Forum > Silat Diskusi Umum

Studi tentang Kharisma Kyai & Jawara di Banten

Pages: << < (2/6) > >>

boencis:

aringan Jawara

Para jawara dalam membangun hubungan antar mereka dan dengan pihak lain membangun jaringan yang khas. Salah satu yang khas dari kehidupan antar mereka adalah rasa solidaritas yang tinggi. Apalagi kalau yang menghadapi masalah tersebut adalah orang yang memiliki hubungan emosional, seperti adanya hubungan kekerabatan, seguru-seelmu, pertemanan dan sebagainya.

Jaringan yang dibentuk oleh para jawara tersebut kini tidak hanya bersifat non-formal atau tradisional tetapi juga kini memiliki organisasi masa yang tersendiri, yakni dengan terbentuknya P3SBBI (Persatuan Pendekar Pesilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia). Organisasi para pendekar ini kini menghimpung lebih dari 100 perguron yang tersebar di 17 propinsi di Indonesia. Orginsasi ini berpusat di Serang, Ibu Kota Propinsi Banten, yang kini masih dipimpin oleh H. Tb. Chasan Sochib.

 

a.     Kekerabatan

Meskipun jaringan kekerabatan dalam kehidupan para jawara tidak seketat dalam tradisi kehidupan para kyai, namun kekerabatan juga memiliki hal penting dalam membina hubungan solidaritas dan pengajaran elmu-elmu kesaktian dan magis. Para jawara akan membela sepenuhnya apabila ada salah seorang dari kerabatnya itu dihina atau disakiti orang lain. Begitu pula para jawara akan mengutamakan para kerabatnya, terutama anak laki-lakinya, dalam mengajarkan elmu yang dimilikinya dari pada ke orang lain.

Rasa solidaritas yang tinggi terhadap keluarga itu tidak lepas dari nilai-nilai yang sering didengungkan dalam kehidupan mereka. Para jawara sering menekankan bahwa kalau menjadi jawara harus (1) leber wawanen (berani dan militan), (2), silih wawangi (sikap kekeluargaan) dan (3) kukuh kana janji (memiliki komitmen yang kuat untuk menepati janji). [38]

 

b.    Seguru-seelmu

Dalam tradisi jawara hubungan dengan guru, terutama yang menurunkan elmu kesaktian atau magis, adalah sama kedudukannya dengan orang tua. Anak buah jawara menyebut para gurunya (kepala jawara) itu dengan panggilan “abah”, yang artinya sama dengan “bapak”. Panggilan itu menyimbolkan bahwa kedekatan hubungan guru-murid adalah seperti kedekatan hubungan orang tua dengan anaknya.

Kini jaringan seguru-seelmu ini sebenarnya masih bertahan dengan baik dalam perguron-perguron persilatan yang masih tetap bertahan, bahkan mampu mengembangkannya sehingga satu perguron memiliki berapa cabang di daerah-daerah lain. Perguron-perguroan yang cukup terkenal karena memiliki jaringan yang cukup besar adalah Trumbu, Bandrong, TTKDH (Tjimande Tari Kolot Kebon Djeruk Hilir) dan Jalak Rawi.

 

c.     Organisasi Massa

Organisasi yang didirikan oleh para tokoh jawara adalah Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBI) pada tahun 1971, hampir bersamaan dengan didirikannya Satkar Ulama (Satuan Karya Ulama). [39] Pendirian organisasi ini nampaknya juga tidak lepas dari campur tangan pemerintah  dalam rangka merangkul dan mengendalikan potensi politik yang ada di wilayah Banten. [40]

 
Hubungan Kyai dan Jawara

Penjelasan di atas tentang peran-peran yang dimainkan oleh kyai dan jawara serta jaringan sosial yang dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kyai lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten. [41]

Kyai dan jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2), kesaktian, (3), keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. [42] Kyai mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian).

Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara membutuhkan kyai sebagai sebagai tokoh agama dan sumber kekuatan magis. Sebagai tokoh, kyai merupakan alat legitimasi yang penting dalam kepemimpinan jawara. Tanpa dukungan dari para kyai jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan, kepentingan kyai terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang jawara yang meminta elmu (kesaktian dan magis) dari kyai, ia akan memberikan sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada kyai dipandang sebagai penebus “berkah” kyai yang telah diberikan kepadanya. [43]

 

PENUTUP

Berdasarkan penelitian di atas peneliti dapat menyimpulkan, bahwa adanya kedudukan, peran dan jaringan membuat kyai dan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarakat Banten, sehingga kyai dan jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki nilai, norma dan pandangan hidup yang khas. Itulah subkultur kyai dan jawara.

Dengan kesimpulan tersebut kita dapat memahami: Pertama, kyai dalam masyarakat Banten adalah sebuah gelar tradisional yang diberikan kepada seorang “terpelajar” muslim yang telah membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” dalam menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan pesantren. Orang yang menyandang gelar kyai dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, memiliki kesaktian, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa dan legitimite berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar kyai merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukan suatu gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal.

Sementara itu, jawara adalah seorang atau sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga bagi orang lain dapat membangkitkan rasa hormat dan takut, serta kagum dan benci. Karena kelebihannya itu, ia dapat menjadi seorang tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.

Kedua, kyai dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh masyarakat yang dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat.  Ia menjadi tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi. Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekular), kesaktian dan keturunannya.

Ketiga, peranan yang dimainkan oleh kyai dalam kedudukan sebagai elit sosial-keagamaan masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubâligh. Peranan seorang kyai adalah selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arah atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu, ia lebih bersifat memberikan penyerahan terhadap masyarakat. Bagi masyarakat yang memiliki religiusitas yang tinggi, peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih bersifat agraris. Hal tersebut menjadi ancaman laten terhadap kepemimpinan formal, sehingga peran sosial-politik kyai dalam masyarakat Banten mengalami turun naik, sesuai dengan situasi dan kondisi yang terjadi.

Sementara itu, peranan sosial jawara adalah lebih cenderung kepada pengolahan kekuatan  fisik dan “batin,” sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran tradisional yang sering dimainkan para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau magis, satuan-satuan pengamanan. Peranan tersebut bagi masyarakat yang pernah ada dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, memiliki signifikansi yang tinggi. Namun demikian, saat ini peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten sangat menentukan. Tentunya, demikian ini mengalami peningkatan peranan yang signifikan dibandingkan dengan peranan masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten, sehingga dapat menentukan masa depan kesejarahan masyarakatnya

Keempat, jaringan tradisional yang dibangun kelompok kyai dan kelompok jawara adalah mengandalkan hubungan kedekatan emosional yang dalam. Karenanya, jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan kekerabatan, baik melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren atau perguron.

Kelima, ketika membina hubungannya dengan sesama subkultur, kyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kyai. Sebaliknya, kyai atas jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan material) dari jawara. Akan tetapi, juga banyak kyai yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial.

Berdasarkan kesimpulan di atas dan refleksi kritis peneliti, ada dua hal yang perlu diperhatikan:

1.     Kyai sebagai salah satu sumber kepemimpinan tradisional dalam masyarakat Banten kini mengalami tantangan kehidupan modernisasi yang serius. Tak dapat dipungkiri bahwa peranan kyai dalam sejarah masa lalu masyarakat Banten sangat besar, namun ke depan menjadi sebuah tanda-tanya. Peranan kyai mungkin hanya akan menjadi catatan masa lalu, apabila pemberdayaan dan peningkatan wawasan terhadap mereka tidak dilakukan. Demikian pula dengan jawara. Kehidupan jawara yang sering dipresepsikan masyarakat secara negatif perlu ada orientasi baru. Meskipun usaha-usaha itu telah dilaksanakan oleh kalangan mereka sendiri, namun perubahan itu baru dalam tahapan simbol, yakni perubahan nama dari “jawara” ke “pendekar.” Secara substantsial nampaknya belum banyak berubah, bahkan budaya tersebut justru digunakan oleh sekelompok orang untuk meraih kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik. Maka, pencerahan melalui pendidikan terhadap para jawara justru akan menjadikan aset penting bagi peningkatan apresiasi terhadap kebudayaan Banten.

2.     Penelitian ini hanya merupakan langkah kecil dalam mengungkap kehidupan sosial di Banten. Penelitian yang serius tentang Banten banyak jauh tertinggal dibanding dengan kajian-kajian yang serupa terhadap kebudayaan Jawa dan Sunda. Padahal, kebudayaan Banten sendiri memiliki kekhasan sendiri yang membutuhan keseriusan intelektual dalam mengeksplorasinya. Tentunya, persoalan ini merupakan tantangan intelektual bagi para peneliti dan ilmuan lainnya.

 


boencis:

DAFTAR PUSTAKA

 

Ambary, Hasan Ambary dan Halwany Michrob, “Bandar Banten, Penduduk dan Golongan Masyarakatnya: Kajian Historis dan Arkeologis serta Prospek Masyarakat Banten ke Masa Depan,” dalam Makalah pada Simposium Internasional Kedudukan dan Peranan Bandar Banten dalam Perdagangan Internasional, Gedung DPRD Serang, 9 Oktober 1995.

Aminuddin, Sandji, ”Kesenian Rakyat Banten,” dalam Makalah pada Diskusi Ilmiyah Kedudukan Bandar Banten dalam Lalu Lintas Perdagangan Jalur Sutera, di Serang pada 18-21 Oktober 1993.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, cet. IV, Mizan, Bandung, 1998.

Banten dalam Angka Tahun 2000, Bapeda Propinsi Banten & Badan Pusat Statistik Kabupaten Serang.

Bellah, Robert N., Beyond Belief: Esei-esei tentang Agama di Dunia Modern, terj. Rudy Arisyah Alam, Paramadina, Jakarta, 2000.

van Bruinessen, Martin, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat:  Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, cet. III, Mizan, Bandung, 1999.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, 1985.

Ekadjati, Edi S.,  Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, Pustaka Jaya, Jakarta, 1995.

Geertz, Cilfford, The Religion of Java, University of Chicago Press, Chicago, 1970.

Guillot, Cluade,  The Sultanate of Banten, Gramedia, Jakarta, 1990.

Guillot, Claude, dkk, Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 9321-1526, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta, 1996.

Hefner, Robert W., Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, terj. A Wisnuhardana & Imam Ahmad, LKiS, Yogyakarta, 1999.

Hobsbbawn, E.J., “Bandit Sosial” dalam Sartono Kartodirjo (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.

Hodgson, Marshall G.S., The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Masa Klasik Islam, terj. Mulyadhi Kartanegara, Paramadina, Jakarta, 1999.

Horikoshi, Hiroko,  Kyai dan Perubahan Sosial, P3M, Jakarta, 1987.

Djajadiningrat, Hosein, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, Djambatan, Jakarta, 1983.

Djalil Afif, Abdul dkk., Dinamika Sistem Pendidikan Al-Khariyah: Suatu Kajian tentang Arah Pembinaan dan Pengembangan dari Visi Keunggulan, Laporan hasil penelitian, Fakultas Syari’ah IAIN “SGD” di Serang 1997.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II, terj. Robert M.Z. Lawang, Gramedia, Jakarta, 1986.

Kahin, Audery R., Pergolakan Daerah pada Awal Kemerdekaan, terj. Satyagaha Hoerip, Grafiti, Jakarta, 1990.

Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Pustaka Jaya, Jakarta, 1984.

_________, Modern Indonesia: Tradition and Transformation, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1984.

Jackson, Karl D., Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1990.

Lukes, Steven, Emile Durkheim: His Life and Work, Penguin Books, New York, 1981.

Madge, John, The Origins of Scientific Sociology, The Free Press, New York, 1968.

Mansur, Khatib, Perjuangan Rakyat Banten Menuju Propinsi: Catatan Kesaksian Seorang Wartawan, Antara Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

_________ dan Moenthadim, Martin (eds.), Profile Haji Chasan Sochib Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten, Pustaka Antara Utama, Jakarta, 2000.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994.

Michrob, Halwany dan Chudari, A. Mudjadid, Catatan Masa Lalu Banten, Saudara, Serang, 1993.

Muzakki, Makmun “Tarekat dan Debus Rifaiyyah di Banten”, Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990.

Rubington, Earl and Weinberg, Martin S., Deviance: The Interactionist Perspective, Macmillan Publishing, New York, 1987.

Short, James F., “Subculture” dalam Adam Kuper and Jessica Kuper (eds.), The Social Science Encyclopaedia, The Macmillan Company and Free Press, New York, 1972.

Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1999.

Sunarta, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal,” dalam Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 1997.

Suharto, “Banten Masa Revolusi 1945-1949: Proses Integrasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Disertasi pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 2001.

_________, Revolusi Sosial di Banten 1945-1946: Suatu Studi Awal, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996.

Suparlan, Parsudi, “Kebudayaan, Masyarakat dan Agama”, dalam Parsudi Suparlan (ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian Masalah-Masalah Agama,  Puslitbang Depag RI, Jakarta, 1981.

Steenbrink, Karl A., Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, LP3ES, Jakarta, 1984.

­_________, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.

Tihami, M.A., “Kyai dan Jawara di Banten,” dalam Tesis Master Univervesitas Indonesia, 1992.

_________, “Sistem Pemerintahan Desa Tradisional di Banten,” dalam Makalah pada Lokakarya Nilai Kaolotan Banten dalam Kerangka Desentralisasi Desa, Anyer-Serang, 11-13 April 2002.

Turner, Jonathan H., The Structure of Sociological Theory, Wadsworth Publishing Company, Belmont, 1998.

Turner, Ralph H., “Social Roles: Sociological Aspects”, dalam International Encyclopaedia of Social Sciences, Macmillan, New York, 1968.

Williams, Michael Charle, Communism, Religion, and Revolt in Banten, Center for International Studies, Ohio University, 1990.

Willner, Ann Ruth dan Willner, Dorothy “Kebangkitan dan Peranan Pemimpin-pemimpin Kharismatik” dalam Sartono Kartodirdjo, (ed.), Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.

Weber, Max,  The Theory of Social and Economic Organization, trans. Henderson and Talcott Parsons, The Free Press, New York, 1966.

Woodward, Mark R. Islam Jawa Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, LKiS, Yogyakarta, 1999.

Ziemek, Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1986.

Sumber situs : http://www.ditpertais.net/


boencis:

 [21]   H. Chasan Sochib seorang jawara yang kharismatik di Banten memiliki lebih dari 20 jabatan penting, mulai sebagai ketua umum pengurus besar pendekar, ketua umum satkar ulama, ketua umum Kadin Banten sampai penasehat ikatan persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis. Lebih jauh lihat Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten¸ (Jakarta: Pustaka Antara Utama, 2000). Dalam bidang politik pun, pengaruh jawara sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari terpilihnya Hj. Ratu Atut Chosiyah, anak perempuan Chasan Sochib, sebagai wakil gubernur Propinsi Banten untuk periode 2001-2006. Ada pendapat yang bisa dipahami oleh masyarakat Banten, bahwa terpilihnya Joko Arismunandar sebagai gubernur Propinsi Banten yang pertama, karena didukung oleh para tokoh jawara, yakni dengan bersedianya didampingi oleh anak perempuan tokoh jawara Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah.

 

 

[22] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 83

 

 

[23] Sebenarnya asal-usul kata jaro tidak jelas dan semenjak kapan kata tersebut dipergunakan untuk menunjukan suatu wilayah administrasi pedesaan. Menurut M.A. Tihami bahwa jaro itu berasal dari bahasa Arab “jar” yang artinya tetangga. Sebuah desa Banten pada zaman dulu memang mengelompok dalam suatu daerah tertentu sehingga antar satu keluarga dengan keluarga lainnya adalah bertetangga (jar). Sehingga suatu daerah yang sudah dihuni oleh banyak keluarga dikenal dengan kejaroan, maka orang yang menjadi pemimpin dari suatu kejaroan tersebut disebut jaro. Lihat M.A. Tihami, “Sistem Pemerintahan Desa Tradisional di Banten,” dalam Makalah pada Lokakarya Nilai Kaolotan Banten dalam Kerangka Desentralisasi Desa, Anyer-Serang, 11-13 April 2002.

 

 

[24] Sartono Kartodirdjo, op.cit., hlm. 81.

 

 

[25] Ibid.

 

 

[26] Martin van Bruinessen, op.cit., hlm. 25.

 

 

[27] Khatib Mansur dan Martin Moenthadim (ed.), op.cit., hlm. 2.

 

 

[28] Husein Djayadiningrat, op.cit., hlm. 34.

 

 

[29] M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten” Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Sastra Program Studi Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1991), hlm. 157-166.

 

 

[30] Sebenarnya memang ada hubungan yang dekat antara tarekat dengan permainan debus, terutama debus al-madad, dalam hal wasîlah atau hadlarat kepada para silsilah syaikh-syaikh sufi dan pengamalan doa-doanya. Lebih jauh lihat Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifaiyyah di Banten”, dalam Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1990.

 

 

[31] Steven Lukes, Emile Durkheim: His Life and Work, (New York: Penguin Books, 1981), hlm. 140.

 

 

[32] Lihat M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten”, op.cit., hlm. 181.

 

 

[33] Zamakhsyari Dhofier, op.cit., hlm. 61-62.

 

 

[34] Sumber berasal dari Yayasan Nawawi Tanara Banten.

 

 

[35] Jaringan intelektual yang terjalin antara ulama di timur Tengah dengan para ulama di Nusantara terutama pada abad XVII dan XVIII dijelaskan secara komprehensif oleh Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998).

 

 

[36] Al-Khaeriyah didirikan oleh K.H. Syam’un berlokasi di Citangkil-Cilegon. Mathlaul Anwar didirikan oleh K.H. Abdurahman yang bertempat di Menes Pandeglang. Sedangkan, Mathlaul Anwar didirikan oleh K.H. Asnawi di Caringin-Labuan, Pandeglang.

 

 

[37] Organisasi masa yang menghimpun para alumni lembaga Al-Khaeriyah kini dipimpin oleh Prof. Dr. H. M.A. Tihami, M.A. yang juga Ketua STAIN “SMHB” Serang.

 

 

[38] Sunatra, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal”, dalam Disertasi Pada Program Pascasarjana, (Bandung: Universitas Padjadjaran, 1997), hlm. 2002.

 

 

[39] Lihat hasil wawancara dengan Haji Tb. Chasan Sochib dalam buku yang disunting oleh Khatib Mansur dan Martin Moentadhim S.M., (eds). op.cit., hlm. 87.

 

 

[40] Hasil wawancara dengan Aep, salah seorang pengurus P3SBBI pada 2 Oktober 2002 di Kantor PESBBI, Serang.

 

 

[41] Edi S. Ekadjati, Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1995), hlm. 224. Lihat pula Sunatra, “Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Ulama-Jawara dalam Budaya Politik Lokal”, hlm. 131.

 

 

[42] Karl D.Jackson, Kewibawaan Tradisional, Islam dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990).

 

 

[43] M.A. Tihami, “Kyai dan Jawara di Banten,” op.cit., hlm. 103.

one:

Ini yang bikin saya bingung....dalam Islam silsilah keluarga (nasab) diambil dari garis keturunan ayah..dengan masuknya Fatimah az Zahra kedalam silsilah maka sebenarnya ini jadi tanda tanya. Karena berarti Husein itu "bin" Fatimah. sementara yang benar adalah Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Dalam hal ini maka yang benar adalah turunan dari Ali bin Abi Thalib, karena nasab Rasulullah berakhir di Fatimah, sementara anak Fatimah "ikut" ke garis turunan Ali.

Kasihan kan Sayidinna Ali...masak turunan beliau sendiri kok gak diaku.  ::) berarti ini penghilangan nasab asli :-\, kalo terjadi maka berarti gak ngakuin Ali bin Abi Thalib sebagai pemilik nasab yang sah dong.  :)


Itu yang saya tahu


salam,




one (turunan Nabi Adam AS dengan nasab yang panjaaaang ;D)

kisawung:

btw.. thanks atas masukannya sahabat Blank  [top]

aku terharu teringat salah seorang Kiyai yang pernah aku datangi
dan diberi keberkahan olehnya ... ialah Abuya Armin Cibuntu Pandeglang :'(

Pages: << < (2/6) > >>

Go to full version