Forum > Seni dan Budaya Nusantara

Misteri Tambo Alam Minangkabau

(1/7) > >>

Bayu Umbara:
Tambo Alam Minangkabau Tambo dalam arti yang sebenarnya adalah cerita sejarah negeri Minangkabau. Tambo-tambo lama Minangkabau didapati hampir di tiap-tiap nagari di Minangkabau yang ditulis dengan tangan dan memakai aksara Arab. Tambo-tambo tersebut sangat dimuliakan orang, bahkan adakalanya dipandang sebagai pusaka keramat. Sehingga yang memegangnya adalah kepala suku atau orang yang akan mengantikan kepala suku itu. Tidak sembarang orang yang boleh membaca, bahkan untuk membacanya harus didahului upacara khusus.
Setiap suku bangsa memiliki cerita asal usul. Demikian pula dengan suku Minangkabau. Cerita mengenai asal usul dan sejarah di Minangkabau dikenal dengan nama Tambo. Tambo ini berisikan berbagai macam cerita menarik mengenai asal usul kedatangan nenek moyang Minangkabau ke pulau Sumatera, asal usul nama daerah di Minangkabau, atau pun asal usul sesuatu yang terjadi di masa lalu di alam Minangkabau. Tambo ini sejenis dengan babad Tanah Jawi di Jawa, atau babad Pasundan di Sunda.

Konon , istilah "Tambo" ini berasal dari bahasa Sanksekerta yaitu tambay atau tambe yang artinya : bermula. Iseng-iseng aku cari arti kata tambay yang ternyata berarti lebih kurang "Permulaan, pertama kali, membuat jadi, atau usaha". Jadi artinya hampir semirip yaitu cerita mengenai asal muasal dari sesuatu terjadi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Edwar Djamaris, Tambo-tambo yang banyak itu ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk prosa. Naskah Tambo Minangkabau ini sebagian besar ditulis dengan huruf Arab-Melayu, dan sebagian kecil ditulis dengan huruf latin. Naskah Tambo Minangkabau yang berhasil diketemukan sebanyak 47 naskah, masing-masing tersimpan di museum Nasional Jakarta sebanyak 10 naskah, di perpustakaan Universitas Leiden sebanyak 31 naskah, di perpustakaan KITLV Leiden Belanda sebanyak 3 naskah, di perpustakaan SOAS Universitas London 1 naskah, dan di perpustakaan RAS London 2 naskah.
Ada delapan saduran cerita Tambo Minangkabau yaitu:
(1) Curai Paparan Adat Lembaga Alam Minangkabau ( Dirajo 1979 dan 1984)
(2) Mustika Adat Alam Minangkabau (Dirajo 1953 dan 1979)
(3) Tambo Minagkabau ( Batuah 1956)
(4) Tambo Alam Minangkabau (Sango 1959)
(5) Tambo dan Silsilah Adat Alam Minangkabau (Basa 1966)
(6) “Tambo Pagaruyung” (Basri 1970a)
(7) “Tambo Alam ” (Basri a970b)
(8) Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarah (Mahmoed 1978)
Secara umum dapat dikemukakan bahwa fungsi utama cerita Tambo Minangkabau adalah untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan negeri Minangkabau. Hal ini dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat Minangkabau dalam satu kesatuan. Mereka merasa bersatu karena seketurununan, seadat dan senegeri.
A.A Navis seorang Budayawan Minang mengatakan Kisah tambo yang dipusakai turun-menurun secara lisan oleh orang Minangkabau hanya mengisahkan waktu dan peristiwa sacara samar-samar, campur baur, bahkan ditambahi dengan bumbu yang kedongeng-dongengan. Adalah wajar bila kisah tambo itu mengandung berbagai versi karena tambo itu yang diceritakan oleh pencerita sesuai dengan keperluan atau kehendak pendengarnya.
Terlepas dari kesamaran objektivitas historis dari Tambo tersebut namun Tambo berisikan pandangan orang Minang terhadap dirinya sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Navis Peristiwa sejarah yang berabad-abad lamanya dialami suku bangsa Minangkabau dengan getir tampaknya tidaklah melenyapkan falsafah kebudayaan mereka. Mungkin kegetiran itu yang menjadikan mereka sebagai suku bangsa yang ulet serta berwatak khas. Mungkin kegetiran itu yang menjadi motivasi mereka untuk menghapus sejarah masa silam dengan menciptakan tambo yang kedongeng-dongengan, disamping alasan kehendak falsafah mereka sendiri yang tidak sesuai dengan dengan falsafah kerajaan yang menguasainya. Mungkin kegetiran hidup dibawah raja-raja asing yang saling berebut tahta dengan cara yang onar itu telah lebih memperkuat keyakinan suku bangsa itu akan rasa persamaan dan kebersamaan sesamanya dengan memperkukuh sikap untuk mempertahankan ajaran falsafah mereka yang kemudian mereka namakan adat.

Alur cerita pada tambo boleh dikatakan tidak memperhitungkan kalkulasi waktu atau tahun. Didalam Tambo, penanggalan tidak terlalu penting. Penceritaannya pun penuh dengan perumpamaan, hiperbola, dan kata-kata yang harus diinterpretasi dulu agar bermakna. Namun didalam tambo terdapat asal usul sesuatu dan cerita yang membuat sebuah tempat, peristiwa, dan sejarah di Minangkabau menjadi bermakna bagi orang yang penasaran dengan hal itu.

Tambo itu sendiri konon mempunyai beberapa versi untuk penceritaan yang sama. Hal ini dapat dimaklumi, karena adanya tradisi penceritaan Tambo melalui lisan yang cukup kuat di Minangkabau mengakibatkan sebuah cerita bisa mempunyai banyak versi.
Tambo dianggap sebagai salah satu sumber sejarah Minangkabau. Walaupun Tambo bukanlah sebuah karya ilmiah yang terbukti kebenarannya, tetapi cukuplah sebagai pemuas dahaga dan keingintahuan mengenai asal muasal dari peristiwa, tempat, dan kejadian di Minangkabau.

Bayu Umbara:
Asal-usul minangkabau menurut Tambo Alam Minangkabau
Tiga anak dari Raja Iskandar Zulkarnain (Alexander Agung) dari Makadunia (Macedonia) yaitu Maharajo Alif, Maharajo Japang dan Maharajo Dirajo berlayar bersama, dan saat dalam perjalanan mereka bertengkar sehingga mahkota kerajaan jatuh ke dalam laut. Maharajo Dirajo yang membawa Cati Bilang Pandai –seorang pandai emas- berhasil membuat satu serupa dengan mahkota yang hilang itu. Mahkota itu lalu ia serahkan kepada abang-abangnya, tetapi mereka mengembalikannya kepada Maharajo Dirajo karena ia dianggap yang paling berhak menerima, iaitu karena telah berhasil menemukannya. Mereka adik beradik lalu berpisah. Maharajo Alif meneruskan perjalanan ke Barat dan menjadi Raja di Bizantium, sedang Maharajo Japang ke Timur lalu menjadi menjadi Raja di China dan Jepang (Jepun), manakala Maharajo Dirajo ke Selatan sedang perahunya terkandas di puncak Gunung Merapi saat Banjir Nabi Nuh melanda. Begitu banjir surut, dari puncak gunung Merapi yang diyakini sebagai asal alam Minangkabau turunlah rombongan Maharajo Dirajo dan berkampung disekitarnya. Mulanya wujud Teratak lalu berkembang menjadi Dusun lalu jadi Nagari lalu jadilah Koto dan akhirnya menjadi Luhak. Daerah Minangkabau yang asal adalah disekitar Merapi, Singgalang, Tandikat dan Saga. Semuanya terbagi atas 3 Luhak atau Luhak Nan Tigo. Luhak ini membawahi daerah Rantau. Jadi ada 3 luhak dengan 3 rantau :
1. Luhak AGAM berpusat di BUKITTINGGI dengan Rantau PASAMAN
2. Luhak TANAHDATAR berpusat di BATUSANGKAR dengan Rantau SOLOK
3. Luhak LIMAPULUH KOTA berpusat di PAYA KUMBUH dengan Rantau KAMPAR
Batas Alam Minangkabau menurut Tambo :
“Dari Riak nan Badabua, Siluluak Punai Maif,
Sirangkak nan Badangkuang, Buayo Putiah Daguak,
Taratak Aie Hitam, Sikilang Aie Bangih , Hingga Durian Ditakuak Rajo”
“Dari Riak nan Berdebur, Siluluk Punai Maif,
Sirangkak nan Berdengkung, Buaya Putih Daguk,
Teratak Air Hitam, Sikilang Air Bangis , Hingga Durian Ditekuk Raja”
Tafsiran dari ‘Riak nan Berdebur’ adalah daerah Pesisir Pantai Barat iaitu wilayah dari Padang hingga Bengkulu; sedangkan ‘Teratak Air Hitam’ adalah Rantau Timur sekitar Kampar dan Kuantan (sekarang di Riau). Ini sesuai penjelasan bahwa selain 3 Luhak dan 3 Rantau diatas yang disebut ‘Darek” atau “Darat”, Minangkabau mempunyai daerah Rantau luar iaitu Rantau Pesisir Barat dan Rantau Timur dengan wilayah :
1. RANTAU PESISIR BARAT (Pasisie Barek): Sikilang Air Bangis, Tiku Pariaman, Padang, Bandar Sepuluh, Air Haji, Inderapura, Kerinci (kini masuk Jambi) dan Muko-muko (Bengkulu).
2. RANTAU TIMUR : Daerah hilir sungai-sungai besar Rokan, Siak, Tapung, Kampar dan Inderagiri (Kuantan), kesemuanya kini masuk di Riau.
Asal-usulnya menurut Sejarawan
Senarai kerajaan di Sumatra yang merupakan cikal-bakal Kerajaan Minangkabau mulai zaman Hindu-Budha Abad 7 adalah :
1. KERAJAAN MALAYU (Melayu Tua) terletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari, Jambi). Berdiri sekitar Abad 6 – awal 7 M
2. KERAJAAN SRIWIJAYA TUA terletak di Muara Sabak (kini masuk masuk wilayah Tanjung Jabung, Jambi). Berdiri sekitar tengah Abad 7 – awal 8 M
3. KERAJAAN SRIWIJAYA di Palembang, Sum. Selatan. Akhir abad 7 - 11 M
4. KESULTANAN KUNTU terletak di Kampar, sekitar Abad 14 M
5. KERAJAAN MALAYU (Melayu Muda) atau DHARMASRAYA terletak di Muara Jambi, abad 12-14 M. Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singasari di Jawa Timur menguasai kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk dinikahkan dengan Raja Singasari. Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran bernama Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan sebagai Raja Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh Adityawarman ke Pagaruyung dan menjadi raja pertama sekitar tahun 1347
PAGARUYUNG (1347-1809)
Adityawarman meninggalkan banyak prasasti –terbanyak bahkan jika dibanding periode Raja-raja Sri Wijaya. Ia menyebut dirinya sebagai ‘Kanakamedinindra” (Penguasa Tanah Emas). Dan memang Kerajaan Pagaruyung menguasai perdagangan lada/rempah dan emas terutama di Rantau Timur dan dijual ke daerah luar melalui pesisir barat, dimana para pedagang datang dari Aceh Tamil, Gujerat dan Parsi untuk dijual di pasaran dunia. Secara berangsur-angsur kerajaan Pagaruyung mulai mundur kira-kira pada abad 15, sehingga peranan daerah Rantau Pesisir yang berupa kota-kota pelabuhan di pantai barat Sumatra justru semakin berkembang. Pada saat inilah Aceh yang tengah berada pada puncaknya masuk sekitar tahun tahun 1640 disertai masuknya ajaran Islam. Pada akhir abad 16, Pagaruyung sudah tidak utuh lagi, kekuasaan raja tidak mutlak.
Yang Dipertuan Pagaruyung sebagai Raja Alam membahagi kekuasaannya pada 2 Raja yang lain iaitu Raja Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus. Kesatuan tiga raja disebut “Rajo Nan Tigo Selo”. Sedangkan yang menjalankan kekuasaan Lembaga eksekutif -disebut “Baca Ampek (Empat) Balai”- terdiri 4 Datuk dengan 1 Datuk penguat iaitu :
1. Datuk Bandaharo (Menteri Utama & Keuangan) di Sungai Tarab
2. Tuan Indomo (Menteri Adat) di Suruaso
3. Tuan Makhdum (Menteri Kerajaan Wilayah Rantau) di Sumanik
4. Tuan Kadi (Menteri Agama) di Padang Ganting, diperkuat oleh
5. Tuan Gadang (Menteri Keamanan & Pertahanan) di Batipuh
Semua berada di Luhak Tanah Datar. Pada abad 17-18, Siak di Rantau Timur mulai melepaskan diri dan mengembangkan kekuasaannya ke utara hingga ke Rokan, Panai, Bilah, Asahan dan Tamiang. Hal ini dimungkinkan oleh kuatnya kerajaan Siak dalam perdagangan dengan Melaka dan Belanda, disamping mulai merosotnya Aceh sesudah Sultan Iskandar Muda mangkat di tahun 1639.
Perluasan daerah rantau kemudian menyeberangi Selat Melaka sehingga jadilah Negeri Sembilan di Semenanjung. Rantau Pesisir Barat yang telah dikuasai Aceh tidak lagi setia kepada Pagaruyung dimana gerakan pemurnian Islam berpusat di Bonjol kelak akan muncul. Rantau Daerah Timur bagaimanapun masih tetap patuh dan setia. Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung pergi ke rantau-rantau ini untuk mengumpul upeti (ufti) 3 kali setahun. Ini berlangsung sampai dengan kebangkitan pemurnian Islam yang memecah Minang menjadi 2 iaitu Kaum Putih/Paderi (Pemurnian Islam) dan Kaum Hitam (Adat), mereka terlibat pertempuran dalam Perang Paderi. 2 Luhak iaitu Agam dan Limapuluh Kota telah tunduk kepada Kaum Putih, tetapi Luhak Tanah Datar bertahan hingga dihancurkan oleh pasukan Paderi dari Tuanku Lelo pada tahun 1809. Munculnya Belanda ke Ranah Minang akhirnya justru menjadi pemenang atas situasi tadi, setelah Pasukan Paderi yang menang Perang Paderi melawan Kaum Adat dihancurkan Belanda.
Bagaimana pun selanjutnya Islam tetap menjadi pedoman Adat Minangkabau, dimana setiap Adat yang tidak sesuai dengan Syarak (Hukum Islam) akan dibuang. Sehingga jadilah pedoman berzaman yang berbunyi “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah”. Adat haruslah bersendi atau tunduk kepada Hukum Allah.

SUMBER :
-Sejarah Minangkabau, MD Mansur – Bharata, Jakarta
-Dasar Falsafah Adat Minangkabau, Muhammad Nasrun – Bulan Bintang, Jakarta

Bayu Umbara:
Pulau Andalas
Menurut bunyi Tambo Alam Minangkabau, adapun orang yang pertama datang mendiami pulau andalas adalah ninik kita Sri Maharaja Diraja namanya. Beliau datang datang kemari dari tanah besar Voor Indie, tanah Rum kata orang tua tua, dan beliau kesini bersama dengan ke enambelas orang laki laki perempuan dari kasta Cateri. Selain itu dibawanya juga Kucing hitam, Harimau Campo, Kambing Hutan dan Anjing Muk Alam.
Dikatakan Kucing Hitam, Harimau Campo dan lain lainnya itu, sekali kali bukanlah bangsa binatang, tetapi manusia biasa juga. Mereka dijuluki dengan nama nama seperti itu sesuai dengan tingkah laku dan perangai mereka. Semuanya perempuan dan dipelihara oleh ninik Maharaja diraja seperti memelihara anaknya sendiri.
Ninik Sri Maharaja Diraja berlayar dari tanah besar itu dengan sebuah perahu kayu jati. Mula mula mereka berlayar melalui pulau Jawa yang saat itu belum terlihat tanah pulau Jawa itu. Yang tampak hanya puncak gunung Serang dan dipulau itu perahu beliau tertumpuk batu karang sehingga mengalami kerusakan dan tidak bisamelanjutkan perjalanan. Pada saat itu menitahlah ninik Sri Maharaja Diraja kepada mereka yang berada diatas kapal itu “Barangsiapa yang dapat memperbaiki kapal ini seperti sediakala, akan hamba ambil sebagai menantu”
Mendengar titah itu beberapa cerdik pandai segera berunding, mencari akal agar dapat memperbaiki perahu itu. Maka dengan karunia Allah, maka lima orang tukang segera bekerja dan kapal itu dapat diperbaiki kembali. Sri Maharaja merasa senang dan suka hati serta memuji kepandaian para tukang tersebut.
Kemudian perjalanan dilanjutkan sampai pada suatu ketika mereka melihat sebuah gosong tersembunyi di dalam laut. Tergilang gilang kelihatan dari jauh kira kira sebesar telur ayam, hilang timbul dilamun ombak.
Setelah sampai disitu kiranya ada tanah lebar dengan datarannya, berlabuhlah ninik Sri Maharaja Diraja diatas gosong itu. Gosong itu adalah puncak gunung merapi yang sekarang ini. Disanalah berdiam ninik Sri Maharaja Diraja bersama dengan para pengikutnya. Itulah ninik kita yang mula mula mendiami pulau Andalas ini, hingga menjadi juga oleh yang tua tua dengan memakai pantun ibarat :
Dimana mulanya terbit pelita
Dibalik tanglun nan berapi
Dimana mulanya ninik kita
Ialah di puncak gunung Merapi
Kata orang yang menceritakan, takkala ninik Sri Maharaja Diraja berada di puncak gunung Merapi itu beliau berdo’ a supaya disusutkan air laut.
Dengan karunia Tuhan air laut semakin hari semakin susut juga dan bertambah lebar tanah daratan sehingga nyatalah tempat tempat itu adanya diatas gunung yang sangat besar.
Kata sahibulhikayat, takkala beliau masih berdiam dipuncak gunung itu, dengan takdir Tuhan orang orang yang bernama Kucing hitam, Harimau campo, Kambing hutan dan Anjing Muk Alam masing masing melahirkan seorang anak perempuan. Begitu pula istri Ninik Sri Maharaja Diraja melahirkan seorang anak perempuan pula. Sekalian semua anak itu dipelihara oleh ninik Sri Maharaja Diraja dengan kasih sayang yang tiada dibedakan. Kemudian kelak setelah anak anak itu besar, mereka dinikahkan dengan 5 tukang yang memperbaiki kapal tadi.

Bayu Umbara:
II. Galundi Nan Bersela dan Guguk Ampang
Setelah beberapa lama mereka berdiam dipuncak gunung itu, air laut sudah berangsur susut juga dan bertambah besar juga tanah daratan, maka sekalian orang itu berpindah kesebuah lekung dipinggang gunung Merapi itu.
Oleh Sri Maharaja Diraja tempat itu diberi nama Labuhan Sitembaga. Disitulah pada masa dahulu ada Sirengkak nan Berdengkang. Disitu pulauntuk pertama kalinya orang menggali sumur untuk tempat mandi dan tempat mengambil air minum, karena disekitar tidak ada air tawar, yang ada hanya air laut.
Selanjutnya mereka membuat sepiring sawah bernama sawah setampang benih. Disebut setampang benih karena dengan padi yang setampang itu sudah mencukupiuntuk makan orang disaat itu, karena mereka belumbanyak. Padi itu pula menjadi asal padi yang ada sekarang. Sepanjang cerita orang tua tua.
Lama kelamaan tumbuh pula Galundi nan Bersela, air laut bertambah susut juga dan daratan bertambah luas, maka Cateri Bilang Pandai mencari tanah yang lebih baik untuk mereka huni.
Ditemukan sebuah guguk disebelah kanan dari Galundi nan Bersela tadi, dan sekalian orang yang berada di Galundi berpindah ke ketempat baru itu. Tempat itu diberi nama oleh ninik Sri Maharaja Diraja serta Cateri Bilang Pandai dengan nama Guguk Ampang.
III. Nagari Pariangan dan Padang Panjang
Tidak berapa lama antaranya, orang orang yang menetap di Guguk Ampang berpindah pula dengan membuat setumpak tanah yang datar di baruh Guguk Ampang itu.
Tanah disini lebih baik daripada tanah di Ampang Gadang. Mereka pun berbondong bondong membuat tempat tinggal ditempat yang baru ini dan oleh ninik Sri Maharaja Diraja beserta Cateri Bilang Pandai tempat ini diberi nama Perhurungan. Guguk Ampang tadi pada saat ini bernama kampung Guguk Atas. Lama kelamaan orangpun bertambah kembang juga, dan kampung Perhurungan bertambah maju. Orang semakin hari semakin riang pula.
Atas prakasa ninik Sri Maharaja Diraja beserta cerdik pandai masa itu, dibuat semacam permainan anak negeri seperti Pencak Silat, Tari Payung dan bermacam peralatan untuk gung dan talempong, gendang, serunai rabab, kecapi dan lain lain sehingga menjadikan orang bertambah riang juga disetiap waktu.
Suasana masyarakat yang selalu dalam keadaan riang itu, menimbulkan keinginan dari ninik Sri Maharaja Diraja dan Cateri Bilang Pandai untuk menganti nama kampung menjadi Pariangan.
Kemudian karena bertambah kembang juga, seorang hulubalang ninik Sri Maharaja Diraja pergi membuat tempat tinggal dekat sebuah batu besar disuatu tanah disebelah kanan pariangan. Karena tempat itu baik pula, berdatangan orang pariangan membuat tempat tinggal disitu.
Lama kelamaan tempat itu menjadi sebuah kampung yang ramai pula. Oleh Cateri Bilang Pandai kampung itu diberi nama Padang Panjang. Sebab yang pertama sekali menemukan daerah itu adalah hulubalang yang menyandang gelar Pedang nan Panjang. Kampung Pariangan dan Padang Panjang semakin hari semakin ramai, dan kedua kampung ini dibawah hukum ninik Sri Maharaja Diraja.
Pada suatu hari bermusyawarahlah segala isi kampung Pariangan dan Padang Panjang untuk mendirikan sebuah Balairung tempat raja duduk menghukum (memerintah) beserta orang besar lainnya Datuk Suri Diraja, Cateri Bilang Pandai yang bernama Indra Jati. Balairung itu didirikan didalam kampung Pariangan, dihiasi dengan lapik lalang.
Ruangan hanya sebuah saja sehingga sampai saat ini disebut orang Balai Saruang. Disitulah tempat ninik Sri Maharaja Diraja dan orang orang besarnya menghukum waktu itu.

Bayu Umbara:
IV. Penghulu Pertama
Lama pula antaranya orangpun bertambah ramai pula. Pada suatu hari bermusyawarah pula ninik Sri Maharaja Diraja dengan Datuk Suri Diraja dan Cateri Bilang Pandai, serta segala orang banyak dari kampung Pariangan dan Padang Panjang di Balai Saruang tadi.
Musyawarah itu adalah untuk memilih orang yang akan menjadi yang memerintah dan menghukum dibawah raja.
Adapun orang yang akan ditanam jadi ketua adalah orang yang akan menjadi penghulu orang banyak itu, dengan fungsi antara lain :
Kusuik yang akan menyelesaikan
Keruh yang akan menjernihkan
Sesat yang akan menghimbau
Terluncur yang akan menghelakan
Itulah orang yang akan memimpin orang banyak, dibawah ninik Sri Maharaja Diraja.
Didalam permusyawaratan itu dicapai kata sepakat yakni akan menanam dua orang ketua, seorang di Pariangan dan seorang di Padang Panjang. Hasil kesepakatan itu dikembalikanke kepada ninik Sri Maharaja diraja dan beliau menyetujui.
Pada kesempatan itu Datuk Suri Diraja bertitah “Berbahagialah kamu sekalian, telah sama sama sepakat untuk menanam dua orang ketua yang akan menjadi penghulu oleh kamu sekalian. Apa nama pangilan dan apa nama pangkatnya bagi keduanya ?”
Mendengar titah Datuk Suri Diraja itu, tidak ada yang dapat menjawab sebab belum ada kata mupakat tentang itu. Sekalian orang banyak itu memohon kepada ninik Sri Maharaja Diraja untuk kembali bermusyawarah untuk menetapkan apa nama panggilan dan pangkat bagi keduanya tadi.
Tetapi setelah beberapa saat lamanya mereka duduk timbang menimbang, hasilnya nihil sama sekali. Akhirnya sekalian orang banyak itu memulangkan kata kepada ninik Sri Maharaja Diraja.
“Telah puas kami bersama sama mencari nama pangkat dan nama pangilan bagi ketua kami, namun tidak dapat oleh kami, melainkan sebuah kata ketua saja. Oleh sebab itu kami serahkan saja kepada Tuanku semua, apa yang baik bagi Tuanku, kami akan menurut saja.”
Setelah itu bertitahlah ninik Sri Maharaja Diraja kepada sekalian orang banyak itu : “Adapun orang akan kita jadikan ketua itu tentulah akan dipilih dari kita yang hadir disini, yaitu orang yang lebih pandai dan baik tingkah lakunya. Sebab orang itu, pergi tempat kita bertanya, pulang tempat kita beberita. Orang itulah yang akan memelihara buruk baiknya kita sekalian, tempat kita mengadukan segala hal yang baik dan buruk.
Orang itu yang akan menimbang mudharat danmanfaat diatas kita sekalian serta menghukum barang sesuatunya buruk dan baik.
Oleh sebab itu sepanjang pendapat hamba, patutlah kita muliakan benar orang itu dengan semulia mulianya daripada kita yang banyak ini. Kita tuakan orang itu dengan kata mupakat bersama dan tuanya kita samakan dengan orangtua ninik mamak kita yaitu ‘datuk’ namanya. Dengan demikian kepadanya kita panggil Datuk meskipun umurnya lebih muda daripada kita.
Kita wajib menghormatinya, apa titahnya kita junjung, apa perintahnya kita turut, agar sentosa kita dari marabahaya selama hidup didunia ini. Jikalau kita tidak bertindak dan tiada turut menurut, niscaya tiadalah kita mendapat keselamatan”
Mendengar penitahan ninik Sri Maharaja Diraja itu, senanglah hati sekalian orang banyak itu. Panggilan Datuk sampai sekarang tidak berubah. Itulah asal mulanya maka segala penghulu itu dipanggil Datuk dan disebut orang juga ninik mamak, ninik daripada mamaknya orang banyak. Setelah putus kata mupakat, diadakan helat jamu di kampung Pariangan dan Padang Panjang.
Pada masa itu ditetapkan kedua penghulu tadi seorang di Pariangan bergelar Datuk Bandaharo Kayo dan seorang lagi di Padang Panjang bergelar Datuk Maharaja Besar. Itulah penghulu pertama yang ada dipulau andalas ini, yang disebut juga pulau Perca.
Adapun Datuk Suri Diraja bukanlah penghulu yang diangkat orang, beliau diberi nama seperti itu hanya karena beliau berkarib dengan raja. Beliau dipanggil datuk karena tuanya saja, dan lagi beliau adalah orang cerdik pandai, lubuk akal lautan budi, tempat orang berguru dan bertanya pada waktu itu di Pariangan Padang Panjang, serta menjadi guru oleh ninik Sri Maharaja Diraja.
Dengan bertambah ramainya orang di Pariangan dan Padang Panjang, oleh ninik Sri Maharaja Diraja dengan mupakat segala isi kampung diberi nama Nagari Parangan Padang Panjang. Sampai saat ini nama itu tidak pernah dirubah orang dan itulah nagari tertua di pulau Andalas ini.
Dari pernikahan ninik Sri Maharaja Diraja dengan adik datuk Suri Diraja yang bernama Tuan Putri Indah Jalia, lahirlah seorang yang bernama Sutan Paduka Besar.

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version