mas ogebang, benar sekali mas.
Saya juga pernah mengalami hal ini.
Kira-kira 4 atau 5 tahunan yang lalu, saya diajak berkunjung ke salah satu pesantren tertua di kota santri. Saya dan istri berangkat dari Jakarta mengendarai mobil Suzuki Katana. Naik turun bukit, menembus lembah, lihat pemandangan yang asri di kanan kiri. Eh menurut istri saya kayaknya jalannya beda deh. Agak nyasar gitu. Ya udah saya bilang sama istri coba kamu kasih saya gambaran seperti apa pesantrennya, pintu gerbang depannya, kanan kirinya, dsb, yang sebisanya kamu ingat. Kata istri, 'wah ga ingat banyak. Justru kita mau ke tempat kyainya langsung. Gambaran rumahnya begini begini begini begini'.
Sambil nyetir saya coba konsentrasikan dan niatkan di dalam hati agar getaran deteksi saya diarahkan kesitu sesuai gambaran yang istri saya berikan sambil mencoba mencari jalan menuju kesana. Akhirnya sampai juga. Sampe istri saya bingung, kok bisa tahu? Saya cuman senyum-senyum saja.
Sesampainya di rumah kyai tersebut, saya disambut sangat sangat hangat. Dipeluk, kemudian disalami oleh semua anggota keluarganya dan ada beberapa santri yang ada disitu juga. Lha ada apa ini? Tatapan mata sang kyai itu menyiratkan sepertinya dia ketemu dengan orang yang sudah lama tidak pernah ketemu. Seperti akrab saja, seperti sangat dekat saja. Saya yang bingung. Karena saya sama sekali belum pernah ketemu, belum pernah tahu daerah situ, apalagi berkenalan dengan orang-orang disitu. Aneh. Ya karena beliau begitu ramah dan sangat akrab, saya coba sesuaikan.
Pada suatu waktu, saat kebetulan istri sedang ke kamar kecil, saya beranikan untuk bertanya. "Pak, mohon maaf kalau pertanyaan saya ini terkesan kurang sopan. Saya ingin bertanya apakah kita pernah ketemu sebelumnya?". Beliau hanya tersenyum dan menjawab, "Benar. Secara fisik kamu belum pernah kesini. Tapi kamu memang pernah kesini". Saya bingung, "maksud pak kyai?". Dilanjutkan, "Ketahuilah nak, pesantren ini dulu pernah disinggahi oleh Fatahillah. Fatahillah bernah bermukim lama disini dan pernah ikut membangun pesantren ini". Saya jawab, "Kalau saya tidak salah mengerti, Fatahillah itu khan Sunan Gunung Djati?". Dijawab, "Benar sekali, dan hanya keturunannya saja yang bisa tahu kesini tanpa dipandu". Deggg... dada saya seperti tersentak.. "tanpa dipandu? kok pak kyai ini tahu ya?". Dilanjutkan, "Tentu saja saya tahu nak." sambil tersenyum. Kemudian istri keluar dari kamar kecil dan saya tidak berani melanjutkan karena sepertinya pak kyai ini tahu apa yang saya pikirkan.
Ucapan pak kyai tersebut menyisakan tanda tanya besar pada diri saya. Akhirnya setelah saya pulang ke Cirebon, saya coba beranikan tanya ke ibu saya apakah saya ada garis keturunan dari Gunung Djati? Ibu saya senyum-senyum saja. "Siapa yang mengatakan itu Gung?". Saya kemudian menceritakan kejadian di pesantren di kota santri tersebut. Ibu saya mengatakan, "Ayah kamu memang orang Gunung Djati. Kakek kamu tuh yang bikin ayah kamu ga betah di Gunung Djati. Kenapa? Tanya sendiri sama ayah kamu.". Akhirnya saya tanya ke ayah setelah sebelumnya saya ceritakan pertemuan saya dengan pak kyai itu dan mengapa kok kita tidak tinggal di Gunung Djati tapi malah di Cirebon kota? Dijawab oleh ayah, "Karena dulu ayah ngga suka diajarin ilmu-ilmu yang aneh-aneh. Kakek kamu itu selalu nyari ayah untuk ngajarin ilmu-ilmunya. Awalnya sih ayah mau, tapi lama kelamaan bosen. Jadi ayah merantau saja. Ke Ciranjang, Ke Cimahi, ke bandung, ke Cianjur, lalu balik lagi ke Cirebon. Semata-mata untuk menghindari kakek kamu itu.". Saya senyum-senyum saja trus saya tanya ke ayah saya, "Kenapa ayah gak mau diajarin kayak gitu? Khan bukannya nanti jadi orang sakti?". Ayah saya menjawab, "buat apa jadi orang sakti? Lebih baik jadi orang bener. Lurus, lempeng, inget sama gusti Alloh. Lha wong kata kakekmu di darah kita ini sudah mengalir kemampuan-kemampuan linuwih, trus ya buat apa ayahmu ini belajar ilmu-ilmu itu lagi? Kamu gak usah belajar yang kayak gitu-gitu. Nanti juga kamu temukan jalanmu sendiri, mendapati sendiri keilmuan yang cocok dengan karaktermu. Bukannya kamu sudah mempraktekkan waktu kamu ingin ke kota santri itu?". Saya kaget dan tanya, "lah kok ayah bisa tahu?". Sambil ngeloyor ayah tersenyum dan mengatakan, "ya kamu pikirkan saja sendiri".
Dan memang benar. Semenjak saya sering meditasi, meski hanya sekedar nafas pembersih, saya merasa daya pikir saya lebih mudah untuk diarahkan dibanding daya yang lain. Terkadang, dengan sekedar 'iseng', saya suka ingin tahu suatu daerah dan mencoba 'menjelajahi' daerah-daerah tersebut hanya di alam pikiran. Rasanya sangat menyenangkan. Barangkali, di suatu waktu, saya pernah "melintas" kesana atau bertemu dengan siapa gitu saya juga tidak tahu. Selama "menjelajah" menggunakan daya pikiran, rasanya sudah banyak yang saya temui (kebanyakan tidak kenal).
Demikianlah pengalaman saya, barangkali saja ada hikmahnya. Semoga membantu.
Salam.