Setelah melalui perjuangan menegangkan akibat pesawat yang delay,
turbulance, tol bandara padet, dan tergagap-gagap bo’ong ke boss, akhirnya bisa ngejar yang edisi 15.30... fiuhhh...
Saya tidak akan menambahi laporan pandangan mata lagi di sini, apa yang sudah disampaikan oleh sesepuh kita, Mas Sosrobirowo, jelas sudah gak bisa ditandingi lagi. GRP buat yang bersangkutan. Saya Cuma ingin berbagi sedikit tentang apa yang saya dapat dari menonton film dokumenter pendek ini.
Seperti yang dilaporkan Mas Sosrobirowo, film ini dimulai dengan profil Kong Salim, seorang kakek di usia tujuh puluhan yang tidak akan menarik perhatian kita bila kita berpapasan dengan beliau di jalan. Penampilan Kong Salim tidak berbeda dengan engkong-engkong lain yang biasa kita temui kampung-kampung di pinggiran Jakarta. Dengan pikulan berisi pisang yang diasungnya ke mana-mana, kita Cuma akan melihat seorang kakek tua yang sedang berjuang mempertahankan hidup melalui suatu profesi yang sudah ketinggalan jaman beberapa ratus tahun, penjaja hasil kebun.
Sentakan pertama saya dapat ketika narator kisah ini menyebut Kong Salim sebagai bukti hidup dari ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk. Bahwa sesungguhnya beliau adalah seorang guru silat yang disegani di kalangan para pendekar. Narasi ini dituturkan menemani adegan Kong Salim yang sedang menjual pisang pada seorang ibu di pinggir jalan tanah yang sempit. Beliau berjongkok di samping dagangannya, menengadah memandang si ibu yang berdiri memilih-milih. Sambil tertawa-tawa Kong Salim menangkis tawaran harga dari si ibu. Sungguh penampilan seorang pedagang kecil yang merendahkan diri tapi tetap akrab di depan calon pembeli. Adegan ini buat saya sungguh menyentuh.
Sentakan kedua saya dapat ketika dalam wawancara dengan reporter, Kong Salim berujar, “yaa saya akan jualan saja selagi masih sehat, kalau nanti nyawa sudah diambil, ya habis urusan.”
Kesederhanaan cara berpikir beliau betul-betul seperti sindiran buat saya. Tidak seperti saya yang sibuk berpikir soal dana pensiun, asuransi, investasi ini-itu dan sebagainya, Kong Salim menghadapi hidup dengan ringan apa adanya. Bukan berarti saya merendahkan pola hidup yang waspada untuk hari tua, tapi tidak bisa tidak, saya harus mengakui bahwa semua persiapan yang saya lakukan itu didasari oleh rasa takut. Ada kecemasan kalau hidup saya akan terbengkalai di hari tua nanti. Dengan ujarannya Kong Salim mengajari saya suatu keberanian untuk menerima hidup apa adanya.
Bersiap memang perlu, tapi kemampuan untuk menerima kehidupan dengan lapang dada, kepasrahan terhadap ketentuan Yang Maha Kuasa, adalah di atas segalanya.
Touche.
Laporan dilanjutkan dengan adegan Kong Salim mengajar aliran Paseban Lama di sebuah pelataran pada malam hari. Lucunya, pada adegan ini bukan tata gerak ilmu silat yang saya perhatikan, tapi justru sebuah pemandangan klasik yang sudah puluhan tahun tidak saya lihat lagi, sebuah kegiatan kebersamaan yang dilakukan setelah sholat Isa.
Adegan tersebut memicu penglihatan saya mundur beberapa puluh tahun, saat saya masih seorang bocah yang melintasi bulak-bulak gelap untuk belajar mengaji di musholla kampung. Biasanya pengajian dimulai sesudah maghrib, diakhiri sesudah Isa, dan dilanjutkan dengan kegiatan bermain atau berlatih silat di pelataran di depan musholla. Semua dilakukan di bawah penerangan obor. Saat itu pertengahan 70-an, saya tinggal di pinggiran selatan Depok yang waktu itu belum tersentuh listrik.
Menengok ke diri sendiri bertahun-tahun kemudian, saya melihat kehidupan yang saya jalani sudah jauh tercabut dari budaya tradisional itu. Saya mengekor tulisan-tulisan para guru manajemen dan pengembangan diri dari barat, mengutip kata-kata bijak dan motivasi dari para penghulu spiritual produksi negeri sana. Saya hadir di seminar-seminar motivasi, berbicara dalam campuran bahasa Inggris, bergaul dengan para ekspatriat dan tanding adu keren-kerenan credit card (yang hakikatnya teteup adalah kartu ngutang).
Sejak berlatih silat sebulan belakangan ini, saya seperti menemukan kembali akar tempat saya tumbuh. Berbicara dengan orang-orang yang sederhana, yang menjalani hidup apa adanya tapi mewarisi hasil cipta leluhur yang yang tinggi nilainya.
Teringat pada ujaran seorang penyair Amerika:
The beauty of a journey is when you return home and find the place for the first time.
Saya tidak merasa menyesal atas perjalanan jauh yang sudah saya lakukan karena sekarang saya sudah pulang, menemukan bahwa disekitar kita terdapat kebijaksanaan yang dalam, tersembunyi dibalik kesederhanaan dan kerendahan hati.
Silat adalah media penghubung antara saya dan kebijakan itu. Tayangan DAAI TV kali ini menguatkan perasaan saya pada silat.
Sentakan terakhir adalah ketika laporan berpindah ke latihan Cingkrik Goning di padepokan Pencak Silat... sedikit-sedikit ada terlihat saya sedang latihan, sebagai latar belakang wawancaranya Kang Iwan dan Uda Parewa.
Aduh... itu pinggang harus dikecilin deh kayaknya... ck... ck... ck...