Puncak atau Tidak Samasekali
Minggu 17 Agustus 2008, menjelang subuh sayup sayup terdengar suara Jenggot membangunkan tim untuk bersiap ke puncak atau lazim disebut summit attack. Dari balik sleeping bag saya melirik arloji, pukul 3.30, terlambat 30 menit dari rencana awal. Saya bergegas bangun mempersiapkan diri. Tiga rekan setenda, Gembel, Koko, dan Abi terlihat mulai bergerak.
Suhu terasa tak terlalu dingin dan angin sedikit mereda. Namun untuk mengantisipasi windchill di puncak saya menambahkan lapisan baju diatas kaos polypropylene yang sudah dari kemarin dikenakan. Bagian tulang rawan di kepala saya tutupi dengan beanie lalu sarung tangan fleece untuk membungkus jemari. Sebagai pelindung luar adalah jaket berbahan softshell. Kaos kaki saya ganti dengan paduan wool polyester yang tebal dan hangat.
Beberapa saat kemudian di bawah pimpinan porter Amaq Misrianto rombongan perlahan merayap menuju kaki puncak dengan diterangi sinar rembulan. Cahaya headlamp di kepala seolah bersaing dengan bulan yang diramalkan akan mengalami gerhana subuh ini.
Tim bergerak dengan lamban. Beberapa kali terdengar teriakan dari belakang untuk menahan kecepatan. Saya yang menguntit Amaq Misrianto terpaksa berhenti menunggu setiap kali terdengar perintah dari barisan belakang. Jam telah menunjukkan pukul 4.30 pagi dan tim masih berkutat di vegetasi rumput pasir. Pada ketinggian sekitar 3,500m, di daerah bersimpangan jalur yang sudah ditutup, akhirnya tim berhenti untuk menyamakan langkah.
Begitu tim kembali bergerak saya bergegas lari mendahului rekan-rekan, terus memacu kaki yang sudah ‘panas’ menuju puncak. Sebelumnya saya telah berdiskusi dengan Amaq Misrianto untuk memastikan jalur dan kondisi ke puncak sehingga cukup yakin untuk berjalan sendiri mendahului tim.
Dengan cepat rombongan besar tim tertinggal di belakang. Tiba-tiba di belakang terlihat cahaya berpendar mengikuti, ternyata headlamp dari Gembel yang menyusul. Sejenak kami terlibat pembicaraan mengenai situasi dan keputusan ke puncak, akhirnya dengan tekad bulat kami berdua sepakat meneruskan langkah menuju puncak. Gerhana rembulan yang biasanya menjadi pemandangan menarik terpaksa kami abaikan. Ada agenda lebih penting ketimbang menyaksikan bulan ditelan Betara Kala.
Kami terus memacu langkah menapaki jalanan berpasir lunak ditengah terjangan angin yang kembali bertiup kencang. Menjelang matahari terbit angin semakin keras bertiup. Kami sempat berpapasan dengan beberapa pendaki Barat yang turun karena cuaca tidak memungkinkan untuk mendaki.
Jalan pasir perlahan mulai digantikan oleh batuan kecil, dan akhirnya berubah menjadi campuran batuan besar dan pasir vulkanik. Daerah inilah yang terasa berat. Setiap dua langkah tubuh terseret kebelakang selangkah. Demikian terus berulang membuat tenaga makin terkuras. Beberapa kali saya mencoba menyiasati dengan menginjak batuan padat di igiran terjal atau mengikuti jejak telapak pendaki sebelumnya yang sudah memadat. Hanya sesaat bertahan, sisanya kembali ke mode 2 langkah mundur 1. Beruntung saya memegang trekking pole sehingga bisa membantu keseimbangan dan kecepatan langkah.
Pukul 7.30 tiba-tiba saya merasa gamang. Saya teringat ucapan porter di bawah, jika pendaki belum sampai ke puncak pukul 8 atau 9 maka sebaiknya pendakian diundur karena ancaman bahaya angin. Tidak ada ruang berlindung di punggungan terbuka ke puncak. Saya sempat mendiskusikan hal tesebut ke Gembel dan ia dengan semangat berusaha meyakinkan bahwa kita berdua mampu tiba di puncak pada waktunya. Yang penting pelan-pelan saja, ujarnya pagi itu.
Akhirnya setelah mengevaluasi perbekalan, kekuatan fisik, dan perlengkapan yang dibawa, saya putuskan untuk terus melaju perlahan. Puncak barangkali bukan apa-apa bagi sebagian orang, tetapi saya sudah melakukan investasi cukup besar untuk sampai Rinjani, rasanya terlalu sayang untuk dibiarkan begitu saja. Keputusan untuk terus naik bukanlah sekedar keputusan terburu-buru atau sekedar memuaskan hawa nafsu melainkan berdasar pertimbangan kondisi obyektif dan subyektif kami berdua. Keputusan yang kemudian tidak pernah kami sesali.
Menjelang 08.00 pagi Gembel mulai mengeluhkan jemarinya yang terasa menggigit, cekut cekut orang jawa bilang. Saya yang terbiasa dengan hawa dingin hafal betul dengan gejala tersebut, frostbite awal. Biasanya menyerang bagian tulang rawan dan tangan. Gembel memperlihatkan kaos tangannya yang ‘cukup’ berventilasi, yang menjadi penyebab rasa ditusuk jarum. Beruntung sarung tangan yang membungkus jemari saya masih mampu menahan angin dan dingin. Saya perkirakan suhu ketika itu berkisar 10-15°C tetapi ketika dicek, sungguh mengejutkan. Suhu di balik batu ternyata telah anjlok mencapai 4-5°C, dan lebih rendah lagi di tempat terbuka!
Boleh dibilang suasana ketika itu seperti konser di atas panggung, angin menderu deru dari sebelah kiri disertai hembusan kabut yang mirip kapas menabrak mereka yang mencoba berjalan di tempat terbuka. Belakangan Jenggot memperlihatkan bidikan kamera saat puncak diterjang badai yang membuat saya bergidik. Terlihat kabut tebal menggumpal di sekitar puncak membentuk semacam topi (?). Tak terbayangkan saat itu kami berdua tengah di dalamnya terhuyung-huyung menuju puncak.
Kami sempat beristirahat sejenak mengunyah biskuit Timtam padat bersalut coklat. Bagaikan disulut bensin saya merasa badan kembali penuh tenaga. Sebelum naik kami berpapasan dengan turis Jepang yang menginformasikan bahwa puncak tinggal 20 menitan lagi ke atas.
Sekitar 50 meter dari atas kami terlihat cerukan batu yang cukup terlindung. Kami kemudian sepakat menjadikannya titik tujuan berikut. Jalanan sekitar mulai digantikan kerikil padat kekuningan, tipikal batu belerang. Pukul 08.23 akhirnya kami terduduk di balik batu besar. Di sebelah kanan kami terlihat tong sampah yang terjepit bebatuan. Rupanya inilah daerah yang disebut ‘tong sampah’, yang berarti puncak sudah dekat. Di depan kami berserakan beberapa perbekalan dan ransel milik tim lain yang ditinggalkan ke puncak. Kembali saya membuka bekal biskuit untuk mendorong kaki ke puncak. Tak berapa lama dari atas muncullah seorang lelaki, agaknya penduduk lokal, yang baru turun dari puncak menawarkan bekal yang dia tinggalkan di sekitaran kami. Ternyata benar, menurut pendaki tadi puncak sudah tak terlalu jauh, tinggal beberapa menit di depan. Tak mau menunggu lama saya bergegas bangkit menuju atas.
Kabut masih terlihat tebal namun jalanan mulai memadat memudahkan perjalanan. Saya berjalan di depan sendirian, setengah berlari, karena jalanan yang cukup aman untuk dijejaki. Tak sampai lima menit akhirnya saya tiba di sebuah dataran sempit yang dikeliling jurang kanan kirinya. Tak ada lagi jalan, buntu, astaga…akhirnya sampai di puncak, 3.726m!
Tidak ada kata terucap selain puji syukur pada Illahi dan mata nanar memandang tak percaya lingkungan sekitar. Angin berhenti bertiup meski kabut tebal masih menyelimuti pandangan ke bawah. Arloji menunjukkan pukul 08.25.
Setidaknya ada 3 tim yang saat itu tiba di puncak. Satu tim berbaju putih Du pont Tyvek terlihat bersiap menuruni puncak, tim berikut dari Mataram yang sedang bersujud syukur dan terakhir saya yang masih sendirian terbengong-bengong menjadi tim ketiganya. Tak berapa lama muncul Gembel dari belakang yang segera saya sambut dengan salam khas pendaki, atau kata rekan kami Wahyu: jabat erat .
Puas merekam suasana, pukul 8.50 kami bergegas turun kembali ke basecamp. Angin dan kabut perlahan pupus digantikan matahari, siap memanggang pendaki yang kesiangan. Pukul 09.10 kami berpapasan dengan rekan lain, Koko dan Adi yang sedang duduk beristirahat. Di belakangnya terlihat Rendi dan Karim menyusul. Kami meninggalkan mereka dengan informasi puncak yang tinggal selangkah lagi.
Perjalanan pulang terpaksa tertunda berkali-kali karena pesona Rinjani sangat sayang dilewatkan. Beberapa jeperetan untuk sejarah dan kekaguman alam yang luar biasa. Sisanya adalah berlari terus menuruni bukit berpacu dengan terik matahari.
Dua jam kemudian atau sekitar pukul 11.00 akhirnya kami berdua mencapai basecamp Plawangan. Ucapan selamat kami terima dari beberapa rekan, namun teriknya mentari memaksa kami untuk segera masuk tenda berlindung memulihkan sisa semangat yang masih menggelegak. Satu setengah jam kemudian menyusul rombongan Koko dkk.
Segara Anakan
Sekitar pukul 14.00 setelah semua tim berkumpul dan mengepak perlengkapan kami mulai bergerak menuju danau Segara Anakan. Kami melewati jalanan berbatu yang terus menurun dengan vegetasi rerumputan di kanan kirinya. Beruntung saat itu kabut menyelimuti jalan sehingga cukup mendinginkan kulit. Kembali pergerakan tim tersendat-sendat. Saya mencoba menahan diri untuk berada di barisan belakang bersama porter Amaq Misrianto dan anaknya yang sedang ‘magang’ menjadi porter.
Perjalanan demikian membuat saya frustasi karena harus berhenti, menahan lutut, lalu duduk menunggu antrian di depan. Padahal jika terlalu lama menunggu tubuh akan terasa dingin dan ‘kehilangan’ kekuatan yang sudah terkumpul sebelumnya. Perlahan saya, Gembel, Koko dan 2 porter bertahan menunggu di belakang hingga setengah jam lalu kembali berlari menuruni jalan……untuk kembali bertemu antrian rombongan besar…….halaahh.
Tak mau terus tertunda akhirnya kami berlima meminta ijin ketua rombongan, Jenggot, untuk lari mendahului. Begitu memperoleh ijin kami bergegas mendahului rombongan. Bagaikan adu balap kami berlari menuruni jalanan, kaki melompat menjejak batu, injak rumputan padat, meloncati akar. Beberapa rombongan berhasil kami dahului. Akhirnya pada satu titik saya kehilangan keseimbangan terpeleset karena salah menginjak rumput lunak dan gedebrugggg….!!! terbantinglah onggokan seberat 75kg (60+15)….haahhh….. Untung hanya lecet di bagian lutut. Tak urung peristiwa tersebut membuat kecepatan saya melambat.
Di sebuah jalanan yang agak datar kami bertemu dengan bang Ijaz (guide yang kami sewa) dan porternya. Rupanya beliau sudah menunggu kami beberapa jam lalu di danau karena ia mengira kami akan turun pukul 10.00. Karena khawatir beliau akhirnya menyusul kami. Di tempat ini saya berpisah dengan Gembel yang terus melaju sendirian di depan. Tak berapa lama saya kembali menyusul Gembel meninggalkan bang Ijaz dan Koko yang memutuskan menunggu rombongan lainnya di belakang.
Suasana saat itu terasa sangat mempesona. Saya menikmati kesendirian menyusuri setapak yang dipenuhi rerumputan sementara di kejauhan terlihat rerimbunan pohon bergerombol menyesaki bukit. Beberapa kali kabut turun membasahi jalan dan mengheningkan suasana. Boleh dibilang inilah suasana yang selalu saya rindukan: kesendirian, keheningan, dan kemurnian alam.
Di persimpangan jalan akhirnya saya bertemu dengan Gembel yang sedang santai bersama Gendon dan Unyil. Bagaikan sahabat lama kami terlibat pembicaran hangat melepas lelah. Perjalanan makin mengasyikkan karena danau Segara Anakan mulai terlihat dari balik perbukitan. Unyil yang berjalan pelan tertinggal di belakang dan bergabung dengan rombongan porter.
Pukul 17.30 kami tiba di pinggiran danau yang sudah dipenuhi tenda dan para pemancing. Sesuai pesan Edo, porter yang dibawa bang Ijaz, kami masih harus menuju ke seberang danau tempat tenda tim akan didirikan.
Setelah bersusah payah, saya, Gembel, dan Gendon tiba di seberang danau menunggu para porter yang tertinggal di belakang. Gembel sempat membeli beberapa ekor ikan dari pemancing yang ditemui di jalan. Saya sudah membayangkan malam ini akan menyantap ikan segar langsung dari sumbernya. Menjelang gelap Edo sang porter baru muncul memberi kabar manis: tenda didirikan di pintu masuk danau, yang berarti kami bertiga harus kembali berputar balik mengitari danau!
Kami menghabiskan 2 malam di tepian danau menikmati keindahan Segara Anakan. Sarapan mulai berjalan teratur, pagi, siang dan malam dengan menu yang cukup variatif. Mandi yang biasanya menjadi kemewahan di gunung kali ini menjadi pilihan, dengan tawaran air panas belerang atau menceburkan diri ke sungai hasil limpahan danau. Pendakian Rinjani benar-benar memberikan kenikmatan luar biadab: jalur menantang dan puncak melelahkan yang ditebus dengan sauna alam, pemandangan indah, dan ikan bakar! Tak pelak lagi, inilah pendakian terbaik yang pernah saya rasakan.
Mendaki Untuk Pulang
19 Agustus 2008, pukul 07.00 setelah sarapan nasi goreng kami bergerak keluar menuju Plawangan Senaru. Perjalanan dimulai dengan menyusuri danau kemudian mendaki bukit. Pemandangan danau Segara Anakan dari atas benar-benar mempesona membuat perjalanan berkali-kali terhenti untuk mengambil gambar. Atau seperti kata Unyil: wah pemandangannya bagus yaa…menyehatkan…..untuk kaki.
Setelah melewati tebing batu yang diberi pengaman tali akhirnya sekitar pukul 11.15 kami tiba di puncak Plawangan Senaru. Dari atas puncak ini kami dapat melihat pemandangan danau, gunung baru, dan puncak Rinjani.
Pukul 12.00 siang, dibawah terik matahari kami menuruni jalanan berdebu menuju Senaru dengan rencana melewati 5 pos. Di bawah pos IV kembali saya terjatuh terpeleset karena sejenak bingung antara menancapkan pole atau kaki, akhirnya paha kiri yang terbuka tersayat panjang oleh tanah berpasir.
Setelah menuruni jalanan yang mirip selokan akhirnya kami tiba di Pos III. Gembel dan Jenggot yang berlari mendahului terlihat sudah menunggu. Beberapa saat kemudian rombongan besar tim datang dan langsung merebahkan diri di rumah panggung yang sudah penuh oleh turis mancanegara..
Pukul 14.00 saya, Gembel, Heru, dan Jenggot kembali berlari di depan menembus jalan yang mulai rimbun oleh pepohonan dan akar. Rombongan porter dan bang Ijaz sudah sedari tadi meninggalkan untuk bersiap menunggu di pos II atau Montong Atas.
Setengah jam kemudian saya tiba di pos II Montong Atas. Para porter terlihat sibuk memasak air. Di pos inilah terdapat mata air yang harus kami peroleh dengan susah payah karena debitnya yang kecil. Hampir satu jam kami semua menghabiskan waktu di pos ini, istirahat, minum teh, dan makan siang bersama.
Di pos ini kami bertemu dengan wisatawan Belgia yang menurut mereka ‘salah’ memilih paket wisata pendakian. Porter yang mereka sewa ‘menelantarkan’ rombongan sehingga tim kehabisan air dan perbekalan. Belum lagi keluhan masalah tenda yang tak layak huni (kabarnya Gembel sempat melihat tenda mereka terbang menuju tengah danau) dan menu makan yang tak sesuai. Kami sempat memberikan bantuan air ala kadanya karena kami sendiri kekurangan air. Beruntung saya sempat membawa Ibuprofen dan Voltaren untuk dibagikan pada salah satu yang terkilir lututnya.
Pukul 16.00 sore kembali kami meneruskan perjalanan menuju pos ekstra yang ditempuh dalam waktu 20 menit dan ke pos I dalam waktu yang sama. Lingkungan sekitar mulai rapat oleh pepohonan, kadang menjadi agak gelap. Pendaki harus berhati-hati dalam melangkah karena banyak akar pohon yang melintang. Menjelang pos terakhir sebagian besar anggota tim memilih untuk lari bersama menuruni jalan. Suasana menjadi ramai oleh gelak canda tim yang berlarian menuju perhentian akhir.
Akhirnya, magrib kami tiba di pintu masuk Senaru, tempat warung penduduk dan balai istirahat menanti. Semua tim tiba dengan selamat dan berkumpul di balai-balai memulihkan tenaga untuk menuju pos pendaftaran Senaru yang tinggal beberapa menit lagi. Tuntas sudah perjalanan panjang 4 hari 3 malam. Seluruh lelah dan waktu yang kami lewati terbayar oleh perjalanan yang luar biasa, apalagi saya pribadi yang berhasil mencapai puncak dan kembali dengan selamat. Rinjani, terimakasih atas sajianmu.
Dan kami harus segera pulang karena masih banyak puncak untuk didaki.
Penulis :
http://setapak.multiply.com/Source : gappala.com