ada sebuah artikel yang bisa menjadi pertimbangan, mohon maaf sebelumnya kawan-kawan..
---------
Aktivasi Otak Tengah Tidak Efektif Membuat Anak Jenius Thursday, 16 September 2010AKTIVASI otak tengah menjadi cara yang dipilih sebagian orang tua untuk mencerdaskan anak.Padahal, hal tersebut tidak sepenuhnya benar karena menjadikan anak jenius bisa dilakukan dengan cara lain. Psikolog dari Universitas Soegyapranata Semarang, Dr Endang Widyorini,menuturkan bahwa kegiatan dan publikasi aktivasi otak tengah jelas bisa menjerumuskan pemahaman masyarakat, baik orang tua maupun guru,terhadap pemahaman jenius secara ilmiah.
Pemahaman ini sudah didukung oleh berbagai penelitian panjang di berbagai bidang ilmu lebih dari seratus tahun. Publikasi aktivasi otak tengah yang mengklaim dilandasi oleh pengetahuan ilmiah itu sungguh tidak ilmiah karena jauh dari pemahaman tentang jenius itu sendiri. "Sebenarnya seseorang menjadi jenius tidak bisa dibuat dengan jalan instan seperti itu, dan tidak ada hubungan antara kejeniusan dengan otak tengah," ujar ketua Program Magister Psikologi Universitas Soegyapranata Semarang ini.
Berkaitan dengan kejeniusan yang ditimbulkan dengan mengaktivasi otak tengah,dalam diskusi orang tua anak gifted (cerdas luar biasa/cerdas istimewa), suatu kelompok orang tua dengan anakanak yang terdeteksi sebagai anakanak gifted (cerdas istimewa) menyebutkan, metode aktivasi otak tengah yang tujuannya agar anak menjadi jenius, dilihat dari sudut ilmu apa pun, tidak dapat memberikan dukungan bagi pengembangan penelitian baginya.
Apalagi bila dilihat dari ilmu psikologi yang mengupas tentang anak jenius, juga tidak mungkin bisa memberikan dukungan secara teoritis, terutama tentang orisinalitas eksistensi kejeniusan. Inteligensi luar biasa adalah sebuah hal yang diturunkan,yaitu merupakan natur genetik. Natur genetik ini masih membutuhkan dukungan lingkungan agar si anak bisa menghasilkan prestasi luar biasanya sebagai karya jenius. Dari sudut pandang ilmu kedokteran, baik ilmu saraf yang mempelajari fungsi otak maupun kedokteran anak yang mempelajari tumbuh kembang anak,jelas kedua cabang ilmu ini juga tidak bisa mendukung secara teoritis.
Itu karena klaim aktivasi otak tengah tidak berkorelasi dengan teori dalam keilmuan kedokteran itu. "Hingga hari ini belum ada satu pun publikasi ilmiah yang menyatakan bahwa aktivasi otak tengah meningkatkan kecerdasan manusia, apalagi meng-upgrade-nya menjadi jenius,"sebut Endang. Dari sudut ilmu pendidikan,kegiatan aktivasi otak tengah juga menisbikan dan menolak keragaman yang terdapat pada tiap-tiap individu dan bertentangan dengan ragam teori dan kepustakaan ilmiah di bidang tumbuh kembang kognisi manusia (cognitive and learning theories). Keragaman yang ditentukan oleh potensi dasar se-seorang akan memengaruhi gaya belajar, cara berpikir, dan cara menyerap suatu informasi.
Dengan prinsip yang ditawarkan oleh kegiatan aktivasi otak tengah, maka secara tidak langsung menjanjikan harapanharapan palsu terhadap orang tua dan anak didik. Endang mengatakan, kondisi yang dialami anak-anak apabila terjadi pemaksaan dalam pengaktivasian otak tengah ialah terjadinya awareness, yakni suatu kondisi mental penuh kewaspadaan. Kondisi awareness yang berlebihan akan membuat seseorang mengalami berbagai gangguan kejiwaan, yakni berupa gejala kecemasan yang ringan sampai yang berat. "Tentu ini berbahaya.Lagi pula jenius itu bukan sekadar membaca dengan mata tertutup kan?" ucapnya.
Psikolog keluarga dari Kasandra & Associates, Kasandra Putranto MPsi, mengatakan, otak tengah adalah penghubung otak depan dan otak belakang,dan apabila pengaktifan otak tengah ini dihubungkan dengan kejeniusan,maka itu tidak sepenuhnya benar. "Justru dengan diaktifkan otak tengah, hanya bisa meningkatkan kepekaan anak agar bisa menggunakan indranya lebih kuat.Jadi,itu bukanlah meningkatkan kejeniusan, melainkan meningkatkan kepekaan indrawi,"tuturnya. (inggrid namirazswara)
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/350845/36/============
"Teori otak tengah" menurut Dr. Sarlito Wirawan SarwonoSaturday, 18 September 2010
Di suasana Lebaran ini mestinya saya menulis sesuatu tentang Lebaran,tepatnya tentang bermaaf-maafan, wabil-khusus tentang psikologi maaf. Namun,draf tulisan yang sedang saya siapkan terpaksa saya sisihkan dulu saking gemasnya mengamati perkembangan pseudo-science (ilmu semu)yang sangat membahayakan akhir-akhir ini tentang otak tengah(midbrain). Mudah-mudahan artikel ini bisa menjadi bahan bacaan alternatif yang menarik di tengah tengah banjirnya (lebih parah dari banjir Pakistan) artikel dan siaran tentang Idul Fitri di hari-hari seputar Lebaran ini.
Otak tengah adalah bagian terkecil dari otak yang berfungsi sebagai relay station untuk penglihatan dan pendengaran. Dia juga mengendalikan gerak bola mata. Bagian berpigmen gelapnya yang disebut red nucleus (inti merah) dan substantia nigra juga mengatur gerak motorik anggota tubuh. Karena itu kelainan atau gangguan di otak tengah bisa menyebabkan parkinson.
Untuk keterangan lebih lanjut silakan berkonsultasi dengan dokter.
Namun, yang jelas, otak tengah tidak mengurusi inteligensi, emosi, apalagi aspek-aspek kepribadian lain seperti sikap, motivasi, dan minat. Para pakar ilmu syaraf(neuroscience) Richard Haier dari Universitas California dan Irvineserta Rex Jung dari Universitas New Mexico, Amerika Serikat, menemukan bahwa inteligensi atau kecerdasan yang sering dinyatakan dalam ukuran IQ tidak terpusat pada satu bagian tertentu dari otak, melainkan merupakan hasil interaksi antar beberapa bagian dari otak.
Makin bagus kinerja antar bagian- bagian otak itu, makin tinggi tingkat kecerdasan seseorang (teori parieto-frontal integration). Di sisi lain, pusat emosi terletak di bagian lain dari otak yang dinamakan amygdala, tak ada hubungannya dengan midbrain. Sementara itu aspek kepribadian lain seperti minat dan motivasi lebih merupakan aspek sosial (bukan neurologis) dari jiwa, yang lebih gampang diamati melalui perilaku seseorang ketimbang dicari pusatnya di otak.
Sampai dengan tahun 1980-an (bahkan sampai hari ini) masih banyak yang percaya bahwa keberhasilan seseorang sangat tergantung pada IQ-nya. Makin tinggi IQ seseorang akan makin besar kemungkinannya untuk berhasil. Itulah sebabnya banyak sekolah mempersyaratkan hasil tes IQ di atas 120 untuk bisa diterima di sekolah yang bersangkutan. Namun, sejak Howard Gardner menemukan teori tentang multiple intelligence (1983) dan Daniel Goleman memublikasikan temuannya tentang Emotional Intelligence (1995), maka para pakar dan awam pun tahu bahwa peran IQ pada keberhasilan seseorang hanya sekitar 20–30% saja.
Selebihnya tergantung pada faktor-faktor kepribadian lain seperti usaha, ketekunan, konsentrasi, dedikasi, kemampuan sosial. Walaupun begitu, beberapa bulan terakhir ini, marak sekali kampanye tentang pelatihan otak tengah.
Bahkan rekan saya psikolog psikolog muda ada yang bersemangat sekali mengampanyekan otak tengah sambil mengikutsertakan anak-anak mereka kepelatihan otak tengah yang biayanya mencapai Rp3,5 juta/anak (kalau dua anak sudah Rp 7 juta, kan) hanya untuk dua hari kursus.
Hasilnya adalah bahwa anak-anak itu dalam dua hari bisa menggambar warna dengan mata tertutup. Wah, bangganya bukan main para ortu itu. Mereka pikir setelah bisa menggambar dengan mata tertutup, anak-anak mereka langsung akan jadi cerdas, bisa konsentrasi di kelas, bersikap sopan santun kepada orang tua, bersemangat belajar tinggi, percaya diri, dan sebagainya seperti yang dijanjikan oleh kursus-kursus seperti ini.
Mungkin mereka mengira bahwa dengan menginvestasikan Rp3,5 juta untuk dua hari kursus, orang tua tidak usah lagi bersusah payah menyuruh anak mereka belajar (karena mereka akan termotivasi untuk belajar sendiri), tidak usah membayar guru les lagi (karena otomatis anak akan mengerti sendiri pelajarannya), dan yang terpenting anak pasti naik kelas, malah bisa masuk peringkat. Inilah yang saya maksud dengan “berbahaya” dari tren yang sedang berkembang pesat akhir-akhir ini.
Untuk orang tua yang berduit, uang sebesar Rp3,5 juta mungkin tidak ada artinya. Namun, kasihan anaknya jika ternyata dia tidak bisa memenuhi harapan orang tuanya. Selain bisa menggambar dengan mata tertutup (sebagian hanya berpura-pura bisa dengan mengintip lewat celah penutup mata dekat hidung), ternyata dia tidak bisa apa-apa.
Konsentrasi tetap payah, motivasi tetap rendah, dan emosi tetap meledak-ledak tak terkendali. Pasalnya memang tidak ada hubungannya antara otak tengah dengan faktor faktor kepribadian itu.
Namun, orangtua sepertinya tidak mau tahu. Dia sudah membayar Rp3,5 juta dan sudah mendengarkan ceramah Dr David Ting, pakar otak tengah dari Malaysia itu.
Kata Dr Ting, anak yang sudah ikut pelatihan otak tengah bukan hanya jadi makin pintar, tetapi jadi jenius. Karena itu nama perusahaannya juga Genius Mind Corporation. Malah bukan itu saja. Menurut Dr Ting, anak yang sudah terlatih otak tengahnya bisa melihat di balik dinding, bisa melihat apa yang akan terjadi (seperti almarhumah Mama Laurenz), bahkan bisa mengobati orang sakit. Ya, itulah yang dijanjikannya dalam iklan-iklan Youtube-nya di internet. Dan dampaknya bisa dahsyat sekali karena angka KDRT pada anak bisa langsung melompat naik gara-gara banyak anak dicubiti atau dipukuli pantatnya sampai babak-belur oleh mama-mama mereka sendiril antaran tidak bisa melihat di balik tembok, meramal atau mengobati orang sakit.***
Untuk menyiapkan tulisan ini, saya sengaja menelusuri nama David Ting di Google. Ternyata ada puluhan pakar di dunia yang bernama David Ting dan David Ting yang menganjurkan otak tengah ini ternyata bukan pakar ilmu syaraf, kedokteran, biologi, atau psikologi. Dia disebutkan sebagai pakar pendidikan dan tidak ada hubungannya dengan ilmu syaraf (neuroscience).
Maka saya ragu akan ilmunya. Apalagi saya hanya mendapati beberapa versi Youtube yang diulang-ulang saja, beberapa tulisan kesaksian, dan cerita-cerita yang sulit diverifikasi kebenarannya. Saya pun lanjut dengan menelusuri jurnal-jurnal ilmiah online, siapa tahu tulisan-tulisan ilmiahnya sudah banyak, tetapi saya belum pernah membacanya. Namun hasilnya juga nol.
Maka saya makin tidak percaya.
Saya yakin bahwa teori David Ting tentang otak tengah hanyalah pseudo-science atau ilmu semu karena seakan-akan ilmiah, tetapi tidak bisa diverifikasi secara ilmiah. Sama halnya dengan teori otak kanan-otak kiri yang juga ilmu semu atau astrologi atau palmistri (membaca nasib orang dengan melihat garis-garis telapak tangannya). Masalahnya, astrologi dan palmistri yang sudah kuno itu tidak merugikan siapa-siapa karena hanya dilakukan oleh yang mempercayainya atau sekadar iseng-iseng tanpa biaya dan tanpa beban apaapa. Kalau betul syukur, kalau salah yo wis.
Lain halnya dengan pelatihan otak tengah dan dulu pernah juga populer pelatihan otak kanak-otak kiri. Bahkan, saya pernah memergoki, di sebuah gedung pertemuan (kebetulan saya ke sana untuk keperluan lain), sebuah pelatihan diselenggarakan oleh sebuah instansi pemerintah yang judulnya “Meningkatkan Kecerdasan Salat”. Semuanya dijual sebagai pelatihan dengan biaya (istilah mereka“biaya investasi”) yang mahal. Ini sudah masuk ke masalah membohongi publik, sebab mana mungkin dengan satu pelatihan selama dua har iseorang anak bisa disulap menjadi jenius yang serbabisa, bahkan bisa melihat di balik dinding seperti Superman.
Lagipula, apa hubungannya antara menggambar dengan mata tertutup dengan jenius?
Einstein, Colombus, Thomas Edison, Bill Gates, Barack Obama, dan masih banyak lagi adalah kaum jenius tingkat dunia, tetapi tak satu pun bisa menggambar dengan mata tertutup.
Teori otak tengah sudah jelas penipuan. Dengan berpikir atau bertanya sedikit, setiap orang bisa tahu bahwa ini adalah penipuan.
Namun orang Indonesia itu malas bertanya dan ingin yang serba instan. Termasuk kaum terpelajar dan orang berduitnya. Jadi kita gampang sekali jadi sasaran penipuan.
Inilah menurut saya yang paling memprihatinkan dari maraknyakasus otak tengah ini.
(*)SARLITO WIRAWAN SARWONOGuru Besar Fakultas Psikologi