Suluk di Nusantara tidak terlepas dari pengaruh ajaran para penyebar dan pemimpin agama Islam (khususnya Jawa), yang notabene adala Waliyullah. Mereka adalah orang2 yang tekun mengamalkan dan mengajarkan Suluk (Tasawuf). Zaman itu adalah zaman ketika tasawuf menjadi ajaran pokok di setiap pesantren2 yang menjadi basis pergerakan para wali.
Suluk dipahami sebagai tembang (pupuh) yang berisi ajaran Tarekat, sedangkan Tarekat dipahami sebagai ajaran yang mengatur tata cara dzikir yang terikat dengan guru pertama yang mengajarkan metode itu.
Dalam perjalanannya, Suluk di tanah Jawa berkembang menjadi dua model: Tarekat dan Suluk. Tarekat kemudian diidentikkan dengan ajaran2 tasawuf yang ditulis dalam bentuk prosa, dan suluk diidentikan dengan ajaran2 tasawuf yang ditulis dalam bentuk pupuh dan kidung.
BANYU MAKRIFATING "RASA"
banyu suci, rasa mulia
ules-ulesing wesi, ligane alusing braja
satar putih arane
papangananing braja,
puji.
inum-inumaning braja,
majum
sesepahaning braja,
sebut
jajamuning braja,
sarining ngemperu
udud-ududaning braja,
wisa
padusaning braja,
toya saraban tahura
sandanganing braja,
birahi
kang angraksa sing duhur,
Jabaroil
kang angraksa sing sor,
Izroil
kang angraksa ing tengen,
Kiromang
kang angraksa ing kiwa,
Katibin
cupu manik kang ingesenan
rasa mulya, rasa tunggal
wekasing sih senen
saking banyu urip
ikilah kang den kaweruhi
syariateng braja iku badan
tarekateng braja iku napas
hakekateng braja iku nyawa
makrifateng braja iku banyu
"Tembang Suluk Pesisiran, Kitab tetamba Cirebon"
Sahabat Silat,
Tiada maksud bagi saya pribadi keluar dari tema untuk merenungkan apa itu Tembang Tasawuf, Suluk maupun Salik.
"Suluk adalah jalan spirituil thoriqoh yang tersirat untuk para orang-orang salik".
Salik adalah orang yang melakoni suatu thoriqoh (tarekat tasawuf).
Saya tidak mencoba menerangkan ttg suatu thoriqoh lebih lebar.
Dan upaya menyiarkan/berdakwah digunakan budaya lokal yang sudah kental di daerah tersebut.
Karena dahulu tanah jawa mayoritas beragama hindu dan budha maka ada pencampuran dengan budaya lokal, agama sebelumnya, dan agama baru yang dibawa wali songo (Islam).
Perjalanan ini sprituil ini biasanya pribadi atau ada yang mengejewantahkan dalam bentuk kidung seperti Tembang Ilir-ilir karangan Sunan Kalijaga yang menggubah tembang macapat metrum Dhandhanggula.
Kepopuleran Sunan Kali jaga atau Syekh Malaya memang tak bisa dibantah sebab banyak mantra Jawa yang menyebut nama beliau.
Adapun syair tembang Ilir-Ilir karya Sunan Kali jaga tersebut adalah demikian :
Ilir-ilir
Ilir-ilir tandure wis sumilir
tak ijo royo-royo tak sengguh temanten anyar
bocah angon penekna blimbing kuwi
lunyu-lunyu ya penekna kanggo masuh dodotira
dodotira kumitir bedhah ing pinggir
dondomana jrumatana kanggo seba mengko sore
mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane.
[/i]
Makna Ilir Ilir:
Lagu Ilir-Ilir ini memberi rasa optimis kepada seseorang yang sedang melakukan amal kebaikan, amal itu akan berguna untuk bekal di hari akhir.
Kesempatan hidup di dunia itu harus dimanfaatkan untuk berbuat kebaikan, jangan hendak membunuh nanti akan berganti dibunuh karena semua ada balasannya.
Menurut ahli tafsir ulama tanah jawa yang mengerti akan tafsir tembang Ilir-ilir adalah sarana penyiaran agama Islam secara damai, tanpa paksaan dan kekerasan. Toleransi didalam media berdakwah sangat jelas sehingga terjadi asimilasi dan adaptasi antara ajaran Islam dengan ajaran lainnya sehingga terjadi apa yang disebut culture contact.
-sarung kampret-