+-

Video Silat


Shoutbox

30/12/2023 22:12 anaknaga: Mudik ke Forum ini.
Mampir dulu di penghujung 2023..
07/11/2021 17:43 santri kinasih: Holaaaaas
10/02/2021 10:29 anaknaga: Salam Silat..
Semoga Sadulur sekalian sehat semua di Masa Pandemi Covid-19. semoga olah raga dan rasa dapat meningkatkan daya tahan tubuh kita. hampur 5 tahun tidak ada yang memberikan komen disini.
23/12/2019 08:32 anaknaga: Tidak bisa masuk thread. dah lama tidak nengok perkembangan forum ini.
salam perguruan dan padepokan silat seluruh nusantara.
02/07/2019 18:01 Putra Petir: Akhirnya masuk jua... wkwkwk
13/12/2016 10:49 Taufan: Yuk ke Festival Kampung Silat Jampang 17-18 Desember 2016!!!
20/09/2016 16:45 Dolly Maylissa: kangen diskusi disini
View Shout History

Recent Topics

Berita Duka: Alamsyah bin H Mursyid Bustomi by luri
10/07/2022 09:14

PPS Betako Merpati Putih by acepilot
14/08/2020 10:06

Minta Do`a dan bimbingan para suhu dan sesepuh silat :D. SANDEKALA by zvprakozo
10/04/2019 18:34

On our book: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
13/03/2017 14:37

Siaran Radio ttg. Musik Pencak Silat di Stasiun "BR-Klassik / Musik der Welt" by Ilmu Padi
12/01/2017 16:19

Tentang buku kami: "The Fighting Art of Pencak Silat and its Music" by Ilmu Padi
17/10/2016 20:27

Hoby Miara Jin by anaknaga
19/09/2016 04:50

TALKSHOW SILAT - Silat Untuk Kehidupan by luri
22/06/2016 08:11

Thi Khi I Beng by aki sija
17/08/2015 06:19

[BUKUTAMU] by devil
09/06/2015 21:51

Daftar Aliran dan Perguruan di Indonesia by devil
01/06/2015 14:01

SILAT BERDO'A SELAMAT by devil
01/06/2015 13:59

Persilatan Jurus Lima (Sabandar) by Marsudi Eko
14/05/2015 19:36

Kebugaran Merpati Putih by mpcrb
22/04/2015 16:16

PAWAI JAMBORE PENCAK 2015 by luri
20/04/2015 16:20

SilatIndonesia.Com

Author Topic: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)  (Read 67576 times)

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #60 on: 21/08/2008 18:36 »
Ceng Ho menyimak sambil berpikir. Susunan yang pertama adalah ''Wo''. Artinya, ''aku''.

Yang kedua bacanya ''k'o'', artinya ''tugas'' atau 'berlatih'.

Yang ketiga bacanya ''tzu'', artinya''kata yang tertulis''.

Akhirnya Ceng Ho menyimpulkan, ''Kelihatannya mereka sedang belajar.''

Lalu, kata Wang Jing Hong, ''Tapi aneh. Mereka menulis pakai apa ini? Ini bukan tulisan dengan pit.'' *)

Ceng Ho tertawa. Dia mengejek. ''Mungkin mereka menulis pakai nga-ciam.'' **)

''Apakah itu berarti Anda sedang meningkatkan keraguan Anda menjadi curiga?'' tanya Wang Jing Hong.

''Tidak,'' sahut Ceng Ho tegas. ''Jangan menunjukkan bahwa kita sudah tahu. Yang jelas kita boleh tidak percaya kepada mereka memang dipasang di sini oleh orang yang tidak setuju
pada ekspedisi ini.''


***

Besok malam, pada jam makan, tampak Dang Zhua duduk mendekati Teng Ceng, dan Hua Xiong duduk di dekat Tek Goan. Seperti bisik-bisik mereka tadi malam, mereka lakukan sekarang, memanas-manasi satu dengan lainnya. Mula-mula, di sebelah Tek Ceng, berkata Dang Zhua untuk membangkitkan dengki, "Saya mengagumi sikapmu. Memang begitu harusnya orang bersikap. Menurut saya, kalau prinsip sampai dilecehkan, memang jalan keluar untuk menyelesaikannya, ya kelahi." "Sejak kecil kami memang selalu kelahi. Badan saya lebih kecil darinya, tapi dia selalu tidak pernah menang. Walaupun dia selalu kalah, dia tidak pernah mau takluk." "Tapi sikapmu itu betul sekali. harusnya Sam Po Kong jangan memisahan dulu.

Inisiatif Sam Po Kong tadi malam terlalu terburu-buru. Benar begitu kan?" Tek Ceng mengangkat bahu. "Entah." Lain lagi yang dibicarakan Hua Xiong kepada Tek Goan. Dia memulai percakapannya dengan memuji Tek Goan. Beda dengan Dang Zhua yang memulai pujian menyangkut sikap orang yang akan dipujinya maka Hua Xiong memuji aksi Tek Goan tadi malam.

Kata Hua Xiong, "Saya lihat caramu meluncur dari tiang pengintai untuk menyerang lawanmu, memang luar biasa."

Yang dipuji tidak makan puji. Tek Goan menjawab enteng-enteng saja. "Ah, itu biasa saja."

Hua Xiong mencoba meyakinkan, dan sebetulnya dia tidak pandai berbual untuk membuat orang yakin. Katanya, "Sungguh mati, itu luar biasa."

Tek Goan hanya melirik. Tidak berkata apa-apa. Dia terus menyumpit makanan dihadapannya dan memasukkan ke mulut, mengunyah-ngunyah dengan sikap tidak hirau.

Hua Xiong terus berusaha mengakrabkan diri. "Tapi setidaknya kau belajar kungfu"

"Belajar kungfu bukan hal yang luar biasa," jawab Tek Goan, tetap pada sikap semula, tak termakan oleh pujian Hua Xiong.

"Di mana kau belajar?"

"Kami belajar bersama-sama."

"Belajar bersama-sama?"

"Ya. Lawan saya itu saudara sekandung saya. Sejak kecil kami belajar di Kuil Zhen-Zhou."

"Kalian kakak-adik?"

"Ya. Kucing dan anjing. "Tek Goan ketawa. "Dan untuk hal-hal istimewa, dalam bertahan untuk tidak mengalah, kami adalah harimau-harimau."

"Oh? Begitukah?" Hua Xiong menunjukkan dirinya kagum, tetap untuk membuat Tek Goan menjadi akrab dengannya, dan supaya dengan begitu, ingin memanfaatkannya. "Nah, kalau begitu, itu memang luaar biasa."

"Tidak juga," kata Tek Goan. Dia tetap tidak terpengaruh.
Oleh sebab itu, katakanlah untuk sementara, niatan-niatan Dang Zhua dan Hua Xiong untuk memperalat Tek Ceng dan Tek Goan tidak mendapat landasan.



***


Kapal terus meluncur ke selatan. Sejauh ini belum ada tanda-tanda khusus yang bisa dilaporkan dari tiang pengintaian. Bahwa kapal oleng, dan olengnya lumayan kuat, itu sudah sering. Dan apakala
kapal oleng begini, banyak orang yang baru pertama ini berlayar, merasa amat gamang. Barangkali besok kapal akan memasuki wilayah yang disebut Wang Jing Hong sebagai garis rawan navigasi. Di situlah kiranya kegamangan itu akan menjadi pelajaran bagi manusia, bahwa manusia mesti berserah saja kepada yang maha. Mereka yang Muslim, seperti Ceng Ho, Wang Jing Hong, dan Wu Ping berseru kepada Allah taala. Mereka yang berkepercayaan Jing Tian Zun Zu *) dan memegang agama leluhur Zu Xian Jiao**) berserah pula kepada Fo-Zhu***), Apakala kapal mulai memasuki apa yang disebut Wang Jing Hong sebagai ''garis rawan'', segenap awak bersiap-siap.

 Tampaknya untuk segala hal hanya persoalan mati di dalam hidup yang mesti dihadapi manusia sebagai kepastian, sisanya niskala. Ini bukan hanya persoalan di laut, di mana orang harus menunggu dengan sabar, dengan bimbang, dengan wasawas akan tanah tepi yang memberikan pengharapan, melainkan juga di darat di mana orang menerka-nerka akan kepastian itu.

***


Sekarang, tinggalkan sejenak hiruk pikuk di kapal, di atas laut raya yang tak pernah sepi akan rahasia, lantas longok sejenak ke darat. Di sebuah taman, di pinggir kolam, Permaisuri duduk melemparkan remah-remah bagi ikan koki warna-warni di situ. Ikan-ikan itu semoreh menangkap makanannya. Permaisuri menikmati sekali kesendirian itu.

Tapi tak lama kemudian dia terkinjat, karena dari belakang muncul sosok, menyapanya dengan keramahan yang tidak sejati. Orang yang menyapa ini Liu Ta Xia. Dia tetap seekor hewan tertentu yang memiliki kesabaran khas untuk suatu perburuan. Padahal dasarnya hanya satu: dia tidak setuju program Kaisar yang sudah berjalan, mengutus Ceng Ho ke selatan membawa armada sedemikian besar. Sapanya kepada Permaisuri membuat Permaisuri merasa terganggu.

Padahal ucapan pertama yang dikatakan Liu Ta Xia adalah, ''Maaf, Tuan Putri, seandainya ini mengganggu kesendirian Tuan Putri.'' Karena terkejut dan merasa terganggu, berkata Permaisuri dengan menggeser tubuhnya, ''Sudah kukatakan, jangan terlalu sering menemui aku di tempat terbuka. Apalagi yang kauinginkan?'' Liu Ta Xia membungkuk badan dengan sikap takzim yang berlebihan, nyaris palsu. Katanya, ''Maaf, Tuan Putri, aku hanya ingin bilang, tidak bisa tidur tadi malam.'' ''Apa?'' Permaisuri melengos sejenak lantas memandang Liu Ta Xia. Tak pelak, kata-kata Liu Ta Xia adalah pernyataan yang sangat gombal, khas lelaki. Dia memang bermaksud merayu. Katanya selanjutnya, ''Tuan Putri terus hadir di selaput jala mataku, masuk ke hatiku.'' Permaisuri mencibir walaupun ada bunga yang pelan-pelan mekar di sukmanya. Katanya membalik belakang, ''Jangan libatkan aku dalam persoalan hatimu.

Aku benci mendengar pernyataan cengeng seperti itu.'' Liu Ta Xia membuat dirinya tampil setulus mungkin. Katanya, ''Aku tidak pura-pura, Tuan Putri.'' Permaisuri tertawa. Keterbukaan yang tidak dirancang mulai nampak dalam sekejap. Kata Permaisuri,

''Kalaupun kau pura-pura, siapa yang peduli? Aku tidak peduli. Aku tidak mau peduli dengan persoalan hatimu itu.'' Dia berpindah tempat, berjalan ke samping, dan siap meninggalkan kolam itu.

''Maaf, aku akan berlalu.'' Dan dia pergi. Liu Ta Xia melengung. Tapi kemudian dia mengejar. ''Tunggu sebentar, Tuan Putri. Tunggu.'' Namun Permaisuri abaikan itu. Dia tetap berjalan, langkahnya panjang.Tinggal Liu Ta Xia berdiri bengong, berdiri kaku, berdiri dengan hati yang tawar, memandang tubuh Permaisuri dari belakang. Sambil memandang sosok Permaisuri yang akan hilang di balik pohon-pohon taman yang indah, asri, dan menyurga bagi pikiran yang sumpek, berkata Liu Ta Xia bagi pelomba yang tidak menang, ''Bagaimana caranya aku menaklukkan batu karang supaya aku dapat memanfaatkannya menjadi fondasi dari istana yang kubangun dalam akalku.'' Dengan ekawicara itu kelihatannya Liu Ta Xia hendak menjadi arif. Orang arif biasanya memahami arti keperkasaan sang waktu. Setiap orang memang ingin menjadi arif. Termasuk orang-orang bebal dan fasik sekalipun. Jamak saja gerangan pungguk merindukan bulan.


***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #61 on: 22/08/2008 11:55 »
Ekawicara yang berlangsung dalam diri Liu Ta Xia tidak berhenti di situ saja. Gaungnya masih bersipongang sehari, dua hari, tiga hari, berhari-hari. Manakala terjadi jua keterbatasan akal yang tak kunjung berhasil menjawab keperkasaan sang waktu, rahasianya hari esok, jawaban akan nasib, maka orang pun lantas membutuhkan orang lain yang dapat mengurai garis takdir. Liu Ta Xia sangat percaya pada leluri ini. Karena itu pergilah dia mencari orang lain yang dimaksudkan itu. Pembantunya menunjuk sebuah tempat sebuah nama sebuah jaminan. Bersama dengan dua orang pembantunya, Liu Ta Xia memacu kuda ke sebuah tempat di luar kota, melewati padang dan menyeberangi anak sungai lalu melampaui lagi tanah kering. Debu beterbangan mengaburkan jalanan. Ke mana mereka?


***

Tujuan mereka sebuah huma di bukit. Pada siang hari huma itu kelihatan seperti sebuah bintik merah di tengah pohonan hijau yang membelukar di sekelilingnya. Nanti, setelah dekat, setelah mendaki jalanan berbatu, orang akan melihat rumah berwarna merah ini sebagai tempat seseorang yang tidak sama dengan tempat-tempat tinggal umumnya. Pemilik huma ini kelihatannya tak hirau terhadap interior. Dalamnya kosong. Kursi kayu sudah reyot. Cahaya siang masuk ke dalam huma ini dari empat penjuru.
Liu Ta Xia ragu berdiri di depan. Pertanyaannya yang pertama kepada pembantunya itu, ''Apa betul orang ini sanggup?''
''Ya, Tuan Menteri,'' jawab pembantunya. (Harus diketahui bahwa ''pembantu'' dalam hubungan ini bukan ''babu'' atau ''jongos'. Melainkan, orang yang mengerjakan pelbagai tugas yang berhubungan dengan kedudukan Liu Ta Xia sebagai menteri.)
''Apakah dia ada di dalam?'' tanya Liu Ta Xia lagi.
''Ya, Tuan Menteri,'' jawab pembantunya itu. ''Dia tidak pernah pergi ke mana-mana.''
''Kalau begitu, katakan cepat.''
''Tuan tunggu di sini, saya masuk ke dalam.''
''Tidak. Kita masuk bersama-sama.''
Mereka masuk.

***

Ternyata yang mendiami huma ini seorang yang buta, tak dapat melihat dengan mata, tapi dengan hati, sebab dia adalah seorang cenayang, tukang nujum, paranormal, yang memilih hidup menyepi di sini dibantu oleh seorang pelayan. Dia duduk di atas kursi yang dibelakangnya berdekor lukisan yin setinggi satu setengah ukuran manusia. Di bawah kursinya ada sebuah anyaman dari serat dengan sebuah kata dalam sebuah huruf di tengah-tengahnya,
 
yaitu:

Bacanya ''nao'', artinya ''otak''.

Karena tulisan itu terpajang di bawah tempatnya duduk, orang sering menyebut dia: Nao.
Padahal nama kecilnya, sebelum dia menjadi buta, adalah Siu.
Telinganya sangat peka. Sambil duduk menggoyang-goyang badan, dia ulurkan tangan dari jauh, mempersilakan Liu Ta Xia dan kedua pembantunya duduk.
''Silakan,'' katanya. ''Dari bau debu bercampur keringat yang sampai ke hidung saya, jelas kalian datang dari jauh.''
''Betul itu, Nao,'' kata pembantu Liu Ta Xia.
''Utarakan saja,'' kata Siu. ''Dengan mata yang sama terletak di kepala saya juga punya, tapi saya tidak bisa melihat kalian. Saya melihat dengan mata batin. Dengan mata batin yang terletak dalam pikiran yang berhubungan dengan perasaan saya, saya dapat melihat dengan jelas isi hati kalian. Saya sudah melihat roh yang satu, yang duduk di tengah-tengah itu, datang dari suatu tempat penuh dengan pertikaian batin, menghampiri roh saya.'' Dia
menunjuk-nunjuk Liu Ta Xia. ''Katakan saja menurut apa adanya. Perkataan yang tersembunyi dapat membuat orang tertekan. Jika perkataan itu dibuka memang terasa berat, tapi dengannya jiwa akan menjadi bersih.''

Liu Ta Xia jadi kagok. Katanya terteguk, ''Tiba-tiba saya menjadi ragu.''

''Katakan saja,'' kata Siu. ''Ini perkara apa?''
''Soal kekuatan.''

''Kalau kekuatan itu berada di dalam diri perempuan, itu merupakan tembok yang lebih kukuh dari tembok besar Shih Huang Ti.'' *).

Liu Ta Xia mengangguk. ''Benar,'' katanya.

Dan kata Siu, ''Perempuan kadang-kadang seperti merpati, kadang-kadang seperti tekukur. Yang satu bisa diternak dan jinak, yang satunya lagi hanya didengar manggungnya di dalam kandang, dan jika kandangnya terbuka ia terbang dan tidak kembali lagi.''

''Betul,'' kata Liu Ta Xia lagi. ''Kemari-kemarin dia adalah burung merpati yang jinak, tapi sekarang dia menjadi tekukur yang liar.''
''Sebetulnya apa yang diharap dari merpati yang berubah jadi tekukur itu?''
''Menyelam dan minum air.''
Siu tersenyum, mengangguk, maklum. ''O, artinya mendapatkan cintanya dan memanfaatkan dirinya?''

Liu Ta Xia tidak berkata apa-apa. Dia melirik ke arah pembantu-pembantunya. Kata Siu lagi, ''Kalau orang berharap dapat membeli yang tidak dijual, dia harus punya modal yang tidak terbatas.''

''Apa modal yang tidak terbatas itu?''
''Kekuasaan.''
''Kekuasaan?''
''Itu yang akan menjamin orang dapat memiliki segala yang diinginkan.''

Liu Ta Xia tercenung. Setelah terjeda sesaat, dia pun berkata kerepotan, "Yang jadi soal, dia berada dalam kekuasaan yang lebih besar."

"Seberapa besar? Berbatas atau tiada berbatas?"

"Bahkan tidak terbatas."

"Ciptakan dulu kekuasaan yang lebih besar dari yang tidak terbatas itu."

"Mana mungkin? Yang memiliki kekuasaan yang tidak terbatas ini Xhu Di."

Siu angkat tangan. "Kalau begitu tangkaplah asap ukirlah langit."
Liu Ta Xia geram sekali. Asap keluar di kepala karena api membakar di hati. Dikeluarkannya pedang dari sarungnya. Dihunusnya. Dan dengan sangat cepat dia telah menikam Siu. Siu mati. Sebelum nafasnya putus, dia sempat menyumpah, "Terkutuk kamu!"

Liu Ta Xia tak peduli. Orang rakus tidak pernah pedulikan karma. Rakus terhadap makanan, selesai setelah orang kenyang, tapi rakus akan kekuasaan, tidak pernah selesai kecuali karena karma. Lihat saja karma Liu Ta Xia. Hari masih panjang. Setelah besok, masih ada lusa, tulat, tubin. Dan di dalam setiap waktu, ada bagian-bagian di mana orang menerima atau melawan terhadap imbauan yang datang melalui gaung nurani.

Sementara tinggalkan dulu Liu Ta Xia. Sebentar lagi dia akan datang ke istana, menemui Zhu Di. Tetapi Zhu Di tak hirau, sebab Zhu Di tengah menikmati klangenan.


***

"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #62 on: 22/08/2008 11:59 »
Malam itu Zhu Di tak suka diganggu. Dia sedang duduk setengah berbaring di atas ranjang, di ruang yang besar, menyaksikan musik dan tari-tarian. Para pemusik istana memainkan musik dengan terampil, merangsang orang yang mendengarnya bagai hidup di sebuah sudut surga. Musik Cina di zaman Ming memiliki ciri tersendiri, tercipta berdasarkan kebutuhan sang kaisar pada jam-jam langennya. Ada dua jenis zither, disebut ch'in, yang pada zaman Ming terdiri atas dua tona, yang kecil di sebut hsiao-ch'u dan yang besar disebut ta-ch'u. Untuk menghasilkan nada-nada yang berbeda dalam melodi, pemain menciptakan corak rasa-seleh dari perbedaan atas pusat-pusat tonal dan modulasi yang renggang dari satu kunci ke lain kunci, tetap dalam skala pentatonik khas Cina. Bersamaan dengan lentingan dawai-dawai zither itu, bergantian tarian diperagakan oleh perempuan-perempuan terpilih, baik bakatnya maupun wajah dan sosoknya. Tak ada yang lebih tahu akan bentuk tubuh penari-penari, kecuali sang kaisar yang pernah melihat mereka telanjang di ranjang. Demikian hiburan Kaisar. Orang sangat mengerti arti kesenangan Kaisar. Adakah orang yang lebih menikmati seks sebagai hiburan selain daripada Raja?


***


Kembali lagi ke laut. Malam sudah berjalan tiga jam. Kapal sedang memasuki garis rawan tersebut. Di kotak khusus di atas tiang pengintai, kakak-beradik Tek Ceng dan Tek Goan kelihatan tegang melihat ke depan sana, ke batas horizon yang tidak nampak sama sekali karena gelap yang perkasa. Toh keduanya tidak kekurangan cara untuk saling ngotot melihat keadaan laut dan cuaca di depan. Mulainya Tek Ceng yang berkata dengan muka tidak ramah, "Kamu jangan coba berdebat lagi. Di sebelah sana itu, selatan yang asli." "Tetap salah," kata Tek Goan. "Itu bukan selatan. Itu adalah baratdaya. Hai, lihat." Dia menunjuk ke suatu arah. "Lihat itu sana. Itu yang namanya selatan." "Ah, kamu selalu suka ngotot tentang perbedaan-perbedaan tipis melulu." "He, kamu jangan cari gara-gara lagi. Sudah kubilang, di atas laut kita tidak boleh berbicara soal perbedaan-perbedan tipis. Dampaknya malapetaka, tahu tidak?" "Sudah diam! Kamu ribut melulu. Itu lihat!" Tek Ceng menunjuk ke situ, tapi wajahnya berubah ngeri. Tek Goan juga melihat ke situ. Wajahnya sama menunjukkan rasa ngeri. Langit tampak seperti bocor. Dari hitam yang malam di arah sana tiba-tiba kelihatan cahaya putih tumpah dari langit masuk ke dalam laut. Itu halilintar yang belum pernah di lihat kakak-beradik sepanjang hidup mereka. Tek Goan menutup mata. Dia merinding. Jeritannya, "Demi Dewa Penguasa Langit Selatan Wu Fu Da Di dan Dewa Penguasa Langit Utara Xhuan Tiang Shang Di, apa gerangan yang terjadi ini?" "Ya, ampun!" seru Tek Ceng. "Kiamat!" Dia pun menutup mata ketakutan.

***

Tak lama setelah itu, setelah kakak-beradik itu menutup mata karena takut, sebuah gelombang amat dahsyat datang bergulung-gulung memukul kepala kapal. Tinggi gelombang itu melebihi tinggi kapal, sehingga harus dikatakan gelombang itu seperti menelan kapal besar ini bersama kapal-kapal lain. Keruan kapal dan kapal-kapal itu pun oleng luar biasa dan terputar. Semua orang, baik yang masih bangun maupun yang sudah tidur, sama-sama terperanjat, terkejut, takut. Serta merta orang-orang di kapal dan kapal-kapal yang bertugas pada bidangnya masingmasing sibuk dan ramai. Tidak ada satu pun orang yang kelihatan santai. Bahkan Tan Tay

Seng yang biasa tenang, kali ini tidak menyanyi atau bermain teh-yan. Semua wajah mewakili ketegangan. Dang Zhua dan Hua Xiong kelihatan takut. Bun Hau, Lu Shan, bahkan Wu Ping kelihatan takut. Apakah Wang Jing Hong dan Ceng Ho tidak takut? Di atas laut, dalam badai, dalam gelombang dahsyat, tidak ada seorang pun yang berani terhadap kehebatan alam. Termasuk Wang Jing Hong dan Ceng Ho yang telah mengenal perairan ini, mengenal dengan betul oleh pengalaman-pengalamannya melaut, khusus di wilayah yang disebutnya sebagai garis rawan, juga melihat kehebatan laut sebagai ciptaan khalikul alam sebagai suatu misteri yang menggamangkan perasaan.
***

Pendeta To dan pendeta Buddha yang sama gentarnya melihat kehebatan laut yang ''marah''
ini toh mesti menenang-nenangkan umat. Sementara suara Wang Jing Hong yang keras dan nyaring berteriak menyuruh para awak untuk cepat bertindak.
''Gulung layar,'' kata Wang Jing Hong.
Perintahnya disambungkan dari suatu mulut ke mulut lain sampai kapal terombang-ombang dipermainkan gelombang aneh di jarak yang berputar-putar di sekitar situ. Tampaknya gerak maju kapal tidak meyakinkan. Jika sudah ada perasaan seperti itu, dengan melihat kenyataan yang buruk, maka menumbuhkan suatu rasa percaya diri memang tidak gampang lagi.

Jadi, bagaimana?


***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #63 on: 22/08/2008 13:40 »
Ceng Ho bertindak. Dengan bismillah terlebih dulu, membungkus diri dengan sikap eling, dia naik ke atas, berdiri di situ, berteriak keras-keras di antara suara-suara yang gaduh dan riuh rendah serta bunyi gemuruh badai yang gempita dan tidak terperi guruh dan halilintar.

Dengan suara keras itu Ceng Ho berharap semua bisa mendengar dan tidak panik.

''Semuanya tenang! Semuanya tenang!'' kata Ceng Ho di atas sana. ''Percayalah, kapal ini tidak akan tenggelam. Tapi semua orang harus berdoa dengan agamanya masing-masing: Tao, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam.''

Petir menghantam dan hujan turun dengan lebat.

''Berdoa kalian semua!'' seru Ceng Hong. ''Khususnya yang muslim, seperti saya, bersandarlah kepada Allah taala, Tuhan yang tunggal. Minta tolong kepada-Nya. Kita boleh takut dan gentar, tapi jangan sampai ketakutan dan kegentaran kita ini lantas melenyapkan iman kita. Semua ini sementara. Ini adalah kebesaran ilahi.''

Lalu Ceng mengepalkan tangan memukulkan udara, maksudnya memberi semangat dan takwa kepada orang-orang yang seiman dengannya.

''Allahu akbar!''

Yang Muslim menyambut seruannya.


***


Sejam kemudian baru badai itu berlalu. Kapal itu dan kapal-kapal lain meluncur meninggalkan garis rawan tersebut, terus ke arah baratdaya. Laut tenang kembali. Orang-orang yang letih, mulai mengantuk, dan akhirnya tidur. Begitu juga Ceng Ho. Di kamarnya Ceng Ho terlena, lantas pulas. Justru di dalam tidurnya ini, terbayang di matanya warna-warni itu berpusing-pusing bagai sebuah anak panah berukuran amat besar, muncul dari dasar laut menuju ke langit. Ekor cahayanya menyilaukan itu kemudian berganti-ganti warna dari hijau ke biru, ke unggu, ke merah, dan ke bening. Lantas dari sebuah titik yang tajam di langit tersebut muncul pelan dan berangsur wajah Ma Ha Zhi. Dia berdiri di tengah sana, menunjukkan tangan kepada Ceng Ho. Ceng Ho terkesima. Tanyanya,

''Ayah? Engkaukah itu?'' Dan jawab Ma Ha Zhi,
''Ya, putraku. Berdirilah dengan kaki yang tegak, Ma He. Kau tidak mungkin berdiri dengan kaki yang tegak, kalau di hatimu ada roh keraguan yang membuat jalanmu bercabang.''
''Aku tidak ragu,'' kata Ceng Ho.
''Bukankah rohmu menyertai aku?''
 ''Ketahuilah, ada roh yang bukan roh akan masuk ke dalam rohmu,'' kata Ma Ha, Zhi.
''Kau harus mengalahkannya dengan roh yang paling roh.''
''Akan aku lakukan,'' kata Ceng Ho. ''Tapi bagaimana?''

Ma Ha Zhi membalik belakang, tidak menjawab. Dia berjalan cepat di tengah awan.

Menghilang. Ceng Ho mengejar, memanggil ayahnya. Ceng Ho terengah-engah.

Ceng Ho terbangun. Dia sadar, baru saja roh ayahnya datang dalam mimpi. Dia menarik nafas dan mengembuskannya. Dia bangkit dari tempat tidur, lantas duduk di kursi. Penglihatan yang
baru berlalu itu membuat dia termenung.

"Apa maksud Ayah berkata begitu?" kata Ceng Ho seorang diri merangkai-rangkai ingatan.

Dia kembali lagi ke tempat tidur, hendak tidur. Tapi pikirannya membuat matanya tidak terpejamkan. Dia bangkit lagi dari tempat tidurnya, lantas ke luar. Di luar langit cerah seakan tidak terjadi badai hebat beberapa jam lalu.

Dia memandang ke atas. Di kotak pada tiang pengintai, dua bersaudara Tek Ceng dan Tek Goan masih setia memandang ke depan.


***

Nanti, setelah matahari tampak di timur, kakak-beradik Tek Ceng dan Tek Goan diganti oleh pengintai lain. Kapal melaju terus.
Pagi-pagi seperti selalu orang-orang makan bersama di ruang makan. Dang Zhua dan Hua Xiong biasanya datang ke ruang makan setelah ruangan penuh. Orang-orang di ruang makan rata-rata berkisah pengalaman mereka tadi malam. Ketika Dang Zhua dan Hua Xiong masuk, mereka melihat di suatu arah di mana Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, dan teman-teman sekamar duduk bersama. Mereka pun sedang berbual-bual tentang pengalaman yang mengerikan tadi malam.
Melihat Bun Hau di sana, Dang Zhua dan Hua Xiong teringat kata-kata yang mereka dengar keluar dari mulut Bun Hau tentang Tan Tay Seng.

"Mari kita duduk di sebelah Bun Hau," kata Dang Zhua. "Dia tidak suka juga pada Tan Tay Seng."

"Apa kita akan manfaatkan dia untuk perpanjangan tangan menyikat Tan Tay Seng?" tanya Hua Xiong.
"Kenapa tidak?" jawab Dang Zhua.

Maka sambil memegang mangkok makan masing-masing, Dang Zhua diikuti Hua Xiong berjalan ke arah tempat duduk Bun Hau dan teman-teman sekamarnya itu. Mereka memberi senyum yang dibuat-buat tatkala duduk di antara orang-orang muda itu.

"Badai tadi malan itu betul-betul mengerikan," kata Dang Zhua.

"Ya, betul," kata Bun Hau.

"Siapa pula yang tidak takut?" kata Hua Xiong menyambung cakap sahabatnya.

"Badai tadi malam itu bukan main-main. Tapi memang menurut juru mudi Wang Jing Hong, wilayah itu yang paling berbahaya."

"Si tukang teh-yan Tan Tay Seng yang biasa nyanyi-nyanyi gila pun tadi malam kehilangan nyali," kata Dang Zhua langsung mengarahkan hasut dan kebencian.

Buktinya Bun Hau memang kena provokasi. "Huh, dia bukan hanya hilang nyali. Dia juga hilang telurnya."

Dang Zhua dan Hua Xiong tertawa. Ini bukan tertawa yang alami. Ini tertawa untuk mengambil hati.

"Dia memang penghibur picisan," kata Hua Xiong lebih membakar.
"Lebih dari penghibur picisan, dia itu gergaji tumpul untuk dipakai menggergaji besi," kata Bun Hau. "Eman-eman telinga saya."

Dan Dang Zhua berpura-pura kaget seraya merangsang lagi kebencian Bun Hau. "Tadinya kami kira hanya kami berdua yang terganggu mendengar nyanyiannya..."

"Saya sangat terganggu," kata Bun Hau.
"Tapi dia berhasil mengambil hati Sam Po Kong," kata Hua Xiong.

"Ah, persetan," kata Bun Hayu. "Kalau dia macam-macam, saya libas dia."
"Tapi, dengar-dengar konon dia itu jagoan," kata Dang Zhua.
"Jagoan apa?" kata Bun Hau mencibir. "Saya tidak percaya sebelum menjajal. Silat yang dia mainkan dalam nyanyian itu cuma kembangan. Melihat potongannya, dia itu cuma seekor anjing hias."
Dang Zhua dan Hua Xiong seperti menabuh gong. "Ya, ya, betul itu."
"Suatu waktu, besok-besok, sebelum kapal bersandar di darat, ada baiknya dibikin dulu lupa darat."
"Bagaimana caranya itu?" tanya Dang Zhua.
"Lihat saja."


***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #64 on: 22/08/2008 13:44 »
Lagi, pada saat makan, Wang Jing Hong menemui Wu Ping, menyuruhnya memeriksa ulangan Dang Zhua dan Hua Xiong. "Coba cari lagi informasi di kamar juru tulis itu," kata Wang Jing Hong. Karena itu Wu Ping pun segera ke kamar Dang Zhua dan Hua Xiong. Ada pula kertas yang sudah diuyel-uyel. Wu Ping mengurai ulang. Tak ada yang penting. Tulisan di atas kertas itu lagi-lagi hanya untaian huruf-huruf yang dijajar seperti yang sudah dibaca kemarin. Tapi, kemudian mata Wu Ping terarah ke sebuah peti terlukis. Itu adalah peti kayu yang sangat halus, mengilat dengan sejenis pelitur hitam, dan di empat bagiannya ada lukisan yang nyaris sama dengan lukisan Lin Ch'un -pelukis Cina yang hidup pada abad ke-12- berupa burung kuning sejenis prenjak yang hinggap di atas ranting berbunga putih. Peti itu terkunci. Wu Ping bermaksud membukanya, tapi tak bisa. Dia menarik ke atas, mendorong ke kiri, dan ke kanan, tetap peti ini tidak terbuka. ''Bagaimana caranya membuka ini?'' tanyanya dalam hati. Kemudian dia terjaga. Didengarnya di luar orang-orang lewat ke kamarnya masing-masing. ''Mereka sudah habis makan?'' kata Wu Ping dalam nada bertanya pada dirinya, hendak meyakinkan diri. ''Aku harus cepat keluar dari sini.'' Dan Wu Ping membuka pelan-pelan pintu kamar, mengeluarkan kepalanya sebatas bingkai pintu, mengintip terlebih dulu ke luar, apakah ada orang lain lagi. Setelah melihat tidak ada orang lain, dia pun cepat-cepat keluar, menarik kembali pintu kamar itu. Dia bergegas ke atas, ke ruang Wang Jing Hong. Di ujung bagian melorong, dia melihat Dang Zhua dan Hua Xiong berjalan tertawa-tawa menuju ke kamarnya. Wu Ping segera bersembunyi di belakang tangga. Sebetulnya dengan tidak usah bersembunyi juga tidak apa-apa. Sebab, kalaupun dia berpapasan dengan Dang Dang Zhua dan Hua Xiong, kedua orang ini toh tidak tahu Wu Ping baru saja keluar dari kamar mereka. Tapi, memang mau Wu Ping bersembunyi di situ.

Dengan badannya tersembunyi di balik tangga, dia bisa mendengar dengan jelas omongan kedua orang itu.

''Bun Hau tadi sudah termakan asutan kita,'' kata Hua Xiong. ''Kita sudah mendapat orang yang kita perlukan sebagai perpanjangan tangan untuk menghajar Tay Seng,'' kata Dang Zhua. ''Dia bakal kena batunya,'' kata Hua Xiong. Mereka tertawa terbahak.

***

Mereka pun masuk ke dalam kamar mereka. Begitu pintu terbuka, Hua Xiong duduk bersandar di atas ranjangnya. Dang Zhua melihat keadaan ruang dengan curiga. Matanya terarah khusus ke peti berlukis itu.

Dahinya mengerut. Dia pegang peti itu. Hua Xiong bangkit dari duduk bersandarnya. Dia juga teraliri curiga sahabatnya. ''Kira-kira siapa?''

''Entah,'' kata Dang Zhua. ''Tapi, begitu kita tahu, kita harus kirim dia langsung ke neraka. Buang ke laut.''

Hua Xiong menyangka-nyangka sembari membayang-bayang muka orang. ''Apa dia bukan Tay Seng si tukang teh-yan itu?''
Dang Zhua terbawa ke sangka-sangka Hua Xiong. ''Kenapa kau berpikir dia yang melakukan?''

''Bisikan hati,'' kata Dang Zhua. ''Dia tidak ingat siapa kita.''
''Belum tentu,'' kata Hua Xiong. ''Waktu kita berkelahi dengannya, dia tidak mabuk. Yang mabuk kita. Dan, kita yang mabuk saja bisa mengingat tampangnya, apalagi dia yang tidak mabuk.''

Dang Zhua terdiam sejenak, meresapi omongan Hua Xiong, memasukannya ke dalam nalarnya. Karena itu, setelah merenung, dia berkata sesuatu yang mengarah pada keputusan.

Katanya, ''Kalau memang benar begitu, ya, inilah waktunya buat kita bermain: memainkan lakon kita dengan memanfaatkan perpanjangan tangan kita yang jengkel kepada Tay Seng.''

''Siapa?'' tanya Hua Xiong.
''Siapa lagi kalau bukan Bun Hau.''

***

"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #65 on: 22/08/2008 13:54 »
Sudah jelas, Dang Zhua dan Hua Xiong salah sangka, salah duga, dan salah kaprah. Orang yang baru berada di kamar mereka itu sekarang sedang menuju ke ruang khusus Wang Jing Hong. Di ruang itu terlihat Ceng Ho duduk dengan tenang. Sesekali dia menjilat bibir
bawahnya dengan lidah untuk membasahinya.

Ke ruang khusus Wang Jing Hong itulah Wu Ping, orang yang baru berada di kamar Dang Zhua dan Hua Xiong itu, datang menghadap, menyatakan sesuatu melalui air mukanya yang tampak tidak bergairah.

Melihat wajah Wu Ping yang tidak menggambarkan hal yang menggembirakan, Wang Jing bertanya dalam kalimat yang bersifat menyimpulkan, ''Tidak ada hal istimewa?''

''Ya,'' sahut Wu Ping. ''Kecuali ada sebuah peti ukir yang menarik perhatian.''
''Menarik perhatian bagaimana?'' tanya Wang Jing Hong.
''Waktu saya masuk ke situ kemarin itu, saya tidak sempat melihat peti itu,'' kata Wu Ping.
''Apanya yang menarik?'' tanya Ceng Ho.

''Di dindingnya ada lukisannya: lukisan burung di ranting bunga,'' jawab Wu Ping. Tapi sekonyong-konyong dia termanggu, merasa bersalah pada diri sendiri. ''Astaga.''

''Ada apa?'' tanya Ceng Ho.
''Saya lupa menaruh peti itu di tempat yang semula,'' kata Wu Ping.
''Berarti kita menunggu perkembangan,'' kata Ceng Ho.
Waktu terus berubah.  Di atas kapal, di tengah bulatan biru yang demikian luas, yang di kakinya langit biru sesama biru bertemu, bagi yang tidak sabar, rasanya pelayaran adalah suatu permainan nasib yang menjemukan: siang dan malam dihitung jam-jamnya sebagai suatu keharusan sukarela.

Tadi siang, sekarang malam.

Apakah matahari pamit pada siang, lantaran malam mesti menggilir hari, suka atau tidak, Tan Tay Seng kembali duduk di buritan memainkan teh-yan dan menyanyi kata-kata apa saja yang muncul dalam pikirannya. Kini dia menyanyikan hal yang berhubungan dengan peristiwa tadi malam.
Badai tidak menyapa dalam datang dan pergi

Demikian ajal menghampiri manusia di bumi Kita merenung hakikat hidup di dalam sunyi Mencari rahasianya dengan meninggalkan negeri. Tan Tay Seng terus menyanyi sampai laut menghitam kembali oleh malam. Yang suka nyanyiannya mendengarkan, yang tak suka nyanyiannya tak mendengar. Yang terangsang oleh irama lantas menari-nari di seputarnya, yang lain hanya menyaksikan mereka yang menari-nari.

***


Di antara yang tetap di kamar dan nanti akan terganggu oleh hiruk pikuk orang-orang menari itu adalah Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, dan teman-teman sekamar. Mereka bermain ceki untuk selalu melenyapkan kejenuhan dan kebosanan pada laut dan pada malam. Dang Zhua dan Hua Xiong telah mengetahui, melalui percakapan mereka di ruang makan, tentang ketaksukaan Bun Hau atas nyanyian-nyanyian Tan Tau Seng. Apalagi sekarang orang-orang menari-nari di buritan.

Melihat ramainya orang-orang menyambut Tan Tay Seng, mula-mula Dang Zhua, kemudian menyusul Hua Xiong pergi ke kamar tempat Bun Hau dan teman-teman bermain ceki. Di depan pintu Dang Zhua berkata, "Kalian semua tidak ikut menari-nari di luar?"

Dan, ketika wajah-wajah mereka di dalam kamar itu kelihatan bertanya-tanya, Hua Xiong pun datang menimbrung. "Mereka semua menari, tersihir oleh huang chung*) yang dimainkan Tan Tay Seng."

"Apa?" Bun Hau menghentikan mainan cekinya. "Orang-orang tersihir oleh huang chungnya?" Bersamaan Dang Zhua dan Hua Xiong menjawab dengan semangat provokatif, "Ya!" "Lihat saja sendiri," kata Hua Xiong.

Dan mereka semua di dalam kamar itu keluar, melangkah ke buritan. Di situ, di tengah orangorang yang menari sukaria, Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, dan teman, masuk membaur. Tapi mata Bun Hau terarah terus kepada Tan Tay Seng. Dia mendekat-dekat bersama teman-temannya itu, dan ketika jaraknya dengan Tan Tay Seng sudah dekat sekali, dia mendorong tubuh Lu Shan sehingga Lu Shan menabrak Tan Tay Seng. Tan Tay Seng menyepak Lu Shan. Lu Shan terpelanting mengenai seseorang. Orang yang terkena badan Lu Shan langsung menyikut.

Hanya beberapa detik, bersamaan dengan berhentinya permainan musik Tan Tay Seng, terjadilah perkelahian di buritan kapal ini.

Perkelahian demikian seru. Semua, yang baru saja menari-nari, kini berkelahi dengan lawan yang tidak jelas, siapa lawan siapa. Terkecuali Bun Hau, yang memang mengarah sasarannya kepada Tan Tay Seng.

Dia menyerang Tan Tay Seng, dan Tan Ty Seng menangkis sembari mengirimkan balasan dengan kakinya. Kini terjadi perkelahian secara khusus antara Bun Hau dan Tan Tay Seng. Ternyata Bun Hau memiliki juga ilmu silat yang berimbang. Gerakan-gerakannya lincah dan mengejut-ngejutkan. Kelihatannya dia mengincar benda yang dipegang Tan Tay Seng.

Benda itu yang selama ini digesek-gesekan Tan Tay Seng sehingga melahirkan nada. Tan Tay Seng menyadari bahwa lawannya ini terus mengincar teh-yan-nya. Dia pun melakukan gerakan-gerakan yang mengecohkan dengan teh-yan-nya itu. Dasar Tan Tay Seng cekatan dan lucu, dalam gerakan putar, ketika dia berdiri menjauh, di situ dia menunggu serangan berikut dengan menggesekkan satu-dua nada tertentu.

Orang-orang lain yang tadi berkelahi tanpa lawan yang jelas itu berangsur berhenti, dan selanjutnya mereka menyaksikan perkelahian yang memikat dari Tan Tay Seng dan Li Bun Hau. Ternyata bukan hanya orang-orang itu yang menyaksikan perkelahian ini. Ceng Ho dan Wang Jing Hong di atas sana juga menyaksikan. Sementara di tempat yang lain, di bagian sayap kanan, dua cecungguk itu, Dang Zhua dan Hua Xiong, menyaksikan pula dengan perasaan puas.

"Kita berhasil, sahabatku," kata Dang Zhua.
"Ya, kita berhasil," kata Hua Xiong.


***

Dalam senang seperti itu, ketika perkelahian memukau orang, diam-diam Wu Ping masuk kembali ke ruangan Dang Zhua da Hua Xiong. Apa yang dia temukan?


***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #66 on: 22/08/2008 14:04 »
Episode III

Perkelahian seru antara Bun Hau, Wan Sen, Lu Shan, Ying Gong, dan Tan Tay Seng masih berlangsung. Gaya Tan Tay Seng yang memikat, yang tak terduga-duga gerakannya, dengan sendirinya telah membuat banyak orang lebih suka menyaksikannya daripada ikut terlibat dalam tawur yang memang terbuka peluangnya. Dengan canggih Tan Tay Seng berhasil membuat mereka yang mengeroyoknya keok satu per satu. Yang terakhir Bun Hau. Di ujung perkelahian itu Tan Tay Seng mencekik dengan ujungujung jari tangan kanannya -tangan yang terlatih dan terampil menggesek teh-yan- sehingga dengan kekuatan dari batin yang terejawantahkan di tangannya itu, Bun Hau harus mengakui kebolehan Tan Tay Seng. Dia mengakui itu dengan cara yang nyaris putus asa.

''Jangan bunuh aku,'' kata Bun Hau. Tan Tay Seng mengempaskan cekikannya itu dengan sikap yang amat wira. Sambil mengempaskan,
dia berkata, ''Aku memang bukan pembunuh.''

Tan Tay Seng mengangkat teh yan dan melihatnya. Dia masygul melihat alat musiknya ini. Dalam perkelahian yang baru saja terjadi, gagang teh-yan-nya telah patah, menggelantung oleh dawai yang mengikatnya dengan bagian membran.

''Dengan musik aku menawarkan perdamaian,'' kata Tan Tay Seng. ''Musikku adalah musik perdamaian. Tapi kalau orang mengganggu musikku, maka musikku akan berubah menjadi musik peperangan....''

Gerakan lincah Tek Tay Seng sekonyong memberikan isyarat akan menyerang, sehingga Bun Hau mundur dengan kedua tangan terkunci di dada. Katanya dalam nada penyesalan,

''Jangan khawatir. Saya bisa memperbaiki teh-yan-mu itu. Saya bahkan bisa mengganti dengan membuat sendiri yang lebih bagus.''

Tan Tay Seng agak syak, tapi dia memberikan semacam apresiasi kepada Bun Hau. ''Kau bisa?'' ''Ya,'' sahut Bun Hau.


***

Dan di bagian yang agak tinggi, di tempat Dang Zhua dan Hua Xiong berdiri menyaksikan, keduanya tampak tak nyaman hati melihat perkembangan di bawah. Mereka telah menyaksikan adegan itu sejak awal, dan mereka menyaksikannya dengan tidak tenang, tegang, kecewa, dan akhirnya hilang harapan.

Dari mulut Dang Zhua pernyataan ini terucapkan, ''Tidak ada harapan.''

Dan Hua Xiong pun seperti orang yang tiba-tiba terserang lesu darah. Katanya setengah geram, ''Li Bun Hau itu cuma mulut besar.''

Dang Zhua sendiri kelihatan sangat tak bersemangat, kecuali tentu, semangat dendam yang terus berasap di hatinya. Katanya dengan gigi yang mengeretak, ''Kita tidak bisa manfaatkan dia.''

Mereka pun kembali ke ruangan mereka.


***

Jam terus berjalan. Menjelang larut malam, ketika sebagian orang telah lelap di tempat tidur masing-masing, tampak di ruang rapat beberapa orang sedang bertukar pikiran. Ada di situ beberapa panglima dan Wang Jing Hong serta Ceng Ho.


Ceng Ho yang memulai pembicaraan. Katanya, ''Sesuai dengan rencana, kalau cuaca tetap bagus seperti sekarang, sekitar tiga jam setelah fajar, kita akan membuang sauh di bandar Qui-Nho.''

Ceng menoleh kepada Wang Jing Hong. ''Betul begitu, Wang Jing Hong?''

''Betul sekali, Sam Po Kong,'' kata Wang Jing Hong.

''Di Qui-Nho kita akan merapat satu-dua hari,'' kata Ceng Ho.

''Kita merapat di Campa sesuai dengan misi kita. Ingin saya ingatkan bahwa pelayaran kita secara terbuka adalah kunjungan
muhibah dari kebesaran Ming ke negeri-negeri di luar Cung Kuo. Di Qui-Nho, sebagai bandar Campa, kita membutuhkan sejumlah hasil bumi yang diperlukan di utara. Patut kita ketahui semua bahwa hasil bumi negeri Campa yang paling penting adalah karet dan batu bara. Itu yang kita butuhkan bagi negeri kita di utara.''

''Dan bagaimana dengan raja terguling Zhu Yun Wen?'' kata Ceng Ho.
''Itu artinya kita harus menangkap dia di situ?'' tanya panglima yang satunya.

''Misi kita yang terbuka, artinya yang harus diketahui umum oleh negeri-negeri di luar Cung Kuo, memang merupakan pelayaran muhibah dengan dasar saling untung, yaitu, pertama niaga dan kedua bertukar kebudayaan, kemudian di atas pertalian yang saling untung tersebut, kita berkewajiban menunjukkan kebesaran dinasti Ming,'' kata Ceng Ho. 

Lalu dia jeda sejenak memandang keluar yang tidak tampak apa-apa selain gelap. ''Tapi, memang tidak boleh dimungkiri, tugas kita yang khusus, yang katakanlah 'tertutup', yang harus tidak diketahui umum oleh negeri-negeri di luar Cung Kuo adalah menangkap Zhu Yu Wen di Campa dan Chen Tsu Yi di Si-Li-Fo-Tsi.''
Panglima yang pertama bicara tadi kelihatannya belum pernah mendengar atau setidaknya diberi tahu mengenai nama yang baru disebut oleh Ceng Ho. Maka katanya, ''Chen Tsu Yi?''

''Dia diserter yang sekarang mengangkat diri sebagai raja di Si-Li-Fo-Tsi,'' kata Ceng Ho.

''Dia memerlukan Cina.''


***

Dua jam kemudian langit di timur mulai memerah, pertanda bahwa sebentar lagi fajar. Malam tadi yang bertugas di tiang pengintai bukan kakak-beradik Tek Ceng dan Tek Goan. Kedua kakak-beradik ini mendapat tugas itu pada giliran siang. Makanya sang kakak yang selama ini mengomel, kini merasa senang.

Setelah fajar, ketika matahari kelihatan naik pelan-pelan di garis pertemuan antara langit dan laut, Tek Ceng berteriak girang.

''Lihat itu di depan!'' kata Tek Ceng. ''Ada darat!''
''Mana?'' kata Tek Goan melihat ke arah itu.
''Itu!'' kata Tek Ceng sambil menunjuk dengan meluruskan tangannya ke arah itu.
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #67 on: 22/08/2008 14:07 »
''Maksudku arahnya secara mata angin,'' kata Tek Goan. ''Aku bertanya, apa nama arah yang kau tunjuk itu.''

Agak ragu jawab Tek Ceng, ''Itu... eh... Barat Daya.''

Dan, ketawalah Tek Goan terpingkal-pingkal. Ketawanya membuat Tek Ceng penasaran dan jengkel.

''Kenapa ketawa?'' kata Tek Ceng dengan wajah mengerut. ''Kayak gila.''

Tek Goan memeluk Tek Ceng. ''Ha-ha-ha, kali ini kamu tidak goblok,'' kata Tek Goan.

Tersenyum wajah Tek Ceng. Hatinya tersenangkan. Katanya, ''Jadi, aku betul, itu barat daya?''
''Ya, kau betul.''
Maka berteriaklah kedua kakak-beradik ini ke bawah. ''Hai, siap semua! Darat sudah didepan.''

Secara khusus suara Tek Ceng berteriak lebih keras. ''Daratnya di arah barat daya!''


***

Tampaklah di arah sana garis laut yang dihiasi oleh lekuk-lekuk tanah darat. Bagian depan warnanya telah menghijau dan latar belakangnya masih biru, lebih biru dari langit, tanda bahwa bagian itu adalah tanah pegunungan. Di latar depan dari darat yang meyakinkan akan adanya kehidupan, juga kelihatan burung-burung pengintai ikan. Burung-burung itu tampak seperti bintik-bintik putih yang bergerak-gerak.


***


Lebih jauh ke batas air, ke tanah tepian, di darat, di bagian berkuasanya seorang syahbandar, yaitu pelabuhan, kelihatan orang-orang sibuk atas pekerjaan masing-masing. Di pelabuhan telah ada beberapa kapal yang merapat di dermaga. Semuanya kapal-kapal kecil. Waktu itu pelabuhan Qui-Nho merupakan pertemuan antara Cina Selatan dan Nusantara. Dari darat, orang-orang dipesonakan oleh kapal-kapal ekspedisi Ceng Ho yang sedang bergerak maju ke tepi. Termasuk Syahbandar terpesona melihat banyak kapal itu. Apalagi di antara kapal-kapal itu, ada sebuah yang sangat besar, yaitu kapal yang dijurumudikan oleh Wang Jing Hong.

''Luar biasa,'' kata Syahbandar, ''sebuah kapal raksasa disertai dengan pengiringpengiringnya.''
''Itulah pamer kebesaran Kerajaan Ming,'' kata Wakil Syahbandar.

***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #68 on: 22/08/2008 14:44 »
Syahbandar dan wakil serta pegawai-pegawainya di pelabuhan terus memperhatikan kapal Ceng Ho yang kian lama kian dekat ke pelabuhan. Sementara di atas kapal pun orang-orang telah sibuk dengan tugas masing-masing. Sebentar lagi sudah akan diturunkan ke laut. (Sauh dalam kapal Cina, khususnya kapal Ceng Ho, tidak sama dengan jangkar kapal Belanda. Maka jangkar yang sekarang menghias Kelenteng Sam Po Kong di Simongan, Semarang, sama sekali bukan sauh asli dari kapal Ceng Ho. Jangkar yang berada di bagian kiri gua Sam Po Kong di kelenteng itu aslinya adalah jangkar kapal Belanda yang baru ditaruh oleh seorang dengan gagasan menipu pada 1930, diangkut dari Wotgandul).

Sejam kemudian jangkar kapal Ceng Ho diturunkan. Setelah itu tali-tali pengikat kapal dikalungkan dan digulungkan dipatok-patok setinggi lebih-kurang satu depa di dermaga. Setelah kapal tertambatkan, barulah tampak Ceng Ho berdiri di tengah, siap akan turun ke darat. Ketika dia berdiri di atas kapal itu, orang-orang di darat, termasuk Syahbandar, kagum padanya dan memberi hormat.


***

Ceng Ho membalas lambaian hormat kepadanya sebelum dia dan rombongannya turun ke darat. Sikap Ceng Ho yang sangat agung terlihat hanya dalam sekejap membalas lambaian hormat. Orang besar tidak hadir dengan berbuat sesuatu yang ingin melahirkan kekaguman fisikal atas penampilannya, tapi karena jiwanya yang memang besar, rasa percaya diri yang amat luar biasa, disertai dengan kemampuan-kemampuannya yang tidak terbatas menurut ukuran awam atas pelbagai hal yang menyangkut hubungan manusia dengan manusia, tapi juga hubungan manusia dengan Tuhan. Nanti orang akan melihat bukti itu sebentar lagi. Sebagai muslim yang hanya bersandar kepada kerahiman dan kerahmanan Ilahi, orang besar malah semakin nyata tampil mewakili ketakwaannya. Maka salamnya pertama kepada Syahbandar ketika Ceng Ho dan rombongannya berada di darat adalah ucapan yang menunjukkan kualitas eling-nya yang luar biasa.

"As-salamu 'alaikum wa rah'matullahi wa barakatuh," kata Ceng Ho kepada Syahbandar. Dengan takzim yang alami Syahbandar pun memberi salam dengan membungkukkan badan.

Katanya, "Selamat datang di negeri Campa. Sekalian, saya undang Tuan-tuan santap malam nanti."

 
***

Hanya sebentar, bagian luar pelabuhan telah menjadi pasar yang hiruk pikuk. Transaksi antara barang-barang yang dibawa dalam kapal-kapal Ceng Ho, antara lain sutra dan keramik, dan hasil bumi. Hasil bumi Campa - yang kemudian menjadi negeri Vietnam ini - selain akan dimanfaatkan di negeri Cina, juga yang penting adalah bahan-bahan pangan yang akan dibawa dalam perjalanan ke selatan, ke Sumatera dan kemudian ke Jawa. Siapa yang menduga, di Jawa nanti, khususnya di Sunda Kelapa dan Semarang, akan menjadi tempat-tempat bersejarah bagi Wu Ping dan Wang Jing Hong. Hiruk pikuk pasar terus berlangsung sampai menjelang tengah hari, sampai Ceng Ho menunaikan salat zuhur.



***


Pada malam hari nanti Syahbandar menunggu Ceng Ho dan panglima-panglimanya, serta Wang Jing Hong, termasuk juga Dang Zhua dan Hu Xiong, untuk hadir dalam jamuan makan khusus sang penguasa Qui-Nho itu. Dalam jamuan makan itu sang tuan rumah beserta istri duduk meriung dengan banyak ha-ha-ha, tanda keramahan khas orang di bagian tenggara Asia. Sambil menikmati hidangan yang mewah - tentu saja salah satu menu yang dimasak
dengan aroma yang merangsang selera tidak dijamah Ceng Ho karena agamanya melarang berlangsung banyak cengkerama yang diliputi basa-basi dari kebiasaan khas orang-orang timur.

Bagi Syahbandar, ayah Ceng Ho, Ma Ha Zhi bukanlah orang asing. Sebab, dalam basa-basi yang cenderung dikatakan sebagai sopan santun yang artifisial dari kebanyakan orang Asia Tenggara, berkata Syahbandar sambil mengunyah-ngunyah makanan, "Saya kenal betul ayahanda Tuan Ceng Ho, Ma Ha Zhi." Ceng Ho menganggukkan kepala, memberi semacam hormat yang tak kalah mutu basabasinya.

Dia tak berkata apa-apa dalam sikap hormat ini. Maka lanjut Syahbandar, "Saya senang sekali sebab Tuan telah menggantikan kedudukan Ayahanda, Ma Ha Zhi." Ceng Ho menganggukkan kepala lagi. Kini disertai ucapan sopan santun yang tulus. "Terima kasih," ujarnya.

Kemudian topik beralih. Syahbandar yang mengalihkan. Katanya, "Setelah Qui-Nho, Tuan akan berlayar ke mana? Membawa hasil pasar kami ke utara?"

"Tidak," kata Ceng Ho. "Kami akan ke selatan terlebih dulu. Ke Si-Li-Fo-Tsi lebih dulu, kemudian ke Jawa."

"Ke bagian mana?"

"Supaya semua arah terakomodasi, barangkali kami akan lama berada di Asem Arang," kataCeng Ho.

Lalu jeda sejenak. Setelah itu, masih mengunyah-ngunyah makanan di mulutnya, Syahbandar bertanya dengan kesan yang seakan-akan tidak mustahak, "Berapa lama Tuan menyauh di Qui-Nho?"

Ceng Ho memandang dulu kedua panglimanya, lalu menjawab dengan tiada keraguan,

"Sampai kami bertemu dengan Zhu Yun Wen."

Istri Syahbandar yang kelihatan terhenti makan, seperti keselak. Ceng Ho sempat menangkap itu dengan ekor matanya. Sementara Syahbandar berusaha tampil lugu seperti orang melengung.

Kata Ceng HO kepada Syahbandar, "Kalau sekiranya Tuan dapat membantu kami, kami berhitung dengan laba yang Tuan inginkan."

Syahbandar tersenyum. Orang boleh salah taksir atas senyuman ini. Apakah yang dikatakan Ceng Ho merupakan suatu proposal yang menggiurkannya? Jika ya, berarti dia adalah orang dari pelbagai karakter yang mudah dikalahkan dengan materi. Tapi jika tidak, dia tetap harus dikatakan orang yang loba dan gelojoh terhadap materi.

Tapi di samping itu memiliki juga semacam pandangan dan pertimbangan tertentu yang berhubungan dengan berhala yang paling memabukkan, lebih dari berhala-berhala materi, yaitu kekuasaan. Siapa tahu pernah ada kesepakatan antara Zhu Yun Wen dan Syahbandar perihal berhala yang satu ini:kekuasaan.

Pada masa itu pun kedudukan Syahbandar tidak kurang adalah raja di batas laut dan darat

Dengan mengerti apa yang mesti dikatakannya setelah melihat istri Syahbandar yang tadi keselak, berkatalah Ceng Ho kepada Syahbandar,

"Apakah Tuan tahu di mana Zhu Yu Wen, raja yang terguling itu, melarikan diri ke Campa sini?"

Sangat cepat jawab Syahbandar. Dengan menjawab secara cepat begini bolehlah orang menduga bahwa dia jujur. "Saya belum pernah mendengar nama itu."

Ceng Ho mengangguk. Dia tidak kecewa. Sebab, dia dapat membaca air muka seseorang. Toh dalam mencoba berpenampilan wajar, Ceng Ho berkata, "Betulkah?"

Tampaknya Syahbandar seperti didakwa. Atas kemauan sendiri dia berkata, "Baiklah. Kalau Tuan ingin mengetahui, saya bisa meminta anak buah untuk memasang kuping. Kalau Tuan ke sini besok, pasti Tuan sudah akan memperoleh jawaban."

"Terima kasih," kata Ceng Ho.

Syahbandar tidak menduga justru dalam sikapnya itu, yaitu dalam cara menjawab pertanyaan Ceng Ho, maka Ceng Ho dengan mudah menyimpulkan bengkoknya hati Syahbandar.

Dalam perjalanan pulang dari rumah Syahbandar ke kapal di dermaga, Ceng Ho mengutarakan itu kepada kedua panglima, dan hal itu didengar Dang Zhua dan Hua Xiong yang berjalan bersama-sama di jalanan yang tidak berlampu.

"Untuk menguji ketangkasan kalian, saya ingin bertanya kepada kalian," kata Ceng Ho kepada kedua panglimanya itu.

"Apa yang kalian dapati dari omongan Syahbandar?"
"Dia dusta," kata panglima yang pertama.
"Bolah jadi dia antek Zhu Yun Wen," kata panglima yang kedua.
"Malahan kunyahan makanan yang akan ditelan istrinya itu terhenti, tersedak," kata Wang Jing Hong.

Ceng Ho pun ketawa. "Pancaindra kalian bagus," katanya menepuk bahu Wang Jing Hong.

"Oleh karena itu, pertanyaan tentang berapa lama kita akan berada di Campa, jawabnya adalah pasti: sampai dia kecele melihat kita menangkap Zhu Yun Wen, dan menyeret dia sebagai orang yang terlibat dalam perkara perlindungan terhadap penjahat negara."

Dang Zhua dan Hua Xiong yang berjalan di belakang saling mengorek badan tanpa berkata sepatah pun, kecuali memasang kuping sebaik-baiknya.

Syahbandar itu akan menyesal. Tapi ketika dia menyesal, dia sadar itu telah terlambat," kata Wang Jing Hong.

"Ketika nasi sudah menjadi bubur," kata Ceng Ho.

Kelihatannya Dang Zhua ingin menunjukkan perhatiannya berada pada pikiran dan perasaan yang sama. Oleh karena itu dia berkata, "Tadi Syahbandar itu bilang, besok kita sudah dapat mendengar beritanya."

"Saya kira Syahbandar itu mau menunjukkan kesungguhannya," sambung Hua Xiong.

Tidak ada yang menanggapi.

Semua berjalan dengan pikiran masing-masing.
Malam terus merangkak. Sunyi. Kecuali di beberapa kedai minum dekat pelabuhan. Di situ suara gelak canda dan nyanyian orang mabuk seperti mengatakan dunia tidak pernah kiamat.


***


Mendekati kapal, sipongang suara nyanyian Tan Tay Seng terdengar dibawa angin dari buritan kapal. Tan Tay Seng memilih diam di kapal. Beberapa orang pun, seperti biasa, meriung di sekitar Tan Tay Seng menikmati nyanyiannya. Kini dia tidak menyanyi dengan teh-yan. Kini dia hanya menyanyi dengan memukul-mukul bagian membran teh-yan yang rusak, menganggapnya sebagai membranofon. Manusia dicipta dengan akal dan budi Hanya hewan saja yang melulu naluri Karena teh-yan-ku patah dalam kelahi Kutabuh dia sebagai kendang pengganti. Ke buritan situ, di tempat Tan Tay Seng selalu menyanyikan sajak-sajaknya, Ceng Ho menghampiri dan menikmati sesaat nyanyian Tan Tay Seng. Setelah nyanyian itu selesai, Ceng Ho berkata kepada mereka semua di situ bahwa mereka boleh bersenang-senang ke darat.

Kata Ceng Ho, "Malam belum terlalu larut. Semua rumah minum masih buka. Kalau kalian mau bersenang-senang di darat, silakan." Semua menyambut ceria.

***


Jadi, mereka semua turun ke darat. Tak terkecuali Dang Zhua dan Hua Xiong, yang tadi bersama-sama Ceng Ho bersantap di rumah Syahbandar, turun kembali ke darat, seakan-akan hendak pergi pula ke rumah minum.

Sudah jelas Dang Zhua dan Hua Xiong tidak pergi ke rumah minum. Mereka pergi ke suatu tempat.

Yang pergi ke rumah minum - yaitu rumah minum paling ramai di dekat pelabuhan - hanya Tan Tay Seng, Li Bun Hau, Lu Shan, Wan Sen, Ying Gong.

Pelayan rumah minum itu adalah putri dari pemiliknya, masih sangat remaja, lumayan cantik, selanjutnya dipanggil Ling Ling, sebab rumah minum itu diberi nama Ling. Walaupun Ling Ling lahir di Campa, dia adalah juga Han Jen ) yang tetap bercakap Cia Im**) di rumahnya.

Ling Ling datang ke meja Tan Tay Seng, menanyakan apa yang hendak dipesannya. "Mau minum apa?" katanya.

"Yang memabukkan cintaku padamu," kata Tan Tay Seng sambil menepuk pinggul Ling Ling. Ling Ling mengerling. "Cinta tai kucing," katanya. Tan Tay Seng tertawa ngakak. Dia tidak tertawa oleh dorongan sukma. Dia tertawa untuk sesuatu yang kira-kira sama dengan naluri burung merak jantan menarik perhatian burung merak betina. Mungkin benar, ucapan yang berlafalkan tanpa pertimbangan dan berkesan seloroh itu mengandung kesungguhan yang dapat berkembang pada saat-saat mendatang.


***


Sementara ada seloroh dan ngakak dengan aroma minuman keras di kedai Ling, nun di rumah Syahbandar dua orang anggota ekspedisi Ceng sedang memohon untuk bertemu dengan Syahbandar. Siapa gerangan kedua orang yang dimaksud ini? Mereka tak lain adalah Dang Zhua dan Hua Xiong.

"Kami ingin bertemu dengan Syahbandar," kata Dang Zhua kepada pegawai Syahbandar.

Pegawai itu segera mengenali kedua orang ini. Katanya, "Tuan-tuan yang tadi diundang makan malam oleh Tuan Syahbandar."

"Betul sekali," kata Hua Xiong.

"Baik. Saya akan katakan kepada Tuan Syahbandar," kata pegawai Syahbandar lantas masuk ke dalam.

Sedianya Syahbandar sudah siap-siap pergi. Entah ke mana arahnya. Nanti Dang Zhua dan Hua Xiong sendiri akan mengetahui itu.

"Dua orang anggota Ceng Ho ingin bertemu lagi dengan Tuan," kata pegawai itu kepada Syahbandar.

Syahbandar berkernyit dahi. "Siapa mereka?" tanyanya.
"Yang tadi bersantap malam di sini," kata pegawai Syahbandar.
"Suruh mereka masuk," kata Syahbandar.
Pegawai itu keluar lagi, mengatakan kepada Dang Zhua dan Hua Xiong untuk masuk. Maka masuklah Dang Zhua dan Hua Xiong ke dalam. Di dalam Syahbandar sudah duduk menunggu di bawah lampu minyak dengan dua belas sumbu yang digantung di atas kepalanya.

Dang Zhua dan Hua Xiong memberi hormat kepadanya. "Salam," kata mereka.

Syahbandar mengangguk, tanpa kata, menunggu saja apa yang hendak diperkatakan oleh kedua orang tamunya ini.

"Begini," kata Dang Zhua membuka percakapan, "Kami meminta dengan sangat kepada Tuan untuk jangan memberi tahu sedikit pun tentang Zhua Yun Wen."

Syahbandar menatap tajam kepada Dang Zhua. Tetap tanpa kata dari mulutnya.

"Kalau sekiranya benar raja terguling Zhun Yun Wen berada di tanah Campa, janganlah berkata apa-apa tentangnya kepada Sam Po Kong."

Syahbandar bersadar di kursinya, tapi duduknya tidak santai.

Perhatiannya terjaga. "Tuan-tuan bicara apa ini?" katanya seperti merasa asing.

"Begini," kata Dang Zhua lagi, "perlu Tuan ketahui bahwa kami ini adalah orang-orangnya Liu Ta Xia."

"Jadi, kalau kalian orangnya orang yang kalian sebut itu, lantas apa kena-mengena antara dia dan saya?" kata Syahbandar.

"Begini, Tuan Syahbandar," kata Dang Zhua pula, "perlu Tuan ketahui lagi bahwa Liu Ta Xia, menteri keuangan dan ekonomi dalam pemerintahan Zhua Di ini, adalah sahabat kental dari menteri-menteri zaman pemerintahan Zhua Yun Men, yang dicurigai dan dianggap jahat oleh Zhu Di, dan karenanya menyerahkan kepada Sam Po Kong untuk menumpasnya."

Syahbandar berdiri dari kursinya, menuding dengan kencang kepada Dang Zhua dan Hua Xiong. "Kalian menipu!" katanya.

Dengan tenang Dang Zhua mengeluarkan dari dalam jubahnya yang dua susun, sesuatu yang pipih, dan diajukannya ke muka Syahbandar. Katanya, "Tuan lihat ini?"

Hua Xiong juga melakukannya. "Ini lambang Liu Ta Xia," katanya.
Syahbandar terpana. Mukanya seperti pelagi yang redup di latar langit yang sekonyong bening menyilaukan. Dia terdaulat untuk percaya dan dalam rasa percayanya yang terbangun berangsur-angsur ini dia pun berkata sembari senyum, "Kalian memang tikus-tikus."

Dang Zhua dan Hua Xiong tertawa. Kata Dang Zhua, "Barangkali sebab malam lebih panjang bagi kehidupan orang susah sehingga tikus lebih bertahan hidup daripada anai-anai."

"Apa pun kalian, tapi, selamat," kata Syahbandar sambil mengulurkan tangan persahabatan.

"Sebetulnya saya sedang siap-siap hendak berangkat ke puri Zhua Yun Wen. Sekalian saja bersama kalian ke sana."

Dang Zhua dan Hua Xiong berseri-seri. Seperti ada kunang-kunang di sekitar muka mereka yang bermoncong tikus itu. Bersamaan mereka berkata, "Terima kasih."


***


Lantas mereka berkuda ke puri persembunyian Zhua Yun Wen di batas luar kota ke arah timur. Hanya setengah jam perjalanan, mereka tiba di seberang hutan kecil. Di situ puri itu dibangun di atas tanah tinggi. Puri itu adalah memang puri seorang raja terguling. Raja yang terguling bagaimanapun tetap saja seorang raja karena darahnya, bukan karena kekuasaannya. Salah satu hal dari darah seorang raja -dalam hal ini raja dalam gambaran kebanyakan rakyat yang tertindas- adalah kehidupan yang mewah, foya-foya, pesta pora, dan perempuan. Perempuan dalam pikiran raja-raja dalam gambar kemaruk, gambaran semena-mena, gambaran durjana-adalah barang bernyawa belaka untuk sekadar membuang sperma.


***


Demikianlah, ketika Syahbandar bersama Dang Zhua dan Hua Xiong tiba di puri Zhua Yun Wen, sang raja terguling sedang berleha-leha di atas sebuah ranjang berukir berhiaskan warna emas, dikitari perempuan-perempuan yang semua, enam orang, telanjang.  Yang muda payudaranya kencang, yang setengah tua payudaranya klombyar-klombyor. Tapi yang tua ini kelihatannya sangat disuka Zhu Yun Wen. Barangkali dia berpendapat kelapa tua lebih banyak santan ketimbang kelapa muda. Zhua Yun Wen sedang berhibur diri dengan memain-mainkan perempuan-perempuan itu, ketika sida-sida yang berada di luar masuk, mengatakan ada beberapa orang ingin bertemu dengan sang raja terguling itu. ''Maaf, Paduka,'' katanya. ''Di luar ada Syahbandar dengan beberapa orang tamu dari utara ingin bertemu Paduka.'' Sambil melepaskan tangan dari mainannya, Zhua Yun Wen berkata, ''Tunggu sebentar.'' Dan dia bangkit dari ranjang, ranjang untuk melakukan mesum, tapi baginya ranjang untuk melepas diri dari frustrasi, lantas mengenakan jubah, jubah dadatira berhiaskan bordir benangbenang emas, dan keluar menemui tamu-tamunya itu.


***



"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #69 on: 22/08/2008 14:51 »
Di serambi luas di depan purinya, para tamu menunggu dengan kesenjangan yang tak terukur sekaligus keraguan tak tertimbang.
''Tuan Syahbandar?'' kata Zhua Yun Wen membuka tangan dan menguncinya kembali. ''Kalau bukan lantaran ada berita menyenangkan bagiku maka niscaya Anda tidak datang ke sini malam-malam begini merecok hiburan malamku.''

 ''Memang benar, Paduka Raja,'' sahut Syahbandar. ''Tapi, selain berita yang menyukacitakan, ada juga berita menjengkelkan.''

''Kalau begitu, uraikan kedua-duanya,'' kata Zhua Yun Wen. ''Aku tidak sabar menunggu beritamu itu. Setelah itu aku akan meneruskan hiburan malamku dengan anggur dan wanita.''

''Baik,'' kata Syahbandar.

''Tapi, sebelum Tuan uraikan itu, tolong katakan dengan singkat, siapa kedua cecunguk dibelakang Tuan itu?'' kata Zhua Yun Wen sambil menunjuk dengan tangan kiri kepada Dang Zhua dan Hua Xiong.
Dang Zhua dan Hua Xiong saling pandang sejenak lalu menekukkan kaki di hadapan Zhua Yun Wen.

Bersamaan mereka berkata, ''Ampun Paduka Raja Zhua Yun Wen.''
''Tuan-tuan ini adalah bagian dari berita menyenangkan dan menjengkelkan bagi Paduka,''kata Syahbandar.

''Kalau begitu, uraikan berita itu, menyenangkan atau menjengkelkan sama saja,'' kata Zhua Yun Wen. ''Dan, setelah itu segera pancung kedua cecunguk ini.''

Pucat pasi wajah Dang Zhua dan Hua Xiong. Dengan bersama-sama pula mereka berlutut di hadapan Zhun Yun Wen, memohon-mohon, ''Ampun Paduka Raja Zhua Yun Wen.''

Syahbandar cepat menimpali percakapan sela. Katanya, ''Seandainya Paduka Raja berkenan memberi kesempatan kepada mereka untuk bicara, pasti Paduka akan mengurungkan kebijakan yang telah Paduka sabdakan.''

''Kenapa Tuan bicara begitu?'' tanya Zhu Yun Wen.

''Mereka adalah orang-orang kepercayaan Liu Ta Xia. Mereka punya bukti-buktinya,'' kata Syahbandar.

Zhua Yun Wen terdiam, memandang lurus di bawah lampu remang di bagian depan puri ini.

''Apa betul begitu?'' katanya dalam nada tanya yang tidak cepat percaya.

''Betul Paduka,'' jawab Dang Zhua dan Hua Xiong secara bersamaan mengeluarkan buktilambang Liu Ta Xia.

Zhua Yun Wen maju, menyambar benda yang dikeluarkan Dang Zhua dan Hua Xiong, lalu memperhatikan dengan saksama, membolak-baliknya. Dalam benda yang terbuat dari logam ini terukir dengan jelas nama Liu Ta Xia. Karena itu Zhua Yun Wen plong. Dia kembalikan
benda itu kepada yang empunya seraya berkata, ''Sekarang bicara. Apa berita yang menyenangkan dan menjengkelkan itu?''

''Paduka Raja tidak salah bercuriga,'' kata Syahbandar. ''Kecurigaan Paduka selama ini tentang langkah-langkah Kaisar memang berasalan. Ceng Ho, putra Ma Ha Zhi, mencari Paduka.''

''Tay Jin itu?'' tanya Zhua Yun Wen.
''Betul, Paduka,'' kata Dang Zhua.
''Kaisar memberinya gelar Sam Po Kong,'' kata Hua Xiong.
Zhua Yun Wen mengangguk, berdiri di sebelahnya. ''Paduka bisa mengatur siasat untuk mengepung dan membantainya besok malam, dan itu akan sangat menyenangkan hati Paduka, sebab mereka akan menjadi seperti ikan-ikan yang terperangkap di dalam jala.''

Zhu Yun Wen memandang Wajah Syahbandar dengan tatapan menyelidiki. "Memangnya bagaimana perkembangannya?"tanyanya.

"Saya sudah mengundang mereka untuk datang kembali besok malam ke kediaman saya, Paduka," kata Syahbandar.

"Betulkah?"
"Ya Paduka."
"Maksud saya, apakah dia akan datang?"
"Pasti, Paduka. Walaupun dia menaruh curiga, dia tidak tahu apa-apa soal hubungan Paduka dengan saya."
"Kenapa Tuan begitu enteng menyimpulkan itu?"

"Dia memang cerdik, Paduka," kata Syahbandar, "tapi menurut pendapat saya, kecerdikan dapat dikalahkan dengan kelicikan. Di dalam dunia ular, pasti ada ular yang berbisa. Orang-orang Liu Ta Xia dapat memainkan perannya masing-masing."

"Begitu?" Dan Zhu Yun Wen memandang kepada Dang Zhua dan Huang Xiong, "apa usul kalian?"

Dang Zhua merasa terhormat oleh pertanyaan Zhu Yun Wen itu. Maka jawabannya, "Kalau Paduka ingin memotong perjalanan Sam Po Kong untuk tidak sampai di Si-Li-Fo-Tsi dan terus sampai ke Asem Arang, serbu dia di sini, biar nisannya dibuat di tanah Campa ini."

"Untuk menyerbu Sam Po Kong setidaknya harus dilakukan dengan jumlah 4 x 25 orang dari empat arah," kata Hua Xiong.

"Apakah Ceng Ho akan ditemani oleh empat orang?" tanya Zhu Yun Wen.

"Angka empat adalah kematiannya, Paduka," kata Dang Zhua.

"Tapi dia tidak datang empat orang," kata Hua Xiong. "Kami berada dalam rombongannya. Kami juru wartanya. Liu Ta Xia yang menyelundupkan kami ke dalam ekspedisi ini."

Zhu Yun Wen tertawa terbahak. "Tidak salah dugaan saya tadi. Kalian memang dua cecunguk," katanya, "baguslah. Besok saya siapkan 4 x 25 orang pendekar. Jangan khawatir. Dengan 100 orang pendekar tangguh, maka empat mayat mereka akan saya satukan di sini tanpa nisan. Kalau betul Ceng Ho cerdik, maka sayalah guru atas kelicikan. Dulu dia membantu Zhu Di dan berhasil menggulingkan saya. Sekarang saya membantu dia cepat-cepat berangkat ke neraka, bertemu dengan setan-setan."

Semuanya tertawa mengikuti tawa Zhu Yun Wen yang bercampur antara kesombongan, takabur, dan bebal.

***


Sementara itu, di kapal, ketika Dang Zhu dan Hua Xiong masih menghadap sang raja terguling, dan Tan Tay Seng, Li Bun Hau, Wan Sen, Lu Shan, dan lain-lain masih berada di kedai Ling, kembali Wu Ping memasuki kamar Dang Zhu dan Hua Xiong. Kali ini Wu Ping mendapatkan kertas bertuliskan pujian terhadap Ceng Ho. Ini adalah kertas lain dari kertas yang ditemukannya kemarin. Dia menyimak dengan bingung. "Bagaimana mungkin tulisan kedua orang ini -entah siapa di antara keduanya-yang dulu menulis dengan kaku, dan kata Ceng Ho menulis dengan tusuk gigi, kali ini kelihatan menulis dengan lumayan," kata Wu Ping, "aku tidak bisa menjawab keanehan ini. Pasti Sam Po Kong dapat menjawabnya." Maka, Wu Ping pergi ke ruang atas, ruang yang bisa dipakai untuk***
Sementara itu, di kapal, ketika Dang Zhu dan Hua Xiong masih menghadap sang raja terguling, dan Tan Tay Seng, Li Bun Hau, Wan Sen, Lu Shan, dan lain-lain masih berada di kedai Ling, kembali Wu Ping memasuki kamar Dang Zhu dan Hua Xiong. Kali ini Wu Ping mendapatkan kertas bertuliskan pujian terhadap Ceng Ho. Ini adalah kertas lain dari kertas yang ditemukannya kemarin. Dia menyimak dengan bingung. "Bagaimana mungkin tulisan kedua orang ini -entah siapa di antara keduanya-yang dulu menulis dengan kaku, dan kata Ceng Ho menulis dengan tusuk gigi, kali ini kelihatan menulis dengan lumayan," kata Wu Ping, "aku tidak bisa menjawab keanehan ini. Pasti Sam Po Kong dapat menjawabnya." Maka, Wu Ping pergi ke ruang atas, ruang yang bisa dipakai untuk pertemuan-pertemuan penting membahas perkembangan pelayaran. Tapi di sana, baik Ceng Ho maupun Wang Jing Hong, tidak terlihat. Wu Ping bertanya kepada asisten Wang Jing Hong, "Di mana Wang Jing Hong?" "Dia sudah tidur,"kata asisten Wang Jing Hong, "dia dan laksamana merasa letih." Wu Ping bicara pada dirinya sendiri, "Ya sudah. Besok saja."


***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #70 on: 22/08/2008 15:00 »
Sekarang coba perhatikan pula apa yang terjadi di kedai Ling di malam yang terus melarut. Di dalam kedai ini kelihantanya semuanya masih jelek dengan mata terbuka lebar. Minuman yang mereka teguk sedikit demi sedikit, bukan sekaligus satu cawan, telah membuat mereka bukanya letih dan ingin tidur, melainkan seperti segar dan tidak mengantuk.

Gadis yang melayani kedai, putri satu-satunya yang memiliki kedai Ling itu, menaruhkan lagi minuman di hadapan Tan Tay Seng sambil berkata, "Awas kalau mabuk."

Tan Tay Seng ketawa. "Sedangkan di laut aku tidak mabuk, apalagi di darat," katanya, "tapi, seperti aku bilang tadi, aku mau mabuk, tapi mabuk karena cinta padamu."

"Huh!" kata Ling Ling.

"Kenapa 'huh'?" tanya Tan Tay Seng, "apakah kau tidak berminat pada tawaran cintaku?"

''Huh! Tawar-menawar hanya berlaku untuk peristiwa jual-beli saja. Cinta tidak dijual-belikan.''
''Lantas?''
''Dikasih dan diterima.''
''O ya? Kalau begitu, berikanlah, aku akan cepat menerima.''
''Pemberian hanya dilakukan kepada orang yang pantas menerima.''
''Apakah aku tidak pantas?''
''Entah.'' Ling Ling pergi.

Tan Tay Seng ketawa ngakak.

Besok malam dia akan datang lagi ke kedai Ling untuk mengantar hatinya.



***

Besok pagi, setelah mengontrol anak buah di dapur, Wu Ping menerima Wang Jing Hong. Dia membawa dua lembar kertas yang berisi sama. Berikut ini isi suratnya: ''Ini surat yang saya dapat dari kamar Dang Zhu dan Hua Xiong,'' kata Wu Ping sambil menyerahkan kertas bertuliskan kanji dengan karakter tua. Demi melihat sepintas tulisan ini Wang Jing Hong langsung merebut. Dia heran melihat surat ini. Ada kemauan kecil dalam perasaannya untuk memuji. ''Mereka memang bisa menulis,'' kata Wang Jing Hong.

''Saya yakin Sam Po Kong juga akan berpendapat begitu.''

***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #71 on: 22/08/2008 15:05 »
Dan mereka, Wang Jing Hong dan Wu Ping, menemui Ceng Ho di ruangnya yang khusus. Waktu itu Ceng Ho membuat garis-garis tertentu di atas sebuah peta pelayaran. Dalam peta itu, peta yang dipunyai kepustakaan Cina, adalah Cina sebagai negeri merupakan pusat segala perhatian, demikian pula arti sebenarnya dari Tiongkok atau Cung Kuo. Di atas peta itu Ceng Ho membuat garis-garis putus antara kota-kota pelabuhan, mulai dari Nan-Jing, Liu-Ja, Wu-Fu Men, kemudian Qui-Nho, dan terus ke tenggara, ke Palembang, Sunda Kepala, Semarang, Tuban. Kertas-kertas peta yang dibuat Ceng Ho di atas meja kerjanya yang besar bukan hanya satu, melainkan banyak. (Ini semua yang di kemudian hari menjadi pustaka berharga tentang pewartaan pelayaran Ceng Ho dalam pelbagai buku, seperti antara lain Zheng He Xia Yang atau Pelayaran Ceng Ho ke Samudera Barat. Barat yang dimaksud di sini adalah Sri Lanka, India, sampai Arab, dan Afrika Timur, antara Mo-Ge-Do-Xu dan Ma-Lin-Di). Ke ruang kerja Ceng Ho itulah Wang Jing Hong dan Wu Ping masuk menemui sang laksamana, memberi surat yang didapat di kamar Dang Zhua dan Hua Xiong. ''Surat apa ini?'' tanya Ceng Ho melihat kertas itu ditaruh Wang JIng Hong di atas meja kerjanya.

''Aneh sekali,'' kata Wang Jing Hong.

''Ini surat yang ditemukan Wu Ping di kamar Dang Zhua dan Hua Xiong. Coba Anda baca.''

Ceng Ho mengambil kertas itu dan membaca. Katanya secepatnya menyimpulkan gaya tulisan ini,

''Ternyata mereka memang benar-benar bisa menulis.''

''Bagaimana pendapat Anda?'' tanya Wang Jing Hong. ''Ini bukan tulisan dengan nga-cim. Ini tulisan pakai pit,'' kata Ceng Ho. ''Di situ dia memuji Anda,'' kata Wu Ping. Ceng Ho tertawa kecil. Ini tidak berarti dia makan puji. Katanya, ''Bukan itu soalnya. Yang jadi soal, mereka mencoba jadi lugu.''

''Lantas, tulisan yang jelek kemarin itu siapa yang buat?'' tanya Wang Jing Hong.

Ceng Ho merengut. Dia berpikir. Tak terjawab.

Yang mencoba menjawab adalah Wu Ping. ''Mungkin ada orang di kapal ini yang menjadi murid mereka.''

''Boleh jadi juga,'' kata Ceng Ho. Kemudian Ceng Ho menyimak dengan saksama isi surat yang ditemukan Wu Ping tersebut.
Isi surat itu memang memuji Ceng Ho. Surat ini mengatakan pujian: ''Dari pengalaman yang cukup lama ikut dalam pelayaran mengarungi samudra, maka kami yakin betul atas kebijakan sang kaisar yang telah memerintah Sam Po Kong Lang mengemban tugas negara mengarungi samudra raya.''

Setelah membaca surat ini, Ceng Ho memerintah Wu Ping membawa kembali ke kamar Dang Zhua dan Hua Xiong. ''Taruh kembali ke kamar mereka,'' katanya.

''Ini bukan hanya dua,'' kata Wu Ping.
''Maksudmu?'' tanya Ceng Ho.
''Masih ada beberapa lembar yang isi suratnya sama seperti ini,'' kata Wu Ping.
''Jadi, menurutmu, apa itu artinya?'' tanya Ceng Ho.

"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #72 on: 22/08/2008 15:12 »
''Entah,'' jawab Wu Ping. ''Mungkin mereka akan memilih mana yang lebih bagus kanjinya.''
Ceng Ho mengangguk. ''Boleh jadi.''
Dan, apakala malam tiba, kembali orang-orang yang ingin turun ke darat di Pelabuhan Qui-Nho lantas pergi minum di kedai Ling. Ke situ pula Tan Tay Seng.
Begitu Tan Tay Seng duduk di kursi kedai itu, Ling Ling datang membawa cangkir dan minuman. Tapi dia bukan menuangkan minuman itu ke dalam cangkir, melainkan bertanya dengan muka sangat bersungguh-sungguh.

''Bagaimana caranya bisa ikut berlayar ke selatan?'' tanya Ling Ling.
''Berlayar ke mana?'' tanya Tan Tay Seng pula.
''Ke Jawa,'' kata Ling Ling.
''Berlayar ke Jawa?''
''Ya.''
''Gampang.''
''Gampang bagaimana?''
''Ya, kamu naik kapal, kapal berlayar, dan kamu berada di dalam kapal yang berlayar.''
''Maksudku apa syarat-syaratnya supaya aku bisa berada di dalam kapal yang berlayar itu?''

''Gampang. Asal saja kamu mau jadi umpan untuk dimakan ikan hiu.''
''Hu, sinting. Aku bersungguh-sungguh.''
''Ah, dasar gila.'' Ling Ling jengkel. Dia pergi. Membawa kembali cangkir dan minuman itu.
''Tunggu. Tuangkan dulu minuman untukku.''

Ling Ling berbalik kembali dan menaruh cangkir itu dan menuangkan minuman ke dalamnya.
Sambil menuang minuman itu ke dalam cangkir, Tan Tay Seng bertanya, kali ini benar-benar serius.

''Memangnya kenapa kau ingin berlayar?''
''Aku sudah bosan di sini. Orang tua juga begitu. Aku ingin bekerja di seberang. Di Jawa.''
''Begitu?''
''Ya.''
''Tapi orang sipil yang ikut dalam pelayaran Ceng Ho ini harus memiliki kepandaian khusus.''
''Apa kaukira aku ini bodoh?''
''Lantas, apa kepandaianmu?''
Ling Ling duduk. ''Minuman yang kauminum itu bikinanku. Itu dari ketan hitam campur ragi.''
Tan Tay Seng meneguk minuman itu. ''Memang enak,'' katanya tulus. ''Tapi, bagaimana, kau perempuan.''

''Memangnya kenapa kalau aku perempuan?''
''Satu perempuan, apalagi perempuan seperti kamu, yang cantik, di antara serigala-serigala, bisa sangat berbahaya.''
''Menang mana serigala dengan harimau?''
''Memangnya kenapa?''
''Aku perempuan, tapi aku harimau. Siapa takut?''
Tan Tay Seng terkesiap. ''O ya?''
''Ya,'' kata Ling Ling bergairah.
''Tapi sekarang apakah harimau berada di dapur? Kalau kamu bilang kepandaianmu adalah membuat minuman....''
Ling Ling memotong, ''Semua minuman...''
''Ya, semua minuman,'' sambung Tan Tay Seng. ''Maka tempat bagi orang yang membuat minuman itu adalah dapur.''
''Itu tidak soal,'' kata Ling Ling. ''Kamu lihat sendiri, di kedai orang tuaku ini aku adalah anak merangkap babu mereka. Aku berbakti pada orang tua.''
Tan Tay Seng menatap mata Ling Ling. Dia senang melihat kesungguhan gadis ini. Selain itu agaknya benar juga lidahnya kemarin bahwa dia telah mengatakan cinta kepada Ling Ling.
''Kalau mau serius, mintalah pada Wu Ping. Dia adalah Sam Po Siu San.''*)


***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #73 on: 22/08/2008 15:17 »
Paginya, di tengah hiruk pikuk pelabuhan, tempat banyak kapal besar dan kecil bersandar, tampak Ling Ling berjalan menenteng guci kecil tempat minuman. Dia berjalan dengan langkah terayun cepat oleh perasaan antara kepastian dan keraguan atas suatu anganan dan cita-cita. Dia naik ke kapal Ceng Ho. Di kapal dia berpapas dengan dua tiga orang. Mulanya dia tidak bertanya apa-apa. Tapi kemudian dia merasa harus bertanya. Sebab, malu bertanya sesat di jalan. ''Di mana saya bisa jumpa Sam Po Siu Sian?'' katanya kepada seseorang. Orang itu menunjuk dengan mulutnya dan jarinya. ''Terus ke sana, turun tangga, ke kiri, dan ke kanan.''


***


Di dalam ruang itu, ruang Wu Ping, yang empunya nama sebagai juru masak Sam Po Kong, sedang duduk memangku. Dia dikejutkan oleh suara perempuan yang tiba-tiba berdiri didepannya.

"Selamat pagi," kata Ling Ling.
Sambil menurunkan kaki, Wu Ping menjawab, "Ya?"
"Saya Ling Ling," kata Ling Ling ragu-ragu.
"Ya?" kata Wu Ping dengan nada sama seperti tadi. Dengan ini dia bermaksud memberikan kesempatan bagi Ling Ling menyatakan kehendaknya.

"Begini," kata Ling Ling. "Saya mau melamar untuk ikut serta dalam pelayaran menuju ke Jawa."

"Bisamu apa?"
"Semua bisa."
"Ya. Tapi apa keahlianmu?"
"Untuk yang semua bisa, saya bisa menyediakan segala hidangan dari Yunan, Hainan, dan Campa. Dan untuk keahlian, saya ini pakar dalam membuat jenis-jenis arak yang paling hebat."

Wu Ping tertawa lagi. Dia tertegun. "O, ya, siapa namamu yang kamu sebut tadi?"
"Ling Ling." Ling Ling senang, menganggap pertanyaan ini semacam pelulusan atas ajuannya. "Apa saya bisa diterima?"

"Tidak tahu. Saya kepala juru masak. Sebagai kepala juru masak saya senang saja punya staf seperti kamu."

"Berarti kau bisa memutuskan apakah saya diterima menjadi stafmu."
Wu Ping membuka tangan, tertawa ramah. "Soal keputusan, itu bukan wewenang saya."

"Tapi, katamu tadi, kau kepala juru masak."

"Memang betul," kata Wu Ping. "Malahan lebih spesifik, saya ini Sam Po Siu Sian, juru masak khusus untuk Sam Po Kong."

"Nah, kan itu lebih ciamik, lebih afdal."

"Tapi, juru masak Sam Po Kong hanya memasak untuk Sam Po Kong."
"Apa bedanya?"
"Sebetulnya di sini bukan hanya satu juru masak. Kau kan tahu, berapa ribu anggota ekspedisi. Saya juru masak khusus untuk Sam Po Kong, sebab seperti saya pun sama-sama tidak memakan daging yang haram. Sam Po Kong dan Sam Po Siu Sian hanya mengonsumsi makanan yang halal. Sementara kau, menurut pengakuanmu, kau tukang bikin minuman. Minuman keras bagi kami pun termasuk haram."

Ling Ling menaiki pinggang. "Hei, memangnya semua orang yang ada di kapal ini dan kapal-kapal lain masuk surga?"

Wu Ping terkesiap. "Apa maksudmu?"

"Kalau menurutmu arak atau minuman keras itu haram dan yang meminumnya berdosa, ya sudah biarkan saja mereka yang masuk neraka. Bukankah neraka dibuat untuk menampung mereka yang berbuat dosa dan pelanggaran. Saya yang membuat minuman kan bebas dari
beban dosa dan pelanggaran."

Wu Ping seperti terpukau. Dia bengong memandang wajah dan penampilan Ling Ling.

Katanya dengan sikap terbuka, "Omong punya omong berapa umurmu?"
Dengan bersemangat Ling Ling menjawab menurunkan tangan yang tadi di pinggang.Katanya, "Enam belas tahun."

Wu Ping tersentak. Dia ketawa senang. "Astaga? Baru enam belas tahun tapi sudah jadi ular? Bagaimana sepuluh tahun yang akan datang lagi."

Dengan tangkas dan tidak kehilangan cara untuk menanggapi senda gurau, berkatalah Ling Ling, "Sepuluh tahun lagi barang kali berubah jadi naga."

Wu Ping tertawa lagi karena hatinya terbuka. "Sudah. Begini saja. Temui langsung Sam Po Kong. Siapa tahu kau diterima."
"Terima kasih."
Ling Ling pergi.

***
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

Putra Petir

  • Pendekar Madya
  • ***
  • Thank You
  • -Given: 0
  • -Receive: 15
  • Posts: 1.359
  • Reputation: 63
    • Email
  • Perguruan: Balerante
Re: Laksmana Cengho (Dari buku Sam Po Kong)
« Reply #74 on: 22/08/2008 15:20 »
Dan Ling Ling berjalan di atas kapal itu menemui Ceng Ho. Saat itu Ceng Ho menyusun siasat dengan kedua perwiranya mengenai undangan kembali ke rumah Syahbandar untuk mengetahui kabar tentang Zhu Yun Wen.
"Kita tidak perlu pergi ke rumah Syahbandar itu pada malam ini," kata Ceng Ho.
"Apakah kita perlu memberi tahu kepadanya?" tanya perwira yang satu.
"Tidak perlu," sahut Ceng Ho. "Kita berbuat seolah-olah pertanyaan kemarin itu adalah pertanyaan sambil lalu."



***


Di pintu Ling Ling minta izin masuk menemui Ceng Ho. "Saya ingin bicara dengannya," kata Ling Ling. "Saya sudah mendapat petunjuk dari Sam Po Siu Sian."

Orang yang berada di pintu itu tidak mengizinkan. "Kembali saja besok," katanya. "Sam Po
Kong sedang sibuk."
Ling Ling sedikit memaksa. "Tolong."
Dan jawab orang itu, "Tidak. Tidak bisa."
Ling Ling merajuk. "Ya sudah," katanya. Dia pergi.

****

Yang diprasangkai Ceng Ho ternyata ada benarnya. Syahbandar sedang merencanakan sesuatu seandainya Ceng Ho datang malam ini untuk mendapat jawaban tentang apakah betul Zhu Yun Wen berada di Campa.
 
Apa gerangan yang dirancang Syahbandar? Dia ingin membuat Ceng Ho tak sadarkan diri.

"Apa ada orang yang bisa membuat ramuan arak untuk dalam seketika yang minum langsung mabuk dan tidak sadarkan diri?" tanya Syahbandar kepada pembantunya.

"Ada, Tuan Syahbandar," jawab pembantunya.
“Kalau ada, segera bawa dia ke sini."
"Baik, Tuan Syahbandar."
"Kalau begitu, lakukan sekarang juga."
"Baik, Tuan Syahbandar."

Dan, dua orang pembantu Syahbandar berangkat ke kedai Ling.

****
"Sugih tanpo bondho,pintar tanpo ngeguru, menang tanpo ngasorake, nglurug tanpo bala, mangan tanpo mbayar."

 

Powered by EzPortal