yang berada diluar jangkauan kemampuan manusia.

Perkembangan ilmu pengetahuan yang bergerak ke segala arah kehidupan telah menemukan ketidak terbatasan yang mengerikan. Baik yang berkait dengan pemahaman alam makro, alam mikro, maupun yang terkait dengan proses-proses kehidupan.

Pada skala makrokosmos, misalnya, manusia kini dihadapkan pada "Kebesaran Misterius' yang tiada bandingnya. Dulu, manusia hanya mengenal dunia sebagai lingkungan dimana ia menjalani hidup. la menganggap dunia hanya sebesar daerah tempat tinggalnya.

Seiring dengan perjalanan hidupnya, manusia lantas memahami tentang pulau dan benua yang ditempatinya. Semakin meluas, manusia memahami bahwa bumi ini bulat. Dan akhirnya, manusia memperoleh kefahaman bahwa bumi hanyalah sebuah planet kecil dari triliunan benda langit yang terhampar di seluruh penjuru alam semesta.

Tiba-tiba manusia memperoleh kesadaran, tentang keberadaan nya yang demikian kecil di hamparan 'padang pasir' semesta raya. Dimana bumi hanya bagaikan sebutir 'debu'. Dan di atas debu itulah lima miliar manusia hidup dengan segala kesombongannya.

Kita tiba-tiba merasa ngeri sendiri. Demikian raksasanya jagad semesta raya. Sementara, bumi adalah satu-satunya planet yang dihuni oleh kehidupan. Selebihnya, belum diketemukan adanya kehidupan di planet-planet lain. Ya, lima miliar manusia hidup dalam kesendirian di jagad raya semesta, yang sampai sekarang tidak diketahui batasnya.

Seluruh ilmuwan astronomi di muka bumi kini sedang terpaku memandang ke langit. Menatap penuh ngeri sekaligus kekaguman. Ngeri karena manusia begitu kecilnya dibandingkan dengan alam semesta yang berisi triliunan benda-benda angkasa seperti planet bumi atau bahkan banyak yang lebih besar dari bumi.

Namun, kita juga kagum melihat pemandangan yang tiada tara itu. Triliunan matahari berserakan di angkasa semesta bagaikan pelita kecil-kecil yang dihamparkan dan ditata dengan indahnya, di dalam kegelapan ruang angkasa yang demikian raksasa. Di sela-sela pelita itu benda-benda angkasa lainnya menari-nari, bergerak melesat dengan kecepatan tinggi di orbit-orbit yang terjaga selama miliaran tahun. Jauh di luar batas usia peradaban manusia yang cuma berumur ribuan tahun. Hati kita jadi tercekat menyadari kenyataan ini.

Tiba-tiba manusia merasa tidak berdaya dan merasa tidak ada apa-apanya, berhadapan dengan kedahsyatan alam semesta. Kita ini kecil. Bahkan lebih kecil dari yang bisa kita bayangkan. Disinilah manusia terbentur pada suatu kenyataan, yang mencampakkan pada ketidakberdayaan rasionalnya.

Ia tidak tahu dimana batas alam semesta yang demikian luas ini. Dan, di luar batas itu ada apa. Ia juga tidak tahu bagaimana triliunan benda-benda langit yang semuanya bergerak dan melesat dengan kecepatan tinggi itu bisa tertata demikian rapi dan indahnya dalam keseimbangan yang sempurna.

Ia juga tidak tahu kapan terlahirnya alam semesta secara pasti, dengan cara bagaimana, berasal dari mana, serta apa pula yang akan terjadi kelak.

Dan, masih begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab dengan memuaskan. Semuanya membuat pandangan kita menjadi nanar dan lelah. Meskipun kita telah berulang-ulang mencoba memahaminya, tetap saja tidak bisa. Sebab kita hanya menggunakan 'mata imajiner' yang terbatas.", ucap ayah menjelaskan.

Aku memejamkan mata. Aku mulai memahami maksud ayah.

"Bukan hanya pada makrokosmos, pada alam mikrokosmos pun para ilmuwan menemukan batas yang tak kalah 'mengerikan'. Yang di balik batas itu manusia yang menyebut dirinya pakar, juga mulai tidak paham. Dulu, manusia mengatakan bahwa benda di alam semesta ini tersusun oleh bagian terkecil yang disebut atom. Kata atom memang berarti tidak bisa dibagi lagi. Berasal dari bahasa Yunani 'atomos' yang berarti tidak bisa dibagi lagi.

Namun kemudian, manusia mulai tertipu, ketika menemukan kenyataan bahwa atom ternyata masih bisa dibagi menjadi inti atom dan elektron-elektron. Inti atom bagaikan matahari dalam tata surya kita, sedangkan elektron bagaikan planet-planetnya. Semua benda ternyata tersusun dari inti dan elektron-elektron.

Sampai di sini sebenarnya manusia mulai merasakan adanya misteri di balik inti atom. Benarkah inti atom juga tidak bisa dibagi lagi. Penemuan energi nuklir pada abad dua puluh membuktikan bahwa inti pun ternyata bisa dipecah lagi menjadi partikel-partikel sub atomik seperti proton dan neutron.

Lebih jauh, kemudian diketahui bahwa neutron juga bisa dibagi menjadi proton dan elektron. Dan seterusnya kemudian diketahui bahwa bahwa partikel-partikel sub atomik itu terdiri dari 'pilinan' energi yang disebut sebagai Quark.

Jadi sampai sekarang, para pakar atomik masih terbengong-bengong dengan kenyataan ini. Bahwa, ternyata benda di alam semesta ini bisa dibagi-bagi dalam ukuran yang tak terbatas kecilnya. Dan ketika dipecah-pecah lagi semakin kecil, tiba-tiba sifat bendanya hilang berubah menjadi energi.

Hal ini mulai tampak pada elektron. Elektron adalah salah satu jenis partikel yang memiliki dua sifat yang membingungkan. Kadang tampak sebagai materi. Sedangkan pada waktu yang lain tampak sebagai energi. Ini, tentu saja sangat membingungkan. Karena, materi dan energi adalah dua eksistensi yang berlawanan. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang bisa memiliki sifat berlawananan sekaligus. Materi adalah kuantitas, sedangkan energi adalah kualitas. Saking bingungnya mengklasifikasikan elektron ini kuantitas ataukah kualitas, akhirnya para pakar menyebutnya sebagai sifat dualitas.

Jadi, dalam skala mikrokosmos pun manusia mengalami 'kebingungan' yang sangat substansial. Kemampuan mata imajiner dan kesadaran rasionalnya membentur dinding tebal yang tidak bisa ditembusnya. Tiba-tiba ada suatu batas yang di balik batas itu mereka tidak paham. Di saat itulah sebenarnya kesadaran rasional telah kalah dan memunculkan kesadaran baru, yaitu Kesadaran Jiwa atau kesadaran spiritual.", ucap ayah menjelaskan.

Dheg...

Hati ini seperti dipalu godam. Tak terasa seluruh urat-urat dan syaraf di tubuhku menegang. Keringat dingin keluar. Aku mulai memahami ucapan-ucapan ayah.

"Yah... a.. apakah akal saja tidak cukup yah?", tanyaku spontan.

"Nak, ada akal yang belum sempurna, dan ada akal yang sudah sempurna. Akal yang belum sempurna adalah akal yang belum bisa menangkap hikmah, sebagaimana akal yang sudah sempurna. Akal yang sempurna adalah yang telah bisa merangkaikan seluruh komponen akal yang berkaitan dengan panca inderanya, atau kesadaran inderawinya, berhubungan dengan khasanah keilmuan empirik, atau kesadaran rasionalnya, dan juga tersambung dengan hati sebagai sensor kepahaman, atau kesadaran jiwa.

Kepahaman hati lebih bersifat holistik, atau menyeluruh. Di dalamnya terkandung makna-makna yakni mengamati dengan panca indera, berpikir secara rasional, dan memahami. Itulah yang disebut sebagai menggunakan akal.", jawab ayah sambil tersenyum.

"Bagaimana mungkin kita bisa membuktikan keberadaan batas batas alam semesta, sementara usia peradaban manusia tidak cukup untuk membuktikannya? Bukankah alam semesta ini sudah berusia miliaran tahun, sementara peradaban manusia baru puluhan ribu tahun?

Demikian pula, diameter alam semesta itu demikian besarnya, sehingga kalau pun ada batasnya kita tidak pernah bisa menjangkau wilayah yang berjarak miliaran tahun cahaya itu. Meskipun hanya lewat pandangan mata. Apalagi, ingin memahami apa-apa yang ada di luar batas alam semesta itu. Ada sesuatu yang 'Maha Besar' yang menghadang 'penglihatan' kita lebih jauh yang sekedar menggunakan mata imajiner dan rasionalitas.

Juga, agaknya kita tidak akan bisa membuktikan batas-batas mikrokosmos secara mendetil karena keterbatasan kemampuan peralatan dan 'penglihatan' manusia. Semakin kecil suatu benda, semakin sulit untuk menentukan posisinya.

Ada suatu ketidakpastian yang demikian besar ketika kita ingin sekadar menentukan posisi suatu partikel, sebagaimana telah dibuktikan oleh Werner Heisenberg, salah seorang ilmuwan ternama, lewat teori Ketidakpastiannya. Apalagi, untuk membuktikan keberadaan benda terkecil, agaknya bakal menjadi mimpi belaka.

Sebab pada skala terkecil keberadaan benda itu telah muncul kerancuan yang membingungkan antara materi dan energi. Antara kuantitas dan kualitas. Antara 'nyata' dan 'maya'. Bahkan antara 'ada' dan 'tiada'. Manusia dihadang oleh sesuatu yang 'Maha Halus' dan misterius untuk mengeksplorasi apa-apa yang ada di balik kehalusan struktur materi dan energi.", lanjut ayah.

Aku merinding mendengar penjelasan ayah.

"Nak, orang-orang yang hanya berkutat pada pemikiran materi dan energi belaka tidak akan pernah menemukan esensi kehidupan. Kita tidak pernah tahu kenapa jantung kita terus berdenyut sepanjang hayat. Kita juga tidak pernah tahu kenapa organ-organ seperti paru-paru, liver, ginjal, sumsum tulang belakang, otot, darah, sel beserta kromosom, rantai genetika, dan lain sebagainya mesti ada.

Kita juga tidak tahu kenapa kita bisa berpikir, memahami, menganalisa, dan menyimpulkan. Dan yang lebih misterius lagi kenapa kita memiliki 'kehendak' untuk hidup, untuk beraktivitas, untuk menjalani kebaikan dan keburukan. Dan seterusnya, dan seterusnya. Dari manakah munculnya kehendak itu?

Di sini, kembali kita dihadang oleh sebuah kekuatan yang "Maha Hidup' dan 'Maha Berkehendak' yang menjadi sumber dari kehidupan itu sendiri. Mata imajiner dan rasio kita lagi-lagi tidak mampu menangkap 'sosok' di balik kehidupan itu.

Kecuali kita menggunakan mata hati dalam memahaminya.

Mata hati bekerja tidak hanya berdasarkan inderawi. Juga tidak hanya bekerja berdasarkan ilmu empirik. Tapi bersandar pada kejujuran dan rendah hati, kehendak menuju pada kebenaran.", lanjut ayah.

Aku menjadi semakin tertunduk. Aku seperti masuk ke alam lain saat mendengar dan mencoba memahami penjelasan ayah. Rasanya, setiap angin yang menyentuh kulit ini menjadi begitu terasa. Bahkan suara-suara di sekelilingpun terasa semakin jernih dan jelas.

"Kesadaran jiwa, memang sangat berkait dengan kejujuran hati. Bukan sekadar kepintaran dan kecerdasan pikiran. Hati yang jujur dan hati yang mencari kebenaran, dengan diawali dengan niat yang bersih. Itulah kuncinya. Sepintar apa pun, kalau hatinya 'buta', tidak akan bisa melihat kenyataan.", ucap ayah.

Aku merasakan pundakku ditepuk perlahan oleh ayah.

"Itulah kesadaran jiwa, yakni sebuah kesadaran yang demikian tajam... luas... sekaligus lembut...", ucap ayah.

Aku membuka mataku. Aku melihat ayah menatapku dengan lembut.

"Apa yang kamu dengar malam ini, renungkanlah, resapkanlah. Karena nanti ini akan menjadi kunci pembuka latihanmu besok di gunung.", ucap ayah.





(bersambung)
(bagian berikutnya: "Getaran Pribadi")
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: anaknaga on 27/09/2011 14:11
 [top] [top]
Ayahnya AA lulusan Doktor ya Mas agung? tahu semuanya dari mulai Ilmu Hayat, Biomedics, Fisika, Sains.
wah genius ilmu silat & ilmu sains, Einstein saja hanya tahu fisika micro & macro kosmos, klo biomedic sudah angkat tangan.  [[peace2]]

ditunggu lanjutannya mas.
lanjutan AA akan melanglang buana ke ujung dunia
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 28/09/2011 13:42
Silahkan dinikmati ceritanya mas. Dan semoga bisa menjadi hiburan, syukur2 menambah wawasan. Alhamdulillah kalau bisa menjadi manfaat.

 :)

Salam.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 28/09/2011 13:48
Tembang Tanpa Syair - Bagian 23

Getaran Pribadi - Siapa Memahami Apa


Pagi ini suasana alam benar-benar indah. Di kanan kiri terlihat pepohonan hijau nan rindang. Gunung Ciremai pun terlihat begitu kokoh berdiri. Terdapat awan yang mengelilingi puncaknya. Menambah keanggunan gunung. Apalagi sinar mentari yang menyeruak menyinari dengan tegas, seakan tak mau dihalangi, seakan tak mampu dihalangi. Di depan, kendaraan dari arah yang berlawanan melintas. Membelah angin.

Aku duduk bersama ayah di dalam mobil Suzuki Karimun Estillo hitam yang sedang melaju. Ayah sendiri yang menyetir mobilnya. Pagi ini kami akan menuju gunung, tempat dimana kami akan berlatih. Entah latihan seperti apa, aku sendiri tidak tahu. Kami membawa cukup banyak barang-barang. Aku sendiri tidak tahu barang-barang apa yang dibawa oleh ayah. Saat aku menanyakannya, hanya dijawab bahwa barang-barang ini nanti akan berguna untuk latihanku.

Setelah kurang lebih hampir dua jam perjalanan, mobil yang aku tumpangi berbelok ke kanan, menuju arah Linggarjati. Jalanan cukup sepi. Udara juga lebih dingin dari sebelumnya. Tidak berapa lama, mobil pun berbelok ke kiri, memasuki sebuah jalan kecil yang hanya cukup untuk satu mobil saja.

"Sebentar lagi sampai...", ucap ayah sambil tetap menyetir.

Aku mengangguk.

Mataku masih melihat kesana-kemari. Pemandangan indah ini sungguh sangat luar biasa. Perumahan penduduk pun sepertinya sudah mulai jarang.

Kira-kira sepuluh menitan kemudian ayah berbelok ke arah kanan. Dan menghentikan mobilnya persis di dekat sebuah pohon besar. Di sekitar pohon itu terdapat area yang cukup luas untuk parkir mobil. Tidak nampak ada perumahan penduduk didekat ayah berhenti. Hanya ada pohon-pohon pinus, dan pohon-pohon lain. Di belakang pepohonan besar itu ada sebuah gundukan tanah yang cukup tinggi, menghalangi pandanganku untuk melihat ada apa di belakangnya. Hanya terlihat ada jalan setapak yang tampaknya juga jarang dilewati manusia.

Aku membuka pintu mobil, lalu keluar dari mobil. Berdiri tegak, memejamkan mata, dan menghirup udara pagi yang sangat menyegarkan. Paru-paruku terisi penuh oleh udara. Rasanya benar-benar segar. Daun-daun yang menghijau, beberapa semak masih agak basah oleh embun.

Aku menoleh ke arah ayah. Aku melihat ayah juga sudah keluar dari mobil dan sudah mulai membuka bagian belakang dari mobil untuk mengeluarkan barang-barang. Setelah semua barang dikeluarkan dan diletakkan di tanah, ayah kemudian mendekatiku.

"Disinilah tempatnya kita akan berlatih...", ucap ayah.

"Sebelumnya, kita berdoa dulu kepada Allah SWT agar memberikan kita keselamatan dan kemudahan di dalam berlatih. Setelah itu, tebarkan dulu getaran sebagai salam damai dan niat baik untuk alam disini.", lanjut ayah.

Aku mengangguk. Meskipun aku belum paham mengapa harus menebarkan getaran dengan salam damai dan niat baik.

Dengan masih tetap berdiri, aku merapatkan kedua tanganku. Menarik nafas halus, perlahan, dan kemudian memejamkan mata untuk berdoa kepada Allah SWT. Aku melihat ayahpun melakukan hal yang sama.

Setelah itu aku menebarkan getaran ke sekeliling dengan rasa damai dan persahabatan untuk alam disitu, sesuai dengan apa yang ayah perintahkan. Aku bisa merasakan hawa getaran ayah di dekatku.

Perlahan, aku membuka mata. Eh, kok rasanya alam menjadi semakin jernih saja. Apakah ini perasaanku saja atau bagaimana? Setelah berdoa dan menebarkan getaran sebagai salam damai ini, rasanya agak berbeda dibanding saat aku datang tadi.

Aku melihat ayah tersenyum.

"Alam menerima kita...", ucap ayah.

Aku belum mengerti maksud ayah dengan mengatakan 'alam menerima kita'.

"Bukankah saat kita sudah datang kesini, alam juga sudah menerima kita?", gumamku dalam hati.

Tampaknya ayah memahami kebingunganku. Ia menepuk pundakku.

"Nanti... kamu akan mengerti...", ucap ayah sambil tersenyum.

"Ayo, sekarang bantu ayah untuk memasang tenda...", lanjut ayah.

"Ok yah...", jawabku dengan bersemangat.

Aku membantu ayah memasang tenda yang ukurannya sedang, cukup untuk tidur dua atau tiga orang. Menyiapkan hal-hal lain seperti memasang perapian, merapihkan tanah, dan sebagainya. Kira-kira satu jam kemudian semua persiapan telah selesai. Aku duduk di dekat tenda. Dahiku agak berkeringat, meski tidak banyak. Rasa lelah yang sedikit ini dikalahkan oleh suasana alam yang luar biasa segar.

"Alhamdulillah... selesai...", ucap ayah.

Ayah juga duduk di dekat tenda. Tangannya kemudian meraih sebotol air mineral, kemudian melemparkannya kepadaku perlahan. Aku menangkapnya dengan sigap, dan langsung membuka tutup botol. Meminumnya. Air mineral yang aku minum memasuki tenggorokanku dengan lancar. Menambah kesegaran tubuh ini. Aku meneguk beberapa kali, hingga lebih dari setengahnya. Setelah itu aku membersihkan beberapa tetesan air dari sudut bibirku dengan lengan kananku.

Tanpa sadar, mataku memandang ke samping kanan tenda, disitu aku melihat ada beberapa benda. Sebagian nampak asing, dan sebagian lagi tidak. Ada besi untuk dudukan saat melakukan pematahan, ada juga beberapa gagang pompa besi berwarna hijau bertuliskan R3, bahkan lampu neon panjang berwarna putih juga ada. Ada beberapa kertas warna, dan tutup mata seperti kacamata tetapi terbuat dari kain berwarna hitam pekat. Ada juga lakban berwarna hitam dan kapas. Yang menarik, aku melihat ada mainan anak berbentuk angka dan huruf. Mainan yang sering aku lakukan waktu kecil, saat aku belajar mengenali huruf dan angka.

"Bagaimana? Sudah siap untuk latihan?", tanya ayah sambil menatapku.

Aku mengangguk dengan semangat.

"Siap yah!", jawabku dengan mantap.

"Baiklah kalau begitu. Hingga menjelang maghrib ini, kita akan berlatih Nafas Pengolahan, kemudian dilanjutkan dengan Nafas Pembinaan. Tapi kamu akan melakukannya dengan pemahaman.", ucap ayah.

"Dengan pemahaman?", tanyaku dengan wajah heran.

"Benar. Nanti, ayah akan membagi dua. Pertama, kamu melakukan empat belas bentuk Nafas Pengolahan dengan urutan seperti biasa dimana masing-masing bentuk kamu lakukan satu kali. Kamu melakukan seperti biasa, dari mulai bentuk kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya hingga bentuk keempatbelas.", jawab ayah.

"Kedua, pada bentuk Nafas Pengolahan yang sama, kamu akan melakukannya dengan urutan terbalik. Mulai dari bentuk keempatbelas, ketigabelas, keduabelas, kesebelas, dan seterusnya hingga bentuk kesatu. Ayah juga akan memandumu dengan memberimu aba-aba. Paham?", ucap ayah.

Aku mengangguk.

"Setelah itu, ayah akan menjelaskan makna dari Nafas Pengolahan. Makna ini akan menjadi kunci pembuka untuk pemahamanmu pada bentuk nafas jenis ini.", lanjut ayah.

"Anu... yah... Aa masih belum mengerti, apa maksudnya dengan pemahaman?", tanyaku. Jujur, aku masih belum mengerti maksud ayah.

Aku melihat ayah tersenyum.

"Seberapa sering kamu melakukan Nafas Pembinaan?", tanya ayah.

"Sering yah. Hampir tiap hari Aa melakukan latihan Nafas Pembinaan.", jawabku.

"Tahukah kamu mengapa bentuk nafas pembinaan yang pertama, yakni bentuk Garuda, seperti itu gerakannya?", tanya ayah.

Dheg...

Aku terkejut.

"Eh, benar juga. Aku melakukan itu tiap hari, tapi aku tidak paham mengapa bisa begitu?", gumamku dalam hati.

Aku menggeleng.

"Aa belum tahu yah...", jawabku spontan.

"Daripada bingung, coba kamu lakukan dulu Nafas Pembinaan, tapi cukup bentuk Garuda saja.", pinta ayah.

Aku mengangguk. Aku maju beberapa langkah, lalu duduk sila dengan tubuh menghadap ke arah ayahku. Kedua telapak tangan aku rapatkan di depan dada. Saling mendorong, kemudian membungkukkan badan sambil membuang nafas dari hidung hingga 'habis', dan menahannya beberapa detik sebelum kemudian menarik nafas kembali dari hidung bersamaan dengan tubuhku aku tegakkan kembali. Setelah itu aku melakukan bentuk nafas garuda, yakni bentuk pertama dari olah nafas Pembinaan. Terdengar jelas suara tulang pangkal lengan dan siku yang berderak. Saat tangan terbuka merentang penuh, terasa juga derak tulang dada ini berbunyi.

Krrk... krrk.. krrtk..kkkrtk..

Kira-kira satu menit aku melakukan bentuk ini. Dan diakhiri dengan merapatkan kembali telapak tangan di depan dada untuk kemudian melepasnya perlahan sambil membuang nafas.

Aku membuka mata. Keringat sebesar jagung membasahi dahiku.

"Bisakah kamu menjelaskan apa dibalik bentuk ini, nak?", tanya ayah.

Aku menggeleng.

"Aa hanya bisa menjelaskan bentuknya saja yah. Arah lintasannya, bentuk tangannya, gerakannya, dan pola nafasnya. Tapi apa dibalik itu, Aa tidak tahu yah...", jawabku malu-malu.

"Benar nak, hingga pada tahap itu, kamu sudah benar. Kamu sama sekali tidak salah. Akan tetapi, akan jauh lebih baik kalau kamu memiliki dasar pijakan mengapa itu kamu lakukan. Dasar pijakan ini akan bermanfaat untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Ketahuilah, kamu melakukan Nafas Garuda tadi, terjai banyak hal pada tubuhmu. Terutama pada aliran tenaga getaran. Saat kamu menekan kedua telapak tangan di depan dada, saling mendorong dengan keras, maka terjadi 'penutupan' pada simpul dadamu, pada pangkal lengan, pada siku, hingga pada pergelangan tangan. Tapi sebaliknya, simpul punggungmu terjadi 'pembukaan'. Itulah sebabnya kamu harus menekan dengan kuat kedua telapak tanganmu di depan dada sebelum melakukan bentuk ini.

Saat kemudian tanganmu mendorong perlahan ke depan, saat itu terjadi 'ledakan' tenaga pangkal lenganmu, dan pada siku. Terus menjalar hingga ke pergelangan tangan. Itulah yang menjadi penyebab timbulnya bunyi derak pada tulangmu tadi. Ketika tanganmu terbuka sempurna ke depan selebar bahu, maka seluruh aliran tenagamu mengalir deras dari pangkal lengan, siku, hingga ke pergelangan tangan. Agar aliran ini tidak 'menembus' keluar telapak tangan, maka kamu 'menguncinya' dengan menarik pergelangan tanganmu ke belakang. Efeknya, aliran tenaga hanya mencapai pangkal pergelanganmu saja. Aliran tenaga yang bersumber pada simpul punggungmu yang sedang 'terbuka'. Kamu akan merasa tanganmu menjadi demikian bertenaga, keras, pada seluruh bagiannya. Luar dan dalam.

Saat kamu merentangkan tanganmu kesamping dengan perlahan, dadamu akan terbuka. Disini akan terjadi kondisi 'pembukaan' pada simpul dada yang tadinya 'tertutup'. Simpul dadamu akan mulai mengalirkan tenaga pada pangkal lengan, siku, hingga pergelangan tangan. Terjadi kondisi dua kali aliran, yakni dari simpul punggung yang masih terbuka, dan dari simpul dada yang baru terbuka. Ini akan menyebabkan aliran tenaga pada lenganmu menjadi hampir dua kali lipat. Pada rentangan tangan yang bergerak ke samping, terus hingga ke belakang hingga mencapai batas maksimal gerakan rentangan tanganmu akan menyebabkan simpul punggungmu mulai 'menutup'. Dan simpul punggungmu akan tertutup secara penuh saat rentangan tanganmu mencapai batas maksimal dimana kamu sudah tidak bisa merentangkan tanganmu lagi. Sebaliknya, kondisi puncak ini menyebabkan dadamu menjadi demikian terbuka lebar, dan itu artinya terjadi pembukaan pada simpul dadamu secara maksimal. Aliran tenaga pada lenganmu sepenuhnya berasal dari simpul dada ini. Itulah sebabnya pada kondisi puncak batas rentangan tanganmu di belakang ini, kamu harus menahan dulu beberapa detik. Tujuannya agar aliran tenaga dari simpul dadamu yang 'terbuka' penuh bisa mengalir maksimal.

Setelah itu, kamu kembali menutupkan rentangan tanganmu perlahan ke depan hingga sejajar dengan bahu. Pada kondisi ini, kamu perlahan 'membuka' kembali simpul punggungmu sekaligus perlahan 'menutup' simpul dadamu. Pada kondisi ini, aliran tenaga menjadi hampir dua kali lipat pada lenganmu, yakni yang berasal dari simpul punggung yang mulai 'terbuka' dan simpul dada yang mulai 'menutup'.

Terakhir, kamu menarik kembali kedua tanganmu dengan merapatkan telapak tangan pada dada. Pada kondisi ini, simpul dadamu tertutup sepenuhnya, sedangkan simpul punggungmu terbuka kembali. Lenganmu yang menekuk pada siku juga sekaligus 'menutup' simpul pada siku. Efeknya, aliran tenagamu menjadi tertarik ke dalam dan memusat di dalam tubuhmu.

Paham?", jawab ayah dengan gamblang.

Aku terkejut, sekaligus gembira mendengar penjelasan ayah. Ini sesuatu yang baru buatku. Wajahku tampak berbinar. Mendengar penjelasan ayah, rasanya aku mulai menangkap dan memahami sesuatu.

"Aa paham yah!", jawabku dengan lantang.

"Jelaskan...", pinta ayah.

"Ini seperti kondisi 'kosong' dan 'isi'

Saat pertama, aliran tenaga berasal dari simpul punggung yang 'terbuka'. Kemudian, terjadi hampir dua kali lipat aliran tenaga, yakni dari simpul punggung yang masih 'terbuka' dan simpul dada yang mulai 'terbuka'. Ini seperti kondisi 'kosong' pada simpul dada, dan 'isi' penuh pada simpul punggung. Pada gerakan rentangan bentuk garuda, terjadi kondisi 'isi' hampir dua kali lipat akibat kedua simpul yang 'terbuka' dan 'mulai membuka'. Pada bentuk rentangan tangan maksimal ke belakangan, simpul dada menjadi 'isi' penuh sedangkan simpul punggung menjadi 'kosong'. Saat mulai menutupkan kembali ke bentuk awal, terjadi kondisi 'isi' hampir dua kali lipat akibat kedua simpul yang 'terbuka' dan 'mulai membuka'. Terakhir, saat kembali ke bentuk awal, maka simpul dada kembali menjadi 'kosong' dan simpul punggung kembali menjadi 'isi'.

Terjadi kondisi 'kosong-isi-kosong' pada simpul dada, dan kondisi 'isi-kosong-isi' pada simpul punggung. Atau bisa juga 'tutup-buka-tutup' pada simpul dada, dan 'buka-tutup-buka' pada simpul punggung. Atau barangkali bisa juga disebut dengan 'kunci-buka-kunci' pada simpul dada, dan 'buka-kunci-buka' pada simpul punggung.

Sementara aliran tenaganya mengalir penuh pada lengan hingga ke pergelangan. Dua kali dengan tingkat aliran tenaga hampir dua kali lipat dari dua simpul besar, yakni punggung dan dada. Pertama, saat membuka rentangan tangan, dan kedua saat menutup rentangan tangan. Tenaga tidak sampai keluar memancar karena 'dikunci' oleh gerakan pergelangan tangan yang ditarik ke belakang secara maksimal.", jawabku dengan bersemangat.

"Bagus! Kamu sudah mulai memahami...", ucap ayah sambil tersenyum.

"Ini hebat sekali yah!!", lanjutku sambil mengepalkan tangan.

Semangatku bergelora. Ini benar-benar luar biasa. Aku seperti memahami sesuatu. Rasanya, aku memandang nafas pembinaan pada bentuk garuda ini menjadi berbeda. Ini benar-benar lain. Luar biasa.

Dengan kunci pembuka penjelasan dari ayah ini, aku jadi bisa mengetahui bagaimana bentuk selanjutnya dari nafas pembinaan, yakni bentuk nafas Dorong Tarik, bentuk nafas Kombinasi Dorong Tarik, dan nafas Listrik.

"Ayah coba test kamu... Kalau yang terjadi pada nafas garuda itu 'kosong-isi-kosong' atau 'tutup-buka-tutup' pada simpul dada dan 'isi-kosong-isi' atau 'buka-tutup-buka' pada simpul punggung, itu artinya hanya satu kali simpul dada menjadi terbuka. Sedangkan simpul punggung mengalami dua kali kondisi terbuka. Bukankah ini tidak seimbang?", tanya ayah.

Aku mengangguk mantap.

"Benar yah. Itu memang bisa disebut tidak seimbang. Tetapi, pada bentuk nafas pembinaan selanjutnya, yakni bentuk nafas Dorong Tarik, simpul dada-lah yang pertama kali dibukan dan digunakan untuk mengalirkan tenaga pada lengan. Jadi, kekurangan pembukaan simpul dada menjadi tergantikan pada bentuk selanjutnya. Pada bentuk nafas Garuda, pembukaan dimulai dari simpul punggung terlebih dahulu, sedangkan pada bentuk selanjutnya yakni nafas Dorong Tarik, pembukaan dimulai dari simpul dada terlebih dahulu. Ini akan mencapai kondisi keseimbangan pada 'kosong-isi' di kedua simpul.", jawabku dengan bersemangat.

Aku mulai memahaminya.

"Bagus, lalu bagaimana pada bentuk selanjutnya?", tanya ayah memancingku.

"Pada bentuk selanjutnya, yakni bentuk Kombinasi Dorong Tarik, karena merupakan gabungan dari bentuk Garuda dan bentuk Dorong Tarik, maka akan terjadi kondisi yang seimbang yah!", jawabku mantap.

"Tepat sekali!", ucap ayah.

"Bagaimana dengan bentuk terakhir, yakni bentuk nafas Listrik?", tanya ayah.

"Khusus untuk nafas Listrik, kedua simpul terbuka semua yakni simpul dada dan punggung. Tidak terjadi gerakan untuk 'menutup' atau 'membuka' simpul-simpul tersebut. Jadi, jelas ini sudah seimbang yah...", jawabku.

Aku melihat ayah mengangguk setuju.

"Benar sekali, nak. Kesimpulannya, empat bentuk olah nafas pada Nafas Pembinaan ini sudah membawa keseimbangan yang baik. Silat yang kamu pelajari ini memang istimewa. Luar biasa, bukan?", jawab ayah sambil tersenyum.

Aku mengangguk.

"Ini memang luar biasa yah...", ucapku membenarkan.

"Sekarang, coba kamu lakukan sekali lagi Nafas Pembinaan empat bentuk, yakni bentuk Garuda, bentuk Dorong Tarik, bentuk Kombinasi Dorong Tarik, dan bentuk Listrik. Lakukan masing-masing satu kali saja. Lakukan dengan pemahaman...", pinta ayah.

Aku mengangguk.

Bersemangat.

Aku memulai nafas Pembinaan empat bentuk seperti yang diperintahkan ayah. Saat aku melakukan ini, rasanya benar-benar berbeda. Olah nafas yang sama, nafas Pembinaan, yang sering aku lakukan hampir setiap hari, rasanya menjadi begitu lain setelah mendengar penjelasan ayah. Rasanya benar-benar berbeda. Sungguh sangat berbeda. Ini luar biasa.

Kira-kira tujuh menitan, aku sudah selesai melakukan olah nafas ini. Tubuhku terasa begitu segar.

"Berbeda bukan rasanya saat kamu melakukan tanpa pemahaman dan dengan pemahaman?", tanya ayah sambil tersenyum.

Aku mengangguk.

"Sangat berbeda yah...", jawabku.

"Tapi kenapa ayah tidak pernah menjelaskan ini sejak awal?", lanjutku.

"Tentu saja tidak nak. Ketahuilah, yang ayah ajarkan dulu padamu adalah metode klasik yang umumnya terjadi pada hampir semua beladiri tradisional. Dikatakan klasik karena murid melakukan latihan tanpa penjelasan lengkap dari gurunya. Alasannya karena yang berlatih adalah tubuh dan 'rasa'-nya. Hal itu ibarat masuk ke ruangan gelap. Sampai sang murid menemukan sendiri pintu ke ruangan berikutnya. Kalau tidak latihan, tentu saja tidak mampu mendekat ke pintu selanjutnya, ya tidak akan dibukakan pintu.

Ketika rasa sudah muncul, tentu saja penjelasan detail akan sangat mudah ditangkap dan dimaknai. Seperti halnya ketika kamu bisa menjawab pertanyaan ayah barusan. Tentunya setelah kamu melakukan olah nafas pembinaan sekian banyak, tubuhmu akan membentuk 'rasa' yang kamu ketahui sendiri. Meskipun seringkali menjadi pertanyaan, tapi 'rasa' ini akan tetap tinggal pada dirimu. Beberapa mungkin buntu pada penjelasan. Tetapi, ketika ketemu dengan 'pintu' yang cocok, maka semua itu akan mengalir lancar. Hanya masalah waktu saja. Kalau bicara waktu, tentu saja bicara kesabaran. Sabar ataukah tidak kamu berlatih hingga tubuhmu menemukan 'rasa'. Itulah sistem klasik nak.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

"Nanti, akan menjadi sangat menarik ketika kamu melakukan olah nafas ini dengan getaran... Yang tadi itu hanyalah salah satu dari sekian banyak penjelasan dari sebuah sudut pandang. Ada sudut pandang yang lain saat nanti ayah jelaskan nanti. Kita akan bahas itu berikutnya. Sekarang, istirahat dulu. Sudah menjelang Dhuhur. Selepas sholat, kita lanjutkan untuk latihan selanjutnya...", ucap ayah.

"Baiklah yah...", jawabku.





(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: ogebang on 30/09/2011 08:03

Makin lama makin Mantaaabs..ne..Bravo...Bro...
btw..ada yg pernah coba Nafas Garuda sampe 50x tarikan nafas..??
Hehehe... Memori jaman Tawuran dulu...
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: Toyosu on 30/09/2011 13:57
@Mas Ogebang,

Memang mantap mas.
Sudah sampai "demo" nurunin dan memberhentikan hujan segala! Hehehe.

Btw, Nafas Garuda 50x tarikan nafas maksudnya 50x ngelakuinnya mas?
Duuuh ilmunya mas Ogebang juga banyak banget.  :)


Makin lama makin Mantaaabs..ne..Bravo...Bro...
btw..ada yg pernah coba Nafas Garuda sampe 50x tarikan nafas..??
Hehehe... Memori jaman Tawuran dulu...
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 01/10/2011 12:13

Makin lama makin Mantaaabs..ne..Bravo...Bro...
btw..ada yg pernah coba Nafas Garuda sampe 50x tarikan nafas..??
Hehehe... Memori jaman Tawuran dulu...

Hahaha dapet juga yang seperti itu mas.

Dulu saya pake saat lagi 'gila' latihan :)

Melatih nafas garuda tidur selama 1 bulan full dengan total jumlah 520x, dari mulai hari ke-1, 2, 3, 4, dst hingga hari ke-30. Dengan hitungan tertentu yang meningkat pada setiap harinya hingga dicapai total 520x dalam tiga puluh hari. :D

Memang, repetisi yang extreem, dengan didasari dasar pijakan pengetahuan yang cukup, akan membuat perkembangan kemajuan latihan menjadi seperti lebih luar biasa. Sesuatu yang saat ini jarang sekali terjadi di kebanyakan kolat-kolat.

Salam.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 01/10/2011 12:16
Atau barangkali versi mas ogebang berbeda dengan versi saya?

:)

Salam.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 01/10/2011 14:18
Tembang Tanpa Syair - Bagian 24

Getaran Pribadi - Siapa Mengolah Apa


Kami baru saja selesai melaksanakan sholat Dhuhur di samping tenda. Mengambil air wudhu di sungai di belakang tenda tempat aku dan ayah menginap. Aku harus melewati jalan setapak dulu sekitar lima puluh meteran, barulah menemukan sungai. Sungai yang cukup lebar, dengan aliran air yang cukup deras. Riak gelombangnya terlihat sekali. Meskipun deras, tapi air sungai itu jernih sekali, dan dingin menyegarkan. Bebatuan di dasarnya terlihat jelas. Beberapa ikan terlihat berenang kesana kemari. Pohon-pohon besar mengelilingi sungai, seolah ingin melindungi sungai itu.


Tidak jauh dari sungai itu, terlihat ada sebuah air terjun kecil. Meski kecil, tapi curahan airnya tampak kuat. Di dekatnya terdapat batu-batuan sebesar kerbau. Untuk mencapai batu besar di dekat air terjun kecil itu, seseorang tampaknya harus berenang atau berjalan dengan meniti bebatuan kecil yang menyembul.


Tempat yang memang indah. Benar-benar indah.


Ayah kemudian berjalan menuju depan pintu masuk tenda, lalu duduk pada tikar yang tadi kami gunakan untuk beristirahat. Sementara aku sendiri berjalan lebih ke depan, kemudian duduk bersila menghadap ayah.


"Mari kita teruskan nak...", ucap ayah.


Aku mengangguk.


"Kembali pada Nafas Pembinaan tadi. Kalau kamu perhatikan, terjadi kondisi buka-tutup pada simpul punggung dan simpul dada. Terjadi juga kondisi 'kunci-lepas' pada sendi lengan, sendi siku, dan pergelangan tangan, hingga jari. Ini terjadi pada tiga bentuk pertama, yakni bentuk Garuda, Dorong Tarik, dan Kombinasi Dorong Tarik. Sedangkan pada nafas Listrik, kamu membuka simpul dada dan simpul punggung. Kedua simpul ini dibiarkan terbuka. Sehingga tidak heran, setelah kamu melakukan olah nafas ini, maka tubuhmu akan terasa segar, seolah teraliri oleh energi yang besar. Kamu menjadi bersemangat dan 'hidup'.


Pada empat bentuk nafas pembinaan ini, tenagamu mengalir tiada henti di seluruh tubuh bagian atas dengan cara 'menutup' dan 'membuka' dua simpul besar, yakni dada dan punggung. Disitulah sumber utama tenagamu berasal saat melatih nafas jenis ini. Kemudian kamu mengolahnya dengan menggerakkan kedua tanganmu mengikuti setiap bentuk yang ada. Aliran ini kamu kendalikan dengan cara mengunci atau membuka persendian pada lengan. Sehingga tenaganya akan mengikuti bagaimana posisi dan bentuk tanganmu itu, bagaimana kamu melakukan 'buka' dan 'kunci' pada persendian, dari mulai pangkal lengan, siku, pergelangan tangan, hingga jari-jari. Perlu kamu ketahui nak, meski tanpa pengejanganpun, kalau kamu melakukan dengan benar, maka lenganmu akan mengeras dengan sendirinya. Keras luar dan dalam. Tubuhmu akan terbiasa dengan ledakan-ledakan tenaga di dalam tubuh. Otot dan syarafmu akan terbentuk dengan alamiah. Nadimu juga akan semakin menguat dan semakin lancar.


Dengan olah nafas ini, kamu dikatakan sedang membina tubuh bagian atas. Menyiapkan kedua simpul besar agar bisa menghasilkan tenaga, dan mengalirkan pada bagian tangan yang mengikuti bentuk gerakan.


Efeknya, akan ada pancaran getaran dari simpul dadamu dan punggungmu akibat kamu buka. Pada beberapa kasus, seseorang yang baru melakukan ini, bisa saja tiba-tiba mengalami kondisi seperti terpental ke belakang atau seperti terdorong ke depan, dan beberapa bisa saja pingsan karenanya. Sebab pancaran getaran ini nyata. Bisa berinteraksi dengan alam. Terutama ketika yang melakukannya benar-benar konsentrasi dan menghayati. Itulah sebabnya dulu, saat kamu pertama kali belajar olah nafas ini, ayah memintamu untuk melakukan ini dengan posisi duduk. Setelah mulai terbiasa dan mulai bisa beradaptasi, barulah dilakukan dengan berdiri.", lanjut ayah.


Aku mengangguk paham.


Aku mulai memahami mengapa dulu ayah menyuruhku melakukan nafas pembinaan ini dengan duduk. Meskipun saat itu tidak ada yang terjadi apapun padaku seperti yang ayah khawatirkan. Setelah sekian waktu, barulah aku diperbolehkan melakukan dengan berdiri. Rupanya ada sesuatu yang ditimbulkan dari olah nafas jenis ini.


"Anu... yah, tadi kalo tidak salah ayah bilang melakukan nafas pembinaan dengan getaran. Itu maksudnya gimana yah?", tanyaku memberanikan diri.


"Begini, ada bentuk olah nafas yang kasar, ada yang halus. Ada yang tanpa getaran, dan ada yang dengan getaran. Akan berbeda nanti pada pemahamannya. Saat ini, pemahaman seperti tadi itu dulu yang kamu harus resapkan dan ingat baik-baik. Nanti, saat kamu sudah memahami getaran, ayah akan menjelaskan dengan pemahaman yang baru.", jawab ayah.


Aku mengerutkan kening.


"Jadi, maksud ayah, bentuknya sama tapi pemahamannya yang berbeda?", tanyaku kembali.


Ayah tersenyum.


"Benar nak. Bentuk yang sama, tapi dengan pemahaman yang berbeda. Ketika masuk pada pemahaman yang berbeda, maka hasil akhirpun bisa menjadi sedemikian berbeda. Ketika masuk pada kesadaran yang berbeda, maka hasil akhir bisa secara radikal berbeda. Seperti halnya saat ayah menjelaskan mengenai kesadaran inderawi, kesadaran rasional, dan kesadaran jiwa.


Seperti yang ayah jelaskan sebelumnya kalau seorang yang belajar beladiri akan merasakan olah rasa dan olah raga menjadi satu kesatuan. Dan memang olah rasa bukanlah matematika, sebab ilmu beladiri disebut 'Martial Art' dan bukan Martial Science.", jawab ayah.


Aku mengangguk, mulai memahami penjelasan ayah.


"Ada yang ingin ditanyakan lagi?", tanya ayah.


"Anu... yah, dimana posisi mengolah itu terjadi?", aku kembali bertanya.


"Ketahuilah nak, saat kamu melakukan bentuk nafas jenis ini, terutama dengan pengerasan maksimal pada bentuknya, maka udara yang kamu hirup akan cepat habis. Bisa tiga sampai lima kali lipat dari biasanya. Karena terjadi pengejangan otot maksimal. Kamu hanya menggunakan sedikit sekali udara yang tersisa untuk melakukan olah nafas jenis ini. Hal ini menyebabkan yang kamu olah pada saat nafas dada-perut benar-benar energi tubuh, dan bukan lagi sekedar perpindahan udara semata. Apa yang dihasilkan darinya adalah aktifnya secara dahsyat simpul utama perut yang dibawah pusar dan simpul dada, serta yang berada diantara itu.", jawab ayah.


"Ada lagi?", tanya ayah.


Aku menggeleng.


"Belum yah. Sejauh ini Aa cukup bisa memahami penjelasan ayah.", jawabku.


"Baiklah. Jika tidak ada yang ingin ditanyakan lagi, kita akan mulai dengan Nafas Pengolahan. Ayah rasa, ayah harus menjelaskan ini terlebih dahulu, karena ini akan menjadi dasar dari latihan pembentukan tenagamu. Sesuatu yang nanti kamu manfaatkan ke depannya.", ucap ayah.


"Nafas Pengolahan, kalau dilihat dari sifatnya akan terbagi menjadi tiga tahap, yakni tahap 'membuka', tahap 'menutup', dan tahap dinamis atau 'buka-tutup'.


Tahap 'membuka' ada pada level yang disebut dengan level Dasar. Meliputi empat belas bentuk olah nafas yang dimulai dari urutan bentuk pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya hingga bentuk keempat belas.


Tahap 'menutup' ada pada level yang disebut dengan level Balik. Meliputi empat belas bentuk olah nafas level dasar yang dimulai dengan urutan terbalik yakni urutan bentuk keempatbelas, ketigabelas, keduabelas, kesebelas, dan seterusnya hingga bentuk kesatu. Plus ditambah beberapa bentuk tambahan.


Tahap dinamis atau tahap 'buka-tutup' ada pada level yang disebut dengan level Kombinasi dan level Khusus. Agak berbeda pada level Khusus, ada pengembangan lain berupa spesialisasi pada bentuk yang spesifik. Ayah akan jelaskan nanti, saat kamu masuk ke dalamnya agar tidak bingung.", lanjut ayah.


"Sampai sini bisa dipahami?", tanya ayah.


Aku mengangguk.


"Paham yah...", jawabku singkat.


"Level Dasar, mengapa disebut dengan tahap 'membuka'? Yakni karena bentuk dan posisi gerakan saat melakukan ini tidak memiliki gerakan untuk 'mengunci' aliran tenaga, baik pada simpul kecil pada tubuh maupun pada simpul besar. Lengan yang lurus, kaki yang lurus, tulang punggung yang menekuk ke dalam dan keluar, serta posisi tubuh yang lurus karena ditopang tangan, semuanya dilakukan dengan 'membuka' simpul-simpul tubuh. Aliran tenaga akan mengalir ke seluruh tubuh dan bahkan memancar keluar. Pada level Dasar tingkat akhir, diperlukan medium beban berupa batu bata atau beton cor berbentuk batu bata yang harus kamu cengkram dengan keras. Beratnya minimal dua kilogram. Kamu sudah pernah merasakan ini, bukan?", ucap ayah.


Aku mengangguk.


"Berikutnya, level Balik. Mengapa disebut dengan tahap 'menutup'? Pertama, karena urutan olah nafasnya dimulai dari yang paling akhir, atau bentuk keempat belas, dan diakhiri dengan bentuk kesatu. Ini bermakna sebagai proses pembalikan. Kedua, karena bentuk dan posisi gerakan saat melakukan ini memiliki gerakan untuk 'mengunci' aliran tenaga. Aliran tenaga akan memusat ke dalam. Tidak lagi keluar seperti halnya pada level dasar. Pada level ini, kamu harus menggunakan medium beban berupa pot yang terbuat dari beton cor yang berlubang lima untuk ujung jari tanganmu mencengkram. Yang masuk pada lubang pada pot ini hanyalah satu ruas jarimu saja. Beratnya delapan kilogram.


Level Kombinasi, mengapa disebut dengan tahap dinamis atau 'buka-tutup'? Yakni karena bentuk ini semuanya dilakukan dengan 'membuka' dan 'menutup' simpul pada lengan, dengan cara menggerakkan tangan sesuai dengan bentuk gerakan secara dinamis. Pada level ini tahap awal, kamu harus menggunakan medium berupa halter pinggir seberat empat belas kilogram. Kamu menggerakkan lenganmu ke atas, ke bawah, dengan interval tertentu dan sesuai dengan bentuknya. Seperti orang yang sedang melakukan olahraga angkat berat. Tapi bedanya, bebannya tidak seluruhnya kamu angkat, tapi kamu olah di lenganmu secara berulang-ulang. Saat lengan mengangkat beban, maka siku akan tertekuk, dan ini disebut dengan 'menutup' atau 'mengunci', sedangkan saat lenganmu turun ke bawah, maka siku akan lurus, dan ini disebut dengan 'membuka'. Jadi, akan terjadi kondisi 'buka-tutup'. Itulah tahap dinamis.",  ucap ayah.


Aku mendengarkan dengan serius.


"Anu... yah, bagaimana dengan level Khusus?", tanyaku memberanikan diri.


Ayah tersenyum.


"Itu nanti saja, kalau sudah saatnya...", jawab ayah.


Aku ikut tersenyum sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal.


"Setiap bentuk pada nafas pengolahan ini, dilakukan dengan menahan nafas dan mengalirkan nafas pada dada dan perut secara bergantian. Setiap kondisi menahan nafas di dada ataupun di perut disebut dengan saf. Lama setiap saf pada mulanya lima sampai tujuh detik. Batas maksimal tujuh saf, artinya total menahan nafas menjadi tiga puluh lima atau empat puluh sembilan detik, terdiri dari empat saf dada serta tiga saf perut.


Kondisi dada-perut ini, akan menyebabkan simpul utama perut dan simpul dada menjadi sangat aktif. Juga termasuk simpul yang berada diantaranya.", ucap ayah.


"Kalau fungsinya beban sendiri bagaimana yah?", tanyaku penasaran.


Aku melihat ayah memandang ke sekeliling, lalu menunjuk sebuah batu yang berukuran agak besar di dekat pohon pinus, agak jauh dari tenda kami.

Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 01/10/2011 14:19

Aku menoleh pada arah yang ditunjuk oleh ayah.


"Nak, batu itu kira-kira beratnya sekitar sepuluh kilogram. Ayah minta kamu pindahkan batu itu kesini, lalu pindahkan kembali ke posisi semula. Lakukan terus selama lima belas menit. Ayah akan menghitung waktunya, dan menghitung berapa kali kamu memindahkan batu itu ke tempatnya semula.", pinta ayah.


Aku mengkerutkan kening. Meski aku tidak tahu apa maksud ayah, tapi aku menuruti apa yang ayah mau.


"Baiklah yah... Akan Aa coba...", jawabku mantap.


Aku berdiri dan membalik badan. Dari sudut mata, aku melihat ayah melihat pada jam tangan yang ada di lengan kirinya. Mungkin ayah sedang mengatur waktu menggunakan stopwatch.


"Mulai...!", ucap ayah.


Aku segera berjalan cepat ke arah batu yang diminta ayah. Mengangkatnya, lalu memindahkannya ke dekat tenda.


"Satu...", ucap ayah.


Setelah itu, mengangkatnya kembali, lalu memindahkannya ke tempat semula.


"Dua...", ucap ayah.


Ayah menghitung 'satu' saat aku mengangkat batu dan memindahkannya ke dekat tenda. Lalu menghitung 'dua' saat aku mengangkat batu dan mengembalikannya ke tempat semula.


Kemudian aku mengangkatnya lagi, memindahkannya ke dekat tenda. Mengangkatnya kembali, lalu memindahkannya ke tempat semula. Terus saja seperti itu. Aku tidak tahu sudah berapa lama, yang aku dengar hanyalah hitungan ayah.


"Dua puluh lima... Lumayan...!", ucap ayah dengan bersemangat.


Keringatku sudah bercucuran. Bajuku juga sudah basah oleh keringat. Nafasku juga mulai agak tersengal-sengal.


"Cukup...! Sudah lima belas menit...", lanjut ayah.


"Uuuh... akhirnya selesai juga...", gumamku dalam hati.


Aku langsung duduk, meluruskan kaki, dan berbaring di tanah dengan terlentang. Mataku terpejam dengan tangan terentang. Aku istirahat sambil mengatur nafasku. Perlahan, aku mulai mengatur irama nafasku, mencoba untuk menormalkan kembali. Menyentuhkan ujung jari tengah dan jari telunjuk untuk merasakan detak nadi di tubuhku. Setelah beberapa tarikan nafas, aku merasakan nadiku mulai berangsur normal. Nafasku juga sudah tidak tersengal-sengal seperti tadi. Aku mengangkat tubuhku dan duduk, masih dengan kaki lurus.


"Bagaimana rasanya?", tanya ayah sambil tersenyum.


"Lumayan yah...", jawabku. sambil menyeka keringat di dahi menggunakan lengan kananku.


"Dua puluh lima kali mengangkat batu seberat kira-kira sepuluh kilogram selama lima belas menit dengan lama waktu perjalanan sekitar dua puluh detik, itu sudah cukup bagus.", puji ayah.


"Terima kasih yah. Tapi, maksudnya latihan tadi apa ya yah?", tanyaku penasaran.


"Nak, pada saat kamu melakukan olah nafas pengolahan di tingkat dasar, lama waktu yang diperlukan untuk olah nafas pengolahan adalah sembilan ratus delapan puluh detik atau sekitar enam belas menit. Pada saat itu tubuhmu akan menahan beban total seberat kurang lebih lima puluh kilogram yang di dapat dari beban olah nafas yang kamu gunakan. Dalam setengah tahun, setidaknya kamu sudah melakukan empat puluh delapan kali nafas pengolahan. Kalau setiap kali melakukan olah nafas pengolahan tingkat dasar ini terjadi kondisi dimana tubuhmu menahan beban total kurang lebih lima puluh kilogram, maka dalam waktu enam bulan, total beban yang tubuhmu terima adalah seribu dua ratus kilogram atau satu ton lebih!", jawab ayah.


Eh, aku terkejut dengan penjelasan ayah.


"Jadi, seharusnya batu seberat sepuluh kilogram itu bukan masalah besar bagi daya tahan otot di tubuhmu bukan?", lanjut ayah sambil tersenyum.


"Sekarang, coba kamu rasakan tubuhmu sendiri. Apakah sudah terasa lemas atau tidak?", tanya ayah.


Penasaran dengan ucapan ayah, aku berdiri, lalu mengepalkan kedua tanganku dengan keras. Mencoba memukul pada udara kosong perlahan. Menghirup nafas perlahan, mengulanginya lagi, lalu kembali merasakan tubuhku.


"Oh, benar juga ya...", gumamku dalam hati.


"I... iy... iya yah. Kok badan Aa rasanya masih segar yah... Tadi memang nafas agak tersengal, tapi tidak lama. Setelah mengatur irama nafas, Aa sudah pulih lagi. Kok bisa ya yah?", jawabku dengan heran.


"Hehehe, tentu saja nak. Begitulah manfaat yang didapat dari latihan olah nafas ini. Itu baru latihan olah nafas untuk tingkat dasar. Kalau tingkat balik, tidak kurang dari lima hingga sepuluh ton tubuhmu akan beradaptasi terhadap beban. Pada tingkat kombinasi lebih ekstrem lagi, yakni tidak kurang dari dua puluh ton otot tubuhmu beradaptasi dengan tekanan.


Nah, kamu bisa bayangkan, kalau kamu rutin melatih olah nafas pengolahan seperti ini, bukankah tubuhmu menjadi sangat luar biasa? Kamu ingin belajar apa saja juga jadi lebih mudah. Karena cadangan tenaga di tubuhmu sangat lebih dari cukup. Daya tahan ototmu menjadi sangat prima.", ucap ayah.


Aku tertegun dengan penjelasan ayah. Memang benar, kalau semua ini dilakukan dengan baik, tentu hasilnya akan sangat maksimal.


"Jadi, apabila ada truk bermuatan batu dengan berat total empat ratus kilogram, maka seorang yang rutin melatih olah nafas pengolahan level kombinasi awal harus bisa memindahkannya sendirian dalam waktu lima belas menitan saja. Dan apabila ada sebuah truk bermuatan batu dengan berat total satu ton, maka seorang yang rutin melatih olah nafas pengolahan levek kombinasi akhir harus bisa memindahkannya sendirian dalam waktu kurang lebih tiga puluh menitan saja.


Kenapa? Karena tubuhnya terbiasa terlatih untuk menahan beban seberat hampir empat ratus kilogram dalam waktu lima belas menitan saja.


Hal ini dikarenakan karena memang jumlah pelatihan olah nafas pada tingkat yang lebih tinggi akan meningkat pada repetisi dan jumlahnya sehingga jumlah berat beban yang diterima tubuh juga menjadi lebih extreem.", lanjut ayah.


"He... hebat yah...!", ucapku spontan. Rasanya adrenalin di tubuh ini meningkat mendengar penjelasan ayah. Seluruh sel-sel darahku serasa bergolak.


Aku melihat ayah menghela nafas.


"Masalahnya adalah, sedikit sekali mereka yang mau melewati tahap latihan ini. Kebanyakan sudah menganggap berat pelatihan olah nafas seperti ini. Hingga akhirnya, tujuan utama terbentuknya tenaga tidak tercapai. Tentu saja hal ini akan menurunkan standar kualitas keilmuan itu sendiri", ucap ayah sambil tersenyum hambar.


Aku mengangguk. Memahami sepenuhnya ucapan ayah.


"Aa akan mengingatnya yah... Dan akan rajin melatihnya...!", jawabku bersemangat.


"Harus nak! Janganlah kamu sia-siakan manfaat nyata dari latihan olah nafas jenis ini nak.", lanjut ayah. Pandangannya menatap ke arahku.


Aku mengangguk mantap sekali lagi.


"Sekedar tambahan saja, bahwa di dalam standar sport modern saat ini, ada yang disebut dengan latihan Isometric Exercize, Dynamic Tension Exercise, Plyometric Exercize, juga ada Altitude Training Exercise. Pahami juga mengenai ini nak. Setidaknya berguna untuk tambahan pengetahuanmu dan menguatkan apa yang kamu latih. Lebih jauh lagi, ia bisa membuka cakrawala baru berpikirmu dalam menganalisa keilmuan silatmu ini.", ucap ayah.


"Oh, itu apa yah?", tanyaku penasaran. Ini pengetahuan baru bagiku.


"Itu adalah istilah-istilah pada pelatihan sport modern yang merupakan hasil penelitian dari suatu diskursus keilmuan modern yang sudah teruji baik pada konsep, hasil, maupun proses. Disadari benar bahwa pasti ada keterkaitan antara diskursus keilmuan modern tersebut dengan beladiri. Perjalanan panjang dari beladiri, meski tanpa embel-embel ilmiah, disadari atau tidak dan diakui atau tidak ternyata banyak diadopsi sebagai pengetahuan dasar dalam membentuk keilmuan modern di dalam sports. Sehingga memahami karakteristik sebagian unsurnya akan bisa membuka jalan pengetahuan baru yang bisa saja buntu.


Bahwa disadari atau tidak, tak pernah ada keilmuan di dunia ini yang sempurna. Kesempurnaan adalah mutlak milik Allah. Meski demikian, kita tidak perlu menutup diri terhadap pengetahuan luar yang dirasa bisa menjadi pelengkap pengetahuan beladiri yang kita geluti. Sebab pada intinya, pengetahuan itu seperti puzzle. Terkadang, salah satu potongannya berada pada pengetahuan pada disiplin ilmu lain sehingga ketika dirangkai utuh, maka wujud dari puzzle tersebut akan terlihat nyata.", jawab ayah.


"Untuk menguasai suatu seni, seperti misalnya seni beladiri, tentunya olah rasa yg paling berperan utama. Tetapi setelah kita menguasai seni tersebut, kita tetap bisa menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan modern, seperti Physiology, untuk memahami bagaimana mekanisme bekerjanya. Misalnya untuk memahami bagaimana sistem motorik, otot, dan sistem syaraf tubuh bekerja pada saat melakukan suatu gerakan atau jurus tertentu. Physiology modern bisa sangat membantu dalam hal ini.


Dari pemahaman sistem motorik dan sistem syaraf tubuh ini para ahli Physiologi Exercise merancang suatu metode latihan modern. Beberapa metode latihan beladiri tradisional juga mulai banyak diteliti Ahli Physiology Exercise misalnya dalam metode latihan moderna. Latihan seperti Nafas 'TO' atau 'tenaga otomatis' dikenal dgn Dynamic Tension, latihan statis seperti nafas pengolahan dikenal dengan Isometric Exercise, sedang untuk mendapatkan explosive power dikenal Plyometric Exercise. Metode Latihan modern ini sangat terukur sifatnya


Praktisi beladiri itu seperti pembalap, di sirkuit ketika sedang balapan atau latihan balapan ya tidak perlu memusingkan mekanisme cara kerja mobil. Tetapi jika sedang tidak balapan ya tidak ada salahnya belajar jadi montir supaya tahu sedikit bagaimana cara kerja mobil. Keahlian balap memang tidak bisa diukur secara matematis tetapi kekuatan mesin mobil tetap masih bisa diukur secara matematis. Iya khan?", ucap ayah sambil bertanya. Tampaknya ayah ingin menguji logikaku.


Aku mengangguk dengan wajah heran. Memahami ucapan ayah. Meskipun ada beberapa hal yang aku tidak mengerti.


"Hahaha. Sudahlah... nanti kita bahas lagi dengan detail mengenai istilah-istilah tadi. Ayo, lebih baik kita latihan saja. Agar tubuh dan rasa-mu bisa lebih baik. Sebab, nanti malam, kita akan masuk pada dasar-dasar getaran...", lanjut ayah sambil tertawa.


"Siap...!", jawabku dengan mantap.





(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: ogebang on 04/10/2011 07:59
@Toyosu
Saya gak tau..Mas...nafas/bentuk2 yg anda sebutkan tsb ( Handayani , dsb )...Mungkin kalo dikasih liat bentuknya..saya bisa tahu..kadang2 saya tau banyak bentuk2 Nafas tapi gak tau atau lupa namanya...Tapi feeling saya itu bagian dari Bentuk2 Nafas Pembinaan level Kombinasi 1 yg memang beraneka ragam bentuknya...
Kalo sudah mahir..bahkan gak perlu dipancing2 lagi getarannya pake nafas A atau B...cukup dgn niat saja..maka automatically akan keluar sendiri...
Concerning Garuda...iya..melakukannya dgn 50x Nafas...Manfatnya banyak..salah satunya penebalan Pagar Badan ke Level yg lebih extreem dimana tubuh kita tidak akan tersentuh  serangan dlm perkelahian bebas/senjata tajam maupun timpukan batu.Hasil Mersudi yg diinspirasikan dari Diskusi Keilmuan dgn Murid2 saya sendiri yg saat itu mereka baru dasar 2 loo....hehehe...
Jangan pernah mengaggap remeh murid2 kita..karena diam2 mereka juga nyoba2 sendiri...hehehe...
@mpcrb
Bukan itu..Bro...kalo yg itu buat pemaksimalan pukulan jarak pendek khan..dimana kita tidak perlu lagi mukul sasaran/musuh dgn ancang2 atau dgn sikap siaga...bahkan extremnya..angin pukulannyapun sdh bisa merontokkan lawan....
Sayang..aku malas ngelatihnya...ngeriii..Bro...hehehe...
Sebetulnya Mersudi 1 bentuk Nafas Garuda aja udah banyak yg bisa didapatkan..Ada Garuda Kop Stand..Ada Garuda Gantung...Garuda Melayang...dsb...belum bentuk2 Nafas2 lainnya...
Makanya aku suka heran kalo ada yg mau cepat2 naik ke khusus 2 keatas....aku hampir 20 thn di Khusus 1 aja perasaan belum semua Ilmu2 Khusus 1 berhasil aku buka Rahasia Mersudinya....hehehe...
Salaam..lanjutkan..Cersilnya..Bro...sakaw ne...hehehe...
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 05/10/2011 20:47
Sudah terbit "Buku Kesatu" dan "Buku Kedua" serial cerita silat "Tembang Tanpa Syair" untuk dapat dinikmati offline pada hp atau gadget lain yang mendukungnya.

Alhamdulillah dapat bantuan ilustrator dari salah seorang teman yang tertarik dengan cersil ini. Jadi, sepertinya di buku ketiga nanti cover depan akan berubah menjadi lebih baik dan akan ada tambahan ilustrasi bergambar pada tiap bab (belum semua).

Silahkan dinikmati... :)

https://skydrive.live.com/?cid=12ea94da72decb15&id=12EA94DA72DECB15%21127 (https://skydrive.live.com/?cid=12ea94da72decb15&id=12EA94DA72DECB15%21127)


Salam.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: luri on 05/10/2011 21:49
jempol dahh..
 [top]

jadi inget,
dulu pernah mbuat ginian
http://silatindonesia.com/bukusaku/contoh/

-- buat balik halaman, klik+drag kanan bawah --
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: Toyosu on 05/10/2011 22:40
@Mas Ogebang

Terima kasih sharing info2nya. Digabung penjelasannya mas Mpcrb kayaknya saya paham deh.

@Mas Mprcrb

Ditunggu terus lanjutan ceritanya. Oh iya, gak boleh2 cepet2 selesai lho yaaa... 
Si Aa harus sampai sakti mandraguna. Hahaha.

@Toyosu
Saya gak tau..Mas...nafas/bentuk2 yg anda sebutkan tsb ( Handayani , dsb )...Mungkin kalo dikasih liat bentuknya..saya bisa tahu..kadang2 saya tau banyak bentuk2 Nafas tapi gak tau atau lupa namanya...Tapi feeling saya itu bagian dari Bentuk2 Nafas Pembinaan level Kombinasi 1 yg memang beraneka ragam bentuknya...
Kalo sudah mahir..bahkan gak perlu dipancing2 lagi getarannya pake nafas A atau B...cukup dgn niat saja..maka automatically akan keluar sendiri...
Concerning Garuda...iya..melakukannya dgn 50x Nafas...Manfatnya banyak..salah satunya penebalan Pagar Badan ke Level yg lebih extreem dimana tubuh kita tidak akan tersentuh  serangan dlm perkelahian bebas/senjata tajam maupun timpukan batu.Hasil Mersudi yg diinspirasikan dari Diskusi Keilmuan dgn Murid2 saya sendiri yg saat itu mereka baru dasar 2 loo....hehehe...
Jangan pernah mengaggap remeh murid2 kita..karena diam2 mereka juga nyoba2 sendiri...hehehe...
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 14/10/2011 00:57
Tembang Tanpa Syair - Bagian 25

Jangan Ikat Pikiranmu


Malam ini aku dan ayah duduk berdua di depan sebuah api unggun yang sedang menyala. Api unggun yang dibuat dengan mengumpulkan ranting-ranting kayu yang berserakan di sekitar tenda kami. Api itu tidak terlalu besar. Sekedarnya saja. Tapi cukup bisa menerangi dan memberikan kehangatan. Aku sebenarnya membawa lampu halogen yang menggunakan baterai. Saat akan kunyalakan, ayah memberiku isyarat untuk jangan menyalakan dulu. Ayah memintaku untuk mengumpulkan ranting kayu yang berserakan, lalu membuat api unggun. Ada sesuatu yang ingin ayah jelaskan mengenainya.

Suasana hening. Hanya terdengar suara gemericik air sungai, serta hewan-hewan malam yang sesekali berbunyi. Angin berhembus perlahan, beberapa saat malah seperti terdiam.

"Kita mulai nak...", ucap ayah membuka percakapan.

"Sebelum masuk pada dasar-dasar getaran, kamu harus memahami dulu bahwa ilmu getaran ini sebenarnya merupakan ilmu yang diberikan pada tingkat lanjutan. Akan tetapi kemudian dipecah menjadi dua, yakni getaran tingkat dasar dan getaran tingkat lanjut. Getaran tingkat dasar terdiri dari lima tahap. Tahap awal adalah tahap interaksi dengan alam semesta tingkat awal. Tahap kedua adalah pengenalan hawa panas tingkat awal. Tahap ketiga adalah getaran pribadi tingkat awal. Tahap keempat adalah getaran alam tingkat awal. Dan terakhir, tahap kelima adalah getaran untuk tutup mata tingkat awal. Semua berada pada tataran awal.", lanjut ayah.

Aku mengangguk. Mendengarkan dengan seksama setiap penjelasan ayah.

"Sejauh ini, kamu sudah belajar getaran tingkat dasar sebelumnya. Kamu juga sudah masuk pada tahap kelima, yakni tahap getaran untuk tutup mata. Meski demikian, tentunya ada banyak pertanyaan pada benakmu mengapa keilmuan silat ini bisa seperti ini, bukan?", tanya ayah sambil tersenyum.

"Iya yah... dulu Aa pernah bertanya sama ayah, tapi ayah bilang penjelasannya nanti saja.", jawabku.

"Benar nak. Saat itu, usiamu masih sepuluh tahunan. Tentunya akan cukup menyulitkan bagi ayah untuk memberimu penjelasan yang cukup. Hari ini, ayah merasa usiamu sudah cukup untuk mengetahui lebih baik mengenai ini. Apalagi, kamu sudah pernah menggunakannya dan merasakan manfaatnya dalam kehidupanmu.", ucap ayah.

Aku kembali mengangguk. Benar sekali. Aku merasakan manfaat dari latihan olah nafas yang ayah ajarkan selama ini. Aku juga merasakan manfaat dari getaran untuk tutup mata saat pertama kali berkelahi dimana mataku terkena pasir sehingga tidak bisa melihat. Pada perkelahian kedua, aku juga merasakan manfaat dari getaran deteksi untuk mengetahui 'niat' lawan yang akan menyerangku. Tapi, apakah hanya sampai disitu manfaatnya? Aku sering bertanya-tanya dalam hati.

Aku melihat ayah berdiri.

"Ayo ikut ayah...", ucap ayah sambil berjalan ke belakang tenda.

Aku menurut. Aku berdiri dan mengikuti ayah.

Kami berhenti beberapa meter di belakang tenda. Pancaran cahaya api unggun membantu menyinari belakang tenda sehingga suasananya cukup terlihat. Disitu ada sebuah ceruk yang tidak terlalu dalam. Lebarnya sekitar dua meter. Di dalamnya terdapat beberapa dedaunan, ranting-ranting pohon yang sudah lapuk. Aku dan ayah berdiri tepat di dekat ceruk tersebut.

"Lompatilah ceruk itu...", pinta ayah sambil telunjuk tangan kanannya mengarah pada ceruk di depanku.

Aku mengangguk dengan mantap.

"Baiklah yah... Itu mudah!", jawabku dengan yakni.

Aku mundur satu langkah, lalu segera mengambil ancang-ancang untuk melompat.

HUP!

TAPP!

Aku mendarat dengan mantap di seberang ceruk. Tanpa membalik badan, tangan kananku diangkat dengan mengepalkan tangan tapi ibu jariku berdiri. Ini seperti isyarat "jempol" atas suatu keberhasilan. Setelah itu aku membalikkan badan dan tersenyum.

Aku melihat ayah tersenyum.

"Bagus... sekarang ayo ikuti ayah lagi...", ucap ayah.

Ayah lalu berjalan menjauh dari tenda. Aku mengikuti dari belakang. Ayah berjalan menuju belakang bukit kecil di belakang tenda. Melewati jalan setapak. Kira-kira sekitar lima puluh meteran barulah kami melewati bukit kecil tadi. Suasana disekitar hanya diterangi oleh cahaya rembulan saja. Meskipun tidak terlalu terang, tapi mataku cukup bisa melihat sekitar. Aku mengikuti ayah yang masih tetap berjalan.

Tidak berapa lama, ayah berhenti. Lalu menunjuk ke depan.

Aku memandang pada arah yang ditunjuk oleh ayah. Eh, rupanya dibalik bukit kecil itu ada tebing lain. Dipisahkan oleh ceruk yang jauh lebih dalam. Lebar ceruk itu hampir sama dengan ceruk yang tadi berada di belakang tenda. Bedanya, ceruk ini cukup dalam dan dibawahnya ada sungai mengalir. Rupanya, tempat kami berkemah itu berada di ketinggian, dan dekat sekali dengan tebing.

"Coba kamu lompati ceruk itu hingga sampai ke seberang bukit...", ucap ayah.

"Eh.. anu... yah... itu... itu...", jawabku agak gugup.

Jujur saja, aku agak bimbang. Sebab kalau salah sedikit saja, maka aku akan terjatuh ke dalam ceruk. Meskipun di bawahnya terlihat ada aliran sungai, tapi aku tidak tahu apakah sungai itu dalam atau tidak. Kalau hanya air sungai mungkin aku masih berani, tapi aku khawatir ada batu-batu sungai. Bisa gawat.

Ayah tampaknya melihat keraguanku.

"Kenapa? Kok jadi bimbang? Tadi khan lancar. Toh lebarnya sama dengan ceruk yang tadi.", lanjut ayah.

Merasa tertantang, aku berinisiatif untuk mencobanya.

"Baiklah yah... Aa coba...", jawabku setengah yakin.

Aku mengambil ancang-ancang, lalu bersiap untuk melompati ceruk itu. Tepat sebelum sampai pada bibir ceruk, aku terhenti. Aku tiba-tiba jatuh terduduk. Detak jantungku tidak karuan. Nafasku sedikit memburu. Keringat dingin membasahi dahiku.

Beberapa saat kemudian suasana hening.

"Kenapa berhenti?", tanya ayah.

"Anu... yah, ini berbeda dengan melompati ceruk di belakang tenda itu. Kalau sampe gagal, Aa bisa mati yah karena terjatuh...", jawabku dengan sedikit gugup.

"Ya sudahlah... ayo kita kembali ke tenda lagi...", ucap ayah.

Aku melihat ayah membalikkan badan, lalu berjalan perlahan menyusuri jalan yang kami gunakan sebelumnya. Aku bergegas mengikuti ayah dari belakang.

Tidak berapa lama, kami kembali ke tempat semula.

Aku berdiri di dekat api unggun. Sedangkan ayah terus berjalan menuju tenda, masuk sebentar, lalu terlihat mengambil sesuatu, dan kemudian keluar. Aku melihat di tangan ayah sudah ada sebilah pedang kayu.

"Ayo kita berlatih. Ayah menggunakan pedang kayu ini, sedangkan Aa menggunakan tangan kosong. Gunakan nalurimu untuk menghindar. Ayah hanya akan menyerangmu dengan tiga kali serangan saja.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

Aku dan ayah berdiri berhadapan kira-kira dua meter.

"Bersiaplah...!", ucap ayah.

Aku mengambil sikap pasang, lalu bersiap menerima serangan ayah.

Ayah mulai menyerang dengan menyabetkan pedang kayu itu ke tubuhku dari arah kiri. Aku langsung melangkah mundur dengan cepat. Tebasan itu lewat di depanku dan tidak mengenaiku. Merasa serangannya tidak mengena, ayah kemudian segera mengganti gerakan. Tangan kanannya yang masih menebas tiba-tiba ditarik kesamping pinggang, lalu pedang kayu itu segera ditusukkan ke dadaku sambil melangkah maju.

Aku bergegas menggeser tubuhku dengan gerak langkah mundur kesamping diikuti dengan mundur simpir setengah langkah. Tubuhku kini menjauh, dan berada cukup jauh dari jangkauan pedang kayu ayah.

Merasa serangannya kembali gagal, ayah kemudian merangsek kearahku dengan cepat sambil menebaskan pedang kayunya dengan lintasan diagonal dari kanan ke kiri. Aku segera memutar tubuh dengan cepat menggunakan gerak langkah srimpet sehingga tebasan diagonal itu hanya mengenai ruang kosong.

Tiga serangan pedang kayu ayah sudah berhasil aku hindari.

"Bagus...!", ucap ayah.

Ayah kemudian menghentikan serangan dan tersenyum.

"Bagaimana jika menggunakan ini...", lanjut ayah.

Aku melihat ayah menarik gagang pedang kayu itu. Eh, seperti ada kilauan cahaya dari dalam pedang kayu itu. Ah, tidak, itu bukan cahaya, tapi itu pantulan dari logam. Aku kaget. Rupanya di dalam pedang kayu itu tersimpan pedang sungguhan! Itu pedang tajam!

Tanpa menunggu hilangnya rasa kagetku, ayah langsung menyerangku dengan pedang tajamnya. Ayah menyerang dengan sangat serius. Ayah menebaskan pedang tajam itu ke tubuhku. Kilatan cahaya logam itu membelah udara di depanku. Dengan rasa was-was aku mundur sambil bergulingan. Lalu berdiri lagi. Tidak menunggu aku siap, ayah langsung menyerangku dengan tusukan yang sama seperti tadi. Aku panik, dan menghindar asal saja. Yang penting keluar dari jangkauan. Aku benar kocar-kacir dibuatnya. Bahkan sampai hampir lari.

"Kenapa lari? Apakah gerakan dan kecepatannya berbeda dengan pedang kayu tadi?!!", ucap ayah.

Dheg!

Eh, benar saja. Gerakan ayah sama. Tebasan dari kiri ke kanan, setelah itu dilanjutkan dengan tusukan, dan diakhiri dengan tebasan diagonal dari kanan ke kiri. Semua sama, baik kecepatannya maupun arah lintasannya. Yang berbeda hanyalah penggunaan pedang tajam saja. Tapi mengapa aku menjadi kocar-kacir dibuatnya. Aku hanya berpikir seandainya aku tertebas pedang tajam itu, maka bisa sangat berbahaya. Lukanya akan fatal. Aku hanya berpikir, seandainya tertusuk pedang tajam itu, aku bahkan bisa mati!

Aku berdiri terdiam. Berpikir.

"Ah... ini... ini...", jawabku terbata-bata.

Rasanya aku menemukan sesuatu.

Aku melihat ayah tersenyum.

"Cukup... ayo kita istirahat dulu.", lanjut ayah.

Ayah kembali menyarungkan pedang tajam itu ke dalam kerangka kayu. Membalik badan, lalu berjalan kembali menuju api unggun. Aku mengikuti ayah dari belakang. Dan duduk di dekat ayah.

"Bagaimana? Sudah menemukan sesuatu?", tanya ayah sambil tersenyum.

Aku mengangguk.

"Iya... yah... Ternyata, semua itu hanya ada di pikiran saja yah...", jawabku lirih.

Aku menunduk.

"Benar nak. Semua itu hanya ada di pikiran saja. Ketika pikiran terikat kepada tajamnya pedang sungguhan, maka semua akan menjadi tampak berbeda dengan pedang kayu. Ketika pikiran terikat kepada ceruk yang dalam, maka semua akan menjadi tampak berbeda dengan sebelumnya.", ucap ayah.

"Keterikatan pikiranmu itulah sumber masalahnya. Kamu masih terpaku pada kesadaran inderawi dan kesadaran rasional. Untuk bisa masuk pada latihan getaran yang lebih baik, maka lepaskan keterikatan pikirannmu. Lewatilah ambang batas kesadaran rasionalmu...", lanjut ayah.

Aku masih menunduk. Aku merenungkan setiap ucapan ayah. Benar-benar mengena sekali.

Suasana kembali menjadi hening.

"Bagaimana caranya untuk melewati semua itu yah?", tanyaku memecah keheningan.

Aku memberanikan diri untuk mengangkat wajah. Aku melihat ayah menatapku.

"Kuncinya ada pada niat... Latihan getaran yang sesungguhnya harus dimulai dengan niat. Niat yang bersih.", jawab ayah.

Ucapan singkat itu rasanya seperti menembus ke jiwaku. Membuat tubuh ini menjadi bergetar. Aku terdiam, mencoba menenangkan jiwaku yang bergetar.

Suasana kembali hening.

"Kenapa yah?", tanyaku kembali.

"Karena keilmuan ini akan bersinggungan dengan alam semesta. Bersinggungan dengan semua entitas yang ada di dalamnya. Baik yang nyata maupun yang maya. Baik yang terlihat mata maupun yang tidak terlihat. Baik yang bisa diraba maupun yang hanya bisa dirasa. Latihan getaran yang sesungguhnya dimulai dari kebersihan niat.

Melepas keterikatan bukanlah kehilangan kesadaran. Melepas keterikatan bukanlah hilang kesadaran hingga masuk pada kondisi trance atau kesurupan. Tidak sama sekali.

Bersihnya niat akan melepas ikatan pikiranmu dan membuat 'pintu' lain menjadi terbuka.

Ilmu getaran akan mengangkat dibawah sadar menjadi sadar, sekaligus menajamkan mata hati.

Dan mati hati, sesungguhnya tidak akan terbuka jika kamu masih ada keterikatan. Ia masih akan terhalang. Maka halangan itu harus kamu lewati.", jawab ayah.

Aku mengangguk. Aku mulai bisa memahami maksud ayah.

"Aa mulai paham yah...", jawabku.

"Bagus... ayo kita mulai...", ucap ayah.




(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: hahaha.. on 15/10/2011 05:30

mengikuti om..
mohon maaf, sepertinya rada mulai jauhan dikit ama 'bela diri'..
makin seru acara 'serang diri' nya..

stem2 cell tadi2 nya dah rada2 asyik om.. mulai napak2 alur kuntulnya..

but, this's great, thanks om, salam.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 15/10/2011 21:45
@mas "hahaha",

Perjalanan masih panjang mas.

Buku ini akan menjelaskan hal yang berbeda seperti pada kebanyakan yang mas anut dalam sesuatu yang disebut dengan 'beladiri'. Jadi, kalau harapannya akan muncul teknik-teknik dahsyat, pertarungan maut yang tidak berkesudahan, mungkin itu akan jauh dari harapan mas. Atau seperti buku Kenji, atau Ashura, atau Chinmi. Saya mencoba mengambil dimensi yang berbeda. Pada 5 jilid pertama (buku kesatu, kedua, s/d kelima), itu akan membahas bagaimana perjalanan belajar seorang anak manusia dalam sudut pandang yang lain. Jilid 6, barulah akan mulai penerapan-penerapan keilmuan tersebut. Entah dalam melawan musuh, ataupun melawan diri sendiri.

Akan tetapi kalau ingin merenungi apa makna dari beladiri, makna dari keilmuan, bagi diri sendiri, dan kaitannya secara vertikal dan horizontal, barangkali Tembang Tanpa Syair akan bisa membawa manfaat.

Apalagi, kalau yang membacanya adalah seorang praktisi Merpati Putih, maka akan banyak kunci-kunci yang saya buka perlahan. Terkadang disamarkan, terkadang perlu direnungi, bahkan terkadang to the point. Tergantung mau melihat manfaat dari sisi apa.

Nanti, akan ada bagian yang khusus membahas fenomena getaran pada aspek-aspek lain, tidak hanya stem cell. Ada juga bagaimana ilmu getaran MP diterapkan pada normalisasi diabetes, pada tunanetra, dsb.

Intinya, keep in touch... ;)

Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca tulisan-tulisan saya.

Salam.
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 13/11/2011 02:22
Tembang Tanpa Syair - Bagian 26

Ada Bulan Dalam Cangkir



Suasana malam ini cukup hening. Suara jangkrik dan hewan malam sudah mulai terdengar. Angin berhembus sepoi-sepoi, menerbangkan beberapa dedaunan kecil. Api unggun  ang ada di tengah juga terlihat tenang. Lidah apinya tidak begitu aktif menjalar kesana-kemari.


Aku duduk di dekat api unggun. Beralaskan tikar kecil yang terbuat dari karet. Sementara ayah juga duduk di dekat api unggun, dengan alas berupa tikar kecil yang terbuat dari karet yang sama tetapi beda warna. Warna tikar kecilku hijau, sementara ayah berwarna biru. Tampak ayah sedang memasukkan ranting-ranting kecil yang sudah kering ke dalam perapian api unggun. Ada satu tikar lagi yang berwarna coklat.


"Yah, kapan mulai latihannya?", tanyaku memecah kehingan.


Ayah tersenyum ke arahku. Beberapa rambut putihnya terlihat seperti menyala oleh pantulan api unggun.


"Sebentar lagi.


Akan ada seseorang yang nanti akan menemanimu latihan untuk malam ini saja.", jawab ayah.


Aku mengerutkan dahi. Heran.


"Maksud ayah? Nanti ada yang datang lagi kesini? Malam-malam begini yah?", tanyaku penasaran.


"Iya. Benar sekali. Sebentar lagi juga sampai.", jawab ayah singkat.


Aku hanya manggut-manggut. Meskipun masih tidak mengerti, siapa yang ayah maksud akan datang malam ini untuk menemaniku latihan.


Belum hilang rasa keterkejutanku, dari kejauhan terdengar suara kendaraan mendekat.


Aku menoleh.


Sorot lampunya sudah mulai terlihat.


Sebuah sepeda motor melaju dengan kecepatan sedang menuju ke arahku. Dikemudikan oleh seorang laki-laki paruh baya berjaket hitam dan mengenakan helm berwarna hitam. Motor itu melambat, lalu mengambil tempat parkir disebelah mobil ayah. Aku masih penasaran dan memandangi siapa laki-laki itu. Aku hanya menatap punggungnya sambil melihat ia membuka helm hitamnya. Laki-laki itu membalik badan, dan mulai berjalan ke arah kami, ke arah api unggun. Dengan bantuan sinar rembulan dan pancaran api unggun seadanya aku melihat kalau laki-laki ini mengenakan kacamata hitam. Aku tersenyum. Aneh juga malam-malam begini mengenakan kacamata hitam.


Aku melihat ayah berdiri untuk menyambutnya. Secara spontan aku juga ikut berdiri.


"Selamat datang mas Giman... Terima kasih sudah menyempatkan diri untuk hadir memenuhi permintaan saya...", ucap ayah sambil menyalami laki-laki itu.


Salaman antara ayah dan laki-laki yang dipanggil 'Mas Giman' itu terlihat sangat hangat. Bahkan sudah menggunakan kedua tangan. Kira-kira dua puluh detikan mereka bersalaman sambil tersenyum. Aku bisa merasakan getaran damai dan persahabatan yang besar dari keduanya.


"Oh ya, ini kenalkan anakku. Namanya Akbar. Panggil saja Aa...


Aa, ini kenalkan mas Giman. Teman ayah...", ucap ayah sambil mengenalkanku kepada laki-laki yang dipanggil 'Mas Giman'.


Aku langsung mendekat dan menyalami Mas Giman. Aku mencium punggung tangannya, terasa hangat.


"Ayahmu sering bercerita mengenaimu. Bapak belum sempat bertemu muka denganmu. Bersyukurlah malam ini bapak bisa bertemu dengan kamu. Kamu sudah besar juga nak...", ucap laki-laki yang dipanggil 'Mas Giman' itu.


"Terima kasih pak.",  jawabku.


Tidak mungkin aku memanggilnya 'mas' seperti yang ayah lakukan, karena memang perbedaan usia diantara kami yang cukup besar. Usia pak Giman aku perkirakan antara 50 tahunan. Rambutnya sudah lebih banyak yang memutih dibandingkan ayah. Usianya juga lebih tua dibandingkan ayah.


"Ssst... jangan panggil 'Pak', panggil saja 'Mas'. Biar terdengar muda ya... Hehehe", ucap Pak Giman sambil tertawa kecil.


Aku tidak berani menjawab. Agak heran dan langsung menoleh ke arah ayah untuk meminta persetujuan.


Aku melihat ayah tersenyum dan mengangguk kecil.


"I... i... iya pak! Eh maaf ... Mas! ", jawabku agak kikuk.


Aku melihat ayah dan pak Giman saling berpandangan, lalu tertawa secara bersamaan.


"Hahahaha..."


Sementara aku hanya garuk-garuk kepala saja yang tentu saja sama sekali tidak gatal. Tertawa itu juga sekaligus mencairkan kekakuan yang ada. Baiklah, mulai sekarang aku akan memanggilnya 'Mas Giman' seperti yang ayah izinkan.


"Ayo, silahkan duduk mas...", ucap ayah mempersilahkan mas Giman untuk duduk.


Mas Giman mengambil tempat pada tikar yang sudah disediakan, lalu duduk bersila di depan api unggun. Ayah kembali beranjak duduk, barulah kemudian aku berani duduk kembali.


"Aa, nanti kamu akan berlatih bersama mas Giman ya. Apapun latihannya, pahami ya. Ayah ada perlu dulu malam ini.", ucap ayah.


Meskipun aku kurang memahami maksud ayah, tapi aku mengangguk. Ada perlu? Malam ini? Ayah mau kemana malam-malam begini di tempat seperti ini? Beberapa pertanyaan menggelayut di benakku.


"Mas Giman, jangan sungkan ya. Air minum, makanan, semua tersedia.", lanjut ayah.


Aku melihat mas Giman mengangguk.


"Ok... selamat berlatih ya... Saya tinggal dulu ya... Ada yang harus dilakukan.", ucap ayah sambil berdiri.


"Baik mas. Hati-hati mas.", jawab mas Giman.


"Iya yah...", jawabku.


Mataku memandangi punggung ayah yang bergerak menjauh sambil berjalan perlahan. Ayah kulihat berjalan menuju jalan setapak yang mengarah di belakang bukit di dekat air terjun itu. Entah apa yang akan dilakukannya. Sementara aku sendiri masih duduk berdua bersama mas Giman di dekat api unggun.


"Anu, pak... eh maaf.. mas, hehehe, kira-kira kita latihan apa ya malam ini?", tanyaku memberanikan diri.


Suasana memang sudah mulai cair setelah ayah dan mas Giman tertawa. Meskipun aku sedikit kagok. Tapi perlahan aku mulai bisa mengikuti suasana.


"Kata ayahmu malam ini mas Giman diminta ngajarin kamu sesuatu mengenai latihan getaran.", jawab mas Giman.


Dheg!


Aku kaget juga mendengar jawabannya.


"Eh, mas Giman bisa getaran juga?", tanyaku penasaran.


"Alhamdulillah bisa dikit-dikit aja sih. Mas Giman sudah latihan semenjak kamu masih umur enam tahunan kalau tidak salah. Dulu mas Giman ini tukang pijet ayahmu loh. Ingat tidak?", jawab mas Giman polos.


Aku mengerutkan dahi. Kalau usiaku saat itu enam tahunan, berarti ya sudah sepuluh tahunan mas Giman berlatih getaran bersama ayah. Seingatku, tukang pijit ayah yang dulu sering aku lihat itu buta atau tuna netra. Aku masih belum yakin.


"Mas Giman tukang pijit ayah? Bukannya seingat Aa kalau tukang pijit ayah itu tuna netra?", tanyaku lebih penasaran.


Aku melihat mas Giman tersenyum.


"Benar sekali nak, memang mas Giman ini seorang tuna netra...", jawab mas Giman.


Mas Giman kemudian melepas kacamata hitamnya. Lalu terlihatlah bentuk bola mata yang khas tuna netra. Agak pucat di tengahnya, pergerakan mata yang kurang teratur, dan arah pandangan yang tidak lumrah.


Aku sangat terkejut melihat ini.


"Lho, kalau mas Giman tuna netra, trus gimana caranya bisa naik motor dari rumah hingga sampai ke tempat ini mas? I.. i... ini rasanya mustahil!", ucapku dengan penuh keterkejutan.


Aku melihat mas Giman kembali tersenyum.


"Semua berkat ilmu getaran yang diajarkan dari ayahmu kepada mas Giman sehingga mas Giman bisa seperti ini...", jawab mas Giman.


"Sudah... ngobrolnya nanti saja. Nanti setelah latihan, mas Giman akan ceritakan bagaimananya. Sekarang ini, mas Giman diminta ayahmu untuk memperhalus latihan getaranmu. Mas Giman sendiri tidak tahu sudah sampai sejauh mana latihanmu. Mas Giman hanya diminta ayahmu untuk menajamkan pemahaman mengenai getaran deteksi. Itu aja pesen dari ayahmu.", lanjut mas Giman.


"I... iya mas...", ucapku.


"Baiklah, sekarang kamu lakukan saja langsung getaran pribadi. Mas Giman ingin tahu sejauh mana. Ambil jarak agak jauh saja dari api unggun ini.", pinta mas Giman.


Aku menurut.


Aku berdiri, dan berjalan sekitar lima langkah menjauh dari api unggun. Kemudian kembali duduk bersila dan memejamkan mata. Aku merapatkan kedua tangan, melakukan doa dalam hati memohon keselamatan dan kemudahan. Selesai berdoa, aku kembali membuka mata. Aku melihat mas Giman sudah mengambil tempat di tikar tempatku duduk. Jarak antara aku dengan mas Giman terpaut sekitar lima langkah.


"Silahkan dimulai...", ucap mas Giman.


Aku mengangguk.


Kupejamkan mataku. Aku menggerakkan kedua telapak tanganku di depan pusar. Kiri dibawah dan kanan diatas. Telapaknya saling berhadap-hadapan. Ada ruang kosong sekitar satu jari diantaranya.  Niatku untuk getaran kubentuk. Konsentrasiku perlahan mulai penuh, dan memuncak. Kusatukan semuanya pada rasa. Setelah itu aku menghirup nafas ringan dari hidung. Menurunkannya ke bawah pusar sambil memancarkannya. Kedua telapak tangan ini mulai bereaksi. Setelah itu kunaikkan tenaga getaran ini menuju jantung, dan kualirkan pada kedua lenganku dengan fokus pada telapak tangan. Pancaran pada kedua telapak tangan mulai begitu terasa. Semakin tebal. Nyata.


"Bagus... pertahankan! Sekarang serap getaran alam dari langit dan bumi lalu gabungkan dengan getaran pribadimu...", ucap mas Giman.


Eh... mas Giman tahu juga istilah-istilah itu. Aku kembali menurut. Karena instruksi yang seperti ini juga sering diperintahkan oleh ayah saat ayah melatihku. Niatku kini mengarah pada getaran alam, konsentrasiku memusat. Setiap tarikan nafas ini menarik getaran alam dari langit dan bumi. Bumi, melalui bagian tubuh yang menempel di tanah. Dan langit, melalui bagian tubuh yang tidak menempel di tanah.


Menggabungkan keduanya.


Menggabungkan semuanya.


Mengolahnya menjadi daya.


Saat semua menyatu, seluruh jiwa ragaku seperti melebur. Terasa seperti berkelana di hamparan sunyi. Denyutan kecil mulai terjadi di ubun-ubunku. Terasa juga hingga otak kecilku. Merambati setiap permukaan kulitku. Perlahan namun pasti, guratan abstrak mulai terbentuk. Seperti 'melihat' keadaan sekeliling bagai riak gelombang bak batu dijatuhkan ke sungai. Seluruh tubuhku mulai bereaksi, kepekaan yang meningkat ratusan kali lipat. Ruang kosong diantara kedua telapak tanganku yang berada di depan pusar seperti sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Sudah terasa sangat 'penuh'. Kedua telapak tanganku semakin tertolak untuk melebar.


"Bagus... pertahankan! Sekarang dorong kedua tanganmu perlahan ke depan sambil memperbesar ruang diantara kedua telapak tanganmu pada posisi sejajar...", ucap mas Giman.


Aku menurut. Rasanya memang sudah begitu 'penuh'. Aku menggerakkan perlahan kedua tanganku ke depan sambil memperbesar ruang kosongnya. Sementara itu 'tarikan' getaran alam dari bumi dan langit masih terus terjadi. Getaran pribadiku jadi 'pemancing'.  Lebar ruang kosong itu kini sudah satu meter. Uuh, itupun masih terasa 'penuh'. Aku lebarkan lagi hingga kedua tanganku terentang lebar ke kanan dan kiri. Pancaran getaran pribadiku yang berinteraksi dengan getaran alam dari bumi dan langit mulai semakin terasa jelas. 'Rabaan' dari kedua telapak tangan ini semakin kuat.


"Bagus sekali!..", ucap mas Giman.


"Sekarang ... 'raba'-lah sekelilingmu...", pinta mas Giman.


Aku mengikuti ucapan mas Giman. Kedua telapak tanganku mulai 'meraba' ke sekelilingku. Semua mulai 'terlihat'. Perbedaan hitam dan putih pada setiap yang terkena 'rabaan' ini. Indah sekali. Guratan-guratan abstrak yang luar biasa.


Pohon, batu, kayu, ranting, dedaunan yang sudah ditanah, dedaunan yang baru jatuh, dedaunan yang sedang jatuh. Aliran udara. Air. Api, lidah api yang bergerak kesana kemari. Semua 'terlihat' meski tampak 'terlihat' berbeda. Mas Giman sendiri tampak 'bercahaya' dalam 'pandanganku'.


"Hebaaat...!", puji mas Giman.


"Sekarang berdirilah... dengan tetap mempertahankan kondisi seperti itu...", ucap mas Giman.


Aku menurut. Perlahan aku berdiri. Eh, aliran getaran dari langit dan bumi semakin deras masuk ke tubuh ini. Pancaranku mulai melebar ke sekeliling.


"Bagus...! Di tangan mas Giman ada suatu benda. Coba deteksi apa ini...", pinta mas Giman.


Segera setelah mas Giman selesai, kedua tanganku kuarahkan ke posisi mas Giman. Bagiku kini mudah sekali mendeteksi posisi mas Giman. Pancaran getaran dari kedua tanganku mengarah pada lokasi tempat mas Giman duduk. Pancaran getaranku mengenai obyek yang ada dalam pegangan tangannya.


Drrt... drrt... drrt..!


Sentuhan antara getaran yang kupancarkan dan obyek yang ada di tangan mas Giman begitu terasa. Pantulannya jelas sekali. Terbayang dan berbayang.


"Ranting kayu!", jawabku dengan mantap.


"Bagus...! Sekarang berjalanlah mendekat, lalu raih ranting ini...", pinta mas Giman sekali lagi.


Aku menurut.


Dengan tetap mengarahkan kedua telapak tanganku pada arah obyek yang dipegang mas Giman, aku bergerak perlahan sambil melangkah kecil. Aku mengikuti rasa yang ada pada kedua telapak tanganku. Semakin dekat, 'sentuhan' getaran yang kupancarkan dengan obyek yang ada di tangan mas Giman semakin terasa.


Satu langkah.


Dua langkah.


Tiga langkah.


Empat langkah.


Empat langkah setengah.


'Sentuhan' itu semakin besar saja. Aku gerakkan tangan kananku perlahan sambil mengikuti rasa getaran yang ada. Dengan sedikit membungkuk, aku mencoba mengambil ranting kayu di tangan mas Giman.


Teppp!


Ranting itu berhasil kuraih.


Aku tersenyum.


"Bagus sekali...! Cukup saja dulu. Sekarang, tutup kembali getaranmu...", ucap mas Giman.


Aku menurut.


Ranting itu kuletakkan disamping kaki kananku. Dengan masih berdiri, aku mengatupkan kedua tanganku perlahan. Kemudian 'memutus' aliran getaran alam dari langit dan bumi sehingga kembali pada getaran pribadiku. Dengan beberapa tarikan nafas ringan, aku menarik kembali tenaga getaranku ke bawah pusar. Kembali dari hamparan sunyi. Pusarku terasa menghangat. Perlahan, aku membuka mata lalu berjalan sedikit melewati mas Giman untuk duduk di tikar tempat ayahku duduk.


"Hebat...! Hebat sekali...!", puji mas Giman.


Sejak tadi, aku terus dipuji dan dipuji. Tanpa sadar perasaanku seperti melambung tinggi. Aku merasa nyaman mendengarnya. Entahlah, seperti ada yang menggelitiki hatiku dan ingin terus mendengar kalimat-kalimat seperti itu. Selama ini, ayah hampir tidak pernah memujiku. Meskipun aku berhasil melakukan apa yang ayah mau, tapi tetap saja yang keluar dari ucapannya adalah hal-hal yang biasa-biasa saja. Mendengar mas Giman memujiku berulang kali tanpa sadar menimbulkan suatu perasaan aneh di hatiku.


"Kamu rupanya berlatih dengan sangat baik... Mas Giman sampe bingung mau ngapain ya? Sebab kalau mas Giman lihat, kamu keliatannya sudah memahami bahwa getaran itu sebenarnya cuman konversi dari power saja. Itu bisa mas Giman 'lihat' saat kamu mengerahkan getaran pribadimu. Dan kamu juga keliatannya sudah mulai bisa menggabungkan getaran dari langit dan bumi dengan getaran pribadimu. Sampe situ sebenernya udah lebih dari cukup. Saat mulai deteksi, kamu juga bisa memancarkan pada lokasi mas Giman. Dan akhirnya kamu bisa nyentuh obyek dan mengambil ranting di tangan mas Giman ini. Semua udah terwakili kayaknya. Makanya mas Giman bingung mau ngapain lagi nih?", ucap mas Giman sambil senyum-senyum.


Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa.


"Gini aja deh... Mas Giman pengen kamu dekatkan kedua telapak tangan kamu ke api unggun ini. Lalu pancarkan getaranmu kesitu. Setelah itu rasakan. Paham?", tanya mas Giman.


Aku mengangguk.


"Paham. Trus, setelah itu gimana mas?", jawabku sambil bertanya balik.


"Nah, kalau sudah bisa kamu rasakan, mas Giman pengen kamu harus bisa merasakan adanya 'kehidupan' di api unggun ini. Gimana?", tanya mas Giman kembali.


Keningku berkerut. Aku masih belum paham maksud dari mas Giman. Mas Giman tampaknya menyadari kebingunganku.


"Jangan dipikirkan... tapi rasakan. Kebanyakan mikir malah jadi bingung sendiri loh. Hehehe.


Gini, mas Giman kasih petunjuknya aja ya...", ucap mas Giman.


Aku melihat tangan kanan mas Giman masuk ke saku kanan celananya, lalu mengeluarkan secarik kertas. Setelah itu mas Giman mengarahkan telapak tangan kirinya pada kertas tersebut dan membacanya.


Aku terkejut. Apa mataku tidak salah lihat??? Membaca tulisan di kertas? Seorang tuna netra? Bagaimana bisa?


"He... hebat sekali mas Giman ini...!", gumamku dalam hati.


Tanpa sadar aku memujinya. Memang, sejak awal aku mengetahui kalau mas Giman seorang tuna netra, aku sudah mulai kagum kepadanya. Apalagi sampai mampu naik sepeda motor sendirian. Aku tidak bisa membayangkan jarak yang ditempuh, berkelok-kelok, bertemu lampu merah, perempatan, kendaraan-kendaraan lain baik yang searah maupun yang berlawanan, dan sebagainya. Apalagi sekarang ditambah dengan membaca tulisan di kertas. Uuh, kemampuan seperti apa lagi yang bisa dilakukan oleh ilmu getaran ini? Sejauh ini, aku belum pernah dijelaskan banyak hal oleh ayah. Ayah hanya bilang kalau ilmu ini sangat istimewa. Itu saja. Tapi sejauh mana keistimewaannya, aku sendiri tidak tahu. Saat ini, aku memang bisa merasakan ini dan itu dengan getaran, tapi tak pernah kusangka bisa sejauh ini. Bahkan aku merasa ilmu getaran itu bisa jauh lebih dari yang aku lihat pada sosok mas Giman ini.


Mas Giman mulai membaca tulisan yang ada di kertas putih itu dengan telapak tangannya.


"Dari alam semesta menjadi sebuah kekuatan,


Diolah jadi rasa,


Peraba menjadi daya cipta yang dilihat oleh naluri.


Dikendalikan oleh mata hati.", lanjut mas Giman.


Mas Giman mengulangi kata-kata itu hingga beberapa kali.


Aku terdiam mendengar ucapan mas Giman, memejamkan mata, lalu meresapkan dalam hati.


"Dah... itu aja sih. Jelas khan?", tanya mas Giman.


Aku mengangguk.


"Iya mas Giman... jelas...", jawabku mantap.


"Ok. Kalau gitu, selamat merasakan ya. Mas Giman mau rebahan dulu di depan tenda. Kalau udah ketemu adanya 'kehidupan' di api unggun itu. Kasih tau mas Giman ya. Atau bangunin mas Giman ya.", ucap mas Giman.


"Iya... Ini ga akan lama kok mas Giman. Hehehe...", jawabku dengan yakin.


Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 13/11/2011 02:22
Mas Giman tidak menjawabnya, tapi langsung berdiri dan berjalan melewatiku menuju tikar panjang di depan tenda. Setelah itu beliau rebahan disitu.


Aku memandangi api unggun itu. Mulai bertanya apakah ada 'kehidupan' disitu seperti yang dimaksud oleh mas Giman. Penasaran, aku geser tempat dudukku. Lalu telapak tangan kananku kuhadapkan pada api unggun. Mataku terpejam, lalu kupancarkan getaran melalui telapak tanganku pada api unggun itu.


Lima detik. Sepuluh detik. Aku tidak merasakan adanya keanehan. Hanya terasa 'sentuhan' antara getaranku dengan energi panas dari api unggun itu.


Penasaran, aku coba lagi. Sekarang dengan dua tangan. Kupancarkan lagi getaran melalui kedua telapak tanganku pada api unggun itu.


Sepuluh detik. Dua puluh detik. Tiga puluh detik. 'Rasa'-nya masih sama. Tidak ada keanehan. Tapi kenapa mas Giman bilang ada 'kehidupan' pada api unggun ini?


Aku terduduk diam. Entah berapa lama. Ini menjadi lebih sulit dari yang aku perkirakan.


Perlahan aku tertunduk. Memejamkan mata. Membuka telapak tangan, dan mencoba lagi. Hasilnya sama saja. Aku tidak menemukan 'rasa' yang aneh disitu. Mencoba lagi dan lagi. Entah sudah berapa banyak aku mencoba. Hingga peluhku sudah mulai sebesar jagung.


Aku putuskan untuk istirahat dulu. Tenggorokan ini rupanya sudah mulai terasa kering. Aku berdiri dan berjalan menuju rak minuman yang sudah ayah buat sebelumnya. Sebuah cangkir yang berukuran cukup besar aku ambil. Lalu kuisi dengan air secukupnya hingga setinggi tiga perempat cangkir lebih. Kuteguk satu kali. Segar sekali air ini di tenggorokanku. Sambil membawa cangkir tersebut, aku kembali ke tempat dudukku di dekat api unggun.


Aku mulai merenung. Sambil memandangi api unggun di depanku. Sinar bulan mulai menyeruak, rupanya awan-awan yang ada mulai bergerak akibat pengaruh angin musim. Uuh, Ini ternyata tidak semudah tadi. Sebelumnya aku begitu lancar. Hingga mas Giman berulang kali memujiku. Aku melihat ke arah mas Giman yang masih berbaring. Aku tidak tahu apakah beliau tertidur atau sedang senyum-senyum saja.


Tangan kananku kembali meraih cangkir air minum. Sesaat sebelum meminum airnya, cangkir itu terhenti di depanku. Pandangan mataku tertumbuk pada pantulan bentuk bulan yang tercermin di air. Meski tidak rapi benar karena terbentuk riak-riak air, tapi aku tahu kalau itu pasti bulan yang terpantul di air.


Dheg...!


Aku merasa menemukan sesuatu.


Aku buru-buru meletakkan cangkirku kembali di tanah. Kini kupilih yang lebih datar. Mataku kini mengamati benar bentuk bulan yang tercermin disitu. Awalnya, karena masih ada riak gelombang disitu, bentuk bulan menjadi 'rusak'. Tapi setelah aku diamkan beberapa waktu seiring dengan riaknya yang mulai menghilang, bentuk bulan mulai terlihat jelas. Eh, aku bisa melihat bulan dari cangkir ini.


Tiba-tiba aku teringat ucapan ayah, "hidup ini adalah proses yang amat rumit, ada banyak hambatan dan halangan di dalamnya. Kalau kamu ingin naik ke level yang tinggi, maka hambatan dan halangan itu harus kamu lalui, harus kamu hilangkan. Pisahkan dulu antara energi positif dan negatif. Barulah setelah itu kamu akan bisa naik setingkat lebih tinggi. Diam adalah suatu sikap. Tenang adalah suatu sikap. Hening adalah suatu sikap. Semuanya menuju mata hati."


Aku tersenyum.


Bulan dalam cangkir itu tidak akan bisa terlihat jelas kalau riak gelombang pada air di cangkir masih banyak. Kalaupun terlihat, maka bentuknya tidak seperti yang sebenarnya. Cangkir itu harus aku tenangkan dulu, didiamkan, agar riak gelombangnya menjadi lembut.


Didiamkan. Ditenangkan. Dilembutkan.


Diam adalah suatu sikap. Tenang adalah suatu sikap. Hening adalah suatu sikap. Semuanya menuju mata hati.


Hening... menuju mata hati.


"Ayah... aku mulai paham...", ucapku dalam hati.


Aku mulai memejamkan mata, diam, tenang. Kedua telapak tangan aku hadapkan pada api unggun tersebut. Memancarkan getaran terhadapnya. Perlahan, aku masuk pada tahap 'bulan dalam cangkir'. Masuk pada tahap hening, menuju mata hati.


"Eh.. ini... ini... kok bisa???", ucapku perlahan secara spontan.


Aku terkejut.


Api ini menjadi terasa berbeda! Sangat berbeda!





(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 18/11/2011 19:58
Tembang Tanpa Syair - Bagian 27

Bukan Mata Ini Yang Buta


Aku langsung melompat kaget saat 'sentuhan' getaranku mengenai api unggun itu. Aku berdiri terdiam. Rasa yang sangat unik itu benar-benar lain saat sebelum aku masuk pada tahap 'bulan dalam cangkir'. Perbedaannya nyata sekali. Saat masuk dalam tahap hening, saat ketika hambatan-hambatan itu aku singkirkan dan mulai 'menjernihkan' hati, maka aku seperti tertarik masuk lebih dalam lagi.

Aku bergegas menuju tempat mas Giman beristirahat. Membungkukkan badan, lalu memanggilnya perlahan.

"Mas Giman...", ucapku perlahan memanggilnya.

Mas Giman menoleh.

"Gimana?", tanya mas Giman bersemangat.

"I... iya mas...", jawabku terbata-bata.

Aku melihat mas Giman buru-buru duduk menghadap ke arahku.

"Wuiih... cepat sekali! Beneran udah?", puji mas Giman.

Aku mengangguk.

"Sejujurnya Aa ngga tau sih apa ini yang dimaksud oleh mas Giman. Tapi memang rasanya sangat berbeda dibanding sebelumnya.", ucapku bersemangat.

Aku melihat mas Giman tersenyum.

"Duduklah dulu...", pinta mas Giman.

Aku menurut. Aku mengambil tempat duduk di dekat salah satu sudut tikar yang diduduki oleh mas Giman. Tikar itu cukup lebar. Lebarnya cukup untuk dua orang dewasa tidur disitu.

"Tadi, susah? Atau mudah?", tanya mas Giman.

"Awalnya sih susah mas. Aa udah coba berkali-kali, tapi tetap 'rasa'-nya sama saja. Diulangi sampe beberapa kali juga ga ada pengaruh.", jawabku.

"Trus?", tanya mas Giman penasaran.

"Ya akhirnya Aa istirahat dulu. Minum dulu pake cangkir yang itu...", jawabku sambil telunjuk tangan kananku menunjuk pada cangkir yang saat ini masih berada di dekat api unggun.

"Saat kemudian ingin minum lagi, ga sengaja Aa melihat pantulan bulan pada air di dalam cangkir. Pantulannya saat itu masih terlihat samar dan tidak jelas. Karena terhalang oleh riak gelombang air di dalam cangkir. Tapi setelah Aa letakkan cangkir itu di tempat yang agak datar, trus Aa memperhatikan  pantulan bulan yang ada di dalam air, Aa serasa dapet ide mas.", lanjutku.

"Oh ya?", ucap mas Giman.

Kepalanya manggut-manggut.

"Setelah didiamkan beberapa saat, riak gelombangnya sudah mulai 'hilang' dan di dalam cangkir ini kini terlihat 'wajah' bulan itu mas. Aa teringat ucapan ayah kalau hidup ini adalah proses yang amat rumit. Ada saja halangan dan rintangannya. Timbul ide, kalau ingin terlihat 'bulan dalam cangkir' maka gelas harus didiamkan, ditenangkan, dilembutkan. Tenang adalah suatu sikap untuk menuju keheningan. Kalau tidak tenang, tidak akan bisa masuk pada hening. Kalau tidak hening, maka tidak akan bisa masuk pada mata hati. Kalau nalar tidak pas, tunda dulu. Kalau hati tidak yakin, jangan teruskan. Kalau mantap dua-duanya, barulah dilanjutkan. Begitu mas yang dulu ayah katakan. Kalau kondisi itu digabung dengan tahap 'bulan dalam cangkir', maka hasilnya menjadi sangat berbeda.", ucapku menjelaskan singkat dengan bersemangat.

"Hebaaat... ayah hebat punya anak hebat!", puji mas Giman.

Aku hanya garuk-garuk kepala saja.

"Ah mas Giman ini bisa aja... Muji-muji mulu...", jawabku malu-malu sambil tersenyum simpul.

"Trus, bagaimana 'rasa' api itu sekarang?", tanya mas Giman.

"Saat Aa masuk pada tahap 'bulan dalam cangkir', Aa merasa seperti ada denyutan kecil pada api itu mas. Seperti ada 'detak jantung' kecil pada api itu. Berdetak. Berdenyut. Denyutannya terasa sekali. Meski sangat kecil dan halus. Begitu konsentrasi buyar dikit, denyutan itu hilang sudah.", jawabku menjelaskan.

"Ya, seperti itulah. Akan ada 'rasa' yang berbeda manakala hati kita jernih. Saat kita tidak berambisi terhadap sesuatu. Atau lebih tepatnya, saat kita ikhlas.", ucap mas Giman singkat.

Aku mengangguk. Membenarkan ucapan mas Giman.

Saat aku ingin sekali merasakan, aku malah tidak bisa merasakan. Saat aku bernafsu ingin sekali mengetahui bagaimana rasanya, aku malah tidak bisa mencapai itu. Saat aku terus memikirkan seperti apa rasanya, aku malah buyar. Tapi saat aku 'melepas' keinginan, maka seluruh sel-sel dan syaraf di tubuhku seperti generator yang sangat kuat. Plong. Tanpa hambatan. Sepertinya, saat aku 'terprogram' untuk ingin sekali merasakan 'rasa'-nya, maka aku semakin tidak bisa merasakan apa-apa. Tapi semakin aku ikhlas, maka 'rasa' itu muncul dengan sendirinya. Kuat, dan menguat.

"Anu... mas, boleh nanya ga?", tanyaku kepada mas Giman.

"Boleh. Silahkan...", jawab mas Giman.

"Apakah dulu ayah mengajarkan getaran ke mas Giman sama seperti yang ayah ajarkan ke Aa?", tanyaku penasaran.

Jujur, aku ingin tahu. Karena banyak hal yang aku tidak ketahui mengenai ilmu ini. Saat melihat sosok mas Giman, aku jadi lebih bisa melihat banyak hal lagi mengenai ilmu getaran. Menjadi sangat menarik dan unik. Apalagi ilmu ini ternyata banyak berbicara mengenai 'rasa'. Bukan rasa seperti halnya kulit kita dicubit atau rasa seperti halnya kulit kita kena dingin dan panas. Tapi 'rasa' di dalam rasa. Ada kontak dengan mata hati. Sesuatu yang lebih dalam lagi

"Beda...", jawab mas Giman singkat.

"Beda?", tanyaku dengan kening berkerut.

"Iya. Sebenarnya pengetahuanmu mengenai getaran jauh lebih baik dibanding mas Giman loh. Termasuk kemampuanmu yang kamu tunjukkan itu.", ucap mas Giman.

"Dulu, ayahmu hanya mengajarkan tiga jenis kemampuan kepada mas Giman. Pertama, kemampuan untuk meningkatkan orientasi mobilitas. Begitulah bahasa ayahmu. Intinya, meski buta, mas Giman masih punya potensi untuk dikembangkan. Potensi naluri. Dan inilah yang dilatih oleh ayahmu kepada mas Giman. Kedua, kemampuan deteksi benda, termasuk di dalamnya perbedaan jarak dan bentuk. Ini mengarah pada kemampuan halang rintang. Bagaimana menghindari halangan dan rintangan. Ketiga, kemampuan deteksi warna. Itu saja dulu mas Giman dapetnya.", lanjut mas Giman.

"Memangnya dulu mas Giman mau langsung latihan getaran sama ayah?", tanyaku penasaran.

"Ya awalnya sih ngga tau dan ngga mau. Tapi karena ayahmu bilang kalau waktu yang dipake buat latihan akan digantikan sebagai ongkos pijat. Ya mas Giman jadi mau. Hehehe.", jawab mas Giman.

"Awalnya memang sulit, karena mas Giman sendiri ga tau itu latihan apa. Mas Giman ikutin aja terus, karena ya setiap selesai latihan, mas Giman khan dibayar sebesar ongkos pijat normal selama satu hingga dua jam.

Saat latihannya masuk pada materi deteksi ruang kosong-isi itulah mas Giman baru menyadari kalau yang dikatakan ayahmu itu benar adanya.", lanjut mas Giman.

"Deteksi ruang kosong – isi? Maksudnya?", tanyaku kembali.

Aku melihat mas Giman tersenyum.

"Ya setelah ayahmu mengajarkan mas Giman beberapa bentuk olah nafas yang disebut dengan olah nafas Pengolahan tingkat dasar, setelah itu mas Giman disuruh membentuk gerakan seperti ini...", jawab mas Giman.

Tangannya bergerak di depan dada tapi dengan telapak tangan tidak bersentuhan.

"Pada ruang kosong diantara kedua telapak tangan mas Giman ini terasa sesuatu. Seperti 'bola' air yang sangat lunak. Hangat.", lanjut mas Giman.

Aku mengangguk. Latihannya agak mirip seperti yang pernah ayah ajarkan padaku.

"Setelah itu mas Giman mendorongkan kedua telapak tangan ini ke depan, dan diminta oleh ayahmu untuk membedakan rasa saat ada benda dan tidak ada benda. Termasuk juga naluri saat ada benda dan tidak ada benda. Mas Giman bisa merasakan di hati ini kalau benda itu ada disitu. Kalau dipindah, ya naluri mas Giman bisa merasakan kalau benda itu sudah tidak pada tempatnya lagi. Sudah dipindah. Itulah pengertian dari kosong-isi. Dan memang rasanya sangat berbeda sekali saat ada benda dan saat tidak ada benda.", ucap mas Giman.

"Meskipun heran dan aneh, tapi mas Giman mulai merasakan manfaatnya. Setelah latihan itu, setiap kali mas Giman menggerakan tangan kemana saja mas Giman bisa merasakan keberadaan benda disekitar mas Giman. Dari 'rabaan' itu. Rasanya sangat unik dan menyenangkan. Apalagi saat mas Giman 'meraba' permukaan meja, mas Giman bisa merasakan ada benda disitu. Meski mas Giman belum tahu apa bendanya. Tapi mas Giman bisa merasakannya dan bisa meraihnya. Lambat laun, kemampuan kepekaan melakukan 'rabaan' itu meningkat secara drastis.", lanjut mas Giman.

"Kok bisa? Memangnya mas Giman melatih sendiri di rumah?", tanyaku penasaran.

"Mas Giman sih sebenernya gak melatih secara khusus. Tapi ya karena mas Giman buta, rasa 'rabaan' itu sesuatu yang baru buat mas Giman. Akhirnya ya setiap saat selalu terpakai kemampuannya. Semakin lama, semakin peka dan semakin mudah merasakan keberadaan benda di sekeliling mas Giman. Awalnya dari telapak tangan, kemudian setelah itu merembet sendiri ke bagian yang lain.", jawab mas Giman.

"Setelah kira-kira tiga bulanan, mas Giman sudah bisa melakukan apa yang disebut ayahmu sebagai tahap deteksi benda pada model 'halang-rintang', yakni mas Giman harus bisa melewati tonggak-tonggak kayu yang disiapkan secara acak oleh ayahmu. Dan mas Giman tidak boleh nabrak.", lanjut mas Giman.

"Trus, mas Giman bisa?", tanyaku.

Aku melihat mas Giman mengangguk.

"Tentu saja. Karena kepekaan mas Giman dilatih setiap saat, maka proses melewati tonggak-tonggak itu menjadi cukup mudah untuk mas Giman. Sekarang, setiap kali bagian tubuh mas Giman bergerak, maka mas Giman bisa merasakan keberadaan benda di sekelilingnya. Naluri mas Giman terus menerus diasah untuk itu.", jawab mas Giman.

"Seperti sekarang ini... disitu ada tali. Ada tikar. Itu batas tikarnya. Ada batu disitu. Disebelah kanan ini ada sendal mas Giman. Di belakangnya ada tali. Di depan situ ada cangkir minummu. Termasuk juga kaos yang kamu pakai itu berwarna biru. Dan banyak lagi...", lanjut mas Giman.

Aku melihat tangannya bergerak perlahan ke kanan dan ke kiri. Bergantian antara tangan kanan dan kiri. Terkadang dengan telapak tangan terbuka ke atas, terkadang dengan telapak tangan terbuka ke bawah. Juga kepala mas Giman yang bergerak perlahan ke kanan dan ke kiri. Seolah merasakan pada pipi kanan dan kiri.

"Eh... benar juga...", gumamku dalam hati.

"Semua karena mas Giman melatih ini...", ucap mas Giman sambil tangan kanannya mengarah di tengah dadanya.

"Semua karena mas Giman melatih hati... mata hati. Ilmu getaran ini akan menajamkan mata hati. Tajam, peka. Peka terhadap diri sendiri, peka terhadap sekeliling.", lanjut mas Giman.

Aku mengangguk kembali. Membenarkan ucapan mas Giman. Itu jugalah yang sering dikatakan oleh ayah. Hanya saja, latihan yang ayah berikan pada mas Giman begitu sederhana. Sangat berbeda dengan latihan yang diberikan ayah kepadaku. Hanya melakukan olah nafas tingkat dasar, lalu ditambah latihan tertentu untuk peningkatan kepekaan tubuh sudah membuat mas Giman bisa seperti ini? Hebat sekali. Aku semakin kagum pada mas Giman, dan juga pada ayah. Dengan kecerdasannya, ayah memberikan materi tingkat dasar dengan penerapan yang berbeda untuk tunanetra. Dan berhasil.

Latihannya sangat sederhana. Tidak ada hal-hal yang aneh atau klenik di dalamnya. Dimulai dari belajar melakukan bentuk-bentuk olah nafas tertentu yakni nafas Pengolahan dan Nafas Pembinaan untuk tingkat dasar, kemudian dilanjutkan dengan latihan kepekaan yakni dari membedakan antara ruang kosong dan ruang berisi benda. Terus saja seperti iti dipertajam dan diperhalus hingga bisa menemukan perbedaan rasa antara kosong-isi. Aku mulai paham, keberhasilan mas Giman dengan cepat adalah karena mas Giman memang tidak punya ambisi untuk bisa. Mas Giman mengikuti begitu saja setiap latihan dan instruksi dari ayah tanpa penolakan, tanpa bertanya, dan tanpa memikirkan. Mas Giman melakukannya. Terus dan terus. Seluruh sel-sel syarafnya mengikuti setiap proses latihan. Dan di rumah, mas Giman mengasahnya terus menerus. Tentu saja, sebagai seorang tuna netra, mas Giman tidak mengenal kapan siang dan malam menggunakan teori jam. Baginya sama saja. Siang ataupun malam, hanya kegelapan yang menemani. Tidak ada bedanya antara merah dan biru. Semua hanya berada pada gradasi antara hitam dan putih. Dengan ilmu getaran ini, sosok mas Giman seperti 'dilahirkan kembali'. Terasa sekali semangatnya, peningkatan kemampuannya, dan apa yang bisa dilakukan olehnya.

"Setelah mulai berkenalan dengan konsep warna pada getaran, mas Giman mulai memandang lain pada apa yang diajarkan oleh ayahmu ini. Juga terhadap sosok ayahmu itu.", ucap mas Giman.

Aku melihatnya tersenyum kecil. Terasa sekali ada penghormatan pada nada bicaranya.

"Setiap kali mas Giman ingin berterima kasih, ayahmu selalu menolak dan mengatakan agar berterima kasihlah pada Allah SWT dan juga yang menemukan ilmu getaran ini. Yakni para sesepuh, guru ayah, dan guru dari guru ayah, gurunya dari gurunya guru ayah, hingga terus pada silsilah para pendahulunya. Ayahmu hanyalah sebagai perantara saja. Begitu kata ayahmu.", lanjut mas Giman sambil tersenyum.

"Ada kalimat dari ayahmu yang selalu mas Giman kenang dan teringat. Setiap kali mengingatnya, mas Giman selalu ingin menangis.", ucap mas Giman.

"Sesaat setelah mas Giman sudah dianggap berhasil melakukan apa yang ayahmu minta, ayahmu berkata seperti ini...", lanjut mas Giman sambil bercerita.

***

"Mas Giman, masih ingat dulu pertama kali mas Giman mengeluh pada saya mengenai keadaan mata mas Giman yang buta? Nah, bagaimana sekarang setelah saya latih?", ucap ayah.

"Iya mas. Ini jauh lebih baik sekarang...", jawab mas Giman.

"Alhamdulillah. Sesungguhnya bukan mata mas Giman yang buta. Tapi hati yang di dalam dada mas Gimanlah yang buta. Yang merasa minder, ketakutan, kekhawatiran karena merasa kekurangan. Kalau hati mas Giman dilatih, maka mas Giman akan mendapatkan 'penglihatan' mas Giman kembali. 'Penglihatan' yang tidak kalah hebatnya dengan mata orang normal. Beratus-ratus kali lipat lebih baik dari mata normal. Lebih luas, lebih jauh, dan lebih tajam...", ucap ayah.

"Ini adalah jodoh, bahwa ilmu ini bisa bermanfaat untuk mas Giman. Bersyukurlah pada Allah SWT.", lanjut ayah.

"Ingatlah, bahwa bukan mata ini yang buta tapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada. Yang buta ialah mata hati. Jadi, kalau 'mata' dan 'telinga' di dalam dadanya ini belum berfungsi, maka orang itu akan buta. Ia tak akan bisa melihat apa-apa. Tak akan bisa melihat makna.", tutup ayah.

***

Aku melihat mas Giman mengatupkan kedua kelopak matanya. Bola matanya agak bergerak-gerak. Sepertinya ada desakan perasaan yang ingin keluar setelah menceritakan ini.

Suasana menjadi sunyi.

"Jadi ya mas Giman latihannya seperti itu saja selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun.", ucap mas Giman memecah kesunyian.

Aku melihat mas Giman berusaha tersenyum.

"Loh, trus tadi khan mas Giman juga tau istilah-istilah getaran pribadi, bumi, angkasa, dan sebagainya.", tanyaku lebih penasaran sambil berusaha mencairkan suasana.

"Nah, kalo itu ceritanya panjang. Hehehe...", jawab mas Giman sambil tertawa kecil.

"Termasuk juga kenapa tempat ini yang dipilih oleh ayahmu. Itu juga ada sejarahnya. Disini juga dulu ayahmu mengajarkan materi lanjutan kepada mas Giman. Makanya mas Giman bisa tahu istilah-istilah itu. Mas Giman sih ngga minta, ayahmu yang mau. Katanya itu jodoh. Kalo jodoh, ga usah dikejar juga dateng sendiri atau didatengi. Justru kalo semakin berambisi, malah menjauh.", lanjut mas Giman.

Aku mulai paham.

"Terima kasih mas Giman atas ceritanya. Ini banyak memberikan pengetahuan buat Aa...", ucapku tulus.

Aku melihat mas Giman mengangguk.

"Ayo, sekarang kita belajar getaran untuk deteksi...", ucap mas Giman bersemangat.

Aku melihat mas Giman berdiri dan berjalan melewatiku. Mas Giman berhenti kira-kira ditempatku duduk.

"Sini, kita mulai...", pinta mas Giman.

Aku mengangguk.

"Siap mas!", jawabku bersemangat.




(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 31/01/2012 16:01
Tembang Tanpa Syair - Bagian 28


THEG...



Mas Giman berdiri. Berjalan perlahan. Mengambil jarak kira-kira lima meter dari tempatku, bergerak menuju salah satu pohon di seberang api unggun. Aku memandangi punggungnya yang berjalan menjauh.

Setelah sudah dekat dengan pohon, beliau kemudian berbalik. Tangannya melambai ke arahku, memintaku untuk mendekatinya. Aku menurut, lalu berjalan perlahan menuju arah yang sama. Baru lima langkah berjalan, mas Giman menyuruhku berhenti.

"Stop... disitu saja...", ucap mas Giman.

Aku berhenti.

"Malam ini, mas Giman akan ajarkan sesuatu yang mas Giman dapatkan dari ayahmu. Entah apakah ini sudah pernah kamu dapatkan atau belum, mas Giman tidak tahu. Nanti kamu rasakan saja.", ucap mas Giman.

Aku mengangguk.

"Yang mas Giman ajarkan ini adalah kemampuan untuk mengolah naluri, untuk melakukan sambung rasa. Agar kamu mengikuti kreteg hati. Agar bisa merasakan 'theg' di hati. Caranya mudah, kamu tidak perlu melakukan hal yang aneh-aneh, tidak pula harus melakukan sesuatu yang tidak wajar.

Mas Giman hanya minta kamu tutup mata kamu. Lalu ikuti gerakan tangan mas Giman. Kalau mas Giman angkat tangan kiri, maka kamu ikuti dengan mengangkat tangan kiri. Kalau mas Giman angkat tangan kanan, maka kamu ikuti dengan mengangkat tangan kanan. Paham?", lanjut mas Giman.

"Aa paham mas..", jawabku.

"Baiklah. Sekarang tutup matamu. Tutup dengan sempurna. Kalau ragu, kamu boleh pakai penutup mata.", ucap mas Giman.

Aku mengeluarkan penutup mata dari saku celanaku. Bentuknya seperti kacamata tidur, terbuat dari kain yang berwarna hitam pekat, sebagian memiliki karet untuk membuat posisinya tetap dan tidak bergeser. Penutup mata ini dikaitkan pada kedua telinga, persis seperti saat kita mengenakan kacamata. Aku mengenakan penutup mata itu dengan kedua tanganku. Memastikan posisinya pas dan nyaman. Memastikan pula tidak ada cahaya yang masuk ke dalamnya.

"Aa sudah siap mas...", jawabku.

"Bagus. Sekarang, kamu lakukanlah dulu niat yang bersih. Niat untuk belajar getaran naluri. Setelah itu, berdoa dalam hati kepada Allah, memohon keselamatan dan kemudahan dalam latihanmu kali ini... Doanya biasa saja, tak perlu macam-macam karena memang tidak ada doa khusus untuk ini.", ucap mas Giman.

Aku menurut. Aku menarik nafas halus dari hidung. Perlahan, lalu menahannya di dada. Dilanjutkan dengan berdoa dalam hati memohon kemudahan dan keselamatan diri dalam latihan kali ini. Beberapa detik kemudian dadaku terasa menghangat. Selesai berdoa, aku membuang nafas halus dari mulut perlahan. Sekaligus menyiapkan niat yang bersih dan konsentrasi untuk mengikuti instruksi dari mas Giman. Pembukaan ini sama seperti yang ayahku selalu ajarkan kepadaku. Berdoa, dan berniat yang bersih saat melakukan aktivitas. Niat yang tanpa fokus. Niat yang tulus. Niat yang ikhlas.

Dingin angin malam terasa merayapi kulitku. Terpaan angin juga kurasakan menyusup dari pakaian yang kukenakan.

"Tidak usah menggunakan tenaga. Cukup gunakan saja getaran nalurimu... Berniatlah kalau kamu ingin mengikuti gerakan dari mas Giman. Seperti itu saja.

Sekarang, mana tangan mas Giman yang bergerak dan bagaimana gerakannya, kamu ikuti. Bersiaplah...", ucap mas Giman.

Aku menurut. Aku konsentrasi pada hatiku. Membiarkan naluriku menuntun untuk menggerakkan tangan yang mana yang sesuai dengan perintah naluriku.

Aku teringat ucapan ayah.

Naluri, adalah potensi dasar dari manusia. Potensi dasar yang memungkinkan manusia bisa bertahan hidup, bisa membedakan, dan bisa melahirkan banyak pengetahuan. Potensi yang menuntun manusia pada gerakan. Gerakan fisik, gerakan pikiran, gerakan hati, dan gerakan yang lainnya. Sesuatu yang dimiliki oleh siapapun. Sesuatu yang bisa mengarahkan manusia untuk melakukan sesuatu, merasakan sesuatu, atau untuk mendeteksi sesuatu. Sesuatu yang bisa menghubungkan perasaan antara seorang ibu dengan anaknya, antara seorang ayah dengan anaknya, antara seseorang dengan orang lain. Dalam hati, ketika sudah muncul 'kreteg' atau 'theg', maka 'kreteg' itulah sinyal penanda kamu harus melakukan apa. Nanti tubuhmu akan mengikuti dengan sendirinya. Diikuti saja. Demikian ucapan ayah.

Sepuluh detik, lima belas detik berlalu... Tidak terasa apa-apa.

Dua puluh detik berlalu, tiga puluh detik berlalu... Masih belum terasa apa-apa. Aku menggelengkan kepala. Mencoba berkonsentrasi lagi. Tiga detik, lima detik berlalu. Masih belum terasa apa-apa juga. Otot-ototku perlahan mulai mengeras.

Aku mulai ragu.

"Kuatkan niatmu. Jangan ragu. Yakinlah pada dirimu sendiri. Yakinlah pada hatimu. Biarkan ia menuntunmu. Biarkan ia menuntunmu untuk mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar, dengan mata hati.", ucap mas Giman seperti memahami kebimbanganku.

Eh, ucapan itu seperti yang pernah dikatakan oleh ayahku. Perlahan aku kendurkan otot-otot tubuhku yang tadi sempat mengeras. Rileks. Aku mencoba masuk pada tahap bulan dalam cangkir. Diam adalah suatu sikap. Tenang adalah suatu sikap. Hening adalah suatu sikap. Semuanya menuju mata hati.

Lima detik belalu... sepuluh detik...

Theg.

"Eh.. ini ... ini...", gumamku dalam hati. Aku merasakan seperti ada yang sesuatu yang menggetarkan hati ini.

Aku tiba-tiba ingin sekali menggerakkan lengan kiriku. Aku ingin sekali mengangkat lengan kiri itu setinggi bahu ke arah depan. Aku ikuti 'kreteg' rasa hatiku. Aku ikuti 'theg' di hatiku. Inikah yang namanya 'theg' itu seperti yang dulu ayah katakan dan mas Giman maksudkan?

Aku gerakkan lengan kiriku setinggi bahu ke arah depan. Satu detik, dua detik, tiga detik, kemudian muncul kembali rasa itu...

Theg.

"Eh... ini... muncul lagi...", gumamku dalam hati lagi. Aku merasakan seperti ada sesuatu yang memintaku menurunkan lengan yang sedang aku angkat sekarang. Aku ikuti saja. Perlahan aku turunkan lengan kiriku hingga kembali ke samping tubuhku.

"Bagus..!", ucap mas Giman terdengar jelas.

"Sekarang ikuti lagi gerakan mas Giman... Ikuti kata hatimu", lanjut mas Giman.

Lima detik, sepuluh detik berlalu...

Theg..

"Eh... rasa ini muncul lagi...", gumamku dalam hati.

Sekarang, aku ingin sekali menggerakkan lengan kananku setinggi bahu tapi ke arah samping. Perlahan, aku turuti, dan aku gerakkan lengan kananku menyamping sampai setinggi bahu. Lalu aku gerakkan ke depan perlahan hingga sejajar dan kemudian meninggi ke atas. Aku ikuti saja 'theg' dihatiku. Membiarkan tubuhku dituntun oleh rasa apa yang muncul di hati ini.

"Bagus...!", ucap mas Giman keras.

"Sekarang, kamu berjalanlah mendekat kesini. Perlahan saja. Niatkan dalam hatimu untuk naluri halang rintang dan berhenti tepat di depan mas Giman dalam jarak satu langkah.", lanjut mas Giman.

Aku menurut.

Aku mulai melangkah perlahan. Dimulai dari setengah langkah kecil kaki kanan. Lalu satu langkah besar. Maju lagi setengah langkah kaki kiri. Maju lagi satu langkah kaki kanan.

Theg...

Rasa itu muncul kembali di hati. Memintaku untuk berhenti. Aku terdiam. Gerakanku terhenti. Aku mencoba untuk maju, tapi 'theg' di hati ini seolah tidak mengizinkanku untuk maju. Tubuh ini jadi tertahan. Hasratku ingin sekali melangkah maju, tapi hati ini menolaknya.

"Jangan dibenturkan antara rasa hatimu dan keinginanmu. Kalau keinginanmu untuk melangkah tapi terhalang oleh rasa hatimu, maka ikuti saja rasa hatimu. Ingat, rasa di dalam rasa akan menuntunmu ke dalam kebenaran. Kuatkan niatmu untuk naluri halang rintang. Niatkan untuk mencari jalan untuk maju, menuju kehendaku berada di depan mas Giman.", ucap mas Giman.

Aku menurut.

Aku menunggu 'sinyal' di hati ini ini. Lima detik, sepuluh detik.

Theg...

Rasa itu kembali muncul di hati ini. Aku ingin sekali menggeser tubuhku ke samping kiri. Aku ikuti saja. Satu langkah besar ke samping kiri. Lalu perlahan aku ingin sekali melangkah maju. Satu langkah, dua langkah.

Theg...

Tubuhku kembali 'macet'. Berhenti. Belajar dari pengalaman sebelumnya, aku tidak boleh membenturkan keinginanku dengan rasa hatiku. Aku memilih untuk mengikuti rasa hatiku. Satu detik, dua detik, lima detik.

Theg..

Aku ingin sekali melangkah ke kanan. Aku ikuti. Aku biarkan kakiku bergerak ke kanan mengikuti naluri. Bahuku juga tiba-tiba seperti terdorong ke belakang sehingga arah tubuhku kini berjalan menyamping. Langkahku kini berubah, berganti menjadi berjalan menyamping. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah.

Theg...

Aku kembali terhenti. Tubuhku kembali 'macet'. Tidak bisa bergerak. Aku kembali konsentrasi dan niatkan untuk halang rintang, untuk mengikuti 'kreteg' hati ini.

Perlahan, aku mulai bisa merasakan sinyal-sinyal itu. Aku mulai terbiasa dengan sinyal-sinyal itu. Kaki kiriku  melangkah ke depan, diikuti dengan kaki kananku. Sementara kedua tanganku masih menjuntai di samping. Rileks. Aku maju satu langkah, dua langkah, lalu aku ingin sekali menggeser bahu kanan ini. Aku turuti. Lalu berjalan kembali ke depan. Satu langkah, dua langkah.

Theg...

Aku terhenti. Maju tidak bisa. Ke kanan juga tidak bisa. Ke kiri tidak bisa. Mundur juga demikian.

"Bagus... itu sudah benar!", ucap mas Giman perlahan.

Eh, suaranya terasa sangat dekat. Jangan-jangan aku memang sudah berhenti tepat pada jarak satu langkah di depan mas Giman.

Penasaran, aku membuka penutup mataku dengan kedua tanganku. Mengusap mataku perlahan. Mataku samar melihat sosok mas Giman di depanku. Benar saja. Aku melihat mas Giman tepat berada satu langkah di depanku.

Aku heran.

Bagaimana bisa?

"Kamu heran mengapa kok bisa ya?", ucap mas Giman sambil tersenyum seolah memahami keherananku.

"I... iya mas Giman...", jawabku masih dengan keheranan.

"Ayo kita duduk saja dulu di batu itu...", pinta mas Giman sambil tangan kanannya menunjuk ke arah batu yang cukup besar di dekat kami.

Aku mengikuti dari belakang.

Mas Giman memilih batu yang cukup besar. Sementara aku memilih batu yang berukuran sedang. Aku menunggu penjelasan dari mas Giman.

"Ketahuilah, bahwa manusia sesungguhnya memiliki daya naluri yang hebat. Kalau ini dilatih, maka ini akan menjadi gelombang nalurimu. Semakin dilatih, akan semakin tajam. Kamu akan bisa 'merasakan' sekitarmu. Lebih jauh lagi, kamu akan bisa 'membaca' alam sekitar. Semakin tajam, akan semakin luas. Semakin menembus.

Sebagai contoh, dari jarak beratus atau beribu kilometer, seorang ibu bisa merasakan ada musibah terhadap anaknya. Atau seorang anak yang menyayangi ibunya, bisa merasakan kalau ibunya sedang jatuh sakit meskipun terpisah oleh jarak ribuan kilometer. Daya naluri tidak mengenal jarak dan waktu. Sebab jarak dan waktu hanyalah persepsi kita saja. Suatu keadaan untuk mempermudah fenomena dalam memahami sesuatu.", jawab mas Giman menjelaskan.

"Anu... maaf mas Giman, apa maksudnya jarak dan waktu itu hanya persepsi kita saja? Aa masih belum mengerti", tanyaku dengan penasaran.

"Baiklah. Coba tunjukkan pada mas Giman apa yang dimaksud dengan jarak satu meter?", tanya mas Giman.

"Satu meter itu seratus sentimeter. Kira-kira sepanjang segini mas.", jawabku sambil memungut ranting yang aku perkirakan panjangnya satu meter.

"Coba letakkan ranting itu didepanmu dengan jarak dua meter...", pinta mas Giman.

Aku menurut. Aku meletakkan ranting itu di depanku kira-kira berjarak dua meter. Setelah itu aku kembali duduk di atas batu.

"Ambil ranting itu kembali..", pinta mas Giman.

Aku menurut. Ini mudah saja.

Aku menunduk sedikit sambil membungkukkan badan sehingga maju sedikit dari tempat dudukku. Tangan kananku meraih ranting kayu tadi dengan mudah. Aku tersenyum. Sambil duduk, aku menimang-nimang ranting kayu tersebut.

"Letakkan kembali ditempatnya...", pinta mas Giman.

Meski heran, tapi aku menurut. Aku letakkan kembali dengan jarak kira-kira dua meter dari tempatku.

"Sekarang, tutup mata kananmu dengan telapak tangan kanan. Tahan..", pinta mas Giman.

Aku masih belum mengerti, tapi aku menurut saja. Aku tutup mata kananku dengan telapak tangan kananku.

Satu detik, dua detik, lima detik, sepuluh detik.

"Sekarang, kamu ambil lagi kayu itu dengan tangan kirimu dengan tetap masih menutup mata kananmu.", lanjut mas Giman.

Aku menurut. Ah ini sih sama seperti yang tadi.

Aku menunduk sedikit sambil membungkukkan badan seperti gerakan sebelumnya. Tangan kiriku yang bebas aku gerakkan untuk berusaha meraih ranting kayu yang ada di depanku.

"Eh...", aku terkejut.

Aku tidak bisa menyentuh ranting kayu itu dengan tepat seperti tadi. Ranting itu tidak berhasil aku raih. Aku gerakkan ujung tangan kiriku kembali untuk mencoba meraihnya.

"Eh... masih tidak kena!", aku sangat terkejut.

"Mas Giman... kok bisa?", tanyaku keheranan.

"Duduklah kembali. Buka lagi mata kananmu.", ucap mas Giman sambil tersenyum.

"Jadi, jarak hanyalah persepsi saja toh?

Sederhananya, persepsi dari ruang yang ditangkap oleh matamu dengan benda lalu diterjemahkan oleh otak untuk kemudian kamu dikenalkan sebagai pengetahuan jarak.", lanjut mas Giman.

"Kalau misalkan matamu berada dalam kondisi yang kurang normal dari biasanya, entah dengan kamu tutupi satu atau dua-duanya. Maka pengetahuan jarak yang sebelumnya jelas menjadi tidak jelas lagi. Pengetahuan jarak yang sebelumnya ada menjadi tidak ada lagi. Otakmu perlu menyesuaikan lagi dengan keadaan baru yang ada. Otakmu harus menafsirkan ulang agar bisa dikenali.", imbuh mas Giman.

Aku mengangguk. Mulai memahami maksud dari mas Giman.

"Nalurilah yang menjadi awal mula pengetahuan yang kemudian menuntunmu untuk menciptakan dan mendefinisikan 'jarak'.

Dengan kata lain, kamu bisa kembali pada hakekat pengetahuan 'jarak' meski hanya dengan mengandalkan naluri. Yakni naluri yang terlatih, yang dilatih, yang didasarkan pada niat yang bersih dan diarahkan dengan kehendak yang tulus.", lanjut mas Giman.

Aku mulai paham.

"Ketika pengetahuan mengenai getaran nalurimu mengembang, ia akan menimbulkan pengetahuan baru. Nah, pengetahuan baru inilah yang kamu tangkap dengan rasa. Gelombang nalurimu akan bisa kamu kendalikan selama kuncinya kamu selalu pegang.

Kuncinya adalah niat yang bersih dan hati yang ikhlas...", tutup mas Giman.

Aku menunduk. Mendengarkan dengan seksama penjelasan dari mas Giman.

"Ok. Mas Giman rasa itu saja dulu untuk malam ini. Mas Giman istirahat dulu ya. Kalau kamu mau nerusin latihan, mas Giman gak bisa nememin ya.", ucap mas Giman.

"Iya mas Giman, tidak apa-apa. Terima kasih atas penjelasannya.", jawabku.

Aku melihat mas Giman berdiri dari batu tempatnya duduk, lalu berjalan perlahan menuju tenda. Membuka pintu tenda, dan masuk ke dalamnya untuk beristirahat. Aku sendiri masih duduk di tempat yang sama. Masih memikirkan ucapan mas Giman tadi.

Saat melewatiku, mas Giman menepuk pundak kiriku.

"Suatu saat nanti, kamu akan merasakan manfaat dengan melatih nalurimu...", ucap mas Giman.



(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 31/01/2012 22:21
Tembang Tanpa Syair - Bagian 29

Naluri Yang Membentuk Pengetahuan 'Jarak'


Aku duduk di depan api unggun yang nyalanya mulai mengecil. Aku mengangkat wajah sedikit, mencoba memandang langit. Terlihat awan berarak menutupi rembulan. Malam ini bukanlah malam bulan purnama, tapi sinarnya cukup cerah untuk menerangi sekitar. Dingin angin malam menyapu kulitku, menyelusup pada setiap bagian pakaianku. Merasakan benar terpaan angin kecil pada kedua pipiku.

Aku mencoba memahami ucapan dari mas Giman. Ini sesuatu yang baru buatku. Selama ini memang aku diajarkan banyak hal oleh ayah. Ayah mengajarkanku teknik beladiri. Ayah mengajarkanku juga olah nafas. Dasar-dasar untuk olah rasa, serta mengajariku salah satu keilmuan yang dinamakan 'getaran' yang penerapannya untuk 'tutup mata'. Aku sendiri belum tahu sejauh mana penerapannya. Tapi yang aku lihat pada sosok mas Giman sungguh luar biasa. Tapi apa yang diberikan oleh mas Giman ini sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang lain. Yang rasanya unik. Rasanya seperti melengkapi.

Aku memejamkan mata. Menarik nafas perlahan, menahannya di dada sebentar, kemudian menghembuskannya perlahan. Aku memutar telapak tanganku sehingga menghadap ke atas. Tanpa sadar aku memandangi kedua telapak tanganku. Masih terasa ada denyutan-denyutan kecil disana. Aku menghadapkan kedua telapak tanganku dengan jarak sekitar tiga puluh sentimeter. Terasa ada 'sesuatu' diantaranya. Sesuatu yang lunak, hangat, membentur kulit telapak tanganku. Seperti ada 'bola' pada ruang diantara kedua telapak tanganku. Semakin lama semakin 'nyata'. Semakin terasa.

"Bagaimana kalau aku gabungkan, antara naluri dengan deteksi dengan getaran pribadiku.", gumamku dalam hati. Aku mengepalkan kedua tanganku dengan cepat.

Bersemangat.

Semangatku untuk mencoba sesuatu yang baru kembali bergelora. Aku bangun, lalu mulai memasang penutup mata hitam dengan kedua tanganku. Aku memejamkan mata, berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dan keselamatan dalam latihan kali ini. Aku selalu ingat ucapan ayah agar jangan pernah lupa berdoa dalam melakukan aktivitas apapun dalam hidup ini.

Perlahan, aku mulai masuk pada tahap 'bulan dalam cangkir'. Diam itu suatu sikap. Tenang itu suatu sikap. Hening itu suatu sikap. Semuanya menuju mata hati. Kalau tidak diam tidak akan bisa masuk pada tenang. Kalau tidak tenang tidak akan bisa masuk pada hening. Kalau tidak hening tidak akan bisa masuk pada mata hati. Perlahan, guratan abstrak mulai terbentuk. Seluruh permukaan kulitku seperti dirambati ribuan semut. Pori-pori ini terasa melebar. Tubuh ini mulai terasa 'membesar'. Ubun-ubun ini kemudian mulai 'berdenyut'. Aku melepas getaran pribadi untuk 'menyentuh' getaran alam. Saat kemudian sinkron, ditandai dengan munculnya 'theg' di hati ini dan aliran 'denyut arus' yang terasa di tubuh ini, aku mulai berjalan perlahan.

Derrr..., sebelah kananku terasa ada benda.

Derrr..., sebelah kiriku terasa ada benda.

Aku meraba ke kanan dan ke kiri dengan telapak tanganku.

Drrt... drrt.. terasa seperti ada 'sentuhan' di telapak tanganku.

"Tidak, aku ingin menggunakan getaran naluri untuk ini. Karena menggunakan getaran naluri ini bisa lebih menghemat penggunaan tenagaku.", gumamku dalam hati.

Aku kemudian berdiri tegak. Rileks. Kedua tangan menjuntai kesamping pinggang. Aku menarik nafas dengan halus, perlahan, dari hidung. Tubuh ini terasa membesar. Konsentrasi pada niat aku perkuat. Niat untuk berjalan menuju pohon yang berjarak sekitar sepuluh meteran lebih dengan tanpa menyentuh obyek atau benda.

Theg...

Rasa itu muncul di hati. Aku seperti tertarik ke depan. Aku ikuti kemana gerakannya.Satu langkah, dua langkah, aku seperti oleng ke kanan. Aku ikuti saja. Aku melangkah dengan bergeser ke kanan.

Theg...

Aku terhenti. Saat berhenti, secara reflek aku menggerakkan telapak tanganku seperti 'mengusap' ke depan. Getaran pribadiku memancar. Terasa ada 'benda' di depan. Aku mendeteksi seperti 'pohon kecil' yang rimbun yang berada di depanku. Aku kembali menjuntaikan tanganku kesamping. Membiarkan getaran naluri menuntunku untuk menghindari 'benda' di depanku ini.

Theg...

Rasa itu kembali muncul. Tubuhku seperti ingin bergerak ke kiri. Aku ikuti saja. Perlahan aku melangkahkan kaki kiri ke samping. Satu langkah, kemudian bahu kananku maju bersamaan dengan langkah kaki kananku maju. Kini tubuhku miring dengan menghadap ke kiri. Aku melangkah dengan menggeser kaki kanan dan kiri. Melewati benda yang kurasakan seperti pohon kecil. Setelah dua langkah, kemudian tubuhku kembali menghadap ke depan.

Bahu kiriku terasa ingin bergerak. Aku ikuti kemana gerakan itu mengarah. Ke kanan, ke kiri, memutar, ke samping, mundur satu langkah, aku ikuti semua. Kecuali saat berhenti, barulah aku memancarkan getaran pribadiku ke sekeliling untuk mendeteksi obyek di sekitar tubuhku. Setelah itu membiarkan kembali naluriku menuntunku menuju lokasi yang aku inginkan, yakni pada pohon terjauh yang berjarak sekitar sepuluh meter dari api unggun.

Semua aku lakukan dengan sadar.

Perlahan, aku mulai bisa membedakan rasa saat getaran naluri itu keluar dan saat getaran pribadiku memancar. Kombinasi keduanya sungguh luar biasa. Aku jadi lebih ringan dalam berjalan dan melewati halang rintang menuju tempat yang aku inginkan. Tidak berapa lama, aku terhenti. Pancaran getaran pribadiku mendeteksi sebuah pohon besar di depan. Rupanya aku sudah sampai.

Aku tersenyum puas. Hasilnya cukup menggembirakan.

Aku membalik badan. Mencoba melakukan sekali lagi dengan target arah lokasi yang berbeda. Target lokasiku kini adalah tenda mas Giman. Aku harus berhenti tepat di depan tikar saat aku dan mas Giman ngobrol sebelum ini.

Aku kembali berkonsentrasi. Menguatkan niat untuk menuju lokasi yang aku inginkan. Satu detik, tiga detik, lima detik, sepuluh detik, lima belas detik.

Theg...

Rasa itu kembali muncul di hati. Aku mulai berjalan. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah. Berbelok ke kanan satu langkah, berbelok ke kiri satu langkah, miring ke kanan, memutar tubuh, atau mundur satu langkah, kemudian menyamping, semua aku ikuti. Rasanya sangat menyenangkan. Aku mulai bisa menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Perlahan, gerakanku mulai lebih cepat dari sebelumnya. Caraku melangkah juga mulai cepat. Tidak berapa lama aku kembali terhenti. Naluriku mengatakan aku sudah 'sampai' di depan tikar.

Aku tebarkan getaran deteksi. Benar saja. Di bawah memang terasa ada perbedaan obyek antara tanah dengan benda lain. Entah mengapa aku langsung tahu kalau itu adalah tikar.

"Bagaimana kalau aku gabungkan saja getaran pribadiku dengan rasa naluri ini?", gumamku dalam hati sambil diliputi rasa penasaran.

Aku membalik badan. Kemudian mulai melakukan 'pembesaran' tubuh. Saat mulai melakukan pembesaran tubuh, aku menunggu 'theg' itu muncul kembali. Saat muncul, maka aku akan langsung 'menyisipkan' naluriku kesitu. Satu detik, tiga detik, lima detik, sepuluh detik.

Theg...

Rasa itu kembali muncul. Tapi ini agak berbeda dibanding tadi. Rasanya tubuh ini seperti 'menembusi' benda-benda yang ada disekitar yang terlewati oleh getaran pribadiku. Perlahan, aku mulai merasakan 'jarak' antara diriku dengan benda-benda di sekitar. Perlahan pula ia semakin lebar, meluas ke area sekitar perkemahanku.

"Apakah ini yang dimaksud 'jarak' oleh mas Giman tadi ya?", ucapku dalam hati.

Aku kemudian mencoba menentukan berapa langkah antara tubuhku dengan obyek terdekat. Pada 'pohon kecil' yang berada di dekatku, aku 'merasa' itu akan bisa aku raih dalam empat langkah.

Aku kemudian bergerak. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah, empat langkah.

Tapp..., aku langsung meraih benda yang kurasakan sebagai 'pohon'.

Kena!

Sebuah ranting dengan dedaunan yang cukup rimbun berhasil aku raih.

Pas.

Tepat sekali.

Aku kemudian 'merasakan' jarak antara aku berdiri dengan api unggun sekitar tiga langkah. Aku berjalan menuju api unggun. Satu langkah, hawa panasnya mulai terasa di kulitku. Dua langkah, hawa panasnya terasa lebih tebal. Dua setengah langkah, aku merasakan hawa panas api unggun itu semakin besar pada kulit kakiku. Setengah langkah lagi kakiku pasti akan masuk ke dalam api unggun.

Aku tersenyum.

Aku mulai memahami konsep 'jarak' dari rasa yang kudapatkan ini. Benar seperti yang dikatakan oleh mas Giman. Aku akan mendapatkan sebuah pengetahuan baru ketika aku mulai bisa memaksimalkan potensi tubuh ini. Pengetahuan 'jarak' yang selama ini kudapat melalui organ optik bernama mata, kini bisa kudapatkan melalui naluri.

Aku terdiam. Perlahan, aku 'memutus' getaran pribadiku dengan getaran alam ini. Rasa seperti dirambati ribuan semut mulai berkurang. Setelah aku rasa cukup, penutup mata hitam ini aku buka kembali.

"Uuuh, haus juga.", gumamku dalam hati.

Aku berjalan ke belakang tenda untuk mengambil air minum. Dengan menggunakan gelas air minum yang aku gunakan sebelumnya, aku mengisinya sampai penuh. Lalu berjalan perlahan menuju api unggun. Setelah itu duduk kembali.

"Bismillahirrahmaniraahim..", ucapku perlahan sebelum meneguknya.

Segarnya air putih ini membasahi tenggorokanku. Satu teguk, dua teguk. Rasanya nikmat sekali. Beberapa tetesnya terjatuh di dekat daguku. Rasanya dingin, segar, dan menyejukkan.

"Alhamdulillah...", ucapku perlahan setelah selesai meminumnya.

Aku duduk terdiam sambil memandangi api unggun. Aku teringat ucapan ayah.

"Nak, ada saat dimana kamu harus menggunakan nalurimu. Ada saat dimana kamu harus percaya pada nalurimu. Agar nalurimu benar, maka kamu harus melatihnya dengan cara menyesuaikannya dengan niat dan kehendakmu. Awali dengan niat yang baik dan kehendak yang baik. Maka potensi nalurimu akan bangkit secara baik. Kamu bisa menggabungkan dengan potensi yang lain yang kamu miliki. Apa saja. Semakin dilatih, semakin ia akan bisa memberikan sinyal-sinyal terhadap perubahan di sekitarmu dan apa yang ada di sekelilingmu. Tugasmulah nanti yang akan menangkap makna dari sinyal-sinyal itu. Ada masa dimana suatu hari nanti kamu akan mendapatkan kebimbangaan dan kesulitan. Kalau masa itu tiba, maka percayalah pada tuntunan naluri yang didasarkan pada niat yang bersih dan ikhlas.", ucap ayah.

"Ayah, ucapan ayah sekarang ini mulai bisa Aa mengerti. Terima kasih ayah.", gumamku dalam hati.


(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 01/02/2012 16:56
Tembang Tanpa Syair - Bagian 30

Tenaga Awal


Malam ini aku duduk sendiri di depan perapian api unggun yang mulai mengecil. Aku meletakkan gelas besar yang berisi air di sampingnya. Sudah ada tiga gelas air putih aku minum sampai sekarang. Sesekali aku memandangi api ini. Memasukkan beberapa ranting kering ke dalamnya agar apinya tetap terjaga. Sementara itu, dari tenda di belakangku sudah mulai terdengar suara nafas mas Giman yang sedang tertidur. Sepertinya mas Giman sudah cukup lelah. Setelah menempuh perjalanan jauh naik motor, kemudian mengajariku selama beberapa jam. Tenaganya pasti sudah cukup terkuras. Dari deru nafasnya aku perkirakan mas Giman sudah tertidur lelap.

Aku teringat ayah. Sejak sekitar jam tujuh malam ayah belum kembali. Aku mengambil jam tangan di saku sebelah kananku. Aku lihat saat ini sudah menujukkan pukul sebelas. Sudah menjelang tengah malam. Entah apa yang ayah lakukan disana.

Udara yang dingin dan air minum yang cukup banyak memasuki tubuh ini membuatku ingin buang air kecil. Aku teringat dengan sungai kecil yang memiliki air terjun di belakang perkemahan kami ini. Aku rasa itu adalah tempat yang pas.

Aku langsung berdiri. Berjalan perlahan menyusuri jalan setapak menuju sungai kecil. Kira-kira sepeminuman teh, aku sudah sampai disana. Suara riak air sungai mulai terdengar dan mulai jelas. Deburan gelombang air yang menghantam bebatuan juga terdengar. Apalagi suara derasnya air terjun yang jatuh juga sangat jelas terdengar.

Disana suasananya agak remang. Cahaya rembulan lebih banyak tertahan oleh rimbunnya dedaunan di sekitar sungai yang berair terjun itu. Aku berjalan perlahan, mencoba mengambil tempat di dekat air terjun.

"Eh, siapa itu?", gumamku dalam hati.

Perlahan, aku bisa melihat kalau di depan air terjun itu ada sesosok bayangan manusia yang sedang duduk bersila. Bersila dibawah sebuah batu yang cukup besar. Batu itu jaraknya cukup jauh dari pinggir sungai. Disekitarnya ada beberapa batu yang lebih kecil yang terlihat menyembul dari dasar sungai. Tetap saja, kalau harus melewati batu-batu kecil itu tentu sangat licin dan kemungkinan terpeleset sangat besar. Rasanya agak sulit kalau harus melompat. Selain teksturnya yang licin, juga riak air yang membasahi tentu akan cukup menyulitkan orang biasa untuk sampai kesitu. Kecuali dengan berenang. Ya, dengan berenang tentu akan bisa sampai disitu. Posisi orang itu menghadap ke air terjun. Ia tampak bertelanjang dada. Hanya mengenakan celana hitam saja. Rambutnya terkena angin hempasan air terjun sehingga terlihat melambai-lambai. Ia duduk kokoh bagai gunung.

Aku mengerutkan kening, mencoba melihat lebih konsentrasi lagi. Memastikan sosok yang sedang duduk bersila di depan air terjun itu. Perlahan, aku mulai mengenalinya.

"Lho, bukannya itu ayah?", ucapku dalam hati.

"Sedang apa ayah disitu ya?", lanjutku dalam hati.

Aku penasaran.

Apa yang sedang ayah lakukan di tempat itu.

Rasa penasaranku timbul. Aku ingin tahu, apa yang ayah lakukan disitu. Rasa penasaranku ini rupanya menghilangkan keinginan untuk buang air kecil. Aku melihat hampir tanpa berkedip. Jarak aku berdiri dengan ayah sekitar sepuluh meter. Aku masih berdiri, menunggu apa yang akan terjadi kemudian.

Sekitar satu menitan kemudian, aku melihat ayah merangkapkan kedua tangannya di depan dada. Ini mirip dengan bentuk awal pada olah nafas yang bernama Nafas Garuda seperti yang sudah ayah ajarkan kepadaku dan yang biasa aku lakukan. Aku melihat ayah perlahan sekali mendorongkan kedua telapak tangannya yang terbuka ke depan, lalu merentangkannya kesamping setinggi bahu. Perlahan sekali.

"Eh... itu... itu...", aku hampir melompat, dan hampir saja aku menjerit kecil karena terkejut.

Apa mataku tidak salah melihat?

Air terjun itu tertahan!

Kemudian tersibak mengikuti arah gerakan tangan ayah yang merentang ke samping. Jatuhnya air terjun seperti terhalang oleh sesuatu yang tidak terlihat sehingga terlihat melebar ke samping.

Aku sampai mengusap mataku beberapa kali. Khawatir salah lihat. Tapi ini nyata. Air terjun itu benar-benar tersibak!

Aku melihat ayah perlahan merapatkan kembali tangannya yang tadi merentang ke samping. Menutup bentuk olah nafas Garuda sehingga kedua telapak tangan kembali dirapatkan ke depan dada. Seiring dengan pergerakan tangan ayah, air terjun itu kembali normal. Jatuhnya air terjun itu kembali seperti biasa. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Owh..!", aku tanpa sadar berteriak kecil.

Teriakan kecil ini rupanya membuat ayah langsung berdiri dan memutar badan menghadapku. Tanpa berkata apa-apa, ayah langsung melompat dengan cepat pada bebatuan kecil yang seperti menjadi 'jalan' menuju ke pinggiran sungai. Lincah sekali, dan cepat. Aku sampai tertegun melihatnya. Cepat sekali, dan ringan. Aku melihat ayah dari seberang sungai segera mengambil baju yang rupanya disangkutkan pada sebuah dahan pohon kecil. Setelah itu berjalan perlahan menuju ke arahku. Tidak berapa lama, ayah berdiri di depanku.

"Sudah selesai latihannya?", tanya ayah sambil tersenyum.

Ayah tidak menanyakan apakah aku mengintip atau tidak latihannya tadi. Ayah justru menanyakan latihanku dengan mas Giman.

"Anu... i... iya sudah yah. Mas Giman juga sudah tertidur pulas keliatannya. Aa ini mau ke sungai, mau buang air kecil.", jawabku apa adanya.

"Baiklah. Ayah tunggu nanti di depan api unggun ya.", ucap ayah sambil berjalan menuju perkemahan.

Aku mengangguk

"Iya yah...", jawabku singkat.

Aku langsung buru-buru mencari tempat yang sedikit tersembunyi untuk buang air kecil. Setelah selesai dan bersih-bersih, aku buru-buru berjalan menuju perkemahan, mengikuti jalan setapak yang menuntunku ke sungai ini.

Saat memasuki wilayah perkemahan, aku melihat ayah sedang duduk bersila di depan api unggun. Sesekali rambutnya terkena desiran angin malam dan melambai-lambai. Aku berjalan mendekat, lalu duduk di samping ayah.

Suasana hening.

Beberapa saat kemudian aku melihat ayah mengambil ranting kecil, lalu mematahkannya dan memasukkannya ke dalam api unggun.

"Gimana latihannya tadi? Lancar?", tanya ayah sambil tersenyum dan menatap ke arahku.

"Alhamdulillah lancar yah. Tadi Aa latihan getaran naluri.", jawabku.

"Bagaimana hasilnya?", tanya ayah.

"Kata mas Giman sih sudah cukup bagus. Sudah mulai bisa mengikuti. Meski pada awalnya agak macet dan Aa cukup kesulitan. Tapi setelah dibimbing oleh mas Giman, Aa mulai mengerti maksudnya yah. Tadi Aa belajar memahami 'jarak'.", jawabku lebih lengkap.

"Bagus kalau begitu...", ucap ayah.

"Dalam belajar keilmuan, ataupun belajar apa saja, memecah kebuntuan dari suatu proses sangatlah penting. Tujuannya agar berhasil. Terkadang, kemampuan kita belum nyampe ke arah situ. Kalau didiamkan, tentu akan lebih macet. Maka kita harus dibimbing oleh orang yang tepat, agar kebuntuan atau macet itu bisa lancar jadinya.

Sengaja ayah bawa mas Giman kesini, karena mas Giman punya sesuatu yang selalu dilatihnya. Yakni naluri. Keadaannya yang buta, membuatnya harus bisa memaksimalkan potensi lain untuk menggantikan apa yang sudah dipahami oleh otak. Dan potensi naluri itulah yang sepenuhnya dimiliki oleh mas Giman.

Kemampuan naluri ini jangan kamu remehkan. Karena ia menjadi salah satu aspek mendasar dari keilmuan silat yang ayah ajarkan kepadamu. Getaran dan naluri adalah pakem dasar pengembangan keilmuan ini.", lanjut ayah.

Aku mengangguk. Entah kenapa, ucapan ayah kali ini bisa lebih mudah aku mengerti.

"Naluri, menjadi peletak dasar tumbuh kembangnya kemampuan dan pengetahuan manusia.", ucap ayah.

"Sejak kita semua masih di dalam kandungan, adalah naluri yang menjadi tenaga penggerak untuk menjaga kelangsungan hidup. Saat kemudian kita lahir ke dunia, lalu didekatkan pada air susu ibu, maka naluri yang menggerakkanmu untuk mendekati sumbernya dan meminumnya. Kalau ada masalah pada 'rasa' air susu ibu, maka nalurilah yang menggerakanmu untuk menangis dan tidak mau meminumnya.. Tak pernah ada yang memerintah. Ia sudah diilhamkan oleh Allah dari awalnya untuk membawa manusia menjalani hidup ini secara dinamis untuk pertama kalinya. Saat kita dalam bahaya, maka naluri yang pertama kali memberitahu kita.

Ada banyak hal dalam hidup ini yang tertolong berkat naluri. Ada banyak kejadian dalam hidup ini yang terbantukan dengan naluri.", ucap ayah menjelaskan.

Aku mendengarkan ucapan ayah dengan seksama.

"Tenaga naluri, adalah tenaga dasar kehidupan. Tenaga dasar untuk bergerak. Tenaga dasar untuk bisa menggerakkan. Naluri adalah tenaga awal.", lanjut ayah.

Aku menunduk. Mencoba meresapkan setiap ucapan ayah.



(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 02/02/2012 23:19
Tembang Tanpa Syair - Bagian  31

Diam, Tenang, Hening


Aku masih duduk bersama ayah di depan api unggun. Sesekali aku mengikuti ayah memasukkan patahan ranting-ranting kecil ke dalam api unggun. Kalau rantingnya terlalu panjang, aku patahkan dulu menjadi lebih kecil baru kemudian aku masukkan ke dalamnya. Kalau rantingnya terlalu besar, aku memilih ranting yang lebih kecil.

Suasana menjadi sunyi untuk beberapa saat.

"Yah, apakah tenaga naluri ini bisa digunakan dengan bebas?", tanyaku memecah kesunyian.

"Tentu saja nak", jawab ayah.

Trak...

Suara ranting patah terdengar. Aku menoleh, melihat ayah mematahkan ranting yang agak panjang menjadi beberapa bagian. Lalu memasukkannya ke dalam api unggun.

"Bagaimana caranya yah?", tanyaku lagi.

Trak...

Suara ranting patah kembali terdengar. Aku menoleh. Tidak seperti tadi, ranting yang ayah patahkan cukup besar, tapi ringan saja ayah patahkan sepertinya.

"Ah, paling itu ranting yang sudah rapuh...", gumamku dalam hati.

"Naluri adalah tenaga awal, pemberian dari Yang Maha Hening. Agar bisa mengenalinya dengan baik, kamu harus bisa merasakan hening.

Hening...hening...hening...", jawab ayah tanpa menoleh.

Trak...

Suara patahan ranting kembali mengusik telingaku. Aku kembali menoleh. Keningku berkerut. Ranting yang ayah patahkan lebih besar dan lebar. Tentunya cukup sulit kalau hanya menggunakan jari. Tapi ayah mematahkan ranting itu dengan mudah saja. Aku mulai terpengaruh oleh cara ayah mematahkan ranting.

"Kamu harus bisa masuk pada tahap hening. Awalnya mungkin lambat. Tapi seiring latihan, kamu akan lebih cepat masuk pada tahap hening.

Diam adalah suatu sikap. Tenang adalah suatu sikap. Hening adalah suatu sikap. Semuanya menuju mata hati.

Kalau tidak diam, tidak akan bisa mencapai tenang. Kalau tidak tenang, tidak akan bisa mencapai hening. Kalau tidak hening, tidak akan bisa mencapai mata hati.", lanjut ayah.

Trak...

Kini aku benar-benar memperhatikan saat ayah mematahkan ranting-ranting sebagai bahan pembakaran api unggun. Caranya mematahkan ranting-ranting itu sangat menarik perhatianku. Entah ayah sengaja atau tidak melakukan itu. Dari mulai ranting yang kecil, sedang, bahkan yang tebal sekalipun kelihatannya mudah saja ayah patahkan. Aku masih belum mengerti bagaimana ayah melakukan itu.

Penjelasan ayah tadi sering sekali aku dengar. Meskipun ada beberapa yang aku belum mengerti.

"Yah, Aa sering denger ucapan tadi. Diam adalah suatu sikap, tenang adalah suatu sikap, hening adalah suatu sikap, semuanya menuju mata hati. Maksudnya gimana sih yah?", tanyaku kembali dengan penasaran. Aku sering mendengar ayah mengatakan ini.

Aku melihat ayah tersenyum agak lebar sehingga beberapa giginya terlihat.

"Penasaran?", tanya ayah.

"I...iya yah...", jawabku sambil tersenyum dan garuk-garuk kepala dengan tangan kiriku. Tentu saja kepala yang tidak gatal.

"Diam itu sederhananya adalah suatu sikap, yakni sikap ragawi yang melibatkan panca indra. Ragamu sadar, indramu mengenali.

Meski demikian, sikap diam sendiri belum tentu melibatkan hati secara tepat. Karena pada tahap ini kamu masih lebih banyak berada pada pemahaman indrawi. Masih ada kemungkinan kamu untuk melakukan sesuatu karena suatu pamrih. Misal karena ingin dilihat orang, karena ingin diakui orang, karena ingin dianggap hebat, karena ingin mendapat pujian, atau karena kepentingan tertentu.

Jadi, sikap diam adalah suatu sikap yang paling mendasar. Ia adalah 'kulit'.

Ragamu sadar, indramu mengenali.

Diam akan membuatmu menjadi tenang. Dan tenang adalah sikap untuk menuju hening.", jawab ayah.

"Hening, sederhananya adalah sikap untuk melibatkan hati. Hati harus tulus dan ikhlas. Ini adalah tahap kesadaran hati. Tahap kamu masuk lebih dalam, ke arah dalam. Ke arah hati. Menuju mata hati.

Hatimu sadar, mata hatimu mengenali.", lanjut ayah.

Trak...

Lagi-lagi suara ranting patah ini kembali menyita perhatianku. Aktivitasku sendiri jadi terhenti. Aku jadi hanya mendengarkan penjelasan ayah dan menyaksikan ayah mematahkan ranting-ranting itu.

Aku melihat ayah terhenti memasukkan patahan ranting-ranting itu ke dalam api unggun. Setelah itu ia tersenyum.

"Baiklah, dari pada bingung. Kita coba saja...", jawab ayah.

Ayah berdiri terlebih dahulu. Di tangan kanannya ada sebuah ranting sepanjang kira-kira satu meter. Aku melihat ayah melihat ke sekeliling. Tidak berapa lama, tangan kanan ayah yang memegang ranting itu menunjuk ke suatu tempat. Jaraknya kira-kira tiga meter dari tempatku duduk. Letaknya mendekati batu saat sebelumnya aku dan mas Giman duduk.

"Duduklah disitu.", ucap ayah.

Aku menurut.

Aku langsung berdiri dan duduk di tempat yang ditunjuk oleh ayah. Posisi dudukku dengan bersila seperti biasa. Rileks dan santai. Punggung tangan kanan menempel di atas lutut kanan, dan punggung tangan kiri menempel di atas lutut kiri. Badanku tegak. Nafasku ringan.

"Sekarang, pejamkan matamu, dan diamlah. Ingat, ragamu sadar, indramu mengenali.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

Aku mulai memejamkan mata.

Lima detik, sepuluh detik, dua puluh detik, tiga puluh detik.

Nguuung..., terdengar suara nyamuk di telinga kananku. Beberapa saat kemudian aku merasakan nyamuk itu hinggap dan mulai 'menggigit'.

"Uuh, rasanya mulai gatal!", gumamku dalam hati.

Secara reflek aku menepuk perlahan lokasi gatal itu dengan telapak tangan kiriku. Meski perlahan, tapi suasana hening di malam itu membuat tepukanku terdengar cukup jelas.

Plek.

"Eiit... satu, tidak boleh bergerak. Diam.", ucap ayah.

"Anu... yah, nyamuk yah. Gatal..", jawabku.

"Ssst... dua, tidak boleh ngomong. Diam.", ucap ayah lagi.

Aku langsung terdiam.

Aku senyum sendiri. Sudah kena dua 'kartu kuning' dari ayah karena tidak bisa diam.

Nguuung..., terdengar lagi suara nyamuk. Kali ini di telinga kiriku. Pasti ia akan 'menggigit' tubuhku lagi. Benar saja, belum selesai aku membayangkan, nyamuk itu sudah mulai hinggap di lengan kiriku.

"Huh, nyamuk ini bikin konsentrasiku buyar saja...", ucapku dalam hati.

Lengan kiriku bergerak-gerak perlahan, mencoba mengusir nyamuk itu dari tubuhku. Mulutku juga aku buka sedikit sekali sambil berusaha meniup ke arah lokasi nyamuk itu hinggal di lenganku.

"Ssst... Tiga, jangan bergerak... Diam. Kuatkan hatimu!", ucap ayah sekali lagi.

"Uuh, aku sudah kena tiga kartu 'kuning' dari ayah.", gumamku dalam hati. Aku tidak berani tersenyum. Cukup dalam hati saja.

Susah juga ternyata. Aku membandingkan saat dulu latihan bersama ayah di dekat rumah. Kebetulan rumahku selalu terjaga kebersihannya sehingga yang namanya nyamuk saja hampir tidak pernah ada di waktu malam. Sehingga meskipun aku bertelanjang dada, tapi masih tetap nyaman karena terlepas dari gigitan nyamuk. Sedangkan disini, nyamuknya mendadak menggigitku saat aku sedang latihan.

Aku masih ingat, kalau dulu saat latihan di alam terbuka, ayah selalu mengajariku tata gerak dan teknik. Sehingga meskipun bertelanjang dada, tentu saja nyamuk tidak akan mendekat karena aktivitasku yang tidak berhenti bergerak. Lain dengan sekarang. Rasanya, duduk diam satu menit saja susah sekali. Ada saja gangguan terhadap raga ini. Gangguan pertama ini adalah nyamuk-nyamuk. Ternyata, diam saja sulit juga. Padahal itu masih tahap 'kulit', masih tahap ragawi kata ayah.

Aku sudah tidak punya pilihan lain.

"Ya sudahlah... terserah kamu saja nyamuk. Mau menggigit yang mana saja terserah. Mau lengan terserah, mau pipi terserah, mau kakiku juga terserah.", ucapku dalam hati. Aku sudah tidak punya keinginan apa-apa lagi.

Aku pasrah saja.

Nguuung..., nyamuk yang datang kini bertambah banyak. Sepertinya membawa teman karena merasa mendapat 'korban'.

Aku senyum.

Pasrah.

Ikhlas.

'Ckiitt', salah satu nyamuk tampaknya menggigit lengan kananku. 'Ckit', nyamuk lainnya menggigit lengan kiriku. Gatal sekali. Tapi aku biarkan saja.

Aku tersenyum.

Pasrah.

Ikhlas.

Dua puluh detik, tiga puluh detik, aku 'nikmati' rasa gatal ini.

Perlahan, rasa gatal itu mulai 'menghilang'. Perlahan, telingaku seperti menjadi semakin jernih. Suara-suara alam sekitar serasa menjadi semakin dekat, semakin besar saja. Perlahan, suara nafaskupun bahkan terdengar jelas sekali. Suara gemericik air di kejauhan terdengar. Suara ranting-ranting yang terbakar juga terdengar. Suara angin yang menerbangkan dedaunan juga terdengar.

Dan perlahan pula, suara hembusan angin dari lintasan nyamuk yang terbang di dekat kulitku menjadi semakin kecil. Mengecil. Suara-suara yang tadi aku dengar mulai mengecil, semakin kecil. Entah kenapa aku hanya merasakan tarikan dan hembusan nafas ini.

Tubuh ini serasa 'melebur'.

Theg...

Rasa di hati saat berlatih getara naluri dengan mas Giman terasa kembali. Tapi sekarang menjadi lebih jelas. Otot-otot yang bergerak kecil menjadi sangat terasa. Perlahan, dari jauh seperti ada sinar putih yang aku lihat. Mula-mula seperti satu titik kecil. Lalu makin lama makin terang dan besar. Aku seperti 'tersedot' ke dalamnya. Beberapa detik kemudian aku seperti berada di ruang yang berbeda.

Gelap.

Perlahan, aku membuka 'mata'. Samar-samar nampak banyak guratan cahaya. Indah sekali. Aku sangat terpesona melihatnya. Entah berapa lama aku 'melihat' itu.

"Cukup, kembalilah. Tarik nafas halus dari hidung, lalu tahan di dada.", ucap sebuah suara di 'telingaku'. Entah suara siapa. Tapi yang pasti aku bisa 'merasakan' niatnya yang baik.

Aku menurut.

Aku menarik nafas halus, perlahan, dari hidung, lalu tahan di dada. Saat melakukan itu, aku seperti kembali 'tersedot' dan merasakan lagi dinginnya udara dan gatalnya gigitan nyamuk.

"Bagus. Sekarang buka matamu.", ucap ayah.

Aku membuka mata.

"Eh, rasanya kok lebih jernih dari sebelumnya ya?", gumamku dalam hati.

"Bagaimana? Sudah mulai paham?", tanya ayah.

Aku mulai mengangguk.

"Iya, sedikit yah...", jawabku.

"Tidak apa-apa. Tidak semua harus kamu pahami sekaligus dalam satu saat. Bertahap saja. Nanti juga akan ketemu sendiri jalannya.", ucap ayah.

"Sudah malam. Lebih baik kita tidur saja dulu. Besok nanti dilanjutkan lagi. Ayah masuk ke tenda dulu ya. Kalau masih mau latihan, ya teruskan saja.", lanjut ayah.

Aku mengangguk.

"Iya yah. Aa masih mau minum dulu sebentar.", jawabku.

Aku melihat ayah berjalan menuju tenda. Membuka pintu tenda, lalu masuk ke dalamnya. Sementara aku sendiri masih duduk disitu. Memikirkan yang baru saja terjadi.



(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 01/03/2012 14:34
Tembang Tanpa Syair - Bagian 32

Peka!


Aku duduk sendiri di depan api unggun. Udara mulai terasa dingin. Dinginnya merambati kulitku, merambati sekujur tubuhku. Sesekali kutengadahkan wajahku, memandangi langit, kemudian memejamkan mata. Menghirup udara perlahan. Sangat terasa udara yang masuk melalui hidungku ini. Aku menahan udara yang kuhidup di dada, lalu turun perlahan melalui diafragma, turun lagi ke perut, hingga ke di bawah pusar. Perlahan, perutku mulai menghangat. Hangat ini aku naikkan ke dada, lalu aku salurkan ke jantung. Dari jantung aku distribusikan ke seluruh tubuh hingga menyisakan kesegaran dan kehangatan. Cukup untuk melawan dinginnya udara malam ini. Aku melakukan itu hingga beberapa kali. Setelah dirasa cukup, aku merasakan tubuhku kembali segar.

Aku masih memikirkan latihanku di hari pertama ini. Rasanya sungguh berbeda dibanding saat berlatih di halaman rumah bersama ayah. Meskipun aku juga sudah beberapa kali berlatih di alam terbuka, tetap saja latihan malam ini memiliki kesan yang berbeda dibanding sebelumnya. Terlebih dengan hadirnya mas Giman yang memberikan pengetahuan baru buatku.

Tiba-tiba aku teringat ucapan ayah,

"Nak, kalau kamu berlatih tanpa ambisi, maka kamu akan cepat berhasil. Karena seluruh sel-sel tubuhmu akan lebih mudah menerima petunjuk alam melalui hatimu. Melatih hal-hal yang mendasar, tidak kalah penting dibanding melatih keilmuan tingkat tinggi. Karena semua yang tinggi selau berawal dari yang dasar. Rasa yang sedemikian tinggi selalu berawal dari rasa yang mendasar. Pengetahuan yang tinggi selalu bermula dari pengetahuan dasar.".

Entah kenapa ucapan itu membuatku jadi bersemangat. Aku langsung berdiri, dan berjalan sekitar tiga meter, mencari tempat yang agak jauh dari api unggun. Sebelum tidur, aku ingin berlatih getaran satu kali lagi.

Aku duduk bersila. Memejamkan mata, kemudian menarik nafas halus melalui hidung, perlahan, menahannya di dada, untuk kemudian berdoa dalam hati memohon keselamatan dari Allah SWT, Sang Maha Pelindung sekaligus memohon kemudahan dari Allah SWT Sang Maha Membolak-balik Hati. Selesai berdoa, aku membuang nafas halus perlahan melalui mulut.

Aku mulai latihan dasar getaran. Dimulai dari melakukan Nafas Pembinaan yang dilakukan secara bolak-balik. Setelah dilakukan, olah nafas ini membuat seluruh tubuhku menjadi hangat. Apalagi bagian dada dan perutku, terasa sangat hangat. Kemudian masuk pada Nafas Pembersih. Sebelum masuk pada latihan nafas pembersih, ayah selalu menyarankan agar terlebih dahulu dimulai penyikapan hati, dari dalam, dari hati terlebih dahulu. Jernihkan hati. Bersihkan niat. Tenangkan diri. Heningkan mata hati.

Bersih.

Jernih.

Tenang.

Hening.

Aku menggeser arah tempat dudukku ke arah Selatan. Kemudian Timur, Utara, dan Barat. Setelah itu kembali ke arah Selatan. Melakukan kira-kira tujuh menitan pada setiap arahnya.

Rasa hati ini begitu plong, lepas, tenang, damai. Tanpa sadar aku tersenyum. Nafas pembersih yang terasa mengena. Mengena pada fisik dan juga hati. Mencoba mendapatkan kembang dan juga inti. Fisik bersih luar dan dalam adalah kembangnya. Organ bersih, darah bersih, juga kembangnya. Sedangkan hati bersih adalah intinya.

Dimulai dari yang dalam, dari hati. Kemudian menarik energi pembersih dari alam ke dalam tubuh ini dari luar ke dalam, seiring tarikan nafas yang memenuhi tubuh ini dan membersihkan tubuh ini. Sehingga semua menjadi bersih. Dari kulit menuju inti, dari kembang ke inti. Setelah itu masuk pada latihan getaran pribadi, dilanjutkan dengan nafas segitiga angkasa, bumi, gabungan. Terakhir, ditutup dengan aplikasi. Ayah hanya memintaku untuk banyak-banyak melakukan pengenalan getaran pribadiku dengan benda-benda di alam ini. Dengan kayu, dengan batu, dengan air, dengan tanah, dengan udara, dan sebagainya. Saat aku menanyakan mengapa aku harus melakukan itu, selalu dijawab oleh ayah bahwa nanti aku akan mengetahui sendiri manfaatnya.

Aku sebarkan getaranku pada benda-benda di sekitarku. Perlahan, satu per satu aku 'sentuhkan' getaran pribadiku dengan alam ini. Sambil merasakan benar rasa yang ada di hati ini saat bersinggungan. Suasana alam rasanya menjadi begitu tenang. Rasanya hanya tinggal aku dan apa-apa yang aku 'sentuh' saja.

Dengan pemahaman yang berkembang seperti sekarang ini, rasanya menjadi sungguh sangat berbeda. Entah berapa lama aku melakukan ini. Setelah aku rasa cukup, aku menghirup nafas perlahan dengan halus sambil merapatkan kedua telapak tanganku di depan dada. Bersamaan dengan itu, aku menarik kembali getaran pribadiku.

Aku buka mata perlahan. Rasanya sangat segar. Pikiran terasa lebih jernih, pandangan mata juga jernih. Aku tersenyum, dan bersyukur.

"Terima kasih Allah. Terima kasih kepada yang telah menemukan ilmu getaran ini.", ucapku dalam hati, menirukan ucapan ayah setiap kali selesai berlatih getaran. Ayah selalu bilang bahwa berterima kasihlah terhadap apapun yang menghasilkan kebaikan kepada diri kita dan alam semesta. Doakan pada mereka-mereka yang memberikan kebaikan kepada kita dan alam semesta ini. Sebab doa yang diucapkan dalam hati, apalagi dengan hati yang tulus ikhlas, akan didengar oleh alam semesta. Akan dirasakan oleh alam semesta. Dan akan dikembalikan dalam bentuk kebaikan-kebaikan yang banyak.

Aku menggeser dudukku ke dekat api unggun. Memandangi lidah api yang bergerak kesana kemari. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat ucapan ayah,

"Nak, sesungguhnya ada tujuan yang luhur saat silat ini mengajarkan getaran untuk kepekaan. Bahwa kalau sudah bisa merasakan kepekaan getaran pribadi, lalu sudah bisa merasakan kepekaan getaran alam, maka seharusnya kamu juga harus bisa peka terhadap masalah-masalah sosial yang ada. Kamu harus peka terhadap kesulitan keluargamu, kerabatmu, tetanggamu, sahabat-sahabatmu, dan juga teman-temanmu. Inilah intinya.

Kalau kamu hanya bisa peka terhadap dirimu sendiri, dan benda-benda mati disekitarmu, tapi kamu tidak peka terhadap masalah sosial di sekitarmu, maka sesungguhnya kamu masih terperangkap dalam tahap kulit saja. Kamu masih terbius oleh kembangnya. Kembang, memang indah, tapi seringkali bisa membuatmu terlena. Terlena oleh pengakuan. Ingin dianggap. Ingin diakui.

Getaran untuk tutup mata, untuk kepekaan, harus bisa ditransformasikan menjadi alat kontrol sosial dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di sekitarmu. Dengan demikian ia akan mengejawantah menjadi ajaran, menjadi cara hidup. Keilmuan yang menjadi ajaran."

Aku membenarkan ucapan ayah itu, dan rasanya mulai memahami ketika dulu ayah berkata bahwa sukma dari ajaran silat bukanlah pada penguasaan ilmu-ilmu tingkat tinggi semata tetapi intinya adalah bagaimana kita memahami ajaran yang ada dibalik keilmuan itu. Ajaran yang akan membentuk sikap, cara pandang, cara hidup.

"Nak, selanjutnya, adalah tugasmu untuk menolong dengan ikhlas sesuai dengan kemampuanmu. Ilmu getaran untuk kepekaan akan bertransformasi menjadi solusi pada masalah-masalah sosial di sekitarmu yang dibarengi dengan pertolongan pada yang membutuhkan sesuai dengan kapasitasmu dan kemampuanmu. Kamu lakukan itu semua dengan ikhlas. Ikhlas, dan ikhlas. Itulah sesungguhnya inti dari ajaran getaran untuk kepekaan ini. Peka terhadap diri sendiri, peka terhadap alam sekitar, dan peka terhadap masalah-masalah sosial di sekitarmu.

Ketika itu sudah kamu capai, maka kembangnya dapat intinya juga dapat.

Lengkap.

Sempurna.

Paripurna.

Kembang dan isi."

Tanpa sadar kepalaku tertunduk. Mataku terpejam, terasa sangat panas. Perlahan, dari sudut mataku yang terpejam menetes bulir-bulir air mata.

"Ayah, aku mulai bisa memahami maksud ayah. Aku mulai bisa mengerti makna yang selama ini tidak bisa aku mengerti. Terima kasih ayah.", ucapku dalam hati.

Aku bersyukur pada Allah.



(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 01/03/2012 14:41
Tembang Tanpa Syair - Bagian 33

Sambung Rasa



Aku membuka mata. Pandanganku menatap langit-langit tenda yang ada. Telingaku mendengar suara percakapan di luar tenda. Tidak berapa lama, disusul oleh bunyi motor yang dinyalakan dan dipacu perlahan. Aku memasukkan tanganku pada saku celana kanan, lalu mengeluarkan sebuah jam tangan berwarna hitam. Terlihat pukul tujuh lewat lima belas menit.

"Aaaaah! Sudah lebih dari pukul tujuuh! Waaah... aku kesiangan!", teriakku dengan keras.

Aku terkejut melihat waktu saat ini sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. Langsung saja aku bangun dan berlari keluar dari tenda. Melihat ke sekeliling. Aku melihat ayah sedang menyapu area di sekitar tenda. Sementara itu aku memandangi ke sekeliling, aku tidak melihat ada motor mas Giman lagi. Berarti yang aku dengar suara motor tadi pastilah suara motor mas Giman. Padahal aku belum sempat berterima kasih atas pengajaran latihannya dan nasehat-nasehatnya tadi malam. Aku sendiri melihat ayah berhenti menyapu dan memandang ke arahku. Tanpa sadar aku garuk-garuk kepala yang tidak gatal.

"Kamu dapat salam dari mas Giman. Lain kali nanti latihan lagi katanya.", ucap ayah.

"Iya yah. Maaf ya yah kalau Aa kesiangan...", jawabku.

"Iya sudah tidak apa-apa. Sana mandi dulu di sungai dibelakang tenda kita. Setelah itu sarapan dulu. Sudah ayah siapkan roti bakar dengan selai nanas kesukaanmu. Ayah letakkan disitu.", ucap ayah sambil menunjuk pada sebuah meja kecil di dekat bekas perapian api unggun.

Terlihat disana ada sebuah piring yang diatasnya ada dua potong roti bakar dengan selai nanas. Tanpa sadar perutku berbunyi. Rasanya 'naga-naga' di dalamnya harus segera diberi makan.

"Baik yah...", jawabku.

Aku berjalan ke samping tenda, mengambil handuk berwarna coklat yang tergantung pada seutas tali yang dibentuk sedemikian rupa seperti jemuran. Tak lupa pula aku mengambil sebuah plastik kecil yang berisi peralatan mandi seperti sabun mandi, sikat gigi, dan pasta gigi. Setelah itu berjalan menuju sungai. Aku menyusuri jalan setapak di balik bukit. Tidak berapa lama, suara air sungai bergemericik terdengar sangat jelas. Pandanganku menyapu ke sekeliling. Terlihat indah sekali suasananya. Aku berjalan mengambil tempat agak ke pinggir, di dekat sebuah batu besar. Disitu ada sebuah pohon setinggi tubuhku dengan ranting-ranting yang terlihat kokoh. Cocok sekali untuk meletakkan baju dan celana panjangku disitu. Pantulan sinar matahari pada air sungai mengenai mataku. Memancing semangatku untuk segera mandi.

Aku melepas baju dan celanaku, menggantungkannya pada ranting pohon tersebut . Kini aku hanya mengenakan celana pendek. Plastik hitam yang berisi alat-alat mandi aku bawa dengan cara digelayutkan pada bahu kananku. Lalu berjalan menuju sungai. Telapak kakiku menyentuh air sungai. Rasanya dingin menyegarkan. Dilanjutkan dengan mencelupkan terlebih dahulu sebatas mata kaki, lalu perlahan hingga sebatas lutut. Diikuti dengan kaki kiri, mulai dari telapak, lalu sebatas mata kaki, hingga sebatas lutut.

Dingin.

Menyegarkan.

Aku berjalan perlahan lebih ke tengah lagi. Dalam tiga langkah, pinggangku mulai terendam. Aku menghirup nafas perlahan, panjang. Memasukkan banyak sekali oksigen ke dalam paru-paruku.

Segarnya.

Plastik yang berisi alat-alat mandi aku letakkan pada sebuah batu yang berukuran cukup besar di dekatku. Aku merendahkan tubuhku hingga terendam seluruhnya. Lalu menegakkan kembali tubuhku. Kini air sudah membasahi seluruh tubuhku, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Luar biasa segarnya. Sambil bernyanyi-nyanyi kecil, aku mulai mengeluarkan sabun mandi dari plastik hitam yang kubawa. Baunya yang wangi membuatku menjadi lebih bersemangat. Acara mandiku kali ini ditutup dengan aktivitas menggosok gigi.

Aku memasukkan semua alat mandi ke dalam plastik hitam, dan bersiap untuk berjalan menuju pohon dimana aku menggantungkan baju, celana, dan handuk coklat. Aku memejamkan mata. Menghirup lagi udara pagi yang segar sekali melalui hidungku secara perlahan. Merasakan benar setiap aliran udara yang masuk ke tubuh ini. Setelah itu berjalan perlahan. Baru saja berjalan satu langkah, aku tiba-tiba merasakan telapak tanganku seperti bersinggunggan sesuatu di dalam air. Secara reflek aku membuka mata lalu melihat ke arah tangan yang tersentuh sesuatu, ternyata tidak ada apa-apa disitu. Tapi aku yakin benar kalau barusan telapak tanganku seperti menyentuh sesuatu. Penasaran, aku naik ke batu besar tempat aku meletakkan plastik hitam. Barangkali saja tersentuh ikan lewat. Aku lihat tidak ada ikan disitu. Lalu, apa yang menyentuh telapak tanganku tadi?

Aku turun kembali ke dalam air. Penasaran, aku memejamkan mata. Konsentrasiku kuarahkan pada kedua telapak tanganku. Aku menghirup nafas halus dari hidung, perlahan. Memusatkan seluruhnya pada rasa.

"Eh... ini... kok rasanya begini?", aku terkejut.

Telapak tanganku seperti mengenai sebuah lapisan halus. Rasanya bisa aku 'pegang'. Aku renggangkan keseluruh jariku, rasanya semakin jelas saja. Kemudian aku perlahan menggenggam lapisan halus tersebut., setelah itu melepasnya lagi. Membuka kedua telapak tanganku, lalu menggesernya perlahan. Memutar pergelangan tanganku sehingga telapak tanganku menghadap ke atas dengan tetap masih di dalam air. Sentuhannya kok berbeda sekali. Tidak sama seperti saat aku baru masuk ke dalamnya tadi. Aku sangat menikmati ini. Unik. Perpaduan antara dingin, lembut, halus, dengan sensasi seperti ada aliran listrik halus yang merambati telapak tanganku. Sungguh sangat unik.

Aku membuka mata, melepas kembali konsentrasiku. Rasa dingin aliran air normal kembali terasa. Rasa yang sama seperti saat aku pertama kali masuk ke dalam sungai ini. Aku masih belum mengerti kenapa bisa begitu.

Tanpa sadar aku merasakan perutku berbunyi.

"Ah, rupanya sudah mulai lapar nih", ucapku dalam hati.

Aku bergegas berjalan ke pinggir sungai. Setelah sebelumnya mengeringkan tubuh dengan handuk dan menukar celana yang basah dengan yang kering, aku mengalungkan bajuku di leher. Tidak memakainya. Dan berjalan kembali menyusuri jalan setapak menuju tenda. Roti bakar dengan selai nanas itu sudah menungguku.

Dari jauh, aku melihat ayah sepertinya sudah selesai menyapu. Patahan-patahan ranting dan daun-daun yang berjatuhan sudah rapi tersusun di suatu tempat di dekat tenda. Sementara ayah sendiri sedang duduk sila di dekat meja sambil memejamkan mata. Raut mukanya terlihat tenang, damai. Caranya menghirup nafas juga terlihat sangat teratur, perlahan, lembut, landung.

Aku berjalan dengan mengambil arah dari belakang tenda, lalu masuk ke dalamnya melalui pintu tenda satunya. Dan segera mengganti baju dan celana. Tidak berapa lama, aku sudah keluar dengan baju baru yang lebih bersih. Baju itu berwarna putih, berupa kaos lengan pendek. Sementara celananya masih tetap aku menggunakan celana hitam silat yang kedua ujungnya terdapat lima jahitan selebar setengah sentimeter. Aku berjalan mendekat menuju meja, lalu duduk dan segera mengambil roti bakar isi selai nanas. Dengan terlebih dahulu berdoa, mulailah roti bakar itu aku makan.

Rasanya enak sekali. Selai nanasnya begitu manis. Kombinasi mentega, coklat, dan selai nanas yang luar biasa mantap. Hebat juga ayah membuatnya. Rasanya tidak kalah dengan roti bakar yang biasa sering aku aku beli di dekat rumah, agak ke kanan sedikit disebelah warung. Ini benar-benar enak, atau memang aku yang sedang lapar. Sementara ayah sendiri masih memejamkan mata. Sepertinya tidak terpengaruh dengan kehadiranku di dekatnya.

Sambil makan, aku memperhatikan ayah. Aku melihat bagaimana ia duduk. Aku melihat bagaimana ia menghirup nafas, menahannya, lalu mengeluarkannya perlahan. Menghirup nafas lagi perlahan, halus, lalu menahannya, dan mengeluarkannya lagi. Setelah beberapa tarikan nafas, aku seperti melihat ada sesuatu yang aneh. Setiap kali ayah menghirup nafas, aku seperti merasakan ada tarikan ke arah ayah. Saat kemudian ayah membuang nafas perlahan, aku seperti merasakan ada dorongan yang menjauhi ayah. Aku mengkerutkan dahiku. Penasaran, aku perhatikan benar-benar.

"Eh, iya beneran...", ucapku dalam hati.

Satu roti bakar sudah aku habiskan. Tinggal satu lagi. Aku urungkan untuk memakannya karena aku penasaran dengan pemandangan di depanku ini. Tanpa sadar aku mengikuti cara ayah bernafas. Menghirup perlahan dari hidung, menahannya, kemudian membuang perlahan. Aku hitung, ayah menghirup nafas dari hidung dengan perlahan, halus, lembut, kira-kira lima detik. Lalu menahannya kira-kira lima detik, dan kemudian membuangnya perlahan selama lima detik juga. Sangat teratur sekali. Aku terpengaruh. Ritme nafasku kini mengikuti ritme nafas ayah.

Satu kali.

Dua kali.

Tiga kali.

Empat kali.

Lima kali.

Enam kali.

Tepat di hitungan ketujuh, saat aku menahan nafas, lalu menghitung dalam hati... satu... dua... tiga... empat... lima... enam... tujuh... delapan...

"Uhuk-uhuk!", aku terbatuk dan tersenggal-senggal.

Ritme ayah berubah. Aku yang tanpa sadar mengikuti ritmenya seperti terperangkap sendiri hingga ketika ayah menahan nafas lebih lama, aku jadi terbawa dan mengikutinya. Sementara ritme awalku yang setiap lima detik berganti antara menarik nafas, menahan, dan membuang nafas, menjadi kacau karenanya. Ritme nafasku langsung berantakan. Buyar.

Aku melihat ayah membuka mata dan tersenyum. Sementara aku masih tersengal dengan mata sedikit mendelik karena berusaha menahan batuk.

"Uhuk-uhuk!", aku kembali batuk dan tesenggal-senggal.

"Atur nafasmu...", ucap ayah.

Aku menurut. Aku menarik nafas halus perlahan, lama, menahannya di dada, lalu mengeluarkannya perlahan. Tanpa ritme, hanya berusaha agar keluar dari ritme awalnya. Setelah tiga tarikan nafas, aku mulai mendapati ritmeku sendiri.

"Minum dulu...", lanjut ayah sambil menyodorkan air minum.

Aku menerimanya.

"Terima kasih yah...", jawabku. Tanpa ragu, langsung aku minum saja dengan tetap berdoa terlebih dahulu dalam hati. Setelah kerongkonganku basah oleh air dingin pemberian ayah, perlahan aku mulai bisa menguasai diriku lagi. Aku melihat ayah menggeser posisi duduknya dan sedikit memutar hingga sekarang berhadapan denganku dengan jarak yang dibatasi oleh meja kecil.

"Kenapa? Ritme nafasmu jadi kacau ya?", tanya ayah sambil tersenyum.

"I... iya yah. Kok bisa yah?", jawabku penasaran.

"Nanti kamu akan belajar dan mengetahui maknanya. Yang jelas, bahwa semua di dalam alam ini punya pola, punya ritme yang khas. Dan ritme itu sesungguhnya adalah getaran. Dengan kata lain, setiap benda di alam ini punya getaran yang khas. Apapun itu. Baik yang melekat di tubuhmu, luar dan dalam, yang kasat mata, maupun yang tidak kasat mata. Getaran kayu, batu, tanah, air, sangatlah khas. Masing-masing punya pola sendiri. Getaran kulit, daging, tulang, otot, dan yang lainya juga sangatlah khas. Ada polanya sendiri. Ada ritmenya sendiri.", ucap ayah menjelaskan.

Aku mengangguk. Mendengarkan seksama penjelasan ayah.

"Ketika kamu sudah bisa menyesuaikan dengan polanya, maka terjadilah resonansi, terjadi apa yang disebut dengan sambung rasa. Kamu akan mendapat pengetahuan baru. Pengetahuan mengenai karakteristik obyek yang beresonansi terhadapmu. Pada tahap ini, kamu bisa memanipulasi atau kamu bisa dimanipulasi.", lanjut ayah.

Aku mengangguk.

Rasanya aku mulai mengerti. Barangkali, itu juga yang aku rasakan saat di sungai tadi. Saat telapak tanganku seperti menyentuh sesuatu. Mungkin saja saat itu terjadi resonansi antara getaranku dengan getaran air. Saat aku merasakan benar segarnya air, lalu seluruh tubuhku rasanya ingin melebur bersama air sungai itu. Akibatnya justru diluar perkiraan. Sambung rasa malah terjadi antara getaranku dengan getaran air sungai itu sehingga menghasilkan rasa dingin yang unik, khas, yang berbeda dengan yang kurasakan sebelumnya. Sama-sama air, tapi rasa yang aku dapat sungguh berbeda.

"Ketika getaran pribadimu sudah terbentuk dan sudah bisa kamu rasakan benar. Maka proses pemahaman getaran alam hanya tinggal masalah waktu saja.

Meski demikian, kamu harus selalu ingat bahwa niatmu yang menyatu dengan getaran jangan dibuat main-main. Sebab niat ini akan menentukan bagaimana sifat dari getaranmu, dan niat ini akan menentukan hasil akhir. Meskipun getaran yang sama yang kamu pancarkan, tapi kalau niatmu tidak baik, maka efeknya bisa sedemikian berbeda. Sambung rasa yang terjadi bisa berakibat tidak baik. Bagi dirimu dan bagi alam sekitar.

Kalau niat kita bersunggu-sungguh, maka seluruh unsur tubuh, seluruh sel dan jaringan, tenaga, getaran pribadi dan naluri, segera menyesuaikan diri pada yang diniatkan tersebut.

Akan menyambung.

Akan merasa.

Sambung rasa.

Kalau niatnya menyembuhkan, otomatis semua unsur tubuh, getaran yang keluar, akan mendukung itu. Sebaliknya kalau niatnya menghancurkan atau menyerang, sikap seluruh tubuh termasuk getaran dan nalurinya,  akan terprogram kesana. Kalau niatnya belum menyatu, ragu-ragu, maka terjadilah salah hasil akhir, yang seharusnya penyembuhan, salah penyaluran, malah membuat jadi kesakitan.

Menjadi bertambahlah kesadaran, makin punya daya atau tenaga lebih, harus makin hati-hati, jangan sampai salah niat.

Camkan itu...", tegas ayah.

Aku mengangguk.

"Iya yah, Aa akan ingat selalu nasehat ayah...", jawabku mantap.

"Ya sudah kalau begitu, ayo kita latihan tata gerak. Kita mulai dari pemahaman-pemahaman mendasar mengenai gerak silat yang ayah ajarkan ini.", ucap ayah.

"Baik yah!", jawabku bersemangat.



(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 01/03/2012 14:57
Tembang Tanpa Syair - Bagian 34

Duduk Sempurna, Berdiri Sempurna



Ayah memilih lokasi sedikit menjauh dari tenda. Sekitar sepuluh meter, di tempat yang cukup datar dengan permukaan tanah yang sedikit berbatu. Aku berdiri berhadapan dengan ayah. Jarak kami sekitar tiga meter satu sama lain.

"Pagi ini, ayah akan mengajarkanmu bagaimana duduk sempurna dan berdiri sempurna. Ini adalah materi yang paling mendasar dari tata gerak beladiri.", ucap ayah.

"Sikap siap, heaaa!", ucap ayah cukup keras.

Mendengar aba-aba itu, aku langsung menegakkan tubuhku sambil kedua tanganku menjuntai disamping badan dengan ujung jari terbuka dan menghadap ke bawah. Pandangan mata ke depan, lurus, fokus.

"Sikap Sempurna, heaaa!", ucap ayah dengan lantang.

Aku memutar pergelanganku hingga telapak tangannya menghadap ke atas sambil menggerakkan kedua tangan ke arah ketiak lalu mendorongnya ke depan dimulai dari menyilang di depan dada sambil memutar kembali pergelangan tangan pada posisi kanan diatas kiri dibawah dengan telapak yang menghadap ke bawah hingga kedua siku lurus dan telapak yang bersilangan. Setelah itu aku menurunkan kedua tangan sambil mengepalkan ke samping tubuh, sejajar dengan samping tubuh. Aku menggerakkan dengan luwes dengan tambahan sedikit pengerasan tangan hingga terlihat luwes tapi tetap bertenaga.

"Bagus!

Lakukan Duduk Sempurna dalam tiga hitungan.

Duduk Sempurna, hitungan pertama, heaaa!", ucap ayah lantang.

Pada hitungan pertama ini, tangan kiriku aku tarik hingga samping pinggang sambil terkepal. Bersamaan dengan itu aku geser sedikit telapak kaki kiri ke arah kiri sambil menekuk sedikit lutut kiri dan memutar tubuh hingga menghadap ke kiri. Ujung jari kakiku sekarang sejajar arahnya dengan tubuhku yang mengarah ke kiri. Pandangan masih ke depan. Pergelangan kepalan tangan kanan sedikit ditekuk ke dalam membentuk posisi gerak serangan tangan bernama Ayunan. Sementara kaki kananku ditarik sedikit mendekati kaki kiri dengan lutut yang  ditekuk secukupnya dengan hanya menyentuhkan bantalan depan kaki pada tanah, telapak dan tumit tidak menyentuh tanah. Porsi kaki menahan berat tubuh adalah sembilan puluh persen pada kaki kiri dan sepuluh persen pada kaki kanan.

"Duduk Sempurna, hitungan kedua, heaaa!", lanjut ayah lantang.

Pada hitungan kedua ini, lutut kiriku aku tekuk lebih rendah lagi hingga menyentuh tanah sementara tulang kering dan punggung telapak kaki kiri juga sejajar dengan tanah. Posisi lutut kiri yang menyentuh tanah berada dibelakang telapak kaki kanan. Secara otomatis karena lutut kiri diturunkan sangat rendah, maka lutut kanan menjadi tertekuk rendah sehingga telapak kaki kanan pada akhirnya menyentuh sempurna pada tanah. Posisi tangan kiri masih di pinggang, sedangkan tangan kanan digerakkan mengayun dari bawah ke atas membentuk gerak tangan Tangkisan Atas dengan sisi telapak tangan kanan yang ditekuk ke depan. Arah pandangan mata sejajar dengan ujung kuku jari tengah tangan kanan. Porsi kaki menahan berat tubuh adalah sembilan puluh lima persen pada kaki kiri dan lima persen pada kaki kanan.

"Duduk sempurna, hitungan ketiga, heaaa!", ucap ayah lantang.

Pada hitungan ketiga ini, aku menyentuhkan pinggulku ke tanah sepenuhnya, lalu menarik kaki kanan diatas betis kaki kiri sehingga membentuk posisi duduk bersila dengan punggung telapak kaki kanan yang berada di atas betis kaki kiri sedikit keatas ke arah pergelangan lutut. Sementara posisi kedua tangan mengepal dan diletakkan diatas kedua lutut dengan  punggung tangan menghadap ke atas. Badan rileks tapi tegak, pandangan mata menatap fokus ke depan.

"Bagus!  Sekarang, kembali berdiri sempurna dalam tiga hitungan. Hitungan pertama, heaaa!", lanjut ayah lantang.

Pada hitungan pertama posisi dari Duduk Sempurna persiapan untuk berdiri sempurna adalah dengan menarik tangan kiri mengepal kesamping pinggang kiri. Bersamaan dengan melewatkan telapak kaki kanan di depan lutut kiri dan memutar pinggang sedikit ke arah kiri. Sementara tangan kanan diluruskan dengan posisi kepalan sedikit tertekuk ke dalam membentuk posisi gerak serangan tangan Ayunan. Porsi berat badan masih berada di kaki kiri yang masih menempel pada tanah.

"Berdiri Sempurna, hitungan kedua, heaaa!", ucap ayah keras.

Pada hitungan kedua ini akan membentuk gerakan yang sama dengan hitungan kedua pada saat melakukan Duduk Sempurna.

"Berdiri Sempurna, hitungan ketiga, heaaa!", ucap ayah lantang.

Pada hitungan ketiga, kaki kanan ditarik ke arah kanan hingga jaraknya selebar bahu dan ujung-ujung jari kaki mengarah ke depan. Sementara kedua tangan digerakkan dari bawah pinggang hingga menyilang di depan dada dan langsung diturunkan ke bawah hingga sejajar dengan pinggang seperti posisi awal Sikap Sempurna.

"Lakukan terus seperti itu, mulai dari Sikap Siap, Sikap Sempurna, dan Duduk Sempurna. Lakukan selama sepuluh menit, perlahan.", perintah ayah.

Aku agak terkejut juga karena aku hanya diminta melakukan Sikap Berdiri Sempurna dan Duduk Sempurna saja. Meskipun aku masih kurang paham maksud ayah, tapi aku tidak berani membantahnya. Aku menurutinya. Sementara ayah hanya melihat aku melakukan dua gerakan itu saja terus.

Tiga menit.

Lima menit.

Tujuh menit.

Sembilan menit.

Sepuluh menit.

"Uuuh, mulai terasa lelah juga nih", gumamku dalam hati.

"Jangan berhenti. Lanjutkan untuk sepuluh menit berikutnya...", perintah ayah.

Meski aku terkejut, tapi ya lagi-lagi aku tidak berani membantah. Aku turuti saja, meski aku tidak tahu kenapa ayah menyuruhku melakukan ini terus. Hanya Sikap Berdiri Sempurna dan Duduk Sempurna saja.

Lima menit.

Sembilan menit.

Sepuluh menit.

"Sudah yah...", ucapku. Dua puluh menitan melakukan dua gerakan ini, tak terasa peluhku juga mulai bercucuran.

"Sepuluh menit terakhir, lakukan lagi. Setelah itu boleh istirahat sebentar...", perintah ayah lagi.

"Se...sepuluh menit lagi yah?", tanyaku penasaran.

"Iya, lakukan saja...", jawab ayah.

"Ba... baik yah...", ucapku.

Aku kembali memulai dua gerakan itu. Sikap Berdiri Sempurna dan Duduk Sempurna. Aku masih belum mengerti, apa maksud ayah.

Satu menit.

Lima menit.

Sembilan menit.

Sepuluh menit.

"Selesai yah...", ucapku.

Ayah tidak menjawab. Ayah hanya mengangguk saja.

"Istirahat dulu.

Istirahat selama satu menit. Setelah itu, lakukan lagi selama sepuluh menit. Istirahat lagi satu menit, ulangi lagi selama sepuluh menit. Istirahat satu menit, dan terakhir lakukan selama sepuluh menit lagi.", pinta ayah.

Aku terkejut. Kalau dihitung, berarti sekitar satu jam aku hanya melakukan dua gerakan ini saja.

"Apa ya kira-kira maksud ayah?", gumamku dalam hati.

"Jangan bertanya dulu, lakukan saja.", perintah ayah.

Ayah seperti mengerti isi hatiku. Aku tersenyum kecut, dan mengangguk. Tidak berani membantah atau mempertanyakan. Aku percaya ayah punya maksud tersendiri yang aku belum tahu.

Tiga puluh menit berikutnya aku hanya melakukan dua gerakan itu saja.

"Cukup... istirahat dulu.", ucap ayah.

Aku menurut.

Ayah ternyata sudah membawa satu gelas air minum.

"Minum dulu...", lanjut ayah sambil menyodorkan gelas berisi air minum.

Setelah berdoa dalam hati, aku langsung meneguk air minum itu. Segar sekali membasahi tenggorokan ini.

"Duduklah...", pinta ayah.

Wah, justru ini yang ditunggu-tunggu. Aku langsung duduk sambil meluruskan kaki. Sementara ayah duduk berada sekitar dua meter di depanku.

"Kamu mungkin heran mengapa ayah memintamu melatih dau bentuk ini hampir satu jam?", tanya ayah.

"Iya yah.", jawabku singkat.

"Pertama, jangan sepelekan bentuk dasar. Jangan sepelekan gerakan dasar. Ada tujuan penting saat kamu merubah posisi dari berdiri ke duduk. Bahkan posisi berdiripun harus kamu rasakan benar.", ucap ayah.

"Merasakan posisi berdiri?", tanyaku spontan penasaran.

"Benar. Banyak hal yang terjadi saat berdiri yang tidak kamu sadari. Bahwa berdiri sempurna, bukanlah sekedar berdiri biasa saja. Kalau sekedar dilakukan dalam waktu satu atau dua menit, hal itu tidak akan terasa. Tapi kalau dilakukan selama paling tidak sepuluh menit, maka rasanya akan berbeda.", jawab ayah.

Aku mengerutkan dahi. Tidak mengerti apa yang ayah maksudkan.

"Berdirilah. Disitu saja tidak apa-apa. Lakukan posisi Sikap Sempurna. Setelah itu diamlah, tahan selama sepuluh menit.", perintah ayah.

Aku menurut. Aku langsung berdiri dan melakukan posisi Sikap Sempurna. Diam mematung dengan pandangan lurus ke depan. Satu menit, dua menit, rasanya pundak dan punggung ini mulai pegal. Lima menit, pinggang juga mulai berasa pegal, leher mulai bereaksi, membuatku ingin sekali menggerakkan tubuh ini. Setelah kira-kira tujuh menitan rasanya keseimbanganku mulai terganggu.

"Tetap diam, pertahankan kondisi itu dengan pikiranmu. Aturlah pembagian berat tubuh agar seimbang. Rasakan benar bagaimana gravitasi bumi mempengaruhimu. Jangan ada pengejangan.", ucap ayah.

Aku mengikuti perintah ayah. Sambil tetap membuka mata dan memandang lurus ke depan, aku mulai mempertahankan kondisi tubuh itu dengan pikiranku.

Tiga menit berikutnya, rasa pegal pada pundak dan punggung ini mulai menghilang. Aku bisa merasakan bahwa saat terjadi rasa pegal pada pundak dan punggung itu dikarenakan posisinya yang tidak segaris, posisi yang tidak merata pada pembagian berat tubuh. Sehingga terjadi penekanan pada bagian-bagian tertentu saja. Setelah lima menit, rasa pegal pada pinggang, leher, mulai menghilang. Aku heran.

"Eh, kok bisa ya?", gumamku dalam hati.

Lima menit lagi berikutnya, aku merasakan otot-otot yang ada pada tubuh ini saling berkontraksi satu sama lain. Kalau keseimbanganku mulai bergeser ke kanan, maka pikiranku akan mengarahkan agar seimbang lagi. Perlahan, aku mulai mengerti bahwa ketika seseorang berdiri, ada banyak gaya yang mempengaruhinya. Proses keseimbangan, proses-proses mekanik lain pada tubuh ternyata bisa aku rasakan saat pikiranku berusaha mengendalikan kondisi berdiriku ini. Gravitasi bumi yang mempengaruhiku terasa sekali, kemana tekanannya, lalu bagaimana aku harus memindahkannya.

"Cukup!", ucap ayah.

Aku menurut. Lalu kembali berdiri seperti biasa.

"Eh, kok jadi tidak pegal ya yah? Tidak seperti sebelumya.", tanyaku.

Ayah kemudian berdiri.

"Benar nak. Sikap Berdiri Sempurna, meski sepele, tapi sungguh banyak yang terjadi di dalamnya, banyak yang bisa kamu dapatkan manfaatnya. Mulai dari merasakan benar pembagian berat tubuhmu, bagaimana gravitasi mempengaruhimu, bagaimana kamu memindahkan ketidakseimbangan menjadi seimbang, bagaimana kamu menyalurkan perbedaan tekanan sehingga kamu jadi seimbang lagi, dan banyak lagi.", jawab ayah.

Aku mengangguk. Mulai memahami maksud ayah.
"Pada akhirya, kamu akan memahami bagaimana tubuh ini bergerak hanya dari mempelajari sikap Berdiri Sempurna. Dengan memahami ini, kamu akan tahu bagaimana ototmu bekerja, bagaimana mereka saling terhubung satu sama lain, saling menguatkan, dan saling menetralkan. Bagaimana koordinasi antar tulang, koordinasi antar otot, syaraf, dan sebagainya.", lanjut ayah.

"Bahkan, pada sebuah pukulan sederhana, kalau dilandasi dengan pemahaman cara tubuh dalammu bergerak, maka bisa menghasilkan daya yang luar biasa. Normalnya, daya pukulan dibentuk dengan memaksimalkan jarak. Tapi kalau kamu memahami cara tubuh dalammu bergerak, kamu bisa mengganti jarak itu dengan bagaimana tenaga pada rangkaian koordinasi ototmu menimbulkan daya. Dan ini yang kamu lepaskan. Efeknya tidak kalah dibanding jarak yang selama ini umum kamu kenal.", ucap ayah.

Aku tertegun mendengar penjelasan ayah. Masih belum mengerti sepenuhnya.

"Coba pukul ayah disini...", pinta ayah sambil jarinya menunjuk dada. Ayah berdiri dengan posisi kaki selebar bahu. Posisi yang sama dengan sikap sempurna.

"Dipukul yah?", tanyaku penasaran.

"Iya, pukul saja tidak apa-apa...", jawab ayah.

Aku bersiap mengambil jarak secukupnya, lalu melepas gerak tangan serangan bernama Pukulan Datar.

Bhugg!

Pukulanku terasa keras mengenai. Tapi ayah sama sekali tidak bergeser. Posisinya masih tetap disitu. Padahal pukulan ini paling tidak akan mendorong ayah. Tapi ini sama sekali tidak bergerak. Yang aku rasakan, tenaga pukulanku seperti terserap. Hilang.

"Pukul lagi... Lebih keras...", pinta ayah.

Aku menurut. Aku mengambil jarak secukupnya, lalu kembali melayangkan Pukulan Datar dengan tenaga yang lebih keras.

Bhugg!

Rasanya tenaga pukulanku seperti lenyap begitu saja. Blas... seperti hilang.

"Eh, kok bisa begini...?", aku berteriak kecil.

"Menarik, bukan? Dengan memahami bagaimana rasa yang terjadi saat tubuhmu mengalami sesuatu, maka itu bisa kamu manfaatkan untuk banyak hal. Termasuk mengarahkan tenaga benturan ke bumi melalui kaki. Mengendalikan pikiranmu agar secepat terjadi benturan, maka secepat itu juga kamu memindahkan aliran tenaganya ke tempat lain.", ucap ayah.

"Jadi, sikap Berdiri Sempurna, dan Duduk Sempurna, memiliki fungsi dasar yang penting dalam memahami bagaimana tubuhmu bekerja pada perpindahan berat tubuh. Perpindahan berat tubuh, kalau digabungkan dengan rasa, maka lebih jauh lagi akan terkait dengan gaya gravitasi, tekanan tenaga pada kulitmu, pada otot-ototmu, pada dagingmu, pada tulangmu, dan bagaimana ia mengalir.", lanjut ayah.

Aku mengangguk. Mulai bisa memahami maksud ayah.

"Lanjutkan latihannya. Ada sesuatu yang ingin ayah tunjukkan padamu setelah ini.", ucap ayah.

"Baik yah...", jawabku.

Aku melihat ayah berjalan menjauh dari tempat latihan kami.

Aku kembali memulai berlatih sikap Berdiri Sempurna, kemudian sikap Duduk Sempurna. Dari duduk, kemudian berdiri perlahan. Dari berdiri, kemudian duduk perlahan. Merasakan seluruh tubuh ini bergerak. Mana yang tertahan, mana yang tertekan, mana yang pegal, mana yang ringan, mana yang kuat, mana yang lemah. Pikiranku mengendalikan, hatiku merasakan.

Setelah aku lakukan berulang-ulang, aku mulai mengerti maksud ayah. Saat ini, tidak hanya sikap Berdiri Sempurna dan Duduk Sempurna saja, aku tambahkan dengan gerak dasar langkah berupa kuda-kuda Tengah Sedang dan kuda-kuda Tengah Rendah. Bagaimana kaki bergeser, bagaimana tumpuan dari kaki kiri ke kaki kanan, dari kaki kanan ke kaki kiri. Tumpuan pada kedua kaki. Menjaga agar tetap tegak, punggung lurus dengan leher. Pundak, bahu, semuanya. Rasanya benar-benar berbeda.

Aku teringat ucapan ayah,

"Berlatih gerakan, tidak hanya bisa menirukan gerakan saja, tapi juga harus bisa memahami apa yang tersembunyi dibalik setiap gerakan."



(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: silau on 05/03/2012 17:54
trims mas mpcrb, kisahnya menjadi inspirasi untuk mersudi.

jelas
bening
jernih
tenang
hening

Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: anaknaga on 13/03/2012 13:43
mas gunggung..

sudah dua bulan belum update Cersil nya nih..
tak tunggu Cersil Sampeyan.. :)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 13/03/2012 17:45
@anaknaga,

Bagian 34 itu yang terbaru loh, terbit 1 Maret 2012. Cek deh di tanggalnya :)

Kalau mau yang buku ketiga, bisa di download disini:

https://skydrive.live.com/?cid=12ea94da72decb15&id=12EA94DA72DECB15!127 (https://skydrive.live.com/?cid=12ea94da72decb15&id=12EA94DA72DECB15!127)

:D
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 22/07/2012 13:14
Selamat menikmati kembali  :-*


Tembang Tanpa Syair - Bagian 35

Cengkraman Bambu Raut



Aku duduk istirahat di sebuah batu yang cukup besar. Peluh membasahi tubuhku. Segar sekali rasanya. Aku melihat ayah keluar dari tenda dengan membawa dua buah bambu raut.

Aku tersenyum. Ingatanku serasa kembali ke masa lalu.

Aku ingat pertama kali menggunakan bambu raut ketika SMP. Itupun karena aku yang meminta. Kejadiannya ketika ayah sedang mengajariku tata gerak di halaman rumah, secara tidak sengaja tanganku berbenturan dengan tangan ayah. Aku terkejut karena tangan ayah kurasakan bagai batu. Keras sekali. Sampai sakit tanganku saat berbenturan dengan tangan ayah. Termasuk juga ketika ayah mengajariku materi tangkap kunci, aku merasakan cengkraman tangan ayah luar biasa kencang saat menangkap tanganku. Kalau dikeraskan lagi mungkin tulang lenganku akan patah. Saat itu aku bertanya pada ayah mengapa tangan ayah bisa begitu keras seperti ini.

"Ayah, tangan ayah keras sekali sih. Kenapa bisa begitu ya yah? Tangan Aa kalo benturan sama temen ngga sekeras itu yah.", tanyaku penasaran.

Ayah tersenyum.

"Tunggu sebentar, ada yang ingin ayah tunjukkan padamu.", jawab ayah singkat. Ayah kemudian berjalan masuk ke dalam rumah, dan tidak lama kemudian keluar dengan membawa sebuah alat yang terbuat dari bambu.

Bambu raut yang ayah bawa ukurannya kira-kira sepanjang lebar bahu ayah atau kurang lebih lima puluh sentimeter. Tersusun atas bambu-bambu kecil yang jumlahnya enam puluh buah dan diikat oleh dua buah karet ban yang dipotong selebar dua ruas jari dan dipasang berjarak satu kepalan dari ujung bambu.

"Inilah yang ayah gunakan sehingga lengan ayah bisa seperti yang Aa rasakan itu.", ucap ayah.

"Pake ini yah?", tanyaku.

"Ya benar. Ini namanya bambu raut atau biasa juga disebut 'lidi'. Ini adalah medium latihan yang khas dari silat ayah ini.", jawab ayah singkat.

"Dalam menggunakan bambu raut ini harus menggunakan tata nafas agar maksimal. Hasilnya nanti seperti yang Aa rasakan saat berbenturan dengan tangan ayah. Tangan akan menjadi keras bagai cadas dari mulai ujung jarinya. Keras, tapi lentur. Tidak kaku.", lanjut ayah.

"Ayah tentu saja akan mengajarkannya kepadamu karena latihan bambu raut ini sudah wajib dilakukan sejak materi dasar. Karena ini diajarkan sejak masih dasar, seperti latihanmu saat ini, maka ke depannya kamu tidak perlu khawatir lagi kalau berbenturan dengan tangan siapapun juga. Tanganmu sudah siap untuk itu.

Kamu tidak akan merasa sakit. Tapi sebaliknya, lawanmulah yang akan merasakan sakit jika berbenturan dengan tanganmu.", ucap ayah.

"Oooh... pantas saja ayah tidak pernah ragu untuk melakukan gerakan yang sifatnya menangkap atau mencengkram atau menangkis. Karena memang tangan ayah sudah terbentuk sedemikian rupa sebagai hasil dari latihan bambu raut ini.", ucapku dalam hati.

"Jika tanganmu sudah siap dengan benturan, artinya gerakanmu akan lebih baik lagi. Sebab seringkali terjadi kamu sudah punya gerakan yang mantap, tapi ketika lawanmu menyerang dan kamu menangkis kemudian kamu jadi meringis, maka berikutnya dipastikan kemampuan gerakanmu akan menurun. Bahkan bisa hilang sama sekali. Kamu harus menggantinya dengan gerakan yang lain.

Tapi kalau tanganmu sudah siap, maka semua gerakan yang berhubungan dengan tangan akan dapat kamu lakukan secara maksimal. Tak ada kekhawatiran untuk melepas gerakan tangan serangan, dan tak ada keraguan untuk menggunakan gerakan tangan tangkisan.", ucap ayah.

Dan sejak saat itu, mulailah ayah mengajariku latihan bambu raut yang disertai dengan tata nafasnya. Saat itu ayah hanya mengajariku satu bentuk saja, yakni bentuk 'meremas'.

"Aa, halooo... kok ngelamun?", tanya ayah sambil menyentuh dahiku dengan telunjuknya.

Aku terkejut.

"Ah, aku kok jadi melamun nih", gumamku dalam hati.

"Eh, iya yah. Saat lihat ayah bawa bambu raut, Aa lagi ingat dulu saat pertama kali latihan ini sama ayah nih.", jawabku sekenanya.

"Ayo bangun, kita latihan lagi untuk bentuk yang lain.", ucap ayah.

"Baik yah!", jawabku bersemangat.

Aku berdiri dan berjalan mengikuti ayah dari belakang. Kira-kira sepuluh meter, ayah berhenti dan berbalik lalu langsung melempar bambu raut yang ada di tangan kanannya. Jarak aku dan ayah kurang lebih tiga meter.

"Tangkap!", ucap ayah keras.

Aku terkejut.

Meski terkejut, tapi secara reflek tangan kananku langsung bergerak cepat dan tepat sekali menangkap bagian tengah dari bambu raut yang ayah lemparkan kepadaku.

TAP!!

"Bagus!", puji ayah.

"Kita akan lanjutkan latihan bambu raut ini. Ayah pernah memberimu satu jenis latihan yakni bentuk 'meremas' pada bambu raut ini. Ayah lihat lenganmu sudah cukup keras. Seharusnya kamu sudah tidak perlu terlalu khawatir dengan benturan.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

Aku membenarkan ucapan ayah. Bahwa memang setelah aku rutin berlatih dan dilatih olah nafas dengan medium bambu raut, aku merasa lenganku mulai kokoh. Tidak membesar seperti halnya para binaragawan, tapi rasanya keras, liat, dan lentur. Benturan pada lenganku terasa biasa saja. Apalagi kalau aku sudah menarik nafas halus dan menyalurkan pada lengan, rasanya otot-otot dan nadi-nadi pada lenganku seperti pipa karet yang kalau kena benturan bisa 'membal' sehingga tidak membuat tanganku sakit. Sebaliknya, justru yang membenturkulah yang merasa kesakitan.

Ini sudah pernah aku coba pada si Sukri teman kelasku. Sukri juga menjadi anggota salah satu beladiri. Suatu hari aku dipanggil oleh Sukri untuk menjadi teman latihannya. Tapi setelah terjadi beberapa kali benturan, aku disuruh berhenti oleh si Sukri. Katanya, tanganku keras sekali. Padahal aku hanya latihan satu jenis saja yakni latihan 'meremas' yang dibarengi dengan olah nafas. Persis seperti yang ayah pernah latihkan kepadaku.

"Sekarang, ayah akan tambahkan satu jenis lagi. Yakni latihan 'mencengkram'. Kalau latihan 'meremas' sudah membentuk lenganmu menjadi kokoh bagai cadas. Latihan 'mencengkram' ini akan meningkatkan kemampuan daya tangkapmu dan daya cengkrammu seperti rajawali.

Periksa dulu kuku-kukumu. Tidak boleh ada yang panjang. Sebab kalau panjang, bisa luka saat kamu melakukan latihan ini.

Bambu raut ini nanti harus kamu cengkram dengan kuat dengan jari-jarimu. Masuk hingga ke dalam. Dan kamu harus mempertahankan kekuatan cengkraman ini sepanjang nafas yang kamu olah.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

"Siap yah!", jawabku mantap.

Ayah kemudian memberi contoh cara cengkraman yang benar saat berlatih.

"Perhatikan. Posisi seperti meremas, tapi dengan ujung-ujung jari yang lebih menekuk ke dalam. Jari-jari agak sedikit direnggangkan. Saat dibarengi dengan nafas, maka saat itu pula seluruh jari-jari tangan kamu lesakkan masuk ke dalam sela-sela bambu raut ini dengan keras. Lalu gerakkan pergelangan tanganmu secara berlawanan. Kalau pergelangan tangan kananmu ditekuk kebawah, maka pergelangan tangan kirimu ditekuk keatas. Lakukan dengan maksimal, keras, bertenaga. Paham?", ucap ayah.

"Paham yah. Ini hampir sama dengan yang latihan meremas khan yah? Hanya bedanya kalau yang ini menggunakan cengkraman.", jawabku.

"Ya, benar sekali.", lanjut ayah.

"Ada yang ingin Aa tanyakan lagi?", tanya ayah.

"Tidak yah. Sudah jelas.", jawabku singkat.

"Baiklah kalau begitu. Ambil posisi duduk simpuh, lalu kita mulai latihannya. Ayah yang akan memberikanm aba-aba.", ucap ayah.

Aku menurut.

Aku menggeser satu langkah. Lalu langsung duduk simpuh. Kedua tangan diluruskan setinggi bahu dengan kepalanku memegang kokoh bambu raut pada lokasi dua kepalan dari ujung bambu raut.

"Persiapan! Buang nafas.... Tahaaaan.... Tariiik...!", perintah ayah lantang.

Dan latihanpun dimulai.



(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: luri on 23/07/2012 07:57
wiiii... berlanjut....
 [top]
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 24/07/2012 13:06
Tembang Tanpa Syair - Bagian 36

Benturan Bambu Raut



Peluhku luar biasa membasahi tubuh ini. Kaos yang kukenakan benar-benar sudah basah oleh keringat yang membanjir. Tubuh ini rasanya segar sekali. Kedua lenganku terasa begitu kencang. Setiap aku mengepalkan jari-jariku, ada serasa hawa hangat yang mengalir. Lembut. Demikian juga setiap aku mengeraskan lenganku, hawa hangat itu kembali mengalir di lenganku. Jari-jariku serasa menebal. Tanpa sadar, aku memandangi kedua telapak tanganku sendiri.

"Kenapa? Ada yang aneh yang Aa rasakan dengan tangannya?", tanya ayah sambil tersenyum.

"I..iya yah. Tangan ini serasa dialiri hawa hangat yang lembut. Setiap kali Aa keraskan kepalan Aa, hawa hangat itu muncul dan menjalari lengan. Telapak tangan Aa juga terasa begitu hangat...", jawab Aa.

Ayah kembali tersenyum.

"Bagus kalau begitu. Latihanmu sudah mulai menampakkan hasil. Sekarang, luruskan tanganmu ke depan.", pinta ayah.

Aku menurut.

Masih dalam posisi duduk simpuh. Aku meluruskan kedua tanganku ke depan setinggi bahu. Ayah kemudian mendekat, dan duduk persis di sampingku. Ayah kemudian memejamkan mata dan menyentuh jari-jari tanganku, punggung tanganku, pergelangan tanganku, detak nadiku, lenganku, ujung siku, bisep, trisep, dan hingga pangkal lengan.

Setelah itu ayah kembali membuka mata.

"Hmmm.. sudah lumayan. Ada beberapa bagian yang belum sempurna kamu latih, termasuk ada jalur-jalur yang harus diperbaiki. Tapi tidak apa-apa. Itu semua proses. Kalau kamu rajin melatih olah nafas Pengolahan dan olah nafas Bambu Raut ini, nanti akan lancar dengan sendirinya.", ucap ayah.

"Berdirilah... kita lanjutkan latihannya dengan benturan bambu raut", lanjut ayah.

Ayah kemudian berdiri dan mengambil jarak di langkah di depanku. Di tangan kanan dan kirinya ada dua buah bambu raut yang dipegang pada jarak satu jengkal dari ujung bambu.

"Benturan bambu raut? Itu seperti apa yah...", tanyaku penasaran sambil ikut berdiri.

"Ayah akan melakukan serangan dengan menggunakan bambu raut ini ya. Apapun serangan ayah, kamu tangkis dengan gerakan tangan tangkisan. Boleh dengan tangkisan atas, boleh dengan tangkisan bawah, boleh dengan punggung siku, punggung tangan, atau bagian lain lenganmu. Paham?", pinta ayah.

Meski aku belum mengerti. Aku mengangguk.

"Waspada dengan serangan. Gunakan nalurimu untuk menangkis!", lanjut ayah.

Tanpa aba-aba lagi, ayah langsung menyerang dengan mengayunkan bambu raut di tangan kirinya ke arah leherku. Ayunan bambu raut ayah ini begitu keras dan cepat.

TRAK!!

Dilanjutkan dengan tangan kirinya mengayunkan bambu raut ke arah pinggang kananku.

TRAK!!

Dua tangkisan secara reflek aku lepaskan.

"Eh...!", aku menjerit perlahan dan terkejut, lalu mundur satu langkah.

"Kenapa?", tanya ayah sambil tersenyum.

"Ini, kok rasanya lain ya yah...", jawabku sambil melihat kedua tanganku.

Ayah kembali tersenyum.

"Kita coba lagi. Waspada pada serangan!", lanjut ayah.

Kembali ayah mengayunkan bambu raut di tangan kanannya ke arah pinggang kiriku. Tangan kiriku melakukan gerakan tangan tangkisan yang bernama Tangkisan Bawah. Tepat sekali mengenai telapak tanganku.

TRAK!!

Begitu bambu raut dapat aku tangkis, berikutnya ayah melakukan gerakan tusukan ke arah ulu hatiku. Cepat sekali. Secara reflek aku menggeser langkahku dengan sikap Leyek Belakang tapi ke arah samping. Bersamaan dengan itu aku lanjutkan dengan gerakan tangan tangkisan bernama Punggung Siku Kebawah.

TRAK!!

"Eh... ini... ini...", aku kembali terkejut. Dan mundur satu langkah ke belakang. Jarakku dengan ayah kini sekitar dua langkah setengah.

Aku hanya melihat ayah tersenyum.

"Hati-hati!", ucap ayah.

Selesai berucap, ayah kembali menyerangku. Kaki kanan ayah melangkah maju dan tebasan bambu rautnya mengarah ke kedua leherku. Ya, dua-duanya!

Secara reflek aku menggerakkan kedua tanganku dengan memasang punggung siku untuk menerima benturan kedua bambu raut yang mengarah ke leherku. Keras.

Kepalanku menghadap ke atas agak menyamping dan berada sedikit melewati kepalaku. Mataku tetap tertuju pada tubuh ayah. Seolah serangan dari kanan dan kiriku itu tidak ada. Fokusku tetap pada tubuh ayah di depanku.

TRAKK!!

Begitu bambu raut tertangkis, ayah langsung menggeser posisinya. Kaki kanan yang tadi berada di depan dibuat maju setengah langkah lagi bersamaan dengan kaki kirinya melakukan Tendangan Depan. Lurus, cepat, keras, bertenaga, mengarah ke ulu hatiku.

PLAK!

Aku terpaksa menangkisnya. Karena gerakanku tidak cukup cepat untuk menghindar akibat dari efek benturan bambu raut sebelumnya. Kalau aku coba menghindar, aku pasti akan kena telak. Tak ada jalan lain, hanya menangkis saja satu-satu cara. Kugunakan gerak tangan Tangkisan Bawah.

Aku terdorong mundur setengah langkah. Meski demikian, aku menyiapkan kembali kuda-kuda sikap pasang. Kedua tanganku kembali bersiaga. Pandanganku menatap tajam ke depan. Konsentrasiku penuh. Meski demikian, aku tetap waspada pada kedua bambu raut di tangan ayah.

Tiba-tiba aku melihat ayah melemparkan bambu rautnya ke udara. Tinggi. Secara reflek mataku mengikuti arah lemparan bambu raut ayah. Tapi justru dalam sepersekian detik itu, tiba-tiba aku merasa tubuh ayah semakin mendekat. Dan naluriku mengatakan kalau tubuhku berada dalam bahaya.

Benar saja, serangan Tendangan Depan ayah langsung merangsek maju. Tak ada jalan lain lagi, mundur juga pasti kena karena jarakku hanya satu langkah saja. Secara naluri aku merapatkan kedua tanganku di depan dada, mengeraskan untuk bersiap menerima serangan.

BUGGH!!

Aku terdorong keras hingga mundur tiga langkah. Tendangan ayah cukup keras mengenai kedua lenganku di depan dada. Untung saja naluriku tepat. Kalau tidak, tentunya dada ini yang akan terkena dengan telak.

Bersamaan dengan itu, bambu raut yang ayah lemparkan jatuh tepat di samping kananku.

"Bagus! Cukup. Kita istirahat terlebih dahulu.", ucap ayah.

Aku melihat ayah kemudian langsung duduk sila.

Aku menurut. Aku berjalan perlahan. Setelah berjarak kira-kira satu setengah langkah, aku juga duduk sila.

"Tadi ayah lihat Aa seperti terkejut. Ada apa?", tanya ayah sambil tersenyum.

"Iya yah. Aa kaget karena saat tadi tangan Aa membentur bambu raut, seperti ada rasa 'tik' di hati ini. Begitu rasa 'tik' itu muncul, secara naluri bagian tangan yang membentur itu mengeras dengan sendirinya sehingga benturan itu tidak terasa menyakitkan.", jawabku.

"Ya, itu benar. Salah satu tahapan lanjutan dari gerakan adalah merasakan dampak saat benturan terjadi. Atau yang kamu sebut dengan rasa 'tik' itu. Misal, ayah menyerang dan Aa menangkis, atau kebalikannya. Tentunya terjadi benturan. Pada tahap ini kamu harus mau berbenturan terlebih dahulu. Sebab dengan benturan itu nantinya akan membentu rasa di dalam tubuhmu. Dan rasa ini bisa kamu pergunakan untuk menganalisa dampak. Nalurimu nanti akan memberitahu apakah benturanmu bisa kamu teruskan, atau harus kamu alihkan.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

Benar sekali. Saat benturan terjadi, tanganku seperti ada rasa yang lain. Demikian juga dengan hatiku. Dulu, aku masih ingat ketika aku berbenturan dengan serangan lawan dan aku meringis karenanya. Pada saat itu, tenaga lenganku seperti menurun dan bahkan menghilang. Rasa nyeri akibat benturan ini membuat ada sebagian yang hilang.

Tapi sekarang rasanya sungguh berbeda. Lenganku benar-benar terasa berbeda. Kepercayaan diriku lebih baik lagi. Benturan pada lenganku kini tidak aku takutkan.

"Ingat, tetap waspada dan tetap siaga. Sebab kondisi benturan itu ada tiga jenis. Pertama adalah benturan yang lebih rendah darimu. Kedua adalah benturan yang lebih tinggi darimu. Dan ketiga adalah benturan setingkat denganmu.

Benturan yang lebih rendah darimu, sudah jelas kamu yang menang. Lawan akan merasa kesakitan. Tapi untuk benturan yang lebih tinggi darimu, kemungkinannya kamu akan kesakitan. Jangan coba-coba untuk berbenturan, tapi sebaiknya kamu hindari atau alihkan. Dan memindahkan atau mengalihkan benturan ini tidak akan bisa kamu lakukan kecuali rasa di hatimu sudah terbentuk dan nalurimu sudah jalan dengan baik. Sebab selain waktunya harus pas, tenaga yang kamu gunakan juga harus benar. Harus ada sambung rasa dengan cepat. Salah sedikit, kamu yang cedera sendiri. Jelas?", lanjut ayah.

"Jelas yah. Oh ya, bagaimana dengan benturan yang setingkat yah?", tanyaku penasaran karena ayah hanya menjelaskan secara singkat benturan pertama dan kedua saja.

"Kalau yang itu, nanti kamu akan mengetahui sendiri jawabannya.", jawab ayah singkat sambil tersenyum.

"Iya yah...", ucapku sambil tangan kananku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

"Ingat, bisalah merasa. Dan jangan merasa bisa.", lanjut ayah.


(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 25/07/2012 14:00
Tembang Tanpa Syair - Bagian 37

Tusukan Bambu Raut



Angin pagi yang berhembus mengenai kulitku. Rasanya sangat menyegarkan. Beberapa dedaunan berjatuhan. Tidak ada kendaraan yang lewat di dekat tempat kami berkemah sehingga suara gemericik air sangat jelas terdengar, meskipun jaraknya agak jauh.

Aku dan ayah masih duduk sila saling berhadapan.

"Jadi, tangan ayah yang bisa seperti itu dilatihnya sama bambu raut ini ya yah?", tanyaku memulai pembicaraan.

"Di dalam silat ayah ini ada beberapa medium yang dipergunakan untuk berlatih. Kebanyakan disertai dengan olah nafas karena memang disitulah keistimewaannya. Bahwa penguasaan di dalam setiap tingkatannya didasarkan pada tata nafas yang kamu kuasai. Tata geraknya sendiri lebih banyak menyatu bersama tata nafas yang ada. Dan bambu raut adalah salah satu dari sekian banyak medium yang dipergunakan saat latihan.", jawab ayah.

Aku melihat ayah memegang ujung bambu raut dengan tangan kirinya, jaraknya kira-kira satu kepalan dari ujung bambu raut. Kemudian ujung satunya ditempelkan ke tanah. Bambu raut itu membentuk kemiringan dengan sudut kira-kira lima belas derajat.

"Selain teknik meremas yang sudah kamu latih, kemudian teknik mencengkram yang baru saja kamu latih. Ada juga teknik jari. Salah satunya adalah teknik empat jari dan teknik satu jari. Perhatikan.", ucap ayah.

Aku melihat ayah merapatkan jari-jari tangan kanannya dengan ibu jari sedikit tertekuk. Kemudian keempat jari tangan yang merapat itu ditusukkan ke dalam jalinan bambu raut di tangan kiri ayah dengan posisi searah dengan posisi jalinan bambu raut. Aku melihat ayah menarik nafas halus sebelum tusukan empat jari tangan kanan ayah bergerak.

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

Keempat jari tangan kanan ayah masuk ke dalam sela-sela jalinan bambu raut. Terus menembus hingga kebelakangnya. Jari-jarinya benar-benar masuk ke dalam jalinan bambu raut hingga seluruh ruasnya. Jalinan bambu raut yang dipegang ayah menjadi melebar, longgar, akibat dari tusukan keras jari-jari tangan kanan ayah. Ayah melakukan tusukan itu sebanyak lima kali. Kemudian secara cepat ayah menukar posisi. Tangan kanan ayah kini sudah memegang ujung bambu raut, dan jari-jari tangan kiri langsung dirapatkan untuk kemudian ditusukkan kembali ke bambu raut yang kini dipegang dengan tangan kanan.

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

Lima kali ayah melakukan tusukan dengan tangan kiri. Kemudian berlanjut dengan mengganti posisi pegangan bambu raut ke tangan kiri. Demikian seterusnya bolak-balik. Ayah melakukan itu sebanyak tiga puluh lima kali tusukan kanan dan kiri secara bergantian. Setelah itu berhenti.

"Itu untuk yang empat jari. Tapi nanti saat kamu latihan, cukup satu tangan terlebih dahulu saja. Kalau sudah lancar, barulah bergantian seperti ayah tadi.", ucap ayah.

Aku mengangguk.

"Ada juga yang menggunakan satu jari. Misal, ibu jari terlebih dahulu", lanjut ayah.

Aku melihat tangan kiri ayah memegang bambu raut seperti posisi semula, yakni dipegang pada satu kepalan setelah ujung atas, dan ujung yang bawah ditempelkan ke tanah. Kemiringan sudut yang dibentuknya sekitar lima belas derajat.

Tangan kanan ayah membentuk kepalan yang menghadap ke depan, akan tetapi ibu jarinya dibuka ke samping. Ibu jari yang terbuka ini kemudian ditusukkan ke dalam jalinan bambu raut yang ada.

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

Ibu jari tangan kanan ayah yang ditusukkan ke dalam bambu raut itu masuk hingga seluruh ruasnya. Akibatnya, jalinan bambu raut menjadi lebih longgar. Setelah itu ayah mengganti dengan ibu jari tangan kirinya. Posisi pegangan bambu raut dipindahkan ke tangan kanan.

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

SRAK!

Ibu jari tangan kiri kini ditusukkan ke dalam bambu raut seperti halnya yang tangan kanan. Setelah dilakukan lima kali. Ayah berhenti, lalu menatapku.

"Sudah lihat?", tanya ayah.

"Iya yah. Kelihatannya mudah yah.", jawabku sambil tersenyum.

"Coba saja.", ucap ayah sambil tersenyum juga.

Aku penasaran.

Aku coba mempraktekkan apa yang barusan ayah lakukan. Tangan kiriku memegang bambu raut pada ujung atasnya, lalu ujung bawahnya aku tempelkan ke tanah, kemudian sudutnya kubentuk sekitar lima belas derajat. Setelah semua aku rasa pas, kemudian jari-jari tangan kananku aku rapatkan dan bersiap untuk aku tusukkan dengan keras.

SRAK!

"Awh...", aku terkejut sambil menjerit. Secara reflek jari-jari tangan kananku aku tarik kembali dan langsung aku kibas-kibaskan ke udara.

"Kenapa?", tanya ayah sambil tersenyum.

"Sakit yah. Jari-jari tangan Aa ngga bisa sampai menembus seperti yang tadi ayah lakukan nih.", ucapku protes.

"Tentu saja. Meski terlihat sederhana, tapi tidak sesederhana prakteknya. Apalagi kalau sudah menggunakan olah nafasnya. Akan lebih berat.", ucap ayah.

"Tapi justru pada hal yang sederhana inilah kamu melatih lenganmu secara utuh. Dari ujung jari hingga pangkal lengan. Sebab latihan bambu raut ini memiliki teknik-teknik dari ujung jari tangan, telapak tangan, sisi telapak tangan, punggung telapak tangan, punggung siku, ujung siku, bisep, trisep, hingga semua yang ada di lenganmu itu. Lengkap.", lanjut ayah.

Aku mengangguk bersemangat.

"Tapi gunanya untuk apa yah jari-jari yang dilatih itu? Apakah untuk mencengkram atau menangkap saja?", tanyaku penasaran.

"Tentu saja tidak, nak.", jawab ayah.

"Ayo berdiri.", pinta ayah.

Aku menurut.

Aku langsung berdiri, bersamaan dengan ayah yang juga langsung berdiri.

"Mendekat kesini. Coba kunci tangan ayah. Gunakan teknik apapun yang kamu kuasai.", pinta ayah sambil menjulurkan tangan kanannya.

Aku menurut.

Aku menangkap tangan kanan ayah, lalu bergerak memutar ke belakang sambil menekuk tangan ayah ke belakang punggungnya dengan tangan kananku. Bersamaan dengan itu tangan kiriku mencengkram bahu kanan ayah agar lebih kuat. Posisi badan ayah kini agak sedikit membungkuk akibat kuncian pada lengan kanannya.

"Sudah selesai?", tanya ayah.

"Tangan yang memegang bahu kanan ayah ini lemah loh...", lanjut ayah.

Bersamaan dengan itu aku melihat tangan kiri ayah memegang jari-jari tangan kiriku yang menyentuh bahu ayah, lalu salah satu jarinya menekan salah satu tempat di ruas kedua buku-buku kepalan tanganku dengan keras. Aku hanya merasa titik itu seperti ditekan oleh sebuah kayu yang keras hingga aku langsung berteriak kesakitan.

"Awh...!!!", aku berteriak kesakitan dan secara reflek melepas pegangan tangan kiriku.

Pada masa sepersekian detik tersebut, ayah berteriak perlahan.

"Lepas!!!", teriak ayah.

Dan dengan sedikit meliukkan tubuhnya, peganganku sudah terlepas. Bahkan kini berganti tanganku yang dikunci oleh ayah. Bedanya, salah satu jari ayah menekan salah satu titik di punggung kepalan tanganku. Titik yang ditekan ini entah mengapa membuat lengan kananku jadi lemas mendadak. Posisi tubuhku kini sedikit berbungkuk.

Dan aku sama sekali tidak bisa berkutik!

"Bagaimana kalau sekarang?", tanya ayah.

Aku tidak menjawab pertanyaan ayah. Aku coba berontak, tapi lenganku benar-benar terasa lemas. Kalau aku mencoba bergerak, rasa nyeri tiba-tiba saja menyerang bahu kananku dan kembali aku terbungkuk karenanya.

Kira-kira dua puluh detik ayah mengunciku. Setelah itu aku merasa perlahan tekanan tangan ayah mengendur, dan dilepas. Ayah kemudian menepuk bahu kananku tiga kali.

"Kamu lihat manfaatnya, bukan? Dengan ditambah pengetahuan mengenai syaraf tubuh, otot, dan tulang, kamu bisa menangkal hal-hal yang berhubungan dengan kuncian. Pada jari, pada ruas jari, pada punggung tangan, pada lengan, bahu, bisep, trisep, dan sebagainya. Kamu bisa menekan titik-titik tertentu pada tubuh yang mengakibatkan terganggunya pasokan aliran darah pada titik yang kamu tekan tersebut. Lebih jauh lagi, kalau ditekan pada titik mematikan maka aliran darah bisa berbalik dan terhenti. Akibatnya akan sangat fatal pada lawanmu.

Nah, penekanan terhadap titik-titik tersebut hanya bisa kamu lakukan dengan baik apabila jarimu dan rasa jarimu terlatih dengan baik juga.", ucap ayah.

Aku mengangguk membenarkan ucapan ayah.

"Nak, bahwa seni beladiri pada dasarnya melakukan eksplorasi pada tubuh manusia. Jauh lebih tua dibanding kedokteran modern. Eksplorasi jiwa raga. Seutuhnya.

Dan bambu raut ini adalah salah satu medium untuk lebih mengenalkanmu pada sisi lain tubuh manusia. Selain untuk tangan, juga ada untuk kaki. Tapi itu nanti saja.

Latihlah.

Latihlah dengan serius dan penuh penghayatan.", lanjut ayah.

Aku melihat ayah menimang-nimang bambu raut yang entah kapan sudah ada di tangannya lagi.

Aku mengangguk, dan menunduk.

"Ayah, aku pasti akan melatihnya dengan baik.", ucapku dalam hati.


(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: anaknaga on 06/08/2012 17:00
To be continued Mas goeng..

 ;D
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 27/03/2013 11:52
Tembang Tanpa Syair – Bagian 38

Jawaban Sesungguhnya

Sore ini ayah ingin mengajakku berlatih dibelakang lereng. Disana terdapat air terjun dan juga sungai yang jernih. Rasanya akan sangat menyenangkan nanti. Aku sudah tidak bersabar. Dari dalam tenda, aku mengenakan celana hitam silat dengan bersemangat. Kaos berwarna putih aku lipat dan kemudian kuselempangkan ke bahu kiriku. Ayah bilang tidak usah pake baju, karena nanti juga akan basah-basahan.

Terdengar suara ayah dari luar tenda.

"Aa, sudah selesai belum?", tanya ayah.

"Sebentar lagi yah...", jawabku singkat.

Pandanganku berkeliling di dalam tenda, mencoba mencari handuk kecil kesayanganku. Sebuah handuk berwarna biru muda yang sudah lusuh.

"Ah, ini dia yang kucari...", gumamku perlahan.

Handuk itu ternyata ada dibawah tumpukan baju-baju dan celanaku.

Secepatnya aku ambil dan bergegas keluar karena ayah sudah menungguku.

"Aku sudah siap yah!", ucapku.

Ayah tersenyum melihatku, lalu membalik badan dan berjalan menuju belakang lereng. Aku mengikuti ayah dari belakang. Hatiku sangat senang. Pandanganku melihat kekiri dan kekanan. Indah sekali suasana sore ini. Entahlah, barangkali karena hatiku riang gembira maka suasana menjadi sangat berbeda, menjadi begitu indah. Perasaan hati memang mengikuti rasa fisik.

"Lho kok tertinggal?", ucap ayah dari kejauhan.

"Eh... kok bisa?", aku kaget.

Jarakku dengan ayah menjadi cukup jauh. Padahal tadi hanya berjarak sekitar satu meteran, kini sudah berjarak sekitar sepuluh meteran. Jauh sekali. Aku berlari kecil berusaha menyusul ayah.

Tidak berapa lama, posisiku kembali berada berjarak sekitar satu meter dari ayah.

Perlahan, aku mulai mendengar suara percikan air. Suara gemericik air ini sangat indah dan menyejukkan hati. Ditambah lagi suasana sore yang memang asri.

Ayah berjalan menuju sebuah batu sebesar kerbau yang berada tidak jauh dari pinggir sungai. Kemudian meletakkan bungkusan kecil diatasnya. Aku mengikuti ayah. Kaos putih dan handuk yang kubawa juga kuletakkan disamping bungkusan ayah.

Aku melihat ayah melihat kesekeliling, memejamkan mata, kemudian menarik nafas halus dan membuangnya perlahan.

"Disana tempatnya ... ", ucap ayah sambil tangan kanannya menunjuk kearah timur.

Arah yang ditunjuk ayah adalah wilayah sungai dengan ketinggian air sekitar satu pinggang. Tidak terlalu dalam. Lokasinya agak dekat dengan rimbunan pohon-pohon dan lokasi disitu memiliki aliran air yang cukup deras dari hulu. Terhalang oleh sebuah batu besar. Akan tetapi justru air yang mengalir kesana menjadi lebih lancar. Airnya sangat jernih hingga dari kejauhanpun aku bisa melihat dasar sungainya.

Aku melihat ayah berjalan perlahan. Aku mengikutinya dari belakang. Kakiku kemudian menyentuh air sungai dan masuk hingga sebatas mata kaki. Berjalan lagi beberapa langkah, mulai agak dalam hingga sebatas betis. Kemudian berjalan lagi beberapa langkah, hingga kemudian airnya sudah setinggi pinggangku. Sementara tinggi air itu bagi ayah hanya setinggi paha saja.

"Cari tempat yang Aa bisa duduk dan tingginya air mencapai leher, jangan lebih.", pinta ayah.

Aku menurut.

Aku coba turunkan tubuhku dan mencoba duduk sila.

"Ah, pas sekali disini yah...", jawabku perlahan.

Benar saja, saat aku duduk sila secara sempurna, tubuhku terendam air. Tapi hanya setinggi leher saja, tidak sampai ke mulut sehingga air tidak mungkin tertelan.

"Bagus...", ucap ayah.

"Pejamkan matamu, lalu bernafaskan dengan santai. Biarkan tubuhmu melakukan penyesuaian terlebih dahulu pada tekanan air yang mengenai setiap pori-pori tubuhmu.", pinta ayah.

Aku mengangguk.

Perlahan aku pejamkam kedua mataku. Kuletakkan punggung telapak tanganku di kedua lutut. Aku mulai mengatur nafas. Benar saja, tarikan nafas dan hembusan nafas menjadi lebih berat. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan air yang mengenai tubuhku, terutama dadaku. Tapi rasanya menjadi sangat nyaman setelah itu.

"Kalau tubuhmu sudah merasa lebih nyaman, sekarang coba kamu lakukan nafas Garuda dengan nafas kasar, mendesis, tapi tanpa menunduk. Lakukan dengan maksimal, dengan pengejangan maksimal", lanjut ayah.

Aku menuruti perintah ayah. Kedua tanganku aku rapatkan didepan dada. Telapaknya saling mendorong satu sama lain. Tulang lenganku terasa berderak-derak. Aku memejamkam mata. Setelah itu aku menghembuskan nafas keras, mendesis, melalui mulut.

"Cesssshhhhhhh....."

Setelah 'habis', kemudian menahannya tiga hingga lima detik, dan kemudian menghirup nafas perlahan dari hidung. Merasakan benar setiap udara yang masuk ke dalam tubuhku. Merasakan benar oksigen yang masuk ke dalam paru-paruku. Setelah aku rasa 'penuh', kemudian aku 'menelan' nafas itu dan menahannya di dada. Kedua lengan aku keraskan maksimal dari ujung jari hingga ke pangkal lengan. Perlahan kuluruskan kedua lenganku hingga menjulur ke depan dengan telapak tangan menghadap ke depan. Lalu membukanya keduanya perlahan kesamping hingga sejajar bahu. Terus digerakkan hingga kebelakang. Hingga tidak bisa bergerak lagi. Setelah itu kembali ke posisi semula lagi. Dari belakang, kugerakkan kembali sejajar bahu, dan kemudian terus hingga lurus ke depan. Merapatkan kembali kedua telapak tangan di depan dada. Saling mendorong lebih keras, dan kemudian menghembuskan nafas dengan keras, mendesis. Tanpa mengurangi pengejangan kedua lengan. Setelah itu aku kembali membuka mata.

Aku terdiam.

Rasanya ada yang berbeda.

Tapi aku tidak tahu apa itu.

"Lakukan lagi...", pinta ayah.

Aku menurut. Kulakukan lagi nafas Garuda seperti sebelumnya.

Setelah selesai, lagi-lagi rasa yang berbeda itu muncul di hati ini.

"Lakukan lagi...", lanjut ayah.

Aku kembali menurut. Ayah memintaku berulang-ulang untuk melakukan lagi, lagi dan lagi.

Aku menghitung, paling tidak sudah sembilan kali aku melakukan ini. Keringatku sudah mulai bercucuran pada keningku. Nafasku agak memburu. Aku segera mengusapnya dengan telapak tanganku. Terpaan air dari telapak tanganku saat mengusap keringat di keningku membasahi wajahku dan memberikan kesegaran.

"Bagus. Atur nafasmu terlebih dahulu. Tenangkan.", ucap ayah.

Aku memejamkan mata. Mengatur irama nafasku sedemikian rupa.

Tidak berapa lama, aku terkejut. Rasa aneh itu kembali lagi.

"Cukup. Sekarang lakukan nafas Garuda tapi dengan nafas halus, lembut, dan tanpa pengejangan sama sekali. Konsentrasikan pada nafasmu.", pinta ayah.

Aku menurut.

Perlahan kurapatkan kedua telapak tanganku di depan dada. Lemas, perlahan. Kupejamkan kedua mataku, lalu kubuang nafas perlahan. Setelah 'habis', kutahan tiga hingga lima detik, kemudian menghirup nafas perlahan dari hidung sebanyak-banyaknya hingga mengisi paru-paru dengan maksimal. Lalu perlahan kudorongkan kedua telapak tanganku ke depan, perlahan sekali.

DHEG!

Rasa itu kembali muncul lebih jelas. Seluruh lenganku serasa diselimuti oleh sesuatu yang aku sendiri tidak tahu. Seperti ada aliran energi lembut yang membungkus kedua lenganku. Nyaman sekali. Saat kemudian gerakan tanganku kembali ke bentuk semula, sesaat sebelum kedua telapak tanganku bersentuhan, aku merasakan aliran energi lembut ini saling bersentuhan halus. Tapi tidak berbenturan. Malah saling mengait dan melebur. Tepat saat kedua telapak tanganku bersentuhan energi lembut ini seperti bergerak tidak hanya pada kedua lenganku, tapi juga di dadaku dan seluruh tubuhku. Rasa hangat yang nyaman kemudian menjalar dari kedua telapak tangan hingga ke seluruh tubuh. Ini sungguh sangat nyaman. Hatiku sepertinya enggan untuk membuka kedua telapak tangan ini. Sebuah sensasi yang unik yang baru pertama kali kurasakan. Tapi karena kemampuan manusia dalam menahan nafas sangat terbatas, maka aku terpaksa harus membuang nafas.

Ya, aku terpaksa. Karena memang hati ini enggan untuk melepaskan rasa ini. Tapi tetap harus aku lepaskan.

Setelah itu aku kemudian membuka mata.

Aku melihat ayah tersenyum.

"Bagaimana rasanya? Menarik, bukan?", ucap ayah.

Aku tidak menjawab.

Rasa ini memang tidak bisa aku ucapkan dengan kata-kata. Hanya bisa aku simpan dalam hati. Karena memang tidak bisa dilukiskan. Kalaupun bisa kugambarkan, barangkali hanya sebagian kecil saja.

Aku jadi teringat ucapan ayah, "nak, di dalam silat ayah ini pengetahuan rasa hanya bisa didapatkan dengan menjalani sendiri. Tidak dengan 'katanya'. Tidak dengan 'kata si A begini' atau 'kata si B begini'.  Tapi kamulah yang akan menjadi sumber pengetahuan bagi dirimu sendiri.

Kalau kamu menjalaninya dengan benar, maka pengetahuan rasa itu akan datang kepadamu.

Kalaupun kamu bertanya pada yang sudah mengalami, jawabannya seringkali tidaklah dapat memuaskanmu. Kenapa demikian? Sebab jawaban sesungguhnya ada ketika kamu menjalaninya."

Ayah, aku mulai memahami ucapan ayah.

"Ingatlah baik-baik ucapan ayah ini...", ucap ayah.

Aku mengangguk.

"Orang mencari pengetahuan rasa itu harus dengan menjalankan, harus dengan melakukan. Dilakukan dengan serius, sungguh-sungguh. Agar kelak mendapatkan pengetahuan rasa yang baik.

Untuk mendalaminya diperlukan ketenangan, keheningan, mata hati.

Mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar dengan mata hati", lanjut ayah.

Aku terdiam. Tapi hati ini sangat damai mendengar penjelasan ayah.


(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 28/03/2013 16:56
Tembang Tanpa Syair – Bagian 39

Rasa Yang Menuntunmu

Aku duduk bersama ayah dibawah pohon besar yang terletak didekat sungai. Angin semilir menerpa wajahku. Celana hitam panjangku masih basah. Ya, kami memang selesai berlatih di sungai. Ada pelajaran yang kudapat dari latihan disungai.

Sementara itu, dari dalam bungkusan kantong plastik hitam, aku melihat ayah mengeluarkan sebotol air mineral dan dua buah apel.

"Minum dulu...", ucap ayah. Sambil tangannya mengambil sebotol air mineral dan menyerahkannya kepadaku.

Aku menerimanya dengan tangan kanan.

"Terima kasih yah...", jawabku singkat.

Kubuka tutup botolnya, dan segera menenggaknya. Ah, rasanya segar sekali. Hampir setengah botol kuhabiskan sendiri. Setelah itu, kututup kembali dan kuletakkan botol itu ke dalam bungkusan hitam.

"Yah, boleh nanya ngga?", tanyaku.

Ayah melihatku lalu tersenyum.

"Tentu saja. Apa yang ingin kamu tanyakan?", jawab ayah.

"Yah, bisakah latihan di air seperti ini diganti dengan latihan di kolam renang? Sepertinya lebih praktis dan tidak perlu jauh-jauh harus ke sungai.", tanyaku penasaran.

"Sebenarnya latihan seperti ini bisa dimana saja. Tapi memang ada manfaat yang lebih bila dibandingkan di kolam renang. Pada pola latihan silat tradisional, latihan alam seperti ini yang berada di lokasi yang jauh dari penduduk, kemudian seringkali terpencil, dan penuh dengan rimbun pepohonan seringkali diasumsikan negatif oleh masyarakat. Masyarakat lebih banyak menganggap latihan-latihan di alam yang jauh dari pemukiman itu bersifat klenik. Padahal sesungguhnya tidak demikian adanya.", jawab ayah.

Aku tertegun. Ayah sepertinya mengerti isi hatiku.

Memang, beberapa hari ini aku terus memikirkan mengapa latihan di alam terbuka dengan tempat-tempat yang ayah pilihkan khusus itu terasa sangat berbeda dibanding latihan di rumah. Aku sendiri belum tahu kenapa. Dan aku juga masih belum tahu bagaimana cara ayah membawaku berlatih di tempat-tempat yang seperti ini. Apakah hanya sekedar memilih saja, ataukah ada alasan lain. Barangkali, karena usiaku yang sudah mulai menginjak remaja, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul di hati ini. Beberapa mungkin bersifat seperti pertentangan, tapi hampir sebagian besar bisa dijawab ketika aku menjalani. Kalupun ternyata saat menjalaninya mendapat jalan buntu, biasanya petunjuk ayah sering membuatku tercerahkan. Bahkan beberapa malah seperti membuat jalan baru.

"Orang-orang yang menganggap latihan alam seperti ini bersifat klenik, pada dasarnya belum memahami bagaimana latihan ini sesungguhnya.

Sebagai contoh, air sungai yang mengalir dari hulu ke hilir ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan air kolam renang. Bahkan pada kolam renang arus sekalipun. Di dalam aliran air ini, terkandung muatan-muatan listrik statis hewan-hewan sungai yang ada di dalamnya. Molekul air yang teresonansi dari getaran alam disekitarnya juga sekaligus menambah manfaat yang lebih besar dibanding air kolam renang.

Selain itu, suasana yang tenang akan membuat ketenangan batinmu yang pada akhirnya akan mengeluarkan hormon tertentu di dalam tubuh untuk bereaksi pada efek psikologis yang bersifat menenangkan.

Bukankah itu semua bermanfaat?", lanjut ayah.

Aku mengangguk.

"Tidak hanya itu. Suatu saat nanti, kamupun harus bisa menemukan tempat yang sesuai dengan getaran nalurimu sendiri.

Saat ini, tempat ini adalah tempat yang dulu ayah dapatkan ketika berlatih sendiri. Dulu, naluri ayah menuntun untuk datang ke tempat ini. Dan ternyata tempatnya sungguh indah dan bersih. Jadi, ketika niatmu bersih, maka nalurimu akan bersih. Kalau nalurimu bersih, maka rasa yang akan menuntunmu juga bersih. Kalau semuanya sudah bersih, maka tempat yang akan kamu tuju juga bersih, akan bermanfaat. Bagi dirimu. Jiwa dan raga.", ucap ayah.

DHEG!

Dadaku seperti dipalu godam. Ucapan ayah benar-benar masuk ke dalam hatiku yang terdalam.

"Kalau niatmu bersih, maka nalurimu akan bersih. Kalau nalurimu bersih, maka rasa yang akan menuntunmu juga bersih. Kalau semuanya bersih, maka tempat yang kamu tuju juga akan bersih, akan bermanfaat. Bagi dirimu. Jiwa dan raga."

Ayah, aku mulai mengerti maksud ayah.

"Sebagai contoh, coba kamu pejamkan kedua matamu. Lalu konsentrasikan pada pendengaranmu.", pinta ayah.

Aku menurut.

Perlahan kupejamkan kedua mataku, lalu kupusatkan rasaku pada pendengaranku.

Ada banyak suara yang terdengar. Suara daun tertiup angin, suara gemericik air sungai, suara ikan yang berlompatan, suara rumput yang tertiup angin, dan banyak lagi.

"Pilihlah satu suara yang terkecil, lalu konsentrasikan disitu.", lanjut ayah.

Aku mengikuti instruksi ayah. Aku memilih suara daun tertiup angin.

"Tidak, jangan suara daun tertiup angin. Pilih yang lain, yang lebih halus.", ucap ayah.

"Eh...", gumamku dengan terkejut.

Darimana ayah tahu apa yang aku pikirkan.

"Jangan berpikir, rasakan!", lanjut ayah.

"Ugh..., baiklah yah.", gumamku dalam hati.

Aku tidak berani membantah perintah ayah. Perlahan aku menenangkan pikiran. Benar saja, suasana alam disekitar sini sangat memudahkan untuk konsentrasi.

Sepuluh detik.

Dua puluh detik.

Tiga puluh detik.

TIK... TIK... TIK...

"Eh, suara apa itu?", gumamku dalam hati.

Aku mendengar suara seperti air jatuh ke batu. Tapi kecil sekali. Halus sekali. Sekejap aku berpikir, maka suara tik tersebut langsung hilang.

Aku atur nafasku sekali lagi dengan mengkonsentrasikan pada pendengaranku. Menenangkan diri, melemaskan seluruh syaraf di tubuh ini. Perlahan, suara itu terdengar. Ya, suara itu benar-benar terdengar lagi!

Terdengar jelas!

Menjadi sangat jelas!

"Benar, suara itu. Pertahankan, lalu ikuti nalurimu dan beritahu ayah dimana letaknya.", pinta ayah.

Aku lebih menenangkan diri, membiarkan rasa naluriku bergerak. Perlahan, kepalaku bergerak ke arah kanan.

DHEG!

Rasa itu muncul lagi di hati. Getaran naluriku seperti menyelinap dari hati hingga ke pendengaran, lalu kemudian seperti menelusuri getaran suara yang kuterima oleh telingaku.

"Ayah, letaknya disana. Ada tetesan air yang jatuh pada batu kecil. Tetesan air itu jatuh dari salah satu ujung daun yang berasal dari pohon yang salah satunya menancap didinding batu yang ada air terjunnya.", jawabku sambil tangan kananku menunjuk ke suatu arah. Mataku masih terpejam.

"Bagus. Buka matamu...", pinta ayah.

Aku menurut. Kubuka kembali mataku.

"Lihatlah, bahwa niat dapat membawa getaran nalurimu menelusuri gelombang frekwensi suara yang kamu tangkap. Jadi, tidak semata-mata harus menggunakan telapak tangan untuk memancarkan, juga tidak melulu harus menggunakan kulitmu sebagai media. Tapi melalui organ-organ yang Allah sudah berikan padamu, kamu bisa melewatkan rasa getaran naluri ke dalamnya. Dan ia akan bekerja, sesuai niat yang kamu inginkan.", jelas ayah.

"Lebih jauh lagi, pendengaranmu bisa kamu arahkan pada suara apapun yang kamu inginkan. Bahkan detak jantung dari kejauhanpun bisa kamu dengarkan.

Kuncinya ada pada rasa hati. Rasa hati yang bersih.", ucap ayah.

"Latihan di alam, sama sekali bukan klenik dan tidak klenik. Tapi justru dapat menjadi pembelajaran bagimu untuk mengetahui tanda-tanda kebesaran Allah. Baik yang ada pada dirimu sendiri, ataupun yang ada di alam. Tujuannya satu, agar mata hatimu bisa kamu rasakan.

Karena rasa dari mata hati itu akan menuntunmu dalam kebenaran.", lanjut ayah.

Aku menundukkan kepala, luhur sekali ajaran silat ini.


(bersambung)
Title: Re: Tembang Tanpa Syair
Post by: mpcrb on 02/04/2013 14:28
Tembang Tanpa Syair – Bagian 40

Beban Bukanlah Beban


Malam ini suasana begitu sunyi. Bahkan suara hewan malampun hampir tak terdengar. Angin seolah berhenti berhembus. Bulan tampak jelas sekali diatas sana. Tak terhalangi oleh awan. Bulatannya utuh, sempurna. Cahayanya yang merupakan pantulan dari cahaya matahari menyeruak menyinari sekitar seolah mampu melumerkan  apapun yang disinarinya.

Api unggun di depan tenda kami belum dinyalakan. Kata ayah belum perlu. Sebab terangnya sinar rembulan sudah cukup untuk menerangi sekitar. Aku dan ayah duduk saling berhadapan. Saling duduk sila. Didepanku terdapat sebuah benda kotak yang terbuat dari semen seukuran bata. Beratnya kira-kira dua kilogram. Ayah akan mengajariku tata nafas Pengolahan tingkat dasar dengan menggunakan beban.

Sebelumnya, aku memang sudah pernah berlatih olah nafas itu. Tapi aku sendiri tidak pernah menanyakan mengapa harus mengunakan beban seperti itu. Aku belum berani, dan memang belum terpikirkan. Aku melatih dan mengikuti begitu saja instruksi dari ayah. Apa adanya, tanpa membantah, tanpa menanyakan ini dan itu. Suatu saat, aku pernah tak sengaja menanyakan ini kepada ayah. Tapi ayah selalu tersenyum dan menjawab, "nanti, kalau sudah saatnya". Selalu saja seperti itu. Itulah sebabnya aku enggan menanyakan lagi.

Suasana semakin sunyi.

"Nak, masih ingatkah kalau dulu kamu pernah bertanya mengapa latihan nafas di dalam silat yang ayah ajarkan padamu ini makin lama makin berat?", tanya ayah memecah kesunyian.

Ayah seperti tahu apa yang ada di hatiku.

"Benar yah. Kalau berkenan, Aa ingin mengetahuinya.", jawabku singkat.

"Baiklah. Memang sudah saatnya kamu tahu. Tunggu sebentar, ada yang ingin ayah tunjukkan padamu.", ucap ayah.

Aku melihat ayah kemudian berdiri,lalu berjalan masuk ke dalam tenda. Tidak berapa lama ayah keluar dan menuju mobil. Ayah kemudian membuka pintu belakang mobil, dan mengeluarkan dua bungkusan besar yang sepertinya sudah ayah siapkan. Pintu belakang mobil kemudian ditutup kembali. Aku melihat ayah berjalan sambil membawa dua bungkusan. Satu bungkusan di tangan kiri, dan satu bungkusan di tangan kanan.

Setelah sampai di depanku, ayah kemudian mengeluarkan isinya satu per satu.

Dari bungkusan yang dibawa oleh tangan kiri, aku melihat ayah mengeluarkan bola tenis, bata semen seperti yang ada didepanku, pot semen yang tengahnya sudah dilubangi sedalam satu ruas jari, bambu raut. Sementara yang dikeluarkan ayah dari sebelah kanan adalah beban halter pinggir, kemudian halter tengah, dan sebuah bambu yang dibuat seperti busur panah kembar yang ujung busurnya diikat dengan tali.

Aku sebenarnya sudah pernah melihat itu semua.

"Ini semua adalah medium yang dipergunakan untuk berlatih olah nafasmu." ucap ayah.

"Ada lagi yang lain, tapi ayah simpan di ruangan gudang. Nanti, kalau sudah saatnya maka kamu akan mempelajarinya...", lanjut ayah.

"Ayah, apakah beban-beban ini tidak terlalu ringan yah? Bata semen ini beratnya hanya dua kilogram saja. Buat Aa terasa sangat ringan yah. Bahkan saat melakukan olah nafaspun ya mengangkatnya biasa saja.", tanyaku penasaran.

Jujur, memang demikianlah adanya. Beban ini menurutku terlalu ringan. Kalaupun ingin membentuk kekuatan otot, maka seharusnya digunakanlah beban yang lebih berat. Bahkan untuk halterpun menurutku terlalu ringan. Dulu, ayah juga pernah mengajariku olah nafas yang menggunakan halter.

"Memang demikian adanya nak. Beban ini, bukanlah ditujukan untuk membuat lenganmu seperti atlet binaragawan. Fungsinya sangat berbeda. Tidak sama dengan saat kamu lihat di tempat-tempat fitness dimana beban tersebut ditingkatkan apabila ototmu sudah memiliki kemampuan untuk mengangkat beban yang lebih berat.

Olah nafas dalam silat ini tidak memandang seperti itu adanya.", jawab ayah.

Dheg!

Hatiku terkejut mendengarnya.

"Trus, itu untuk apa yah?", tanyaku penasaran.

"Sesungguhnya beban ini dipergunakan adalah untuk media penyaluran tenaga, dan bukan untuk memperbesar otot. Yang dilatih adalah tenaga halus, dan bukan tenaga kasar yang berasal dari ototmu. Bukan membuatku kuat karena ototnya mengembang seperti atlet, tetapi memberimu pemahaman dan kemampuan untuk menyalurkan tenaga pada medium yang kamu gunakan.", jawab ayah.

Aku melihat ayah mengambil sebuah bata semen yang ada di dekatnya. Bata semen yang baru saja ayah keluarkan tadi dari bungkusan plastik. Bentuknya sama persis dengan yang ada didepanku. Beratnya juga dipastikan sama.

Ayah kemudian menimang-nimang bata semen ini, lalu menyelipkan diantara empat jarinya dan ibu jarinya.

"Ambillah satu bata semen yang ada di depanmu itu.", pinta ayah.

Aku menurut.

Aku sedikit membungkuk dan mengambil sebuah bata semen yang ada di depan lutut kananku. Kemudian menempatkannya diantara empat jari dan ibu jariku. Persis seperti yang ayah lakukan.

"Coba tekan yang keras... keras sekali...", pinta ayah.

Aku menurut.

Aku tekan dengan ujung-ujung jariku dengan kuat. Otot lenganku mengembang. Jariku mengeras.

Tiga detik...

Lima detik...

Sepuluh detik...

Lima belas detik...

Tidak terjadi apa-apa.

Tanganku mulai sedikit gemetar karena tampaknya kemampuan ototku sudah hampir mencapai maksimum pengejangan.

"Cukup...", ucap ayah.

Begitu mendengar aba-aba tersebut, aku langsung mengendurkan tekanan ujung jariku pada bata semen ini. Keringat mulai keluar dari pori-pori lenganku.

"Lihatlah, kalau yang kamu lakukan adalah berusaha menguatkan lengan saja dengan menekan bata semen itu dengan ujung jari, ya kamu hanya akan dapat itu saja.

Tetapi inti sesungguhnya bukan disitu.", lanjut ayah.

"Perhatikan...", ucap ayah.

Aku melihat jari-jari ayah menekan pelan saja bata semen itu. Tak terlihat sama sekali adanya pengerasan pada lengan kanan ayah seperti yang tadi kulakukan.

Tiga detik kemudian...

BRAK!!!

Bata semen itu hancur!

"Ah!!!", tanpa sadar aku menjerit kecil.

"Itu... itu bata semennya hancur yah!", ucapku.

"Ba... bagaimana caranya yah?", tanyaku penasaran.

Mataku mendelik tak percaya. Rasanya seperti perbedaan antara langit dan bumi terhadap apa yang kulakukan dengan apa yang ayah lakukan.

Bata semen itu benar-benar hancur! Hancur menyerpih!

"Lihatlah, hasilnya sungguh sangat berbeda bukan?", ucap ayah sambil tersenyum.

Ayah kemudian menepuk-nepuk telapaknya untuk membersihkan debu-debu yang menempel akibat hancurnya bata semen ditangannya tadi.

"Beban ini bukanlah beban bagi ragamu. Bukanlah untuk sekedar membesarkan  ototmu. Tapi ia adalah medium penyaluran tenagamu. Kamu harus memahami benar ini.

Saat kamu melakukan latihan olah nafas dengan beban, kamu harus menutup matamu. Beradalah dalam kegelapan. Setelah itu, lakukan upaya sungguh-sungguh untuk menentramkan pikiranmu, menerangkan hatimu, dan menghidupkan rasamu.

Jadi, untuk bisa memahami penyaluran, sesungguhnya harus dimulai dengan bagaimana caramu menemukan terangnya hati. Sebab tanpa hati yang terang, maka segala macam yang tampak tidak dapat dilihat dan dimaknai dengan benar dan tepat. Apalagi untuk hal-hal yang tidak tampak.

Disitulah kuncinya.", ucap ayah.

"Kalaupun pada suatu saat nanti kamu harus beralih pada beban yang lebih berat, ya tidak masalah. Berarti ragamu sudah mampu menyesuaikan diri. Yang penting, jangan mengarah pada kekuatan otot dulu tujuannya, tapi bagaimana kamu memahami penyaluran tenaga. Itu yang lebih penting, dan itulah tujuan utama dari beban ini.", lanjut ayah.

Dadaku seperti dipalu godam.

Aku menunduk malu.

Ayah, aku mulai mengerti sekarang.


(bersambung)