Forum > Seputar Dunia Beladiri

Ujungan, Sampyong (Traditional Stick Fighting)

(1/5) > >>

Jali Jengki:
Salam SS,

Semalam ada tayangan menarik di stasiun TV Elshinta, yaitu bela diri tradisional tongkat Ujungan mungkin relay dari Indosiar. Sebelumnya belum lihat penayangan ini di televisi. Pada tayangan itu diulas mengenai Sampyong di Kec Simpireun, desa Cigasong Majalakengka, yang menurut Abah Uyun sebagai nara sumber Sampyong di Majalengka berasala dari penyebaran Ujungan Indramayu. Lebih jauh Abah Uyun menerangkan bahwa pemberian nama Sampyong diberikan oleh seorang Cina tatkala melihat permainan ini terdiri dari tiga kali pukulan yang saling bergantian diantara pesertanya. Sam berarti tiga dan Pyong yang berarti pukulan. Sangat berbeda dengan pengertian sampyong di Betawi dan pesisir Bekasi.

Acara program TV ini, mengingatkan saya pada penelitian dan penulisan yang pernah saya buat mengenai Ujungan ini di Bekai dan Cirebon. Baiknya saya copy paste kan :

UJUNGAN, DI UJUNG KEPUNAHAN
Dari sekian banyak seni ketangkasan di Nusantara yang menggunakan unsur beladiri di dalamnya, mungkin hanya Ujungan saja yang tertera secara arkeologi. Sebagaimana tertera dalam artefak dan gerabah yang ditemukan di Situs Batu Jaya Babelan Bekasi, yang menjelaskan tentang telah adanya pemukiman di permulaan abad masehi di daerah itu, dengan masyarakatnya yang melakukan acara memegang tongkat (Ridwan Saidi).

Seni ketangkasan Ujungan merupakan perpaduan dari dari tiga jenis seni yang terdapat di dalamnya, seni musik (Sampyong), seni tari-silat (Uncul), dan seni bela diri tongkat (Ujungan). Dapat dikatakan bahwa ketiga jenis seni ini merupakan seni tertua yang pernah ditemukan, bersamaan dengan keberadaan kerajaan Salakanagara (130M) yang berdasarkan naskah kuno Wangsakerta sebagai kerajaan pendahulu kerajaan-kerajaan besar di Jawa Barat, termasuk seni beladiri pencak silat, namun sangat disayangkan tidak disebutkan mengenai aliran silat apa yang digunakan.

Dalam naskah kuno Wangsakerta, hanya disebutkan tentang keberadaan Aki Tirem Sang Luhur Mulya sebagai penghulu kerajaan Salakanagara yang pandai berkelahi dan warakas atau sakti, terbukti hanya dengan kekuatan 20 orang pasukannya dapat mengalahkan 100 orang perompak.  (Pustaka Rajya-Rajya Bhumi NusantaraI 1:103-104). Titik terang mengenai aliran silat tertua yang dikemukakan, baru melalui tulisan sejarawan dan budayawan Betawi Alwi Shahab, menyebutkan  Syahbandar pelabuhan Sunda Kelapa, yaitu Wak Item yang handal memainkan silat aliran Syahbandar dalam menghadapi serangan 1546 pasukan Fatahillah pada tahun 1527, namun hal ini perlu penelitian lebih lanjut (Alwishahab.wordpress).

Hampir disetiap daerah pesisir di Jawa Barat termasuk Banten dan Betawi ditemukan seni ketangkasan Ujungan ini, sekalipun  dengan nama yang berbeda-beda bahkan di luar daerah inipun ditemukan kesenian yang serupa. Di Cirebon, Kuningan dan Majalengka seni ketangkasan ini hanya disebut sebagai Sampyong.
 
Sampyong
Sampyong, sebagaimana yang dikenal dalam seni ketangkasan Ujungan di Betawi dan Bekasi, adalah sebuah alat musik semacam gambang terbuat dari kayu yang dipotong secara kasar, artinya kulit pada bagian luar batang kayu tidak dibuang. Potongan kayu dengan ukuran berbeda itu diikatkan pada tali, kemudian untaian potongan kayu itu diletakkan di atas dua batang bambu yang melintang. Potongan kayu dengan ukuran berbeda merupakan ukuran tangga nada yang dihasilkan, semakin pendek tangkai kayu semakin tinggi nadanya. Sampyong merupakan waditra, atau wirama seni musik yang mengiringi tari berbentuk ibing pencak silat yang disebut Uncul.
Pada perkembangannya di sebagian daerah Jawa Barat kedudukan Sampyong digeser oleh gamelan pencak silat pada umumnya. Musik yang mengiringi Uncul sama halnya dengan musik pengiring pencak silat, seperti tepak dua, paleredan, dan pongpang atau padungdung. Bahkan di desa Balerante Palimanan, Cirebon pimpinan Abah Kasun, hanya menggunakan Genjring Santri dengan hanya memakai empat genjring (semacam rebana) dan satu dogdog (bedug) saja.
 
Uncul
Uncul merupakan wiyaga, atau pengibing pencak silat yang mengawali dibukanya laga tanding seni ketangkasan Ujungan. Tidak menutup kemungkinan seorang wiyaga merangkap menjadi pemain, karena sering wiyaga yang memeragakan ibing pencak silatnya jalan berkeliling kearah penonton sambil menantang. Jika ada orang yang masuk menerima tantangan, maka dimulailah Ujungan, tapi jika tidak ada yang menerima tantangan maka wiyaga tadi akan keluar. Begitu seterusnya  hingga seseorang petarung dianggap sebagai seorang jawara Ujungan apabila tidak adalagi yang berani menantang.

Di Bekasi sendiri terdapat Ki Dalih (83 tahun) atau akrab dipanggil Baba Dalih, seorang praktisi dan mantan jawara Ujungan Betawi di tahun 50an. Pertandingan Ujungan yang pernah diikutinya meliputi daerah Cakung, Tanjung Priok, Tambun, Cikarang hingga perayaan tahunan Pehcun di Tangerang.  Bermodalkan aliran silat Pi Atu yang dipelajarinya dari Uwak H. Beton, Ki Dalih dan almarhum H. Raisan (sesepuh Bojong Rawalele) sempat merajai laga Ujungan di Betawi dan sekitarnya. Sampai saat ini masih dapat dilihat sisa luka dari tulang kering Ki Dalih yang terkoyak akibat hantaman ujung rotan lawan.
 
Ujungan
Ujungan merupakan acara puncak, dari tiga rentetan kesenian yang ditampilkan dari seni ketangkasan Ujungan.  Seni ini lahir dari kebiasaan para pendekar atau jawara silat dalam memilih dan menyeleksi yang paling “sakti”. Ada juga yang mengartikannya sebagai pertandingan antara jawara silat dalam mengadu ketahanan fisik, agar mendapatkan tempat dan status sosial di masyarakat.

Jawara-jawara yang bertanding diuji dengan mengadu pukulan tongkat rotan dengan menggunakan teknik pencak silat dari “maenan” nya masing-masing, dan puncaknya mereka mengambil satu juara yang paling sedikit mendapat pukulan dan paling banyak memberikan pukulan atau dapat menaklukan lawan.  Namun belakangan Ujungan bukan lagi sebagai media untuk menyeleksi jawara yang terbaik, melainkan hanya sebagai hiburan rakyat semata.
Di zaman penjajahan kesenian ini dimaksudkan untuk membina mental dan fisik para pejuang, agar tidak takut dalam menghadapi Belanda dan Jepang.
 
Dalam khasanah ilmu beladiri modern Ujungan dapat dimasukkan ke dalam kategori Seni bela diri bertongkat atau yang dikenal sebagai stick fighting yang diartikan sebagai seni bela diri dengan mengunakan bentuk tongkat, tumpul, senjata genggam, secara keseluruhan terbuat dari bahan kayu atau sejenis untuk keperluan pertarungan seperti toya (tongkat panjang), tongkat sebagai alat bantu para manula, stick sepanjang 40-70cm atau yang serupa (Wikipedia Indonesia).
 
1. Sarana yang digunakan dalam Seni Ketangkasan Ujungan

1.1. Tongkat
Tongkat yang digunakan umumnya menggunakan rotan namun ada juga yang menggunakan batang tebu, seperti yang digunakan Sanggar Lam Alif di Cirebon.
 Ukuran panjang rotan Ujungan memiliki panjang bervariasi, tidak ada ukuran baku dari rotan yang digunakan. Ukuran berkisar 40-125cm, umumnya di daerah Betawi dan sekitarnya menggunakan rotan berukuran 70cm, dengan diameter sebesar lengan bayi (-/+ 1,5cm).
 Rotan yang digunakan dipilih dengan tingkat fleksibilitas yang tinggi (dapat telihat melengkung saat dipukulkan ke kaki atau badan lawan), polos tanpa dilapisi apapun sebagai pegangan. Berbeda dengan zaman awal keberadaan Ujungan, pada ujung rotan sengaja dilapisi dengan pecahan batu ataupun logam, sebagai sarana untuk membuat luka lawan. Di beberapa tempat di Cirebon rotan seringkali disisipi besel atau selembar benda yang dimaksudkan sebagai azimat (umumnya terbuat dari kulit kijang, kulit macan, kain atau kertas yang disisipi rajah atau isim yang dipercaya dapat melindungi atau mengurangi rasa sakit akibat pukulan).
 
1.2. Boboto/Juru Garis/Wasit
Keberadaan Wasit/Juru Garis atau yang di Betawi dan sekitarnya disebut Boboto sangat diperlukan, umumnya seorang Boboto diambil dari sesepuh yang memiliki kharisma di daerah setempat dan harus memiliki keahlian pencak silat di atas rata-rata. Biasanya dipilih dari para guru-guru silat. Hal ini diperlukan mengingat peserta yang bertanding terdiri dari beberapa jawara, yang sewaktu-waktu dapat lepas kendali dan terjadi perkelahian yang sesungguhnya.
Boboto dalam memimpin pertandingan menggunakan tongkat yang lebih panjang. Tongkat digunakan untuk membuat tarikan garis di tanah sebagai tanda areal pertandingan, selain itu dapat digunakan sebagai alat untuk melerai peserta yang bertanding. Di beberapa tempat ada juga Boboto yang menggunakan selendang panjang sebagai alatnya.
 
2. Aturan Pertandingan Ujungan
Pertandingan yang pernah diadakan di Betawi dan sekitarnya, umumnya dilakukan oleh dua orang jawara yang saling berhadapan, namun di beberapa daerah lain ada yang menggunakan sampai lima jawara sekaligus.
Dua  jawara yang saling berhadapan harus berbeda daerah dan tidak saling kenal, dalam artian tidak ada hubungan apapun dan belum pernah bertanding pada pertandingan-pertandingan sebelumnya. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya mencegah terjadinya balas dendam yang kesumat, khususnya bagi jawara yang pernah dikalahkan sebelumnya.
 
2.1.  Arena pertandingan Ujungan
-Arena pertandingan dibuat oleh Wasit atau Boboto dengan menarik garis di tanah dengan tongkat Boboto. Bentuk arena belum memiliki aturan baku, bisa bundar dan persegi dengan diameter 5-10m tergantung luas lahan yang digunakan.
 -Jawara yang keluar dari garis arena mengurangi nilai kekalahan, bahkan      dianggap kalah. Keluar garis arena juga dianggap sebagai kata menyerah dan     tidak meneruskan pertandingan
 
2.2. Sasaran pukul
-Daerah Betawi dan sekitarnya memiliki aturan sasaran yang boleh dipukul pada    bagian depan dari tubuh adalah pinggang ke bawah, kecuali daerah  kemaluan. Sasaran utama pukulan terletak pada tulang kering, dan mata kaki  lawan baik yang kanan maupun yang kiri. Di daerah lain di Jawa Barat hanya kaki sebatas lutut yang menjadi sasaran. Peserta bertanding diperkenankan  mengenakan  baju atau bertelanjang dada.
 -Pergelangan tangan sampai dengan ujung jari dari tangan yang memegang
   tongkat.
 -Bagian belakang dari tubuh adalah punggung ke bawah bagi lawan yang    lari menghindari balasan.
 -Bekas pukulan di badan atau kaki yang disebut “balan”, sangat menentukan menang kalahnya si jawara dalam suatu pertandingan.  Jumlah balan dihitung Boboto dari setiap jawara yang bertanding untuk menentukan si pemenang.
 
2.3. Sanksi dari pelanggaran yang dilakukan
-Diperingatkan dengan keras apabila memukul daerah seputar kemaluan, kepala
  dan mencolok mata dengan tongkat.
-Dikeluarkan dari arena pertandingan
-Dinyatakan kalah
-Tidak diperbolehkan ikut pertandingan lagi kapan dan dimanapun  (masyarakat yang berkecimpung di seni ini menjadi saksi dan pengamat pada  pertandingan selanjutnya).
-Tongkat yang terpental yang jawara yang bertanding belum dinyatakan      kalah, pada saat inilah pencak silat tangan kosong digunakan. Hingga  selanjutnya kekalahan ditentukan dari siapa yang lebih dulu jatuh terduduk.

Kalau dicermati dari seni ketangkasan Ujungan ini, terkandung sarat akan  nilai positif. Ujungan dapat dijadikan sebagai sarana kegiatan yang menjunjung tinggi nilai sportivitas, persaudaraan dan membangun rasa nasionalisme, patriotisme generasi muda Indonesia yang belakangan ini merosot tajam.
 
Hampir tidak pernah ditemukan lagi pertandingan seni ketangkasan Ujungan di Jakarta maupun daerah-daerah lain di Jawa Barat. Di Betawi dan sekitarnya sendiri praktis punah setelah pada tahun 1960 pemerintah melarang seni ketangkasan Ujungan ini, karena dianggap permainan yang keras dan sadis (Ridwan Saidi, Glosari Betawi-iv).
 
Pelestarian Seni Ketangkasan Ujungan ini sejatinya perlu menjadi perhatian para pecinta dan pelestari silat tradisional, mengingat usia Ujungan itu sendiri yang melebihi keberadaan aliran pencak silat tertua di Betawi dan Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya. Berangkat dari pemikiran itu, layakkah seni ketangkasan Ujungan ini disebut sebagai cikal bakal pencak silat…….?
 
 
Betawi, Juli 2008
 
 
Jali Jengki
 
Disarikan dari berbagai sumber diantaranya wawancara dengan Ki Dalih di Bekasi (Praktisi Ujungan dan Jawara Silat aliran Pi Atu Betawi tahun 50an).

Bagi sahabat silat yang ingin diskusi mengenai Ujungan ataupun stick fighting ini, silakan di babar...

Tabe'...

parewa:
Bang Jali,

Ada gak sambungannya nih....?? x-))

Dodol Buluk:
@uda parewa,

katenye sih bang jali mo langsung ke TKP mo ngeliput beritenye, aye sempet diajakin pas liburan akhir taon, eh pas banget ame housemaid ngabur pulang minta kawin..hehehee,sibuk ma anak dah.. jadi kagak tau lagi inponye..kalo  kagak sale beliau lagi di cirebon.

debuls

Wahyu Taqwa:

--- Quote from: Jali Jengki on 19/11/2008 09:57 ---Salam SS,

Semalam ada tayangan menarik di stasiun TV Elshinta, yaitu bela diri tradisional tongkat Ujungan mungkin relay dari Indosiar. Sebelumnya belum lihat penayangan ini di televisi. Pada tayangan itu diulas mengenai Sampyong di Kec Simpireun, desa Cigasong Majalakengka, yang menurut Abah Uyun sebagai nara sumber Sampyong di Majalengka berasala dari penyebaran Ujungan Indramayu. Lebih jauh Abah Uyun menerangkan bahwa pemberian nama Sampyong diberikan oleh seorang Cina tatkala melihat permainan ini terdiri dari tiga kali pukulan yang saling bergantian diantara pesertanya. Sam berarti tiga dan Pyong yang berarti pukulan. Sangat berbeda dengan pengertian sampyong di Betawi dan pesisir Bekasi.

Acara program TV ini, mengingatkan saya pada penelitian dan penulisan yang pernah saya buat mengenai Ujungan ini di Bekai dan Cirebon. Baiknya saya copy paste kan :

UJUNGAN, DI UJUNG KEPUNAHAN
Dari sekian banyak seni ketangkasan di Nusantara yang menggunakan unsur beladiri di dalamnya, mungkin hanya Ujungan saja yang tertera secara arkeologi. Sebagaimana tertera dalam artefak dan gerabah yang ditemukan di Situs Batu Jaya Babelan Bekasi, yang menjelaskan tentang telah adanya pemukiman di permulaan abad masehi di daerah itu, dengan masyarakatnya yang melakukan acara memegang tongkat (Ridwan Saidi).

Seni ketangkasan Ujungan merupakan perpaduan dari dari tiga jenis seni yang terdapat di dalamnya, seni musik (Sampyong), seni tari-silat (Uncul), dan seni bela diri tongkat (Ujungan). Dapat dikatakan bahwa ketiga jenis seni ini merupakan seni tertua yang pernah ditemukan, bersamaan dengan keberadaan kerajaan Salakanagara (130M) yang berdasarkan naskah kuno Wangsakerta sebagai kerajaan pendahulu kerajaan-kerajaan besar di Jawa Barat, termasuk seni beladiri pencak silat, namun sangat disayangkan tidak disebutkan mengenai aliran silat apa yang digunakan.

Dalam naskah kuno Wangsakerta, hanya disebutkan tentang keberadaan Aki Tirem Sang Luhur Mulya sebagai penghulu kerajaan Salakanagara yang pandai berkelahi dan warakas atau sakti, terbukti hanya dengan kekuatan 20 orang pasukannya dapat mengalahkan 100 orang perompak.  (Pustaka Rajya-Rajya Bhumi NusantaraI 1:103-104). Titik terang mengenai aliran silat tertua yang dikemukakan, baru melalui tulisan sejarawan dan budayawan Betawi Alwi Shahab, menyebutkan  Syahbandar pelabuhan Sunda Kelapa, yaitu Wak Item yang handal memainkan silat aliran Syahbandar dalam menghadapi serangan 1546 pasukan Fatahillah pada tahun 1527, namun hal ini perlu penelitian lebih lanjut (Alwishahab.wordpress).

Hampir disetiap daerah pesisir di Jawa Barat termasuk Banten dan Betawi ditemukan seni ketangkasan Ujungan ini, sekalipun  dengan nama yang berbeda-beda bahkan di luar daerah inipun ditemukan kesenian yang serupa. Di Cirebon, Kuningan dan Majalengka seni ketangkasan ini hanya disebut sebagai Sampyong.
 
Sampyong
Sampyong, sebagaimana yang dikenal dalam seni ketangkasan Ujungan di Betawi dan Bekasi, adalah sebuah alat musik semacam gambang terbuat dari kayu yang dipotong secara kasar, artinya kulit pada bagian luar batang kayu tidak dibuang. Potongan kayu dengan ukuran berbeda itu diikatkan pada tali, kemudian untaian potongan kayu itu diletakkan di atas dua batang bambu yang melintang. Potongan kayu dengan ukuran berbeda merupakan ukuran tangga nada yang dihasilkan, semakin pendek tangkai kayu semakin tinggi nadanya. Sampyong merupakan waditra, atau wirama seni musik yang mengiringi tari berbentuk ibing pencak silat yang disebut Uncul.
Pada perkembangannya di sebagian daerah Jawa Barat kedudukan Sampyong digeser oleh gamelan pencak silat pada umumnya. Musik yang mengiringi Uncul sama halnya dengan musik pengiring pencak silat, seperti tepak dua, paleredan, dan pongpang atau padungdung. Bahkan di desa Balerante Palimanan, Cirebon pimpinan Abah Kasun, hanya menggunakan Genjring Santri dengan hanya memakai empat genjring (semacam rebana) dan satu dogdog (bedug) saja.
 
Uncul
Uncul merupakan wiyaga, atau pengibing pencak silat yang mengawali dibukanya laga tanding seni ketangkasan Ujungan. Tidak menutup kemungkinan seorang wiyaga merangkap menjadi pemain, karena sering wiyaga yang memeragakan ibing pencak silatnya jalan berkeliling kearah penonton sambil menantang. Jika ada orang yang masuk menerima tantangan, maka dimulailah Ujungan, tapi jika tidak ada yang menerima tantangan maka wiyaga tadi akan keluar. Begitu seterusnya  hingga seseorang petarung dianggap sebagai seorang jawara Ujungan apabila tidak adalagi yang berani menantang.

Di Bekasi sendiri terdapat Ki Dalih (83 tahun) atau akrab dipanggil Baba Dalih, seorang praktisi dan mantan jawara Ujungan Betawi di tahun 50an. Pertandingan Ujungan yang pernah diikutinya meliputi daerah Cakung, Tanjung Priok, Tambun, Cikarang hingga perayaan tahunan Pehcun di Tangerang.  Bermodalkan aliran silat Pi Atu yang dipelajarinya dari Uwak H. Beton, Ki Dalih dan almarhum H. Raisan (sesepuh Bojong Rawalele) sempat merajai laga Ujungan di Betawi dan sekitarnya. Sampai saat ini masih dapat dilihat sisa luka dari tulang kering Ki Dalih yang terkoyak akibat hantaman ujung rotan lawan.
 
Ujungan
Ujungan merupakan acara puncak, dari tiga rentetan kesenian yang ditampilkan dari seni ketangkasan Ujungan.  Seni ini lahir dari kebiasaan para pendekar atau jawara silat dalam memilih dan menyeleksi yang paling “sakti”. Ada juga yang mengartikannya sebagai pertandingan antara jawara silat dalam mengadu ketahanan fisik, agar mendapatkan tempat dan status sosial di masyarakat.

Jawara-jawara yang bertanding diuji dengan mengadu pukulan tongkat rotan dengan menggunakan teknik pencak silat dari “maenan” nya masing-masing, dan puncaknya mereka mengambil satu juara yang paling sedikit mendapat pukulan dan paling banyak memberikan pukulan atau dapat menaklukan lawan.  Namun belakangan Ujungan bukan lagi sebagai media untuk menyeleksi jawara yang terbaik, melainkan hanya sebagai hiburan rakyat semata.
Di zaman penjajahan kesenian ini dimaksudkan untuk membina mental dan fisik para pejuang, agar tidak takut dalam menghadapi Belanda dan Jepang.
 
Dalam khasanah ilmu beladiri modern Ujungan dapat dimasukkan ke dalam kategori Seni bela diri bertongkat atau yang dikenal sebagai stick fighting yang diartikan sebagai seni bela diri dengan mengunakan bentuk tongkat, tumpul, senjata genggam, secara keseluruhan terbuat dari bahan kayu atau sejenis untuk keperluan pertarungan seperti toya (tongkat panjang), tongkat sebagai alat bantu para manula, stick sepanjang 40-70cm atau yang serupa (Wikipedia Indonesia).
 
1. Sarana yang digunakan dalam Seni Ketangkasan Ujungan

1.1. Tongkat
Tongkat yang digunakan umumnya menggunakan rotan namun ada juga yang menggunakan batang tebu, seperti yang digunakan Sanggar Lam Alif di Cirebon.
 Ukuran panjang rotan Ujungan memiliki panjang bervariasi, tidak ada ukuran baku dari rotan yang digunakan. Ukuran berkisar 40-125cm, umumnya di daerah Betawi dan sekitarnya menggunakan rotan berukuran 70cm, dengan diameter sebesar lengan bayi (-/+ 1,5cm).
 Rotan yang digunakan dipilih dengan tingkat fleksibilitas yang tinggi (dapat telihat melengkung saat dipukulkan ke kaki atau badan lawan), polos tanpa dilapisi apapun sebagai pegangan. Berbeda dengan zaman awal keberadaan Ujungan, pada ujung rotan sengaja dilapisi dengan pecahan batu ataupun logam, sebagai sarana untuk membuat luka lawan. Di beberapa tempat di Cirebon rotan seringkali disisipi besel atau selembar benda yang dimaksudkan sebagai azimat (umumnya terbuat dari kulit kijang, kulit macan, kain atau kertas yang disisipi rajah atau isim yang dipercaya dapat melindungi atau mengurangi rasa sakit akibat pukulan).
 
1.2. Boboto/Juru Garis/Wasit
Keberadaan Wasit/Juru Garis atau yang di Betawi dan sekitarnya disebut Boboto sangat diperlukan, umumnya seorang Boboto diambil dari sesepuh yang memiliki kharisma di daerah setempat dan harus memiliki keahlian pencak silat di atas rata-rata. Biasanya dipilih dari para guru-guru silat. Hal ini diperlukan mengingat peserta yang bertanding terdiri dari beberapa jawara, yang sewaktu-waktu dapat lepas kendali dan terjadi perkelahian yang sesungguhnya.
Boboto dalam memimpin pertandingan menggunakan tongkat yang lebih panjang. Tongkat digunakan untuk membuat tarikan garis di tanah sebagai tanda areal pertandingan, selain itu dapat digunakan sebagai alat untuk melerai peserta yang bertanding. Di beberapa tempat ada juga Boboto yang menggunakan selendang panjang sebagai alatnya.
 
2. Aturan Pertandingan Ujungan
Pertandingan yang pernah diadakan di Betawi dan sekitarnya, umumnya dilakukan oleh dua orang jawara yang saling berhadapan, namun di beberapa daerah lain ada yang menggunakan sampai lima jawara sekaligus.
Dua  jawara yang saling berhadapan harus berbeda daerah dan tidak saling kenal, dalam artian tidak ada hubungan apapun dan belum pernah bertanding pada pertandingan-pertandingan sebelumnya. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya mencegah terjadinya balas dendam yang kesumat, khususnya bagi jawara yang pernah dikalahkan sebelumnya.
 
2.1.  Arena pertandingan Ujungan
-Arena pertandingan dibuat oleh Wasit atau Boboto dengan menarik garis di tanah dengan tongkat Boboto. Bentuk arena belum memiliki aturan baku, bisa bundar dan persegi dengan diameter 5-10m tergantung luas lahan yang digunakan.
 -Jawara yang keluar dari garis arena mengurangi nilai kekalahan, bahkan      dianggap kalah. Keluar garis arena juga dianggap sebagai kata menyerah dan     tidak meneruskan pertandingan
 
2.2. Sasaran pukul
-Daerah Betawi dan sekitarnya memiliki aturan sasaran yang boleh dipukul pada    bagian depan dari tubuh adalah pinggang ke bawah, kecuali daerah  kemaluan. Sasaran utama pukulan terletak pada tulang kering, dan mata kaki  lawan baik yang kanan maupun yang kiri. Di daerah lain di Jawa Barat hanya kaki sebatas lutut yang menjadi sasaran. Peserta bertanding diperkenankan  mengenakan  baju atau bertelanjang dada.
 -Pergelangan tangan sampai dengan ujung jari dari tangan yang memegang
   tongkat.
 -Bagian belakang dari tubuh adalah punggung ke bawah bagi lawan yang    lari menghindari balasan.
 -Bekas pukulan di badan atau kaki yang disebut “balan”, sangat menentukan menang kalahnya si jawara dalam suatu pertandingan.  Jumlah balan dihitung Boboto dari setiap jawara yang bertanding untuk menentukan si pemenang.
 
2.3. Sanksi dari pelanggaran yang dilakukan
-Diperingatkan dengan keras apabila memukul daerah seputar kemaluan, kepala
  dan mencolok mata dengan tongkat.
-Dikeluarkan dari arena pertandingan
-Dinyatakan kalah
-Tidak diperbolehkan ikut pertandingan lagi kapan dan dimanapun  (masyarakat yang berkecimpung di seni ini menjadi saksi dan pengamat pada  pertandingan selanjutnya).
-Tongkat yang terpental yang jawara yang bertanding belum dinyatakan      kalah, pada saat inilah pencak silat tangan kosong digunakan. Hingga  selanjutnya kekalahan ditentukan dari siapa yang lebih dulu jatuh terduduk.

Kalau dicermati dari seni ketangkasan Ujungan ini, terkandung sarat akan  nilai positif. Ujungan dapat dijadikan sebagai sarana kegiatan yang menjunjung tinggi nilai sportivitas, persaudaraan dan membangun rasa nasionalisme, patriotisme generasi muda Indonesia yang belakangan ini merosot tajam.
 
Hampir tidak pernah ditemukan lagi pertandingan seni ketangkasan Ujungan di Jakarta maupun daerah-daerah lain di Jawa Barat. Di Betawi dan sekitarnya sendiri praktis punah setelah pada tahun 1960 pemerintah melarang seni ketangkasan Ujungan ini, karena dianggap permainan yang keras dan sadis (Ridwan Saidi, Glosari Betawi-iv).
 
Pelestarian Seni Ketangkasan Ujungan ini sejatinya perlu menjadi perhatian para pecinta dan pelestari silat tradisional, mengingat usia Ujungan itu sendiri yang melebihi keberadaan aliran pencak silat tertua di Betawi dan Jawa Barat khususnya dan Indonesia umumnya. Berangkat dari pemikiran itu, layakkah seni ketangkasan Ujungan ini disebut sebagai cikal bakal pencak silat…….?
 
 
Betawi, Juli 2008
 
 
Jali Jengki
 
Disarikan dari berbagai sumber diantaranya wawancara dengan Ki Dalih di Bekasi (Praktisi Ujungan dan Jawara Silat aliran Pi Atu Betawi tahun 50an).

Bagi sahabat silat yang ingin diskusi mengenai Ujungan ataupun stick fighting ini, silakan di babar...

Tabe'...


--- End quote ---
waktu kecil saya pernah liat ortu main sampyong di daerah bedulan cirebon, daerah rumah gurunya pa tampon dari budi suci, sebelum terjun ke arena ortu minum jamu inti waja spy tulang nya gak gampang ancur kepukul rotan hehehe...
klo tembus juga bakal langsung disembuhkan seketika ma gurunya hehehe...
di sindang laut daerah rumah gurunya kyai hasyim dari pesantren terkemuka disindang laut juga pernah main sampyong tapi saya gak ikut cos ke jauhan huahaa ha ha ha

Jali Jengki:
Salam,

Rupanya ada orang Bedulan juga di Forum ini...selamat bergabung Ang Wahyu...

Daerah Lor (Utara) Cirebon, memang dikenal gudang jawara...salah satunya ya Bedulan ini.

Salam kenal,


NB. Bedulan apa sudah "adem" dengan saudaranya Kartasura?

Navigation

[0] Message Index

[#] Next page

Go to full version