...belum pernah melakoni; belum pernah juga tahu isi atawa liat syair asli sastra jendra...yang kubaca cuman tafsiran aja,
itu pun agak beda-beda dari satu penulis ke penulis lainnya...binun sendiri mana yang bener....
Sedulurs,
Biasanya Sastra Jendra itu dikatakan sebagai kebailkan Sastra Cetha, artinya memang Sastra Jendra itu gak dituliskan.
Dalam pewayangan, dikisahkan dalam lelakon Alap-Alapan Sukesi yang terus berlanjut menjadi Bedah Ngalengka. Link-link yang disediakan Gus Sosro Birowo itu memberikan interpretasi pada kisah Ramayana Jawa yang membabar Sastra Jendra itu.
Petunjuk Mas Don yang berwujud pertanyaan filosofis, dalam tradisi Jawa biasa disebut sebagai "Sangkan paraning dumadi" atawa "dari mana dan akan ke mana seluruh Ciptaan ini" , tentunya di situ setiap orang yang merenungkan juga harus menjawab akan berbuat apa di dalam hidupnya.
Secara tradisi, perenungan ini khusus disyaratkan kepada para magang Raja dan para magang pujangga terutama saat memasuki akil baligh, dan biasanya disertai dengan retret-retret ke tempat sepi dan perjalanan ke desa-desa yang dikenal sebagai 'njajah desa milang kori' atau mengenali desa dan menghitung pintu (sensus).
Sambil berjalan itu direnungkan 'sangkan paran' dan dirumuskan jalan hidup agar pengabdian hidupnya berdasarkan perenungan kokoh dan tiada penyesalan di kemudian hari.
Apapun jalan yang ditempuh haruslah jalan Cinta, meskipun itu jalan dendam seperti ditempuh oleh Rama Parasu yang bersumpah membunuh setiap ksatria yang dijumpai.
Dia demikian mencintai dendamnya hingga akhirnya berjumpa dengan Rama Wijaya hingga lebur di dalam Cinta, tewas diujung panah Guwawijaya dan diterima juga oleh Hyang Murbeng Jagad sebab dia sesungguhnya adalah Wisnu juga yang bertugas membersihkan kasta ksatria dari kotoran takut dan malas.
Tahap-tahap Cinta yang disinggung Mas Sosro, olahan pilsup Yunani, dari Eros sampe Agape, ada bandingannya dalam budaya Jawa dan dalam lelakon Alap-Alapan Sukesi juga, yakni ke empat nafsu, alwamah, supiah, amarah dan muthmainah.
Ke empat nafs ini merupakan syarat hidup tetapi kalau ada yang lari sendiri dan menjadi terlalu kuat akan membunuh yang lainnya seperti Rahwana (amarah) membunuh Gunawan Wibisana (Muthmainah).
Masalah ini juga dikisahkan dalam kisah Bharatayuda versi Jawa, di mana ke empat nafs itu dilambangkan ke empat kuda kereta perang Arjuna yang berwarna hitam, kuning, merah dan putih.
Menjawab Bung Antara, setiap orang mau tak mau pasti menapaki jalan Sastra Jendra karena setiap orang mesti melakukan segala sesuatu dengan cinta dan kesadaran kalau mau bermakna hidupnya.
Yang menyadari dan mempelajari dengan melakoni, bisalah sampe dahsyat menjadi seperti Mbah Marijan atau Bung Karno. Yang diem-diem juga bisa dahsyat namun tersembunyi.
Yang berkomunitas bisa berguna seperti komunitas SS ini.
Yang tidak sadar dan tidak melakoni memang akan merugi.
Boleh direnungkan ayat suci yang berbunyi:
Wa nafsiw wamaa sawwaahaa
Fa-alhamaha fujuurohaa wa taqwaahaa
Qad aflaha man zakkaahaa
Wa qod khooba man dassaahaa(QS. As-Syams 7-10)
Yang artinya menurut catatan saya kurang lebih:
......
Demi nafs dan penyempurnaannya,
Allah mengilhamkan durhaka dan takwa,
Sungguh beruntung orang yang mensucikannya,
Sungguh merugi orang yang mengotorinya,
........
Yang dikehendaki adalah membersihkan dan membeningkan nafsu bukan meniadakannya sebab tanpa nafsu tak ada nafas.
Mensucikan nafs adalah dengan mengabdikannya kepada Tuhan dengan tampa pamrih. Itulah (salah satu) teori Sastra Jendra dari budaya Jawa yang sinkretis.
Walahualam.
Salam hangat,
Ranggalana.