Assalamu'alaikum wr. wb.
mmm..anu, saya teh bener2 ngga Pe-De nulis cerita di sini..
(alasan pertama: ngga pinter nulis, kedua: khawatir bikin bosen
)
tapi saya pingin punya banyak sodara dan temen di SS..
mmm.. saya coba beraniin diri ya.. (Bismillah..)
Anu, waktu kecil pernah diajar sedikit kelid cimande sama om dan uwa' saya di daerah Banten sana, tapi kemudian sempat dilarang sama ibu, coz beliau bilang, kakek-buyut sampe paman-paman saya dari dulu banyak yang datang "nyoba".. jadi mendingan ngga usah belajar penca', biar ngga ada yang nyoba..
Akhirnya ayah saya yang dari penca' Tanjakan juga ikut-ikutan ngga mau ngajarin penca', tapi ayah itu selalu ceritain sejarah-sejarah tentang kakek-buyut yang terdengar dramatis di telinga saya..
Pendek cerita, karena memang udah terobsesi pingin belajar beladiri, saya cari sendiri beladiri yang ada (waktu itu akhirnya saya cuma nemu karate di sekolah) awalnya ditentang keras jg oleh ibu, tapi dengan alasan harus pilih salah satu extra kurikuler dan saya bilang ngga suka ekskul yang lain, akhirnya terpaksa beliau beri izin..
Tahun-tahun berikutnya, izin dari beliau makin terbuka setelah saya buktikan bahwa prestasi di sekolah ngga terganggu dengan prestasi beladiri (alhamdulillah waktu itu di karate saya dapat emas nasional dan sempat lolos seleksi kejuaraan tingkat Asia) bahkan bisa bantu sedikit keuangan keluarga dari profesi atlet (waktu itu saya masih SMA) apalagi beberapa kali masuk tipi dan koran.. hehehee..
tapi saat izin mengalir deras, justru saya putuskan berhenti belajar beladiri karena satu kejadian yang sampai sekarang kadang masih bikin saya menyesal dan kadang sampai mimpi buruk..
Saat itu, Juli '96, seorang kohai (adik) yang kami latih berhasil menyarangkan satu tendangan depan sederhana (maegeri chudan) dengan sempurna.. dan hal yang membuat saya kadang pingin nangis, yaitu selalu ingat bahwa saat orang itu tersungkur dan megap-megap kena tendangan adik saya itu, saya justru melonjak kegirangan dengan bangga dan tertawa puas.. sampai akhirnya saya baru tahu malamnya bahwa orang itu meninggal di Rumah Sakit dengan kondisi Robek Hatinya (ruptur hepar) dan pecah kandung empedunya.. saya langsung lemas dan menitikkan air mata waktu itu.. saya jadi ingat pertarungan2 saya sebelumnya di jalanan dan terminal2 dengan preman2, yang kadang setelah preman2 itu tergeletak, biasanya langsung saya tinggal.. gimana nasib mereka.. jangan-jangan sama dengan nasib atlit itu..
Waktu itu, dengan pikiran saya yang masih picik, saya berpikir "buat apa belajar beladiri bila akhirnya hanya menyakiti orang lain" (kalo sekarang sih alhamdulillah saya sadar, hidup-mati itu di tangan Allah, kalau memang orang itu ditakdirkan meninggal, mungkin kalaupun tidak ditendang adik saya, tetap saja orang itu akan meninggal dengan cara yang lain saat itu juga, ketimpah pohon atau ketabrak mobil misalnya)
akhirnya saya putuskan berhenti dari tim, dan bertekad belajar keras supaya bisa jadi tim medis di Rumah Sakit supaya bisa bantu orang sebanyak2nya untuk bayar kesalahan saya (Alhamdulillah di-ijabah Allah)
Nah, di saat saya mundur dari tim karate itu, ayah saya mulai mengenalkan halusnya budaya sunda, bahwa beladiri tidak harus keras, bahwa menyakiti itu mudah, mengontrol sambil menyayangi itu yang sulit.. selanjutnya saya dibawa ke pedalaman banten lagi (ayah saya tetap ngga mau ajari saya) dan bertemu uwa' saya yg sudah tua, di sana, beliau taklukkan saya dengan begitu mudahnya dengan tekhnik2 yang halus..
tapi pelajaran penca' sundanya ngga berjalan lama, karena kemudian saya kuliah di Semarang..
Selama kuliah di semarang saya coba pelajari beladiri2 halus dari mulai Tetada Kalimasada-nya Pak Eddy Surohadi sampai Aikido.. nah, saat belajar aikido inilah (taun 2000) kami kedatangan pelatih dari Jepang dan Jakarta (hanya 3 hari).. pelatih dari jepang dan jakarta itu memang baik, tapi justru yang menarik hati saya bukan pelatih2 tsb, tapi justru murid kepercayaan dari pelatih Jakarta.. saat latihan berpasangan dengan beliau, tenaga saya rasanya seperti terhisap, terasa badan lemas campur kaku, saya kalah, tapi merasa seperti disayang oleh beliau.. sama persis rasanya dengan rasa saat latihan dengan uwa' saya dulu.. Pelatih dari jakarta itu namanya sensei Joseph Putiray dan muridnya itu namanya sensei Hakim (waktu itu beliau pelatih paspampres)..
akhirnya pelatih dari jakarta dan satu orang muridnya itu kembali lagi ke jakarta..
setelah itu, selama bertahun-tahun saya coba kunjungi dojo2 aikido lain, namun ngga pernah nemuin "rasa" yang sama.. "rasa" yang bikin saya kangen..
Pendek cerita lagi, setelah beberapa tahun keliling2 jauh dari rumah mengikuti siklus kerjaan (dan selalu silaturahim ke beladiri apapun yang ada di dekat tempat kerja) akhirnya tahun 2008 saya pulang juga ke kampung halaman di tangerang.. (uwa' dan om saya sudah meninggal dunia saat saya masih di Semarang)
di sini, selain silaturahim dengan dojo karate saya yg dulu, saya juga tetap coba silaturahim setiap ada dojo aikido berharap ketemu "rasa" yang dulu.. walhasil, saya bertemu satu dojo di pinangsia karawaci yang "rasa"nya mirip dengan murid pelatih jakarta yg dulu itu..
pendek cerita, saya diundang ke rumah sensei dojo tersebut di kawasan Lippo Karawaci..
malam itu, di garasi rumah beliau, kelihatan sensei itu sedang memberi latihan privat aikido yang benar2 keras dan dinamis pada satu muridnya, yang badannya besar, kekar dan tegap (tapi lentur) tanpa alas matras sama sekali.. saat saya bergabung latihan, beliau langsung dapat menebak background karate saya, dan tanpa disangka diminta "nostalgia" dengan muridnya tersebut (yg juga ternyata pernah mendalami karate)
setelah ber-"nostalgia" dengan muridnya dan saya selalu unggul, akhirnya sensei itu "turun gunung" juga..
beliau beri nasihat pada muridnya tersebut dengan kata2 yang sama persis seperti yg ayah saya pernah bilang: "Menyakiti orang itu mudah, yang sulit itu mengontrol.. Penyerang itu seperti anak kecil yang belum tahu apa-apa, jangan dilawan, tapi harus disayang.."
cerita selanjutnya mudah ditebak, saya ngga berkutik berhadapan dengan gurunya, bahkan rasanya sama persis dengan "rasa" yang pernah saya temui.. seperti terhisap, lemas, kaku, mules, campur jadi satu, tapi rasanya menyenangkan, seperti disayang..
langsung saja saat itu saya bilang pada beliau ingin belajar lebih jauh di dojonya..
yang ternyata jawabannya tidak disangka-sangka bahwa "kalau mau belajar, sama guru saya aja.."
(wuih, orang begini hebatnya, ,masih ada gurunya yg lebih hebat??
)
dan yg bikin saya makin terkejut bercampur bahagia.. ternyata guru dari sensei itu namanya..
Imanul Hakim Sensei yang selama ini saya cari-cari..
So, saya belajar di dojo hakim sensei sampai sekarang.. dan tetap paling o'on dan paling payah di antara murid2 beliau di dojo
suatu hari, saya mimpi ketemu uwa' saya.. dan saat bangun, saya jadi ingat pesan uwa' sejauh apapun belajar "silat jepang" (begitu cara uwa' saya menyebut karate dan aikido), tetep jangan pernah lupain akar budaya sendiri.. harus tetap kenal budaya sunda..
saat saya cerita hal itu pada hakim sensei, tanpa disangka, beliau malah mendukung dan justru menunjukkan contoh usik cikalong (yang benar-benar bikin saya ngga berkutik juga) beliau bilang: "kalau mau cari orang-orang hebat, ngga usah jauh-jauh ke Jepang.. di Silat banyak yang hebat"
maka itu.. Bismillah.. saya mulai silaturahim dan niat belajar dari awal dengan baik Penca' Sunda sesuai amanah Uwa' almarhum..
begitu aja cerita saya, mudah2an ngga pada bosen..
Mohon maaf kalo ada kata-kata yg kurang berkenan...
Saya masih hijau dan banyak khilafnya..
tapi pingiiiiin banget punya sodara dan temen yang banyaaakk di SS ini..
wassalamu'alaikum wr. wb.
Salam hangat dari saya,
- Firman