Hari senin yang saya sukai adalah hari senin yang tidak perlu masuk kantor, baik
karena libur, cuti, atau alasan lainnya (baca: bolos). Hari senin ini adalah salah
satu dari hari-hari tersebut.
Pagi ini saya habiskan dengan mengulang lima jurus yang saya pelajari dari Pak
Bambang, masing-masing dapat porsi dua puluh menit dengan selingan istirahat
selama lima menit diantara masing-masing jurus.
Sedikit-sedikit bertegur sapa dengan tukang sayur dan tukang es krim yang
melintas di depan rumah, menggodai tetangga yang bergegas berangkat ke
kantor pagi-pagi sekali supaya tidak terkena macet di jalan, dan melambai pada
para pembantu rumah tangga yang mulai menyapu halaman rumah majikan
mereka. Kehidupan sedang menggeliat di kompleks tempat tinggal saya.
Bapak pemungut sampah langganan saya datang sekitar pukul setengah
delapan, ketika saya sedang berusaha keras bangkit dari posisi Deprok di jurus
empat. Sudah berbulan-bulan saya latih jurus ini, tapi jurus Deprok masih
merupakan jurus yang paling sulit saya kuasai. Selain kaki saya tidak bisa melipat
bagus sesuai tuntutan sang jurus, saya masih belum bisa bangun tanpa
bantuan tangan. Diam-diam saya merindukan berat badan yang dulu hanya tujuh
puluh kilogram.
"Latihan silat, Pak?" tanyanya. "Biasanya latihan Karate?"
"Sudah tiga bulan ini ganti jalur, Pak," jawab saya sambil pasrah terlipat di
tanah. "Kok tau kalau ini silat?"
"Geraknya beda-lah, Pak. Itu gitu pake nDeprok segala. Itu 'mah jelas aja silat."
Saya meringis. Biasanya istilah nDeprok (dengan imbuh 'n') saya pakai untuk
menamai posisi anak saya bila sedang duduk di lantai, dia nampak seperti
buntalan gendut yang teronggok sembarangan di atas lantai. Rupanya di mata
Bapak Pemungut Sampah ini saya-pun memiliki bentuk yang sama dengan
onggokan gen... er... buntalan tersebut.
"Bapak belajar silat juga ya?" saya berpura-pura santai dalam posisi Deprok,
menutupi bahwa sebenarnya saya sedang terjepit tidak bisa bergerak.
"Nggak, Pak," dia menyahut sambil mengangkuti sampah. "Tapi waktu saya kecil
dulu di sini banyak guru silat, jadi saya tau sedikit-sedikit."
"Kemana mereka, Pak?"
"Sudah pada meninggal, Pak. Gak ada yang nerusin."
Saya mengangguk-angguk sambil menggumam. Begitulah yang pernah saya
dengar, para guru bertumbangan satu persatu tanpa penerus.
“Tapi Bapak gak pantes main silat, Pak,” Bapak Pengangkut Sampah itu mulai
memutar gerobaknya. “Bapak itu cocoknya memang main karate.”
Saya masih duduk dalam posisi Deprok memandangi dia pergi. Apa maksud
kalimatnya yang terakhir? Apakah saya dianggap merendahkan diri karena beralih
dari karate ke silat, atau saya dianggap kurang tahu diri karena berusaha naik
dari karate ke silat?
Lucunya, melihat ke diri saya yang teronggok tidak berdaya di jalan di depan
rumah, saya merasa bahwa terjemahan terakhir-lah yang benar…