Salam,...
Sekedar buka wawasan kebudayaan...
Tidak bisa dipungkiri bahwa negeri ini dibangun dari tetesan darah, keringat dan air mata. Tatkala Nusantara masih terdiri dari beberapa kerajaan, tidak sedikit pertempuran demi pertempuran dilakukan untuk saling menaklukan terlepas dari alasan pembelaan martabat harga diri atau kekuasaan belaka.
Bagian terkecil dari pertempuran yang hanya menyisakan dua orang yang saling berhadapan untuk saling mengalahkan disebut duel. Biasanya hal ini dilakukan apabila keadaan pertempuran berimbang, dan yang melakukan duelpun hanya sebatas kepala pasukan atau panglima yang disegani. Duel di zaman ini ditentukan untuk kemenangan akhir dari pertempuran yang tidak kunjung usai (contoh: duel antara Syekh Magelung dengan seorang Raja Galuh yang sebelumnya jimat Raja Galuh dicuri terlebih dahulu oleh Nyi Mas Gandasari atas perintah Sunan Gunung Jati).
Keberadaan perkelahian dua orang ini kian berkembang seiring perkembangan zaman, pun dengan alasan yang menyer--nya. Sebagian orang menganggap duel sebagai jalan akhir dari pembelaan harga diri pribadi dan keluarga.
Di tiap daerah Indonesia dikenal dengan beberapa istilah, di Madura dikenal dengan Carok, carok merupakan berduel secara ksatria satu lawan satu dengan menggunakan celurit sebagai senjata tajamnya. Carok biasa dilakukan ketika seseorang merasa dipermalukan dan harga dirinya dilecehkan. Maka, penyelesaian yang terhormat adalah dengan melakukan duel / bertarung.
Penghinaan kepada harga diri yang mencakup anak, isteri dan tanah taruhannya adalah carok. Terutama pelecehan terhadap seorang isteri, bagi pria Madura keberadaan isteri adalah keberadaan dirinya. Harga diri di atas segalanya karena kalaupun hidup akan menangung malu, sebagaimana perkataan “Ango’an poteya tolang etembang poteya mate” (lebih baik berputih tulang [mati] daripada berputih mata [menanggung malu]).
Adalah hal yang wajar bagi pria Madura yang tewas dalam carok, sebagaimana prinsipnya: “Oreng lake’ mate acarok, oreng bine’ mate arembi (laki-laki mati karena carok, perempuan mati karena melahirkan)”. Jika ada lelaki Madura yang penakut (tako’an) akan diledek oleh kaum perempuan, Kaum perempuan biasanya menyindir tako’an dengan ungkapan, ’’Sayang, saya perempuan, andai memiliki buah zakar sebesar cabe rawit saja aku akan melakukan carok.’’
Seseorang layak dianggap sebagai Blatter jika seringnya menang dalam carok, tapi menang secara ksatria berhadapan yang disebut Ngonggai bukan mencuri dari belakang atau Nyelep.
Belakangan alasan harga diri bukan jadi satu-satunya pembelaan, dendam karena salah satu keluarganya tewas dalam ber carok menjadi tradisi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Karena tidak ada kata resolusi penyelesaian akhir dipertikaian ini. Berbeda dengan adat Sitobo dari Bugis Makasar, dalam duelnya terdapat maddeceng atau mabajji sebagai penyelesaian akhir.
Biasanya sebelum melakukan duel terdapat ritual yang berbeda dari tiap daerah, masing-masing mempunyai karakteristik yang unik. Suku sunda wiwitan zaman dulu sebelum melakukan duel berkaca di atas air sungai, jikalau wajahnya tampak maka dia akan memenangkan pertarungan. Sebaliknya jika tidak nampak dipastikan dia akan kalah dalam pertarungan. Ritual seperti itu di sunda wiwitan kini sudah tidak dapat dijumpai lagi, dimungkinkan karena pergeseran nilai budaya yang bersinggungan dengan kebudayaan lingkungan disekitarnya, atau bisa jadi karena air sungai zaman sekarang yang sudah tidak lagi jernih, jadi agak sulit menentukan menang atau kalah dalam pertarungan….
Belum terhitung lagi dari beberapa suku lainnya di Indonesia, mungkin ada yang mau menambahkan?
Jadi wajar kalau saya bertanya apakah “Duel itu tradisi kita atau tradisi kita duel…”?
Tabe’…Jali