Sore ini mendung masih mengelayuti langit Jakarta, beberapa hari ini sinar matahari sore dari ufuk timur jarang sekeli mennampakan sinarnya seolah enggan menyapa hangat sinarnya. Kesibukan pedagang yang hilir mudik untuk menutup dan sebagian lagi membuka lapak-lapaknya yang akan tergantikan oleh pedagang sayur dan ikan-ikan, seakan mereka sudah sepakat antara pedagang pagi dan pedagang malam, disini tumpah beragam suku untuk mengeruk rejeki yang melimpah dari atas langit.
Suara hiruk pikuk dari gerobak yang entah dari mana datangnya seolah kompak beriringan melawan arus jalan, tak peduli lagi dengan motor roda dua yang harus mengalah untuk toleransi memberi mereka jalan, wajah – wajah dengan peluh menetes di raut muka mereka seakan tak akan berhenti untuk menarik gerobak sampai di lapak-lapak mereka.
Agung, wawang, dan bagas, memandang jauh hingga ujung pasar yang mulai ramai dengan lampu-lampu pijar yang berkelap-kelip, mereka masih menunggu sobat karib untuk shif malam. Buyung Cs masih belum menampkkan batang hidungnya hingga matahari telah meninggalkan malam gelap.
“Wang ! mending ente pulang duluan dech, ane nunggu Buyung sampe die datang” pinta Agung kepada sobatnya ini. Bagas dan wawang menganguk lalu ia pergi dari hadapannya dengan meninggalkan senyum kecil seolah memberikan pesan rahasia yang hanya mereka saja yang mengetahuinya.
Agung berssandar pada sebuah tiang dan matanya menerawang memandang langit yang nampaknya akan hujan, hari-harinya memang selalu begini, akan tetapi ada satu yang menjadi hari-harinya berbeda, yaitu rasa, ia merasa lebih hidup dalam kehidupan ini.
Hidup memang berwarna dan warna itulah yang kini memberikan gambaran akan berharganya setiap tarikan nafas yang patut di syukuri olehnya.
Segelas teh tumbruk sisa sore tadi, menjadi minuman yang amat segar masuk hingga dalam kerongkongannya, Sholat magrib pun menjadi bagian rutin yang kini tak terlewatkan dan telah memberikan satu warna lagi bagi perjalanan hidupnya.
Ia tak pernah lupa pada sosok nenek yang telah meninggalkannya minggu lalu untuk pergi selama-lamanya, walaupun tak ada satupun nasehat yang keluar dari bibir nenek tua itu, akan tetapi banyak nasehat batin yang agung rasakan sepeninggalnya.
“Entahlah mengapa aku merasakan kehilangan yang amat sangat seolah ia adalah salah satu bagian keluargaku, padahal kenal saja tidak!, tapi hatiku bagaikan mencair membasuhi hingga ke dalam relung yang paling dalam, apakah ini adalah tanda-tanda?. Sebuah hidayah Tuhan padaku?’ Tanya agung pada hatinya sendiri.
Jam menunjukkan jam 9 malam, buyung Cs baru saja datang dan menepuk pundak agung yang masih menikmati perbincangan hati kecilnya, Agung menatap buyung dengan mata yang mulai lelah. ia tak banyak bicara, hanya beberapa kata lalu pergi meninggalkan mereka yang baru saja tiba.
Kadang kita lupa menghargai apa yang kita miliki, babeh, emak, adik, abang, dan serumpun sanak saudara, yang sebenarnya adalah kekayaan batin yang amat melimpah, lupa dan tak sempat kadang menjadi boomerang bagi kita melupakan kehadiran mereka dalam menjalani hidup, padahal mereka adalah semangat kita.
Suara knalpot yang meraung-raung membawa agung dalam lamunannya, seperti musik pengirim menghantarkan ia ke gubuknya yang tak lama lagi ia nikmati.
Bisik hatinya terus melaju seperti laju motorsnya yang meliak-liuk di atas aspal yang berlubang, ia jadi teringat akan emak dan babehnya di kota lain, rasa rindu, menjadi begitu mengebu, terbesit satu niat suci untuk mengunjungi kedua orng tuanya, dan mereka berdualah harta yang masih tersisa.
Saat agung sedang menikmati malam-malamnya, Nan jauh disana tepatnya di sebuah toko buku gramedia Anita masih sibuk memilih buku-buku yang ingin ia beli, sangking niatnya mengikuti kegiatan pendakian, ia rela merogoh keceknya untuk membeli buku alam bebas dan pendakian gunung. Beberapa judul sudah ia lihat, sampulnya bagus-bagus kadang isinya tak mencerminkan isi di dalamnya.
Sudah hamper 2 jam ia ada disini, tokobuku pun sudah mulai bersiap-siap tutup, beberapa lampu mulai di matikan, musik tanda tutupnya toko buku ini pun sayup-sayup terdengarakan, akan tetapi ia belum bisa memutuskan buku mana yang ia harus beli, kebingungan Anita terbaca dengan jelas dari raut wajahnya.
‘Mbak!, maaf yaa, kami sudah mulai tutup” sapaan halus nan lembut terlontar jelas tertangkap di telinga Anita, ia cepat menoleh ke arah penjaga toko.
Senyum penjaga toko penuh santun menyerbak, anita masih gugup karena belum tahu apa yang ingin ia beli, karena tak mungkin ia membeli 2 buku sekaligus, karena masih ada beberapa barang lainnya yang sudah ia beli malam ini, Sandal Gunung, Tas keril, Jas Hujan, Selimut tidur, alat masak, hingga topi rimba. Nilainya sudah ratusan ribu Rupiah, dan sisanya hanya tinggal beberapa lembar uang kembalian dari sisa pembelian peralatan yang rata-rata bermerek Eiger.
“Kalau menurut saya buku yang cukup bagus dan enak dibaca pilih yang ini saja” Ujar penjaga toko dengan sabar seolah ia tahu kebimbangan Anita, Penjaga toko berwajah rupawan dengan rambut tersisir rapih bercambang lancip menunjuk satu buah buku karangan Hendri agustin.
Satu buah bukupun di letakkan kembali kedalam raknya, dan anita bergegas meninggalkan penjaga toko tsb dan tak lupa ia mengucapkan terima kasih. Dan atas saran penjaga toko buku inilah yang akan menjadi bacaannya sepanjang malam nanti, karena ia sudah tak sabar lagi untuk membuka lembar demi lembar isinya.
Anita menjadi pembeli terakhir malam ini, beberapa ruang sudah mulai gelap, di meja kasir Anita menyerahkan beberapa lembar uangnya dan satu buah buku di bungkus rapih di serahkan kepadanya dan ucapan terima kasih ramah terlontar dari suara penjaga kasir. “Makasih juga ya mbak” balas anita menatap ramah kepada mbak penjaga kasir itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam lewat 35 menit, jalan raya salemba kian sepi, hanya beberapa pemuda pemudi yang melintas di depannya sedangkan yang lainnya adalah karyawan toko buku itu yang telah selesai menunaikan tugasnya hari ini, suara canda masih tetap terdengar dalam suara yang lelah.
Suara langkah seseorang membuat Anita menoleh, ia hapal betul dengan wajah melankolis itu, “iya…! Dia penjaga toko yang tadi” anita manggut-manggut sambil menjinjing beberapa bawaan yang terlihat amat ribet.
Sepertinya pemuda penjaga toko itu sadar bahwa dirinya menjadi sorotan mata binar-binar gadis yang ia kenal pula wajahnya.
“Hai…!, mbak kok belum dapet kendaraan, memang mau pulang kemana” sapa pemuda itu penuh sopan santun, anita hanya tersenyum kecil. “tau neh mas, kok bus jurusan cililitan belum ada yg nonggol-nonggol juga ya” Tanya anita sambil matanya menatap ka arah jalan raya.
“Ohh, kalau sudah jam segini mah sudah jarang mbak, gimana kalo kita bareng aja yuk, kerana mungkin dari kampong melayu masih banyak mikrolet M06 yang lewat cililitan” jawab pemuda itu dengan tutur kata yang halus.
Anita menganggukkan kepalanya, tanda ia setuju, beberapa barang bawaannya sudah berpindah tangan ke tangan pemuda tersebut, Mikrolet jurusan melayu ia tumpangi bersama pemuda itu, perkenalan singkat ini membawa anita menuju terminal kampong malayu.
Suasana di terminal malam ini masih cukup ramai dari kendaraan yang ngetem hingga tengah jalan. beberapa preman jalanan nampak sibuk mengatur mikrolet yang ngetem terlalu lama, kecuali bila ada uang receh yang ia terima, cerita bakal lain, sampai sepuas-puasnya ngetem disini tidak menjadi masalah. Bang Sarkam itulah nama yang kerap menjadi nama sakti bagi kroco-kroconya bila harus berhadapan dengan sopir yang nakal ataupun kepada petugas polisi yang akan menertibkan mereka, tak terhitung jumlah anak buah bang Sarkam sehingga dari jaman dahulu kelompok preman Arab menjadi bagian lapisan kedua disini.
Suara klakson sudah menjadi bagian kebisingan dan kecewanya beberapa kendaraan pribadi yang kesal melihat menumpuknya kendaraan umum yang seenaknya menggunakan badan jalan untuk mencari tambahan penumpang. Sepeda motor menerobas barisan kendaraan yang berebut lewat.
Sedangkan Anita dan Pemuda itu baru saja turun dari mikrolet tua dan butut, mereka berpisah setelah berpamitan dan Jabat tangan perkenalan mereka tak terlewatkan saat ia berada di atas mikrolet tadi. “Ezra purnama hem nama yang aneh, namanya mirip nama paranormal” bisik anita sambil berjalan menuju tempat ngetemnya mikrolet M06 yang sejak tadi sudah mangkal di seberang jalan.