Feature di Jawaposdotcom pagi ini. Sayang wartawannya kurang menguasai Bahasa Endonesya, silat maupun jurnalisme dengan cukup. Coba kalo ada Mas Dasaman jadi editornya mungkin bisa lebih baik laporan ini:
Senin, 05 Mei 2008,
”Mami” Enny Rukmini, Usia Hampir Seabad Pimpinan Para Jawara Banten
Ompong Sejak Umur 40 Tahun, Mampu Buat Orang Kelenger
Usianya hampir mencapai seabad. Namun, semangat dan fisik Enny Rukmini tak ikut terkikis habis. Walaupun tidak seaktif saat muda, dia masih rutin melatih para jawara dari berbagai daerah.
DIAN WAHYUDI - Garut
GURAT kecantikan di usia muda masih tampak di raut muka Enny Rukmini, 93, yang telah berkeriput di sana-sini. Kulit putih dan hidungnya yang mancung, bahkan akan membuat orang yang pertama bertemu mengira dirinya memiliki darah blasteran. Padahal, perempuan kelahiran Bandung pada 1915 itu asli Indonesia. Ayahnya, (alm) Abah Aleh, asli keturunan Banten dan ibunya, (alm) Ma Uki, asli Garut. "Kamu bukan yang pertama. Sudah banyak yang bilang saya keturunan Belanda," ujar Enny Rukmini, kepada Jawa Pos Selasa (29/4).
Saat pertama bertemu perempuan yang akrab disapa "Mami" itu, kesan dan persepsi umum masyarakat terhadap orang yang berusia lanjut langsung terhapus. Langkah dan gerak tubuhnya masih ringan. Bicaranya pun lantang serta tetap terdengar jelas.
"Ya, sekarang ini kan masih genit-genitnya. Maklum, masih berumur tiga puluh sembilan tahun (kebalikan 93 tahun, Red)," katanya, lantas tertawa sehingga tampak seluruh giginya yang sudah tanggal.
Menurut Mami, seluruh giginya itu rontok secara serentak pada suatu malam Jumat saat umurnya masih sekitar 40 tahun. Sebelumnya dia merasa giginya memanjang dan terasa linu. "Tapi, jangan mikir yang aneh-aneh. Hanya kebetulan atau juga mungkin karena penyakit," pesannya.
Enny tinggal di Desa Sumur, Sukowening, Garut. Rumah sederhananya terletak di tengah perkampungan penduduk di kaki Gunung Sadakening. Di kompleks perguruan Enny, ada dua bangunan. Satu untuk tempat tinggal keluarga dan satu untuk kegiatan melatih murid-muridnya. Di gedung berbentuk seperti aula berukuran 10 x 30 meter persegi yang dipenuhi foto dan simbol perguruan itu setiap minggu Mami Enny melatih sekitar 120 muridnya.
Perguruan Silat Panglipur yang didirikan ayah Mami Enny sejak 1909 itu berkembang hingga sekarang. Ratusan cabang Perguruan Silat Panglipur telah tersebar di mana-mana. Bahkan, ada cabang di luar negeri, seperti di Malaysia, Belanda, Prancis, dan Arab Saudi. Murid-murid dari mancanegara itu tertarik menjadi murid Mami Enny karena terpesona dengan kelincahannya saat beraksi pada acara kebudayaan yang diadakan perwakilan Indonesia di luar negeri
Mami Enny sendiri memimpin perguruan silat warisan keluarga itu sejak 1950. Ayahnya yang meminta dirinya menggantikan posisi terhormat di kalangan para jawara itu. "Saya tidak tahu alasan Abah, kenapa kok saya yang ditunjuk," ujarnya.
Meski sejak kecil sudah akrab, silat bukanlah satu-satunya keterampilan nenek energik ini. Mami Enny juga pernah belajar yoga, menjahit, bahkan belajar dansa ala pemuda-pemudi Belanda saat itu. "Tapi yang utama, mungkin karena silat inilah. Alhamdulillah badan saya masih bugar sampai sekarang," ujar nenek beranak satu dan 12 cucu, yang beberapa juga sudah beranak-pinak itu.
Menurut Mami Enny, kesehatan dan kebugaran dirinya sebenarnya tidak semata kekuatan fisik. Namun, lebih pada kekuatan mata hati. Kondisi itu, menurut dia, tidak akan ikut tergerus oleh makin bertambahnya usia. "Percuma kekuatan tangan (fisik), kalau tidak dibarengi keselarasan mata dan hati," ujarnya.
Kebugaran tubuh Mami Enny tersebut dibuktikan sendiri oleh Jawa Pos. Setelah berdiri di hadapannya, dia mendorong bahu wartawan koran ini dengan kedua tangan. Pada dorongan pertama itu posisi bahu hanya bergoyang sedikit. "Ini kalau tidak pakai hati. Tubuh setua ini kekuatannya juga tidak akan seberapa," ujarnya lantas tersenyum.
Namun, dorongan kedua yang dilakukan Mami Enny membuat wartawan koran ini sampai terjengkang beberapa langkah. Padahal, entakan tangan yang sudah renta itu sebenarnya terasa hampir sama dengan dorongan pertama. "Kalau dilakukan sungguh-sungguh, bahkan bisa buat orang tidak bisa bangun," katanya. Dia lalu tersenyum lebih lebar.
Penguasaan Mami Enny terhadap seni beladiri tradisional Indonesia itu juga sempat dimanfaatkan untuk melawan penjajah. Tepatnya pada 1947, dia bergabung dengan Letkol Abimanyu dan Mayor U. Rukman untuk ikut bergerilya sampai hijrah ke Jogjakarta. Ketika itu dia sudah berpangkat kapten.
Pada 1950 Mami Enny mengakhiri pengembaraan di hutan belantara. Ditandai dengan turunnya para pengungsi ke Bandung, dia pun kembali menjadi masyarakat biasa. "Kalau dulu berjuang dengan senjata, sekarang berjuang melestarikan pencak silat," katanya.
Aktivitas sebagai pemimpin perguruan silat cukup tua di Indonesia itu sebenarnya tidak lagi dijalani seperti saat usia Mami Enny masih muda. Pada latihan rutin yang berlangsung tiap Sabtu malam dan sepanjang Minggu, dia hanya mengawasi. "Sekarang saya hanya mengajar para guru yang memimpin cabang-cabang di berbagai daerah," ujarnya.
Pertemuan rutin para pimpinan cabang Panglipur saat ini setidaknya dilakukan satu bulan sekali. Di situlah Mami Enny memberikan latihan ataupun sekadar petuah terhadap para jawara yang juga telah berumur. "Mereka inilah yang sering protes ke saya, karena badannya lebih dulu bungkuk dan matanya sudah rabun," katanya.
Menurut Mami Enny, para jawara dari berbagai daerah itu kerap menanyakan resep sehat dirinya. "Saya hanya tersenyum kalau ditanya seperti itu," ujar ibunda Etty Sumartini, 62, itu.
Dia mengungkapkan, sebenarnya tidak ada resep khusus soal kesehatan dirinya yang masih terjaga hingga saat ini. "Paling, saya ini hanya rajin tirakat," ungkapnya.
Dia mengaku sejak muda terbiasa jarang makan. Biasanya, kata Mami Enny, dia makan sekali setiap tiga hari. Itu pun hanya kentang rebus beberapa butir. Untuk minum, selain air putih, setiap hari dia minum dua gelas besar susu ukuran setengah liter. "Saya juga banyak tidur," candanya sekali lagi dengan mengungkapkan fakta yang sebaliknya.
Kenyataan sesungguhnya, setiap hari Mami Enny tidur hanya sekitar 3 jam. Itu pun baru dilakukan setelah salat subuh. Sekitar pukul 5 pagi, dia mulai istirahat, tapi sudah bangun sekitar pukul delapan. Sepanjang malam dia pun lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. "Untuk mengingat dan tafakkur ke Allah," ujar perempuan, yang pernah menikah tiga kali itu.
Ketajaman batin Mami Enny, tampaknya, memang menjadi kekuatan tersendiri perempuan lanjut usia ini. Jawa Pos kembali membuktikannya sendiri. Malam sebelum berpamitan, Mami Enny sempat memberikan oleh-oleh khusus.
Sambil duduk bersila di ruang tengah kediamannya, Mami Enny meminta salah satu murid seniornya mengambil sebutir telur ayam. Telur mentah tersebut ditaruh di piring, lengkap dengan sendoknya. "Ayo dibuka," pintanya.
Saat perlahan dipecah, sepintas isi telur tampak seperti pada umumnya. Namun, ternyata di dalamnya terdapat selembar daun pandan, seukuran 10 x 0,5 cm. Lafal Arab tergurat di atasnya. "Itu disimpan, bukan sekadar jimat, tapi agar tetap ingat saja sama Allah," ujarnya. (*)
Jadi beliau juga mengurangi makan dan tidur - mengolah tubuh. Usia 93 tahun masih awas dan cekatan, hebat lho. Banyak orang mulai pikun di usia 80-an. Bahkan diriku baru 40-an sudah sering lupa kalo banyak utang dsb dll.
Salam hangat,
Bram