+-

Video Silat

Shoutbox

30/12/2023 22:12 anaknaga: Mudik ke Forum ini.
Mampir dulu di penghujung 2023..
07/11/2021 17:43 santri kinasih: Holaaaaas
10/02/2021 10:29 anaknaga: Salam Silat..
Semoga Sadulur sekalian sehat semua di Masa Pandemi Covid-19. semoga olah raga dan rasa dapat meningkatkan daya tahan tubuh kita. hampur 5 tahun tidak ada yang memberikan komen disini.
23/12/2019 08:32 anaknaga: Tidak bisa masuk thread. dah lama tidak nengok perkembangan forum ini.
salam perguruan dan padepokan silat seluruh nusantara.
02/07/2019 18:01 Putra Petir: Akhirnya masuk jua... wkwkwk
13/12/2016 10:49 Taufan: Yuk ke Festival Kampung Silat Jampang 17-18 Desember 2016!!!
20/09/2016 16:45 Dolly Maylissa: kangen diskusi disini
View Shout History

Recent Topics

Berita Duka: Alamsyah bin H Mursyid Bustomi by luri
10/07/2022 09:14

PPS Betako Merpati Putih by acepilot
14/08/2020 10:06

Minta Do`a dan bimbingan para suhu dan sesepuh silat :D. SANDEKALA by zvprakozo
10/04/2019 18:34

On our book: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
13/03/2017 14:37

Siaran Radio ttg. Musik Pencak Silat di Stasiun "BR-Klassik / Musik der Welt" by Ilmu Padi
12/01/2017 16:19

Tentang buku kami: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
17/10/2016 20:27

Hoby Miara Jin by anaknaga
19/09/2016 04:50

TALKSHOW SILAT - Silat Untuk Kehidupan by luri
22/06/2016 08:11

Thi Khi I Beng by aki sija
17/08/2015 06:19

[BUKUTAMU] by devil
09/06/2015 21:51

Daftar Aliran dan Perguruan di Indonesia by devil
01/06/2015 14:01

SILAT BERDO'A SELAMAT by devil
01/06/2015 13:59

Persilatan Jurus Lima (Sabandar) by Marsudi Eko
14/05/2015 19:36

Kebugaran Merpati Putih by mpcrb
22/04/2015 16:16

PAWAI JAMBORE PENCAK 2015 by luri
20/04/2015 16:20

SilatIndonesia.Com

Author Topic: Wisata Gunung  (Read 4368 times)

Elang

  • Guest
Wisata Gunung
« on: 04/02/2008 21:05 »

Biar tambah seru, gimana kalo saya tambahkan Wisata petualangan terutama di Gunung, ayo2 siapa yg mau share duluan....

YwK

  • Guest
Re: Wisata Gunung
« Reply #1 on: 09/10/2008 09:17 »
Oleh : Paman
Seharian sudah kami menapaki bukit tetapi rasanya tak putus-putus tanjakan terus menghadang. Di depan dataran rumput mulai menggantikan hutan pinus dengan kabut sore menggumpal menyelimuti pucuk pepohonan dan berubah menjadi titik titik air ketika dihembus angin.

Tiba-tiba angin berembus kencang membuka tirai kabut tebal di depan dan terbentanglah pemandangan yang luar biasa: punggungan Rinjani yang disirami cahaya sore keemasan! Inilah titik yang menjadi tumpuan saya selama bertahun tahun, semua tenaga, uang, dan impian. Rinjani, akhirnya kulihat wajahmu.

Pukul 19.40 pesawat Mandala penerbangan RI579 meninggalkan Yogyakarta menuju Denpasar, Bali. Hati saya berdebar-debar tak sabar untuk memulai petualangan panjang ke Rinjani. Terhitung 3 tahun sudah saya tak menapakkan kaki ke pegunungan, terakhir adalah Gede 2005 bersama istri. Meski demikian bukan berarti saya pergi tanpa persiapan. Jogging teratur, diit sehat, menghindari zat polutan, dan belanja perlengkapan pendakian sudah jauh-jauh hari dilakukan.

Terkadang saya berpikir bahwa ‘gunung’ lah yang akan menentukan pendaki mana yang berhak mencapai puncaknya sehingga peralatan dan fisik yang hebat bukanlah segala-galanya. Saya sendiri berharap nantinya mampu mencapai puncak dan kembali ke rumah dengan selamat, sisanya tinggal berpasrah pada Yang Kuasa.

Pendakian kali ini diselenggarakan oleh komunitas pendaki Gappala.or.id yang baru beberapa bulan terakhir aktif saya kecimpungi. Sebagai organisasi terbuka di dunia maya tawaran pendakian Rinjani awalnya mendapat banyak respon, namun akhirnya tersisa 18 peserta dari seluruh Indonesia yang serius terlibat. Daerah Yogyakarta diwakili oleh saya, Paman Yudi, dan Heru ‘Gembel’, pendaki veteran yang usianya sepantaran, alias 30+. Sisanya adalah dari Jakarta, Bandung, Bali, Menado, dan Jawa Timur.

Kebanyakan dari kami baru saling jumpa wajah di Bali. Tentu saja mengumpulkan 18 anggota yang sebelumnya tak saling kenal menjadi pengalaman menyenangkan. Dibawah pendaki senior, Budi ’Jenggot’ dan moderator Jakarta, Abi, pendakian Rinjani kali ini mencoba menggapai puncak dengan dilabeli ‘Kemping Ceria Rinjani 2008’.

Persiapan di Bali diisi dengan belanja logistik tambahan, perbincangan tim, dan tentu saja wisata Bali yang eksotik. Meski tujuan utamanya adalah Rinjani namun masa transit di Bali yang cukup lama (1.5 hari) banyak dimanfaatkan anggota tim untuk berjalan-jalan termasuk belanja, makan-makan, wisata ke Kuta, GWK, dan Dreamland……benar-benar satu kayuh dua pulau terlampaui.

Lembar dan Pemberangkatan Sembalun.

Kelar semua urusan di Bali akhirnya malam 14 Agustus 2008 dua kendaraan yang membawa tim tiba di Padang Bai, pemberhentian terakhir ke Lombok via jalan laut. Gendon dan Jenggot berjalan mendahului kami memesan 17 lembar tiket seharga Rp 25.000 per orang. Setelah menunggu sekitar 1.5 jam akhirnya pukul 4.00 pagi ferry bertolak ke timur menuju pelabuhan Lembar.

Perjalanan melintasi selat ditempuh selama 4 jam tanpa kendala berarti kecuali kesibukan anggota tim mengambil adegan dari atas dek terutama ketika matahari menampakan diri di ufuk. Kamera, benar-benar menjadi medium kegilaan baru abad ini. Pukul 9.00 pagi ferry merapat di Lembar dan kami segera disambut oleh tim guest house ‘Hati Suci’ dengan guidenya yang sangat ramah, bang Ijaz.

Pelabuhan Lembar, selain menjadi pintu gerbang ke Lombok juga terkenal sebagai pelabuhan yang paling ‘keras’, para pemungut uang berkeliaran dimana-mana menawarkan tiket, terkadang memaksa membuat suasana sangat tidak nyaman. Gendon pernah berkisah tentang beberapa turis yang karena ketidaktahuannya akhirnya harus kehilangan seluruh bawaannya karena diseret seret calo yang menawarkan kendaraan. Bahkan aparat pelabuhan dan polisi pun tak berdaya menyelesaikan ratapan mereka. Sungguh pengalaman mengerikan.

Kali ini giliran kami sendiri yang mengalaminya!

Angkutan yang disediakan oleh guide kami ditahan oleh beberapa preman dengan alasan rombongan besar dari kapal hanya bisa diantar keluar oleh sopir anggota koperasi pelabuhan. Dan sopir kami bukan termasuk anggotanya. Mereka menyilakan barang keluar dari pelabuhan tetapi untuk penumpangnya harus menggunakan kendaraan yang telah ditunjuk.

Saling silang pendapat hampir menimbulkan keributan apalagi ketika jumlah mereka semakin banyak merubungi guide kami. Akhirnya, tak sabar dengan penyelesaian tak berujung, Jenggot masuk kedalam lingkaran menanyakan berapa harga yang mereka tawarkan agar kami bisa keluar. Mula-mula mereka memberikan angka Rp 15.000, tetapi berkat ketegasaan Jenggot akhirnya kami dilepas dengan harga per kepala Rp 10.000.

Benar-benar menyesakkan dada. Satu sisi mereka membutuhkan uang untuk hidup tetapi di sisi lain cara yang diterapkan membuat citra pelabuhan menjadi buruk. Apalagi Lembar juga menjadi satu-satunya pintu darat yang digunakan para turis mancanegara. Benar-benar negara yang ramah penuh budaya tinggi nan santun.

Kami sempat berhenti di Narmada untuk belanja sayuran dan ibadah Jum’at bagi yang melaksanakannya. Perjalanan kemudian diteruskan dengan sejenak turun di tengah jalan membeli buah nenas. Dengan Rp 10.000 pembeli memperoleh 3-4 butir nanas dalam satu ikatan. Jika anda berniat mendaki Rinjani tak ada salahnya membelanjakan beberapa puluh ribu untuk nenas yang dijamin memberikan sensasi kesegaran luar biasa dalam perjalanan nanti.

Setelah beristirahat makan siang, perkenalan dengan para porter, dan pembeberan rencana jalur pendakian di wisma Hati Suci, akhirnya angkutan engkel berjuluk ‘Putri Rinjani’ kembali meneruskan perjalanan mengantar kami ke pos pelaporan Sembalun. Entah kebetulan atau karena kami sendiri yang menyepakatinya, tim kali ini diberi nama ‘Putri Rinjani’, sebuah nama yang kelak benar-benar mewakili kecepatan tim.

Pendakian kami rencanakan melalui Sembalun dan turun di Senaru setelah beristirahat di danau Segara Anakan. Jalur ini relatif tidak terlalu berat ketimbang dari Senaru karena pendaki langsung menanjak menuju puncak tanpa perlu melewati danau. Alternatif lain adalah Torean yang kabarnya lebih berat dari Senaru dan Sembalu.

Belum lagi tiba di gunungnya kami sudah diberi suguhan perjalanan yang menantang. ‘Putri Rinjani’ yang kami tumpangi berliuk-liuk melewati jalanan menembus hutan dengan panorama yang indah sekaligus menegangkan. Hanya mereka yang berpengalaman mampu mengendalikan kendaraan dengan lancar. Sopir kami benar-benar menunjukkan ‘kelas’nya. Beberapa tanjakan tajam dilalap tanpa masalah dengan ketepatan memindah gigi yang presisi. Kami sempat bertemu L300 yang harus diganjal di tanjakan karena mogok atau mungkin karena terlambat memasukkan perseneling. Sepanjang perjalanan kami menjadi sangat gembira, teriakan dan tepuk tangan mengiringi setiap tanjakan yang tuntas dilahap sang sopir. Apalagi ketika beberapa rekan memilih duduk di atas kap bersama porter, wah, semakin heboh saja!

Ada satu hal menggelikan. Menjelang magrib kami melewati desa yang dikepung barisan gunung kanan kirinya. Pemandangannya sungguh luar biasa, matahari emas sore melapisi punggungan yang menjulang. Kami yang rata-rata belum pernah ke Rinjani sontak langsung tenggelam dalam yuforia membidikkan kamera ke salah satu gunung tertinggi di sebelah kanan. Rinjani, Rinjani, teriak kami….oohh indah sekali….kesana kami akan mendaki, begitu batin berkata. Ternyata setelah heboh sana sini, gunung yang kami kagumi tersebut bukanlah Rinjani melainkan gunung Anak Dara!

Usai rejistrasi di pos Sembalun kami meneruskan perjalanan ke satu desa dekat Sembalun menuju salah satu titik pemberangkatan pendakian. Pukul 18.00 tanggal 15 Agustus 2008 dimulailah perjalanan panjang tim ‘Putri Rinjani’ menuju persowanan agung dengan Dewi Anjani.

Keberangkatan Sembalun

Cahaya Tikka XP membelah kegelapan malam mengikuti langkah Jenggot si pemimpin jejak. Kami berjalan menembus jalan desa, tanah pertanian, dan hutan yang cukup lebat. Malam ini kami rencanakan menuju pos II untuk berhenti bermalam. Saya sendiri berharap kami semua mampu mencapai target atau lebih bagus lagi pos III agar sisa perjalanan esoknya tak terlalu jauh.

Menjelang pukul 21.00 kami melintasi padang rumput yang luas. Sinar rembulan menyisakan pemandangan remang yang menggetarkan. Sejauh mata memandang hanya rumput yang terbentang dengan barisan gunung membatasi ufuknya. Akhirnya di kegelapan malam kami tiba di pos I, sebuah bungalow tanpa dinding yang ternyata sudah dihuni tim lain. Kami sempat berencana meneruskan ke pos berikutnya karena tidak ada tempat yang tersisa. Bersama porter saya berjalan ke depan mencari pos II yang kabarnya tak terlalu jauh berdiri. Ternyata pimpinan memutuskan untuk bermalam di pos I setelah berhasil meratakan rumput untuk didirikan tenda. Sesuai kesepakatan saya tidur satu tenda dengan Gembel, Koko, dan Abi. Tenda Sierra Design yang saya bawa ditempati dua ‘putri’ dalam tim kami, Anggi dan Citra.

Sabtu pagi, 16 Agustus 2008, usai urusan buang dan isi tenaga (Ipood yang saya bawa benar-benar berfungsi maksimal) kami segera membongkar tenda berkemas siap berangkat. Pukul 09.00 pagi setelah pengambilan gambar perjalanan diteruskan menuju Plawangan Sembalun. Perjalanan siang melintasi padang rumput ternyata cukup menyiksa. Padahal ia terlihat begitu ramah di malamnya. Tidak ada tempat berlindung dari terik matahari, hanya dataran naik turun yang harus kami hadapi dengan bentangan rumput setinggi paha. Untungnya saya telah mengoleskan sunblock SPF30 ke sekujur badan untuk menghindari sengatan tropis yang garang. Panorama sekitar tiba-tiba mengingatkan salah satu screen saver Windows yang berupa gundukan padang rumput. Atau barangkali sabana di Arika, ketika saya bersafari berburu rusa belang di padang…..eh maaf yang ini ngibul.

Kami melewati beberapa jembatan permanen diatas jurang yang sekaligus dijadikan tempat istirahat para pendaki. Konon, dahulu jembatan tersebut dibangun pemda setempat untuk menyambut pejabat pusat yang menuju, entah, Rinjani atau Segara Anakan. 30 menit berjalan akhirnya kami bertemu dengan pos II yang terletak dekat jembatan.

Jalur Sembalun hari itu cukup ramai. Beberapa kali porter dan rombongan pendaki baik wisman maupun wisnu mendahului kami. Pergerakan tim yang lambat menyebabkan kami harus berhenti sejenak memberi jalan pada rombongan lain untuk mendahului. Akhirnya setelah beberapa tanjakan kami tiba di sebuah cerukan sungai kering yang lebar tempat pos III berada. Porter yang mendahului kami telah memasak air untuk minum.

Pos III adalah pos persimpangan yang pendaki dapat memilih salah satunya, yakni ‘Tanjakan Penyesalan’ atau ‘Tanjakan Derita’. Masing-masing tentu ada konsekuensi sesuai namanya. Jika memilih ‘Penyesalan’ maka pendaki akan dihadapkan tanjakan dan bukit yang tak habis sehingga di tengah perjalanan seolah timbul penyesalan kenapa harus mendaki ke Rinjani. Jika memilih ‘Derita’ maka pendaki akan menelusuri jalur sungai kering menuju Plawangan Sembalun dengan penuh ‘penderitaan’ karena medannya yang menyiksa. Sama-sama pilihan tak enak. Tapi inilah ciri khas trek Rinjani, yang menjadi salah satu trek terbaik seAsia tenggara. Akhirnya kami memilih ‘Tanjakan Penyesalan’, sebuah pilihan yang tak pernah saya sesali.

Dalam perjalanan menuju pos IV atau Pelawangan Sembalun, melalui hp tim mengirim pesan singkat ke Gendon yang kelak akan menunggu kami di danau untuk menambah logistik beras, gula, dan teh. Beruntung mobile di tangan masih cukup memiliki pulsa dan tenaga sehingga saya bisa melakukan kontak langsung dengan Gendon. Sinyal Simpati ternyata cukup kuat mencapai pos III.

Perjalanan Tanjakan Penyesalan benar-benar mengesankan. Kami harus mendaki perbukitan dan ketika tiba di puncaknya masih ada bukit lain menanti untuk didaki. Demikian terus menerus. Beruntung kabut mulai turun sehingga mendinginkan suasana siang. Vegetasi sekitar juga mulai berganti dari rerumputan menjadi campuran pohon pinus.

Saya berusaha mengejar porter tim yang seolah memiliki nafas kuda. Bayangkan saja, dengan memanggul kayu yang dibebani bawaan di ujung kanan kirinya mereka mampu berjalan cepat mendaki tanjakan. Beberapa kali saya bertemu mereka tengah bersantai karena terlalu lama menunggu kami yang bergerak bak siput. Agaknya saya harus makan rumput agar bisa mengejar mereka.

Pergerakan tim terasa lamban. Hal ini dapat dimaklumi mengingat kami adalah sebuah tim yang baru terbentuk dua hari lalu di Bali. Masing masing tidak saling mengetahui kekuatan fisiknya sehingga sulit untuk mengatakan siapa yang membuat lambat tim. Namun akhirnya, terlepas dari fungsi beberapa anggota tim, ibarat seleksi alam, tanjakan ini kemudian ‘memilih’ pendaki mana yang kuat dan sebaliknya. Salah satu anggota tim bahkan harus dibawakan bebannya, ditandem ke pendaki lain.

Pukul 17.00 lebih angin kencang akhirnya menguak selimut kabut di atas pepohonan memunculkan panorama luar biasa, punggungan puncak Rinjani yang gersang. Di sanalah 3,726m sabar menanti para pendaki. Tak berapa lama sampailah kami di sebuah dataran berpasir yang menjadi pelataran kaki Rinjani. Di lokasi ini angin bertiup kencang sehingga hanya vegetasi perdu yang mampu bertahan. Tanpa menyia-siakan kami segera mengeluarkan kamera sibuk mengambil gambar atau sekedar minta tolong mengambilkan gambar. Cahaya keemasan sore hari terasa makin mendramatisir suasana, menghibur tubuh kami selepas tanjakan. Ibarat makan siang maka pemandangan sore ini adalah santapan pencuci mulut yang segar.

Pak, dimana tenda kita pak, saya bertanya ke salah satu porter tersisa.

Itu, sebentar, di balik bukit, ujarnya dengan santai.

Astagaa…masih dua bukit lagi??? Halaah….ternyata masih jauh! Terpaksa sarapan tanjakan dilahap lagi.

Sekitar magrib akhirnya kami tiba di sebuah dataran pasir bertingkat tingkat yang sudah dipenuhi tenda pendaki. Pada salah satu punggungan berdirilah tenda kami bergoyang goyang diterpa angin yang bertiup kencang. Kabarnya monyet banyak berkeliaran di daerah ini mengais sisa makanan dan terkadang ‘merampok’ tenda yang tak dijaga.

Saya mulai mempersiapkan diri untuk pendakian puncak dini nanti. Peralatan yang dibawa adalah hydrobag dengan kapasitas 1,5L air, kamera, pisau lipat, headlamp, dua bungkus biskuit, 5 Snickers, dan 5 energy bar. Sebagai pasokan karbohidrat saya dan Gembel menyantap nasi kari instan, mie yang dicampur telur asin, dan minuman hangat instan. Saya sendiri masih menambahkan bubur oatmeal dan sup krim, pokoknya cadangan lemak di ‘bum bag’ harus penuh untuk menghadapi hari besar esoknya.

Tenda kami sempat kedatangan tamu tim putri yang menyantap nasi campur kacang hasil olahan porter. Perbincangan malam menjadi lebih hangat dalam desak-desakan tenda. Nasi yang tak habis mereka santap akhirnya menjadi penutup makan malam. Pukul 21.00 saya mulai meringkuk dalam sleeping bag beralas thermarest menunggu dini hari.


YwK

  • Guest
Re: Wisata Gunung
« Reply #2 on: 09/10/2008 09:19 »
Puncak atau Tidak Samasekali

Minggu 17 Agustus 2008, menjelang subuh sayup sayup terdengar suara Jenggot membangunkan tim untuk bersiap ke puncak atau lazim disebut summit attack. Dari balik sleeping bag saya melirik arloji, pukul 3.30, terlambat 30 menit dari rencana awal. Saya bergegas bangun mempersiapkan diri. Tiga rekan setenda, Gembel, Koko, dan Abi terlihat mulai bergerak.

Suhu terasa tak terlalu dingin dan angin sedikit mereda. Namun untuk mengantisipasi windchill di puncak saya menambahkan lapisan baju diatas kaos polypropylene yang sudah dari kemarin dikenakan. Bagian tulang rawan di kepala saya tutupi dengan beanie lalu sarung tangan fleece untuk membungkus jemari. Sebagai pelindung luar adalah jaket berbahan softshell. Kaos kaki saya ganti dengan paduan wool polyester yang tebal dan hangat.

Beberapa saat kemudian di bawah pimpinan porter Amaq Misrianto rombongan perlahan merayap menuju kaki puncak dengan diterangi sinar rembulan. Cahaya headlamp di kepala seolah bersaing dengan bulan yang diramalkan akan mengalami gerhana subuh ini.

Tim bergerak dengan lamban. Beberapa kali terdengar teriakan dari belakang untuk menahan kecepatan. Saya yang menguntit Amaq Misrianto terpaksa berhenti menunggu setiap kali terdengar perintah dari barisan belakang. Jam telah menunjukkan pukul 4.30 pagi dan tim masih berkutat di vegetasi rumput pasir. Pada ketinggian sekitar 3,500m, di daerah bersimpangan jalur yang sudah ditutup, akhirnya tim berhenti untuk menyamakan langkah.

Begitu tim kembali bergerak saya bergegas lari mendahului rekan-rekan, terus memacu kaki yang sudah ‘panas’ menuju puncak. Sebelumnya saya telah berdiskusi dengan Amaq Misrianto untuk memastikan jalur dan kondisi ke puncak sehingga cukup yakin untuk berjalan sendiri mendahului tim.

Dengan cepat rombongan besar tim tertinggal di belakang. Tiba-tiba di belakang terlihat cahaya berpendar mengikuti, ternyata headlamp dari Gembel yang menyusul. Sejenak kami terlibat pembicaraan mengenai situasi dan keputusan ke puncak, akhirnya dengan tekad bulat kami berdua sepakat meneruskan langkah menuju puncak. Gerhana rembulan yang biasanya menjadi pemandangan menarik terpaksa kami abaikan. Ada agenda lebih penting ketimbang menyaksikan bulan ditelan Betara Kala.

Kami terus memacu langkah menapaki jalanan berpasir lunak ditengah terjangan angin yang kembali bertiup kencang. Menjelang matahari terbit angin semakin keras bertiup. Kami sempat berpapasan dengan beberapa pendaki Barat yang turun karena cuaca tidak memungkinkan untuk mendaki.

Jalan pasir perlahan mulai digantikan oleh batuan kecil, dan akhirnya berubah menjadi campuran batuan besar dan pasir vulkanik. Daerah inilah yang terasa berat. Setiap dua langkah tubuh terseret kebelakang selangkah. Demikian terus berulang membuat tenaga makin terkuras. Beberapa kali saya mencoba menyiasati dengan menginjak batuan padat di igiran terjal atau mengikuti jejak telapak pendaki sebelumnya yang sudah memadat. Hanya sesaat bertahan, sisanya kembali ke mode 2 langkah mundur 1. Beruntung saya memegang trekking pole sehingga bisa membantu keseimbangan dan kecepatan langkah.

Pukul 7.30 tiba-tiba saya merasa gamang. Saya teringat ucapan porter di bawah, jika pendaki belum sampai ke puncak pukul 8 atau 9 maka sebaiknya pendakian diundur karena ancaman bahaya angin. Tidak ada ruang berlindung di punggungan terbuka ke puncak. Saya sempat mendiskusikan hal tesebut ke Gembel dan ia dengan semangat berusaha meyakinkan bahwa kita berdua mampu tiba di puncak pada waktunya. Yang penting pelan-pelan saja, ujarnya pagi itu.

Akhirnya setelah mengevaluasi perbekalan, kekuatan fisik, dan perlengkapan yang dibawa, saya putuskan untuk terus melaju perlahan. Puncak barangkali bukan apa-apa bagi sebagian orang, tetapi saya sudah melakukan investasi cukup besar untuk sampai Rinjani, rasanya terlalu sayang untuk dibiarkan begitu saja. Keputusan untuk terus naik bukanlah sekedar keputusan terburu-buru atau sekedar memuaskan hawa nafsu melainkan berdasar pertimbangan kondisi obyektif dan subyektif kami berdua. Keputusan yang kemudian tidak pernah kami sesali.

Menjelang 08.00 pagi Gembel mulai mengeluhkan jemarinya yang terasa menggigit, cekut cekut orang jawa bilang. Saya yang terbiasa dengan hawa dingin hafal betul dengan gejala tersebut, frostbite awal. Biasanya menyerang bagian tulang rawan dan tangan. Gembel memperlihatkan kaos tangannya yang ‘cukup’ berventilasi, yang menjadi penyebab rasa ditusuk jarum. Beruntung sarung tangan yang membungkus jemari saya masih mampu menahan angin dan dingin. Saya perkirakan suhu ketika itu berkisar 10-15°C tetapi ketika dicek, sungguh mengejutkan. Suhu di balik batu ternyata telah anjlok mencapai 4-5°C, dan lebih rendah lagi di tempat terbuka!

Boleh dibilang suasana ketika itu seperti konser di atas panggung, angin menderu deru dari sebelah kiri disertai hembusan kabut yang mirip kapas menabrak mereka yang mencoba berjalan di tempat terbuka. Belakangan Jenggot memperlihatkan bidikan kamera saat puncak diterjang badai yang membuat saya bergidik. Terlihat kabut tebal menggumpal di sekitar puncak membentuk semacam topi (?). Tak terbayangkan saat itu kami berdua tengah di dalamnya terhuyung-huyung menuju puncak.

Kami sempat beristirahat sejenak mengunyah biskuit Timtam padat bersalut coklat. Bagaikan disulut bensin saya merasa badan kembali penuh tenaga. Sebelum naik kami berpapasan dengan turis Jepang yang menginformasikan bahwa puncak tinggal 20 menitan lagi ke atas.

Sekitar 50 meter dari atas kami terlihat cerukan batu yang cukup terlindung. Kami kemudian sepakat menjadikannya titik tujuan berikut. Jalanan sekitar mulai digantikan kerikil padat kekuningan, tipikal batu belerang. Pukul 08.23 akhirnya kami terduduk di balik batu besar. Di sebelah kanan kami terlihat tong sampah yang terjepit bebatuan. Rupanya inilah daerah yang disebut ‘tong sampah’, yang berarti puncak sudah dekat. Di depan kami berserakan beberapa perbekalan dan ransel milik tim lain yang ditinggalkan ke puncak. Kembali saya membuka bekal biskuit untuk mendorong kaki ke puncak. Tak berapa lama dari atas muncullah seorang lelaki, agaknya penduduk lokal, yang baru turun dari puncak menawarkan bekal yang dia tinggalkan di sekitaran kami. Ternyata benar, menurut pendaki tadi puncak sudah tak terlalu jauh, tinggal beberapa menit di depan. Tak mau menunggu lama saya bergegas bangkit menuju atas.

Kabut masih terlihat tebal namun jalanan mulai memadat memudahkan perjalanan. Saya berjalan di depan sendirian, setengah berlari, karena jalanan yang cukup aman untuk dijejaki. Tak sampai lima menit akhirnya saya tiba di sebuah dataran sempit yang dikeliling jurang kanan kirinya. Tak ada lagi jalan, buntu, astaga…akhirnya sampai di puncak, 3.726m!

Tidak ada kata terucap selain puji syukur pada Illahi dan mata nanar memandang tak percaya lingkungan sekitar. Angin berhenti bertiup meski kabut tebal masih menyelimuti pandangan ke bawah. Arloji menunjukkan pukul 08.25.

Setidaknya ada 3 tim yang saat itu tiba di puncak. Satu tim berbaju putih Du pont Tyvek terlihat bersiap menuruni puncak, tim berikut dari Mataram yang sedang bersujud syukur dan terakhir saya yang masih sendirian terbengong-bengong menjadi tim ketiganya. Tak berapa lama muncul Gembel dari belakang yang segera saya sambut dengan salam khas pendaki, atau kata rekan kami Wahyu: jabat erat .

Puas merekam suasana, pukul 8.50 kami bergegas turun kembali ke basecamp. Angin dan kabut perlahan pupus digantikan matahari, siap memanggang pendaki yang kesiangan. Pukul 09.10 kami berpapasan dengan rekan lain, Koko dan Adi yang sedang duduk beristirahat. Di belakangnya terlihat Rendi dan Karim menyusul. Kami meninggalkan mereka dengan informasi puncak yang tinggal selangkah lagi.

Perjalanan pulang terpaksa tertunda berkali-kali karena pesona Rinjani sangat sayang dilewatkan. Beberapa jeperetan untuk sejarah dan kekaguman alam yang luar biasa. Sisanya adalah berlari terus menuruni bukit berpacu dengan terik matahari.

Dua jam kemudian atau sekitar pukul 11.00 akhirnya kami berdua mencapai basecamp Plawangan. Ucapan selamat kami terima dari beberapa rekan, namun teriknya mentari memaksa kami untuk segera masuk tenda berlindung memulihkan sisa semangat yang masih menggelegak. Satu setengah jam kemudian menyusul rombongan Koko dkk.

Segara Anakan

Sekitar pukul 14.00 setelah semua tim berkumpul dan mengepak perlengkapan kami mulai bergerak menuju danau Segara Anakan. Kami melewati jalanan berbatu yang terus menurun dengan vegetasi rerumputan di kanan kirinya. Beruntung saat itu kabut menyelimuti jalan sehingga cukup mendinginkan kulit. Kembali pergerakan tim tersendat-sendat. Saya mencoba menahan diri untuk berada di barisan belakang bersama porter Amaq Misrianto dan anaknya yang sedang ‘magang’ menjadi porter.

Perjalanan demikian membuat saya frustasi karena harus berhenti, menahan lutut, lalu duduk menunggu antrian di depan. Padahal jika terlalu lama menunggu tubuh akan terasa dingin dan ‘kehilangan’ kekuatan yang sudah terkumpul sebelumnya. Perlahan saya, Gembel, Koko dan 2 porter bertahan menunggu di belakang hingga setengah jam lalu kembali berlari menuruni jalan……untuk kembali bertemu antrian rombongan besar…….halaahh.

Tak mau terus tertunda akhirnya kami berlima meminta ijin ketua rombongan, Jenggot, untuk lari mendahului. Begitu memperoleh ijin kami bergegas mendahului rombongan. Bagaikan adu balap kami berlari menuruni jalanan, kaki melompat menjejak batu, injak rumputan padat, meloncati akar. Beberapa rombongan berhasil kami dahului. Akhirnya pada satu titik saya kehilangan keseimbangan terpeleset karena salah menginjak rumput lunak dan gedebrugggg….!!! terbantinglah onggokan seberat 75kg (60+15)….haahhh….. Untung hanya lecet di bagian lutut. Tak urung peristiwa tersebut membuat kecepatan saya melambat.

Di sebuah jalanan yang agak datar kami bertemu dengan bang Ijaz (guide yang kami sewa) dan porternya. Rupanya beliau sudah menunggu kami beberapa jam lalu di danau karena ia mengira kami akan turun pukul 10.00. Karena khawatir beliau akhirnya menyusul kami. Di tempat ini saya berpisah dengan Gembel yang terus melaju sendirian di depan. Tak berapa lama saya kembali menyusul Gembel meninggalkan bang Ijaz dan Koko yang memutuskan menunggu rombongan lainnya di belakang.

Suasana saat itu terasa sangat mempesona. Saya menikmati kesendirian menyusuri setapak yang dipenuhi rerumputan sementara di kejauhan terlihat rerimbunan pohon bergerombol menyesaki bukit. Beberapa kali kabut turun membasahi jalan dan mengheningkan suasana. Boleh dibilang inilah suasana yang selalu saya rindukan: kesendirian, keheningan, dan kemurnian alam.

Di persimpangan jalan akhirnya saya bertemu dengan Gembel yang sedang santai bersama Gendon dan Unyil. Bagaikan sahabat lama kami terlibat pembicaran hangat melepas lelah. Perjalanan makin mengasyikkan karena danau Segara Anakan mulai terlihat dari balik perbukitan. Unyil yang berjalan pelan tertinggal di belakang dan bergabung dengan rombongan porter.

Pukul 17.30 kami tiba di pinggiran danau yang sudah dipenuhi tenda dan para pemancing. Sesuai pesan Edo, porter yang dibawa bang Ijaz, kami masih harus menuju ke seberang danau tempat tenda tim akan didirikan.

Setelah bersusah payah, saya, Gembel, dan Gendon tiba di seberang danau menunggu para porter yang tertinggal di belakang. Gembel sempat membeli beberapa ekor ikan dari pemancing yang ditemui di jalan. Saya sudah membayangkan malam ini akan menyantap ikan segar langsung dari sumbernya. Menjelang gelap Edo sang porter baru muncul memberi kabar manis: tenda didirikan di pintu masuk danau, yang berarti kami bertiga harus kembali berputar balik mengitari danau!

Kami menghabiskan 2 malam di tepian danau menikmati keindahan Segara Anakan. Sarapan mulai berjalan teratur, pagi, siang dan malam dengan menu yang cukup variatif. Mandi yang biasanya menjadi kemewahan di gunung kali ini menjadi pilihan, dengan tawaran air panas belerang atau menceburkan diri ke sungai hasil limpahan danau. Pendakian Rinjani benar-benar memberikan kenikmatan luar biadab: jalur menantang dan puncak melelahkan yang ditebus dengan sauna alam, pemandangan indah, dan ikan bakar! Tak pelak lagi, inilah pendakian terbaik yang pernah saya rasakan.

Mendaki Untuk Pulang

19 Agustus 2008, pukul 07.00 setelah sarapan nasi goreng kami bergerak keluar menuju Plawangan Senaru. Perjalanan dimulai dengan menyusuri danau kemudian mendaki bukit. Pemandangan danau Segara Anakan dari atas benar-benar mempesona membuat perjalanan berkali-kali terhenti untuk mengambil gambar. Atau seperti kata Unyil: wah pemandangannya bagus yaa…menyehatkan…..untuk kaki.

Setelah melewati tebing batu yang diberi pengaman tali akhirnya sekitar pukul 11.15 kami tiba di puncak Plawangan Senaru. Dari atas puncak ini kami dapat melihat pemandangan danau, gunung baru, dan puncak Rinjani.

Pukul 12.00 siang, dibawah terik matahari kami menuruni jalanan berdebu menuju Senaru dengan rencana melewati 5 pos. Di bawah pos IV kembali saya terjatuh terpeleset karena sejenak bingung antara menancapkan pole atau kaki, akhirnya paha kiri yang terbuka tersayat panjang oleh tanah berpasir.

Setelah menuruni jalanan yang mirip selokan akhirnya kami tiba di Pos III. Gembel dan Jenggot yang berlari mendahului terlihat sudah menunggu. Beberapa saat kemudian rombongan besar tim datang dan langsung merebahkan diri di rumah panggung yang sudah penuh oleh turis mancanegara..

Pukul 14.00 saya, Gembel, Heru, dan Jenggot kembali berlari di depan menembus jalan yang mulai rimbun oleh pepohonan dan akar. Rombongan porter dan bang Ijaz sudah sedari tadi meninggalkan untuk bersiap menunggu di pos II atau Montong Atas.

Setengah jam kemudian saya tiba di pos II Montong Atas. Para porter terlihat sibuk memasak air. Di pos inilah terdapat mata air yang harus kami peroleh dengan susah payah karena debitnya yang kecil. Hampir satu jam kami semua menghabiskan waktu di pos ini, istirahat, minum teh, dan makan siang bersama.

Di pos ini kami bertemu dengan wisatawan Belgia yang menurut mereka ‘salah’ memilih paket wisata pendakian. Porter yang mereka sewa ‘menelantarkan’ rombongan sehingga tim kehabisan air dan perbekalan. Belum lagi keluhan masalah tenda yang tak layak huni (kabarnya Gembel sempat melihat tenda mereka terbang menuju tengah danau) dan menu makan yang tak sesuai. Kami sempat memberikan bantuan air ala kadanya karena kami sendiri kekurangan air. Beruntung saya sempat membawa Ibuprofen dan Voltaren untuk dibagikan pada salah satu yang terkilir lututnya.

Pukul 16.00 sore kembali kami meneruskan perjalanan menuju pos ekstra yang ditempuh dalam waktu 20 menit dan ke pos I dalam waktu yang sama. Lingkungan sekitar mulai rapat oleh pepohonan, kadang menjadi agak gelap. Pendaki harus berhati-hati dalam melangkah karena banyak akar pohon yang melintang. Menjelang pos terakhir sebagian besar anggota tim memilih untuk lari bersama menuruni jalan. Suasana menjadi ramai oleh gelak canda tim yang berlarian menuju perhentian akhir.

Akhirnya, magrib kami tiba di pintu masuk Senaru, tempat warung penduduk dan balai istirahat menanti. Semua tim tiba dengan selamat dan berkumpul di balai-balai memulihkan tenaga untuk menuju pos pendaftaran Senaru yang tinggal beberapa menit lagi. Tuntas sudah perjalanan panjang 4 hari 3 malam. Seluruh lelah dan waktu yang kami lewati terbayar oleh perjalanan yang luar biasa, apalagi saya pribadi yang berhasil mencapai puncak dan kembali dengan selamat. Rinjani, terimakasih atas sajianmu.

Dan kami harus segera pulang karena masih banyak puncak untuk didaki.

Penulis : http://setapak.multiply.com/
Source : gappala.com

Dodol Buluk

  • Moderator
  • Pendekar Madya
  • **
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 1
  • Posts: 1.081
  • Reputation: 25
  • Alone but never lonely
    • Email
Re: Wisata Gunung
« Reply #3 on: 09/10/2008 09:46 »
waaahh..nama pemerannya kok familiar dengan kuping aye yah...Jenggot,Gembel, Koko...kayaknya nama panggilan aje ye, dulu waktu kuliah aye sempet kenal ma para PA (pecinta alam)UKM,

wah..yuuukkk Hiking....

d'boels
"Jangan pernah bilang kagak kalo kagak pernah bilang jangan"

 

Powered by EzPortal